• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

8 2.1 Ascidian

Ascidian merupakan nama bagi kelompok hewan yang termasuk ke dalam Kelas Ascidiacea, yang menyusun hampir sebagian besar jenis-jenis dalam Subfilum Urochordata dari Filum Chordata. Anatomi dari urochordata berbeda dengan hewan chordata lainnya, terutama vertebrata. Pada fase larva, urochordata memiliki tali syaraf (neural tube) dan notochord, namun akan hilang pada fase dewasa sehingga menyebabkan urochordata termasuk ke dalam invertebrata. Subfilum Urochordata ini terdiri dari empat kelas, yaitu Ascidiacea (ascidian), Sorbreacea (sorberacean), Thaliacea, dan Appendicularia (larvacean). Dari keempat kelas tersebut, Kelas Ascidiacea adalah kelas terbesar yang paling beragam (Mc Clintock dan Baker 1998). Ascidian ditemukan tersebar hampir di semua perairan laut, mulai dari zona dangkal litoral sampai zona abysal yang dalam, mendiami perairan tropis dan subtropis bahkan perairan dingin Antartika serta hidup dalam perairan bersih sampai tercemar berat. Kelompok tersebut ditemukan lebih melimpah dan beragam pada habitat dengan perairan yang relatif terlindung dari cemaran bahan-bahan organik (Abrar 2005). Kehadiran ascidian juga dibatasi oleh salinitas perairan yang berubah-ubah (fluktuasi) atau berkurang dari kadar normal air laut (30-32 ‰), namun beberapa jenis dapat bertahan dan ditemukan dalam jumlah melimpah dalam koloni (Abrar dan Manuputty 2008).

Ascidian ini merupakan invertebrata di ekosistem terumbu karang yang banyak menghasilkan senyawa bioaktif untuk farmakologi di mana hewan ini dapat berasosiasi dengan mikroba fotosintetik dan mempunyai potensi molekular yang besar, karena kandungan metabolit sekundernya yang merupakan substansi bioaktif ini sangat berguna sebagai pertahanan diri organisme yang memproduksinya juga bagi kehidupan manusia, yaitu sebagai antitumor atau antikanker dan antibakteri atau antimikroba (Manuputty et al 2004).

(2)

Di alam, ascidian dimanfaatkan untuk menyaring bahan pencemar dari perairan, seperti logam berat dan bakteri. Kemampuan berbagai jenis ascidian untuk menyerap vanadium dan logam berat lainnya dari air laut merupakan salah satu keanehan fisiologi yang membedakan biota tersebut dari sebagian besar hewan lainnya (Michibata et al 1986 dalam Abrar 2005). Racun vanadium yang ada dalam tubuh ascidian digunakan untuk menghindari penempelan epibiota di tubuh biota tersebut (Stoecker 1978 dalam Abrar 2005). Selain itu, manusia juga dapat memanfaatkan ascidian dalam bidang embriologi (ilmu mempelajari perkembangan embrio) serta mempelajari kekerabatan mereka yang dekat dengan hewan bertulang belakang (Estradivari et al 2009).

Ascidian merupakan biota hermafrodit yang dapat menghasilkan sel telur dan sperma dalam satu individu yang sama. Semua jenis ascidian melepaskan spermanya langsung di dalam perairan. Beberapa sel telur dilepaskan dan mengalami pembuahan secara eksternal. Setelah sel telur dibuahi akhirnya berkembang di perairan terbuka menjadi tadpole yang merupakan bentuk larva dari ascidian. Larva tersebut mengalami tahap free swimming dengan adanya notochord dan neural tube. Selain itu, ada juga sel telur yang dibuahi secara internal dan dierami sampai mereka menjadi larva tadpole, kemudian dilepaskan. Dalam hitungan jam, larva yang dilepaskan akan berubah bentuk menjadi ascidian yang mendiami dasar perairan (substrat) dan dengan cepat akan kehilangan notochord dan neural tube (Colin dan Arneson 1995 dalam Abrar 2005)

(3)

2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi Ascidian

Gambar 2. Koloni Didemnum sp. (Sumber : Dokumentasi Pribadi)

Berikut ini merupakan system klasifikasi dari Didemnum sp. (Manniot et al 1991). Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfillum : Tunicata Kelas : Ascidiaceae Ordo : Aplousobranchiata Family : Didemnidae Genus : Didemnum Species : Didemnum sp.

