• Tidak ada hasil yang ditemukan

LP CIDERA KEPALA SEDANG.docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LP CIDERA KEPALA SEDANG.docx"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

1 CIDERA KEPALA SEDANG (CKS)

A. PENGERTIAN

Cedera Kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak (Muttaqin, 2008).

Cidera kepala adalah kerusakan neurologi yang terjadi akibat adanya trauma pada jaringan otak yang terjadi secara langsung maupun efek sekunder dari trauma yang terjadi. Cedera Kepala adalah kerusakan otak akibat perdarahan atau pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial (Smeltzer, 2010).

Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak, atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala (Tarwoto, 2007).

Disebut cedera kepala sedang bila GCS 9-12, kehilangan kesadaran atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam bahkan sampai berhari-hari. Resiko utama pasien yang mengalami cedera kepala adalah kerusakan otak akibat perdarahan atau pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan TIK (Oman, 2008).

B. PENYEBAB 1. Trauma tumpul

Kecepatan tinggi : tabrakan motor dan mobil Kecepatan rendah : terjatuh atau dipukul 2. Trauma tembus

Luka tembus peluru dari cedera tembus lainnya 3. Jatuh dari ketinggian

4. Cedera akibat kekerasan 5. Cedera otak primer

Adanya kelainan patologi otak yang timbul segera akibat langsung dari trauma. Dapat terjadi memar otak dan laserasi

6. Cedera otak sekunder

Kelainan patologi otak disebabkan kelainan biokimia metabolisme, fisiologi yang timbul setelah trauma.

(2)

2 C. KLASIFIKASI

Cedera kepala dapat dibagi 3 kelompok berdasarkan nilai GCS, (Glasgow Coma Scale) yaitu :

1. CKR (Cedera Kepala Ringan) : a) GCS > 13

b) Tidak terdapat kelainan pada CT scan otak c) Tidak memerlukan tindakan operasi

d) Lama dirawat di RS < 48 jam

2. CKS (Cidera Kepala Sedang) a) GCS 9-13

b) Ditemukan kelainan pada CT scan otak

c) Memerlukan tindakan operasi untuk lesi intrakranial d) Dirawat di RS setidaknya 48 jam

3. CKB (Cidera Kepala Berat)

Bila dalam waktu 48jam setelah trauma, nilai GCS <9. (Dewanto. 2009)

(3)

3 Glasgow Coma Scale (GCS)

No RESPON NILAI

1 Membuka Mata : -Spontan

-Terhadap rangsangan suara -Terhadap nyeri -Tidak ada 4 3 2 1 2 Verbal : -Orientasi baik -Orientasi terganggu -Kata-kata tidak jelas -Suara tidak jelas -Tidak ada respon

5 4 3 2 1 3 Motorik : - Mampu bergerak -Melokalisasi nyeri -Fleksi menarik -Fleksi abnormal -Ekstensi

-Tidak ada respon

6 5 4 3 2 1 Total 3-15

(4)

4 Cidera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme,keparahan dan morfologi cidera.antara lain

1. Mekanisme : berdasarkan adanya penetrasi duramater

a) Trauma tumpul : Kecepatan tinggi (tabrakan mobil),kecepatan rendah (terjatuh atau dipukul)

b) Trauma tembus (luka tembus peluru dan luka tembus lainya)

2. Keparahan cidera

a) Ringan

1) GCS 13 – 15

2) Tidak ada kehilangan kesadaran

3) Tidak ada infoksikasi alkohol atau obat terlarang 4) Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing

5) Pasien dapat menderita abrasi, laserasi atau hematoma kulit kepala 6) Tidak adanya kriteria cedera sedang berat.

b) Sedang

1) GCS 9 – 12

2) Amnesia pasca trauma 3) Muntah

4) Tanda kemungkinan fraktur kranium (mata rabun, hematimpanum, otorea atau rinorea cairan serebrospinal)

5) Kejang.

