• Tidak ada hasil yang ditemukan

CSS CEDERA KEPALA Diyanah N Khairunnisaa

N/A
N/A
Ciwong

Academic year: 2025

Membagikan "CSS CEDERA KEPALA Diyanah N Khairunnisaa"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

Clinical Science Session

CEDERA KEPALA

Oleh :

Diyanah Nuraini (1840312747) Khairunisa (1940312025)

Preseptor :

dr. H. Syaiful Saanin, Sp.BS

BAGIAN ILMU BEDAH RSUP DR. M.DJAMIL PADANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 2020

(2)

i

KATA PENGANTAR

Rasa syukur penulis ucapkan pada Allah karena berkat rahmat dan hidayah- Nya penulis dapat menyelesaikan Clinical Scicence Session dengan judul Cedera Kepala. Laporan ini penulis susun untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan siklus Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.

Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada dr.H. Syaiful Saanin,SpBS selaku preseptor yang telah memberikan bimbingan dan arahannya. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa laporan ini masih memiliki banyak kekurangan. Untuk itu kritik dan saran sangat penulis harapkan. Akhir kata, semoga laporan keluarga binaan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Padang, 14 Mei 2020 Penulis

(3)

ii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI Iii

BAB I. PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Tujuan Penulisan 2

1.3 Batasan Penulisan 2

1.4 Metode Penulisan 2

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 3

2.1 Anatomi Kepala 3

2.2 Fisiologi 9

2.1 Cedera Kepala 12

2.1.1 Definisi 12

2.1.2 Epidemiologi 12

2.1.3 Etiologi 13

2.1.4 Klasifikasi 14

2.1.5 Patogenesis dan Patofisiologi 18

2.1.6 Tatalaksana awal dan evlauasi 21

2.1.7 Diagnosis 27

2.1.8 Tatalaksana 32

2.1.9 Prognosis 41

2.1.10 Komplikasi 42

BAB 4. PENUTUP 44

4.1.1 Kesimpulan 44

DAFTAR PUSTAKA 45

(4)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Cedera kepala merupakan salah satu jenis cedera yang terbanyak di Unit Gawat Darurat rumah sakit. Banyak pasien cedera kepala berat meninggal sebelum tiba di rumah sakit, dan sekitar 90 % kematian pra rumah sakit disebabkan karena cedera kepala. Pasien yang dapat bertahan hidup dari cedera kepala seringkali menderita kecacatan neurofisiologis yang akan menyebabkan ketidakmampuan untuk bekerja atau aktifitas sosial lainnya. Sekitar 75% pasien dengan cedera otak yang menerima perawatan medis dapat dikategorikan memiliki cedera ringan, 15% sedang, dan 10%

lebih parah. Data terbaru Amerika Serikat memperkirakan 1.700.000 cedera otak traumatis terjadi setiap tahun, termasuk 275.000 dirawat di rumah sakit dan 52.000 kematian. Insidensinya mengalami kenaikan di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Peningkatan ini erat hubungannya dengan meningkatnya industrialisasi dan pesatnya pertumbuhan kendaraan bermotor.1,2,3

Cedera intrakranial akut seringkali berkaitan dengan kerusakan neurologis yang berat. Penyebab terjadinya cedera kepala termasuk kecelakaan lalulintas, kekerasan/pemukulan,jatuh, cedera olahraga, dan kecelakaan industri. Beragam faktor mempengaruhi terjadinya cedera kepala serius.(mz arifin) Fokus utama dalam penanganan pasien dengan kecurigaan cedera kepala, terutama cedera kepala berat adalah harus mencegah cedera otak sekunder. Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan mempertahankan tekanan darah yang cukup untuk perfusi otak merupakan langkah paling penting untuk menghindarkan terjadinya cedera otak sekunder, yang pada akhirnya akan meningkatkan tingkat kesembuhan pasien.1

Sistim triase bagi pasien cedera kepala tergantung pada beratnya cedera dan fasilitas yang ada di tempat pertolongan pertama. Pada kondisi dimana tidak terdapat fasilitas bedah saraf, diharapkan tenaga medis setempat mempunyai kompetensi yang baik dalam penanganan awal sebelum melakukan rujukan, bahkan dapat merawat pasien-pasien yang dapat ditangani secara non operatif, untuk mengurangi rujukan

(5)

2

pada kasus yang seharusnya dapat ditangani di daerah dengan tetap memperhatikan keselamatan pasien dan outcome yang baik. Konsultasi dengan ahli bedah saraf harus dilakukan seawal mungkin, terutama bila pasien mengalami koma atau dicurigai mengalami cedera kepala dengan perdarahan intrakranial.1

Jika morbiditas dan mortalitas yang disebabkan oleh cedera kepala harus dikurangi, maka sangat penting bagi semua dokter untuk memahami aspek-aspek patofisiologi cedera kepala dan penatalaksanaan yang tepat untuk cedera kepala, tulang tengkorak dan otak.3

1.2 Tujuan Penulisan

Penulisan clinical science session ini bertujuan untuk memahami serta menambah pengetahuan tentang cedera kepala.

1.3 Batasan Penulisan

Clinical science session ini membahasa dan terbatas mengenai cedera kepala.

1.4 Metode Penulisan

Penulisan clinical science session ini menggunakan berbagai literature sebagai sumber kepustakaan.

(6)

3

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Kepala

Anatomi kepala terdiri atas scalp, tengkorak, meningen otak, sistem ventrikuler dan kompartemen intrakranial.

a. Kulit Kepala

Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu skin atau kulit, connective tissue/jaringan penyambung, aponeuris/galea aponeurotika yaitu jaringan ikat yang berhubungan langsung dengan tengkorak, loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar dan perikranium yaitu jaringan penunjang longgar yang memisahkan galea aponeurotika dari perikranium dan biasanya terjadi perdarahan subgaleal.4

Dikarenakan scalp banyak mengandung pembuluh darah, laserasi scalp dapat menyebabkan kehilangan darah yang berat, syok hemoragik dan bahkan kematian. Pasien yang ditransport dengan waktu yang lama paling berisiko untuk mengalami komplikasi ini.5

b. Tulang Tengkorak

Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum.4

Dasar tulang tengkorak berbentuk ireguler dan permukaannya dapat menyebabkan injuri ketika otak bergerak dalam tulang tengkorak selama aselerasi dan deselerasi yang terjadi selama peristiwa traumatic. Fossa anterior

(7)

4

lobus frontalis, fossa media lobus temporal dan fossa posterior terdapat serebellum dan batang otak bagian bawah.5

Gambar 2.1 Anatomi Kranial. Arah panah menunjukkan produksi, sirkulasi dan resorpsi LCS.

(8)

5

c. Meninges

Meninges melapisi otak dan terdiri atas tiga lapis: duramater, arachnoid mater, dan pia mater. Duramater bersifat keras, membran fibrosa yang melekat ke lapisan dalam tulang tengkorak. Pada tempat tertentu, dura membelah menjadi dua dan terdapat sinus venousus, yang menyuplai drainage vena mayor dari otak. Sinus sagital superior midline drains ke sinus transverse bilateral dan sinus sigmoid yang biasanya lebih besar pada sisi kanan. Laserasi sinus venosus ini dapat menyebabkan hemoragis masif.5

Arteri meningea terletak diantara dura dan permukaan internal tulang tengkorak pada ruang epidural. Fraktur tengkorak dapat menyebabkan laserasi arteri ini dan menyebabkan epidural hematom. Kerusakan pembuluh darah meningeal yang terbanyak adalah arteri meningea media, yang terletak disekitar fossa temporal. Hematoma dari kerusakan arteri pada lokasi ini dapat menyebabkan deteriorasi yang cepat dan kematian. Epidural hematom juga dapat terjadi akibat injuri sinus duraal dan dari fraktur tengkorak yang menyebar secara lambat dan menyebabkan tekanan yang lebih sedikit pada otak. Bagaimanapun, kebanyakan epidural hematom merupakan kegawatdaruratan yang mengancam nyawa yang harus dievaluasi oleh ahli bedah saraf secepat mungkin.5

Di bawah dura adalah lapisan meningeal kedua: tipis, transparan, arachnoid mater. Karena dura tidak melekat ke membran arachnoid dibawahnya, terdapat suatu ruang potensial antara lapisan ini, ruang subdural, dimana dapat terjadi perdarahan dilokasi ini. Pada cedera otak, bridging veins yang melewati permukaan otak ke sinus venosus di dalam dura dapat robek, menyebabkan terbentuknya hamatoma subdural.5

Lapisan ketiga, pia mater, melengket pada permukaan otak. Cairan cerebrospinal mengisi ruang antara arachnoid mater yang tahan air dan piamater (ruang subarachnoid), sebagai bantalan otak dan spinal cord.

