• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN PRAKTIKUM FARMASI FISIKA Kecepaa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "LAPORAN PRAKTIKUM FARMASI FISIKA Kecepaa"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN PRAKTIKUM

FARMASI FISIKA

PERCOBAAN 8 :

KECEPATAN DISOLUSI

Disusun oleh,

Kelompok 5

Ashry Nurrachmah

31113007

Ina Lisnawati

31113021

Irfan Maulana

31113023

Novia Hergiani

31113035

Tia Sulistiani

31113049

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

STIKes BAKTI TUNAS HUSADA

TASIKMALAYA

(2)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Obat adalah suatu zat yang dimaksud untuk manusia untuk mengurangi rasa sakit, menghambat, atau mencegah penyakit yang menyerangnya. Obat yang diberikan pada pasien tersebut harus melalui banyak proses di dalam tubuh. Dan bahan obat yang diberikan tersebut, dengan cara apapun juga harus memiliki daya larut dalam air untuk kemanjuran terapeutiknya.

Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk sediaan padat ke dalam media pelarut. Pelarutan suatu zat aktif sangat penting artinya karena ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat tersebut melarut ke dalam media pelarut sebelum diserap ke dalam tubuh.

Dalam Bidang farmasi, pengetahuan mengenai kecepatan disolusi atau kelarutan sangat diperlukan untuk membantunya memilih medium pelarut yang paling baik untuk obat atau kombinasi obat, membantu mengatasi kesulitan-kesulitan tertentu yang timbul pada waktu pembuatan larutan farmasetis (di bidang farmasi), dan lebih jauh lagi, dapat bertindak sebagai standar atau uji kemurnian (Astuti dkk., 2008).

Kelarutan obat dapat dinyatakan dalam beberapa cara. Menurut U. S. Pharmacopeia dan National Formulary, definisi kelarutan obat adalah jumlah ml pelarut dimana akan larut 1 gram zat terlarut (Martin dan Swarbrick, 1990). Sediaan obat yang diberikan secara oral di dalam saluran cerna harus mengalami proses pelepasan dari sediaannya kemudian zat aktif akan melarut dan selanjutnya diabsorpsi. Proses pelepasan zat aktif dari sediaannya dan proses pelarutannya sangat dipengaruhi oleh sifat-sifat kimia dan fisika zat tersebut serta formulasi sediaannya. Salah satu sifat zat aktif yang penting untuk diperhatikan adalah kelarutan karena pada umumnya zat baru diabsorpsi setelah terlarut dalam cairan saluraan cerna. Oleh karena itu salah satu usaha untuk meningkatkan ketersediaan hayati suatu sediaan adalah dengan menaikkan kelarutan zat aktifnya (Astuti, dkk., 2007).

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan disolusi suatu zat antara lain adalah : suhu, viskositas, pH, pengadukan, ukuran partikel, polimorfisme dan sifat permukaan zat (Astuti, dkk., 2007).

(3)

Turunnya viskositas suatu pelarut, juga akan memperbesar kelarutan suatu zat. pH sangat mempengaruhi kelarutan zat-zat yang bersifat asam maupun basa lemah. Zat yang bersifat basa lemah akan lebih mudah larut jika berada pada suasana asam sedangkan asam lemah akan lebih mudah larut jika berada pada suasana basa. Semakin kecil ukuran partikel, maka luas permukaan zat tersebut akan semakin meningkat sehingga akan mempercepat kelarutan suatu zat. Polimorfisme dan sifat permukaan zat akan sangat mempengaruhi kelarutan suatu zat, adanya polimorfisme seperti struktur internal zat yang berlainan, akan mempengaruhi kelarutan zat tersebut dimana kristal metastabil akan lebih mudah larut daripada bentuk stabilnya.

Suatu bahan obat yang diberikan dengan cara apapun dia harus memiliki daya larut dalam air untuk kemanjuran terapeutiknya. Senyawa-senyawa yang relatif tidak dapat dilarutkan mungkin memperlihatkan absorpsi yang tidak sempurna, atau tidak menentu sehingga menghasilkan respon terapeutik yang minimum. Daya larut yang ditingkatkan dari senyawa-senyawa ini mungkin dicapai dengan menyiapkan lebih banyak turunan yang larut, seperti garam dan ester dengan teknik seperti mikronisasi obat atau kompleksasi.

Dalam bidang farmasi, laju disolusi sangat diperlukan karena menyangkut tentang tentang waktu yang dibutuhkan untuk penglepasan obat dalam bentuk sediaan dan diabsorbsi dalam tubuh. Jadi, semakin cepat disolusinya maka makin cepat pula obat atau sediaan memberikan efek kepada tubuh.

