PERUBAHAN KEBIJAKAN LUAR NEGERI ISRAEL MASA
PEMERINTAHAN ARIEL SHARON DALAM INTIFADA
KEDUA
SKRIPSI
Disusun oleh: ATINA IZZA 071012108
PROGRAM STUDI S-1 HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA
PERUBAHAN KEBIJAKAN LUAR NEGERI ISRAEL MASA PEMERINTAHAN ARIEL SHARON DALAM INTIFADA KEDUA
SKRIPSI
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Menyelesaikan Studi S-1
di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Airlangga
Disusun oleh: ATINA IZZA 071012108
PROGRAM STUDI S-1 HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING
Skripsi dengan judul:
Perubahan Kebijakan Luar Negeri Israel
Masa Pemerintahan Ariel Sharon dalam Intifada Kedua
ini telah disetujui untuk diujikan di hadapan Komisi Penguji
Senin, 2 Juni 2014
Dosen Pembimbing,
M. Muttaqien, Ph. D
NIP 197301301999031001
Mengetahui,
Ketua Departemen S-1 Hubungan Internasional
M. Muttaqien, Ph. D
HALAMAN PENGESAHAN DEWAN PENGUJI
Skripsi dengan judul:
Perubahan Kebijakan Luar Negeri Israel
Masa Pemerintahan Ariel Sharon dalam Intifada Kedua
ini telah dipertahankan dihadapan Komisi Penguji
pada hari
di Ruang Sidang Cakra Buana Catur Matra
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Airlangga
Komisi Penguji
Ketua,
NIP
Anggota I, Anggota II,
HALAMAN PERNYATAAN TIDAK MELAKUKAN PLAGIAT
Bagian maupun keseluruhan isi dari skripsi dengan judul:
Perubahan Kebijakan Luar Negeri Israel
Masa Pemerintahan Ariel Sharon dalam Intifada Kedua
Ini tidak pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik pada bidang studi dan/atau universitas lain dan tidak pernah dipublikasikan/ditulis oleh individu selain penyusun kecuali dituliskan dengan formal kutipan dalam isi skripsi.
Surabaya, 2 Juni 2014 Penulis,
HALAMAN PERSEMBAHAN
My only Lord and King, Allah SWT My beloved RasulAllah
My Strong Mother My Super Father
HALAMAN INSPIRASIONAL
“Oh my Rabb! Increase Me in Knowledge” (Surat Ta-Ha:114).
“Glory be to You, we have no knowledge except what you have taught us. Verily, it is You, the All-Knower, the All-Wise” (Surat Al-Baqara:32).
“And turn not your face away from men with pride, nor walk in insolence through the earth. Verily, Allah likes not any arrogant boaster” (Surat
Lukman: 18)
“Do not walk proudly on the earth. You cannot cut through the earth, nor can you rival the moutains in height” (Surat Isra: 37)
“I only complain of my grief and sorrow to Allah...” (Surat Yusuf: 86)
“And seek help in patience and prayer” (Surat Al-Baqarah: 45)
“If you put Allah first, you’ll never be last” (Anonymous)
“You can do anything you want. You can become anyone you want to be. All you have to do is seek the assistance of Allah along the way” (Anonymous)
“Orang pintar itu banyak, tapi orang beruntung itu dibantu dengan ibadah
dan doa kepada Allah” (Siti Fatimah Wahid)
“Kemampuan manusia itu terbatas, memohonlah hanya kepada Allah (Siti
Fatimah Wahid)
"Siapapun kamu, jadilah yang terbaik dan berguna bagi banyak orang”
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN DEWAN PENGUJI ... iii
HALAMAN PERNYATAAN TIDAK MELAKUKAN PLAGIAT ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
I.6 Metodologi Penelitian ... 22
I.6.1 Definisi Konseptual ... 22
I.6.1.1 Perubahan Kebijakan Luar Negeri... 22
I.6.1.2 Struktur Sistem Internasional ... 23
I.6.1.3 Tekanan Internasional ... 23
I.6.1.4 Small Group dan Groupthink ... 24
I.6.2 Operasionalisasi Konsep ... 25
I.6.2.1 Perubahan Kebijakan Luar Negeri ... 25
I.6.2.2 Perubahan Struktur Sistem Internasional ... 25
I.6.2.3 Tekanan Internasional ... 26
I.6.2.4 Groupthink Pressure ... 27
I.6.3 Tipe Penelitian ... 27
I.6.4 Ruang Lingkup Penelitian ... 28
I.6.6 Teknik Analisis Data ... 29
I.6.7 SistematikaPenulisan ... 30
BAB II ANALISIS LEVEL INTERNASIONAL SEBAGAI SUMBER PERUBAHAN ... 31
II.1 Tekanan Internasional di Awal Pemerintahan Perdana Menteri Ariel Sharon... 31
II.2 11 September 2001 ... 33
II.3 Operation Defensive Shield ...... 38
II.4 Roadmap Peace... 49
BAB III ANALISIS KELOMPOK KECIL SEBAGAI SUMBER PERUBAHAN... 61
III.1 Peran Kelompok Kecil dalam Perumusan Disengagement Plan ... 64
III.2 Window of Opportunity oleh Kelompok Kecil... 75
III.3 Disengagement Plan... 80
BAB IV KESIMPULAN ... 85
DAFTAR PUSTAKA ... xii
DAFTAR BAGAN DAN GAMBAR
BAGAN
Bagan I.1 Dinamika Kausal Perubahan Kebijakan Luar Negeri... 13
Bagan I.2 Keterlibatan Kelompok dalam Perumusan
Kebijakan Luar Negeri ... 16
Bagan I.3 Gabungan Kerangka Pemikiran untuk Menjelaskan Perubahan
Kebijakan Luar Negeri Israel dalam Intifada Kedua ... 20
GAMBAR
Gambar III. 1 Penghancuran Pemukiman Yahudi di Khan Younis... 84
ABSTRAK Palestina. Kunjungan kontroversial Ariel Sharon pada 28 September 2000 ke Temple Mount dimana Masjid Al-Aqsa juga berlokasi, menjadi pemicu utama dalam menyulut kemarahan masyarakat Palestina yang kemudian berujung pada Intifada Kedua. Kondisi keamanan Israel yang rentan akan gerakan-gerakan Intifada yang diluncurkan kepada Israel, Ariel Sharon, seorang militer garis keras dengan mudah memenangkan pemilihan umum sebagai Perdana Menteri pada Februari 2001. Di awal pemerintahannya untuk meningkatkan keamanan Israel pada Intifada kedua ini ia menerapkan Operation Defensive Shield yang pada kenyataannya mengarah pada operasi penyerangan, ditandai dengan diaplikasikannya Targeted Killing Policy dalam memberantas terorisme. Menjadi sangat kontradiktif di akhir kepemerintahannya, Perdana Menteri Ariel Sharon yang dikenal sebagai ketua Partai Likud, partai konservatif yang menekankan pemeliharaan kekuasaan Jewish terhadap Eretz Yisrael (the whole Land of Israel), mengeluarkan kebijakan Disengagement Plan, kebijakan penarikan senjata dan tentara Israel serta menarik 8000 lebih pemukim Israel dari West Bank dan Gaza secara unilateral dalam menanggapi hubungan yang statis pada Intifada Kedua. Perubahan kebijakan luar negeri Ariel Sharon menjadi sangat kontroversial terlebih lagi dengan latar belakang Ariel Sharon yang dikenal sebagai Daddy of the Settlement dan orang yang paling bertanggung jawab pada peristiwa genosida warga Palestina di Lebanon tahun 1981. Penelitian ini kemudian berusaha menjawab mengapa terjadi perubahan dalam kebijakan luar negeri Ariel Sharon pada Intifada Kedua.
BAB I
PENDAHULUAN
I. 1 Latar Belakang Masalah
Intifada Kedua atau yang dikenal dengan Intifada Al-Aqsa adalah perlawanan
rakyat Palestina dalam melawan okupasi Israel; hal ini dipicu oleh kunjungan
kontroversial Ariel Sharon dan 2000 tentara bersenjata pada 28 September 2000
ke Yerusalem untuk mengunjungi Temple Mount atau Haram as Sharif, dimana
baik Western Wall sebagai tempat suci umat Yahudi dan Masjid Al-Aqsa sebagai
situs paling suci ketiga bagi umat Islam keduanya berlokasi.1 Setelah proses
perdamaian di antara Israel – Palestina mengalami kegagalan, dari Oslo hingga
perjanjian Camp David pada Juli 2000, kunjungan Ariel Sharon yang dikenal
sebagai seorang militer garis keras dalam perang Israel – Palestina dilihat sebagai
suatu bentuk provokasi yang menghasut masyarakat Palestina.2 Ofir Akounis,
seorang juru bicara Partai Likud pun menjelaskan kunjungan Ariel Sharon adalah
suatu pernyataan politik untuk menunjukkan bahwasanya di bawah Partai Likud,
Temple Mount atau Harem as Sharif akan tetap berada di bawah kedaulatan
Israel.3
1Jeremy Pressman, “The Second Intifada: Background and Causes of the Israeli –
Palestinian
Conflict”, The Journal of Conflict Studies (online), vol. 23, no.2, 2003, p. 114. Available: http://journals.hil.unb.ca/index.php/jcs/article/view/220/378 (4 April 2013).