Perdarahan pada ruang berisi cairan ini (perdarahan subarahnoid) biasanya diikuti dengan kontusio otak dan injuri pembuluh darah besar pada dasar otak.5

(9)

6

Gambar 2.2 Tiga Lapisan Meninges duramater, arachnoid mater, dan pia mater.

d. Otak

Otak terdiri atas serebrum, batang otak, dan serebellum. Serebrum terdiri atas hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falx serebri. Hemisfer kiri mengatur kemampuan bahasa pada orang tangan kanan dan lebih dari 85%

orang kiri. Lobus frontal mengontrol fungsi eksekutif, emosi, fungsi mototrik, dan pada sisi dominan, ekspresi speech (area motor speech). Lobus parietal meneruskan fungsi sensoris dan orientasi spasial, lobus temporal meregulasi dungsi memori tertentu, dan lobus oksipital bertanggungjawab terhadap penglihatan.5

Batang otak terdiri atas midbrain, pons, dan medulla. Pada midbrain dan pons bagian atas terdapat reticular activating system, yang bertanggungjawab terhadap kesadaran. Pusat vital kardiorespirasi terdapat pada medulla, yang terhubung dengan spinal cord. Lesi kecil pada batang otak dapat berhubungan dengan defisit neurologis berat.5

Serebellum, mengatur fungsi koordinasi dan keseimbangan, terproyeksi posterior pada fossa posterior dan berhubungan dengan spinal cord, batang otak, dan hemisfer serebri.5

e. Sistem ventrikular

Ventrikel merupakan suatu sistem yang merupakan ruang yang berisi cairan LCS dan akuaduktus dalam otak. CSF diproduksi secara konstan didalam ventrikel dan diabsorbsi oleh permukaan otak. Terdapatnya darah pada CSF

(10)

7

dapat mengganggu proses reabsorpsi, menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial. Edema dan lesi massa (contoh : hematoma) dapat menyebabkan pergeseran sistem ventrikel, dapat diidentifikasi melalui CT scan.5

f. Kompertemen intrakranial

Partisi meningeal membagi otak menjadi beberapa bagian. Tentorium serebelli membagi kavitas intrakranial menjadi kompartemen supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan kompartemen infratentorial (berisi fosa kranii posterior). Midbrain lewat melalui suatu bukaan yang disebut hiatus tentorial atau notch. Nervus okulomotor (N.III) berjalan melalui tepi tentorium dan dapat terkompresi ketika terjadi herniasi lobus temporal. Fiber parasimpatik yang berfungsi dalam konstriksi pupil terletak pada permukaan N.III, kompresi pada permukaan fiber selama herniasi menyebabkan dilatasi pupil karena aktivitas simaptik yang berlawanan, sering disebut blown pupil.5

Gambar 2.3 Blown Pupil

Bagian otak yang biasanya mengalamai herniasi melalui notch tentorial adalah bagian medial lobus temporal, yang dikenal dengan unkus. Herniasi unkal juga menyebabkan kompresi traktus kortikospinal (pyramidal) pada midbrain. Traktus motoris lewat pada sisi berlawanan pada foramen magnum, sehingga kompresi pada tingkat midbrain menyebabkan kelemahan pada sisi

(11)

8

tubuh yang berlawanan (kontralateral hemiparesis). Dilatasi pupil ipsilateral berhubungan dengan hemiparesis kontralateral merupakan tanda klasik herniasi unkal. Pendorongan massa lesi pada sisi berlawanan dengan midbrain terhadap tepi tentorial menyebabkan hemiparesis dan dilatasi pupil pada sisi yang sama dengan hematom.5

g. Vaskularisasi Otak

Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis.

Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk sirkulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis.6

Gambar 2.4 Vaskularisasi Otak h. Cairan Serebrospinal

Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan tekanan intracranial. Angka rata-

(12)

9

rata pada kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari.7

2.2 Fisiologi

Konsep fisiologi yang berhubungan dengan cedera kepala termasuk tekanan intrakranial, doktrin Monro-Kellie, dan aliran darah seberal.5

a. Tekanan intrakranial

Peningkatan tekanan intrakranial dapat menurunkan perfusi serebral dan menyebabkan atau mengeksaserbasi iskemik. Tekanan intrakranial normal pada pasien dalam keadaan istirahat sekitar 10 mmHg. Tekanan lebih dari 22 mmHg, terutama jika menetap atau refrakter terhadap pengobatan, berhubungan dengan outcome yang buruk.5

b. Doktrin Monro-Kellie

Doktrin Monro-Kellie merupakan konsep yang simpel, vital dalam menjelaskan dinamika tekanan intrakranial. Doktrin menyebutkan bahwa volume total intrakranial harus konstan, karena kranium adalah kontainer rigid yang tidak dapat mengembang. Ketika volume intrakranial berlebihan, TIK meningkat. Darah vena dan CSF dapat dikompres dari kontainer, sebagai buffer tekanan. Sehingga, segera setelah injuri, suatu massa seperti bekuan darah dapat membesar sementara TIK tetap normal. Akan tetapi, ketika limit displacement CSF dan darah intravaskular terlah tercapai, TIK meningkat secara cepat.5

Konsep utama Volume intrakranial adalah selalu konstan karena sifat dasar dari tulang tengkorak yang tidak elastik. Volume intrakranial (Vic) adalah sama dengan jumlah total volume komponen-komponennya yaitu volume jaringan otak (V br), volume cairan serebrospinal (V csf) dan volume darah (Vbl).

Vic = V br+ V csf + V bl4

(13)

10

Gambar 2.5 Doktrin Monro-Kellie dalam kompensasi intracranial terhadap ekspansi massa.

c. Tekanan perfusi otak

Tekanan perfusi otak merupakan selisih antara tekanan arteri rata-rata (mean arterial presure) dengan tekanan intrakranial. Apabila nilai TPO kurang dari 70mmHg akan memberikan prognosa yang buruk bagi penderita.4

d. Aliran darah otak (ADO)

Traumatic brain injury berat yang dapat menyebabkan koma ditandai dengan menurunnya aliran darah serebral selama beberapa jam pertama setelah trauma.

Aliran darah serebral biasanya meningkat setelah 2 sampai 3 hari berikutnya, tapi pada pasien yang tetap koma, aliran darah serebral berada di bawah normal selama beberapa hari atau minggu setelah trauma. Terdapat bukti nyata bahwa level aliran darah serebral rendah tidak memenuhi kebutuhan metabolik otak segera setelah trauma. Iskemia serebral regional, bahkan global biasa terjadi setelah cedera kepala berat untuk alasan yang diketahui dan tidak tentu.5

(14)

11

Vaskularisasi serebral prekapiler biasanya dapat berkonstriksi atau dilatasi sebagai respon terhadap perubahan mean arterial blood pressure (MAP). Untuk kepentingan klinis, tekanan perfusi serebral (CPP) didefinisikan sebagai CPP = MAP – ICP. Nilai MAP 50 – 150 mmHg merupakan autoregulasi untuk mempertahankan aliran darah serebral yang konstan (autoregulasi tekanan).

Traumatic brain injury berat dapat mempengaruhi autoregulasi tekanan sampai titik dimana otak tidak dapat melakukan kompensasi lagi secara adekuat untuk perubahan tekanan perfusi serebral. Pada keadaan ini, jika MAP terlalu rendah, dapat terjadi iskemia dan infark. Jika MAP terlalu tinggi, edema otak terjadi dengan peningkatan TIK.5

Aliran darah serebral juga berkonstriksi atau dilatasi dalam merespon perubahan tekanan parsial oksigen (PaO2) dan tekanan parsial karbon dioksida (PaCO2) darah (regulasi kimia). Dengan demikian, injuri sekunder dapat terjadi dari hipotensi, hipoksia, hiperkapnia, dan hipokapnia iatrogenik.5

Usaha untuk mempertahanakan perfusi serebral dan aliran darah dengan menurunkan peningkatan TIK, mempertahankan volume intravaskular normal dan MAP, dan mengembalikan oksigenisasi normal dan ventilasi. Hematom dan lesi lain yang meningkatkan volume intrakranial harus dievakuasi secepatnya.

Mempertahankan tekanan perfusi serebral normal dapat memperbaiki aliran darah serebral; bagaimanapun tekanan perfusi serebral tidak sama dengan atau aliran darah serebral yang adekuat. Ketika mekanisme kompensasi exhausted dan TIK meningkat secara eksponensial, perfusi otak menurun.5

ADO normal kira-kira 50 ml/100 gr jaringan otak permenit. Bila ADO menurun sampai 20-25ml/100 gr/menit maka aktivitas EEG akan menghilang. Apabila ADO sebesar 5ml/100 gr/menit maka sel-sel otak akan mengalami kematian dan kerusakan yang menetap.4

(15)

12

Gambar 2.6 Kurva Volume-Tekanan. Konten intracranial awalnya dapat melakukan kompensasi terhadap massa intracranial baru, seperti subdural hematoma atau epidural hematom. Ketika volume massa ini mencapai titik ambang batas kritis, peningkatan TIK cepat terjadi yang dapat mereduksi atau

menghentikan aliran darah otak.

