BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tingginya angka kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja dengan konsekuensi yang ditanggung oleh masyarakat, komunitas, pelaku bisnis, dan pekerja serta keluarganya, secara sosial cost tidak lagi dapat diterima (unacceptable). Terkait dalam hal ini perlu dilakukan berbagai upaya dan pendekatan untuk mengurangi angka kecelakaan dan penyakit akibat kerja yang masih tinggi tersebut. Setiap pekerja berhak mendapatkan perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja dalam melakukan pekerjaan untuk kesejahteraan hidup dan meningkatkan produksi serta produktivitas nasional.
Undang-Undang Republik Indonesia No.1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja mengatur perlindungan dan keselamatan setiap tenaga kerja dalam melakukan pekerjaan di lingkungan kerja. Setiap tenaga kerja berhak mendapat perlindungan atas keselamatan dalam melakukan pekerjaan untuk kesejahteraan dan meningkatkan produksi serta produktivitas nasional. Selain itu, setiap orang lainnya yang berada di tempat kerja perlu terjamin pula keselamatannya.
Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.5 Tahun 1996 tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3), menyebutkan bahwa setiap perusahaan yang memperkerjakan tenaga kerja sebanyak seratus orang atau lebih dan atau mengandung potensi bahaya yang ditimbulkan oleh karakteristik proses bahan produksi yang dapat
mengakibatkan kecelakaan kerja seperti peledakan, kebakaran, pencemaran,dan penyakit akibat kerja wajib menerapkan Sistem Manajemen K3 ( SMK3).
Tujuan upaya K3 adalah untuk mencegah kecelakaan yang ditimbulkan karena adanya suatu bahaya di lingkungan kerja. Pengembangan sistem manajemen K3 harus berbasis pengendalian risiko sesuai dengan sifat dan kondisi bahaya yang ada. Keberadaan bahaya dapat mengakibatkan terjadinya kecelakaan atau insiden yang membawa dampak terhadap manusia, peralatan, material dan lingkungan. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 87 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa bahwa setiap organisasi wajib menerapkan Sistem Manajemen K3 ( SMK3) yang terintegrasi dengan manajemen organisasi.
Rumah Sakit adalah salah satu jenis sarana pelayanan kesehatan, yang tugas utamanya adalah melayani kesehatan perorangan di samping tugas pelayanan lainnya. Pengertian rumah sakit dirumuskan pada Pasal 1 butir (1) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit bahwa :
“ Rumah Sakit adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat “
Selanjutnya Pasal 1 butir (3) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit menyebutkan bahwa :
“ Pelayanan kesehatan paripurna adalah pelayanan kesehatan yang meliputi upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.”
Pasal 19 butir (1) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit disebutkan klasifikasi Rumah Sakit berdasarkan jenis
pelayanannya, dikategorikan dalam Rumah Sakit Umum dan Rumah Sakit Khusus.
Rumah Sakit Umum diselenggarakan baik oleh Pemerintah maupun swasta, baik di tingkat Pusat maupun daerah. Salah satu Rumah Sakit Umum di Indonesia yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat adalah Rumah Sakit DR. Sardjitodi Yogyakarta.
Rumah Sakit Umum Pusat DR. Sardjito Yogyakarta sebagai Rumah Sakit Umum Kelas A, merupakan Rumah Sakit Umum Rujukan Nasional di Kota Yogyakarta dan berstatus sebagai Rumah Sakit Pendidikan. Rumah Sakit merupakan tempat yang sarat dengan kemajuan teknologi, hal ini tercermin di Instalasi Radiologi RSUP DR. Sardjito yang terdiri atas Radiologi Diagnostik, Radio Terapi dan Kedokteran Nuklir. Hal ini membuat para pekerja di Instalasi Radiologi antara lain Petugas Proteksi Radiasi (PPR) dan Radiografer rentan terhadap paparan radiasi. Oleh karenanya, di dalam menjalankan pekerjaannya seorang Radiografer diatur dalam Pasal 17 butir (A) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 81 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pekerjaan Radiografer menyebutkan bahwa : dalam melaksanakan pekerjaannya, Radiografer mempunyai hak memperoleh perlindungan hukum sepanjang melakukan pekerjaannya sesuai dengan standar pelayanan, Standar Operasional Prosedur (SOP), kode etik, standar profesi Radiografer.