c) Berat

1) GCS 3 – 8

2) Penurunan derajat kesadaran secara progresif 3) Tanda neurologis fokal

4) Cedera kepala penetrasi atau teraba farktur depresi kronium

3. Morfologi

a) Fraktur tengkorak

1) Kranium : linier : depresi atua non depresi, terbuka atau tertutup. 2) Basis : dengan atau tanpa kebocoran cairan serebrospinal dengan

(5)

5 b) Lesi intrakranial

1) Fokal : epidural, subdural, intra serebral

2) Difus : konkusi ringan, konkusi klasik, cedera aksonal difus

D. MANIFESTASI KLINIK

Manifestasi klinik cedera otak sedang meliputi : 1. Gangguan kesadaran

2. Konfusi

3. Sakit kepala, vertigo, gangguan pergerakan 4. Tiba-tiba defisit neurologik

5. Perubahan TTV 6. Gangguan penglihatan 7. Disfungsi sensorik 8. Lemah otak (Oman, 2008). 1. Pola pernafasan

Pusat pernafasan diciderai oleh peningkatan TIK dan hipoksia, trauma langsung atau interupsi aliran darah. Pola pernafasan dapat berupa hipoventilasi alveolar, dangkal.

2. Kerusakan mobilitas fisik

Hemisfer atau hemiplegi akibat kerusakan pada area motorik otak. 3. Ketidakseimbangan hidrasi

Terjadi karena adanya kerusakan kelenjar hipofisis atau hipotalamus dan peningkatan TIK.

4. Aktifitas menelan

Reflek melan dari batang otak mungkin hiperaktif atau menurun sampai hilang sama sekali.

5. Kerusakan komunikasi

Pasien mengalami trauma yang mengenai hemisfer serebral menunjukkan disfasia, kehilangan kemampuan untuk menggunakan bahasa.

(6)

6 E. PATHOFISIOLOGI

Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral.

Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik.

Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 – 60 ml / menit / 100 gr. jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output.

Trauma kepala meyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas atypical-myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udem paru. Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P dan disritmia, fibrilasi atrium dan vebtrikel, takikardia.

Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi . Pengaruh persarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar (Tarwoto, 2007).

(7)

7 F. PATHWAYS

(Muttaqin, 2008)

G. KOMPLIKASI

Komplikasi dan akibat cedera kepala : 1. Gejala sisa cedera kepala berat

Bahkan setelah cedera kepala berat kebanyakan pasien dapat kembali mandiri. Akan tetapi, beberapa pasien dapat mengalami ketidakmampuan baik secara fisik (disfasia, hemiparesis, palsi saraf kranial) dan mental (gangguan kognitif, perubahan kepribadian).

2. Kebocoran cairan serebrospinal

Hal ini dapat terjadi mulai dari saat cedera, tetapi jika hubungan antara rongga subaraknoid dan telinga tengah sinus paranasal akibat fraktur basis hanya kecil dan tertutup jaringan otak, maka hal ini tidak akan terjadi dan pasien mungkin mengalami meningitis dikemudian hari.

Kebocoran cairan kapiler

Gangguan pola napas

Asupan nutrisi kurang

(8)

8 3. Epilepsi pascatrauma

Terutama terjadi pada pasien yng mengalami kejang awal (dalam minggu pertama setelah cidera), amnesia pascatrauma yang lama (lebih dari 24 jam), fraktur depresi kranium, atau hematoma intrakranial.

4. Sindrom pascakonkusi

Nyeri kepala, vertigo, depresi dan gangguan konsentrasi dapat menetap bahkan setelah cidera kepala ringan. Vertigo dapat terjadi akibat cedera vestibular.

5. Hematoma subdural kronik

Komplikasi lanjut cedera kepala ini (dapat terjadi pada cedera kepala ringan).

(Ginsberg. 2007).

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. CT-Scan (dengan/ tanpa kontras), mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.

2. Aniografi Cerebral, menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.

3. X-Ray, mengidentifikasi atau mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan/ edema).

4. AGD (Analisa Gas Darah), mendeteksi ventilasi atau masalah pernapsan (oksigenisasi) jika terjadi peningkatan intrakranial.