2.3 Cedera Kepala 2.3.1 Definisi

Cedera kepala didefinisikan sebagai trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat pada gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, yang dapat bersifat temporer ataupun permanen. Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan / benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran, sehingga menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.5

2.3.2 Epidemiologi

Cedera kepala sangat sering dijumpai. Di Amerika Serikat setiap tahunnya kejadian cedera kepala diperkirakan mencapai 500.000 kasus. 10% dari penderita cedera kepala meninggal sebelum datang ke rumah sakit. Lebih dari 100.000 penderita menderita berbagai tingkat kecacatan akibat cedera kepala. Menurut data

(16)

13

yang didapatkan di Amerika kecelakaan terjadi hampir setiap 15 menit, dimana sekitar 60% diantaranya besifat fatal akibat terdapat cedera kepala. Cedera kepala masih merupakan penyebab utama kesakitan dan kecacatan pada usia <35 tahun.

Dari seluruh kasus cedera kepala, 3-5% memerlukan tindakan operasi.8

Di Indonesia tidak terdapat data nasional mengenai cedera kepala. Pada tahun 2005, di RSCM terdapat 434 pasien cedera kepala ringan, 315 pasien cedera kepala sedang dan 28 pasien cedera kepala berat.4 Data yang didapat di Indonesia terjadi 55.498 kecelakaan lalu lintas dimana setiap harinya meninggal sebanyak 34 orang dan 80% penyebabnya adalah cedera kepala. Menurut data di RSCM, terjadi 96%

trauma kapitis yang disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, dimana 76%

diantaranya terjadi pada usia muda ± 25 tahun. Dari seluruh kasus cedera kepala, sebanyak 84% hanya memerlukan tindakan konservatif. Sekitar 28% saja penderita cedera kepala yang menjalani pemeriksaan CT-Scan.9

Kontribusi paling banyak terhadap cedera kepala serius adalah kecelakaan sepeda motor dan sebagian besar diantaranya tidak menggunakan helm atau menggunakan helm yang tidak sesuai. Dalam hal ini yang dimaksud dengan tidak sesuai adalah helm yang terlalu tipis dan penggunaan helm tanpa ikatan yang memadai sehingga penderita terjatuh, helm sudah terlepas sebelum kepala membentur lantai.6

2.3.3 Etiologi

Sebagian besar pasien cedera kepala disebabkan oleh kecelakaan lalu-lintas, berupa tabrakan sepeda motor, mobil, sepeda dan penyebrang jalan yang ditabrak.

Sisanya disebabkan oleh jatuh dari ketinggian, tertimpa benda (misalnya ranting pohon, kayu), olahraga, korban kekerasan baik benda tumpul ataupun tajam, kecelakaan kerja, kecelakaan rumah tangga, kecelakaan olahraga, trauma tembak, dan lain sebagaiannya.6

Penyebab cedera kepala dibagi menjadi cedera primer yaitu cedera yang terjadi akibat benturan langsung maupun tidak langsung dan cedera sekunder yaitu cedera yang terjadi akibat cedera saraf melalui akson meluas, hipertensi intrakranial, hipoksia, hiperkapnea/hipotensi sistemik. Cedera sekunder merupakan cedera yang

(17)

14

terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer yaitu perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi.

Berdasarkan Advanced Trauma Life Support (ATLS) klasifikasi berdasarkan mekanisme, cedera kepala dibagi menjadi :2

1. Cedera kepala tumpul biasanya disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atapun terkena pukulan benda tumpul.

2. Cedera kepala tembus biasanya disebabkan oleh luka tusukan, atau luka tembak.

Adapun mekanisme cedera kepala juga dapat dibagi menjadi : 1. Secara statis (Static Loading)

Beban statik timbul perlahan-lahan, dalam hal ini tenaga tekanan mengenai kepala secara bertahap. Walaupun mekanisme ini tidak lazim, namun hal ini bisa terjadi jika kepala mengalami gencatan atau efek tekanan yang lambat berlangsung >20 milisekon. Jika kekuatan tenaga tersebut cukup besar dapat mengakibatkan keretakan tulang (egg-shell fracture), fraktur multipel atau komunutif dari tengkorak atau dasar tulang tengkorak.

Biasanya gangguan kesadaran atau defisit neurologis yang khas akibat mekanisme jenis ini masih tidak ada, kecuali bila deformitas tengkorak demikian hebatnya ehingga menimbulkan kompresi dan distorsi jaringan otak.13

2. Secara dinamik (Dynamic Loading)

Mekanisme cedera kepala yang lebih umum terjadi adalah akibat beban dinamik, dimana peristiwa tersebut berlangsung dalam waktu yang lebih singkat (<20 milisekon). Durasi pembebanan yang terjadi merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan jenis trauma kepala yang terjadi.

Beban dinamik ini dibagi menjadi 2 jenis yaitu beban guncangan (impulsive loading) dan beban benturan (impact loading).13

(18)

15 - Beban guncangan terjadi jika kepala mengalami kombinasi antara akselerasi-deselerasi secara mendadak, kepala yang diam secara tiba- tiba digeakkan secara mendadak atau sebaliknya, ika kepala yang sedang bergerak tiba-tiba dihentikan tanpa mengalami suatu benturan.

- Beban benturan merupakan jenis beban dinamik yang lebih sering terjadi dan biasanya merupakan kombinasi kekuatan beban kontak dan kekuatan beban lanjut. Respon kepala terhadap beban-beban ini tergantung dari objek yang membentur kepala.13

2.3.4 Klasifikasi

Cedera kepala diklasifikasikan menjadi beberapa cara. Untuk kepentingan klinis, severitas cedera dan morfologi biasanya digunakan sebagai klasifikasi.10 a. Berdasarkan Beratnya Cedera Kepala

Skor Glasgow coma scale (GCS) digunakan sebagai patokan klinis yang objektif dalam menilai severitas cedera otak. Skor GCS 8 atau kurang biasanya didefinisikan sebagai koma atau cedera otak berat. Pasien cedera otak dengan skor GCS 9 hingga 12 dikategorikan sebagai cedera sedang, dan individu dengan skor GCS 13-15 dikatakan cedera otak ringan. Dalam menilai skor GCS, ketika terdapat asimetri ekstremitas kanan/kiri bawah atau atas, pastikan respon motor terbaik untuk menghitung skor, karena skor ini merupakan prediktor terbaik dalam menilai outcome. Akan tetapi, respon kedua sisi tubuh, wajah, lengan, dan kaki tetap harus dicatat.10

b. Berdasarkan Lokasi Lesi 1. Lesi Difus

Cedera kepala ini disebub dengan istilah difus karena secara makroskopik tidak ditemukan adanya lesi yang dapat menimbulkan gangguan fungsi neurologic mesikupun kenyataannya pasien mengalami amnesia atau penurunan kesadaran bahkan sampai koma. Penurunan kesadaran dan/atau kelainan neurologic tersebut bukan disebabkan karena penekanan ataupun distorsi batang otak oleh massa yang mendesak, tetapi lebih banyak disebabkan oleh kerusakan langsung pada batang otak atau jaringan

(19)

16

serebrum. Pemeriksaan patologis telah membuktikan adanya kerusakan pada sejumlah besar akson mulai dari derajat yang ringan berupa regangan sampai derajat yang lebih berat berupa disrupsi/putusnya akson. Manifestasi klinisnya umumnya bergantung pada banyak sedikitnya akson yang mengalami kerusakan. Pada keadaan yang berat proses akselerasi dan deselerasi juga menyebabkan kerusakan jaringan pembuluh darah sehingga pada CT Scan sering tampak gambaran bercak-bercak perdarahan di substansia alba mulai dari subkorteks, korpus kallosum sampai ke batang otak, serta edema di daerah yang mengalami kerusakan. Jadi pada CT Scan hanya terlihat kerusakan yang seringkali menyertai kerusakan difus pada akson yang berupa bercak-bercak perdarahan yang lebih dikenal dengan istilah tissuse tear hemorrages.6 Manifestasi klinis bergantung dari berat ringan cedera otak difus, yaitu sebagai berikut :

- Cedera Akson Difus (Diffuse Axonal Injury = dai)

Keadaan ini ditandai dengan adanya koma yang berlangsung lebih dari 6 jam. Pemeriksaan radiologis tidak menunjukkan adanya lesi fokal baik berupa massa maupun daerah yang iskemik. Gambaran klinis DAI ditandai dengan koma sejak kejadian, suatu keadaan dimana pasien secara total tidak sadar terhadap dirinya dan sekelilingnya, serta tidak mampu memberi reaksi yang berarti terhadap rangsangan dari luar.

Koma disini disebabkan oleh karena kerusakan langsung dari akson sehingga dipakai istilah cedera akson difus. Untuk kepentingan klinis dan penentuan prognosis DAI dibagi menjadi :

1. DAI Ringan. Koma berlangsung selama 6-24 jam. Bisa disertai defisit neurologik dan kognitif yag berlangsung cukup lama sampai permanen. Jenis ini relatif jarang ditemukan.