Selanjutnya, Pasal 17 butir (E) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 81 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pekerjaan Radiografer
menyebutkan bahwa Radiografer mempunyai hak memperoleh jaminan perlindungan terhadap risiko kerja yang berkaitan dengan pelaksanaan tugasnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Radiasi adalah salah satu jenis hazard (potensi bahaya) yang mungkin ada di lingkungan kerja, khususnya tempat-tempat yang memanfaatkan sumber radiasi (tenaga nuklir), maka pekerjaan di lingkungan ini berpotensi terjadi kecelakaan ataupun timbulnya penyakit akibat kerja. Oleh karena itu, dari sudut pandang K3, lingkungan kerja yang mengandung hazard radiasi wajib mematuhi UU no 1 Tahun 1970 dan menerapkan SMK3. Dengan menerapkan SMK3, diharapkan akan tercipta suatu sistem K3 yang mampu mencegah dan mengurangi kecelakaan dan penyakit akibat kerja serta terciptanya tempat kerja yang aman,efisien dan produktif.
Peraturan Perundang-undangan dan uraian diatas, peneliti tertarik untuk meneliti dan menganalisis Radiografer yang berstatus sebagai Radiografer Non PNS (Tenaga Harian Lepas) di Instalasi Radiologi RSUP DR. SardjitoYogyakarta.
Diperoleh informasi dari Bagian Sumber Daya Manusia di Instalasi Radiologi RSUP DR. SardjitoYogyakarta baik di Unit Radiologi Diagnostik, Radio Terapi dan Kedokteran Nuklir bahwa pekerja Radiografer berjumlah kurang lebih 21 (dua puluh satu) orang, terdiri atas pria dan wanita dengan status sebagai Radiografer PNS sebanyak 16 (enam belas) orang da Radiografer Non-PNS (Tenaga Harian Lepas) sebanyak 5 (lima) orang.
Non-PNS lebih rentan posisinya apabila dibandingkan dengan Radiografer yang berstatus sebagai PNS. Hal ini dikarenakan hak-hak yang tertuang dalam Peraturan Perundangan Aparatur Sipil Negara (ASN) berbeda dengan Peraturan yang tercantum di dalam Perjanjian Kerja Harian Lepas bagi Radiografer dengan status Non-PNS.
Pengertian dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) menurut Jimly Asshiddiqie bahwa Pegawai Negeri adalah pelayan umum atau publik servant.1 Sedangkan Prof. Dr. J.H.A. Logemann dalam “ Over de theorie
van een stellig staatsrecht “ (1948) sebagaimana dikutip Sudibyo Triatmodjo berpendapat bahwa pegawai negeri (ambtenar) adalah tiap pejabat yang mempunyai hubungan dinas publik dengan Negara. Hubungan dinas publik itu terjadi jika seseorang mengikat dirinya untuk tunduk pada perintah dari pemerintah untuk melakukan sesuatu atau beberapa macam jabatan tertentu dengan mendapatkan penghargaan berupa gaji dan beberapa keuntungan lain. Jadi seseorang yang mempunyai hubungan dinas publik dengan Negara, yang berarti dia menjadi pegawai negeri, tidak akan menolak dan menerima tanpa syarat pengangkatannya dalam suatu jabatan yang telah ditentukan oleh Pemerintah.”2
Keberadaan pegawai Non Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Instansi Pemerintah telah ada sejak lama. Sebelum adanya perubahan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
1 Jimly Asshiddiqie, 2007,Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Bhuana Ilmu Populer,Jakarta, hlm.384.
2 Sudibyo Triatmodjo,1983, Hukum Kepegawaian mengenai Kedudukan Hak dan Kewajiban Pegawai Negeri Sipil, Ghalia,Jkt, , hlm.27.
