• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mutu Pelayanan Kefarmasian di Empat Apotek di Kota Kisaran Kabupaten Asahan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Mutu Pelayanan Kefarmasian di Empat Apotek di Kota Kisaran Kabupaten Asahan"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek

Pelayanan kefarmasian di apotek saat ini telah mempunyai standar dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2014 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek. Pengaturan standar pelayanan kefarmasian di apotek bertujuan untuk meningkatkan mutu Pelayanan Kefarmasian, menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian dan melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan obat yang tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien (patient safety) (Menkes, RI., 2014).

(2)

Apoteker harus memahami dan menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) dalam proses pelayanan dan mengidentifikasi, mencegah, serta mengatasi masalah terkait obat (drug related problems), masalah farmakoekonomi, dan farmasi sosial ( socio-pharmacoeconomy). Untuk menghindari hal tersebut, apoteker harus menjalankan praktik sesuai standar pelayanan. Apoteker juga harus mampu berkomunikasi dengan tenaga kesehatan lainnya dalam menetapkan terapi untuk mendukung penggunaan obat yang rasional. Dalam melakukan praktik tersebut, apoteker juga dituntut untuk melakukan monitoring penggunaan obat, melakukan evaluasi serta mendokumentasikan segala aktivitas kegiatannya. Untuk melaksanakan semua kegiatan itu, diperlukan standar pelayanan kefarmasian.

Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, di bidang kefarmasian telah terjadi pergeseran orientasi pelayanan kefarmasian dari pengelolaan obat sebagai komoditi kepada pelayanan yang komprehensif (pharmaceutical care) dalam pengertian tidak saja sebagai pengelola obat namun dalam pengertian yang lebih luas mencakup pelaksanaan pemberian informasi untuk mendukung penggunaan obat yang benar dan rasional, monitoring penggunaan obat untuk mengetahui tujuan akhir, serta kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (Menkes, RI., 2014).

(3)

2.1.1 Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Bahan Medis Habis Pakai

Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku meliputi perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pemusnahan, pengendalian, pencatatan dan pelaporan (Menkes, RI., 2014)

a. Perencanaan

Dalam membuat perencanaan pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai perlu diperhatikan pola penyakit, pola konsumsi, budaya dan kemampuan masyarakat.

b. Pengadaan

Untuk menjamin kualitas pelayanan kefarmasian maka pengadaan sediaan farmasi harus melalui jalur resmi sesuai ketentuan peraturan/perundang-undangan. c. Penerimaan

Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera dalam surat pesanan dengan kondisi fisik yang diterima.

d. Penyimpanan

1. Obat/bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik. Dalam hal pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada wadah lain, maka harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis informasi yang jelas pada wadah baru. Wadah sekurang-kurangnya memuat nama obat, nomor batch dan tanggal kadaluwarsa.

(4)

3. Sistem penyimpanan dilakukan dengan memperhatikan bentuk sediaan dan kelas terapi obat serta disusun secara alfabetis.

4. Pengeluaran obat memakai sistem FEFO (First Expire First Out) dan FIFO (First In First Out).

e. Pemusnahan

1. Obat kadaluwarsa atau rusak harus dimusnahkan sesuai dengan jenis dan bentuk sediaan. Pemusnahan obat kadaluwarsa atau rusak yang mengandung narkotika atau psikotropika dilakukan oleh apoteker dan disaksikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Pemusnahan obat selain narkotika dan psikotropika dilakukan oleh apoteker dan disaksikan oleh tenaga kefarmasian lain yang memiliki surat izin praktik atau surat izin kerja. Pemusnahan dibuktikan dengan berita acara pemusnahan.

2. Resep yang telah disimpan melebihi jangka waktu 5 (lima) tahun dapat dimusnahkan. Pemusnahan resep dilakukan oleh apoteker disaksikan oleh sekurang-kurangnya petugas lain di apotek dengan cara dibakar atau cara pemusnahan lain yang dibuktikan dengan berita acara pemusnahan resep menggunakan formulir 2 sebagaimana terlampir dan selanjutnya dilaporkan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

f. Pengendalian

(5)

terjadinya kelebihan, kekurangan, kekosongan, kerusakan, kadaluwarsa, kehilangan serta pengembalian pesanan. Pengendalian persediaan dilakukan menggunakan kartu stok baik dengan cara manual atau elektronik. Kartu stok sekurang-kurangnya memuat nama obat, tanggal kadaluwarsa, jumlah pemasukan, jumlah pengeluaran dan sisa persediaan.

