KATA PENGANTAR
Pulau Yamdena merupakan bagian dari gugusan Kepulauan Tanimbar, Provinsi Maluku.
Pulau ini sebagai sentra administrasi pemerintahan dan perekonomian di Kabupaten
Maluku Tenggara Barat. Dengan semakin bertambahnya tahun, perkembangan
pembangunan di pulau ini semakin pesat. Hal ini berakibat meningkatnya pula laju
degradasi hutan yang tentunya apabila tidak segera disikapi dengan bijaksana akan
mengancam kelestarian lingkungan.
Meningkatnya laju degradasi hutan ini menjadi keprihatinan dan perhatian dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, PT.Kurnia Sylva Consultindo sebagai konsultan kehutanan
mencoba melakukan kajian terhadap degradasi hutan di Pulau Yamdena.
Semoga kajian ini bermanfaat dan dapat dijadikan bahan evaluasi maupun bahan
pertimbangan bagi pihak-pihak yang berkompeten.
Jakarta, Agustus 2009
Tim Penyusun,
PT. Kurnia Sylva Consultindo
H. Tutupan Lahan Tahun 2005 ... IV - 21 I. Tutupan Lahan Tahun 2006 ... IV - 23 J. Tutupan Lahan Tahun 2007 ... IV - 25 K. Tutupan Lahan Tahun 2008 ... IV - 27 4.2.3. Laju Degradasi Hutan ... IV - 29
4.2.4. Perbandingan Kondisi Tutupan Lahan di
Dalam dan di Luar Areal Eks IUPHHK-HA ... ... IV - 36
4.2.5. Kondisi Tutupan Lahan di Dalam Areal
IUPHHK-HA Eksisting ... ... IV - 40 4.3. PEMBUKAAN WILAYAH ... IV - 41
DAFTAR TABEL
Tabel 2.5. Temperatur Udara Rata-Rata, Maksimum dan
Minimum Bulanan ... II - 7 Tabel 2.6. Kondisi Angin Bulanan ... II - 8 Tabel 2.7. Neraca Air Lahan untuk Stasiun Saumlaki ... II - 9 Tabel 2.8. Jenis Mamalia yang terdapat di Pulau Yamdena ... II - 10 Tabel 2.9. Jenis Reptil yang terdapat di Pulau Yamdena ... II - 10 Tabel 2.10. Jenis-jenis Satwa yang terdapat di Cagar Alam
Nustaram Timur Tanimbar Utara ... II - 11 Tabel 2.11. Panjang Jalan Darat Berdasarkan Tipe Jalan di
Kecamatan Tanimbar ... II - 13 Tabel 2.12. Jumlah Dermaga, Terminal dan Lapangan Terbang ... II - 13 Tabel 2.13. Sarana Angkutan di Beberapa Desa di Kecamatan
Tanimbar Utara serta Jaraknya terhadap Ibukota
Kecamatan ... II - 14 Tabel 2.14. Sarana Angkutan di Beberapa Desa di Kecamatan
Tanimbar Selatan serta Jaraknya terhadap Ibukota
Kecamatan ... II - 15 Tabel 2.15. Luas Desa Kecamatan Tanimbar Utara... II - 16 Tabel 2.16. Luas Desa Kecamatan Tanimbar Selatan ... II - 17 Tabel 2.17. Kondisi Kependudukan (Jumlah, Kepadatan dan
Pertumbuhan Penduduk) di Kedua Wilayah ... II - 18 Tabel 2.18. Komposisi Penduduk di Kedua Wilayah ... II - 19 Tabel 2.19. Penyebaran Keluarga Berdasarkan Mata Pencaharian
di Kedua Kecamatan Tanimbar ... II - 20 Tabel 2.20. Pendapatan Perkapita dari Beberapa Desa Sample
untuk Kecamatan Tanimbar Utara dan Tanimbar
Selatan ... III - 24 Tabel 3.1. Kawasan Hutan di Pulau Yamdena Berdasarkan TGHK
Tahun 1984 ... III - 1 Tabel 3.2. Kawasan Hutan di Pulau Yamdena Berdasarkan KHP
Tahun 1999 ... III - 2 Tabel 3.3. Tutupan Lahan di Pulau Yamena Tahun 1998 sampai
2008 ... III - 3 Tabel 4.1. Perbandingan Pembagian Kawasan Berdasarkan
TGHK dengan KHP Pulau Yamdena ... IV - 1 Tabel 4.2. Pengalihan Fungsi Kawasan dari TGHK menjadi KHP
Tabel 4.9. Tutupan Lahan Per Fungsi Kawasan Tahun 2003... IV - 17 Tabel 4.10. Tutupan Lahan Per Fungsi Kawasan Tahun 2004... IV - 19 Tabel 4.11. Tutupan Lahan Per Fungsi Kawasan Tahun 2005... IV - 21 Tabel 4.12. Tutupan Lahan Per Fungsi Kawasan Tahun 2006... IV - 23 Tabel 4.13. Tutupan Lahan Per Fungsi Kawasan Tahun 2007... IV - 25 Tabel 4.14. Tutupan Lahan Per Fungsi Kawasan Tahun 2008... IV - 27 Tabel 4.15. Perubahan Kondisi Tutupan Lahan Pulau Yamdena ... IV - 30 Tabel 4.16. Laju Degradasi Hutan Per Tahun Per Fungsi Kawasan
di P.Yamdena... IV -33 Tabel 4.17. Perubahan Penutupan Lahan Per Fungsi Kawasan ... IV -34 Tabel 4.18. Perbandingan Laju Degradasi Hutan di Dalam dan
di Luar Areal Eks IUPHHK-HA dan Luar Eks
IUPHHK-HA ... IV -37 Tabel 4.19. Perubahan Penutupan Lahan Pada Areal Konsesi Eks
HPH dan Areal Luar Eks HPH P.Yamdena... IV -39 Tabel 4.20. Kondisi Tutupan Lahan PT.Karya Jaya Berdikari ... IV -41 Tabel 4.21. Perkembangan Penambahan Panjang Jalan di
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 4.1. Perbandingan Luas TGHK dengan KHP Pulau
Yamdena ... IV -2 Gambar 4.2. Peta Pembagian Fungsi Kawasan Berdasarkan
TGHK dan KHP ... IV -4 Gambar 4.3. Tampilan Citra Landsat Sebagian Pulau Yamdena IV -6
Gambar 4.4. Grafik Tutupan Lahan Per Fungsi Kawasan
P.Yamdena Tahun 1998 ... IV -7 Gambar 4.5. Peta Tutupan Lahan Pulau Yamdena Tahun 1998 . IV -8
Gambar 4.6. Grafik Tutupan Lahan Per Fungsi Kawasan
P.Yamdena Tahun 1999 ... IV -9 Gambar 4.7. Peta Tutupan Lahan Pulau Yamdena Tahun 1999 .. IV -10
Gambar 4.8. Grafik Tutupan Lahan Per Fungsi Kawasan
P.Yamdena Tahun 2000 ... IV -11 Gambar 4.9. Peta Tutupan Lahan Pulau Yamdena Tahun 2000 .. IV -12 Gambar 4.10. Grafik Tutupan Lahan Per Fungsi Kawasan
P.Yamdena Tahun 2001 ... IV -13 Gambar 4.11. Peta Tutupan Lahan Pulau Yamdena Tahun 2001 .. IV -14 Gambar 4.12. Grafik Tutupan Lahan Per Fungsi Kawasan
P.Yamdena Tahun 2002 ... IV -15 Gambar 4.13. Peta Tutupan Lahan Pulau Yamdena Tahun 2002 .. IV -16 Gambar 4.14 . Grafik Tutupan Lahan Per Fungsi Kawasan
P.Yamdena Tahun 2003 ... IV -17 Gambar 4.15. Peta Tutupan Lahan PulauYamdena Tahun 2003 ... IV -18 Gambar 4.16. Grafik Tutupan Lahan Per Fungsi Kawasan
P.Yamdena Tahun 2004 ... IV -19 Gambar 4.17. Peta Tutupan Lahan Pulau Yamdena Tahun 2004 .. IV -20 Gambar 4.18. Grafik Tutupan Lahan Per Fungsi Kawasan
P.Yamdena Tahun 2005 ... IV -21 Gambar 4.19. Peta Tutupan Lahan Pulau Yamdena Tahun 2005 .. IV -22 Gambar 4.20. Grafik Tutupan Lahan Per Fungsi Kawasan
P.Yamdena Tahun 2006 ... IV -23 Gambar 4.21. Peta Tutupan Lahan Pulau Yamdena Tahun 2006 .. IV -24 Gambar 4.22. Grafik Tutupan Lahan Per Fungsi Kawasan
P.Yamdena Tahun 2007 ... IV -25 Gambar 4.23. Peta Tutupan Lahan Pulau Yamdena Tahun 2007 .. IV -26 Gambar 4.24. Grafik Tutupan Lahan Per Fungsi Kawasan
P.Yamdena Tahun 2008 ... IV -27 Gambar 4.25. Peta Tutupan Lahan Pulau Yamdena Tahun 2008 .. IV -28 Gambar 4.26. Prosentase Perubahan Tutupan Lahan P.Yamdena IV -29 Gambar 4.27. Tutupan Hutan P.Yamdena... IV -31 Gambar 4.28. Tutupan Hutan Setiap Fungsi Kawasan... IV -32 Gambar 4.29. Tampilan Citra Satelit Kota Sumlaki ... IV -33 Gambar 4.30. Grafik Tutupan Hutan di Dalam dan di Luar
Areal Eks IUPHHK-HA ... IV -37
Gambar 4.32. Peta Tutupan Lahan PT. Karya Jaya Berdikari. IV - 40
Gambar 4.33. Grafik Tutupan Lahan PT. Karya Jaya
Berdikari... IV - 41 Gambar 4.34. Garfik Perkembangan Pembangunan Jalan di
P.Yamdena... IV - 42 Gambar 4.35. Perkembangan Pembangunan Jalan menurut
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Hutan tropika basah merupakan salah satu ekosistem yang banyak membangkitkan minat
orang untuk mempelajarinya dan juga sekaligus ancaman apabila salah dalam
pengambilan kebijakan dalam pengelolaannya. Oleh karena itu pengelolaan hutan tropika
menjadi sorotan dunia.