2. DAI Sedang. Koma berlangsung >24 jam tanpa disertai gangguan fungsi batang otak. Jenis ini banyak ditemui, terdapat pada 45% dari smeua kasus DAI. Dengan terapi agresif angka kematiannya adalah 20%.

(20)

17

3. DAI Berat. Koma berlangsung >24 jam dan disertai disfungsi batang otak tanpa adanya proses desak ruang yang berarti. Angka kematiannya mencapai 57% dan menyebabkan cacat neurologis yang berat.7

- Cedeta Vaskular Difus (Diffuse Vaskular Injury = DVI)

Ditandai dengan perdarahan kecil yang menyebar pada seluruh hemisfer, khususnya substansia alba daerah lobus frontal, temporal, dan batang otak. Biasanya pasien segera meninggal dalam beberapa menit.6

Gambar 2.7 Klasifikasi Cedera Kepala 2. Lesi Fokal

- Epidural Hematoma atau hematoma ekstradural

Epidural hematom jarang terjadi, berkisar 0,5% pada pasien dengan cedera otak dan 9% pada pasien dengan traumatic brain injury yang mengalami komatus. Hematoma ini berbentuk tipikal bikonveks atau lentikuler karena pendorongan dura dari tulang tengkorak. Hematom in biasanya terletak pada regio temporal atau temporoparietal dan sering disebabkan robeknya arteri meningea media karena fraktur. Gumpalan ini secara klasik berasal dari arteri, akan tetapi, dapat juga terbentuk karena disrupsi sinus venosus mayor atau perdarahan fraktur tengkorak.

Presentasi klasik epidural hematom adalah adanya lucid interval antara waktu terjadinya cedera dan defisit neurologis.10

(21)

18

- Subdural Hematom

Subdural hematom lebih sering terjadi dibanding epidural hematom, angka kejadian mencapai 30% pada pasien dengan cedera otak berat.

SDH berasal dari shearing kecil pada permukaan atau pembuluh darah bridging korteks serebri. Berlawanan dengan bentuk lentikuler epidural hematom pada CT scan, subdural hematom sering tampak mengikuti kontur otak. Kerusakan akibat subdural hematom akut biasanya jauh lebih berat daripada epidural hematom karena adanya cedera parenkim konkomitan.10

- Hematoma subarachnoid

Paling sering ditemukan pada cedera kepala, umumnya menyertai lesi lain. Perdarahan terletak diantara arachnoid dan piamater serta mengisi ruang subarachnoid.6,13

- Hematoma intraserebral

Hematoma intraserebral merupakan hematoma yang terbentuk pada jaringan otak (parenkim) akibat robekan pembuluh darah. Terutama melibatkan lobus frontal dan temporal (80-90%), tetapi dapat juga melibatkan korpus kallosum, batang otak dan ganglia basalis.6,13

- Hematoma intraserebellar

Hematoma intraserebellar merupakan perdarahan yang terjadi pada serebellum. Lesi ini jarang terjadi pada trauma, umumnya merupakan perdarahan spontan.6,13

c. Berdasarkan saat terjadinya

Lesi yang dapat timbul pada cedera kepala terdiri atas 2 jenis, yaitu lesi primer dan lesi sekunder.

1. Lesi primer

Lesi primer timbul langsung pada saat terjadinya trauma, bisa bersifat lokal maupun difus.

(22)

19

- Lesi lokal berupa robekan pada kulit kepala, otot-otot, dapat terjadi perdarahan subgaleal maupun fraktur tulang tengkorak, serta kontusio jaringan otak.

- Lesi difus merupakan cedera aksonal difus dan kerusakan mikrovaskular difus.6

2. Lesi sekunder

Lesi sekunder timbul beberapa saat setelah terjadi trauma, menyusul kerusakan primer. Umumnya disebabkan oleh keadaan iskemi-hipoksia, edema serebri, vasodilatasi, perdarahan subdural, perdarahan epidural, perdarahan subarachnoid, perdarahan intraserebral, dan infeksi.6

d. Berdasarkan Patologi

1. Komosio serebri/cedera kepala ringan

Cedera Kepala Ringan (CKR) adalah klasifikasi berdasarkan pemeriksaan klinis, sedangkan komosio serebri adalah klasifikasi berdasarkan patologi.

CKR dianologikan sama dengan komosio serebri.klasifikasi CKR lebih umum dipakai karena memiliki keuntungan yaitu :

o GCS berguna untuk menilai berat-ringannya cedera dan dapat dipakai sebagai monitoringkondisi pasien.

o Menilai scanning otak sehingga akurasi adanya kerusakan otak lebih tinggi.6,13

2. Kontusio serebri

Kontusio serebri merupakan kerusakan jaringan otak tanpa disertai robeknya piamater. Kerusakan tersebut berupa gabungan antara daerah perdarahan, nekrosis otak dan infark. Terutama melibatkan puncak-puncak gyrus karena bagian ini akan bergesekan dengan penonjolan dan lekukan tulang saat terjadi benturan. Terdapat perdarahan kecil disertai edema pada parenkim otak. Dapat timbul perubhana patologi pada tempat cedera (coup) atau ditempat yang berlawanan dari cedera (countre-coup).6,13

Lesi kontusio bersifat progresif oleh karena perdarahan yang terus berlangsung, iskemik-nekrosis dan diikuti oleh edema vasogenik.

(23)

20

Selanjutnya lesi akan mengalami reabsorbsi terhadap eritrosit yang lisis (48- 72) jam, disusul dengan infiltrasi makrofag (24 jam sampai beberapa minggu) dan gliosis aktif yang terus berlangsung secara progresif (mulai dari 48 jam). Secara makroskopik terlihat sebagai lesi kistik kecokelatan.6,13 Gejala yang timbul bergantung pada ukuran dan lokasi kontusio. Jika melibatkan lobus frontal dan temporal bilateral, disebut cedera tetrapolar, memberikan gejala TTIK (Tekanan Tinggi Intra Kranial), tanpa pergeseran garis tengaj (midline shift), dan disertai koma atau penuruna kesadaran yang progresif. Gambaran CT Scan berupa daerah kecil hiperdens yang dikelilingi oleh daerah hipodens karena edema dan jaringan otak yang nekrosis.6,13 3. Laserasio serebri

Laserasio serebri merupakan kerusakan jaringan otak disertai dengan robeknya piamater. Laserasi biasanya berkaitan dengan adanya perdarahan subarachnoid traumatika, subdural akut, dan intraserebral. Laserasio dapat dibedakan atas laserasio langsung dan tidak langsung. Laserasio langsung disebabkan oleh luka tembus kepala yang disebabkan oleh benda asing atau penetrasi fragmen fraktur terutama pada fraktur depressed terbuka, sedangkan laserasio tidak langsung disebabkan oleh deformasi jaringan yang hebat akibat dari kekuatan mekanis.6,13

2.3.6 Patogenesis-Patofisiologi

Gambar 2.8 Akselerasi-Deselerasi

(24)

21

Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselerasi deselerasi gerakan kepala. Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup. Akselarasi- deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup). Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer yaitu berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intracranial dan perubahan neurokimiawi.6

Trauma pada kepala dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan otak langsung (primer) yang disebabkan oleh efek mekanik dari luar. Perluasan kerusakan dari jaringan otak (sekunder) disebabkan oleh berbagai faktor seperti : kerusakan sawar darah otak, gangguan aliran darah otak, gangguan metabolisme otak, gangguan hormonal, pengeluaran bahan-bahan neurotransmitter, eritrosit, opioid endogen, reaksi inflamasi dan radikal bebas. Kulit kepala dan tengkorak merupakan unsur pelindung bagi jaringan otak terhadap benturan pada kepala. Bila terjadi benturan, sebagian tenaga benturan akan diserap atau dikurangi oleh unsur pelindung tersebut. Sebagian tenaga benturan dihantarkan ke tengkorak yang relative memiliki elastisitas, yakni tengkorak mampu sedikit melekuk kea rah dalam. Tekanan maksimal terjadi pada saat benturan dan beberapa milidetik kemudian diikuti dengan getaran-getaram yang berangsur mengecil hingga reda.

Pukulan yang lebih kuat akan menyebabkan terjadinya deformitas tengkorak dengan

(25)

22

lekukan yang sesuai dengan arah datangnya benturan dimana besarnya lekukan sesuai dengan sudut datangnya arah benturan. Bila lekukan melebihi batas toleransi jaringan tengkorak, tengkorak akan mengalami fraktur. Fraktur tengkorak dapat berbentuk sebagai garis lurus, impresi/depresi, diastase sutura atau fraktur multiple disertai fraktur dasar tengkorak.6

Mekanisme utama pada cedera kepala ringan adalah shear strain. Kekuatan rotasional dapat timbul sekalipun pada kecelakaan yang dianggap tidak berarti dan tidak perlu adanya cedera coup dan contrecoup yang jelas. Hal ini menimbulkan rengan pada akson-akson dengan akibat gangguan konduksi dan hilangnya fungsi.