Kepegawaian, terdapat orang-orang yang bekerja untuk Negara, pemerintah dan masyarakat dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan, sama seperti pegawai negeri tetapi tidak termasuk pegawai negeri. Sastra Djatmika dan Marsono menyebutkan golongan-golongan pekerja yang tidak termasuk pegawai negeri tersebut, yakni (a) pejabat Negara, (b) pekerja, (c) pegawai dengan ikatan dinas (lebih tepat perjanjian kerja) berdasar ketentuan-ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Sipil, (d) pegawai dengan ikatan dinas untuk waktu terbatas, (e) pegawai bulanan, ( f ) pegawai desa, dan (g) pegawai perusahaan umum.3
Pegawai-pegawai Non-PNS sebagaimana tersebut di atas dipekerjakan tidak secara tetap atau dalam jangka waktu tertentu baik secara harian, bulanan, atau beberapa tahun. Pegawai Non-PNS di instansi Pemerintah tercantum di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Pasal 33 menyebutkan bahwa pejabat pengelola Badan Layanan Umum (BLU) dan pegawai BLU dapat terdiri dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan / atau tenaga professional Non-PNS sesuai kebutuhan BLU, di mana tenaga professional Non-PNS tersebut dapat dipekerjakan secara tetap atau berdasarkan kontrak. Dengan ketentuan ini kepegawaian di BLU dapat terdiri dari PNS, Pegawai Tetap Non-PNS, dan Pegawai Kontrak Non-PNS.
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa Tenaga Kerja adalah setiap orang yang
mampu memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pekerja/buruh adalah mereka yang bekerja pada usaha perorangan dan di berikan imbalan kerja secara harian maupun borongan sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak, baik lisan maupun tertulis, yang biasanya imbalan kerja tersebut diberikan secara harian. Buruh ada 2 (dua) yaitu Tenaga Kerja Harian (Harian Tetap dan Harian Lepas) dan Tenaga Kerja Borongan yaitu :
1. Tenaga Kerja Tetap
Tenaga kerja tetap (Permanent employee) yaitu pekerja yang memiliki perjanjian kerja dengan pengusaha untuk jangka waktu tidak tertentu. 2. Tenaga Kerja Lepas
Pegawai tidak tetap/tenaga kerja lepas adalah pegawai yang hanya menerima penghasilan apabila pegawai yang bersangkutan bekerja, jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan atau penyelesaian suatu jenis pekerjaan yang diminta oleh pemberi kerja. Hak yang diperolah Tenaga Kerja Lepas yaitu mendapatkan gaji sesuai kerjanya atau waktu kerja mereka, tanpa mendapat jaminan sosial, karena tenaga kerja tersebut bersifat kontrak, maka setelah kontrak selesai, hubungan antara pekerja dan pemberi kerja pun juga selesai.
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 100 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Pasal 10 sampai dengan Pasal 12. Perjanjian Kerja Harian Lepas ini mengecualikan beberapa ketentuan umum Pekerjaan Waktu Tertentu (PKWT), yang mana dalam Perjanjian Kerja Harian Lepas tercantum beberapa syarat antara lain :
1. Perjanjian Kerja Harian Lepas dilaksanakan untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu dan volume pekerjaan serta upah didasarkan pada kehadiran;
2. Perjanjian kerja Harian Lepas dilakukan dengan ketentuan pekerja / buruh bekerja kurang dari 21 ( dua puluh satu) hari dalam 1 ( satu ) bulan; 3. Dalam hal pekerja/buruh bekerja 21 (dua puluh satu) hari atau lebih
selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih maka perjanjian kerja harian lepas berubah menjadi Pekerjaan Waktu Tidak Tertentu ( PKWTT ).4
Perbedaan ini menjadi bahan kajian dan analisis bagi peneliti karena risiko pekerjaan dalam hal mengalami kerugian akibat paparan radiasi oleh Radiografer Non-PNS sama besarnya dengan risiko pekerjaan yang diterima oleh Radiografer yang berstatus sebagai PNS dalam hal mengalami kerugian akibat paparan radiasi.
B. Rumusan Permasalahan
Permasalahan yang dijawab dalam penelitian ini terkait dengan dua hal berikut :
1. Bagaimanakah pelaksanaan perlindungan hukum bagi Radiografer Non-PNS yang berstatus sebagai Tenaga Kesehatan Harian Lepas di Instalasi Radiologi RSUP DR.Sardjito Yogyakarta ?
2. Upaya Hukum apakah yang dapat dilakukan oleh Radiografer yang berstatus sebagai Tenaga Harian Lepas dalam hal mengalami kerugian akibat paparan radiasi di Instalasi Radiologi RSUP DR. Sardjito Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini diuraikan sebagai berikut.