Intervensi manusia dalam pemanfaatan dan manipulasi terhadap hutan baik pada masa
silam maupun sekarang merupakan pengalaman yang konsekuensinya tidak dapat
dihindarkan, yaitu berupa kerusakan baik biologi (vegetasi) maupun fisik (tanah dan iklim).
Data aktual tentang laju konversi hutan tropis sangat sulit diperoleh karena datanya
sangat beragam. FAO (1992) memperkirakan bahwa laju deforestasi hutan tropis sekitar
17 juta ha per tahun. Dari angka tersebut menurut USP et al. (1990) sebagian besar
dikonversi menjadi lahan pertanian, padang rumput (areal penggembalaan) dan hutan
tanaman. Kurang lebih 5,1 juta ha berupa hutan sekunder tanpa pengelolaan dan
perlakuan silvikultur yang memadai. Deforestasi hutan tropis tidak hanya berpengaruh
pada produksi kayu tetapi juga lingkungan secara global.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas maka Jordan (1985) menyatakan bahwa ada
tiga level tingkat kerusakan (disturbance), yaitu rendah, sedang dan tinggi. Kategori pertama mencakup skala kecil seperti pohon tumbang secara alami yang kemudian
membentuk gap (celah). Sedangkan yang termasuk kategori kedua adalah tebang pilih
dan perladangan berpindah. Adapun yang tergolong kelompok ketiga yaitu tebang habis
yang digunakan untuk tujuan lain seperti hutan tanaman dan perkebunan.
Dengan mengacu pada kategori kedua seperti di atas, intervensi manusia terhadap hutan
tropis telah menyebabkan kerusakan baik vegetasi maupun lapisan tanah atas. Dalam
hubungannya dengan dampak penebangan terhadap vegetasi, yaitu semakin banyak
jenis tumbuhan yang terancam punah. Sedangkan yang berkaitan dengan kerusakan
tanah menyangkut dua aspek yaitu kerusakan fisik (pemadatan) dan kimia (pencucian
Pertambahan jumlah penduduk berakibat pula bertambahnya jumlah kebutuhan
penunjang kehidupan, salah satunya kebutuhan kayu. Oleh karena itu tidak dapat
dipungkiri bahwa pasokan kayu ke masyarakat diharapkan akan tetap terpenuhi dari
tahun ke tahun atau dengan kata lain eksploitasi hutan tropis seharusnya tetap berjalan
dari masa ke masa. Namun demikian eksploitasi hasil hutan ini berdampak terhadap
menurunnya nilai lingkungan/ekosistem. Berbagai metode teknis dan peraturan
perundangan telah ditetapkan dan dituangkan dalam rangka pengelolaan hutan untuk
menjaga kelestarian produksi dan lingkungan.
Salah satu wilayah yang mempunyai potensi penghasil kayu hutan tropis adalah Pulau
Yamdena, sebuah pulau terbesar dalam gugusan Kepulauan Tanimbar yang berada di
Kabupaten Maluku Tenggara Barat Provinsi Maluku. Pulau yang mempunyai luas 325.725
ha ini telah dilakukan eksploitasi oleh PT. Alam Nusa Segar dengan SK Menteri
Kehutanan No. 215/Kpts-II/1991 tanggal 23 April 1991 dengan luas 164.000 Ha.
Kemudian di-addendum dengan SK Menteri Kehutanan No. 1107/Kpts-II/1992 tanggal 12
Desember 1992 dan berganti nama PT. Yamdena Hutani Lestari dengan luas 160.725
Ha. Dikarenakan perusahaan Yamdena Hutani Lestari melakukan eksploitasi berlebih
maka perusahaan ini dicabut oleh Menteri Kehutanan dengan SK pencabutan No.
200/Menhut-II/2007 tanggal 16 Mei 2007.
Keberadaan isu degradasi hutan di Pulau Yamdena telah berkembang dari kalangan
masyarakat setempat, LSM, pemerintah daerah maupun instansi internasional (Uni
Eropa, CIRAD Perancis dan Bird Life). Pada saat ini, isu yang diangkat terhadap
degradasi hutan di wilayah ini mengarahkan kesalahan kepada pihak investor yang
mengeksploitasi hutan berlebih dan juga pemerintah yang telah membagi tata ruang
wilayah yang kurang tepat. Pada awalnya penetapan areal yang dapat dieksploitasi
berpedoman pada Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang diterbitkan sekitar
tahun 1980-an. Pada Tahun 2003 pemerintah daerah menetapkan Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) Kabupaten Maluku Tenggara Barat yang ditetapkan melalui Perda
No.10 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Maluku Tenggara
Barat, yang merupakan adopsi dari Peta Kawasan Hutan dan Perairan Tahun 1999 (SK
Menteri Kehutanan No 415/Kpts-II/1999). Dengan desakan dan masukan berbagai
kalangan maka Bupati Maluku Tenggara Barat mengeluarkan Surat Keputusan
No.522-071-Tahun 2006 tentang Usulan Perubahan Status dan Fungsi Kawasan Hutan Pulau
Yamdena Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Kemudian disusul Surat Dukungan DPRD
MTB terhadap Permohonan Penilaian hingga Pengesahan Usulan Perubahan Status
Lahan dan Fungsi Kawan Hutan Pulau Yamdena.
Keberadaan hutan di Pulau Yamdena merupakan aset yang perlu dimanfaatkan untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat akan kayu dan pemenuhan pendapatan daerah
setempat. Pengelolaan hutan harus dijalankan dengan kaedah profesional dengan
pertimbangan kelestarian hasil maupun kelestarian lingkungan. Dengan pertimbangan hal
tersebut maka pemerintah membuka peluang lagi bagi investor untuk mengeksploitasi
hutan Yamdena. Pada Tahun 2007 Gubernur Maluku memberi rekomendasi
(No.522.11-26) kepada PT.Karya Jaya Berdikari (KJB) memanfaatkan hasil hutan kayu di wilayah
Pulau Yamdena, begitu juga untuk Bupati Maluku Tenggara Barat lewat Surat
Rekomendasi Bupati No.522/093/Rek/2007 sedangkan Surat Ijin Usaha Pemanfaatan
Hasil Hutan Kayu dari Menteri Kehutanan dikeluarkan pada tanggal 19 Maret 2009
dengan SK.117/Menhut-II/2009. Namun demikian setelah semua perijinan diterbitkan
timbulah penolakan dari berbagai kalangan bagi investor yang akan mengelola hutan di
Pulau Yamdena. Seperti alasan-alasan sebelumnya bahwa penolakan ini mengangkat isu
kekawatiran degradasi hutan di Pulau Yamdena.
Dengan memperhatikan berbagai isu yang berkembang tentang degradasi hutan di Pulau
Yamdena maka PT.Kurnia Sylva Consultindo sebagai konsultan yang peduli terhadap
kajian kehutanan merasa tertarik untuk meneliti tingkat degradasi hutan Pulau Yamdena
yang pada saat ini telah berjalan dengan menggunakan acuan tampilan time series
penutupan lahan dari citra satelit. Dengan dibuatkan kajian ini diharapkan dapat
dimanfaatkan dan menjadi bahan pertimbangan oleh berbagai pihak untuk memutuskan
kebijakan terhadap pengelolaan hutan Pulau Yamdena.
1.2. MAKSUD DAN TUJUAN
Maksud disusunnya Kajian Degdadasi Hutan di Pulau Yamdena adalah untuk
memberikan hasil kajian ilmiah bagi pihak yang berkepentingan terhadap kelestarian
hutan di Pulau Yamdena sehingga diharapkan pihak yang berkepentingan tersebut dapat
menggunakan hasil kajian ini sebagai bahan untuk memberikan pertimbangan dalam
pengambilan kebijakan.yang tepat.
Sedangkan tujuan dari kajian ini adalah :
1. Memperoleh data tingkat degradasi hutan berdasarkan kondisi penutupan lahan
2. Memperoleh data perubahan kawasan dari acuan TGHK menjadi Peta Kawasan
Hutan dan Perairan.
3. Memperoleh data tingkat pembukaan wilayah.
1.3. BATASAN
Dalam kajian ini muncul berbagai istilah-istilah yang batasan pengertiannya seperti di
bawah ini.
1. Degradasi hutan : adalah penurunan fungsi hutan yang berdampak pada
berkurangnya potensi produksi hasil hutan maupun berkurangnya fungsi daya
dukung lingkungan.
2. Peta RTRW Kabupaten adalah Peta yang membagi wilayah kabupaten menurut
rancangan tata ruang kewilayahan.
3. Peta TGHK (Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan) adalah Peta yang membagi
kawasan hutan menurut kemampuan kondisi fisik wilayah berdasarkan keadaan
kelerengan, jenis tanah dan iklim. Peta ini dipakai sebagai acuan pengelolaan
wilayah sebelum diterbitkannya Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan.
4. Peta Kawasan Hutan dan Perairan adalah Peta hasil paduserasi antara Peta
TGHK dengan Peta RTRW
5. Pembukaan Wilayah adalah Kondisi terbukanya akses suatu wilayah yang
ditandai dengan adanya jalan di wilayah tersebut.
6. Hutan Primer Kering : tutupan lahan berhutan yang berada di lahan kering,
dalam areal tersebut belum ada kegiatan eksploitasi.
7. Hutan Primer Basah tutupan lahan berhutan yang berada di lahan basah,
dalam areal tersebut belum ada kegiatan eksploitasi.
8. Hutan Sekunder Kering adalah: tutupan lahan berhutan yang berada di lahan
kering, dalam areal tersebut telah ada kegiatan eksploitasi.
9. Hutan Sekunder Basah adalah: tutupan lahan berhutan yang berada di lahan
basah, dalam areal tersebut telah ada kegiatan eksploitasi.
10. Non Hutan Kering adalah areal yang berada di lahan kering, areal ini tidak
tertutup tajuk hutan, dapat berupa areal tanah kosong, empasement,
semak, pemukiman, lahan pertanian, perkebunan dan peladangan.
11. Non Hutan Basah adalah areal yang berada di lahan basah, kondisinya
tidak tertutup tajuk hutan, berupa rawa, mangrove.