2 Global Security,
Al-Aqsa Intifada (online), undated. Available
http://www.globalsecurity.org/military/world/war/intifada2.htm (4 March 2014).
3
Melawan okupasi Israel dalam Intifada Kedua, demonstran Palestina
menjadikan pelemparan batu dan bom molotov sebagai senjata utama di awal
perlawanannya. Untuk mengamankan Israel dari serangan demonstran Palestina,
Angkatan Bersenjata Pertahanan Israel (IDF) telah melakukan beberapa aktivitas
militer yang diantaranya adalah melakukan penembakan peluru karet berlapis
logam serta peluru tajam ke arah demonstran.4 Penggunaan persenjataan berat
oleh IDF termasuk penggunaan tank, helikopter, dan peluru tajam terhadap
demonstran telah menyamarkan perbedaan antara zona perang dan zona sipil.
Ketimpangan persenjataan di antara keduanya menyebabkan banyaknya jumlah
warga Palestina baik sipil maupun bukan telah menjadi korban. Bentrokan di
antara Palestina dan pasukan keamanan Israel yang demikian pun terus berlanjut
di akhir tahun 2000 dan sepanjang tahun 2001. Tidak dapat menghadapi IDF
secara langsung, pejuang Palestina kemudian melakukan penyerangan balasan
dengan menggunakan serangan bom bunuh diri di tempat umum sebagai taktik
utama pada Intifada Kedua.5 Serangan bom bunuh diri oleh Palestina tentu
menghasilkan ketidakamanan serta kemarahan yang mendalam di kalangan
masyarakat Israel. Meningkatnya kebutuhan akan keamanan oleh masyarakat
Israel dari gerakan-gerakan Intifada yang diluncurkan oleh pejuang Palestina,
menjadikan Ariel Sharon seorang militer garis keras dari Partai Likud dengan
janji untuk mencapai suatu “keamanan dan perdamaian”6, mendapatkan dukungan
politik terbanyak pada pemilihan umum Februari 2001 dan sah menjadi Perdana
4
Global Security, Al-Aqsa Intifada.
5
Orna Ben-Naftali and Aeyal Gross, “Arab – Israeli War: The Second Intifada”, Crimes of War (online), undated. Available: http://www.crimesofwar.org/a-z-guide/arab-israeli-war-the-second-intifada/ (2 February 2013).
6BBC, “Ariel Sharon: Former Israeli prime minister moved home” (online),
Menteri Israel terpilih.7 Sosok Ariel Sharon yang kuat dan keras diharapkan
mampu memberikan keamanan serta dapat mengakhiri serangkaian serangan bom
bunuh diri oleh gerakan “terorisme” pejuang Palestina terhadap Israel.
Menanggapi serangan pejuang Palestina dalam melawan okupasi Israel,
Perdana Menteri Ariel Sharon di awal pemerintahannya menerapkan hard military solution yang diterapkan melalui kebijakan Operation Defensive Shield pada 29 Maret 2002.8 Operation Defensive Shield adalah kampanye militer besar-besaran yang dilakukan oleh IDF pada bulan Maret - April 2002, setelah serangkaian
serangan bom bunuh diri terhadap Israel diluncurkan. Operation Defensive Shield
dimulai pada akhir Maret 2002, ditandai dengan pengokupasian kembali
wilayah-wilayah Palestina, West Bank dan Gaza serta mengepung markas besar pemimpin
Otoritas Palestina Yasser Arafat di Ramallah oleh IDF.9 Operasi yang digelar di
tengah-tengah Intifada Kedua, dimaksudkan untuk mendapatkan kembali kontrol
IDF atas West Bank – yang berada di bawah kontrol penuh Otoritas Palestina,
sehingga memungkinkan untuk menggagalkan serangan “teror” terhadap Israel.10
Sebagai upaya mengatasi serangan “terorisme” oleh Palestina terhadap
Israel, pemerintahan Israel melalui Operation Defensive Shield menggunakan kebijakan yang dikenal dengan Targeted Killing Policy. Targeted Killing Policy
adalah salah satu cara dalam memberantas “terorisme” dengan menghancurkan
7
BBC, 12 November 2010.
8 Avi Issacharoff and Amos Harel, “Recollections of Israel's Operation Defensive Shield, ten years
later” (online), Haaretz, 30 March 2012. Available: http://www.haaretz.com/weekend/week-s-end/recollections-of-israel-s-operation-defensive-shield-ten-years-later-1.421639 (26 May 2013).
9
Guila Flint, “Ariel Sharon, the Butcher of Beirut Dies” (online), Pravda, 13 January 2014. Available: http://english.pravda.ru/world/asia/13-01-2014/126585-ariel_sharon-0/ (27 February 2014).
10Ynetnews, “Operation Defensive Shield 2002” (online),
infrastruktur “teroris” serta melakukan pembunuhan terhadap aktivis “terorisme”
secara selektif atas persetujuan pemerintah Israel.11 Targeted Killing Policy pada Intifada Kedua menjadi bagian dari pendekatan ofensif dalam menghadapi
serangan bom bunuh diri pejuang Palestina atau yang dilihat sebagai suatu
gerakan “terorisme”. Melalui Operation Defensive Shield Israel telah melakukan
puluhan operasi simultan baik di darat maupun di udara setiap harinya, termasuk
Targeted KillingPolicy yang memiliki efek multi dimensi sehingga menimbulkan kecaman keras baik dari domestik maupun internasional oleh karena proses
pengimplementasiannya yang telah melanggar Hak Asasi Manusia. Dalam
pengimplementasian Targeted Killing Policy, pejuang bersenjata Palestina bukan lagi menjadi sasaran satu-satunya oleh IDF dalam melepaskan tembakannya, akan
tetapi ratusan infrastruktur dan nyawa warga sipil Palestina turut menjadi sasaran
lepas tembak IDF.
Pada tahun yang sama, di bawah komando Perdana Menteri Ariel Sharon,
tembok pembatas sepanjang 400 kilometer pun dibangun untuk menghalang
serangan bom bunuh diri masuk ke wilayah Israel. Akan tetapi, tembok dan pagar
yang seharusnya dibangun untuk memisahkan wilayah Israel dan Palestina, telah
dibangun di area yang tidak melewati garis hijau – garis pembatas antara Israel
dan Palestina. Sehingga tembok pembatas yang dibangun atas komando Perdana
Menteri Ariel Sharon telah memisahkan warga Palestina dari warga Palestina
lainnya. Baik kebijakan Operation Defensive Shield maupun Targeted Killing Policy keduanya telah mendapatkan kecaman keras baik dari pihak domestik maupun internasional. Menanggapi kecaman keras yang ditujukan kepada Israel,
11Steven R. David, “Fatal Choices: Israel’s Policy of Targeted Killing”,
Pemerintahan Israel tetap melihat bahwasanya Targeted Killing Policy telah diterapkan sesuai dengan haknya untuk membela diri dan kebutuhan keamanan
dari serangan “teroris”.12
Di tengah-tengah kecaman keras dari masyarakat domestik dan
internasional, setelah terpilih kembali menjadi Perdana Menteri Israel pada
Pemilihan Umum 28 January 2003,13 Perdana Menteri Ariel Sharon melalui
pidatonya pada konferensi Herzliya, 18 Desember 2003, mengungkapkan
niatannya akan sebuah perdamaian abadi yang ia aplikasikan melalui kebijakan
Disengagement Plan pada Agustus 2005 setelah mendapatkan persetujuan parlemen Israel (Knesset) pada Oktober 2004.14 Disengagement Plan adalah penarikan IDF dan senjata militer Israel serta mengevakuasi 8000 lebih pemukim
Israel dari dua puluh satu pemukiman di Gaza dan empat pemukiman di West
Bank secara unilateral.15 Melalui pidatonya pula pada konferensi Herzliya,
Perdana Menteri Ariel Sharon menjelaskan tujuan dari kebijakan Disengagement Plan yang ia ungkapkan sebagai salah satu cara untuk mengurangi tingkat “teror”
oleh “terorisme” serta memberikan keamanan tingkat tinggi kepada rakyat Israel.