B. Tujuan Percobaan

1. Menentukan kecepatan disolusi suatu zat

2. Menggunakan alat penentu kecepatan disolusi suatu zat

3. Menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan disolusi suatu zat.

C. Prinsip Percobaan

Penentuan konstanta kecepatan disolusi tablet parasetamol dan serbuk paracetamol standar berdasarkan kadar zat yang terdisolusi dalam media HCl 0,1 N pada suhu 370C dengan menggunakan alat disolusi dimana pada menit ke 5, 10, 15, dan 30

(4)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Dasar Teori

Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk sediaan padat ke dalam media pelarut. Pelarut suatu zat aktif sangat penting artinya karena ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat tersebut melarut ke dalam media pelarut. Pelarut suatu zat aktif sangat penting artinya karena ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat tersebut melarut ke dalam media pelarut sebelum diserap ke dalam tubuh. Sediaan obat yang harus diuji disolusinya adalah bentuk padat atau semi padat yaitu bentuk tablet, kapsul dan salep (Martin,1993)

Agar suatu obat diabsorbsi, mula-mula obat tersebut harus larut dalam cairan pada tempat absorpsi. Dalam hal ini dimana kelarutan suatu obat tergantung dari apakah medium asam atau medium basa, obat tersebut akan dilarutkan berturut-turut dalam lambung dan dalam usus halus. Proses melarutnya suatu obat disebut disolusi (Ansel, 1989).

Jika proses disolusi untuk suatu partikel obat tertentu adalah cepat atau jika obat diberikan sebagai suatu larutan dan tetap ada dalam tubuh seperti itu, laju obat yang terabsorbsi terutama akan tergantung pada kesanggunpannya menembeus pembatas membrane. Tetapi, jika disolusi untuk suatu partikel obat lambat, misalnya mungkin karena karakteristik zat obat atau bentuk dosis yang diberikan, proses disolusinya sendiri akan merupakan tahap yang menentukan laju dalam proses absorbsi (Ansel, 1989)

Penentuan kecepatan pelarutan suatu zat dapat dilakukan dengan metode: (Effendi, 2005)

1. Metode suspensi

Bubuk zatpadat ditambahkan pada pelarut tanpa pengontrolan yang eksak terhadap luas pemukaan partikelnya. Sample diambil pada waktu-waktu tertentu dan jumlah zat yang terlarut ditentukan dengan cara yang sesuai. 2. Metode permukaan konstan

(5)

Kecepatan pelarutan berbanding lurus dengan luas permukaan bahan padat, koefisien difusi, serta berbanding lurus dengan turunnya konsentrasi pada waktu t. Kecepatan pelarutan ini juga berbanding terbalik dengan tebal lapisan difusi. Pelepasan zat aktif dari suatu produk obat sangat dipengaruhi oleh sifat fisikokimia zat aktif dan bentuk sediaan. Ketersediaan zat aktif ditetapkan oleh kecepatan pelepasan zat aktif dari bentuk sediaan, dimana pelepasan zat aktif ditentukan oleh kecepatan melarutnya dalam media sekelilingnya (Tjay, 2002).

Agar suatu obat diabsorbsi, mula-mula obat tersebut harus larutan dalam cairan pada tempat absorbsi. Sebagai contoh, suatu obat yang diberikan secara oral dalam bentuk tablet atau kapsul tidak dapat diabsorbsi sampai partikel-partikel obat larut dalam cairan pada suatu tempat dalam saluran lambung-usus. Dalam hal dimana kelarutan suatu obat tergantung dari apakah medium asam atau medium basa, obat tersebut akan dilarutkan berturut-turut dalam lambung dan dalam usus halus. Proses melarutnya suatu obat disebut disolusi (Ansel, 1985).

Pelepasan zat aktif dari suatu produk obat sangat dipengaruhi oleh sifat fisikokimia zat aktif dan bentuk sediaan. Ketersediaan zat aktif biasanaya ditetapkan oleh kecepatan pelepasan zat aktif dari bentuk sediaannya. Pelepasan zat aktif dari bentuk sediaan biasanya ditenmtukan oleh kecepatan melarutnya dalam media sekelilingnya (Amir, 2007).

Disolusi adalah suatu jenis khusus dari suatu reaksi heterogen yang menghasilkan transfer massa karena adanya pelepasan dan pemindahan menyeluruh ke pelarut dari permukaan padat. Teori disolusi yang umum adalah: (Amir, 2007). 1. Teori film (model difusi lapisan)

2. Teori pembaharuan-permukaan dari Danckwerts (teori penetrasi) 3. Teori Solvasi terbatas/Inerfisial

Kecepatan disolusi merupakan kecepatan zat aktif larut dari suatu bentuk sediaan utuh/ pecahan/ partikel yang berasal dari bentuk sediaan itu sendiri. Kecepatan disolusi zat aktif dari keadaan polar atau dari sediaannya didefinisikan sebagai jumlah zat aktif yang terdisolusi per unit waktu di bawah kondisi antar permukaan padat-cair, suhu dan kompisisi media yang dibakukan (Shargel, 1988).