12. Hutan Produksi Tetap (HP) adalahhutan produksi yang dapat dieksploitasi baik
13. Hutan Produksi Terbatas (HPT) adalah hutan produksi yang hanya dapat
dieksploitasi dengan cara tebang pilih
14. Hutan Produksi yang dapat d-Konversi (HPK) adalah hutan produksi yang
secara ruang dicadangkan untuk digunakan bagi pengembangan transmigrasi,
permukiman, pertanian, perkebunan.
15. Hutan konservasi/Hutan Suaka Alam dan Wisata (HSAW) adalah kawasan hutan
dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan
keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.
16. Areal Penggunaan Lain adalah areal diluar bidang kehutanan.
17. Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) pada hutan alam yang
sebelumnya disebut Hak Pengusahaan Hutan (HPH) pada hutan alam adalah
izin usaha untuk memanfaatkan hutan produksi yang kegiatannya terdiri dari
pemanenan atau penebangan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan,
BAB II
KONDISI UMUM
2.1. LETAK DAN LUAS
Lokasi kajian yaitu Pulau Yamdena, yang merupakan pulau utama di Kepulauan
Tanimbar dengan beberapa pulau satelit di sekelilingnya, seperti Selaru, Sera, Selu,
Wuliaru, Wotar, Labobar, Mitak, Molo, Larat, dan Fordata. Pulau Yamdena terletak antara
131º 03’ 39” - 131º 45’ 09” BT dan 07º 06’ 13” - 08º 02’ 08” LS. Dan luasnya +
325.725 Ha.
Secara administrasi, Pulau Yamdena berada di dua Kecamatan yaitu Kecamatan
Tanimbar Utara dan Kecamatan Tanimbar Selatan, Kabupaten Maluku Tenggara Barat
Provinsi Maluku.
2.2. TOPOGRAFI
Daerah ketinggian lokasi dibagi atas 3 kelas, yaitu : (1) daerah rendah dengan ketinggian
0 – 100 m; (2) daerah tengah dengan ketinggian 100 – 500 m; dan (3) daerah tinggi
dengan ketinggian > 500 m. Distribusi pemukiman desa umumnya berada pada daerah
rendah atau pada daerah dengan ketinggian 0 – 100 m. Adapun tingkat kelerengan
Pulau Yamdena dapat dilihat pada Tabel 2.1. sebagai berikut.
Tabel 2.1. Kelerengan Pulau Yamdena
NO. KELERENGAN (%) LUAS (HA) PERSENTASE (%)
1 < 2 22.674 6,96
2 2-8 44.140 13,55
3 9-15 92.205 28,31
4 16-25 115.734 35,53
5 26-40 50.972 15,65
TOTAL 325,725 100,00
2.3. JENIS TANAH
Berdasarkan Peta Land System skala 1 : 250.000 yang diterbitkan oleh Bakosurtanal
jenis tanah pada Pulau Yamdena adalah seperti tecantum dalam Tabel 2.2.
Tabel 2.2. Jenis Tanah di Pulau Yamdena
NO. JENIS TANAH TOTAL PERSENTASE
1 Calciustolls, Haplustalfs 92,205 28.31
2 Dystropepts 3,956 1.21
3 Hydraquents, Sulfaquents 22,293 6.84
4 Tropopsamments, Tropaquepts 381 0.12
5 Ustropepts, Haplustalfs 91,155 27.99
6 Ustropepts, Haplustalfs, Calciustolls 115,734 35.53
TOTAL 325,725 100.00
Sumber : Pengolahan Data Digital Peta Land System
2.4. GEOLOGI
Secara fisiografi Kepulauan Tanimbar merupakan bagian dari Busur Banda Luar
yang tak bergunungapi dan merupakan deretan pulau yang terbentang dari arah
Timur Laut ke arah Barat Daya yang terdiri dari pulau-pulau kecil. Pulau Yamdena
adalah merupakan pulau yang terbesar pada kepulauan tersebut. Di sebelah utara
Pulau Yamdena terdapat sederetan pulau-pulau kecil yang hampir sejajar, dimana
kedua deretan pulau tersebut terpisah oleh selat yang dangkal dengan kedalaman
tidak lebih dari 20 m, sehingga pada waktu pasang surut, terbentuk daratan kering
yang luasnya bisa mencapai; lebih kurang 500 m dari tepi pantai Pulau Yamdena.
Pembahasan geologi daerah Pulau Yamdena dan sekitarnya selain mengacu pada
penelitian terdahulu juga pengamatan lapangan, terutama sifat fisik batuan yang
berhubungan dengan geologi tata lingkungan. Satuan batuan dan penentuan umur
yang telah dilakukan oleh Sukardi dan Sutrisno (1990) meliputi tataan stratigrafi
dan struktur geologi.
a. Stratigrafi
Satuan batuan berdasarkan umur dari tua ke muda adalah sebagai berikut :
- Kompleks Molu terdiri dari batu pasir kuarsa, batu gamping berfosil, batu
gamping kristal, batu gamping oolit, sekis dan batuan beku seperti andesit,
- Formasi Tangustabun terdiri dari perselingan antara batu lempung coklat
kemerahan, tufa kaca, rijang, batu pasir kuarsa dan batu gamping.
- Formasi Batu Mafudi terdiri dari perselingan batu gamping pasiran, napal,
dan batu pasir gampingan. Anggota napal Formasi Batu mafudi terdiri dari
napal bersisipkan batu gamping pasiran.
- Formasi Batu Lembuti terdiri dari napal dan di bagian atas berupa batu
gamping yang sangat repih dan setempat napal kapuran warna putih dan
ringan.
- Formasi Saumlaki terdiri dari batu gamping koral setempat bersifat breksi
dan di bagian bawah terdapat konglomerat dengan komponen utama
batugamping.
- Aluvium merupakan batuan termuda yang terdiri dari material lepas hasil
rombakan batuan yang berukuran kerikil, pasir dan lempung.
b. Struktur Geologi
Struktur geologi yang dapat dijumpai di daerah Pulau Yamdena berupa lipatan dan
sesar. Sumbu lipatan yang berupa antiklin maupun sinklin berarah Timur Laut -
Barat Daya atau hampir sejajar dengan arah poros dari Pulau Yamdena, sedang
struktur sesar yang berupa sesar naik arahnya relatif sama dengan arah sumbu
lipatan, dan untuk sesar geser mempunyai arah relatif Utara - Selatan.
Secara umum pola struktur yang terbentuk di daerah Pulau Yamdena ini akan
sangat mempengaruhi tata air tanah, terutama keterdapatan dan arah alirannya.
Pola lipatan dihubungkan dengan keterdapatan air tanah, menunjukkan bahwa
aliran air tanah selain mengikuti arah kemiringan lereng atau kondisi topografi
setempat juga dipengaruhi oleh arah kemiringan lapisan batuan.
c. Sifat Fisik Batuan
Sifat fisik batuan berhubungan dengan keterdapatan air tanah ataupun
sumber-sumber air, selain itu berpengaruh terhadap aspek erosi, tanah longsor, daya
dukung maupun fungsi batuan/tanah untuk kesesuaian lahan.
Satuan napal berwarna putih hingga kelabu mempunyai daya dukung kecil,
kelerengan kurang mantap dan mudah digali, kelulusan air kecil. Satuan napal
umumnya membentuk pebukitan bergelombang rendah dengan relief rendah -
kemerahan hingga kelabu yang berselingan dengan tufa kaca berwarna putih
kotor dan ringan, kelulusan air kecil, daya dukung kecil dengan kelerengan tidal:
mantap dan mudah digali.
Pada bagian atas yang berselingan dengan batupasir gampingan, batupasir
kuarsa, kelulusan air kecil - sedang, daya dukung kecil - sedang dengan
kelerengan kurang mantap - cukup mantap dan mudah digali. Satuan ini
membentuk morfologi perbukitan bergelombang sedang dengan relief sedang dan
kemiringan lereng 8 persen hingga > 15 persen. Batu gamping pasiran berwarna
putih kekuningan, butiran halus sampai kasar, padat, agak keras sampai keras,
berlubang-lubang, kelulusan air sedang sampai besar, daya dukung sedang
sampai besar den-an kelerengan cukup mantap sampai mantap dan agak sulit
digali. Batu gamping koral berwarna putih - kelabu, butiran halus sampai sangat
kasar, padat, keras, berlubang-lubang, kelulusan air sedan- sampai besar, daya
dukung besar dengan kelerengan mantap dan sulit digali. Setempat terbreksikan
dengan kelulusan air yang besar dan daya dukung sedang dengan kelerengan
cukup mantap.
Berdasarkan Peta Land System skala 1 : 250.000 Bakosurtanal keadaan geologi Pulau
Yamdena dapat dilihat pada Tabel 2.3 berikut.
Tabel 2.3. Keadaan Geologi Pulau Yamdena
NO. JENIS BATUAN LUAS (Ha) PERSENTASE
1 Alluvium, recent estuarine-marine (saline) 22,293 6.84 2 Alluvium, recent marine (beach sands, gravels) 381 0.12
3 Batu gamping, koral, marl 92,205 28.31
4 Batu pasir, batu gamping, skis, andesit, tefra berbutir halus 3,956 1.21
5 Marl 44,140 13.55
6 Marl, batu gamping 162,750 49.97
Total 325,725 100.00
Sumber : Peta LandSystem skala 1 : 250.000
2.5. HIDROLOGI
Pulau Yamdena berada dalam ketinggian ± 0 – 350 m dpl dan termasuk dalam DAS
Bungat dan Ranarmoje. Oleh karena itu sebagian besar aliran sungai terutama
Sungai-sungai tersebut yang termasuk daerah Tanimbar Utara antara lain S. Silwat yang
bermuara di pantai sekitar Desa Watmasa, S. Metan dan S. Pintu yang bermuara di
pantai sekitar Desa Awear, Rungear dan Karatat dan S. Bibnusan yang bermuara di
pantai sekitar Desa Abat. Sungai-sungai besar tersebut mempunyai lebar berkisar antara
20 – 150 m dan perkiraan kedalaman sungai antara 2 – 5 m. Sedangkan sungai besar
yang terletak di bagian Selatan antara lain S. Bilan yang bermuara di Tanjung Netto, S.
