• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaturan tentang Persetujuan Pencipta Terhadap Pengumuman atau Penggandaan Ciptaan dalam Pameran.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaturan tentang Persetujuan Pencipta Terhadap Pengumuman atau Penggandaan Ciptaan dalam Pameran."

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

PENGATURAN TENTANG PERSETUJUAN

PENCIPTA TERHADAP PENGUMUMAN ATAU

PENGGANDAAN CIPTAAN DALAM PAMERAN

ANAK AGUNG NGURAH ARI DWIATMIKA NIM. 1203005015

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(2)

iii

PENGATURAN TENTANG PERSETUJUAN

PENCIPTA TERHADAP PENGUMUMAN ATAU

PENGGANDAAN CIPTAAN DALAM PAMERAN

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum

pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

ANAK AGUNG NGURAH ARI DWIATMIKA NIM. 1203005015

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(3)
(4)
(5)

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat dan karunia-Nya skripsi yang berjudul “PENGATURAN TENTANG PERSETUJUAN PENCIPTA TERHADAP PENGUMUMAN ATAU PENGGANDAAN CIPTAAN DALAM PAMERAN”, dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya.

Skripsi ini disusun dengan tujuan untuk memenuhi kewajiban terakhir mahasiswa dalam menyelesaikan perkuliahan pada Fakultas Hukum Universitas Udayana sehingga dapat dinyatakan selesai menempuh program Sarjana (S1) untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna karena terbatasnya kemampuan dan pengalaman penulis, baik teori maupun praktek. Penulis berharap semoga skripsi ini memenuhi kriteria salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Dalam menyusun skripsi ini, penulis mendapatkan arahan dan dukungan dari berbagai pihak baik secara materiil maupun imateriil. Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. I Made Arya Utama, S.H., M.Hum., Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana;

(6)

vii

3. Ibu Dr. Ni Ketut Sri Utari, S.H., M.H., Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Udayana;

4. Bapak Dr. I Gede Yusa, S.H., M.H., Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Udayana;

5. Bapak Dr. I Wayan Wiryawan, S.H., M.H., Ketua Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Udayana;

6. Bapak I Made Dedy Priyanto, S.H., M.Kn., Sekretaris Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Udayana;

7. Bapak Dr. I Wayan Wiryawan, S.H., M.H., Dosen Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan, pengarahan, saran, semangat dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan ini;

8. Bapak Dr. Dewa Gde Rudy, S.H., M.Hum., Dosen Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, pengarahan, saran, semangat dan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan ini;

9. Bapak Suatra Putrawan, S.H., M.H., Pembimbing Akademik yang telah membimbing penulis dari awal kuliah di Fakultas Hukum Universitas Udayana;

10. Segenap Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah menuntun dan memberikan ilmu pengetahuan selama kuliah sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini;

(7)

viii

12. Dewan Penguji Skripsi yang telah meluangkan waktunya untuk menguji skripsi ini;

13. Kepada keluarga penulis Ayah tercinta Anak Agung Ngurah Anom Widjaka, Ibu tercinta Ni Wayan Citrawati, kakak tersayang Anak Agung Sagung Suryawati, dan adik tersayang Anak Agung Sagung Aristayuni terimakasih atas doa, kasih sayang serta dorongan morilnya selama penulis mengikuti pendidikan. Terimakasih atas kesabaran, pengorbanan, dukungan, perhatian, dan terus menemani serta memberikan semangat kepada penulis selama mengikuti pendidikan dasar sampai dalam menyelesaikan studi Program Sarjana Fakultas Hukum Universitas Udayana;

14. Kepada sahabat-sahabat seperjuangan penulis Gusti Made Triantaka, Putu Kevin Saputra Ryadi, Anak Agung Gde Bayu Putra Pemayun, Ari Aditya, Made Agus Sanjaya, Yudi Gabriel, Gung Ari, Bagus, Gung Dalem, Lepok, Dedek, Tebo, Aris, Maria, Nita, Ayu Purnama, Nia, Nanda, Novi, Yupit, Wulan, Leona, Intan, Alit, Putri Purnama Santhi (Boldes), Gek In Damayanti, Yeyen, Ayu Pasek, Gek Mas, Ema, Mita, Tutik, Tamy, Ayu Kapal, Sulbianti, Dewi Lestari serta rekan-rekan Fakultas Hukum Universitas Udayana Angkatan 2012 yang telah menemani mulai dari awal kuliah hingga menyelesaikan jenjang pendidikan sarjana ini;

(8)

ix

Kak Susi, Kak Gung Chris, Kak Nadira, Kak Usro, Kak Ebong, Kak Alvin, Taka, Gek In, Bayu, Kevin, Ema, Mita, Tutik, Tamy, Ayu Kapal, Gek Mas (AMP), Anggi, Zaky, Balon, Dedek, Ngurah, dan delegasi Piala Prof. Soedarto IV, Kak Juli, Kak Apdila, Kak Riyani, Kak Dasri, Kak Cintya, Kak Gunggek, Kak El, Kak Aloy, Kak Yogi, Kak Alvin, Kak Susi, Taka, Bayu, Kevin, Gek In, Nisa, Tasya, Fachri; dan