Perubahan-perubahan tersebut diatas dikenal sebagai Diffuse Azonal Injury.1 2.3.7 Manifestasi Klinis

Menurut Reisner, gejala klinis cedera kepala yang dapat membantu mendiagnosis adalah battle sign (warna biru atau ekimosis dibelakang telinga di atas os mastod), hemotipanum (perdarahan di daerah membrane timpani telinga), periorobital ekhimosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung), rhinorrhoe (cairan serebrospinal keluar dari hidung), otorrhoe (cairan serebrospinal keluar dari telinga).11,12

Tanda-tanda atau gejala klinis untuk cedera kepala ringan adalah pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat kemudian sembuh, sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan, mual dana tau muntah, gangguan tidur dan Nafsu makan yang menurun, perubahan kepribadian diri dan letargik. Tanda- tanda atau gejala klinis untuk yang cedera kepala berat adalah perubahan ukuran pupil (anisokoria), trias Cushing (denyut jantung menurun, Hipertensi dan depresi pernafasan) apabila meningkatnya tekanan intracranial, terdapat pergerakan atau posisi abnormal ekstremitas.11,12

2.3.7.1 Hematoma ekstradural/epidural (EDH)

Sebagian besar kasus diakibatkan oleh robeknya arteri meningea media.

Perdarahan terletak di antara tulang tengkorak dan duramater. Gejala klinisnya adalah adanya lucid interval yaitu selang waktu antara pasien masih sadar setelah kejadian trauma kranioserebral dengan penurunan

(26)

23

kesadaran yang terjadi kemudian. Biasanya waktu perubahan kesadaran ini

< 24 jam. Gejala lain yaitu nyeri kepala, muntah proyektil, pupil anisokor dengan midriasis di sisi lesi, hemiparesis dan reflex patologis Babinski positif kontralateral lesi yang terjadi terlambat.11,12

2.3.7.2 Hematoma subdural (SDH)

Terjadi akibat robeknya vena-vena jembatan, sinus venosus duramater atau robeknya araknoidea. Perdarahan terletak diantara duramater dan araknoidea. Gejala klinis berupa nyeri kepala yang semakin berat, muntah proyektil dan terjadi penurunan kesadaran apabila SDH semakin besar yang menekan jaringan otak sehingga mengganggu ARAS.11,12

2.3.7.3 Cedera otak difus

Terjadi keruskaan baik pada pembuluh darah maupun pada parenkim otak, disertai edema. Keadaan pasien umumnya buruk.11,12

2.3.7.4 Hematoma subarachnoid (SAH)

Perdarahan subarachnoid traumatic terjadi lebih kurang 40% kasus cedera kepalam sebagian besar terjadi di daerah permukaan oksipital dan parietal sehingga sering tidak dijumpai tanda-tanda rangsang meningeal. Adanya darah di dalam cairan otak akan mengakibatkan penguncupan arteri-arteri di dalam rongga subarakhnoidea. Bila vasokonstriksi yang terjadi hebat disertai vasospasme akan timbul gangguan aliran darah di dalam jaringan otak. Keadaan ini tampak pada pasien yang tidak membaik setelah beberapa hari perawatan. Konstriksi pembuluh darah mulai terjadi pada hari ke-3 dan dapat berlangsung sampai 10 hari atau lebih. Gejala klinis yang didapatkan berupa nyeri kepala hebat. Perdarahan pada SAH traumatik biasanya tidak terlalu berat.11,12

2.3.7.5 Fraktur basis cranii

Biasanya merupakan hasil dari fraktur linear fosa di daerah basal tengkorak bisa di anterior, medial atau posterior. Gejala klinis yaitu adanya cairan likour yang keluar dari hidung (rinorea) atau telinga (otorea) disertai hematom di sekitar mata (raccoon eye, brill hematoma, hematoma bilateral

(27)

24

periorbital) atau battle sign (hematoma retroaurikular), kadang disertai anosmia atau gangguan nervus kranialis VII dan VIII.11,12

2.3.8 Tatalaksana Awal Dan Evaluasi 2.3.8.1 Primary Survey1-3

Lakukan primary survey pada seluruh pasien cedera kepala, terutama pasien dengan penurunan kesadaran, meliputi pemeriksaan dan penatalaksanaan : (iskandar)

1. A = Airway (Jaga jalan nafas dengan perlindungan terhadap servikal spine).

Langkah pertama pada ABC adalah Airway/saluran nafas (A) dan membebaskan jalan nafas dari benda-benda obstruktif. Namun, jika pernafasan tampak terancam, intubasi nasotrakeal atau endotrakeal dengan leher pada posisi netral harus dilakukan dengan sangat hati-hati sesegera mungkin. Kadang kala, trauma pada wajah mencegah pemasangan intubasi, dan krikotiroidektomi atau trakeostomi dapat menjadi pilihan jika diperlukan.

2. Breathing (pernafasan).

Setelah saluran nafas dibebaskan, langkah berikutnya adalah Breathing/pernafasan (B). Rata-rata dan ritme pernafasan, juga suara nafas, harus dievaluasi. Perubahan pola pernafasan dapat mencerminkan disfungsi sistem saraf pusat pada level tertentu. Lesi hemisferik bilateral yang dalam dan basal ganglia dapat menyebabkan respirasi Cheyne-Stokes (pernafasan dengan periode hiperventilasi dan apnea yang silih berganti), dan hiperventilasi neurogenik sentral dapat diakibatkan oleh lesi pada mesensefalik atau pontine bagian atas. Pernafasan ataksik muncul pada fase terminal, dimana hanya medullary yang masih dapat berfungsi. Analisa gas darah harus diperiksa pada semua pasien dengan cedera kepala, karena hipoksemia sering terjadi. Oksigen harus diberikan untuk menjaga kadar PaO2 dalam batas normal; hiperventilasi direkomendasikan untuk menjaga PaCO2 diantara 25 dan 30 mmHg, karena hipokarbia merupakan serebral vasokontriktor yang kuat, mengurangai volume darah otak dan, oleh sebab itu, tekanan intrakranial. Foto polos dada harus diperoleh untuk memastikan tidak ada cedera pada rongga dada seperti pneumothorak, kontusi paru atau aspirasi.

3. C = Circulation (nadi, tekanan darah, tanda-tanda syok dan kontrol perdarahan).

(28)

25

Kemudian perhatian diarahkan pada status Circulatory/sirkulasi (C) pasien, yang dapat digambarkan oleh tekanan darah. Karena shok jarang terjadi akibat cedera kepala murni, pemeriksaan dengan teliti harus dilakukan untuk mencari penyebab lain (yaitu, ruptur lien atau fraktur tulang panjang). Kateter vena sentral, pada subklavian atau vena jugular interna, seringkali memiliki peran yang tak ternilai dalam mengevaluasi dan mengobati pasien-pasien dengan cedera multipel.

Bersamaan dengan nilai hematokrit, tekanan vena sentral dapat membedakan shok hipovolemik dengan beberapa kasus shok neurogenik yang disebabkan oleh cereda kord spinal.

4. D = Disability (level kesadaran dan status neurologis lain).

Pada primary survey ini dilakukan pemeriksaan status neurologis dasar yang disebut AVPU (Alert, Verbal stimuli response, Painful stimuli response or unresponsive). Evaluasi neurologis yang cepat dan berulang dilakukan setelah selesai primary survey, meliputi derajat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, tanda- tanda lateralisasi dan gejala cedera spinal. GCS adalah metode yang cepat untuk menentukan level kesadaran dan dapat memprediksi outcome pasien.1

Keadaan postictal setelah kejang traumatis biasanya akan memperburuk respons pasien selama beberapa menit atau jam. Pada pasien koma, respons motorik dapat ditimbulkan dengan menjepit otot trapezius atau dengan bedeng kuku atau tekanan tonjolan supraorbital. Ketika seorang pasien menunjukkan respons variabel terhadap stimulasi, respons motorik terbaik yang timbul adalah indikator prognostik yang lebih akurat daripada respons terburuk. Pengujian untuk pergerakan mata boneka (okulocephalic), tes kalori dengan air es (oculovestibular), dan pengujian respon kornea ditunda ke ahli bedah saraf. Jangan pernah mencoba pengujian mata boneka sampai cedera tulang belakang leher telah disingkirkan.1

Penting untuk mendapatkan skor GCS dan melakukan pemeriksaan pupil sebelum menenangkan atau melumpuhkan pasien, karena pengetahuan tentang kondisi klinis pasien penting untuk menentukan perawatan selanjutnya. Jangan gunakan agen paralitik dan sedasi jangka panjang selama survei primer. Hindari sedasi kecuali jika keadaan gelisah pasien dapat menimbulkan risiko. Gunakan

(29)

26

agen kerja terpendek yang tersedia saat kelumpuhan farmakologis atau sedasi singkat diperlukan untuk intubasi endotrakeal yang aman atau mendapatkan studi diagnostik yang andal.1

5. E = Exposure (Seluruh tubuh pasien diekspose untuk pemeriksaan dan penanganan menyeluruh, dengan memperhatikan faktor suhu dan lingkungan).