Salwasa, S. Muras, S. Kalantutun dan S. Bungal yang bermuara di Teluk Salwasa dan
Tanjung S. Batsire bermuara di Tanjung Jasi dan S. Ranarmoya yang bermuara di pantai
sekitar Desa Makatian. Sungai-sungai besar yang terdapat di sebelah Selatan ini
mempunyai lebar sungai berkisar antara 30 – 300 m dengan kedalaman sekitar 3 – 10 m.
Sungai-sungai besar lainnya mempunyai arah aliran sungai menuju ke arah Timur dan
bermuara di pantai Laut Arafuru diantaranya S. Jambring yang bermuara di Tanjung
Abombati, sekitar Desa Atubul Dol, S. Betmiafudi dan S. Shaing bermuara di Tanjung
Batkiek. Sungai-sungai ini umumnya lebih kecil daripada sungai-sungai yang mengalir ke
arah pantai Barat, yaitu mempunyai lebar berkisar 20 – 35 m dan kedalaman antara 1 – 3
m. Kondisi tersebut sulit dimanfaatkan sebagai prasarana angkutan kayu. Akan tetapi
berdasarkan pengalaman penduduk dan karakteristik sungai dilihat dari obyek hanyutan
dan aliran sungainya serta debit air sungai sehubungan dengan fluktuasi musim
penghujan yang sangat drastis, maka hanya sebagian kecil saja dari sungai-sungai besar
tersebut yang dapat digunakan sebagai prasarana angkutan dengan jarak jangkauan
yang terbatas. Sungai-sungai besar yang dapat digunakan sebagai prasarana angkutan
diantaranya S. Metan, S. Pintu, S. Bungal, S. Bilan dan S. Ulum.
2.6. IKLIM
Peranan iklim sangat nyata terhadap sifat tanah yang terbentuk maupun terhadap
penyediaan air untuk kebutuhan manusia dan tanaman. Diantara unsur iklim
terpenting adalah curah hujan, temperatur udara, kecepatan angin dan kelembaban
udara. Data yang disajikan di bawah ini diambil dari stasiun Meteorologi Saumlaki,
kecamatan Tanimbar Selatan.
2.6.1. Curah Hujan
Berdasarkan hasil pencatatan curah hujan di Stasiun Meteorologi Saumlaki
diketahui bahwa menurut Schmidt & Ferguson (1951) daerah tersebut termasuk tipe
hujan A yang dicirikan oleh bulan-bulan kering (< 60 mm/bulan) selama 4 bulan dan
Koppen (Schmidt dan Ferguson, 1951) tergolong tipe iklim Aw yaitu iklim savana
tropis.
Curah hujan tahunan rata adalah 112,3 mm dengan hari hujan tahunan
rata-rata 11 hari (Tabel 2.4). Distribusi hujan sepanjang bulan-bulan basah (curah hujan
lebih besar 100 mm/bulan) terjadi antara Desember dan April, sedangkan
bulan-bulan kering (curah hujan lebih kecil 60 mm/bulan-bulan) antara Mei dan November.
Keadaan ini sangat tidak menguntungkan dilihat dari bahaya run off di musim
penghujan mengingat keadaan tanah (sebagian besar tanah Rendzina dari bahan
napal) yang mempunyai sifat umum kurang baik menahan atau melalukan air ke
dalam tanah, dan hanya sebagian kecil tanah dari batugamping yang relatif porus
dan dapat berfungsi sebagai zona imbuh. Sebaliknya di musim kemarau, curah
hujan yang rendah dengan kemampuan tanah menahan air juga rendah, tanah akan
cepat mengalami kekeringan.
Tabel 2.4. Kondisi Klimatologi
CURAH HUJAN BULAN
JUMLAH TOTAL (MM) HARI HUJAN
Januari 164 17
2.6.2. Temperatur dan Kelembaban Udara
Temperatur udara tahunan rata-rata menunjukkan variasi yang rendah sepanjang tahun
berkisar antara 26,2 dan 28,5°C. Temperatur udara maksimum antara 33,6 dan 29,6°C,
dan minimum antara 23° dan 24,5°C (Tabel 2.5). Kelembaban udara hampir merata
sepanjang tahun. Pada bulan Desember dan Mei kelembaban nisbi relatif lebih tinggi
berkisar antara 80 dan 86 persen dibandingkan dengan bulan-bulan Juni dan
November yang berkisar antara 75 dan 77 persen.
Tabel 2.5. Temperatur Udara Rata-Rata, Maksimum dan Minimum Bulanan
SUHU UDARA
Sumber : Stasiun Meteorologi Saumlaki dalam Maluku Tenggara Barat dalam Angka 2005/2006
2.6.3. Kecepatan Angin
Kecepatan angin rata-rata sekitar 5,8 knots dengan kecepatan angin terbesar rata
– rata tahunan 19,7 knot. Kecepatan angin rata-rata yang tergolong besar
berkisar antara bulan Mei – Agustus. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
Tabel 2.6. Kondisi Angin Bulanan
Sumber : Stasiun Meteorologi Saumlaki dalam Maluku Tenggara Barat dalam Angka 2005/2006
2.6.4. Neraca Air dan Kelembaban Udara
Neraca air digunakan untuk menduga penyediaan air oleh tanah untuk
pertumbuhan tanaman dengan memperhatikan unsur-unsur iklim antara lain
curah hujan dan temperatur udara serta sifat-sifat tanah. Metode yang digunakan
mengikuti program yang disarankan oleh Donker (1986) yang juga mendasarkan
pada metode Thornwhite dan Mathes (1957). Hasil perhitungan neraca air untuk
stasiun Saumlaki (Tabel 2.7) memperlihatkan adanya bulan-bulan defisit selama
5 bulan (Juli - November) sebesar 326 mm, dan bulan bulan surplus selama 5
bulan (Januari - Mei) sebesar 376 mm. Ini berarti tanaman, khususnya tanaman
pangan akan mengalami kekurangan air pada bulan-bulan defisit, sedangkan
sebaliknya pada bulan-bulan surplus akan terjadi kelebihan air di permukaan dan
mengalir sebagai run off yang dapat berdampak negatif terhadap bahaya erosi.
Bagi tanah-tanah porus seperti sebagian tanah mediteran, dampak ini akan
berkurang. Sedangkan untuk tanah-tanah Rendzina dari bahan napal yang
mempunyai permeabilitas lambat akan memberikan dampak sangat penting
jatuh secara Ian-sung ke permukaan tanah. Mempertahankan hutan di daerah
berlereng sangat diperlukan untuk mengatasi masalah erosi di musim penghujan.
Dengan menggunakan program Newhall Soil Moisture (Wambeke and Hasting,
1986) yang mendasarkan data curah hujan dan temperatur dari stasiun Saumlaki,
tanah di daerah yang ditinjau termasuk rezim kelembaban "Ustic" yaitu tanah yang
mengalami kekeringan selama lebih dari 90 hari.
Tabel 2.7. Neraca Air Lahan untuk Stasiun Saumlaki
Uraian Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des Total P 261 260 190 179 252 117 95 14 9 18 58 259 1713
PE 154 134 150 139 142 125 117 118 128 147 154 155 1662
D 0 0 0 0 0 0 3 40 83 111 89 0 326
S 59 126 40 41 111 0 0 0 0 0 0 0 376
Keterangan : P = Curah hujan, PE : Evapotransporasi potensil, D : Defisit, S : Surplus
2.7. FAUNA DAN FLORA
2.7.1. Fauna
Jenis-jenis fauna yang terdapat di dalam hutan yang dicadangkan bagi areal
pengusahaan hutan masih cukup banyak. Dari hasil studi oleh Direktorat Jenderal
INTAG (1989) telah diidentifikasi 31 jenis burung, 5 jenis mamalia dan 4 jenis reptilia.
Banyaknya jenis burung tersebut berkaitan dengan terdapatnya banyak jenis-jenis
tumbuhan yang merupakan makanan hewan, misalnya Kenari, Melinjo dan pohon buah
yang lain. Hal ini sesuai dengan nilai biologi flora yang berkaitan dengan kehidupan
satwa. Hasil pengamatan fauna darat yang telah dilakukan selama studi ini adalah :
1). Mamalia
Jenis mamalia yang banyak terdapat dalam hutan dengan frekuensi relatif cukup tinggi
adalah babi hutan (Sus sp.) dan dianggap sebagai hama oleh penduduk setempat. Kerbau liar (Bubalus sp) menempati urutan kedua setelah babi hutan. Jumlah kerbau liar di empat desa di Kecamatan Tanimbar Selatan ada 414 ekor dengan rincian sebagai
berikut (An.,1987) :
- Desa Lingei 101 ekor
- Desa Lorulun 133 ekor
- Desa Atubul Das 80 ekor
Habitat makan kerbau liar tersebut adalah di savanna dan di daerah bekas perladangan
dengan memakan jenis-jenis Teki (Cyperus sp.), Camelina sp.), Mohune (Dysoxylum caulostachyum ), Pisang Hutan (Musa sp.), dan Alang-Alang (Imperata cylindrica). Adapun tempat tidur mereka adalah di lapangan-lapangan terbuka. Tempat istirahat dan
menggosok badan serta tanduknya sesudah selesai berkubang adalah pada
pohon-pohon yang relatif keras kayunya serta berdiameter besar yang tumbuh dekat tempat
mereka berkubang.
Jenis mamalia yang lain yaitu kus-kus (Phalanger sp.), tikus (Rattus sp.) dan Katong (Preropus sp). Kus-Kus merupakan salah satu -jenis satwa yang dilindungi undang-undang.
Saat ini masyarakat sering melakukan pemburuan satwa liar terutama jenis mamalia. Alat
buru yang digunakan masyarakat untuk mamalia besar ialah alat jerat, baik jerat kaki,
jerat leher maupun panah bahkan ada juga yang menggunakan lobang yang bagian
atasnya ditutupi tanah. Jenis mamalia yang terdapat di Pulau Yamdena disajikan pada
Tabel 2.8 berikut.