5. Elektrolit, untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebgai akibat peningkatan tekanan intrakranial.

6. Hemoglobiin, sebagai salah satu pertanda adanya perdarahan yang hebat. 7. Leukosit, merupakan salah satu indikator berat ringannya cidera kepala yang

terjadi.

8. Ventrikulografi udara.

9. Diagnostik Peritoneal Lavage (DPL).

I. PENATALAKSANAAN MEDIS 1. Airways dan Breathing

 Perhatian adanya apnoe

 Untuk cedera kepala berat lakukan intubasi endotracheal. Penderita mendapat ventilasi dengan oksigen 100% sampai diperoleh AGD dan dapat dilakukan penyesuaian yang tepat terhadap FiO2.

(9)

9  Tindakan hiperventilasi dilakukan hati-hati untuk mengoreksi asidosis dan menurunkan secara cepat TIK pada penderita dengan pupil yang telah berdilatasi. PCO2 harus dipertahankan antara 25-35 mmHg.

2. Circulation

Hipotensi dan hipoksia adalah merupakan penyebab utama terjadinya perburukan pada CKS. Hipotensi merupakan petunjuk adanya kehilangan darah yang cukup berat, walaupun tidak tampak. Jika terjadi hipotensi maka tindakan yang dilakukan adalah menormalkan tekanan darah. Lakukan pemberian cairan untuk mengganti volume yang hilang sementara penyebab hipotensi dicari.

3. Disability (pemeriksaan neurologis)

 Pada penderita hipotensi pemeriksaan neurologis tidak dapat dipercaya kebenarannya. Karena penderita hipotensi yang tidak menunjukkan respon terhadap stimulus apapun, ternyata menjadi normal kembali segera tekanan darahnya normal.

 Pemeriksaan neurologis meliputi pemeriksaan GCS dan reflek cahaya pupil.  Konservatif: Bedrest total, Pemberian obat-obatan, Observasi

tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran).  Obat-obatan :

Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai dengan berat ringanya traumTerapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurnagi vasodilatasi. Pengobatan anti edema dnegan larutan hipertonis yaitu manitol 20 % atau glukosa 40 % atau gliserol 10 %.

Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisillin) atau untuk infeksi anaerob diberikan metronidasol.

Makanan atau cairan, Pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrosa 5 %, amnifusin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2 – 3 hari kemudian diberikan makanan lunak.

Pada trauma berat. Karena hari-hari pertama didapat penderita mengalami penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit maka hari-hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak cairan. Dextosa 5 % 8 jam pertama, ringer dextrosa 8 jam kedua dan dextrosa 5 % 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila

(10)

10 kesadaran rendah makanan diberikan melalui nasogastric tube (2500–3000 TKTP). Pemberian protein tergantung nilai ure nitrogen  Pembedahan.

J. ASUHAN KEPERAWATAN 1. Pengkajian

 Pengkajian Primer a) Airway

Kaji adanya obstruksi jalan antara lain suara stridor, gelisah karena hipoksia, penggunaan otot bantu pernafasan, sianosis

b) Breathing

Inspeksi frekuensi nafas, apakah terjadi sianosis karena luka tembus dada, fail chest, gerakan otot pernafasan tambahan. Kaji adanya suara nafas tambahan seperti ronchi, wheezing.

c) Sirkulasi

Kaji adanya tanda-tanda syok seperti: hipotensi, takikardi, takipnea, hipotermi,pucat, akral dingin, kapilari refill>2 detik, penurunan produksi urin. d) Disability

Kaji tingkat kesadaran pasien serta kondisi secara umum. e) Eksposure

Buka semua pakaian klien untuk melihat adanya luka.  Pengkajian Sekunder

a) Kepala

Kelainan atau luka kulit kepala dan bola mata, telinga bagian luar dan membrana timpani, cedera jaringan lunak periorbital.