Gambar 2.9 Goals of Treatment of Brain Injury

2.3.8.2 Secondary Survey

(30)

27

Lakukan pemeriksaan serial (perhatikan skor GCS, tanda lateralisasi, dan reaksi pupil) untuk mendeteksi kerusakan neurologis sedini mungkin. Tanda awal yang diketahui dari herniasi lobus temporal (uncal) adalah pelebaran pupil dan hilangnya respons pupil terhadap cahaya. Trauma langsung pada mata juga dapat menyebabkan respons pupil abnormal dan mungkin membuat evaluasi pupil menjadi sulit. Namun, dalam penatalaksanaan trauma otak, cedera otak harus dipertimbangkan terlebih dahulu. Pemeriksaan neurologis lengkap dilakukan selama secondary survei.1

Catat mekanisme cedera dan berikan perhatian khusus pada hilangnya kesadaran, termasuk lamanya waktu pasien tidak responsif, aktivitas kejang apa pun, dan tingkat kewaspadaan selanjutnya. Tentukan durasi amnesia untuk kejadian baik sebelum (retrograde) dan setelah (antegrade) insiden traumatis. Pemeriksaan serial dan dokumentasi skor GCS penting pada semua pasien. 1,2

Gambar 2.10 Glasgow Coma Scale (GCS)

(31)

28

Gambar 2.11 Penatalaksanaan cedera kepala berat2

(32)

29

2.3.9 Diagnosis

Untuk pasien dengan cedera otak traumatis sedang atau berat, dokter harus mendapatkan CT scan kepala sesegera mungkin setelah normalisasi hemodinamik.

Pemindaian CT juga harus diulang setiap kali ada perubahan dalam status klinis pasien dan secara rutin dalam waktu 24 jam dari cedera untuk pasien dengan kontusio intraparenchymal subfrontal / temporal, pasien yang menerima terapi antikoagulasi, pasien yang berusia lebih dari 65 tahun, dan pasien yang memiliki perdarahan intrakranial dengan volume> 10 mL.2

Periksa CT scan pada semua pasien yang diduga cedera otak yang memiliki tengkorak terbuka yang dicurigai secara klinis fraktur, tanda fraktur tengkorak basilar, dan lebih dari dua episode muntah. Juga lakukan CT scan pada pasien yang lebih tua dari 65 tahun. CT juga harus dipertimbangkan jika pasien kehilangan kesadaran selama lebih dari 5 menit, retrogradeamnesia selama lebih dari 30 menit, mekanisme cedera yang berbahaya, sakit kepala parah, kejang, defisit memori jangka pendek, keracunan alkohol atau obat, koagulopati atau defisit neurologis fokal yang disebabkan oleh otak.

Ketika parameter ini diterapkan pada pasien dengan skor GCS 13, sekitar 25% akan memiliki CT temuan indikasi trauma, dan 1,3% akan memerlukan intervensi bedah saraf1

Temuan CT yang signifikan termasuk pembengkakan kulit kepala dan hematoma subgaleal di daerah yang terkena dampak. Fraktur tengkorak dapat terlihat lebih baik dengan jendela tulang tetapi sering terlihat bahkan pada jendela jaringan lunak. Temuan CT krusial adalah darah intrakranial, kontusio, pergeseran struktur garis tengah (efek massa), dan pemusnahan tangki basal. Pergeseran 5 mm atau lebih sering mengindikasikan perlunya operasi untuk mengevakuasi bekuan darah atau kontusio yang menyebabkan pergeseran.1

(33)

30

Gambar 2.11 CT Scan Hematom Intrakranial1

(a. epidural hematom, b. subdural hematom, c. hemoragik dengan kontusio bilateral d, hemoragik intraparenkimal kanan dengan midline shift dan disertai hemoragik

biventrikular)

Gambar 2.12. Epidural Hematom. CT scan kepala menunjukan gambaran hiperdens berbentuk lentikular (bikonkaf) di area temporal kiri (panah).3

Sekitar 15% dari pasien dengan cedera otak yang terlihat di UGD memiliki cedera sedang. Pasien-pasien ini masih dapat mengikuti perintah sederhana, tetapi

(34)

31

mereka biasanya bingung atau somnolen dan dapat memiliki defisit neurologis fokal seperti hemiparesis. Sekitar 10% hingga 20% dari pasien ini memburuk dan menjadi koma. Untuk alasan ini, pemeriksaan neurologis serial sangat penting dalam perawatan pasien ini.1

Saat masuk ke UGD, dapatkan riwayat singkat dan pastikan stabilitas kardiopulmoner sebelum penilaian neurologis. Dapatkan CT scan kepala dan hubungi ahli bedah saraf atau pusat trauma jika transfer diperlukan. Semua pasien dengan cedera otak sedang memerlukan izin untuk observasi di unit yang mampu melakukan observasi keperawatan yang dekat dan penilaian neurologis yang sering untuk setidaknya 12 sampai 24 jam pertama. CT scan tindak lanjut dalam waktu 24 jam disarankan jika CT scan awal tidak normal atau status neurologis pasien memburuk.1

Sekitar 10% pasien dengan cedera otak yang dirawat di UGD mengalami cedera parah. Pasien seperti itu tidak dapat mengikuti perintah sederhana, bahkan setelah stabilisasi kardiopulmoner. Meskipun cedera otak parah termasuk spektrum luas cedera otak, hal ini mengidentifikasi pasien yang paling berisiko menderita morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Diagnosis dan pengobatan yang cepat sangat penting.

Jangan menunda transfer pasien untuk mendapatkan CT scan.1

(35)

32

Gambar 2.13 Manajemen Overview Of Traumatic Brain Injury

(36)

33

Gambar 2.14 Manajemen Overview Of Traumatic Brain Injury

(37)

34

2.3.10 Tatalaksana

2.3.10.1 Cedera kepala ringan

Jika kelainan diamati pada CT scan, atau jika pasien tetap bergejala atau terus memiliki kelainan neurologis, rujuk pasien ke rumah sakit dan konsultasikan dengan ahli bedah saraf (atau transfer ke pusat trauma)1

Jika pasien asimptomatik, sepenuhnya terjaga dan waspada, dan tidak memiliki kelainan neurologis, mereka dapat diamati selama beberapa jam, diperiksa ulang, dan, jika masih normal, keluar dengan aman. Idealnya, pasien dipulangkan ke perawatan seorang pendamping yang dapat mengamati pasien secara terus menerus selama 24 jam berikutnya. Jelaskan kepada pasien untuk kembali ke UGD jika pasien mengalami sakit kepala atau mengalami penurunan status mental atau defisit neurologis fokal.1

1. Penanganan cedera kepala ringan dengan fraktur linear terbuka di layanan primer: 3 a. Diagnosa : Bila ada luka terbuka, eksplorasi luka sampai kalvaria sebelum

luka dijahit.

b. Penanganan : Debridement lokal, tidak perlu fiksasi tulang, jahit luka primer.

c. Pasien di rawat inap. Observasi : Level kesadaran (GCS), bila GCS turun berarti ada lucid interval, kemungkinan ada perdarahan Epidural, maka pasien dirujuk ke rumah sakit rujukan dengan fasilitas bedah saraf.

d. Pasien dipulangkan bila kesadaran baik setelah beberapa hari rawatan dengan penjelasan peringatan untuk pasien cedera kepala ringan yang dipulangkan.

Gambar 2.15. Fraktur linear pada kasus fraktur terbuka dan gambaran X-Ray. 3

(38)

35

2. Penanganan cedera kepala ringan dengan fraktur basis kranii di daerah rural : 3 a. Diagnosa :

- Rhinorhea, Brill hematoma, anosmia (Fraktur basis kranii anterior).

- Otorhea, Battle sign (Retroaurikular hematoma), parese N VII/VIII.

b. Penanganan :

- Fraktur basis bukan kasus mengancam jiwa (life threatening), bila GCS memburuk, hal itu disebabkan faktor lain atau komplikasi.

- Pasien di rawat inap, terapi non operatif.

- Head up 30 derajat.

- Diet : MB

- Obat : antibiotik (kontroversi), analgetik.

- Perawatan rhinorhea/otorhea : biarkan mengalir, jaga kebersihan. Umumnya berhenti spontan dalam 3 – 5 hari.

c. Observasi : - Tanda vital.

- GCS/pupil/motorik - Rhinorhea/Otorhea - Tanda-tanda infeksi - Defisit neurologis.

d. Rawat jalan, bila : - Tanda vital stabil.

- GCS 15.