Tidak hanya itu Disengagement Plan juga dipercayai sebagai suatu proses yang akan membawa Israel ke arah perbaikan dalam kualitas kehidupan serta
membantu menguatkan perekonomian Israel. Langkah unilateral yang dibingkai
12Avi Kober, “Targetted Killing during the Second Intifada: The Quest for Effectiveness”,
Journal of Conflict Studies (online), vol.27, No.1, 2007, p. 78. Available:
http://journals.hil.unb.ca/index.php/JCS/article/view/8292/9875 (24 May 2013).
13CNN, “Ariel Sharon Fast Facts” (online),
CNN, 12 February 2013. Available:
http://edition.cnn.com/2013/02/12/world/meast/ariel-sharon-fast-facts (2 June 2013).
14Anonymous, “Prelude to Operation Cast Lead Israel's Unilateral Disengagement to the E
ve of War”, Journal of Palestine Studies, vol. 38, no. 3, 2009, p. 144.
15Jonathan Rynhold and Dov Waxman, “Ideological Change and Israel’s Disengagement from
Gaza”, Political Science Quarterly (online), vol. 123, no. 1, 2008, p. 11. Available:
di bawah kebijakan Disengagement Plan juga akan mengikutsertakan penarikan IDF sepanjang garis batas keamanan serta mengubah penyebaran pemukiman
Israel, dimana hal tersebut akan mengurangi angka kependudukan Israel yang
berlokasi di tengah-tengah pemukiman Palestina. Kebijakan Disengagement Plan
diharapkan akan mengurangi gesekan antara Israel dan Palestina serta
diharapkannya dua negara Israel dan Palestina dapat hidup berdampingan satu
sama lain secara damai.
“Like all Israeli citizens, I yearn for peace...We are willing to proceed toward its implementation: two states Israel and a
Palestinian State living side by side in tranquility, security and
peace.... However, if in a few months the Palestinians still
continue to disregard their part in implementing the Roadmap
Peace then Israel will initiate the unilateral security step of
disengagement from the Palestinians...”.16
Disengagement Plan sebagai suatu kebijakan telah menjadi perdebatan baik di antara yang pro dan yang kontra. Para pemukim Yahudi dan penganut
Yahudi garis keras tentu merasa terkhianati oleh kebijakan Disengagement Plan
Perdana Menteri Ariel Sharon dan sangat menentang kebijakan tersebut.17
Kebijakan ini kemudian menjadi pemicu perpecahan di dalam Partai Likud, yang
mana sangat menentang ideologi partai akan pemeliharaan kekuasaan bangsa
Yahudi terhadap Eretz Yisrael (the whole Land of Israel).18 Kebijakan ini pun
16 Ariel Sharon, “Fourth Herzliya Conference Speech”, Israel Ministry of Foreign Affairs, 2003.
Available:
http://www.mfa.gov.il/MFA/PressRoom/2003/Pages/Address%20by%20PM%20Ariel%20Sharon %20at%20the%20Fourth%20Herzliya.aspx (1 June 2013).
17
Jefferson Morley, “Israeli Withdrawal From Gaza Explained” (online), TheWashington Post, 10 August 2005. Available:
http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/content/article/2005/08/10/AR2005081000713.html (2 June 2013).
18
kemudian menjadi pertanda berakhirnya kehadiran tentara militer Israel di Gaza
dan sebagian wilayah West Bank selama 38 tahun semenjak perang six day war di tahun 1967.19 Benjamin Netanyahu yang menjabat sebagai Menteri Keuangan
dalam pemerintahan Perdana Menteri Ariel Sharon periode kedua, sangat
menentang secara keras keputusan Perdana Menteri Ariel Sharon yang dianggap
bersifat sepihak. Disengagement Plan ini kemudian menjadi pemicu perpecahan di dalam Partai Likud, yang membawa Ariel Sharon untuk kemudian memutuskan
keluar dari Partai Likud dan mendirikan partai baru yakni Partai Kadima, partai
beraliran tengah. Sedangkan Partai Likud yang sebelumnya diketuai oleh Perdana
Menteri Ariel Sharon, kembali diketuai oleh Benjamin Netanyahu.
Perubahan kebijakan yang sangat kontroversial ini ditambah lagi dengan
sosok seorang Ariel Sharon yang dikenal sebagai pemimpin militer dan politik
yang besar ditandai dengan dikenalnya ia sebagai: Daddy of the Settlements,20 promotor tajam perluasan gedung dan perluasan pemukiman Yahudi di
wilayah-wilayah Palestina; pemrakarsa tembok penghalang di sepanjang perbatasan Israel
- Palestina dan di West Bank.21 Tidak hanya itu, di kalangan bangsa Arab Ariel
Sharon juga dikenal sebagai dalang dari invasi Israel ke Lebanon pada tahun 1982
yang mana selama invasi tersebut, milisi Kristen Lebanon bersekutu dengan Israel
19
Jewish Virtual Library, Ariel Sharon (1928 – present) (online), undated. Available: http://www.jewishvirtuallibrary.org/jsource/biography/sharon.html (2 February 2013).
20
Ariel Sharon Life Story, Ariel Sharon Life Story Biography : 1977 – 1982 Settlement Fever and Peace with Egypt (online), undated. Available: http://www.ariel-sharon-life-story.com/12-Ariel-Sharon-Biography-1977-1982-Settlement-Fever-and-the-Peace-with-Egypt.shtm (3 March 2013).
21
dalam membantai ratusan warga Palestina di dua kamp pengungsian di bawah
kendali Israel semasa Ariel Sharon menjabat sebagai Menteri Pertahanan Israel.22
Perubahan kebijakan luar negeri dapat dibagi ke dalam dua perubahan
yakni perubahan yang dihasilkan dari perubahan rezim atau transformasi negara
dan perubahan yang terjadi ketika pemerintahan yang sedang berkuasa memilih
untuk mendorong suatu kebijakan luar negeri ke arah yang berbeda.23
Menjelaskan perubahan dalam kebijakan luar negeri, Charles F. Hermann
mengidentifikasikan empat level perubahan kebijakan luar negeri yakni perubahan
pengaturan, perubahan program, perubahan tujuan dan permasalahan, dan
perubahan orientasi internasional.24 Level pertama atau perubahan pengaturan
menekankan pada level usaha untuk mencapai tujuan dengan tidak mengubah
“apa yang dilakukan, bagaimana melakukannya, dan tujuan dari melakukannya”.
Level kedua atau perubahan program mengarah pada perubahan yang dibuat
dalam metode atau sarana yang mana didasarkan pada tujuan dan
permasalahannya. Dengan demikian perubahan program mengubah “apa yang
dilakukan dan bagaimana melakukannya” dan tidak mengubah “tujuan dari
melakukannya”. Level ketiga atau perubahan masalah atau tujuan mengarah pada
situasi dimana permasalahan awal atau tujuan yang mendasari suatu kebijakan
diganti atau telah hilang, sehingga tujuan dalam kebijakan yang baru pun berubah.
Level keempat atau perubahan orientasi internasional adalah perubahan kebijakan
22
Mid East Web, Biography – Ariel Sharon: Prime Minister of Israel (online), undated. Available: http://www.mideastweb.org/bio-sharon.htm (10 March 2013).
23Vinsensio Dugis, “Explaining Foreign Policy Change”,
Jurnal Masyarakat Kebudayaan daan Politik, vol. 21, no.2, 2010, p. 103.
24 Charles F. Hermann, “Changing Course: When Governments Choose to Redirect Foreign
yang paling ekstrem oleh karena melibatkan pengarahan ulang orientasi seluruh
negara terhadap dunia termasuk peran dan aktivitas internasionalnya.
Melihat pemahaman akan perubahan kebijakan luar negeri beserta
indikator-indikator perubahan kebijakan, disimpulkan bahwasanya terdapat
perubahan kebijakan luar negeri Israel masa pemerintahan Perdana Menteri Ariel
Sharon pada pemerintahan periode pertama dan kedua dalam menanggapi Intifada
Kedua. Pada pemerintahan pertama Perdana Menteri Ariel Sharon, Israel
menerapkan kebijakan Operation Defensive Shield yang bertujuan untuk meningkatkan keamanan Israel dari gerakan-gerakan Intifada. Melalui Operation Defensive Shield, Israel menggagalkan serangan-serangan “teror” oleh
“terorisme” Palestina terhadap Israel dengan melakukan pengokupasian kembali
wilayah-wilayah Palestina, West Bank dan Gaza oleh IDF. Dengan tujuan untuk
menggagalkan serangan “terorisme”, dalam Operation Defensive Shield Israel pun
menerapkan Targeted Killing Policy, kebijakan memberantas “terorisme” dengan menghancurkan infrastrukstur “terorisme” serta melakukan pembunuhan terhadap
aktivis “terorisme”. Tidak hanya itu, IDF pun melakukan pengepungan terhadap
markas besar pemimpin Otoritas Palestina Yasser Arafat di Ramallah lengkap
dengan peralatan militernya serta membangun tembok penghalang sepanjang 400
km yang membatasi wilayah Israel – Palestina guna menghalang serangan bom
bunuh diri masuk ke wilayah Israel.