(6)

membandingkan kecepatan melarutnya suatu obat, yang ada di dalam suatu sediaan pada kondisi dan ketentuan yang sama dan dapat diulangi (Shargel, 1988).

Kecepatan disolusi sediaan sangat berpengaruh terhadap respon klinis dari kelayakan sistem penghantaran obat. Disolusi menjadi sifat sangat penting pada zat aktif yang dikandung oleh sediaan obat tertentu, dimana berpengaruh terhadap kecepatan dan besarnya ketersediaan zat aktif dalam tubuh. Jika disolusi makin cepat, maka absorbsi makin cepat. Zat aktif dari sediaan padat (tablet, kapsul, serbuk, seppositoria), sediaan system terdispersi (suspensi dan emulsi), atau sediaan-sediaan semisolid (salep,krim,pasta) mengalami disolusi dalam media/cairan biologis kemudian diikuti absorbsi zat aktif ke dalam sirkulasi sistemik (Voigt, 1995).

Bila suatu tablet atau sediaan obat lainnya dimasukkan dalam saluran cerna, obat tersebut mulai masuk ke dalam larutan dari bentuk padatnya. Kalau tablet tersebut tidak dilapisi polimer, matriks padat juga mengalami disintegrasi menjadi granul-granul, dan granul-granul ini mengalami pemecahan menjadi partikel-partikel halus. Disintegrasi, deagregasi dan disolusi bisa berlangsung secara serentak dengan melepasnya suatu obat dari bentuk dimana obat tersebut diberikan (Martin, 1993).

Mekanisme disolusi, tidak dipengaruhi oleh kekuatan kimia atau reaktivitas partikel-partikel padat terlarut ke dalam zat cair, dengan mengalami dua langkah berturut-turut: (Gennaro, 1990)

1. Larutan dari zat padat pada permukaan membentuk lapisan tebal yang tetap atau film disekitar partikel

2. Difusi dari lapisan tersebut pada massa dari zat cair.

Langkah pertama,. larutan berlangsung sangat singkat. Langka kedua, difusi lebih lambat dan karena itu adalah langkah terakhir.

(7)

Jika proses disolusi untuk suatu partikel obat tertentu adalah cepat, atau jika obat diberikan sebagai suatu larutan dan tetap ada dalam tubuh seperti itu, laju obat yang terabsorbsi terutama akan tergantung pada kesanggupannya menembus menembus pembatas membran. Tetapi, jika laju disolusi untuk suatu partikel obat lambat, misalnya mungkin karena karakteristik zat obat atau bentuk dosis yang diberikan , proses disolusinya sendiri akan merupakan tahap yang menentukan laju dalam proses absorbsi. Perlahan-lahan obat yang larut tidak hanya bisa diabsorbsi pada suatu laju rendah, obat-obat tersebut mungkin tidak seluruhnya diabsorbsi atau dalam beberapa hal banyak yang tidak diabsorbsi setelah pemberian ora, karena batasan waaktu alamiah bahwa obat bisa tinggal dalam lambung atau saluran usus halus (Martin, 1993).

Pemikiran awal dilakukannya uji hancurnya tablet didasarkan pada kenyataan bahwa tablet itu pecah menjadi lebih luas dan akan berhubungan dengan tersedianya obat di dalam cairan tubuh. Namun sebenarnya uji hancur hanya waktu yang diperlukan tablet untuk hancur di bawah kondisi yang ditetapkan dan lewatnya partikel melalui saringan. Uji ini tidak memberi jaminan bahwa partikel-partilkel tersebut akan melepas bahan obat dalam larutan dengan kecepatan yang seharusnya. Untuk itulah sebabnya uji disolusi dan ketentuan uji dikembangkan bagi hampir seluruh produk tablet (Martin, 1993).

Pelepasan dari bentuk-bentuk sediaan dan kemudian absorpsi dalam tubuh dikontrol oleh sifat fisika kimia dari obat dan bentuk yang diberikan, serta sifat-sifat fisika kimia dan fisiologis dari system biologis. Konsentrasi obat, kelarutan dalam air, ukuran molekul, bentuk kristal, ikatan protein, dan pKa adalah faktor-faktor fisika kimia yang harus dipahami untuk mendesain system pemberian (Martin, 1993).

Obat-obat yang diberikan dalam bentuk larutan biasanya diabsorpsi lebih cepat dibandingkan pemberian dalam bentuk padat, karena tidak membutuhkan prose melarut (Ansel, 1989).