b) Leher

Adanya luka tembus leher, vena leher yang mengembang c) Neurologis

Penilaian fungsi otak dengan GCS d) Dada

Pemeriksaan klavikula dan semua tulang iga, suara nafas dan jantung, pemantauan EKG

e) Abdomen

Kaji adanya luka tembus abdomen, pasang NGT dengan trauma tumpul abdomen

(11)

11 f) Pelvis dan ekstremitas

Kaji adanya fraktur, denyut nadi perifer pada daerah trauma, memar dan cedera yang lain

2. Diagnosa

a) Gangguan perfusi jaringan serebral b.d penurunan aliran darah ke serebral, edema serebral

b) Pola nafas tidak efektif b.d kerusakan neuro muskuler (cedera pada pusat pernafasan otak, kerusakan persepsi /kognitif)

c) Kerusakan pertukaran gas b.d hilangnya control volunteer terhadap otot pernafasan

d) Inefektif bersihan jalan nafas b.d akumulasi sekresi, obstruksi jalan nafas e) Gangguan pola nafas b.d adanya depresi pada pusat pernafasan

f) Resiko Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d penurunan kesadaran

g) Resiko cedera b.d kejang, penurunan kesadaran

h) Gangguan eliminasi urin b.d kehilangan control volunteer pada kandung kemih

3. Intervensi

1. Diagnosa : gangguan perfusi jaringan serebral b.d penurunan aliran darah ke serebral, edema serebral

Tujuan : mempertahankan tingkat kesadaran, kognisi dan fungsi motorik dan sensorik

Intervensi :

- Kaji faktor penyebab penurunan kesadaran dan peningkatan TIK - Monitor status neurologis

- Pantau tanda-tanda vital dan peningkatan TIK

- Evaluasi pupil, batasan dan proporsinya terhadap cahaya

- Letakkan kepala dengan posisi 15-45 derajat lebih tinggi untuk mencegah peningkatan TIK

- Kolaburas pemberian oksigen sesuai dengan indikasi, pemasangan cairan IV, persiapan operasi sesuai dengan indikasi

(12)

12 2. Diagnosa : Pola nafas tidak efektif b.d kerusakan neuro muskuler (cedera

pada pusat pernafasan otak, kerusakan persepsi /kognitif) Tujuan : pola nafas pasien efektif

Intervensi :

- Kaji pernafasan (irama, frekuensi, kedalaman) catat adanya otot bantu nafas

- Kaji reflek menelan dan kemampuan mempertahankan jalan nafas

- Tinggikan bagian kepala tempat tidur dan bantu perubahan posisi secara berkala

- Lakukan pengisapan lendir, lama pengisapan tidak lebih dari 10-15 detik - Auskultasi bunyi paru, catat adanya bagian yang hipoventilasi dan bunyi

tambahan(ronchi, wheezing) - Catat pengembangan dada

- Kolaburasi : awasi seri GDA, berikan oksigen tambahan melalui kanula/ masker sesuai dengan indikasi

- Monitor pemakaian obat depresi pernafasan seperti sedatif - Lakukan program medik

3. Diagnosa : kerusakan pertukaran gas b.d hilangnya control volunteer terhadap otot pernafasan

tujuan : pasien mempertahankan oksigenasi adekuat

intervensi :

- Kaji irama atau pola nafas - Kaji bunyi nafas

- Evaluasi nilai AGD - Pantau saturasi oksigen

4. Diagnosa : Inefektif bersihan jalan nafas b.d akumulasi sekret, obstruksi jalan nafas

(13)

13 intervensi :

- Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas misal krekels, mengi, ronchi

- Kaji frekuensi pernafasan

- Tinggikan posisi kepala tempat tidur sesuai dengan indikasi

- Lakukan penghisapan lendir bila perlu, catat warna lendir yang keluar - Kolaburasi : monitor AGD

5. Diagnosa : resiko cedera b.d penurunan kesadaran

tujuan : tidak terjadi cedera pada pasien selama kejang, agitasi atu postur refleksif

intervensi :