16. Kepada keluarga KKN-PPM 2015 di Desa Manukaya, Kevin, Resta, Tuta, Sinta, Surya, Nita, Nicho, Yusuf, Haryas, Trisna, Ananta, Ticha, Ratih, Grace, Deawan, Sakmink, Bonita, Rita, Ozi, Radha, Al, Agus Sawita, dan Gus Baba yang senantiasa memberikan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

Semoga mereka yang telah mendoakan, memberikan arahan, bantuan dan dukungan kepada penulis, mendapatkan imbalan dan kemudahan dalam setiap langkah dari Tuhan Yang Maha Esa. Penulis menyadari sepenuhnya masih banyak kekurangan dalam penulisan hasil penelitian ini, Dengan kerendahan hati, penulis menghargai dan menerima kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat, baik sebagai bahan bacaan maupun untuk pengetahuan bagi yang memerlukan.

Denpasar, 21 Juni 2016

(9)
(10)

xi

DAFTAR ISI

SAMPUL DEPAN ... i

SAMPUL DALAM ... ii

PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM ... iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING/PENGESAHAN ... iv

PENETAPAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI ... v

KATA PENGANTAR ... vi

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR SINGKATAN ... xv

ABSTRAK ... xvi

ABSTRACT ... xvii

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Masalah ... 1

1.2Rumusan Masalah ... 11

1.3Ruang Lingkup Masalah ... 11

1.4Orisinalitas Penelitian ... 12

1.5Tujuan Penulisan ... 14

1.5.1 Tujuan Umum ... 15

1.5.2 Tujuan Khusus ... 15

(11)

xii

1.6.1 Manfaat Teoritis ... 15

1.6.2 Manfaat Praktis ... 16

1.7Landasan Teoritis ... 16

1.8Metode Penelitian ... 19

1.8.1 Jenis Penelitian ... 19

1.8.2 Jenis Pendekatan ... 19

1.8.3 Sumber Bahan Hukum ... 20

1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 21

1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum ... 22

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK CIPTA, LISENSI, DAN PAMERAN 2.1Hak Cipta ... 23

2.1.1 Pengertian Hak Cipta ... 23

2.1.2 Teori Hukum atau Landasan Filosofi Perlindungan Hak Cipta ... 31

2.1.3 Hak Moral dan Hak Ekonomi ... 36

2.1.4 Ciptaan yang Dilindungi ... 41

2.1.5 Pembatasan Hak Cipta ... 46

2.2Lisensi ... 47

(12)

xiii

BAB III PEMILIK DAN PEMEGANG CIPTAAN BERHAK

MENGUMUMKAN CIPTAAN DALAM PAMERAN UMUM ATAU

MENGGANDAKAN CIPTAAN DALAM SUATU KATALOG

UNTUK KEPERLUAN PAMERAN TANPA MEMPEROLEH

LISENSI DARI PENCIPTA

3.1Pemilik dan Pemegang Ciptaan Secara Fisik Tidak Berhak Melakukan Pengumuman dan Penggandaan Ciptaan Tanpa Memperoleh Lisensi dari Pencipta ... 51 3.2Pengumuman Ciptaan dalam Pameran Umum dan

Penggandaan Ciptaan dalam Suatu Katalog Untuk Keperluan Pameran sebagai Bentuk Penggunaan Ciptaan Secara Wajar (Fair Use/Fair Dealing) ... 57

BAB IV PERSETUJUAN PENCIPTA TERHADAP PENGUMUMAN

CIPTAAN DALAM PAMERAN UMUM ATAU PENGGANDAAN

CIPTAAN DALAM SUATU KATALOG UNTUK KEPERLUAN

PAMERAN

4.1Lisensi sebagai Izin Untuk Melaksanakan Hak Ekonomi Atas Ciptaan ... 67 4.2Persetujuan Pencipta Terhadap Pengumuman Ciptaan dalam

(13)

xiv

BAB V PENUTUP

5.1Kesimpulan ... 83 5.2Saran ... 84

(14)

xv

DAFTAR SINGKATAN

1. h. : halaman

2. HKI : Hak Kekayaan Intelektual 3. Ibid : ibidem, pada tempat yang sama 4. KBBI : Kamus Besar Bahasa Indonesia

5. KUHPerdata : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

6. loc.cit : loco citato, pada tempat yang telah disebut/dikutip 7. op.cit : opere citato, dalam karya yang telah disebut /dikutip