(8)

Obat dapat diubah dalam system saluran cerna menjadi berbagai bentuk yang menjadikannya kurang atau lebih lambat tersedia untuk diabsorpsi. Perubahan ini mungkin disebabkan oleh penggabungan atau berikatannya obat-obat dengan beberapa bahan lain yang mungkin berupa suatu unsure yang normal dari system saluran cerna atau suatu bahan makanan atau bahan obat lain. (Ansel, 1989)

Dalam bidang farmasi, penentuan kecepatan pelarutan suatu zat perlu dilakukan karena kecepatan pelarutan suatu zat aktif dapat dilakukan pada beberapa tahap pembuatan sediaan obat yaitu : tahap preformulasi, tahap formulasi, dan tahap produksi (Effendi, 2005).

Beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi disolusi adalah luas permukaan, bentuk obat kristal dan amorf, bentuk garam, atau faktor lainnya yaitu keadaan hidrasi dari suatu obat dapat mempengaruhi kelarutan dan pola absorpsi. Biasanya bentuk anhidrat dari suatu molekul organic lebih mudah larut daripada anhidratnya (Ansel, 1989).

Analisis kecepatan disolusi zat aktif dari sediaannya merupakan analisis yang penting dalam pengujian mutu untuk sediaan-sediaan obat. Analisis disolusi telah masuk persyaratan wajib USPuntuk persyaratan tablet dan kapsul, sejak tahun 1960. Berbagai studi telah berhasil dalam korelasi disolusi invivo dengan disolusi invitro. Namun, disolusi bukan merupakan suatu peramal koefisien terapi, tetapi disolusi lebih merupakan parameter mutu yang dapat memberikan informasi berharga tentang ketersediaan hayati dari suatu produk (Voigt, 1995).

Pengembangan dan penggunaan uji disolusi invitro untuk mengevaluasi dan menggambarkan disolusi dan absorbsi invitro bertujuan : (Ansel, 1989).

a. Untuk mengetahui kepentingan bahwa sifat-sifat fisikokimia yang ada dalam model disolusi dapat berarti atau berpengaruh dalam proses invivo apabila dikembangkan suatu model yang berhasil meniru situasi invivo

b. Untuk menyaring zat aktif penting dikaitkan dengan formulasinya dengan sifat disolusi dan absorbsinya sesuai.

c. Sistem uji disolusi invitro dapat digunakan sebagai prosedur pengendalian mutu untuk produk akhir.

(9)

e. Metode yang baik sekali dan handal untuk memantau proses formulasi dan manufaktur.

f. Penetapan kecepatan disolusi intrinsik berguna untuk mengetahui sifat disolusi zat aktif yang baru.

g. Agar sistem disolusi invitro bernilai maka system harus meniru secara dekat sistem invivo sampai tingkat invitro-invivo yang konsisten tercapai. Oleh karena itu keuntungan dalam biaya, tenaga kerja, kemudahan dapat diberikan dengan penggunaan sistem

Disolusi dapat terjadi langsung pada permukaan tablet, dari granul-granul bilamana tablet telah pecah atau dari partikel-partikel halus bilamana granul-granul telah pecah. Pada tablet yang tidak berdesintegrasi, kecepatan disolusinya ditentukan oleh proses disolusi dan difusi. Namun demikian, bagi tablet yang berdesintegrasi, profil disolusinya dapat menjadi sangat berbeda tergantung dari apakah desintegrasi atau disolusinya yang menjadi penentu kecepatan (Ansel, 1989).

B. Uraian Bahan

1. Aqudes ( Farmakope Indonesia edisi III, 96) Nama resmi : Aqua Destilata

Nama lain : Aquadest, air suling RM : H2O

Bobot jenis : 0,997 g/ml (250C)

Pemerian : Cairan jernih; tidak berwarna; tidak berbau; tidakmempunyai rasa

Penyimpanan : Dalam wadah terutup baik

Kegunaan : Sebagai larutan uji, sebagai pelarut

2. Parasetamol

Nama resmi : Acetaminophen

Sinonim : Paracetamol

Rumus molekul : C8H9NO2

Berat molekul : 151,16

(10)

Kelarutan : Larut dalam 70 bagian air, dalam 7 bagian etanol (95 %)P, dalam 13 bagian aseton P, dalam 40 bagian gliserol P dan dalam 9 bagian propilenglikol P; larut dalam larutan alkalihidroksida.

Farmakodinamik : Efek analgesik parasetamol yaitu menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Parasetamol menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga berdasarkan efek sentral. Efek anti inflamasinya sangat lemah.