Setelah terpilih kembali menjadi Perdana Menteri Israel pada Januari
2003, Perdana Menteri Ariel Sharon mengungkapkan niatannya akan perdamaian
Desember 2003, Disengagement Plan diperkenalkan sebagai kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan keamanan Israel serta mengurangi tingkat “teror”
oleh “terorisme” dengan mendorong perdamaian yang didasari oleh Roadmap
Peace Amerika Serikat dalam mencapai perdamaian di antara Israel – Palestina dan terbentuknya negara Palestina yang hidup berdampingan bersama dengan
Israel. Kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan keamanan Israel dengan
cara menarik mundur IDF dan persenjataan militer Israel serta mengevakuasi
8000 lebih pemukim Israel dari dua puluh satu pemukiman di Gaza dan empat
pemukiman Israel di West Bank secara unilateral, disetujui oleh Knesset pada
Oktober 2005 dan diimplementasikan pada 17 Agustus – 12 September 2005.25
I.2 Rumusan Masalah
Berkaitan dengan latar belakang tersebut, muncul kemudian permasalahan pokok
yang menjadi perhatian penulis yakni mengapa terjadi perubahan kebijakan luar
negeri oleh Ariel Sharon sebagai Perdana Menteri Israel dalam menanggapi
Intifada Kedua?
I.3 Kerangka Pemikiran
Terdapat beberapa model teoritis dalam menjelaskan apa yang melatarbelakangi
perubahan kebijakan luar negeri suatu negara. Untuk menjawab rumusan
masalah, penulis menggunakan gabungan dua model alternatif oleh Jakob
Gustavsson dan Joakim Eidenfalk yang melihat perubahan dapat hadir melalui
dua sumber yakni international source of change dan domestic source of change.
Dari kedua model alternatif, penulis menggunakan structural condition oleh Jakob Gustavsson dan window of opportunity oleh Joakim Eidenfalk dalam memahami perubahan kebijakan luar negeri Israel pada Intifada Kedua. Penulis
pun menggunakan international source of change yakni faktor global dan faktor hubungan bilateral untuk melihat pengaruh Amerika Serikat dalam
mempengaruhi kebijakan Israel dan domestic source of change yakni kepentingan kelompok oleh Joakim Eidenfalk untuk melihat pengaruh kelompok
dalam mempengaruhi perumusan kebijakan luar negeri Israel. Untuk
menjelaskan peran kelompok lebih dalam, penulis menggunakan small group
oleh Valerie M. Hudson dan bagaimana groupthink berperan besar pada perubahan persepsi kunci pengambil keputusan. Two-level games oleh Robert D. Putnam pun penulis gunakan untuk melihat bagaimana domestik dan politik
internasional dapat mempengaruhi satu sama lain dalam perumusan suatu
kebijakan.
Kebijakan luar negeri suatu negara adalah sesuatu yang dinamis yang
mana terjadinya perubahan kebijakan luar negeri dalam suatu negara menjadi
sesuatu yang sangat mungkin untuk terjadi, baik dalam satu pemerintahan
ataupun pemerintahan yang berbeda. Foreign Policy Analysis dalam studi Hubungan Internasional hadir sebagai teori untuk memahami kebijakan luar
negeri suatu negara serta perubahannya. Analisis suatu kebijakan luar negeri
dapat dimulai dengan menentukan faktor-faktor eksplanan dan eksplanandum.
Eksplanandum atau dependen dipahami sebagai apa yang ingin dijelaskan, 26
dimana dalam penelitian ini adalah perubahan kebijakan luar negeri Perdana
26 Valerie M. Hudson,
Menteri Ariel Sharon, Operation Defensiv Shield dan TargetedKilling Policy di pemerintahan periode pertama menjadi Disengagement Plan di pemerintahan periode kedua, dalam menanggapi Intifada Kedua. Sedangkan eksplanan atau
independen adalah faktor-faktor yang mempengaruhi perumusan kebijakan luar
negeri dan kunci pembuat kebijakan dari kebijakan luar negeri tersebut.27
Perubahan kebijakan luar negeri pada suatu negara tidak semata-mata
terjadi tanpa sebab atau tanpa faktor yang melatarbelakanginya. Model
Gustavsson dimaksudkan untuk berkontribusi dalam menganalisis kebijakan luar
negeri, dengan berusaha menjelaskan tindakan yang diambil oleh negara sebagai
unit individu dalam sistem internasional. Model Gustavsson membangun
penjelasan beberapa sebab berdasarkan faktor-faktor yang diambil dari berbagai
level analisis. Variabel dependen dalam hal ini oleh Gustavsson dimengerti
sebagai perubahan kebijakan luar negeri. Argumen teoritis Gustavsson adalah
bahwa perubahan kebijakan luar negeri terjadi ketika „kondisi struktural‟
mendasar yang mendukung suatu perubahan diidentifikasikan oleh „inti
pengambil keputusan‟, yang kemudian mengubah keyakinan dan prioritas
mereka dan melalui intervensi mereka dalam „proses pengambilan keputusan‟
membawa pada reorientasi perubahan pada kebijakan luar negeri.28 Kondisi
struktural dalam hal ini dilihat oleh Gustavsson sebagai sesuatu yang berkaitan
erat dengan sumber perubahan atau source of change.
Baik Gustavsson maupun Eidenfalk menekankan bahwasanya perubahan
suatu kebijakan pasti didasari oleh beberapa faktor atau yang disebut oleh
27
Hudson, pp. 5-6.
28Jakob Gustavsson, “How Should We Study Foreign Policy Change”,
Eidenfalk sebagai source of change yang secara luas dilatarbelakangi oleh faktor internasional dan faktor domestik. Robert D. Putnam berpendapat bahwasanya
faktor domestik dan internasional keduanya saling mempengaruhi dalam
perumusan suatu kebijakan. Politik domestik dapat mempengaruhi politik
internasional dan begitupun sebaliknya.29
Bagan I.1 Dinamika Kausal Perubahan Kebijakan Luar Negeri
Sumber: Jakob Gustavsson, “How Should We Study Foreign Policy
Change”, Journal of Cooperation and Conflict, 34:73, 1999, p. 85.
Faktor internasional dalam perubahan kebijakan memiliki peranan besar.
Politik internasional saat ini identik dengan sistem kompleks yang terdiri dari
negara, institusi dan aktor non-negara, yang kesemuanya saling berinteraksi di
level berbeda. Hubungan saling ketergantungan di antara aktor hubungan
internasional digunakan dalam menjelaskan pengaruh faktor internasional dalam
perumusan kebijakan luar negeri. Faktor internasional oleh Eidenfalk dibagi
kedalam empat source of change: faktor global, faktor regional, hubungan bilateral, dan aktor non-negara.30 Norma yang diterima oleh mayoritas aktor di
dalam sistem politik internasional juga menjadi pertimbangan dalam perubahan
kebijakan luar negeri. Tujuan yang diterima oleh aktor internasional kebanyakan
seperti halnya perluasan demokrasi, hak asasi manusia, non-intervensi di dalam
kedaulatan negara (adakalanya pengecualian terhadap penegakan hak asasi
manusia), dan menentukan nasib sendiri dapat memberikan pengaruh yang kuat
dalam kebijakan luar negeri suatu negara.31
Faktor global sebagai source of change dalam Eidenfalk, fokus terhadap perubahan sistem politik internasional yang berdampak secara global dan
memiliki efek pada perumusan kebijakan luar negeri suatu negara. Berakhirnya
Perang Dingin dan paska penyerangan 11 September menjadi salah satunya.
Tidak hanya itu institusi internasional dan norma-norma yang diterima juga
memiliki dampak besar dalam kebijakan luar negeri suatu negara. Pengaruh
suatu kejadian, pergeseran keseimbangan dalam sistem politik internasional,
pergeseran dalam norma internasional, atau institusi internasional kesemuanya
dapat memberikan dampak pada perumusan kebijakan luar negeri suatu negara.
Sedangkan hubungan bilateral di antara negara yang ada juga memberikan
dampak besar dalam perumusan suatu kebijakan. Aktor seperti negara dan
institusi internasional dapat mempengaruhi negara lain melalui penggunaan
pengaruh seperti halnya aliansi, perdagangan, atau melalui ancaman militer dan
30Joakim Eidenfalk, “
Towards a New Model of Foreign Policy Change”, Proceedings of the Australasian Political Studies Association Conference University of Newcastle, University of Wollongong, September 25 – 27 2006, pp. 2-7.