8. TRIPs : Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights

9. UDHR : Universal Declaration of Human Rights

(15)

xvi

ABSTRAK

Pencipta mempunyai hak eksklusif terhadap ciptaannya. Setiap orang yang melaksanakan hak eksklusif pencipta wajib mendapat lisensi dari pencipta. Apabila tidak diperjanjikan lain, pemilik dan/atau pemegang ciptaan fotografi, lukisan, gambar, karya arsitektur, patung, atau karya seni lain berhak melaksanakan hak eksklusif pencipta yaitu melakukan pengumuman ciptaan dalam suatu pameran umum atau penggandaan ciptaan dalam suatu katalog yang diproduksi untuk keperluan pameran tanpa persetujuan pencipta. Namun, apabila diperjanjikan lain maka pemilik dan/atau pemegang ciptaan wajib mendapatkan persetujuan dari pencipta. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah mengenai pengumuman dan penggandaan ciptaan dalam suatu pameran tanpa memperoleh lisensi dari pencipta dan mengenai persetujuan pencipta terhadap pengumuman ciptaan dalam suatu pameran umum atau penggandaan ciptaan dalam suatu katalog yang diproduksi untuk keperluan pameran. Penelitian ini penting dilakukan untuk memberikan kontribusi keilmuan terkait pengumuman ciptaan dalam suatu pameran umum atau penggandaan ciptaan dalam suatu katalog yang diproduksi untuk keperluan pameran.

Skripsi ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif karena menganalisis permasalahan berdasarkan teori hukum dan peraturan undangan. Jenis pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan, pendekatan analisis konsep hukum, dan pendekatan frasa. Sumber data yang digunakan adalah data sekunder yaitu bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah teknik sistem kartu. Teknik analisis bahan hukum yang digunakan adalah teknik deskripsi, interpretasi, dan argumentasi.

Apabila tidak diperjanjikan lain, pemilik dan/atau pemegang ciptaan fotografi, lukisan, gambar, karya arsitektur, patung, atau karya seni lain berhak melakukan pengumuman ciptaan dalam suatu pameran umum atau penggandaan ciptaan dalam suatu katalog yang diproduksi untuk keperluan pameran tanpa persetujuan pencipta. Namun, apabila diperjanjikan lain maka pemilik dan/atau pemegang ciptaan wajib mendapatkan persetujuan pencipta yang dapat diperoleh melalui perjanjian lisan tanpa membuat lisensi. Hendaknya pencipta memperbolehkan masyarakat memanfaatkan hak cipta tanpa perlu membuat lisensi asalkan pemanfaatan tersebut dilakukan secara wajar.

(16)

xvii

ABSTRACT

Author has the exclusive rights to his works. Any person who is doing the exclusive rights of an author must obtain license from the author. Unless agreed otherwise, the owner and/or the holder of a creative work in the form of a photograph, painting, drawing, architecture, sculpture, or other artwork, entitled to do the exclusive rights of an author, that’s displaying the work in public exhibition or reproduction of work in a catalog which is produced for exhibition without the consent of the author. However, if agreed otherwise, the owner and/or the holder of a creative work must obtain license from the author. Problems that discussed in this research are about the display and the reproduction of work in an exhibition without obtaining license from the author and about the consent of the author regarding the publicity of work in a public exhibition or reproduction of work in a catalog which is produced for exhibition. This research is important to contribute knowledge of law concerning the publicity of work in a public exhibition or reproduction of work in a catalog which is produced for exhibition.

This research used normative law research because analyzing problems based on the theory of law and act. The approaches which are used are the statute approach, analytical and conceptual approach, as well as words & phrase approach. The source of data used is secondary data; those are primary, secondary and tertiary legal materials. The technique of collecting legal materials is card system technique. The techniques of analyzing legal materials are technique of description, interpretation and argumentation.

Unless agreed otherwise, the owner and/or the holder of a creative work in the form of a photograph, painting, drawing, architecture, sculpture, or other artwork, entitled to display the work in public exhibition or reproduction of work in a catalog which is produced for exhibition without the consent of the author. However, if agreed otherwise, the owner and/or the holder of a creative work must obtain consent from the author which can be got by oral consent without making license. Author should allow people to use copyright in fair way without license.

(17)
(18)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Manusia dalam menjalankan kehidupan sehari-hari selalu berhubungan dengan Hak Kekayaan Intelektual1 (Intellectual Property Rights) (selanjutnya disingkat HKI). Ketika menggunakan pakaian dengan merek tertentu, membaca buku, menonton televisi dan bepergian dengan kendaraan tanpa sadar manusia telah memanfaatkan karya-karya intelektual. Bagi khalayak umum karya intelektual sangat membantu manusia dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Namun bagi orang yang berhasil menciptakan karya intelektual, manfaat yang Ia dapat bukan hanya kemudahan dalam menjalankan aktivitas kehidupan tetapi lebih dari itu Ia dapat memungut manfaat ekonomi dari hak atas karya intelektualnya.