Farmakokinetik : Parasetamol diabsorbsi cepat dan sempurna melalui saluran cerna. Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu ½ jam dan masa paruh plasma antara 1-3 jam.

3. Asam klorida (7:53)

Nama resmi : ACIDUM CHLORIDUM

Nama lain : Asam klorida

RM/BM : HCl/36,46

Pemerian : Cairan tidak berwarna, berasap, bau merangsang. Jika diencerkan dengan 2 bagian air, asap dan bau hilang.

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat.

Kegunaan : Sebagai pemberi suasana asam.

4. Erlamol tablet

Komposisi : Parasetamol 500 mg

Indikasi : nyeri otot dan gigi, demam. Kontra Indikasi : Hipersensitif

Dosis : Dewasa : sehari 3 x 1-2 tab; anak 6-12 thn: sehari 3x ½ - 1 tab.

(11)

BAB III

METODE PRAKTIKUM A. Waktu dan Tempat

Praktikum kelarutan ini berlangsung pada hari Senin tanggal 4 Mei 2015 di Laboratorium Farmakologi Farmasi STIKes BTH Tasikmlaya.

B. Alat Dan Bahan

a. Alat : batang pengaduk Labu takar 50 ml

Sendok Tanduk Vial

Spektrofotometer Alat Disolusi

Kuvet Mikropipet

Gelas kimia 100 ml Botol Semprot

Timbangan Pipe Ukur

b. Bahan : Parasetamol Tablet (Erlamol) Parasetamol Standar

Aquadest

Larutan HC 0,1 N

(12)
(13)
(14)
(15)
(16)
(17)
(18)
(19)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Data Hasil Pengamatan

1. Pembuatan Kurva Kalibrasi

Ppm λ A

6 242 0,370

8 242 0,402

10 242 0,525

12 242 0,625

14 242 0,734

Keterangan : Kurva Kalibrasi

A = 0,0537 B = 0,04755 r = 0,986954307

(20)
(21)

Untuk Q30

Pada Farmakope Edisi IV halaman 650

Q30 = 80%

X > 500 mg

= > 400 mg

Jadi, 549,057 Ppm = 900

1000 × 549,057

= 494,1513 mg

Kesimpulan

Jadi tablet parasetamol (Erlamol) yang kami uji, memenuhi syarat parasetamol pada Farmakope Edisi IV yaitu mengandung Paraceamol tidak kurang dari 90% dan tidak lebih dari 110% dari jumlah yang tertera pada etiket (FI IV:650) sehingga tablet tersebut bisa dipasarkan.

3. Kelompok 6 : Serbuk Parasetamol

Waktu Abs Pengencera n

Ppm Ppm Kumulatif

5 0,748 50x 730,0735 730,0735

10 0,770 50x 753,20715 760,507885

(22)

30 0,797 50x 781,598 803,18789

(23)

4. Kurva

Kurva Kecepatan Disolusi Tablet Paracetamol (Erlamol)

(24)

B. Pembahasan

Disolusi obat adalah suatu proses hancurnya obat (tablet) dan terlepasnya zat-zat aktif dari tablet ketika dimasukkan ke dalam saluran pencernaan dan terjadi kontak dengan cairan tubuh.

Pada percobaan kali ini dilakukan uji laju disolusi terhadap tablet paracetamol. Dan serbuk paracetamol. Tujuan dilakukannya uji laju disolusi yaitu untuk mengetahui seberapa cepat kelarutan suatu tablet ketika kontak dengan cairan tubuh, sehingga dapat diketahui seberapa cepat keefektifan obat yang diberikan tersebut.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan pelarutan suatu zat yaitu temperatur, viskositas, pH pelarut, pengadukan, ukuran partikel, polimorfisa, dan sifat permukaan zat.

Secara umum mekanisme disolusi suatu sediaan dalam bentuk tablet yaitu tablet yang ditelan akan masuk ke dalam lambung dan di dalam lambung akan dipecah, mengalami disintegrasi menjadi granul-granul yang kecil yang terdiri dari zat-zat aktif dan zat-zat tambahan yang lain. Granul selanjutnya dipecah menjadi serbuk dan zat-zat aktifnya akan larut dalam cairan lambung atau usus, tergantung di mana tablet tersebut harus bekerja.

Agar suatu obat dapat masuk ke dalam sirkulasi darah dan menghasilkan efek terapeutik, obat tersebut tentunya harus memiliki daya hancur yang baik dan laju disolusi yang relatif cukup cepat. Dalam percobaan ini, dilakukan uji disolusi terhadap tablet Erlamol.

Uji disolusi digunakan untuk menentukan kesesuaian dengan persyaratan disolusi yang tertera dalam masing-masing monografi untuk sediaan tablet dan kapsul, kecuali pada etiket dinyatakan bahwa tablet harus dikunyah.