31
ekonomi, untuk memberi tekanan kepada mereka agar mengadopsi kebijakan
luar negeri yang berbeda.32
Tidak hanya faktor internasional, faktor domestik pun memiliki pengaruh
besar dalam perumusan kebijakan. Faktor domestik adalah sesuatu yang perlu
diperhatikan terutama dalam perubahan kebijakan. Hal ini dapat dilihat
bagaimana faktor domestik dapat mempengaruhi dan memberi tekanan pada
pembuat kebijakan sehingga terjadinya perubahan kebijakan dalam suatu
pemerintahan menjadi mungkin untuk terjadi. Hagan dalam Eidenfalk
berpendapat bahwasanya “government leaders have to deal with pressures and
constraints from domestic political sources, as well as the international political
system”.33
Eidenfalk menjabarkan lima sumber perubahan domestik yakni: birokrasi,
opini publik, media, kelompok kepentingan, dan partai politik.34 Akan tetapi
dalam penelitian ini penulis akan menggunakan small group dalam level domestik oleh Valerie M. Hudson, sebagai faktor perubahan kebijakan luar negeri Israel.
Perdana Menteri sebagai kepala pemerintahan Israel, memiliki kekuatan penuh
dalam merumuskan suatu kebijakan. Akan tetapi kelompok di sekeliling Perdana
Menteri tentu memiliki peranan penting yang tidak dapat diabaikan dalam
perumusan suatu kebijakan. Pengaruh dari kelompok-kelompok yang ada
berpotensi besar dalam mempengaruhi kepala pemerintahan untuk kemudian
merumuskan kebijakan sesuai dengan apa yang menjadi pemikiran dan
32
Eidenfalk, p. 6.
33 Hagan in Eidenfalk, p. 3. 34
kepentingan dari kelompok tersebut. Peran besar kelompok dalam suatu kebijakan
digambarkan oleh Irving Janis melalui proses Victims ofGroupthink.
Hudson dalam Foreign Policy Analysis: Classic and Contemporary Theory menekankan tiga pembagian kelompok dalam kelompok pembuat kebijakan berdasarkan rutinitas dan tingkat kekrisisan akan permasalahan
kebijakan luar negeri. Ketiga kelompok tersebut yakni organizational behavior,
bureaucratic policies, dan small group dynamics.35 Hudson membagi permasalahan kebijakan luar negeri ke dalam rutin dan non-rutin, yang mana
dalam hal ini organizational behavior dimaksudkan sebagai kelompok yang menanggapi permasalahan kebijakan luar negeri yang bersifat rutin. Sedangkan
permasalahan kebijakan luar negeri yang bersifat non-rutin terbagi kembali ke
dalam krisis dan non-krisis. Peran kelompok small group dynamics akan terlihat dalam permasalahan kebijakan luar negeri yang bersifat krisis dan non-rutin,
sedangkan peran kelompok bureaucratic policies terlihat dalam permasalahan kebijakan luar negeri yang bersifat non-krisis dan non-rutin.
Bagan I.2 Keterlibatan Kelompok dalam Perumusan Kebijakan Luar Negeri
35
Sumber: Valerie M. Hudson, Foreign Policy Analysis: Classic and Contemporary Theory, Rowman & Littlefield Publishers Inc, United State of America, 2007, p. 65.
Orang-orang yang berada di sekitar seorang pemimpin memiliki pengaruh
tersendiri dalam perumusan suatu kebijakan. Walaupun Ariel Sharon sebagai
Perdana Menteri menggambarkan dirinya sebagai wasit final dalam perumusan
kebijakan, seorang penasihat dan orang terdekat seperti Gilad Sharon, Omri
Sharon, Dov Weissglass, Moshe Kaplinsky, Eyal Arad, dan Eival Giladi dalam
beberapa hal telah membentuk kebijakannya dengan cara yang signifikan.36 Peran
kelompok kecil dalam perumusan kebijakan dianalogikan Breuning layaknya
gunung es, dimana pemimpin negara menjadi ujung tombak dalam pengambilan
keputusan serta terdapat peran krusial dari kelompok yang tidak terlihat secara
kasat mata, “foreign policy decisions are made closer to the tip of the iceberg: by
leaders and their small circle of advisors, or by group of policy makers”.37 Dalam
kelompok kecil ini para pembuat kebijakan bertemu tatap muka untuk kemudian
membuat kebijakan yang berdasarkan pada informasi dan analisis yang diberikan
oleh berbagai instansi dan departemen. Kelompok kecil atau small group menurut Breuning bukanlah kelompok yang menyerupai kabinet pemerintahan. Walaupun
beberapa pengamat mendefinisikan parlemen dan kabinet pemerintahan ke dalam
kelompok kecil, akan tetapi tidaklah demikian dengan apa yang didefinisikan oleh
Breuning. Anggota parlemen memang melakukan tatap muka sebagai suatu
kelompok, akan tetapi musyawarah yang terjadi diatur oleh peraturan dan
36
Ben Caspit, “Dov Weissglass –‘Consiglieri’ of the State of Israel” (online), Israel Behind The News, 15 March 2004. Available:
http://www.israelbehindthenews.com/bin/content.cgi?ID=1881&q=1 (28 May 2013).
37 Marijke Breuning,
protokol yang sangat formal. Dinamika kelompok kecil yang dimaksud yakni juga
terjadi dalam sub kelompok parlemen, akan tetapi mereka tidak selalu masuk ke
dalam sesi formal parlemen.
Setelah sumber perubahan atau source of change, model berikutnya dalam perubahan kebijakan luar negeri yakni window of opportunity oleh Eidenfalk yang mana terinspirasi dari langkah kedua model perubahan kebijakan
luar negeri Gustavsson dan “policy windows” oleh Roger Kingdon. Model
perubahan kebijakan luar negeri Eidenfalk mengandung variabel independen,
intervening, dan dependen.38 Seperti halnya dengan Gustavsson, Eidenfalk membagi variabel independen menjadi faktor internasional dan faktor domestik,
yang mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi dan tidak
mempengaruhi pemerintah dalam perumusan kebijakan luar negeri. Sedangkan
intervening variable menekankan pada proses pembuatan kebijakan. Model ini menguji kunci pembuat kebijakan dan mencoba untuk mengidentifikasi
bagaimana mereka mempersepsikan sebuah “jendela kesempatan” dalam
kategori variabel campur tangan (intervening). Eidenfalk berpandangan
bahwasanya perumus kebijakan mempersepsikan “jendela kesempatan” melalui
tekanan atau pengaruh dari source of change, atau menyadari bahwasanya terdapat kesempatan yang ditunggu-tunggu dan mendorongnya melalui agenda
kebijakan. Dengan kata lain, proses kebijakan dapat dimulai baik dengan sumber
perubahan atau dengan pengambil kebijakan itu sendiri.39
38 Eidenfalk, p. 1.
39
Persepsi menjadi kunci istilah pada intervening variable. Persepsi kunci perumus kebijakan dapat dipengaruhi oleh beberpa karakteristik personal. Enam
tipe berbeda akan karakterisitik personal pemimpin politik oleh Margaret G.
Hermann menjadi tinjauan dalam studi dan model perubahan kebijakan luar
negeri Eidenfalk. Enam tipe tersebut yakni keyakinan, motif, gaya pembuat
keputusan, gaya interpersonal, kepentingan dalam hubungan luar negeri, dan
pelatihan yang pernah didapat dalam hubungan luar negeri.40
Keyakinan mengacu pada asumsi-asumsi dasar pemimpin politik yang
berakibat pada penafsirannya atas lingkungan, dan secara lebih jauh berdampak
pada strategi-strategi yang diambil kemudian. Motif mengacu pada alasan
mengapa seorang pengambil kebijakan luar negeri melakukan hal tersebut. Gaya
pengambilan keputusan mengacu pada metode yang diambil seorang pembuat
kebijakan seperti sebagaimana terbukanya mereka akan informasi atau tingkat
resiko yang harus diambil. Gaya interpersonal mengacu pada bagaimana seorang
pemimpin politik melakukan kesepakatan dengan para pembuat kebijakan
lainnya, yang meliputi dua jenis yaitu paranoid (kecurigaan berlebihan) dan
Machiavellian (perilaku yang manipulatif). Pelatihan yang diperoleh dalam
hubungan luar negeri mengacu pada jumlah pengalaman yang diterima seorang
pembuat kebijakan dalam konteks pembuatan kebijakan luar negeri, yang
berpengaruh pada si pembuat kebijakan bertindak serta strategi apa yang akan
diambil. Kepentingan dalam hubungan luar negeri mengacu pada kepentingan
yang hendak diambil seorang pembuat kebijakan luar negeri, dimana jika
40
kepentingan tersebut kecil maka ia cenderung mendelegasikannya pada orang
lain, sementara jika besar, maka ia akan melakukan pemantauan secara langsung.