HKI adalah hak yang diberikan atas keberhasilan seseorang mengolah daya pikirnya sehingga menghasilkan suatu karya yang mempunyai nilai ekonomi. Muhammad Djumhana dan R. Djubaedillah mendefinisikan HKI sebagai berikut:

Hak Atas Kekayaan Intelektual ini merupakan hak yang berasal dari hasil kegiatan kreatif suatu kemampuan daya pikir manusia yang diekspresikan kepada khalayak dalam berbagai bentuknya, yang memiliki manfaat serta berguna dalam menunjang kehidupan manusia, juga mempunyai nilai

1

(19)

2

ekonomi. Bentuk nyata dari kemampuan karya intelektual tersebut bisa di bidang teknologi, ilmu pengetahuan, maupun seni dan sastra”.2

Secara garis besar HKI dibagi menjadi dua kelompok yaitu hak cipta (copy rights) dan hak milik perindustrian (industrial property rights).3 Hak cipta dapat dibagi lagi dalam dua bagian, yaitu:

1. Hak cipta; dan

2. Hak yang berkaitan dengan hak cipta (neighbouring rights).4

Convention Establishing The World Intellectual Property Organization

(selanjutnya disingkat WIPO) membagi hak milik perindustrian atau hak atas kekayaan perindustrian menjadi beberapa klasifikasi, yaitu:

1. Paten (Patent);

2. Model dan Rancang Bangun (Utility Models) atau dalam hukum Indonesia dikenal dengan istilah paten sederhana (simple patent);

3. Desain Industri (Industrial Design); 4. Merek Dagang (Trade Mark); 5. Nama Dagang (Trade Name); dan

6. Sumber Tanda atau Sebutan Asal (Indication of Source or Appelletion of Origin).5

Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights

(selanjutnya disingkat TRIPs) menambahkan beberapa bidang lagi ke dalam HKI.

2

Muhammad Djumhana dan R. Djubaedillah, 2003, Hak Milik Intelektual (Sejarah Teori dan Prakteknya di Indonesia) (Edisi Revisi), Cet. III, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 21.

3

OK. Saidin, 2013, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), Ed. Revisi, Cet. VIII, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 13, dikutip dari Redaksi,

“Indonesia Perlu Perhatikan Hak Milik Intelektual”, Kompas, Jakarta, 19 Februari 1986, h. 1.

4

OK. Saidin, loc.cit.

5

(20)

3

Secara keseluruhan, TRIPs menggolongkan jenis-jenis HKI yang dilindungi meliputi:

1. Hak Cipta (Copyright and Related Rights); 2. Merek (Trademarks);

3. Indikasi Geografis (Geographical Indications); 4. Desain Industri (Industrial Designs);

5. Paten (Patents);

6. Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (Layout-Designs (Topographies) of Integrated Circuits);

7. Informasi yang Dirahasiakan (Protection of Undisclosed Information) atau biasa dikenal dengan istilah Rahasia Dagang (Trade Secrets); dan

8. Pengendalian Praktik-praktik Persaingan Curang dalam Perjanjian Lisensi (Control of Anti-Competitive Practices in Contractual Licences).6

Diantara berbagi jenis HKI diatas, hak cipta adalah jenis HKI yang cukup mudah dihasilkan bagi khalayak umum dan paling sering lahir dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya dalam dunia pendidikan, murid-murid seringkali membuat karya cipta seperti cerpen dan gambar. Selain itu dalam menyalurkan hobi dan bakat, tidak jarang para remaja menghasilkan karya cipta berupa lagu, lukisan dan foto. Karya-karya cipta tersebut secara yuridis disebut dengan istilah Ciptaan. Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (selanjutnya disingkat UU No. 28/2014) menentukan bahwa “Ciptaan adalah setiap hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang

6

(21)

4

dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata.”

Sebagai penghargaan atas kerja keras seseorang untuk menghasilkan ciptaan, ia diberikan hak eksklusif atas ciptaannya. Penjelasan Pasal 4 UU No. 28/2014 menjelaskan “Yang dimaksud dengan „hak eksklusif’ adalah hak yang hanya diperuntukkan bagi Pencipta, sehingga tidak ada pihak lain yang dapat memanfaatkan hak tersebut tanpa izin Pencipta. Pemegang Hak Cipta yang bukan Pencipta hanya memiliki sebagian dari hak eksklusif berupa hak ekonomi”. Selanjutnya Pasal 4 UU No. 28/2014 menyatakan bahwa hak eksklusif terdiri atas hak moral dan hak ekonomi. Hak moral adalah hak yang melekat pada diri pencipta atau pelaku (seni, rekaman, siaran) yang tidak dapat dihilangkan dengan alasan apapun, sedangkan hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan.7

Hak moral tidak dapat dialihkan kepada siapapun dan akan terus melekat secara abadi pada diri pencipta bahkan setelah pencipta meninggal dunia. Namun hak moral dapat dialihkan pelaksanaannya melalui wasiat setelah pencipta meninggal dunia. Berbeda dengan hak moral, hak ekonomi dapat dialihkan dan dapat pula dilaksanakan oleh orang lain setalah mendapat izin dari pencipta walaupun pencipta belum meninggal.

Seseorang yang ingin menikmati hak ekonomi suatu ciptaan dapat menempuh dua cara. Pertama, dengan cara mengambilalih hak atas ciptaan sehingga hak cipta beralih kepadanya. Untuk mengambilalih hak atas ciptaan

7

(22)

5

dapat dilakukan dengan perbuatan-perbuatan yang diatur dalam Pasal 16 ayat (2) UU No. 28/2014.