Tabel 2.8. Jenis Mamalia yang terdapat di Pulau Yamdena
NO. NAMA INDONESIA NAMA ILMIAH KETERANGAN
1 Babi hutan Sus sp. Ditemukan
2 Kerbau liar Bubalus bubalis sda
3 Kus-kus Phalanger sp.*) sda
4 Tikus Rattus sp. sda
5 Kalong Pteropus sp. sda
Catatan : *) dilindungi Undang-Undang, +) langka
Jenis mamalia yang terdapat di Pulau Yamdena disajikan pada Tabel 2.9 berikut.
Tabel 2.9. Jenis Reptil yang terdapat di Pulau Yamdena
NO. NAMA INDONESIA NAMA ILMIAH KETERANGAN
1 Biawak Varanus sp. ditemukan/dilihat
2 Ular kuning Achrocordus sp.
3 Kadal Mabouja sp. sda
4 Buaya Muara Mabouja sp. informasi
2). Burung
Jenis burung yang terdapat di P. Yamdena berjumlah 31 jenis (Anonim, 1987) dan 10
jenis burung dilindungi. Sedangkan Frekuensi Relatif (FR) dan kerapatan Relatif (KR) dari
jenis satwa yang dijumpai juga akan disajikan pada Tabel 2.10 berikutnya. Dari 13 jenis
burung yang dijumpai oleh Tim Studi Andal, 4 jenis termasuk dalam jenis yang dilindungi.
Dari ke 4 jenis burung tersebut, Raja Udang (Halcyon chloris) merupakan jenis yang frekuensi dijumpainya tinggi, yang habitatnya adalah hutan sekunder. Selanjutnya diikuti
oleh Burung Sesap Madu (Anthreptes sp.) yang habitatnya serupa dengan habitat Raja Udang, Burung Gagak (Corvus enca) dan Elang (Haliastur sp.).
Tabel 2.10. Jenis-jenis Satwa yang terdapat di Cagar Alam Nustaram Timur Tanimbar Utara
13 Soa-soa (Hydrosaurus ambonensis) 0,79 0,19
Burung Pombo dijumpai hampir di seluruh bagian P. Yamdena. Frekuensi perjumpaan
selama pengamatan tinggi sekali bahkan paling tinggi populasinya di P. Yamdena.
Berbagai jenis burung meletakkan sarangnya di tajuk pohon atau lubang-lubang batang
besar.
Dengan ditunjuknya hutan yang ada di tengah-tengah Pulau Yamdena sebagai suaka
alam, maka diharapkan suaka alam tersebut dapat menjadi tempat migrasi semua jenis
dilakukan di luar areal suaka alam tersebut, satwa yang ada di P. Yamdena tidak
berkurang jenisnya.
Kegiatan reboisasi, tanaman pengayaan, perlindungan dan pengamanan diduga akan
menimbulkan dampak langsung berupa perbaikan habitat dan keamanan/keselamatan
satwa. Walaupun dilakukan penebangan, dampak positif dari reboisasi dan
perlindungan serta pengamanan terhadap fauna diperkirakan akan dapat timbul,
dengan dilakukannya pola penyelamatan suaka alam, perbaikan habitat fauna dan
pencegahan perburuan liar.
Kaya (1985) melaporkan bahwa di Cagar Alam Nustaram terdapat sekitar 535.000
burung dengan densitas 167 ekor per hektar dan terdiri atas 16 jenis burung.
Diantaranya 16 jenis burung sudah dilindungi oleh Undang-undang dan Peraturan
Pemerintah, antara lain Sesap Madu (Nectaridae jugularis), Kipas (Rhipidura javaica), Bayan (Lorius sp.),Raja Udang (Halcyoa chloris)dan Elang (Haliastur indus). Adapun jenis Kakatua Gofin (Cacatua gofinni) dan Pombo Hutan Kelabu (Ducula concina) adalah jenis endemik yang belum dilindungi oleh undang-undang.
2.7.2. Flora
Beberapa flora yang banyak ditemui di Pulau Yamdena antara lain Anggrek Larat
(Dendrobium phalaenopsis), Aegiceras corniculatum, Avicennia spp., Bruguiera spp,
Ceriops spp, Lelemuku orchid - Dendrobium phalaenopsis, Nypa fruticans, Oncosperma spp, Rhizophora spp, mato (Pometia pinnata), merbau (Instia bijuga), lenggua (pterocarpus indicus), kenari (Canarium commune), nyatoh (Palaqium spp), torem (Manikara korensis), pulai (Alstonia scholaris).
2.8. AKSESIBILITAS
Aksesibilitas dapat dilakukan dengan menggunakan sarana angkutan udara, darat dan
air. Dari hasil penelitian telah dihimpun data yang berhubungan dengan fasilitas umum
antara lain jalan angkutan, dermaga/terminal dan lapangan terbang.
2.8.1. Kondisi Jalan Angkutan
Jalan angkutan darat di kedua Kecamatan di Kepulauan Tanimbar pada umumnya
belum dapat menjangkau desa-desa di luar kecamatan. Untuk lebih jelasnya
aksesibilitas desa serta kondisi jalan yang menghubungkan desa-desa tersebut dapat
2.8.2. Dermaga/Termlnal/Lapangan Terbang
Di wilayah Kecamatan Tanimbar Utara, fasilitas yang ada hanya terminal. Lapangan
terbang belum ada dan baru memiliki satu buah dermaga bertiang beton berlantai kayu
yang disinggahi oleh kapal perintis. Wilayah Kecamatan Tanimbar Selatan juga memiliki
satu dermaga bertiang beton berlantai kayu dan tidak memiliki terminal. Saumlaki,
Ibukota Kecamatan Selatan telah dilengkapi dengan lapangan terbang yang dapat
disinggahi oleh pesawat Twin Otter tiga kali dalam seminggu (Tabel 2.12).
2.8.3. Sarana Angkutan
Sarana angkutan yang ada di wilayah Kepulauan Tanimbar, sangat terbatas pada kapal
motor, perahu layar dalam ukuran kecil, long boat. Sarana angkutan darat, berhubung
terbatasnya jalan darat, seperti yang terlihat pada Tabel 2.13, hanya dapat menjangkau
beberapa desa di P. Larat dan di pantai Timur P. Yamdena. Di pantai Barat sama sekali
tidak tersedia jalan darat bagi kendaraan bermotor roda empat. Dengan demikian
sarana angkutan menuju desa-desa di pantai Barat iaiah perahu motor dan layar.
Dengan adanya pertukaran arah angin yaitu angin Barat dan angin Timur di pantai Barat
dan di pantai Timur P. Yamdena maka aksesibilitas desa-desa yang terletak di kedua
wilayah pantai tersebut menjadi bersifat musiman, kecuali kalau dipakai sarana
angkutan laut yang lebih canggih, atau dicapai dengan jalan kaki.
Tabel 2.11. Panjang Jalan Darat Berdasarkan Tipe Jalan di Kecamatan Tanimbar
Kec. Tanimbar Utara
Tabel 2.12. Jumlah Dermaga, Terminal dan Lapangan Terbang
Untuk angkutan antar desa yang terpencil dalam satu pulau, pada umumnya digunakan
jalan-jalan setapak. Kendaraan roda dua dan roda empat dipergunakan hanya di sekitar
kawasan ibukota kecamatan. Di Kecamatan Tanimbar Utara, kendaraan roda dua dan
roda empat baru dapat menjangkau Desa Watidal yang letaknya 3,5 km dari Ibukota
Kecamatan Larat. Adapun di Kecamatan Tanimbar Selatan ruas jalan sampai di Desa
Arui Das yang terletak pada batas antara Kecamatan Tanimbar Selatan dan Kecamatan
Tanimbar Utara.
Jalan yang dipergunakan di Kecamatan Tanimbar Selatan ini dinamakan jalan Trans
Yamdena. Pembuatan jalan dimulai dari tahun 1977 dengan biaya APBD TK. II. Dalam
pelaksanaan pembangunan jalan tersebut banyak menghadapi hambatan, khususnya
dalam penyediaan material berupa batu dan koral. Keadaan sarana angkutan yang
digunakan di Kecamatan dapat dilihat pada Tabel 2.13 dan Tabel 2.14berikut.
Tabel 2. 13. Sarana Angkutan di Beberapa Desa di Kecamatan Tanimbar Utara serta Jaraknya terhadap Ibukota Kecamatan
Nama Ibukota
Kecamatan Nama Desa
Jarak dari Ibukota
Kecamatan (km) Letak Desa
Nama Ibukota
Kecamatan Nama Desa
Jarak dari Ibukota
Kecamatan (km) Letak Desa
Sarana
Tabel 2.14. Sarana Angkutan di Beberapa Desa di Kecamatan Tanimbar Selatan serta Jaraknya terhadap Ibukota Kecamatan
Nama Ibukota
Kecamatan Nama Desa
Jarak dari Ibukota
Kecamatan (Km) Letak Desa
Nama Ibukota
Kecamatan Nama Desa
Jarak dari Ibukota
Kecamatan (Km) Letak Desa
Sarana
Sumber : Kantor Wilayah Kecamatan Tanimbar Utara dan tanimbar Selatan Tahun 1990 Keterangan : A = Roda Dua dan Roda Empat
B = Sarana angkutan yang dipergunakan dari Ibukota Kecamatan kedesa adalah : kapal motor, perahu layar, dan sarana angkutan laut lainnya.
C = Jalan setapak antar desa
2.9. LUAS WILAYAH DAN JUMLAH PENDUDUK
P. Yamdena termasuk dalam 2 wilayah administrasi pemerintahan yaitu Kecamatan
Tanimbar Utara dengan ibukota kecamatannya Larat yang terletak di P. Larat dan
Kecamatan Tanimbar Selatan dengan ibukota kecamatannya Saumlaki di P. Yamdena.
Kecamatan Tanimbar Utara terdiri atas 36 buah pulau dan hanya 8 buah pulau yang
berpenghuni berhubung keadaan tanah yang tidak dapat dijadikan lahan pertanian/
perkebunan. Kecamatan Tanimbar Selatan meliputi 4 buah pulau dengan 32 buah desa.
Tabel 2.15 dan Tabel 2.16 menggambarkan penyebaran desa-desa, luas masing-masing
desa serta letaknya pada masing-masing kecamatan.