Eidenfalk berpandangan bahwasanya selain perubahan kondisi struktural
dapat menciptakan perubahan kebijakan luar negeri, para pembuat kebijakan juga
dapat menciptakan window of opportunity nya sendiri. Dengan demikian Eidenfalk menggambarkan dua skenario41 yang dapat membawa pada arah
perubahan kebijakan luar negeri:
Skenario 1: kondisi struktural mengalami perubahan – sumber perubahan
mempengaruhi/menekan – dipersepsikan dan ditanggapi oleh pembuat kebijakan
– proses pembuatan kebijakan – perubahan kebijakan luar negeri.
Skenario 2: agenda politik pembuat kebijakan – perubahan dalam kondisi
struktural – jendela kesempatan dipersepsikan oleh pembuat kebijakan – pembuat
kebijakan mendorong agendanya dalam proses pembuatan kebijakan – perubahan
kebijakan luar negeri.
Berdasarkan gagasan para ahli di atas, penulis menggabungkannya
menjadi satu kerangka berpikir sebagai berikut:
Bagan I.3 Gabungan Kerangka Pemikiran Untuk Menjelaskan Perubahan
Kebijakan Luar Negeri Israel Dalam Intifada Kedua.
41
two-level games oleh Robert D. Putnam dalam melihat hubungan faktor domestik dan faktor internasional dapat saling mempengaruhi satu sama lain; faktor global
dan faktor hubungan bilateral oleh Joakim Eidenfalk sebagai sumber perubahan
internasional; kelompok kecil dan groupthink oleh Valerie M. Hudson sebagai sumber perubahan domestik; window of opportunity oleh Eidenfalk dalam menggambarkan bagaimana tekanan internasional digunakan sebagai kesempatan
oleh kelompok kecil untuk mempertahankan kondisi stagnan pada proses
perdamaian Israel – Palestina; dan menggunakan argumen teoritis perubahan
kebijakan luar negeri oleh Gustavsson dalam melihat perubahan dasar kondisi
struktural yang diidentifikasikan oleh inti pengambil keputusan dan mengubah
keyakinan dan prioritas mereka dan melalui intervensi mereka dalam proses
pengambilan keputusan membawa reorientasi pada perubahan kebijakan luar
negeri.
I.4 Hipotesis
Menjawab rumusan masalah mengapa terjadi perubahan kebijakan luar negeri
oleh Ariel Sharon sebagai Perdana Menteri Israel dari kebijakan Operation Defensive Shield menjadi kebijakan Disengagement Plan dalam menanggapi Intifada Kedua? Penulis berhipotesis bahwasanya Ariel Sharon sebagai aktor
International Source of Change:
1. Global Factor 2. Bilateral Factor
Domestic Source of Change:
1. Small Group - Groupthink
kunci dalam pembuat keputusan dipengaruhi oleh dua faktor sebagai source of change. Pertama, level internasional dalam hal ini faktor global dan faktor hubungan bilateral dengan Amerika Serikat. Adanya perubahan kondisi struktural
di tingkat global setelah 9/11 dan adanya tekanan Amerika Serikat yang dapat
mengganggu hubungan bilateral Amerika Serikat - Israel, menjadikan Ariel
Sharon perlu melakukan identifikasi terhadap perubahan kondisi struktural yang
ada. Kedua, adanya pengaruh faktor domestik dalam hal ini kelompok kecil yang
berada di sekitar Perdana Menteri Ariel Sharon, groupthink, yang melihat tekanan internasional khususnya Amerika Serikat sebagai window of opportunity untuk mempertahankan kondisi stagnan sehingga proses perdamaian di antara Israel –
Palestina terhentikan
I.5 Tujuan Penelitian
1. Memperlihatkan bagaimana perubahan kebijakan luar negeri dalam suatu
pemerintahan terjadi.
2. Memberikan analisis terhadap pengaruh faktor global, faktor hubungan
bilateral, dan faktor small group dalam proses pengambilan kebijakan luar negeri.
3. Menganalisis perubahan kebijakan luar negeri Israel dalam Intifada
Kedua.
I.6 Metodologi Penelitian
I.6.1 Definisi Konseptual
Perubahan kebijakan luar negeri dapat dibagi ke dalam dua perubahan
yakni perubahan yang dihasilkan dari perubahan rezim atau transformasi negara
dan perubahan yang terjadi ketika pemerintahan yang sedang berkuasa memilih
untuk mendorong suatu kebijakan luar negeri ke arah yang berbeda.42
I.6.1.2 Struktur Sistem Internasional
Struktur dimengerti sebagai cara sesuatu dibangun, disusun, dan diorganisir.43
Struktur dalam Macmillan Dictionary dimengerti sebagai cara dimana beberapa bagian diatur atau disatukan untuk membentuk keseluruhan.44 Sedangkan sistem
oleh Mingst didefinisikan sebagai kumpulan unit-unit, objek-objek, atau bagian
yang dipersatukan oleh beberapa bentuk interaksi reguler. Struktur sistem
internasional kemudian dapat dimengerti sebagai pengaturan berinteraksi
kumpulan unit-unit dan objek-objek di dunia internasional. Oleh karena unit yang
satu berinteraksi dengan unit internasional yang lain, maka perubahan yang terjadi
pada satu unit akan mengakibatkan perubahan pada unit-unit yang lain.45
I.6.1.3 Tekanan Internasional
42
Dugis, p. 103.
43
Miriam Webster, An Encyclopedia Britannica Company (online), undated. Available: http://www.merriam-webster.com/dictionary/structure (25 March 2014).
44
Macmillan Dictionary (online), undated. Available:
http://www.macmillandictionary.com/dictionary/british/structure (25 March 2014).
45 Karen A Mingst,
Tekanan dimengerti sebagai beban fisik atau mental; situasi memaksa yang
membebani sosial ataupun ekonomi.46 Tekanan dalam kamus Oxford pun dijelaskan dengan penggunaan persuasi atau intimidasi untuk membuat seseorang
melakukan sesuatu; Mencoba untuk membujuk atau memaksa (seseorang) untuk
melakukan sesuatu.47 Sedangkan internasional adalah sesuatu yang menyangkut
bangsa atau negeri seluruh dunia; antarbangsa.48 Dengan demikian tekanan
internasional dimengerti sebagai keadaan yang tidak menyenangkan yang
umumnya merupakan beban dan paksaan yang hadir dari bangsa atau negeri
seluruh dunia.
I.6.1.4 Small Group dan Groupthink
Small group atau kelompok kecil adalah salah satu faktor domestik yang dapat membawa perubahan kebijakan luar negeri. Valerie M Hudson melihat
bahwasanya diskusi serius dalam situasi krisis menuntut pemimpin negara untuk
dapat duduk bersama dengan satu set rekan dan menghasilkan perdebatan opsi
kebijakan luar negeri yang komprehensif dan jujur. Tekanan kelompok kecil
dalam proses perumusan kebijakan terlihat pada groupthink. Groupthink adalah istilah psikologis yang digunakan untuk menggambarkan cara berpikir bahwa
orang-orang yang terlibat dalam pencarian keputusan menjadi begitu dominan
dalam keterpaduan kelompok yang cenderung mengesampingkan penilaian
realistis pada tindakan alternatif. Hal ini mengacu pada penurunan efisiensi
46
Miriam Webster, An Encyclopedia Britannica Company (online), undated. Available: http://www.merriam-webster.com/dictionary/pressure?show=0&t=1395732608 (25 March 2014).
47
Oxford Dictionaries, Oxford Dictionaries: Language Matter (online), undated. Available: http://www.oxforddictionaries.com/definition/english/pressure?q=pressure (25 March 2014).
48 Mirian Webster,
mental, pengujian realistis, dan penilaian moral sebagai akibat dari tekanan
kelompok.49
I.6.2 Operasionalisasi Konsep
I.6.2.1 Perubahan Kebijakan Luar Negeri
Perubahan dalam kebijakan luar negeri, Charles F. Hermann mengidentifikasikan
empat level perubahan kebijakan luar negeri yakni perubahan pengaturan,
perubahan program, perubahan tujuan dan permasalahan, dan perubahan orientasi
internasional.50 Level pertama atau perubahan pengaturan menekankan pada level
usaha untuk mencapai tujuan dengan tidak mengubah “apa yang dilakukan,
bagaimana melakukannya, dan tujuan dari melakukannya”. Level kedua atau
perubahan program mengarah pada perubahan yang di buat dalam metode atau
sarana yang mana didasarkan pada tujuan dan permasalahannya. Dengan
demikian perubahan program mengubah “apa yang dilakukan dan bagaimana
melakukannya” dan tidak mengubah “tujuan dari melakukannya”. Level ketiga
atau perubahan masalah atau tujuan mengarah pada situasi dimana permasalahan
awal atau tujuan yang mendasari suatu kebijakan diganti atau telah hilang,
sehingga tujuan dalam kebijakan yang baru pun berubah. Level keempat atau
49Paul ‘t Hart, ‘Irving L Janis Victims of Groupthink’,
Political Psychology, vol.12, no.2, 1991, p. 256.