Pasal 16 ayat (2) UU No. 28/2014

(2) Hak Cipta dapat beralih atau dialihkan, baik seluruh maupun sebagian karena:

a. pewarisan; b. hibah; c. wakaf; d. wasiat;

e. perjanjian tertulis; atau

f. sebab lain yang dibenarkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kedua, dengan cara memohon izin kepada pencipta agar diperbolehkan melaksanakan hak ekonomi dari ciptaan si pencipta. Pasal 9 ayat (2) UU No. 28/2014 menentukan bahwa “Setiap Orang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta”. Izin untuk melaksanakan hak ekonomi tersebut dapat

diperoleh melalui lisensi.

Istilah lisensi berasal dari kata license yang berarti izin.8 Pasal 1 angka 20 UU No. 28/2014 menentukan bahwa “Lisensi adalah izin tertulis yang diberikan

oleh Pemegang Hak Cipta atau Pemilik Hak Terkait kepada pihak lain untuk melaksanakan hak ekonomi atas Ciptaannya atau produk Hak Terkait dengan syarat tertentu”. Dengan menerima lisensi dari pemegang hak cipta maka pihak penerima lisensi tersebut dapat melaksanakan hak ekonomi dan dapat memperoleh manfaat ekonomi dari hak cipta yang bukan miliknya.

8

(23)

6

Pasal 15 UU No. 28/2014 menentukan:

(1) Kecuali diperjanjikan lain, pemilik dan/atau pemegang Ciptaan fotografi, lukisan, gambar, karya arsitektur, patung, atau karya seni lain berhak melakukan Pengumuman Ciptaan dalam suatu pameran umum atau Penggandaan dalam suatu katalog yang diproduksi untuk keperluan pameran tanpa persetujuan Pencipta.

(2) Ketentuan Pengumuman Ciptaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap Potret sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12.

Berdasarkan Pasal 15 ayat (1) UU No. 28/2014, apabila tidak diperjanjikan lain maka pemilik dan pemegang ciptaan fotografi, lukisan, gambar, karya arsitektur, patung, atau karya seni lain berhak melakukan pengumuman ciptaan dalam suatu pameran umum atau penggandaan ciptaan dalam suatu katalog yang diproduksi untuk keperluan pameran tanpa persetujuan pencipta. Selain itu sesuai ketentuan Pasal 15 ayat (2) UU No. 28/2014, apabila tidak diperjanjikan lain maka pemilik dan pemegang ciptaan yang berupa potret berhak melakukan pengumuman terhadap potret dalam suatu pameran umum tanpa persetujuan pencipta asalkan telah mendapat persetujuan tertulis dari orang yang ada dalam potret atau ahli warisnya.

Dalam bidang HKI terdapat prinsip adanya pemisahan antara benda secara fisik dengan HKI yang terdapat dalam benda tersebut.9 Prinsip tersebut berarti seseorang yang menguasai benda secara fisik tidak secara otomatis memiliki hak eksklusif atas benda fisik tersebut.10 Contohnya seseorang yang membeli buku atau kaset hanya berhak untuk membaca buku dan mendengarkan lagu atau musik dari kaset tersebut. Ia tidak berhak untuk memperbanyak buku dan kaset tersebut

9

Tomi Suryo Utomo, 2010, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Era Global: Sebuah Kajian Kontemporer, Ed. I, Cet. I, Graha Ilmu, Yogyakarta, h. 12.

10

(24)

7

serta tidak berhak memperdengarkan lagu atau musik dalam kaset tersebut di tempat umum. Hal ini karena yang ia beli adalah ciptaannya bukan hak ciptanya.11 Oleh karena itu hak cipta atas buku dan kaset tersebut tetap berada di tangan pencipta.

Penjelasan Pasal 15 ayat (1) UU No. 28/2014 menentukan bahwa “Yang dimaksud dengan „pemilik’ dalam ketentuan ini adalah orang yang menguasai

secara sah Ciptaan, antara lain kolektor atau Pemegang Hak Cipta”. Pemegang hak cipta merupakan pihak yang memiliki hak cipta atas suatu ciptaan sehingga ia berhak untuk melakukan pengumuman dan penggandaan terhadap ciptaan. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (selanjutnya disingkat KBBI), kolektor adalah orang yang mengumpulkan benda untuk koleksi, misalnya perangko, benda bersejarah dan sebagainya yang sering dikaitkan dengan minat atau hobi.12 Kolektor tidak berhak melakukan pengumuman dan penggandaan ciptaan tanpa izin karena kolektor merupakan pemilik ciptaan secara fisik, kolektor bukan merupakan pemilik hak cipta atas ciptaan yang ia koleksi.

Berdasarkan prinsip adanya pemisahan antara benda secara fisik dengan HKI yang terdapat dalam benda tersebut, maka pemilik ciptaan dalam arti kolektor dan pemegang ciptaan hanya berhak menikmati secara pribadi ciptaan yang ia miliki namun tidak berhak untuk mengumumkan atau menggandakan ciptaan yang ia miliki. Hak untuk mengumumkan dan menggandakan ciptaan berada di tangan pencipta atau pemegang hak cipta. Tetapi berdasarkan ketentuan Pasal 15 UU No. 28/2014, prinsip tersebut dikesampingkan. Pasal 15 UU No.

11

Ibid.