Tabel 2.15. Luas Desa Kecamatan Tanimbar Utara
No. Nama Desa Luas (km²) Pulau
Sumber : Kantor Kecamatan Tanimbar Utara, 1990
Tabel 2.16. Luas Desa Kecamatan Tanimbar Selatan
No. Nama Desa Luas (km²) Pulau
1 Saumlaki 0,75 Yamdena
No. Nama Desa Luas (km²) Pulau
Sumber : Kantor Kecamatan Tanimbar Selatan
Tabel 2.17. Kondisi Kependudukan (Jumlah, Kepadatan dan Pertumbuhan Penduduk) di Kedua Wilayah
Jumlah Kepadatan Pertumbuhan Kecamatan Wilayah Luas
2000 2005 2000 2005 Jumlah Persentase
Tanimbar Selatan 3.629 19.375 21.204 5,34 5,84 1.829 9,44
Tanimbar Utara 2.274,72 11.972 13.521 5,26 5,94 1.549 12,94
Dari kondisi Tabel 2.17 diatas terlihat bahwa pertumbuhan penduduk di Kecamatan
Tanimbar Utara cenderung meningkat dengan kepadatan yang makin meningkat selama
warsa 5 tahun ini. Dengan luas wilayah yang lebih sempit dibanding Kecamatan Tanimbar
Selatan, Kecamatan Tanimbar Utara pertumbuhan penduduknya hampir 13% sendiri.
Walaupun persentase pertumbuhan penduduknya tidak sebesar Kecamatan Tanimbar
Utara, namun ternyata jumlah penduduknya jauh lebih banyak bertambah di Kecamatan
ini yaitu sekitar 1.829 orang. Untuk Saumlaki yang merupakan daerah ibukota kecamatan
ternyata merupakan daerah yang terpadat penduduknya, di Kecamatan Tanimbar
Selatan. Daerah pantai Timur P. Yamdena berpenduduk relatif lebih padat apabila
dibandingkan dengan daerah pantai Barat, demikian pula jumlah desa-desanya lebih
banyak. Wilayah pantai Timur lebih menarik untuk dihuni diperkirakan karena lahannya
landai sehingga pemukim mudah untuk tinggal disana.
Bila dilihat dari komposisi penduduknya ternyata jumlah penduduk kedua kecamatan ini
lebih banyak perempuan, walaupun perbedaan jumlah keduanya tidak begitu mencolok.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2.18 berikut ini.
Tabel 2.18. Komposisi Penduduk di Kedua Wilayah
Jenis Kelamin Kecamatan Tahun
Laki-laki Perempuan Jumlah
Rasio (L/P)
Sumber : Maluku Tenggara Barat dalam Angka 2005/2006
2.10. JENIS USAHA
Masyarakat di Kepulauan Tanimbar, masih tergolong masyarakat agraris. Sebagian besar
masyarakat menggantungkan hidup mereka pada lahan pertanian. Sektor-sektor yang
merupakan sumber mata pencaharian masyarakat secara berurutan pentingnya ialah
pertanian, perdagangan terutama kopra, pegawai negeri/swasta dan industri. Penyebaran
Tabel 2.19. Penyebaran Keluarga Berdasarkan Mata Pencaharian di Kedua Kecamatan Tanimbar
Nama Kecamatan Pertanian Perdagangan Industri Peg.Neg/Swasta Jumlah
Tanimbar Utara 12.744 269 140 368 13.521
Tanimbar Selatan 19.980 346 214 664 21.204
Jumlah 32.724 615 354 1.032 34.725
Sumber : Maluku Tenggara Barat dalam Angka 2005/2006
2.11. AGAMA DAN FASILITAS PERIBADATAN
Tiga jenis agama dianut oleh penduduk Kepulauan Tanimbar ialah Kristen Protestan,
Kristen Katholik dan Islam. Mayoritas penduduk memeluk Agama Kristen Protestan,
disusul oleh pemeluk Agama Kristen Katholik dan Islam. Dari jumlah penduduk yang
tercatat menganut kepercayaan lain. Desa-desa yang berada di pantai Timur P.
Yamdena yang termasuk dalam wilayah administratsi Kecamatan Tanimbar Selatan,
seluruhnya menganut Agama Kristen Katholik. Adapun desa-desa yang termasuk dalam
wilayah administrasi Kecamatan Tanimbar Utara, pada wilayah pantai yang sama, ada
pula yang menganut agama Kristen Protestan.
Wilayah pantai Barat P. Yamdena yang berada di dalam admintrasi Kecamatan Tanimbar
Selatan, seluruhnya dihuni oleh penduduk yang menganut Agama Kristen Protestan. Di
wilayah pantai Barat dalam administrasi Kecamatan Tanimbar Utara, ada pula desa-desa
yang berpenduduk Islam selain Protestan.
Penduduk yang menganut Agama Islam tersebar di 6 desa dalam wilayah Kecamatan
Tanimbar Selatan dan di 11 desa di wilayah Kecamatan Tanimbar Utara. Desa Kampung
Bugis dan Labobar merupakan desa yang penganut Islamnya terbanyak, disusul oleh
Desa Kilon. Penyebaran pemeluk Agama Islam terutama di daerah Ibukota Kecamatan
dan di daerah sekitar pantai Barat P. Yamdena tersebut diduga karena mereka adalah
pendatang yang pada waktu menetap di wilayah Kepulauan Tanimbar sudah memeluk
Agama Islam, sedang para pemeluk agama lainnya asalnya adalah penduduk asli yang
kemudian memeluk agama Kristen dengan datangnya misi Agama Kristen Protestan dan
Kristen Katholik.
Itulah sebabnya pula mengapa penyebaran mereka mengelompok di satu wilayah pantai
Barat. Oleh karena wilayah pantai Timur P. Yamdena sudah terlebih dahulu penuh oleh
mereka untuk menetap. Dalam hal ini kawasan pantai Barat beserta pulau-pulau
disekitarnya merupakan tempat yang dapat lebih leluasa mereka huni.
Desa Labobar yang terletak di pulau Labobar merupakan daerah yang sangat terkenal
sejak masa dahulu karena bajak lautnya. Diperoleh keterangan bahwa hanya
satu-satunya desa yang ada di P. Lalobar dihuni oleh penduduk pendatang dari P. Buton yang
beragama Islam. Adapun Desa Kilon terletak berseberangan dengan Desa Labobar di P.
Labobar. Salah satu kemungkinan ialah bahwa Desa Kilon dihuni oleh penduduk yang
sama asalnya dengan yang bermukim di Desa Labobar sehingga mereka juga beragama
Islam. Kemungkinan yang lain adalah bahwa penduduk Desa Kilon umumnya menganut
Agama Islam karena pengaruh penduduk di Desa Labobar.
Penganut Agama Islam di wilayah Kecamatan Tanimbar Selatan terutama berada di
Ibukota Kecamatan Saumlaki. Penganut Agama Islam di desa-desa lainnya dari kelima
desa yang ada penganut Islamnya, boleh dikatakan sangat sedikit, yaitu maksimum 8
orang.
Gereja dapat dijumpai di setiap desa Kristen Protestan dan Katholik. Bangunan gereja
pada umumnya jauh lebih baik/megah dari pada perumahan penduduk sendiri. Dilihat dari
sudut letak, kualitas bangunan serta luas bangunan dan arsitekturnya, bangunan gereja
adalah superior. Gereja dibangun oleh masyarakat dengan jalan sumbangan/gotong
royong.
Di seluruh kecamatan Tanimbar Utara terdapat 48 buah gereja sedangkan desa yang
berpenduduk Kristen ada 32 buah, yang berarti di suatu desa terdapat lebih dari satu
buah gereja. Mesjid hanya 6 buah di wilayah Kecamatan Tanimbar Utara dan hanya satu
buah terdapat di Kecamatan Tanimbar Selatan, yaitu di Saumlaki.
2.12. PEREKONOMIAN
Perekonomian lokal terdiri atas perekonomian rumah tangga dan perekonomian
kecamatan. Perekonomian rumah tangga ini menjadi landasan bagi perkembangan
ekonomi desa dan selanjutnya ekonomi kecamatan.
a. Perekonomian Rumah Tangga
Perekonomian rumah tangga ditentukan oleh sumber daya alam, teknologi dan
rumah tangga ini akan membentuk perekonomian daerah/regional yang dalam konteks
masyarakat yang diteliti ialah desa dan kecamatan. Sumber daya alam yang dapat
menjadi landasan bagi perkembangan ekonomi rumah tangga ialah lahan, perikanan,
peternakan, industri kerajinan.
Lahan merupakan sumber daya alam yang baku bagi masyarakat agraris seperti halnya
yang terjadi di Kepulauan Tanimbar. Bentuk-bentuk lahan yang dimanfaatkan guna
menunjang ekonomi rumah tangga ialah lahan pekarangan, ladang dan kebun.
Pekarangan di kebanyakan desa dimanfaatkan sebagai sumber penghasilan tidak
langsung yaitu dengan menanaminya dengan jenis-jenis tanaman bahan makanan,
sekedar untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan bukan untuk dijual, kecuali di
desa-desa yang berdekatan dengan Ibukota kecamatan dengan produksi tanaman yang
melebihi kebutuhan untuk dikonsumsi sendiri. Jenis tanaman yang biasa diusahakan di
lahan pekarangan ialah yang menghasilkan bahan makanan pokok mereka seperti sukun,
pisang dan ubi kayu. Baik karena produksi maupun pemasaran yang sangat terbatas,
produksi dari lahan pekarangan belum merupakan komoditi pasar (cash crop).
Ladang ialah lahan yang diusahakan dengan cara bercocok tanam tidak permanen.
Selain pekarangan, ladang juga menjadi sumber ekonomi keluarga, karena bahan
makanan yang dihasilkannya. Jenis tanaman yang biasa ditanam di ladang ialah ubi jalar,
kumbili, jagung, padi dan sayur-sayuran terutama cabe kecil, bawang dan sejenis labu. Di
beberapa desa, kacang hijau ditanam selain untuk di konsumsi sendiri juga dijual karena
kacang hijau merupakan komoditi pertanian yang bernilai tinggi (industrial commodity).
Apabila ladang tersebut sudah tidak berproduksi baik lagi, maka ia berubah status
menjadi kebun. Baru ketika itulah ladang menjadi aset yang relatif berharga bagi keluarga
dengan produksi yang dihasilkannya. Jenis tanaman yang paling umum diusahakan di
kebun ialah kelapa dan pisang.