- Rhinorhea/Otorhea berhenti.

- Tanda-tanda infeksi (-).

(39)

36

Gambar 2.16. Gambaran klinis fraktur basis kranii. 2

3. Penanganan cedera kepala ringan dengan fraktur depressed di daerah rural :3 a. Diagnosa :

- Fraktur tertutup - Fraktur terbuka b. Penanganan :

- Pada fraktur terbuka dilakukan debridement lokal, hentikan perdarahan, bila perlu jahit luka situasional.

- Rujuk ke Rumah Sakit dengan fasilitas pelayanan bedah saraf.

Gambar 2.17 : Gambaran Fraktur depressed terbuka dan X-Ray 3

(40)

37

Gambar. 2.18 Algoritma tatalaksana cedera kepala ringan1

(41)

38

2.3.10.2 Cedera Kepala Sedang

Gambar 2.19. Algoritma tatalaksana cedera kepala sedang1

(42)

39

2.3.10.3 Cedera Kepala Berat

Gambar 2.20 Algoritma tatalaksana cedera kepala berat1 2.3.10.4 Terapi Medika Mentosa1,3

Tujuan utama protokol perawatan intensif adalah mencegah terjadinya kerusakan sekunder otak yang telah mengalami cedera. Prinsip dasarnya adalah bila sel saraf diberikan suasana yang optimal untuk pemulihan, maka diharapkan sel tersebut dapat pulih dan kembali ke fungsi normal. Terapi medikamentosa antara lain cairan intravena, hiperventilasi, manitol, furosemid, steroid, barbiturate dan antikejang.

1. Cairan Intravena

Cairan intravena harus diberikan sesuai kebutuhan untuk resusitasi dan mempertahanakan normovolemia. Keadaan hipovolemia pada pasien sangatlah berbahaya. Namun, perlu juga diperhatikan untuk tidak memberikan cairan berlebihan. Jangan diberikan cairan hipotonik. Juga, penggunaan cairan yang mengandung glukosa dapat menyebabkan hiperglikemia yang berakibat buruk pada otak yang cedera. Karena itu, cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah larutan Ringer Laktat atau garam fisiologis. Kadar natrium serum perlu

(43)

40

dimonitor pada pasien dengan cedera kepala. Keadaan hiponatremia sangat berkaitan dengan endema otak sehingga harus dicegah.

2. Hiperventilasi

Hiperventilasi sebaiknya dilakukan secara selektif dan hanya dalam batas waktu tertentu. Umumnya, PaCO2 dipertahankan pada 35 mmH.

Hiperventilasi dalam waktu singkat (PaCO2 antara 25-30 mm Hg) dapat dilakukan jika diperlukan pada keadaan perburukan neurologis akut, sementara pengobatan lainnya baru dimulai. Hiperventilasi akan mengurangi tekanan intrakranial pada pasien dengan perburukan neurologis akibat hematoma intrakranial yang membesar, sampai operasi kraniotomi emergensi dapat dilakukan.

3. Antikonvulsan

Epilepsi pascatrauma terjadi pada 5% pasien yang dirawat di RS dengan cedera kepala tertutup dan 15% pada cedera kepala berat. Terdapat 3 faktor yang berkaitan dengan insiden epilepsi: (1) Kejang awal yang terjadi dalam minggu pertama, (2) Perdarahan Intrakranial, atau (3) Fraktur depresi.

Penelitian tersamar ganda / double blind menunjukkan bahwa fenitoin sebagai profilaksis bermanfaat untuk menurunkan angka insidensi kejang dalam minggu pertama cedera namun tidak setelahnya. Fenitoin atau fosfenitoin adalah obat yang biasa diberikan pada fase akut. Untuk dewasa dosis awalnya adalah 1 g yang diberikan secara intravena dengan kecepatan pemberian tidak lebih cepat dari 50 mg/menit. Dosis pemeliharaan biasanya 100 mg/8 jam, dengan titrasi untuk mencapai kadar terapetik serum. Pada pasien dengan kejang berkepanjangan, diazepam atau lorazepam digunakan sebagai tambahan selain fenitoin sampai kejang berhenti.

4. Manitol

Manitol digunakan untuk menurunkan tekanan intrakranial (TIK) yang meningkat. Sediaan yang tersedia cairan manitol dengan konsentrasi 20% (20 gram setiap 100 ml larutan). Dosis yang diberikan 0.25 – 1 g/kg BB diberikan secara bolus intravena. Manitol jangan diberikan pada pasien yang hipotensi,

(44)

41

karena manitol tidak mengurangi tekanan intrakranial pada kondisi hipovolemik dan manitol merupakan diuretic osmotic yang potensial. Adanya perburukan neurologis yang akut, seperti terjadinya dilatasi pupil, hemiparesis maupun kehilangan kesadaran saat pasien dalam observasi merupakan indikasi kuat untuk diberikan manitol. Pada keadaan tersebut pemberian bolus manitol (1 g/kgBB) harus diberikan secara cepat (dalam waktu lebih dari 5 menit) dan pasien segera di bawa ke CT scan ataupun langsung ke kamar operasi bila lesi penyebabnya sudah diketahui.

5. Saline Hipertonik

Saline hipertonik juga digunakan untuk mengurangi peningkatan tekanan intrakranial, dalam konsentrasi 3% hingga 23,4%; ini mungkin agen yang dipilih untuk pasien dengan hipotensi, karena tidak bertindak sebagai diuretik. Namun, tidak ada perbedaan antara manitol dan salin hipertonik dalam menurunkan tekanan intrakranial, dan tidak ada yang cukup menurunkan tekanan intrakranial pada pasien hipovolemik.

6. Barbiturat

Barbiturat efektif dalam mengurangi tekanan intrakranial refrakter terhadap tindakan lain, meskipun mereka tidak boleh digunakan di pada keadaan hipotensi atau hipovolemia. Selanjutnya, barbiturat sering menyebabkan hipotensi, sehingga mereka tidak diindikasikan pada fase resusitasi akut. Waktu paruh panjang dari kebanyakan barbiturat memperpanjang waktu untuk menentukan kematian otak, yang merupakan pertimbangan pada pasien dengan cedera yang menghancurkan dan kemungkinan tidak dapat disembuhkan. Barbiturat tidak dianjurkan untuk menginduksi penekanan burst yang diukur dengan EEG untuk mencegah perkembangan hipertensi intrakranial.

2.3.10.2 Terapi Pembedahan1,3

Manajemen bedah mungkin diperlukan untuk luka kulit kepala, fraktur tengkorak yang tertekan, lesi massa intrakranial, dan penetrasi cedera otak.

(45)

42

1. Luka Kulit Kepala

Penting untuk membersihkan dan memeriksa luka secara menyeluruh sebelum menjahit. Penyebab paling umum dari luka kulit kepala yang terinfeksi adalah pembersihan dan debridemen yang tidak memadai. Kehilangan darah akibat luka kulit kepala mungkin luas, terutama pada anak-anak dan orang dewasa yang lebih tua.

2. Deppresed Fracture

Untuk pasien dengan fraktur tengkorak yang tertekan, CT scan bermanfaat dalam mengidentifikasi tingkat depresi dan, yang penting, tidak termasuk adanya hematoma atau kontusio intrakranial. Secara umum, fraktur tengkorak deppresed memerlukan operasi ketika tingkat depresi lebih besar dari ketebalan tengkorak yang berdekatan, atau ketika mereka terbuka dan sangat terkontaminasi. Fraktur depresi yang tidak terlalu parah sering dapat dikelola dengan penutupan laserasi kulit kepala di atasnya, jika ada.

3. Lesi Massa Intrakranial

Lesi massa intrakranial harus dikelola oleh ahli bedah saraf. Dalam keadaan luar biasa, hematoma intrakranial yang berkembang dengan cepat dapat segera mengancam jiwa dan mungkin tidak memberikan waktu untuk transfer jika perawatan bedah saraf dengan jarak yang cukup jauh, seperti di daerah yang sulit atau terpencil. Keadaan darurat

kraniotomi pada pasien yang memburuk dengan cepat oleh non-neurosurgeon harus dipertimbangkan hanya dalam keadaan ekstrem. Ahli bedah yang terlatih dengan baik dalam prosedur harus melakukan operasi ini, tetapi hanya setelah mendiskusikan lesi dengan dan mendapatkan saran dari ahli bedah saraf.

Ada beberapa indikasi untuk kraniotomi yang dilakukan oleh ahli bedah saraf.

Prosedur ini dibenarkan hanya ketika perawatan bedah saraf definitif tidak tersedia.

Komite Trauma sangat merekomendasikan agar individu yang mengantisipasi perlunya prosedur ini menerima pelatihan yang tepat dari ahli bedah saraf.

4. Penetrating Brain Injury

(46)

43

Antibiotik spektrum luas profilaksis sesuai untuk pasien dengan cedera otak tembus, fraktur tengkorak terbuka, dan kebocoran CSF.