50
perubahan orientasi internasional adalah perubahan kebijakan yang paling ekstrem
oleh karena melibatkan pengarahan ulang orientasi seluruh negara terhadap dunia
termasuk peran dan aktivitas internasionalnya.
I.6.2.2 Perubahan Struktur Sistem Internasional
Sistem internasional yang dipahami sebagai kumpulan unit dan objek yang
dipersatukan dalam bentuk interaksi reguler internasional dapat mengalami
perubahan. Perubahan yang terjadi pada satu unit dapat membawa perubahan pada
unit-unit yang lain. Perubahan baik dalam jumlah aktor atau hubungan kekuatan
relatif antara aktor-aktor yang ada, dapat mengakibatkan perubahan mendasar
dalam sistem internasional.51 Eidenfalk pun berpandangan bahwasanya pengaruh
dari suatu peristiwa dapat menggeser keseimbangan sistem politik internasional,
norma internasional, dan institusi internasional. Richard Ned Lebow pun
berpendapat bahwa kejadian internasional seperti perang, revolusi, dan depresi
dapat membawa transformasi mendalam pada sistem internasional. Lebew
menggambarkan bahwa perubahan sistem internasional sebenarnya bergantung
pada kemungkinan (contingency), katalis (catalysts), dan aktor.52 Kesemuanya kemudian memungkinkan untuk mengubah norma, polaritas sistem, atau aturan
dengan mana ia beroperasi. Perubahan sistem internasional ini dapat dilihat
setelah Perang Dingin berakhir dan peristiwa 9/11 terjadi. Kedua peristiwa
tersebut menjadi salah satu contoh bagaimana suatu peristiwa besar dapat
mengubah perilaku negara sebagai unit dalam sistem internasional.
51
Mingst, p. 89.
52Richard Ned Lebow, “Contingency, Catalysts, and International System Change”,
I.6.2.3 Tekanan Internasional
Eidenfalk dalam Toward a New Model of Foreign Policy Change berpendapat bahwasanya aktor seperti negara dan institusi internasional dapat mempengaruhi
negara lain dengan menggunakan pengaruh seperti halnya aliansi, perdagangan,
atau melalui ancaman militer dan ekonomi, untuk memberi tekanan kepada
mereka agar mengadopsi kebijakan luar negeri yang berbeda.53
I.6.2.4 Groupthink Pressure
Kekompakan suatu kelompok sangat menentukan keberhasilannya dalam
mencapai tujuan. Pada situasi krisis kekompakan kelompok pada umumnya
meningkat. Semakin kompak suatu kelompok, semakin besar dorongan batin
masing-masing individu untuk menghindari terciptanya perpecahan, yang
kemudian mendorong tiap individu untuk percaya pada kebaikan proposal apapun
yang dipromosikan oleh pemimpin atau oleh mayoritas anggota kelompok.54
I.6.3 Tipe Penelitian
Terdapat berbagai macam tipe riset dan penelitian menurut Uber Silalahi, ia
mengelompokkannya berdasarkan tujuannya. Penelitian-penelitian tersebut yakni
penelitian eksploratori, deskriptif, eksplanatori, dan penelitian komparatif.55
Penelitian eksploratori bertujuan untuk mengenal dan mengetahui gambaran
gejala sosial; penelitian deskriptif bertujuan untuk melukiskan fenomena secara
53
Eidenfalk, p. 6.
54‘t Hart, p. 258. 55Ulber Silalahi,
terperinci; penelitian ekplanatori bertujuan untuk menjelaskan hubungan antara
dua atau lebih gejala atau variabel dan bertitik tolak pada pertanyaan dasar
“mengapa”; dan terakhir penelitian komparatif bertujuan untuk membandingkan
dua gejala atau lebih.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan tipe penelitian eksplanatif
yang bertujuan untuk menjelaskan hubungan antara dua atau lebih variabel yakni
sistem internasional dan kelompok kecil (small group) dalam mempengaruhi perubahan kebijakan luar negeri Israel masa pemerintahan Perdana Menteri Ariel
Sharon dalam Intifada Kedua. Penggunaan tipe penelitian eksplanatori oleh
penulis juga dimaksudkan untuk dapat menjawab rumusan masalah penelitian ini
yang bertitik tumpu pada pertanyaan dasar “mengapa”.
I.6.4 Ruang Lingkup Penelitian
Dalam penelitian ini yang menjadi fokus utama adalah mengapa terjadi perubahan
kebijakan luar negeri pemerintah Israel masa Perdana Menteri Ariel Sharon dalam
Intifada Kedua. Kebijakan Operation Defensive Shield dan Targeted Killing Policy di awal pemerintahan Perdana Menteri Ariel Sharon dan di akhir masa jabatannya yang kedua, Perdana Menteri Ariel Sharon mengeluarkan kebijakan
Disengagement Plan, penarikan tentara, senjata, dan pemukiman Israel dari Gaza dan West Bank. Dengan demikian ruang lingkup yang akan peneliti gunakan
yakni penggunaan batasan waktu dari tahun 2000 hingga 2005. Hal ini erat
kaitannya dengan bagaimana Intifada Kedua itu terjadi, di awali oleh kunjungan
kontroversial Ariel Sharon ke Haram as Sharif di tahun 2000 dan dilanjutkan
Plan di tahun 2004, hingga pengesahan Diengagement Plan oleh Knesset dan pengimplementasiannya di tahun 2005.
I.6.5 Teknik Pengumpulan Data
Melakukan suatu penelitian terutama dalam ilmu pengetahun, menjadikan
pengumpulan data sesuatu yang penting untuk memperdalam penelitian penulis
serta memperkuat hasil penelitian yang diteliti. Suatu penelitian tidak hanya
bergantung kepada pemilihan teori, penggunaan metode, dan penentuan level
analisis. Akan tetapi hasil akhir penelitian serta relevan tidaknya suatu penelitian
juga sangat ditentukan oleh proses pengumpulan data. Dalam sebagian besar
penelitian, studi literatur menjadi teknik pengumpulan data yang paling sering
digunakan karena menjadi sesuatu bagian yang esensial dalam melakukan projek
penelitian.56 Teknik pengumpulan data yang ada pada penelitian ini pun mengarah
pada sumber sekunder. Teknik yang akan peneliti gunakan dalam penelitian ini
yakni melalui pengumpulan hasil wawancara aktor-aktor terkait yang baik dalam
buku, berita internasional maupun tulisan lainnya, jurnal-jurnal yang berkaitan
dengan topik penelitian, surat, arsip hasil rapat, arsip pemerintahan, dan lain
sebagainya.
I.6.6 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
kualitatif. Analisis kualitatif dalam suatu penelitian menekankan kepada
interpretasi data serta pernyataan yang diperoleh dari pengumpulan data secara
sekunder maupun primer yang kemudian dikaitkan dengan teori, konsep, dan
56 Chris Hart,
preposisi yang telah ditentukan oleh peneliti.57 Dengan menggunakan teknik
analisis kualitatif, data yang terkumpul akan terklasifikasikan dan memperluas
teks. Analisis kualitatif ini terdiri atas tiga alur kegiatan secara bersamaan, yaitu
reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan atau verifikasi.58
I.6.7 Sistematika Penulisan
Bab I berisikan penjelasan secara garis besar mengenai penelitian ini. Bab
ini terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, kerangka
pemikiran, hipotesis, tujuan penelitian, dan metodologi penelitian.
Bab II berisikan analisis pengaruh faktor global dan hubungan bilateral
terutama Amerika Serikat dalam perumusan kebijakan luar negeri Israel
masa pemerintahan Perdana Menteri Ariel Sharon dalam Intifada Kedua.
Bab ini juga akan memberikan penjelasan mengenai kebijakan Operation Defensive Shield.
Bab III berisikan dinamika kelompok kecil dalam menanggapi tekanan
internasional serta analisis pengaruh kelompok kecil pada perumusan
kebijakan luar negeri Israel, Disengagement Plan, masa pemerintahan Perdana Menteri Ariel Sharon dalam Intifada Kedua. Bab ini juga akan
memberikan penjelasan mengenai proses dan pengimplementasian
kebijakan Disengagement Plan.
57
David Silverman, Interpreting Qualitative Data, SAGE Publications, London, 2006, p. 327. 58
Bab IV berisikan analisis menyeluruh, menjawab rumusan masalah
dengan membuktikan hipotesis melalui temuan-temuan yang diperoleh
pada pembahasan di bab II dan III, kesimpulan penelitian, dan
rekomendasi penelitian lebih lanjut.