Kelapa dan pisang pada umumnya menjadi tumpuan ekonomi rumah tangga. Mereka
merupakan komoditi pasar (cash crops), yang nantinya akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan keperluan yang lainnya seperti untuk membiayai anak-anak
mereka sekolah di luar daerah maupun bagi keperluan hidup mereka sendiri. Kopra biasa
mereka jual ke Surabaya sedang pisang ke pulau-pulau lain sampai juga ke Ambon.
Akhir-akhir ini, penduduk juga mengusahakan tanaman kemiri dalam areal yang tidak
Perikanan pada umumnya belum merupakan mata pencaharian pokok. Karena uang
belum banyak beredar, masyarakat belum dapat menggantikan usaha pertanian dengan
yang lainnya. Selama ini pada umumnya penduduk mencari ikan apabila keadaan laut
tenang dan mereka memerlukan untuk konsumsi sendiri. Jadi mencari ikan bukanlah
merupakan kegiatan yang rutin. Kecuali bagi mereka yang mempunyai sarana jaring dan
perahu yang sesuai, seperti yang didapati di desa-desa pantai Barat P. Yamdena,
penangkapan ikan merupakan sumber yang berarti dalam ekonomi rumah tangga.
Seperti halnya perikanan, peternakan merupakan usaha yang bersifat subsisten. Ternak
dipelihara hanya untuk konsumsi sendiri. Dalam kondisi tertentu, bagi yang tinggal di desa
yang akses terhadap pasar, ternak juga dijual. Ternak yang dimiliki umumnya ayam.
Kambing dan babi merupakan ternak yang komersial.
Tenun tradisional Tanimbar merupakan industri rumah tangga yang terdapat di hampir
semua desa. Sejauh ini tenun belum sampai dipasarkan, baru terbatas untuk pemakaian
sendiri berhubung pasar untuk tenun belum berkembang.
b. Perekonomian Daerah
Unsur-unsur yang mempengaruhi berkembangnya suatu perekonomian ialah tersedianya
pasar, produksi, sarana perhubungan, tingkat pendapatan dan kemudahan-kemudahan.
1) Perdagangan
Pasar merupakan motor dari perdagangan. Pasar dapat berbentuk pasar lokal dan pasar
luar. Bagi kondisi negara-negara yang kurang berkembang, pasar luar lebih berperan
nyata dalam perkembangan perekonomiannya, dari pada pasar lokal. Hal ini juga berlaku
bagi keadaan di P. Yamdena.
Dari konfigurasi yang ada, pasar lokal hanya terdapat di Saumlaki dan Larat, kedua
Ibukota kecamatan. Secara fisik maupun konseptual, pasar di kedua ibukota kecamatan
tersebut sudah lengkap. Kegiatan perekonomian di kedua ibukota kecamatan tersebut
merupakan faktor penarik bagi berkembangnya perekonomian di desa-desa di
P.Yamdena. Bangunan pasar semi-permanen terdapat di Saumlaki. Para pedagang
menempati halaman depan toko-toko yang ada, dalam menawarkan barang
dagangannya. Walaupun demikian, fungsi pasar telah terpenuhi dengan sempurna dan
kegiatan jual beli sudah berlangsung tiap hari (7 hari dalam seminggu). Di Larat, pasar
Di kedua ibukota kecamatan, barang-barang yang tahan lama didatangkan langsung dari
Surabaya termasuk beras, sedang bahan pangan yang tidak tahan lama, yang dipasarkan
ialah yang diproduksi di P. Yamdena, seperti sayur-sayuran, buah-buahan serta ikan
segar hasil tangkapan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa para pedagang besar
yang memiliki toko/tempat usaha biasanya berasal dari luar P. Yamdena yaitu dari
Padang, Sulawesi Selatan, Surabaya dan Cina dari P. Jawa (terutama dari Surabaya).
Dapat dilihat bahwa perekonomian di kedua ibukota kecamatan cukup berkembang
terbukti dari tersedianya barang-barang yang biasa diperdagangkan di kota-kota di P.
Jawa.
2). Pendapatan
Pendapatan merupakan unsur penting baik dalam ekonomi rumah tangga maupun dalam
ekonomi lokal. Tabel 2.20menyajikan tingkat pendapatan per kapita pada desa sample di
Kecamatan Tanimbar Selatan dan di Kecamatan Tanimbar Utara. Pendapatan per kapita
di Kecamatan Tanimbar Utara kecuali untuk Kampung Bugis, tidak terlihat perbedaan
yang nyata. Tidak demikian halnya dengan keadaan di Kecamatan Tanimbar Selatan.
Pendapatan per kapita di Kecamatan Tanimbar Utara lebih besar bila dibandingkan
dengan pendapatan per kapita di Kecamatan Tanimbar Selatan. Hal ini disebabkan
karena pendapatan yang diperoleh dari sektor perikanan di Kecamatan Tanimbar Utara
lebih tinggi terutama untuk desa-desa yang ada di Pulau Larat sebab hasil yang diperoleh
dari Pulau Larat lebih beragam dan bernilai tinggi (misalnya lala, tripang dan lain-lain).
Akan tetapi untuk hasil pertanian pendapatan per kapita di kedua kecamatan tersebut
relatif sama.
Tabel 2.20. Pendapatan Perkapita dari Beberapa Desa Sample untuk Kecamatan Tanimbar Utara dan Tanimbar Selatan
Kecamatan Nama Desa Pendapatan/kapita/ tahun
Pengeluaran/kapita/ tahun
Ridol 207,41
Kampung Bugis 312,75 272,63
Kecamatan Nama Desa Pendapatan/kapita/ tahun
Pengeluaran/kapita/ tahun
Adaut 177,30 175,86
Sangliat Krawain 336,07 234,82
Welutu 155,31 147,18
Rumasalut 176,62 146,53
Kawatubun 235,66 211,03
Sumber : Maluku Tenggara Barat dalam Angka 2006/ 2007
c. Rencana Pengembangan Perekonomlan Lokal
Seiring dengan program Pemerintah untuk lebih mendayagunakan sumber daya yang
ada, maka dilakukan usaha-usaha untuk menarik investor ke daerah ini. Melihat potensi
yang ada di daerah P. Yamdena dan sekitarnya, Pemerintah Daerah telah membuat
rencana pengembangannya. Diharapkan dengan adanya investasi tersebut, penduduk
setempat dapat memperoleh manfaat yang nyata dengan kenaikan standar kehidupan
mereka, peningkatan kemampuan mereka dan berubahnya kebiasaan serta tata cara
hidup mereka menuju ke keadaan yang lebih positif.
Rencana-rencana yang sudah disusun oleh Pemerintah Daerah untuk pengembangan
daerah tersebut adalah sebagai berikut :
(1). Untuk mengembangkan potensi perikanan, akan dibangun pabrik yang
mengolah ikan menjadi tepung di Kelapa Dua (Kec. Tanimbar Selatan) dan di
Kelapa Satu (Kec. Tanimbar Utara). Budi daya teripang akan dilakukan oleh
CV. Budhi Dharma Maluku di P. Seira.
(2). Pengembangan usaha di sektor perkebunan mulai digalakkan yaitu
pertanaman kelapa dengan jenis kelapa genjah. Dua perusahaan telah
memperoleh ijin prinsip dari BKPMD, yaitu PT. Tanimbar Indah untuk
perluasan pertanaman kelapa hibrida seluas 15 ha, sedang PT. Perintis Lima
Puluh Makmur untuk pembangunan pertanaman coklat seluas 15 ha. Rencana
penanaman tebu dalam rangka perluasan areal dan dengan demikian
pembangunan pabrik gula baru dalam taraf percobaan. Percobaan
penanaman tebu telah dirintis sejak tahun 1982 dan pertumbuhannya cukup
baik. Perluasannya ketingkat perkebunan menghadapi kendala air, sehingga
usaha ini belum dapat dilanjutkan.
(3). Pengembangan tempat-tempat yang berpotensi untuk menjadi objek wisata.
Keindahan alam di sekitar P.Yamdena mempunyai potensi untuk
bakau, serta berbagai jenis anggrek dapat merupakan tambahan potensi
daerah ini.
Daerah-daerah di Kecamatan Tanimbar Utara seperti Watidal dan Lamdesar
Timur merupakan daerah pantai yang berpasir putih yang cukup luas sehingga
dapat dijadikan obyek wisata yang sangat bagus. Begitu juga daerah Romean
merupakan pantai dengan batu-batu karang yang sangat indah. Di Tanimbar
Selatan, desa Olilit adalah sebuah daerah dengan panorama pantai ditambah
dengan adanya hutan bakau yang di waktu air surut merupakan daerah
berpasir putih yang berbakau. Pantai Olilit membentang sepanjang ± 2 km
dengan lebar pantai yang cukup luas. Di dalam rencana pengembangan
Kecamatan Tanimbar Selatan, Pantai Olilit akan dijadikan objek wisata yang
nantinya akan dilengkapi dengan sarana dan prasarananya. Objek-objek
wisata lainnya yang dapat dikembangkan terdapat di Arui Bab dan Makatian.
Di kedua daerah tersebut terdapat susunan batu yang berbentuk perahu. ini
merupakan salah satu nilai budaya yang patut dilestarikan dan sekaligus juga
dapat dijadikan objek wisata.
(4). Guna menunjang pembangunan ekonomi, fasilitas telekomunikasi serta
perbankan perlu mendapat perhatian. Telah ada dalam rencana,
pembangunan SBK (Stasiun Bumi Kecil) di Larat serta bank yang dapat
BAB III
HASIL PENGAMATAN
3.1. KAWASAN HUTAN DAN TATA RUANG
Kawasan Hutan pertama kali digunakan sebagai terminologi hukum pada UU Kehutanan
No. 5 Tahun 1967 dan menjadi satu satuan pembatas yurisdiksi Departemen Kehutanan
seperti tertuang pada UU Nomor 41 Kehutanan Tahun 1999. Proses untuk menetapkan
cakupan aktual dapat ditelusuri lewat PP tentang Perencanaan Kehutanan (PP No.
44/2004). Pemerintah untuk beberapa waktu lamanya telah memberikan konsesi
pembalakan di luar pulau Jawa bahkan sebelum UU Kehutanan Tahun 1967
diberlakukan.