Spesies Didemnum sp. ini banyak ditemukan pada perairan pasifik barat indonesia, dimana memiliki daerah khusus dengan kriteria sebagai berikut yaitu pada kedalaman 1 hingga 20 m pada temperatur 24 hingga 280 C dan salinitas 34,108 hingga 35,284 ppm dan kadar DO 4,483 – 4,664 mL/L. Selain itu, spesies ini dapat

(4)

hidup pada suhu -50 hingga 300C dengan salinitas di atas 26 ppm (Ouwe-Missi-Oukem-Boyer et al 1994).

Pertahanan kimia yang dilakukan oleh Didemnum sp. ini adalah dengan menghasilkan metabolit sekunder dan mendistribusikannya ke seluruh tubuh (Stoner 1992). Pertahanan fisik yang mudah diamati yang dilakukan spesies ini adalah dengan mengeluarkan lendir ketika individu merasa terancam predator (Olson 1983), dimana predator Didemnum sp. secara umum adalah ikan, bintang laut, gastropoda, cacing pipih, dan kepiting.

2.1.2 Pemanfaatan dan Kandungan Senyawa Ascidian

Kelas Ascidiacea merupakan satu-satunya kelas dari urochordata yang mewakili dalam literatur produk alami yang menunjukkan adanya metabolisme asam amino yang dominan (McClintock dan Baker 2001 dalam Abrar 2005). Ascidian telah banyak menarik perhatian sebagai salah satu sumber zat antikanker, antivirus, dan antitumor. Sebagai contohnya di Thailand telah ditemukan alkaloid (ectinascidin) yang berasal dari Ecteinascidia thurstoni yang bersifat sitotoksik untuk sel kanker payudara, paru-paru, dan jaringan nasofaring (Rinehart et al 1990). Di Karibia, anggota Famili Didemnidae, yaitu Trididemnum solidum diketahui memiliki senyawa didemnim-B yang bersifat antivirus dan antitumor (Rinehart et al 1990).

Hasil penelitian Malla et al (2004) menunjukkan bahwa alkaloid lamellarin yang diisolasi dari ascidian Didemnum obscurum dari India merupakan senyawa yang sangat berpotensi sebagai antioksidan. Abou - Donia et al (2008) juga pernah meneliti Didemnum molle yang dikoleksi dari perairan Manado, dimana penelitian tersebut menunjukkan bahwa senyawa keenamid A dan mollamida B dari ekstrak ascidian tersebut memiliki potensi antikanker.

Selain itu, ascidian juga mempunyai senyawa kimia untuk perlindungan dari radiasi UV. Sejumlah metabolit pun berasal dari ascidian seperti seri didemnidae berupa isolasi alkaloid dari Didemnum conchyliatum, ekstrak dari ascidian Ecteinascidia turbinate yang berisi alkaloid biologis aktif ecteinascidin, alkaloid

(5)

tambjamine dari jenis Sigillina signifera, didemnim depsipeptide dari jenis Trididemnum solidum, dan alkaloid polyandrocarpidine dari jenis Polyandrocarpa sp. Adapula metabolit ascidian yang berpotensi sebagai antifouling yaitu alkaloid eudistomin dari jenis Eudistoma olivaceum, dan pelindung UV serta antioksidan berupa asam amino seperti mycosporine (Mc Clintock dan Baker dalam Manuputty 2004). Tabel 1 menunjukkan jenis-jenis ascidian yang umum ditemukan di perairan Indonesia dan memiliki potensi untuk dimanfaatkan (Abrar 2005).

Tabel 1. Jenis dan Beberapa Bentuk Pemanfaatan Ascidian

Jenis Pemanfaatan

Lissoclinum patella Hasil ekstrak terdiri dari Ulit-hyacyclamide,

Patellamides, Ascidicyclamides, dan Lissoclamides untuk pengobatan kanker dan leukemia

Lissoclinum bistratum Ekstrak berupa polyether dengan dua fungsi

Carboxamide, dalam bentuk bubuk Lyophilized merupakan toksik untuk investigasi paralisis mulut juga racun pada udang tingkat rendah Artemia salina Hampir semua jenis Bioindikator kondisi perairan, sehingga sering

digunakan sebagai biota uji Bioassay

Jenis dari Famili Styelidae Sebagai hidangan makanan laut (sea food) di beberapa negara (Jepang, Prancis, Yunani, Itali, dan Chili)

2.2 Antikanker

Menurut Reichardt (1988) kanker merupakan masalah kesehatan dari banyak negara di dunia dan termasuk penyakit yang menjadi perhatian serius pada bidang kedokteran. Hal ini disebabkan oleh jumlah korban yang terus meningkat dari tahun ke tahun dan belum ditemukan cara yang efektif untuk pengobatannya. Pengobatan kanker secara medis yang selama ini dilakukan adalah melalui pembedahan (operasi), penyinaran (radiasi) dan terapi kimia (kemoterapi). Salah satu yang menjadi perhatian adalah kemoterapi, yaitu penggunaan bahan-bahan bioaktif dari hasil sintesis atau isolasi bahan alam.