Uji disolusi dapat digunakan untuk menentukan persentasi ketersediaan obat dalam sirkulasi sistemik pada waktu tertentu, hal ini berhubungan dengan bio-availabilitas yang dapat menjadi parameter efikasi (kemanjuran) dan mutu suatu produk obat. Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk sediaan padat ke dalam media pelarut. Pelarutan suatu zat aktif sangat penting artinya karena ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat tersebut melarut ke dalam media pelarut sebelum diserap ke dalam tubuh.

(25)

menentu sehingga menghasilkan respon terapeutik yang minimum. Daya larut yang ditingkatkan dari senyawa-senyawa ini mungkin dicapai dengan menyiapkan lebih banyak turunan yang larut, seperti garam dan ester dengan teknik seperti mikronisasi obat atau kompleksasi.

Ada tiga kegunaan uji disolusi yaitu menjamin keseragaman satu batch, menjamin bahwa obat akan memberikan efek terapi yang diinginkan, dan Uji disolusi diperlukan dalam rangka pengembangan suatu obat baru. Obat yang telah memenuhi persyaratan keseragaman bobot, kekerasan, kerenyahan, waktu hancur dan penetapan kadar zat berkhasiat belum dapat menjamin bahwa suatu obat memenuhi efek terapi, karena itu uji disolusi harus dilakukan pada setiap produksi tablet.

Alat yang digunakan pada uji disolusi kali ini berbentuk dayung yang terletak tepat di tengah-tengah media agar tidak terjadi turbulensi aliran. Tinggi dasar dayung ke dasar media adalah 2,5 cm tujuannya untuk memperkecil kemungkinan tablet melayang-layang antara dasar media dengan dasar dayung bergesekan dengan alat uji (dayung).

Langkah pertama yang dilakukan dalam percobaan ini adalah membuat kurva baku dari zat paracetamol. Seperti sudah diketahui bahwa panjang gelombang maksimum untuk paracetamol adalah 242 nm sehingga dilakukan pengukuran absorbansi zat dengan berbagai variasi konsentrasi pada λ maksimum tersebut. Dalam percobaan ini dibuat variasi konsentrasi zat sebesar 6 ppm, 8 ppm, 10 ppm, 12 ppm, dan 14 ppm. Serbuk paracetamol diambil sebanyak 100 mg lalu dilarutkan di dalam air sebanyak 100 ml untuk memperoleh konsentrasi sebesar 100 ppm. Dari konsentrasi sebesar 100 ppm tersebut kemudian dilakukan pengenceran hingga diperoleh variasi konsentrasi yang diinginkan.

(26)

Jika tidak dibersihkan, mungkin pengotor yang berasal dari praktikan, seperti uap air dapat menempel pada kuvet dan memberikan absorbansi, sehingga hasil akhir absorbansi dapat keliru.

Pengukuran dilakukan pada λ maksimum supaya dihasilkan serapan yang maksimum juga. Untuk melakukan pengukuran dengan metode spektrofotometri UV, sampel dimasukkan ke dalam kuvet. Alat spektrofotometri yang digunakan memiliki dua tempat kuvet (double beam). Kuvet pertama berfungsi untuk tempat blanko. Kuvet kedua berfungsi untuk tempat sampel. Sampel kemudian diukur absorbansinya. Pengukuran absorbansi hendaknya dimulai dari sampel yang konsentrasinya kecil agar tidak mempengaruhi pengukuran konsentrasinya lainnya. Setiap akan mengganti sampel dengan konsentrasi yang berbeda, kuvet hendaknya dibilas dengan larutan sampel agar tidak ada sisa sampel yang sebelumnya yang dapat mempengaruhi nilai dari absorbansi.

Setelah dilakukan pengukuran absorbansi dengan berbagai variasi konsentrasi senyawa baku, maka dari data yang ada dibuat persamaan regresi linearnya. Persamaan regresi linear yang didapat dari hasil pengukuran adalah y = 0,04755x + 0,0537. Persamaan regresi linear yang didapat ini nantinya digunakan untuk mencari konsentrasi tablet paracetamol yang telah diukur absorbansinya dengan spektrofotometer UV.