g. Pencatatan dan Pelaporan

Pencatatan dilakukan pada setiap proses pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai meliputi pengadaan (surat pesanan, faktur), penyimpanan (kartu stock), penyerahan (nota atau struk penjualan) dan pencatatan lainnya disesuaikan dengan kebutuhan. Pelaporan terdiri dari pelaporan internal dan eksternal. Pelaporan internal merupakan pelaporan yang digunakan untuk kebutuhan manajemen apotek, meliputi keuangan, barang dan laporan lainnya. Pelaporan eksternal merupakan pelaporan yang dibuat untuk memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan meliputi pelaporan narkotika dan pelaporan psikotropika (Menkes, RI., 2014).

2.1.2 Pelayanan Farmasi Klinik

Pelayanan farmasi klinik di apotek merupakan bagian dari pelayanan kefarmasian yang langsung dan bertanggung jawab kepada pasien berkaitan dengan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Pelayanan farmasi klinik yang dilakukan meliputi:

1. Pengkajian Resep

(6)

Kajian administratif meliputi: nama pasien, umur, jenis kelamin dan berat badan, nama dokter, nomor Surat Izin Praktik (SIP), alamat, nomor telepon dan paraf, tanggal penulisan resep. Kajian kesesuaian farmasetik meliputi: bentuk dan kekuatan sediaan, stabilitas dan kompatibilitas (ketercampuran obat). Pertimbangan klinis meliputi: ketepatan indikasi dan dosis obat, aturan, cara dan lama penggunaan obat, duplikasi dan/atau polifarmasi, reaksi obat yang tidak diinginkan (alergi, efek samping obat, manifestasi klinis lain), kontra indikasi dan interaksi (Menkes, RI., 2014).

2. Dispensing

3. Pelayanan Informasi Obat (PIO) 4. Konseling

Konseling merupakan proses interaktif antara apoteker dengan pasien/keluarga untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku dalam penggunaan obat dan menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien.

5. Pelayanan Kefarmasian di Rumah (home pharmacy care)

Apoteker sebagai pemberi layanan diharapkan dapat melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya.

6. Pemantauan Terapi Obat (PTO)

(7)

7. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)

Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat yang merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi atau memodifikasi fungsi fisiologis.

Apoteker di apotek juga dapat melayani obat non resep atau pelayanan swamedikasi (Menkes,RI.,2014).

2.1.3 Sumber Daya Kefarmasian I. Sumber Daya Manusia

Pelayanan kefarmasian di apotek diselenggarakan oleh apoteker, dapat dibantu oleh apoteker pendamping dan / atau Tenaga Teknis Kefarmasian yang memiliki Surat Tanda Registrasi, Surat Izin Praktik atau Surat Izin Kerja.

Dalam melakukan pelayanan kefarmasian apoteker harus memenuhi kriteria:

1. Persyaratan administrasi

a. Memiliki ijazah dari institusi pendidikan farmasi yang terakreditasi b. Memiliki Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA)

c. Memiliki sertifikat kompetensi yang masih berlaku d. Memiliki Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA)

2. Menggunakan atribut praktik antara lain baju praktik, tanda pengenal.

3. Wajib mengikuti pendidikan berkelanjutan/Continuing Professional Development (CPD) dan mampu memberikan pelatihan yang

(8)

4. Apoteker harus mampu mengidentifikasi kebutuhan akan pengembangan diri, baik melalui pelatihan, seminar, workshop, pendidikan berkelanjutan atau mandiri.

5. Harus memahami dan melaksanakan serta patuh terhadap peraturan perundang -undangan, sumpah apoteker, standar profesi (standar pendidikan, standar pelayanan, standar kompetensi dan kode etik) yang berlaku.