(6)

Penggunaa bahan bioaktif dari isolasi bahan alam terus dikembangkan sampai saat ini karena sifatnya yang “renewable”, mudah terdekomposisi dan dapat dikeluarkan dari dalam tubuh, sedangkan bahan sintetis dapat tertinggal atau menjadi residu yang berbahaya bagi tubuh. Hal ini menyebabkan pelacakan senyawa-senyawa antikanker dari bahan alam banyak dilakukan, untuk mendapatkan senyawa yang berpotensi sebagai antikanker baru dalam strategi pengembangan kemoterapi (Reichardt 1988).

Dua puluh lima persen dari obat-obat modern yang beredar di dunia berasal dari bahan aktif yang diisolasi dan dikembangkan dari bahan hayati sampai saat ini yang diantaranya berasal dari bahan hayati laut. Indonesia dikenal sebagai salah satu dari tujuh negara dengan keanekaragaman hayati terbesar, fakta ini tentu memiliki potensi dalam pengembangan obat yang berbasis pada tumbuhan dan biota obat dalam usaha kemandirian di bidang kesehatan. Biota - biota tersebut menghasilkan senyawa metabolit sekunder dengan struktur molekul dan aktivitas biologi yang beraneka ragam. Beberapa senyawa yang telah terbukti memiliki aktivitas sebagai antikanker, antara lain golongan alkaloid, terpenoid, flavonoid, santon dan kumarin (Lisdawati 2002).

Senyawa yang tidak banyak diperhatikan memiliki aktivitas antikanker adalah hasil ekstrak dari ulit hyacylamide, patellamides, ascidiacylamydes dan lissoclamides dari salah satu spesies ascidian. Namun, sampai saat ini pemanfaatan ascidian lebih dikembangkan untuk keperluan bahan bioaktif sebagai obat dan kosmetik. Sementara pada negara lain seperti Chilli, ascidian dimanfaatkan sebagai makanan yang menyebabkan penurunan jumlah populasi dan bahkan telah dinyatakan terancam dari beberapa kelasnya (Manniot dan Laboute 1991 dalam Abrar 2005).

2.3 Uji Toksisitas Brine Shrimp Lethality Test (BSLT)

Uji toksisitas BSLT merupakan deteksi awal untuk mengetahui potensi bioaktivitas dan toksisitas dari sampel sehingga dapat ditentukan konsentrasi ekstrak yang aman untuk pengujian. Uji dilakukan untuk mengamati tingkat kematian larva

(7)

Artemia salina Leach yang disebabkan oleh ekstrak metabolit sekunder, tingkat kematian atau mortalitas selanjutnya dianalisis dengan menggunakan analisis probit untuk menentukan konsentrasi LC50 (lethal concentration) 50%, yaitu konsentrasi

yang menyebabkan kematian populasi larva Artemia salina sebesar 50% dari populasi total. Senyawa yang mempunyai LC50 lebih kecil dari 1000 ppm dikatakan memiliki

potensi bioaktivitas (Meyer et al 1982 dalam Hanif 2012).

Uji mortalitas larva Artemia salina merupakan salah satu metode uji bioaktif pada penelitian senyawa bahan alam. Penggunaan larva udang untuk kepentingan studi bioaktivitas sudah dilakukan sejak tahun 1956 dan sejak saat itu telah banyak dilakukan pada studi lingkungan, toksisitas dan penapisan senyawa bioaktif dari jaringan tanaman. Uji ini merupakan uji pendahuluan untuk mengamati aktivitas farmakologi suatu senyawa. Adapun penerapan untuk sistem bioaktivitas dengan menggunakan larva Artemia salina tersebut, antara lain untuk mengetahui residu pestisida, anastetik lokal, senyawa turunan morpin, mikotoksin, karsinogenitas suatu senyawa dan polutan untuk air laut serta sebagai alternatif metode yang murah untuk uji sitotoksisitas (Hamburger dan Hostettmann 1991)