- Pantau adanya kejang pada tangan, kaki, mulut atau wajah

- Berikan keamanan pada pasien dengan memberikan penghalang tempat tidur

- Berikan restrain halus pada ekstremitas bila perlu - Pasang pagar tempat tidur

- Jika terjadi kejang, jangan mengikat kaki dan tangan tetapi berilah bantalan pada area sekitarnya. Pertahankan jalan nafas paten tapi jangan memaksa membuka rahang

- Pertahankan tirah baring

6. Resiko Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d penurunan kesadaran

Tujuan : tidak terjadi kekurangan kebutuhan nutrisi tepenuhi

Intervensi :

- Pasang pipa lambung sesuai indikasi, periksa posisi pipa lambung setiap akan memberikan makanan

- Tinggikan bagian kepala tempat tidur setinggi 30 derajat untuk mencegah terjadinya regurgitasi dan aspirasi

- Catat makanan yang masuk - Kaji cairan gaster, muntahan

(14)

14 - Kolaburasi dengan ahli gizi dalam pemberian diet yang sesuai dengan

kondisi pasien

- Laksanakan program medik

7. Diagnosa : Gangguan eliminasi urin b.d hilangnya control volunter pada kandung kemih

tujuan : mempertahankan urin yang adekuat, tanpa retensi urin

intervensi :

- Kaji pengeluaran urin terhadap jumlah, kualitas dan berat jenis - Periksa residu kandung kemih setelah berkemih

- Pasang kateter jika diperlukan, pertahankan teknik steril selama pemasangan untuk mencegah infeksi

(15)

15 DAFTAR PUSTAKA

Dewanto, George et.al.2009. Panduan Praktis Diagnosis & Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta :EGC

Ginsberg, L. 2007. Lecture Notes Neurologi Edisi Kedelapan; alih bahasa Indah Retno; editor amalia safitri dan Rina Astikawati. Jakarta : Erlangga

Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta : Salemba Medika

Nanda international. 2012. Nursing Diagnoses Definitions And Classification 2012-2014. Oxford : wiley-blackwell

Oman, Kathlen et.al.2008. Panduan Belajar Keperawatan Emergensi; alih bahasa, Andry Hartono; editor edisi bahasa indonesia, Nur Meity Sulistya Ayu. Jakarta : EGC

Smeltzer, Bare. 2010. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Brunner & Suddarth, Edisi 8. Jakarta : EGC

Tarwoto. 2007. Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta : CV.Sagung Seto

Referensi

Dokumen terkait

Hasil yang lebih bermakna dapat diperoleh dengan membuat akun- akun anggaran yang diklasifikasikan dengan cara tertentu yang spesifik terhadap jasa tertentu namun

Pada saat saat tertentu atau khususnya saat client akan terhubung (assosiate) atau ketika akan memutuskan diri (deauthentication) dari sebuah jaringan wireless, maka

Daging buah asam jawa sangat populer, dan digunakan dalam aneka bahan masakan atau bumbu di berbagai belahan dunia. Buah yang muda sangat masam rasanya, dan biasa digunakan

pertumbuhan dan produksi adalah pada air tanah kapasitas lapang.terdapat interaksi sangat nyata antara varietas dan kadar air tanah terhadap tinggi tanaman umur 45

يكيكفتلا كأ يسنرفلا يئاسنلا م بيدلأا دقنللاا يئاسنلا م بيدلأا دقنللاا Anglo-Amerika اراغيناياج بٌايرانوس لأر Soenarjati Djajanegara ول دقنلا

$emakin lama seseorang menderita penyakit ini, semakin besar kemungkinannya akan mengalami neuropati yang umumnya secara klinis tertampak dalam &amp; tahun pertama setelah diagnosis

satu bentuk dari adanya otonomi desa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengelolaan asset desa di Desa Sitirejo, otonomi apa saja yang terlihat, serta faktor

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kemampuan siswa kelas X SMA “Institut Indonesia” I Yogyakarta tahun ajaran 2007/2008 dalam menganalisis unsur intrinsik