Dalam melakukan Pelayanan Kefarmasian seorang apoteker harus menjalankan peran yaitu:

a. Pemberi layanan

Apoteker sebagai pemberi pelayanan harus berinteraksi dengan pasien. apoteker harus mengintegrasikan pelayanannya pada sistem pelayanan kesehatan secara berkesinambungan.

b. Pengambil keputusan

Apoteker harus mempunyai kemampuan dalam mengambil keputusan dengan menggunakan seluruh sumber daya yang ada secara efektif dan efisien.

c. Komunikator

Apoteker harus mampu berkomunikasi dengan pasien maupun profesi kesehatan lainnya sehubungan dengan terapi pasien. Oleh karena itu harus mempunyai kemampuan berkomunikasi yang baik.

d. Pemimpin

(9)

keputusan yang empati dan efektif, serta kemampuan mengkomunikasikan dan mengelola hasil keputusan.

e. Pengelola

Apoteker harus mampu mengelola sumber daya manusia, fisik, anggaran dan informasi secara efektif. Apoteker harus mengikuti kemajuan teknologi informasi dan bersedia berbagi informasi tentang obat dan hal -hal lain yang berhubungan dengan obat.

f. Pembelajar seumur hidup

Apoteker harus terus meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan profesi melalui pendidikan berkelanjutan (Continuing Professional Development/CPD).

g. Peneliti

Apoteker harus selalu menerapkan prinsip/kaidah ilmiah dalam mengumpulkan informasi sediaan farmasi dan pelayanan kefarmasian dan memanfaatkannya dalam pengembangan dan pelaksanaan pelayanan kefarmasian (Menkes, RI., 2014).

II. Sarana dan Prasarana

Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh apoteker. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker. Apotek harus mudah diakses oleh masyarakat.

(10)

kefarmasian. Sarana dan prasarana yang diperlukan untuk menunjang pelayanan kefarmasian di apotek meliputi sarana yang memiliki fungsi:

1. Ruang penerimaan resep

Ruang penerimaan resep sekurang-kurangnya terdiri dari tempat penerimaan resep, 1 (satu) set meja dan kursi, serta 1 (satu) set komputer. Ruang penerimaan resep ditempatkan pada bagian paling depan dan mudah terlihat oleh pasien.

2. Ruang pelayanan resep dan peracikan (produksi sediaan secara terbatas) Ruang pelayanan resep dan peracikan atau produksi sediaan secara terbatas meliputi rak obat sesuai kebutuhan dan meja peracikan. Di ruang peracikan sekurang-kurangnya disediakan peralatan peracikan, timbangan obat, air minum (air mineral) untuk pengencer, sendok obat, bahan pengemas obat, lemari pendingin, termometer ruangan, blanko salinan resep, etiket dan label obat. Ruang ini diatur agar mendapatkan cahaya dan sirkulasi udara yang cukup, dapat dilengkapi dengan pendingin ruangan (air conditioner).

3. Ruang penyerahan obat

Ruang penyerahan obat berupa konter penyerahan obat yang dapat digabungkan dengan ruang penerimaan resep.

4. Ruang konseling

(11)

5. Ruang penyimpanan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai.

Ruang penyimpanan harus memperhatikan kondisi sanitasi, temperatur, kelembaban, ventilasi, pemisahan untuk menjamin mutu produk dan keamanan petugas. Ruang penyimpanan harus dilengkapi dengan rak/lemari obat, pallet, pendingin ruangan (ac), lemari pendingin, lemari penyimpanan khusus narkotika dan psikotropika, lemari penyimpanan obat khusus, pengukur suhu dan kartu suhu.

6. Ruang arsip

Ruang arsip dibutuhkan untuk menyimpan dokumen yang berkaitan dengan pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai serta pelayanan kefarmasian dalam jangka waktu tertentu (Menkes, RI., 2014).

2.2 Mutu Pelayanan Kesehatan

Mutu pelayanan kesehatan adalah kesesuaian pelayanan kesehatan dengan standar profesi dengan memanfaatkan sumber daya secara baik, sehingga semua kebutuhan pelanggan dan tujuan untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal dapat tercapai (Bustami, 2011)

(12)

2.3 Kepuasan Konsumen

Kepuasan adalah suatu keadaaan dimana, keinginan, harapan dan kebutuhan seseorang dipenuhi. Suatu pelayanan dinilai memuaskan bila pelayanan tersebut dapat memenuhi kebutuhan dan harapan pasien. Kepuasan pasien merupakan respon terhadap kesesuaian kepentingan sebelumnya dan kinerja aktual yang dirasakan setelah pemakaian (Rangkuti, 2006). Kepuasan pasien merupakan nilai subyektif terhadap kualitas pelayanan yang diberikan. Oleh karenanya subyektifitas pasien dipengaruhi oleh pengalaman pasien di masa lalu, pendidikan, kondisi psikis saat itu, dan pengaruh lingkungn (Aly, 2013). Menurut supranto 2006 kepuasan adalah tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan hasil yang dirasakan dengan harapan. Jadi, tingkat kepuasan merupakan hasil dari perbedaan antara kinerja yang dirasakan dengan harapan (Supranto, 2006).