Menurut Mudjiman (1983), udang renik asin (brine shrimp) atau artemia adalah udang-udangan tingkat rendah yang hidup sebagai zooplankton yang menghuni perairan -perairan yang berkadar garam tinggi (salina), baik dekat pantai maupun jauh di Pedalaman laut. Artemia salina Leach. diklasifikasikan sebagai berikut : Filum : Arthropoda Kelas : Crustacea Subklas : Branchipoda Ordo : Anostraca Family : Artemiidae genus : Artemia

(8)

Gambar 3. Larva Artemia. salina (Sumber : Hanif 2012)

Keunggulan penggunaan Artemia salina untuk uji BSLT ini ialah sifatnya yang peka terhadap bahan uji, waktu siklus hidup yang lebih cepat, mudah dibiakkan dan harganya yang murah. Sifat peka Artemia salina kemungkinan disebabkan oleh keadaan membran kulitnya yang sangat tipis sehingga memungkinkan terjadinya difusi zat dari lingkungan yang mempengaruhi metabolisme dalam tubuhnya (Mudjiman 1983).

Artemia salina ditemukan hampir pada seluruh tempat di permukaan perairan yang memiliki kisaran salinitas 10-20 g/L, hal inilah yang menyebabkannya mudah dibiakkan. Telur Artemia salina terlihat seperti partikel-partikel kecil berwarna coklat dengan diameter kira-kira 0,20 mm. Partikel-partikel tersebut akan naik ke permukaan dan akhirnya tersapu ke darat oleh angin ketika terjadi penguapan air pada musim-musim tertentu di wilayah perairan yang memiliki kadar garam tinggi. Telur-telur tersebut dapat dikumpulkan dan dipisahkan dari pasir dan kotoran lainnya dengan cara pengayakan. Telur-telur tersebut memiliki resistensi yang tinggi terhadap kondisi ekstrim dan dapat disimpan dalam waktu yang lama, jika telur-telur tersebut berada dalam keadaan bebas air. Uji BSLT dengan menggunakan Artemia salina

(9)

dilakukan dengan menetaskan telur-telur tersebut dalam air laut yang dibantu dengan aerasi. Telur Artemia. salina akan menetas sempurna menjadi larva dalam waktu 24 jam. Artemia Salina yang baik digunakan untuk uji BSLT ialah yang berumur 48 jam sebab jika lebih dari 48 jam dikhawatirkan kematian Artemia salina bukan disebabkan toksisitas ekstrak melainkan oleh terbatasnya persediaan makanan (Meyer et al 1982 dalam Wahyuni 2006).

Gambar

Gambar 2. Koloni Didemnum sp.
Gambar 3. Larva Artemia. salina  (Sumber : Hanif 2012)

Referensi

Dokumen terkait

Sehingga pada masyarakat yang dalam penelitian ini adalah masyarakat mahasiswa Cilacap di Yogyakarta dalam Himacita yang merupakan penutur bilingual maka tidak

secara kuantitatif untuk mengetahui pengaruh edukasi, dengan modul ”Pocket Activity” dalam modifikasi gaya hidup pada faktor risiko kardiovaskular penderita pria

Menurut Mansor Ismail (2012), gerakan koperasi perlu sentiasa siap siaga untuk membentuk generasi pemimpin pelapis koperasi agar survival koperasi dapat diteruskan dan

Bahwa apa yang dinyatakan Tergugat dalam angka (6) dan (7) merupakan pembohongan besar dan berusaha untuk melakukan pembodohan kepada staff, pegawai dan

Pertanaman campuran antara jagung dan legum dapat meningkatkan panjang tanaman, luas daun, jumlah daun, dan jumlah cabang tanaman legum namun kepadatan tingkat

aplikasi multimedia huruf-huruf Jepang ini, penulis menggunakan software-software yang meliputi software desain grafik yg mendukung semua aplikasi, mulai dari teks,

Bus adalah jalur-jalur fisik yang mengubungkan CPU dengan memori dan unit lain dari mikrokontroler. Jalur-jalur ini tergabung dalam satu grup, jalur inilah yang

Hasil dari penelitian ini adalah WebGIS Industri Kreatif Berbasis Budaya Kota Surakarta yang menyajikan informasi mengenai lokasi, atribut, serta industri kreatif