12

(25)

8

28/2014 memberikan hak kepada pemilik dan pemegang ciptaan untuk melakukan pengumuman ciptaan dalam suatu pameran umum atau penggandaan ciptaan dalam suatu katalog yang diproduksi untuk keperluan pameran tanpa persetujuan pencipta.

Apabila diperjanjikan lain maka pemilik atau pemegang ciptaan fotografi, lukisan, gambar, karya arsitektur, patung, potret atau karya seni lain tidak berhak melakukan pengumuman ciptaan dalam suatu pameran umum dan penggandaan ciptaan dalam suatu katalog untuk keperluan pameran tanpa persetujuan dari pencipta. Apabila diperjanjikan lain maka pemilik atau pemegang ciptaan tersebut wajib mendapatkan persetujuan dari pencipta terlebih dahulu.

Pasal 15 ayat (1) UU No. 28/2014 tidak menggunakan istilah “izin” melainkan menggunakan istilah “persetujuan”. Padahal untuk dapat melakukan pengumuman dan penggandaan ciptaan, yang diperlukan adalah izin dari pencipta bukan persetujuan dari pencipta. Diperlukan adanya izin dari pencipta karena berdasarkan Pasal 9 ayat (2) UU No. 28/2014 untuk dapat melakukan pengumuman dan penggandaan ciptaan wajib mendapatkan izin dari pencipta atau pemegang hak cipta.

Pasal 9 UU No. 28/2014

(1) Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 memiliki hak ekonomi untuk melakukan:

a. penerbitan Ciptaan;

b. Penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya; c. penerjemahan Ciptaan;

d. pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian Ciptaan;

e. Pendistribusian Ciptaan atau salinannya; f. pertunjukan Ciptaan;

(26)

9

h. Komunikasi Ciptaan; dan i. penyewaan Ciptaan.

(2) Setiap Orang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta.

(3) Setiap Orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang melakukan Penggandaan dan/atau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan.

Sesuai ketentuan Pasal 9 ayat (2) UU No. 28/2014, untuk dapat melakukan pengumuman dan penggandaan ciptaan maka harus mendapatkan izin dari pencipta atau pemegang hak cipta. Apabila Pasal 9 ayat (2) UU No. 28/2014 dikaitkan dengan Pasal 1 angka 20 UU No. 28/2014 maka dapat diketahui bahwa izin sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (2) UU No. 28/2014 merupakan lisensi.

Berdasarkan Pasal 80 ayat (1) UU No. 28/2014 diketahui bahwa lisensi dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis. Pasal 83 UU No. 28/2014 menentukan bahwa perjanjian lisensi yang dibuat dalam bentuk tertulis tersebut harus dicatat oleh menteri dalam daftar umum perjanjian lisensi hak cipta dengan dikenai biaya. Jika perjanjian lisensi tidak dicatat maka tidak mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga. Adanya keharusan pencatatan perjanjian lisensi dapat menyebabkan seseorang mengeluarkan waktu dan biaya lebih dalam membuat perjanjian lisensi. Pasal 15 ayat (1) UU No. 28/2014 tidak menggunakan istilah “izin” melainkan menggunakan istilah “persetujuan”. Dalam UU No. 28/2014 tidak

(27)

10

Apakah yang dimaksud dengan “persetujuan” dalam Pasal 15 ayat (1) UU No. 28/2014 sama artinya dengan “izin” dalam Pasal 9 ayat (2) UU No. 28/2014. Apabila yang dimaksud dengan “persetujuan” dalam Pasal 15 ayat (1) UU No. 28/2014 sama artinya dengan “izin” dalam Pasal 9 ayat (2) UU No. 28/2014 maka

pemilik atau pemegang ciptaan wajib memperoleh izin yang berupa lisensi dari pencipta. Sedangkan apabila kedua istilah tersebut mempunyai makna yang berbeda, apakah “persetujuan” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) UU No. 28/2014 dapat diperoleh melalui perjanjian antara pemilik atau pemegang ciptaan dengan pencipta, baik dalam bentuk perjanjian tertulis maupun perjanjian lisan.

Apabila persetujuan pencipta terhadap pengumuman ciptaan dalam suatu pameran umum atau penggandaan ciptaan dalam suatu katalog yang diproduksi untuk keperluan pameran dapat diperoleh tanpa perlu membuat lisensi melainkan cukup melalui perjanjian saja maka perjanjian tersebut tidak perlu dicatat dalam daftar umum perjanjian lisensi hak cipta sehingga tidak perlu mengeluarkan lebih banyak waktu dan biaya untuk pencatatan. Sedangkan apabila persetujuan pencipta wajib diperoleh melalui lisensi maka lisensi tersebut harus dicatat dalam daftar umum perjanjian lisensi hak cipta dengan dikenai biaya.

(28)

11

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, rumusan masalah yang diangkat adalah:

1. Apakah pemilik dan pemegang ciptaan berhak melakukan pengumuman dan penggandaan ciptaan dalam suatu pameran tanpa memperoleh lisensi dari pencipta?