Pada uji disolusi ini diakukan pengujian terhadap kadar paracatemol serbuk (standar) dengan tablet paracetamol. Adapun tablet paracetamol yang digunakan adalah Erlamol. Pada etiket dicantumkan berat parasetamol sebanyak 500 mg

Tablet Paracetamol dan serbuk paracetamol kemudian diuji disolusi dengan alat disolusi dengan menggunakan tipe dayung. Sebanyak 1 tablet erlamol 500 mg dimasukkan ke dalam alat yang diisi larutan HCl 0,1 N sebanyak 900 ml, dan 500 mg serbuk paracetamol dimasukkan ke dalam tabung yang lain diisi diisi larutan HCl 0,1 N sebanyak 900 ml . Alat dayung kemudian dijalankan dan rpm di set pada angka 50 rpm pada suhu 37oC, kemudian pada menit ke 5, 10, 15 dan 30 diambil cuplikan

(27)

ml cuplikan sampel, dimasukkan ke dalam labu ukur 10 ml lalu ditambahkan HCl 0,1 N hingga batas labu ukur.

Pada saat dilakukan pengukuran absorbansi cuplikan dengan spektrofotometer, prosedur yang dilakukan sama dengan prosedur ketika melakukan pengukuran terhadap larutan baku. Langkah pertama yaitu meng-nol kan blanko yaitu pelarut, dan setelah itu melakukan pengukuran absorbansi sampel. Ketika akan mengganti sampel, kuvet juga terlebih dahulu harus dibilas dengan larutan yang akan diuji untuk meminimalisir kontaminasi dari zat-zat lain sebanyak tiga kali.

Kuvet yang digunakan dalam percobaan ini memiliki 2 macam sisi, yaitu yang halus dan yang kasar. Bagian yang halus nantinya akan disinari oleh sinar UV sehingga pada bagian tersebut tidak boleh tersentuh tangan. Alasan tidak boleh tersentuh oleh tangan karena dikhawatirkan akan ada kotoran yang berasal dari tangan (berupa keringat ataupun lemak lainnya) yang menempel pada kuvet yang nantinya dapat mempengaruhi/mengganggu hasil dari pengukuran absorbansi karena kontaminan yang ada akan ikut memberikan serapan.

Setelah semua cuplikan sampel diukur absorbansinya, maka hasil absorbansi yang didapat diplotkan ke dalam persamaan regresi linier untuk dicari konsentrasi pada masing-masing cuplikan. Hasil yang didapat adalah konsentrasi pada menit 5 sebesar 642,78 ppm ; pada menit 10 sebesar 625,97 ppm; pada menit 15 sebesar515,562 ppm ; pada menit 30 sebesar 529,232 ppm;

Kemudian dilakukan juga pengukuran kadar terhadap serbuk paracetamol. Sama dengan perlakuan tablet, semua cuplikan sampel diukur absorbansinya, maka hasil absorbansi yang didapat diplotkan ke dalam persamaan regresi linier untuk dicari konsentrasi pada masing-masing cuplikan. Hasil yang didapat adalah konsentrasi pada menit 5 sebesar 730,0735ppm ; pada menit 10 sebesar 753,20715 ppm; pada menit 15 sebesar 675,709 ppm ; pada menit 30 sebesar 781,598 ppm.

Konsentrasi yang didapat seharusnya menunjukkan peningkatan dari menit ke menit karena semakin lama tablet akan hancur dan bercampur dengan aquades dan meningkat konsentrasinya. Tetapi hasil yang didapat adalah naik turun. Hasil konsentrasi yang diperoleh kemudian dibuat grafik disolusi paracetamol yaitu grafik konsentrasi terhadap waktu.

(28)

mempengaruhi pula kemudahan cairan untuk masuk berpenetrasi ke dalam lapisan difusi tablet menembus ikatan-ikatan dalam tablet tersebut. Dalam hal ini pemilihan bahan pengikat dan disintegran dan bobot dari penggunaan bahan pengikat dan disintegran sangat berpengaruh terhadap laju disolusi. Selain itu penyebab lain yang mungkin adalah formulasi dari sediaan tablet yang kurang baik. Faktor formulasi yang mempengaruhi laju disolusi diantaranya kecepatan disintegrasi, interaksi obat dengan eksipien (bahan tambahan) dan kekerasan. Faktor lain yang menyebabkan hasil percobaan tidak akurat adalah kecepatan pengadukan saat uji. Pengadukan mempengaruhi penyebaran partikel-partikel dan tebal lapisan difusi sehingga memperluas permukaan partikel yang kontak dengan pelarut. Semakin lama kecepatan pengadukan maka laju disolusi akan semakin tinggi. Pada percobaan ini kecepatan pengadukannya rendah sehingga % disolusi yang dihasilkan pun rendah.

Selain itu Faktor-faktor kesalahan yang mungkin mempengaruhi hasil yang diperoleh antara lain :

 Suhu larutan disolusi yang tidak konstan.

 Ketidaktepatan jumlah dari medium disolusi, setelah dipipet beberapa ml.

 Terjadi kesalahan pengukuran pada waktu pengambilan sampel menggunakan pipet volume.

 Terdapat kontaminasi pada larutan sampel.