Pengumpulan data survei kepuasan pasien dapat dilakukan dengan berbagai cara, tetapi pada umumnya dilakukan melalui kuesioner atau wawancara. Suatu kuesioner dibuat untuk mendorong tanggapan yang lebih beragam dengan cara memberikan berbagai tanggapan terhadap butir-butir pertanyaan atau berbagai pilihan tanggapan yang dapat mencerminkan pendapat yang lebih tepat tentang mutu layanan kesehatan yang diselenggarakan (Pohan, 2007)

Menurut Supranto (2006), Terdapat lima determinan penilaian jasa yaitu:

a. Kehandalan (reliability), kemampuan untuk melaksanakan jasa yang dijanjikan dengan tepat dan terpercaya

(13)

c. Keyakinan (confidence), pengetahuan dan kesopanan karyawan serta kemampuan mereka untuk menimbulkan kepercayaan dan keyakinan atau “assurance”.

d. Empati (emphaty), syarat untuk peduli, memberi perhatian pribadi bagi pelanggan.

e. Berwujud (tangible), penampilan fasilitas fisik, peralatan, personel dan media komunikasi.

Suatu pelayanan dinilai memuaskan bila pelayanan tersebut dapat memenuhi kebutuhan dan harapan konsumen. Pengukuran kepuasan konsumen merupakan elemen penting dalam menyediakan pelayanan yang lebih baik, lebih efisien, dan lebih efektif. Apabila konsumen merasa tidak puas terhadap suatu pelayanan yang disediakan, maka pelayanan tersebut dapat dipastikan tidak efektif dan tidak efisien. Hal ini terutama sangat penting bagi pelayanan publik. Tingkat kepuasan konsumen terhadap pelayanan merupakan faktor yang penting dalam mengembangkan suatu sistem penyediaan pelayanan yang tanggap terhadap kebutuhan konsumen, meminimalkan biaya dan waktu serta memaksimalkan dampak pelayanan terhadap populasi sasaran (Sari, 2008).

Menurut Tjiptono, (2001), kepuasan konsumen ditentukan oleh beberapa faktor:

- Sikap pendekatan petugas medis terhadap konsumen. - Prosedur yang tidak membingungkan konsumen.

- Waktu tunggu yang tidak terlalu lama yang dirasakan oleh konsumen. - Keramahan petugas kesehatan terhadap konsumen.

Referensi

Dokumen terkait

Data yang bersifat rahasia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf b, hanya dapat disajikan untuk kepentingan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan

8 Angka rata-rata lama sekolah SMA Rasio 3.24 8 Program Pendidikan Non Formal dan Informal 9 Rasio guru dan murid SD Rasio 8,2 : 1 9 Program Pendidikan Luar Biasa. 10 Rasio guru

Start of the season information indicated that the wheat sowings were mostly in the second fortnight of November in Patiala, Agra, Morena and Bhiwani districts, and advanced (first

Wajib Pajak berstatus pusat (kode cabang 000) yang dipindah dan ditetapkan terdaftar pada KPP Madya Surabaya termasuk seluruh cabang Wajib Pajak yang berdomisili di wilayah

Hasil penelitian ini terbagi atas empat bagian : kuadran I menjadi prioritas utama Garuda Indonesia dan harus dilaksanakan sesuai dengan harapan konsumen,

(esterifikasi) kemudian tahapan kedua yang dilakukan untuk mendapatkan methil ester yaitu dengan mereaksikan minyak biji kapuk dan metanol (transesterifikasi)

Terdapat hubungan yang bermakna antara indeks massa tubuh dengan hasil test glukosa tolerans sebagai screening diabetes melitus di wilayah Puskesmas Kembaran I dengan hasil p value

Partial Eta Squared menunjukkan bahwa perbedaan hasil belajar siswa antara kelas kontrol dan kelas eksperimen sebesar 97,7% dipengaruhi oleh media audio dan