2. Apakah persetujuan pencipta terhadap pengumuman ciptaan dalam suatu pameran umum atau penggandaan ciptaan dalam suatu katalog untuk keperluan pameran dapat diperoleh melalui perjanjian lisan?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Untuk mendapatkan pembahasan yang sistematis dan tidak menyimpang dari pokok permasalahan yang telah dirumuskan maka diperlukan adanya batasan terhadap ruang lingkup permasalahan. Berdasarkan rumusan masalah di atas maka batas ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas adalah:

1. Dalam rumusan masalah pertama, lingkup permasalahannya mengenai berhak atau tidaknya pemilik dan pemegang ciptaan melakukan pengumuman dan penggandaan ciptaan dalam suatu pameran tanpa memperoleh lisensi dari pencipta; dan

(29)

12

1.4 Orisinalitas Penelitian

Penelitian yang Penulis buat dengan judul “PENGATURAN TENTANG

PERSETUJUAN PENCIPTA TERHADAP PENGUMUMAN ATAU

PENGGANDAAN CIPTAAN DALAM PAMERAN” membahas dua rumusan masalah yaitu: 1) Apakah pemilik dan pemegang ciptaan berhak melakukan pengumuman dan penggandaan ciptaan dalam suatu pameran tanpa memperoleh lisensi dari pencipta, dan 2) Apakah persetujuan pencipta terhadap pengumuman ciptaan dalam suatu pameran umum atau penggandaan ciptaan dalam suatu katalog untuk keperluan pameran dapat diperoleh melalui perjanjian lisan. Berdasarkan pengetahuan penulis, permasalahan yang penulis angkat tersebut belum pernah diteliti dalam penelitian-penelitian terdahulu. Namun permasalahan yang berkaitan dengan hak cipta sudah pernah diteliti dalam penelitian-penelitian sebelumnya. Indikator pembeda antara penetian penulis dengan penelitian terdahulu dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1. Daftar Penelitian Terdahulu

No. Penulis Judul Rumusan Masalah

(30)
(31)

14

Universitas Udayana, Tahun 2015.

Diperdengarkan di Tempat Usaha Cafe

Kabupaten Badung

pencipta lagu yang lagunya

diperdengarkan di tempat usaha cafe Kabupaten Badung? 2. Bagaimana akibat

hukum dari

pelaksanaan hak ekonomi pencipta lagu yang lagunya diperdengarkan di tempat usaha cafe Kabupaten Badung?

Berdasarkan pemaparan penelitian-penelitian terdahulu pada tabel di atas, terdapat perbedaan permasalahan yang dibahas antara penelitian penulis dengan penelitian-penelitian terdahulu tersebut, sehingga penelitan penulis merupakan penelitian yang orisinal.

1.5 Tujuan Penulisan

(32)

15

1.5.1 Tujuan Umum

1. Untuk mengembangkan ilmu hukum yang berkaitan dengan pengumuman dan penggandaan ciptaan dalam pameran; dan

2. Untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi mahasiswa dan masyarakat mengenai persetujuan pencipta terhadap pengumuman dan penggandaan ciptaan dalam pameran.

1.5.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui berhak atau tidaknya pemilik dan pemegang ciptaan melakukan pengumuman dan penggandaan ciptaan dalam suatu pameran tanpa memperoleh lisensi dari pencipta; dan

2. Untuk mengetahui dapat atau tidaknya persetujuan pencipta terhadap pengumuman ciptaan dalam suatu pameran umum atau penggandaan ciptaan dalam suatu katalog untuk keperluan pameran diperoleh melalui perjanjian lisan.

1.6 Manfaat Penulisan

Manfaat yang hendak diperoleh dari penulisan ini meliputi manfaat teoritis dan manfaat praktis, yaitu sebagai berikut:

1.6.1 Manfaat Teoritis

(33)

16

1.6.2 Manfaat Praktis

1. Manfaat praktis bagi pencipta, pemegang hak cipta, dan pengguna hak cipta (user) adalah dapat memberikan informasi menganai wajib atau tidaknya membuat perjanjian lisensi untuk dapat melakukan pengumuman ciptaan dalam suatu pameran umum atau penggandaan ciptaan dalam suatu katalog untuk keperluan pameran; dan

2. Manfaat praktis bagi pemilik dan pemegang ciptaan adalah dapat memberikan informasi mengenai dapat atau tidaknya pemilik dan pemegang ciptaan melakukan pengumuman ciptaan dalam suatu pameran umum atau penggandaan ciptaan dalam suatu katalog untuk keperluan pameran tanpa lisensi melainkan melalui perjanjian lisan.