 Ketidaktepatan pembuatan larutan paracetamol standar

 Pengenceran larutan sampel yang tidak akurat

 Ketidaktepatan penimbangan

 Kesalahan pembacaan pada penggunaan spektrofotometer

(29)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari hasil percobaan yang di lakukan maka dapat di tarik kesimpulan :

1. Disolusi obat adalah suatu proses hancurnya obat (tablet) dan terlepasnya zat-zat aktif dari tablet ketika dimasukkan ke dalam saluran pencernaan dan terjadi kontak dengan cairan tubuh.

2. Agar suatu obat dapat masuk ke dalam sirkulasi darah dan menghasilkan efek

terapeutik, obat tersebut tentunya harus memiliki daya hancur yang baik dan laju disolusi yang relatif cukup cepat

3. Tablet parasetamol (Erlamol) yang di uji, memenuhi syarat parasetamol pada

Farmakope Edisi IV yaitu mengandung Paraceamol tidak kurang dari 90% dan tidak lebih dari 110% dari jumlah yang tertera pada etiket

4. Serbuk parasetamol yang di uji tidak memenuhi syarat penimbangan, yaitu lebih

dari 500 mg

5. Adapun ketidaksesuaian hasil praktikum ini dengan literatur, hal ini disebabkan

beberapa faktor kesalahan antara lain yaitu kesalahan dalam melakukan uji disolusi, suhu yang tidak tepat, dan pengamatan yang kurang teliti

B. Saran

(30)

DAFTAR PUSTAKA

Lachman, Leon. 1994.Teori dan Praktek Farmasi Industri. Jilid III.Edisi III. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

Ditjen POM . 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta : Departemen Kesehatan RI,.

Roth, Hermann, J . 1988 . Analisis Farmasi . Yogyakarta : UGM-Press

Martin, Alfred . 1990 . Farmasi Fisika Edisi I . Jakarta : Universitas Indonesia Press.

Jones, D. 2008. FASTtrack: Pharmaceutics – Dosage Form and Design. London: Pharmaceutical Press.

Langley, C. 2008. FASTtrack: Pharmaceutical Compounding and Dispensing. London: Pharmaceutical Press.

Perrie, Y. 2010. FASTtrack: Pharmaceutics - Drug Delivery and Targeting. London: Pharmaceutical Press.

Basri, S.2003. “Kamus Lengkap Kimia”. Jakarta: Rineka Cipta.

Bird, T. 1994. Kimia Fisik untuk Universitas”. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama..

Daintith, J.1994.” Kamus Lengkap Kimia”. Edisi Baru. Alih Bahasa : Suminar Achmadi, Ph.D. Jakarta : Erlangga..

Amir, Syarif.dr, dkk.2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi kelima. Jakarta : Gaya Baru.

Shargel, Leon, dan Andrew B.C.Y.U. 1988. Biofarmasi dan Farmakokinetika Terapan. Edisi II. Penerjemah Dr. Fasich, Apt. dan Dra. Siti Sjamsiah, Apt. Surabaya : Airlangga University Press..

Voigt, 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada Press. .

Gennaro, A. R., et all., 1990, Remingto’s Pharmaceutical Sciensces, Edisi 18th, Marck

Referensi

Dokumen terkait

Bahan tambahan yang digunakan pada sediaan obat juga dapat mempengaruhi kinetika pelarutan obat, yaitu mempengaruhi tegangan muka antara medium tempat obat melarut

Berat jenis suatu zat adalah perbandingan antara bobot zat dibanding dengan volume zat pada suhu tertentu (biasanya pada suhu 25ºC), sedangkan rapat jenis

1.2 Tujuan Percobaan Menentukan ukuran partikel serbuk paracetamol dengan menggunakan metode

Peniter yang digunakan adalah NaOH, karena NaOH adalah larutan yang bersifat basa, sedangkan asam salisilat adalah larutan yang bersifat asam, sehingga keduanya dapat direaksikan

Pengusaha obat harus dengan jelas menunjukkan bahwa bentuk obat atau sediaan yang dihasilkannya cukup stabil sehingga dapat disimpan dalam jangka waktu yang cukup lama dimana obat

Untuk larutan koloid liofilik diperlukan NaCl (larutan elektrolit) yang lebih banyak dibandingkan dengan larutan koloid liofobik karena pada koloid liofilik terdapat

Hubungan molaritas dengan laju reaksi adalah bahwa semakin besar molaritas suatu zat, maka semakin cepat suatu reaksi berlangsunga. Dengan demikian, pada molaritas

 Obat dibuat suspensi karena obat – obat tertentu tidak stabil secara kimia, bila ada dalam larutan tapi stabil bila dibuat dalam bentuk suspensi, dan jika ada bahan