1) Untuk mengetahui dan menganalisis pelaksanaan perlindungan hukum bagi Radiografer Non-PNS yang berstatus sebagai Tenaga Kesehatan Harian Lepas di Instalasi Radiologi RSUP DR.Sardjito Yogyakarta. 2) Untuk mengetahui dan menganalisis upaya hukum yang dilakukan oleh
Radiografer yang berstatus sebagai Tenaga Harian Lepas dalam hal mengalami kerugian akibat paparan radiasi di Instalasi Radiologi RSUP DR. Sardjito Yogyakarta.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan keilmuan dalam bidang hukum kesehatan, khususnya yang berkaitan dengan perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan Radiografer
atas paparan radiasi yang diterima pada saat bekerja. 2. Manfaat Praktis
a. Bagi Tenaga Kesehatan Radiografer
Diharapkan Tenaga Kesehatan Radiografer dapat mengerti, dan memahami perlindungan hukum yang diperolehnya sehubungan dengan risiko kerja yang diterimanya pada saat bekerja.
b. Bagi Rumah Sakit
Sebagai bahan masukan dalam upaya memberikan perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan khususnya dalam hal ini adalah Radiografer.
c. Bagi Peneliti selanjutnya
Dapat memberikan sumbangan informasi sekaligus untuk dijadikan bahan perbandingan bagi pihak yang ingin mengadakan penelitian lebih mendalam dengan obyek yang sama.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan, terdapat beberapa penelitian yang terkait dengan Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada petugas radiologi, yaitu :
1. Pada tahun 2009, Kustanti Eka Ruli (Mahasiswa Sekolah Pasca Sarjana Universitas Diponegoro), melakukan penelitian tentang Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pada
Petugas Radiologi Di Sebuah Rumah Sakit Di Salatiga Pada Tahun 20095.
Penelitian ini mengangkat masalah mengenai perilaku Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada petugas radiologi di sebuah Rumah Sakit Paru di Salatiga. Hasil penelitian Kustanti Eka ruli diperoleh gambaran bahwa seluruh petugas berumur di atas 18 (delapan belas) tahun sebagian mempunyai masa kerja baru dan menempuh pendidikan akademi. Separuh petugas (50%) berpengetahuan baik dan separuh petugas (50%) mempunyai pelatihan yang tidak baik. Fasilitas proteksi radiasi sebagian besar (58,7%) sesuai dengan standart. Sebagian besar (60%) petugas menyatakan peran supervisi tidak baik dan sebagian besar (80 %) menyatakan peran supervise baik. Praktiknya masih ada petugas (30 %) yang mempunyai praktik tidak baik yaitu dengan tidak menjalankan prosedur kerja dengan benar.
2. Pada tahun 2009, Rian Uthami (mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sriwijaya), Rini Mutahar dan Hamzah Hasyim (Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sriwijaya), melakukan penelitian tentang Analisis Manajemen Keselamatan Radiasi Pada Instalasi Radiologi RSUD Dr.H.M. RABAIN MUARA ENIM TAHUN 20096. Penelitian ini merupakan bahan Seminar Nasional Keselamatan Kesehatan dan Lingkungan VI Jakarta, 15-16 Juni 2010, diselenggarakan oleh PTKMR-BATAN, FKM-UI, KEMENKES-RI. Berdasarkan hasil
5 Kustanti Eka Ruli,2009,”Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Pada Petugas radiologi Di sebuah rumah Sakit Paru Di salatiga.”, Tesis, Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Diponegoro, Semarang.
6 Rian Uthami dkk,2009,” Analisis Manajemen Keselamatan Radiasi Pada Instalasi Radiologi RSUD Dr.H.M. Rabain Muara Enim”, disampaikan pada Seminar Nasional Keselamatan Kesehatan dan Lingkungan VI, PTKMR-BATAN,FKM-UI,KEMENKES-RI.
penelitian ini pelaksanaan manajemen keselamatan radiasi masih memerlukan perbaikan. Belum adanya struktur organisasi proteksi radiasi, pemakaian film badge hanya saat pemantauan dosis, kurangnya kepatuhan pekerja menggunakan peralatan proteksi, belum dilakukan pemantauan kesehatan, tidak melakukan kegiatan sesuai dengan SOP dan belum semua Radiografer mengikuti pelatihan serta masih kurangnya kordinasi antara K3 Rumah Sakit dengan Instalasi Radiologi.
Perbedaan dengan penelitian ini terletak pada subyek penelitian yang dilakukan oleh Penulis mengenai Perlindungan Hukum Bagi Radiografer Non-PNS Pada Instalasi Radiologi Di RSUP DR. SardjitoYogyakarta, dengan demikian dapat dikatakan penelitian ini telah memenuhi kaedah keaslian penelitian.