BAB II
ANALISIS LEVEL INTERNASIONAL SEBAGAI SUMBER PERUBAHAN
II. 1 Tekanan Internasional di Awal Pemerintahan Perdana Menteri Ariel Sharon
Pemilihan umum Perdana Menteri Israel yang diselenggarakan di tengah-tengah
gejolak perlawanan masyarakat Palestina terhadap okupasi Israel pada Februari
2001 pun dimenangkan oleh Ariel Sharon dari Partai Likud dengan mengalahkan
lawan politiknya Ehud Barak dari Partai Buruh. Sosok seorang Ariel Sharon yang
dikenal keras dan tegas, dipandang oleh masyarakat Israel sebagai national authority on security59 yang dapat memberikan keamanan bagi Israel dari
serangan “terorisme” Palestina.
59 Gilad Sharon,
Ariel Sharon sebagai Perdana Menteri Israel terpilih pun perlu
menghadapi situasi kompleks Intifada Kedua. Di satu sisi, Ariel Sharon terpilih
menjadi perdana menteri pada era dimana serangan bom bunuh diri pejuang
Palestina terhadap masyarakat Israel terus meningkat secara intensif. Skala
serangan bom bunuh diri pejuang Palestina yang dilihat oleh Israel sebagai
gerakan “terorisme” telah mengalami peningkatan tajam dibandingkan dengan
serangan perlawanan Palestina terhadap bangsa Yahudi di tahun-tahun
sebelumnya. Di satu sisi lain, terdapat front diplomatik dari dunia internasional
terutama di Eropa, dimana demokrasi dan liberalisme menjadi landasan
masyarakatnya dan hak-hak warga negara akan perdamaian dan ketenangan
tertanam secara mendalam. Sebagian besar negara-negara di Eropa tersebut
mengambil pandangan sebagai pro Palestina mengenai perang Israel dalam
melawan gerakan “teror” oleh “terorisme” Palestina pada Intifada Kedua. Posisi
sebagian besar negara-negara Eropa ini dipandang oleh Perdana Menteri Ariel
Sharon telah mengesampingkan hak masyarakat Israel untuk mendapatkan
keamanan dan ketenangan serta hak untuk membela diri.60
Di tengah-tengah tekanan Internasional terhadap Israel, Perdana Menteri
Ariel Sharon juga mengkhawatirkan kebijakan pemerintahan Amerika Serikat
sebagai negara sahabat di bawah pemerintahan Presiden George W. Bush terhadap
Israel oleh karena Presiden Bush yang dipandang akan melanjutkan kebijakan
Presiden Bush sang ayah dan pemerintahan Presiden Clinton.61 Kekhawatiran
Perdana Menteri Ariel Sharon ini terbukti setelah Amerika Serikat di bawah
60
Sharon, pp. 423-424.
61 Elliot Abrams,
tekanan Saudi Arabia, mengeluarkan kebijakan yang mendukung terbentuknya
negara Palestina serta menekan Israel untuk menghentikan kebijakan
ekspansionisnya di wilayah pendudukan Palestina. Dukungan Amerika Serikat
akan solusi dua negara ini menjadi jawaban di dalam surat Presiden Bush kepada
Putra Mahkota Saudi Arabia, Pangeran Abdallah di musim panas 2001, “establish
for the first time that the U.S. Policy henceforth would be to support a two-state
solution”.62
Kebijakan Amerika Serikat yang mendukung terbentuknya negara
Palestina ini kemudian direncanakan untuk diperkenalkan melalui pidato Presiden
Bush di depan negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 12
September 2011 pagi hari; akan tetapi menjadi sangat dramatis ketika di hari
penyusunan naskah akhir pidato Presiden Bush mengenai dukungan terbentuknya
negara Palestina pada 11 September 2001, terjadi penabrakan pesawat ke World
Trade Center (WTC).63
II.2 11 September 2001
Serangan 11 September atau yang dikenal dengan 9/11 adalah suatu kejadian
besar yang mengubah struktur sistem internasional dan prioritas global. Perdana
Menteri Ariel Sharon menyadari betul bahwasanya tatanan dunia baru paska 9/11
telah membawa Israel pada posisi yang sangat sulit.64 Solidaritas terhadap
penderitaan bangsa Palestina dalam konflik Israel – Palestina serta dukungan
Amerika Serikat kepada Israel yang berlebihan, dipandang sebagai salah satu
pemicu utama dalam mengobarkan kemarahan dan kebencian kepada Amerika
62
Dennis Ross, The Missing Peace: The Inside Story of the Fight for Middle East Peace, Farrar, Straus and Giroux, New York, 2004, pp. 688-689.
63 Abrams, p.45. 64
Serikat atau dalam hal ini yakni anti-Amerika.65 Berangkat dari pandangan
alternatif ini kemudian dirasa perlu untuk mengkaji ulang dan melakukan
beberapa pengubahan sebagaimana yang disampaikan oleh Menteri Luar Negeri
Collin Powell kepada Presiden Bush sesaat setelah peristiwa 9/11 terjadi; “We
need a serious Arab – Israeli peace initiative”.66 Konsensus Amerika Serikat yang
bersandar pada pandangan tersebut diperkuat oleh konsensus serupa di Eropa,
dimana dukungan terhadap tentara keamanan Israel sangatlah kecil dibandingkan
dengan besarnya protes masyarakat Uni Eropa terhadap kebijakan Perdana
Menteri Ariel Sharon dalam menghentikan gerakan Intifada Kedua.67
Menurunnya dukungan dan pemahaman akan Israel oleh Amerika Serikat
dan Uni Eropa paska 9/11 telah membawa Israel pada posisi yang sulit; terlebih
lagi ketika tuntutan untuk meningkatkan keamanan dari gerakan “terorisme”
Intifada Kedua telah menjadi prioritas utama Israel. Perdana Menteri Ariel Sharon
memahami betul bahwasanya setiap kebijakan baru yang dirumuskan oleh
Washington paska 9/11 akan memiliki beberapa kemungkinan yang dapat
membantu dan juga dapat membahayakan posisi Israel.68 Perdana Menteri Ariel
Sharon pun menyadari adanya proses negosiasi dan diplomasi di antara
negara-negara Arab dan sekutu Eropa Amerika yang menekan Presiden Bush untuk
menindak Israel serta berupaya melawan kebijakan Israel dalam menanggapi
65
John J. Mearsheimer and Stephen M. Walt, The Israeli Lobby and U.S. Foreign Policy, Farrar, Straus and Giroux, New York, 2007, pp. 64-66.
66
Collin in Abrams, pp. 50.
67 Abrams, p. 51. 68
Intifada Kedua, dengan mengklaim bahwasanya hal tersebut adalah kunci untuk
memerangi Al Qaeda.69
Tekanan Amerika Serikat terhadap Israel mulai terlihat pada akhir bulan
September 2001. Presiden Bush mulai mendesak Perdana Menteri Ariel Sharon
untuk memberhentikan proses pembangunan pemukiman Israel di wilayah
pendudukan Palestina serta melakukan apapun yang mungkin untuk dapat
meredam aksi kekerasan Intifada Kedua.70 Setelah serangan 9/11, Amerika Serikat
di bawah pemerintahan Presiden Bush memberikan tekanan yang luar biasa
kepada Perdana Menteri Ariel Sharon agar memperbolehkan Menteri Luar Negeri
Israel, Shimon Peres, untuk dapat bertemu dengan pemimpin Otoritas Palestina,
Yasser Arafat; meskipun Presiden Bush sendiri sangatlah kritis terhadap
kepemimpinan Palestina di bawah Yasser Arafat.71
Menyadari adanya panggilan akan kebijakan baru yang merujuk pada
“proses perdamaian”, Jenderal Kaplinsky Sekretaris Militer Israel masa
pemerintahan Perdana Menteri Ariel Sharon, mengungkapkan kekhawatiran
Perdana Menteri Ariel Sharon terhadap pemerintahan Amerika Serikat yang kapan
saja dapat dan akan mengorbankan Israel dalam rangka menciptakan koalisi baru
di wilayah Teluk Arab.72 Kekhawatiran Perdana Menteri Ariel Sharon terhadap
Amerika Serikat yang akan mengabulkan keinginan negara-negara Eropa untuk
memberikan tekanan terhadap Israel demi membangun hubungan baik dengan
Saudi Arabia dan negara-negara Arab lainnya, membawa Perdana Menteri Ariel
69
Abrams, p. 52.
70
Mearsheimer and Walt, p. 204.
71Jane Perlez and Katherine Q. Seelye, “
U.S. Strongly Rebukes Sharon for Criticism of Bush Calling
It ‘Unacceptable’” (online), New York Times, 6 October 2001. Available:
http://www.nytimes.com/2001/10/06/international/06DIPL.html (25 April 2014).
72