Peraturan yang mengatur penetapan Kawasan Hutan diterbitkan pada tahun 1974
(SK Menhut No. 85/1974) dan hingga pertengahan tahun 80-an hampir tiga perempat
wilayah tanah di Indonesia ditetapkan sebagai Kawasan Hutan oleh Departemen
Kehutanan, yang pada saat itu baru berdiri sendiri terpisah dari Departemen Pertanian.
Proses penetapannya dilakukan melalui Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK).
Pulau Yamdena merupakan bagian dari Provinsi Maluku. Kategori pengelolaan hutan di
Pulau Yamdena berdasarkan TGHK disajikan pada Tabel 3.1 di bawah ini.
Tabel 3.1. Kawasan Hutan di Pulau Yamdena Berdasarkan TGHK Tahun 1984
NO. FUNGSI HUTAN LUAS (HA) %
1 Hutan Produksi yang dpt Dikonversi (HPK) 177.839 54,60
2 Hutan Produksi Terbatas (HPT) 83.645 25,68
3 Hutan Suaka Alam dan Wisata (HSAW) 64.240 19,72
Total 325.725 100,00
Sumber : Peta TGHK Provinsi Maluku (luas dihitung secara digital)
Penetapan TGHK menimbulkan beberapa polemik dengan daerah, beberapa kompromi
dapat dicapai melalui proses perencanaan penataan ruang wilayah Provinsi (RTRWP)
dan Kawasan Hutan yang sekarang berlaku adalah hasil dari harmonisasi antara TGHK
dan RTRWP, atau yang disebut dengan Peta Penunjukkan Kawasan Hutan dan Perairan
(KHP). Kategori pengelolaan hutan di Pulau Yamdena berdasarkan KHP disajikan pada
Tabel 3.2. Kawasan Hutan di Pulau Yamdena Berdasarkan KHP Tahun 1999
NO. FUNGSI HUTAN LUAS (HA) %
1 Areal Penggunaan Lain (APL) 2.586 0,79
2 Hutan Produksi yang dpt Dikonversi (HPK) 95.338 29,27
3 Hutan Produksi Tetap (HP) 82.711 25,39%
4 Hutan Produksi Terbatas (HPT) 77.544 23,81%
5 Hutan Suaka Alam dan Wisata (HSAW) 67.545 20,74%
Total 325.725 100,00%
Sumber : Peta Penunjukkan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi Maluku, 1999 (luas dihitung secara digital)
3.2. TUTUPAN LAHAN
Analisis penutupan lahan dalam penelitian ini ditujukan untuk mengetahui jenis tutupan
lahan dari tahun ke tahun. Analisa menggunakan citra Landsat dari Tahun 1999 sampai
dengan Tahun 2008.. Landsat yang dipakai adalah pada posisi Path Raw 106/65 dengan
tanggal pemotretan sebagai berikut :
- Tahun 2008, liputan tanggal 24 Januari 2008
- Tahun 2007, liputan tanggal 11 April 2007
- Tahun 2006, liputan tanggal 17 Oktober 2006 dan 10 Mei 2006
- Tahun 2005, liputan tanggal 21 April 2005, 1 Desember 2005 dan 28 Desember
2005
- Tahun 2004, liputan tanggal 2 April 2004, 8 Agustus 2004 dan 14 Desember
2004
- Tahun 2003, liputan tanggal 22 Agustus 2003 dan 26 November 2003
- Tahun 2002, liputan tanggal 4 September 2002 dan 6 Oktober 2002
- Tahun 2001, liputan tanggal 19 Januari 2001, 21 Februari 2001 dan 10
September 2001
- Tahun 2000, 7 April 2000 dan 1 November 2000
- Tahun 1999, liputan tanggal 14 Januari 1999 dan 27 Agustus 1999
- Tahun 1998, berdasarkan peta penutupan lahan Litbang Kehutanan
Pengkelasan jenis tutupan lahan dipilah menjadi enam kelas yaitu Hutan Primer Kering,
Hutan Primer Basah, Hutan Sekunder Kering, Hutan Sekunder Basah, Non Hutan Kering
dan Non Hutan Basah. Berdasarkan interpretasi citra diperoleh hasil seperti tertulis pada
Tabel 3.3. Tutupan Lahan di Pulau Yamena Tahun 1998 sampai 2008
LUAS TUTUPAN LAHAN (HA)
Hutan Non Hutan
TAHUN
Hpk Hpb Hsk Hsb
Jml
Hutan NHk NHb
Jml Non Hutan
1998 272.919 26.883 23.425 - 323.228 2.497 - 2.497 1999 227.048 26.539 61.475 - 315.062 10.663 - 10.663 2000 200.701 24.896 77.141 328 303.066 22.659 - 22.659 2001 169.190 22.878 76.559 1.355 269.983 55.742 - 55.742 2002 150.373 20.090 90.732 2.066 263.262 62.463 - 62.463 2003 128.787 19.370 107.059 1.952 257.168 68.011 546 68.557 2004 102.437 18.500 132.216 1.696 254.850 69.789 1.086 70.875 2005 90.251 18.198 141.986 1.400 251.835 72.508 1.382 73.890 2006 87.340 16.887 140.858 1.018 246.103 77.205 2.416 79.622 2007 72.901 16.360 150.987 1.338 241.586 81.411 2.727 84.138 2008 47.149 15.318 164.941 1.089 228.498 94.197 3.030 97.227
Sumber : Penafsiran Citra Satelit Landsat Landsat 7 ETM+.
BAB IV
ANALISIS
4.1. PERUBAHAN KAWASAN HUTAN
Pembagian kawasan hutan yang dipakai pada saat ini adalah berdasarkan Peta
Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan (KHP) yang menggantikan Peta Tata Guna
Hutan Kesepakatan (TGHK). Peta KHP merupaka peta pembagian fungsi kawasan yang
dibuat dengan perencanaan dan pertimbangan kondisi biofisik wilayah dengan
memadukan antara peta TGHK dan RTRW daerah setempat.
Perubahan fungsi kawasan dari TGHK menjadi KHP pada Pulau Yamdena ditandai
dengan terbitnya SK Menteri Kehutanan No 415/Kpts-II/1999 tanggal 15 Juni 1999
tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Maluku. Pada
pembagian kawasan menurut KHP terlihat sebaran HSAW dan HPT berada di wilayah
tengah pulau tersebut, sedangkan HP berada agak tengah pulau dengan posisi
mengelilingi HPT. Pada kawasan dengan fungsi APL berada di dua tempat yaitu ujung
pulau bagian utara dan ujung pulau bagian selatan, sedangkan kawasan HPK menempati
wilayah sepanjang pantai Pulau Yamdena.
Berikut pada Tabel 4.1 disajikan perbandingan luas pembagian kawasan hutan antara
KHP dengan TGHK.
Tabel 4.1. Perbandingan Pembagian Kawasan Berdasarkan TGHK dengan KHP Pulau Yamdena
TGHK KHP
No. Fungsi Hutan
Luas (Ha) % Luas (Ha) %
1 Hutan Produksi Tetap (HP) 82.715 25,39
2 Hutan Produksi Terbatas (HPT) 83.654 25,68 77.554 23,81 3 Hutan Produksi dapat di-Konversi (HPK) 177.831 54,60 95.326 29,27
4 Hutan Suaka Alam dan Wisata (HSAW) 64.240 19,72 67.544 20,74
5 Areal Penggunaan Lain (APL) 2.585 0,79
Jumlah 325.725 100,00 325.725 100,00
PERBANDINGAN LUAS PER KAWASAN ANTARA TGHK
Gambar 4.1. Perbandingan Luas TGHK dengan KHP Pulau Yamdena
Perubahan pembagian fungsi kawasan dari TGHK menjadi KHP memperlihatkan
perubahan yang mencolok terhadap plotting masing-masing fungsi kawasan. Pada KHP
muncul fungsi HP dan APL, pada TGHK fungsi kawasan ini belum ada. Perubahan fungsi
kawasan ini juga dapat diamati dari data yang ditampilkan pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2. Pengalihan Fungsi Kawasan dari TGHK menjadi KHP
TGHK KHP Luas (Ha) Prosen (%)
Total HPK (pada TGHK) 177.839 100,00
HPK 18 0,02
HP 7.578 9,06
HPT 70.938 84,81
HPT
HSAW 5.111 6,11
Total HPT (pada TGHK) 83.645 100,00
HPK 1.072 1,67
HP 1.473 2,29
HPT 363 0,57
HSAW
HSAW 61.332 95,47
Total HSAW (pada TGHK) 64.240 100,00
Total 325.725
Dari Tabel 4.2 ini menunjukkan data-data sebagai berikut :
- HPK menurut Peta TGHK berkurang 83.591 ha (47,00%), sebagian arealnya
berubah menurut Peta KHP menjadi APL, HP, HPT dan HSAW pada KHP.
- HPT menurut Peta TGHK berkurang 12.707 ha (15,19%), sebagian arealnya
berubah menurut Peta KHP menjadi HPK, HPdan HSAW pada KHP.
- HSAW menurut Peta TGHK berkurang 2.908 ha (4,53%) sebagian arealnya
berubah menurut Peta KHP menjadi HPK, HP dan HPT pada KHP.
Pada kajian ini ditampilkan gambaran pembagian kawasan menurut TGHK dan menurut
KHP seperti dapat dilihat pada Gambar 4.2. Apabila diamati dari data angka-angka
luasan pada Tabel 4.2 maupun tampilan sebaran fungsi kawasan pada Gambar 4.2
terlihat bahwa HPK pada TGHK banyak berubah ke fungsi lain. Untuk areal yang
terkonfersi menjadi HP maupun HPT maka berpotensi dapat dieksploitasi oleh investor
HPH sedangkan areal yang berubah menjadi APL maka arealnya berpotensi dibuka untuk
pemukiman maupun pertanian dan peladangan.
Perkembangan wilayah Pulau Yamdena lebih cenderung berada di wilayah pantainya.
Pada wilayah pantai ini, berkembang beberapa pemukiman kecil yang letak antara
pemukiman satu dengan yang lain cukup jauh. Pemukiman-pemukiman ini dalam peta