Sangat tepat untuk mengobati luka masuk peluru kecil ke kepala dengan perawatan luka lokal dan penutupan pada pasien yang kulit kepalanya tidak terevalisasi dan yang tidak memiliki patologi intrakranial besar.

Objek yang menembus kompartemen intrakranial atau fossa infratemporal dan tetap sebagian di eksterior (mis., Panah, pisau, obeng) harus dibiarkan di tempat sampai kemungkinan cedera pembuluh darah telah dievaluasi dan manajemen bedah saraf definitif didirikan. Mengganggu atau membuang benda yang menembus sebelum waktunya dapat menyebabkan cedera pembuluh darah yang fatal atau perdarahan intrakranial.

Burr hole craniostomy / craniotomy, yang melibatkan penempatan lubang bor 10 sampai 15 mm di tengkorak, telah dianjurkan sebagai metode mendiagnosis hematoma yang dapat diakses pada pasien dengan pemburukan neurologis cepat yang terletak di daerah yang sulit atau terpencil di mana ahli bedah saraf dan pencitraan tidak tersedia. Sayangnya, bahkan di tangan yang sangat berpengalaman. Pada pasien yang membutuhkan evakuasi, kraniotomi flap tulang (versus Burr hole sederhana) adalah prosedur penyelamatan definitif untuk mengekompresi otak. Anggota tim Trauma harus melakukan segala upaya untuk membuat seorang praktisi dilatih dan berpengalaman dalam melakukan prosedur melakukannya tepat waktu.

2.3.11 Prognosis

Glasgow Outcome Scale sering digunakan untuk menilai hasil terapi pada kasus cedera kepala berat. Kategori-kategeri hasil akhir termasuk kematian, status vegetatif persistent, disabilitas berat (memerlukan bantuan untuk menjalani aktifitas hidup sehari-hari), disabilitas sedang (tidak memerlukan bantuan dalam aktifitas hidup sehari-hari), dan sembuh (dapat menjalani pekerjaan sebelumnya). Pada seri Becker, yang merepresentasikan operasi dan terapi agresif, hasilnya adalah sebagai berikut:

(47)

44

mortalitas, 32%; disabilitas berat/status vegetatif, 11%; disabilitas sedang/sembuh, 57%. Semua pasien pada seri ini berada dalam keadaan koma saat penerimaan.2

Sebagian besar pasien dengan cedera otak ringan mengalami pemulihan yang baik. Sekitar 3% tidak terduga memburuk, berpotensi mengakibatkan disfungsi neurologis yang parah kecuali penurunan status mental terdeteksi dini.1

2.3.12 Komplikasi10-12 a. Kejang

Kejang yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early seizure, dan yang terjadi setelahnya disebut late seizure. Early seizure terjadi pada kondisi risiko tinggi, yaitu ada fraktur impresi, hematoma intrakranial, kontusio di daerah korteks; diberi profi laksis fenitoin dengan dosis 3x100 mg/hari selama 7-10 hari.

b. Infeksi

Profi laksis antibiotik diberikan bila ada risiko tinggi infeksi, seperti pada fraktur tulang terbuka, luka luar, fraktur basis kranii. Pemberian profi laksis antibiotik ini masih kontroversial. Bila ada kecurigaan infeksi meningeal, diberikan antibiotik dengan dosis meningitis.

c. Demam

Setiap kenaikan suhu harus dicari dan diatasi penyebabnya. Dilakukan tindakan menurunkan suhu dengan kompres dingin di kepala, ketiak, dan lipat paha, atau tanpa memakai baju dan perawatan dilakukan dalam ruangan dengan pendingin. Boleh diberikan tambahan antipiretik dengan dosis sesuai berat badan.

d. Gastrointestinal

Pada pasien cedera kranio-serebral terutama yang berat sering ditemukan gastritis erosi dan lesi gastroduodenal lain, 10-14% di antaranya akan berdarah.

Kelainan tukak stres ini merupakan kelainan mukosa akut saluran cerna bagian atas karena berbagai kelainan patologik atau stresor yang dapat disebabkan oleh cedera kranioserebal. Umumnya tukak stres terjadi karena hiperasiditas. Keadaan ini dicegah

(48)

45

dengan pemberian antasida 3x1 tablet peroral atau H2 receptor blockers (simetidin, ranitidin, atau famotidin) dengan dosis 3x1 ampul IV selama 5 hari.

e. Gelisah

Kegelisahan dapat disebabkan oleh kandung kemih atau usus yang penuh, patah tulang yang nyeri, atau tekanan intrakranial yang meningkat. Bila ada retensi urin, dapat dipasang kateter untuk pengosongan kandung kemih. Bila perlu, dapat diberikan penenang dengan observasi kesadaran lebih ketat. Obat yang dipilih adalah obat peroral yang tidak menimbulkan depresi pernapasan

(49)

46

BAB 3 PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Cedera kepala bisa menyebabkan kematian tetapi juga penderita bisa mengalami penyembuhan total. Jenis dan beratnya kelainan tergantung kepada lokasi dan beratnya kerusakan otak yang terjadi.Terjadinya cedera kepala, kerusakan dapat terjadi dalam dua tahap, yaitu cedera primer yang merupakan akibat yang langsung dari suatu ruda paksa dan cedera sekunder yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul sebagai tahapmlanjutan dari kerusakan otak primer.

Aspek-aspek terjadinya cedera kepala dikelompokan menjadi beberapa klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme cedera kepala, beratnya cedera kepala, dan morfologinya. Kerusakan otak sering kali menyebabkan kelainan fungsi yang menetap, yang bervariasi tergantung kepada kerusakan yang terjadi, apakah terbatas (terlokalisir) atau lebih menyebar (difus). Kelainan fungsi yang terjadi juga tergantung kepada bagian otak mana yang terkena.

Gejala yang terlokalisir bisa berupa perubahan dalam gerakan, sensasi, berbicara, penglihatan dan pendengaran. Kelainan fungsi otak yang difus bisa mempengaruhi ingatan dan pola tidur penderita, dan bisa menyebabkan kebingungan dan koma. Berbagai fungsi otak dapat dijalankan oleh beberapa area, sehingga area yang tidak mengalami kerusakan bisa menggantikan fungsi dari area lainnya yang mengalami kerusakan. Tetapi semakin tua umur penderita, maka kemampuan otak untuk menggantikan fungsi satu sama lainnya, semakin berkurang.

(50)

47

DAFTAR PUSTAKA

1. Iskandar. 2017. Diagnosis Dan Penanganan Cedera Kepala Di Daerah Rural.

Division Of Neurosurgery, Departement Of Surgery, Dr. Zainoel Abidin General Hospital – Medical Faculty Of Syiah Kuala University, Banda Aceh, Indonesia National symposium & workshop “Aceh Surgery Update 2”, 94 Banda Aceh 16 – 17 September 2017.

2. Advanced Trauma Life Support (ATLS), Student Course Manual, American College of Surgeons, Committee on Trauma, 2008.

3. M.Z. Arifin et al. Head Injury Management. Departemen Bedah Saraf, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran.

4. American College of Surgeons, 1997, Advance Trauma Life Suport. United States of America: First Impression.

5. Tim Neurotrauma. Pedoman Tatalaksana Cedera Otak. Edisi kedua. Surabaya:

Surabaya Neuroscience Institute. 2014.

6. Japardi I. Cedera Ke

Referensi

Dokumen terkait

ANALISIS KETAHANAN HIDUP PASIEN CEDERA KEPALA MENURUT JENIS PERDARAHAN OTAK DI RSUD PROF..

Pada bidang ilmu penyakit saraf lebih dititikberatkan pada cedera terhadap jaringan otak, selaput otak, dan pembuluh darah otak, sebagai akibat adanya kekuatan mekanik dari luar,

Disamping derajat keparahan cedera primer merupakan faktor utama yang menentukan luaran, cedera sekunder yang disebabkan oleh hipotensi, hipoksemia, hiperkarbia,

Perbedaan koagulopati pada cedera kepala berat dengan perdarahan dan tanpa perdarahan otak berdasarkan CT Scan kepala. Medan: Departemen ilmu

Cedera aksonal difus menggambarkan kerusakan otak dimana terjadi disrupsi dari proyeksi akson neuronal pada substansi alba cerebral, dan terjadi pada pasien yang mengalami

Blok ini berisi kelompok kelainan jiwa akibat penyakit otak, kerusakan otak, atau keadaan lain yang merusak fungsi otak.. Kerusakan fungsi ini bisa primer

Kerusakan sekunder tim'ul 'e'erapa aktu setelah trauma men&amp;usul kerusakan primer. Dapat di'agi men%adi pen&amp;e'a' sistemik dari intrakranial. Dari 'er'agai gangguan

aliran balik vena kepala sehingga mengurangi edema dan mencegah peningkatan TIK - Membantu memperlancar sirkulasi darah ke otak - Mengetahui adanya perdarahan/lesi