1.7 Landasan Teoritis

Landasan teoritis merupakan dukungan teori, konsep, asas dan pendapat-pendapat hukum dalam membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis.13

1.7.1 Prinsip Pemisahan Antara Benda Secara Fisik dengan HKI yang

Terkandung dalam Benda Tersebut

Prinsip pemisahan antara benda secara fisik dengan HKI yang terkandung dalam benda tersebut menimbulkan konsekuensi berupa seseorang yang

13

(34)

17

menguasai benda secara fisik tidak secara otomatis memiliki hak eksklusif atas benda fisik tersebut.14

Prinsip tersebut juga diakui oleh Sanusi Bintang yang menyatakan bahwa: “. . . memiliki benda tertentu yang berwujud tidak berarti juga memiliki hak atas kepemilikan intelektual (hak cipta) yang ada di dalamnya. Misalnya seseorang yang membeli sebuah buku atau lukisan, maka yang bersangkutan hanya menjadi pemilik buku atau lukisan saja, tidak mencakup hak cipta atas buku atau lukisan itu. Hak milik atas buku atau lukisan itu berada pada tangan pembeli, sedangkan hak ciptanya berada pada pencipta buku atau lukisan. Hak cipta itu tetap melekat dalam tangan siapa pun kepemilikan benda itu berada.”15

Sanusi Bintang juga menjelaskan bahwa memiliki suatu benda tidak secara otomatis memiliki hak cipta yang ada dalam benda tersebut karena hak milik atas benda (tangible right) terpisah dari hak milik intelektualnya (incorporeal right).16

1.7.2 Doktrin Fair Use/Fair Dealing

Doktrin fair use/fair dealing mengajarkan bahwa suatu perbuatan menggunakan atau memanfaatkan ciptaan secara pantas atau wajar sepanjang tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta bukan merupakan pelanggaran hak cipta. Contoh fair use/fair dealing menurut Henry Soelistyo adalah:

(35)

18

1.7.3 Asas Kebebasan Berkontrak

Dasar hukum asas kebebasan berkontrak adalah Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata18 (selanjutnya disingkat KUHPerdata) yang menentukan bahwa “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai

undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Berdasarkan asas kebebasan berkontrak maka para pihak diberikan kebebasan untuk “(1) membuat atau tidak

membuat perjanjian; (2) mengadakan perjanjian dengan siapapun; (3) menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, dan (4) menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan”.19

Namun kebebasan tersebut dibatasi oleh tiga hal yaitu tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.20

Lahirnya asas kebebasan berkontrak dilatarbelakangi oleh adanya paham individualisme.21 Berdasarkan paham individualisme, setiap individu bebas untuk memperoleh apa yang dikehendakinya.22Implementasi paham individualisme dalam bidang hukum perjanjian berimplikasi pada kebebasan individu dalam membuat perjanjian termasuk kebebasan memilih bentuk perjanjian baik tertulis maupun lisan.

18

I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2014, Implementasi Ketentuan-ketentuan Hukum Perjanjian kedalam Perancangan Kontrak, Udayana University Press, Denpasar, h. 47.

19

Salim HS, Abdullah dan Wiwiek Wahyuningsih, 2011, Perancangan Kontrak & Memorandum of Understanding (MoU), Ed. I, Cet. V, Sinar Grafika, Jakarta, h. 2.

20

Abdulkadir Muhammad, 2000, Hukum Perdata Indonesia, Cet. III, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disingkat Abdulkadir Muhammad I), h. 225.

21

Salim HS, loc.cit.

22

(36)

19

1.8 Metode Penelitian

1.8.1 Jenis Penelitian

Penulisan ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif. Dipilihnya jenis penelitian hukum normatif karena penulisan ini menguraikan permasalahan-permasalahan yang ada, untuk selanjutnya dibahas dengan kajian yang berdasarkan teori-teori hukum kemudian dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam praktek hukum.23

Penulisan ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif karena membahas mengenai adanya ketidakjelasan makna istilah persetujuan pada Pasal 15 ayat (1) UU No. 28/2014. Ketidakjelasan makna istilah persetujuan pada Pasal 15 ayat (1) UU No. 28/2014 terjadi karena adanya ketidakjelasan apakah yang dimaksud dengan “persetujuan” dalam Pasal 15 ayat (1) UU No. 28/2014 sama artinya dengan “izin” dalam Pasal 9 ayat (2) UU No. 28/2014. Ketidakjelasan tersebut timbul karena sesungguhnya untuk melakukan pengumuman dan penggandaan ciptaan yang diperlukan adalah izin dari pencipta. Namun Pasal 15 ayat (1) UU No. 28/2014 menggunakan istilah “persetujuan” bukan “izin”.

1.8.2 Jenis Pendekatan

Penulisan ini menggunakan tiga jenis pendekatan yaitu pendekatan perundang-undangan (the statute approach), pendekatan analisis konsep hukum (analytical & conceptual approach), dan pendekatan frasa (words & phrase approach).

23

(37)

20

Pendekatan perundang-undangan (the statute approach) digunakan untuk mengkaji peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang pengumuman dan penggandaan ciptaan dan digunakan untuk mengkaji peraturan-peraturan hukum yang mengatur mengenai bahasa peraturan perundang-undangan. Pendekatan analisis konsep hukum (analytical & conceptual approach) digunakan untuk menganalisis konsep-konsep hukum yang berkaitan dengan hak cipta. Pendekatan frasa (words & phrase approach) digunakan untuk memahami makna kata persetujuan dalam Pasal 15 ayat (1) UU No. 28/2014.

1.8.3 Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum yang dipakai dalam penulisan ini berasal dari: 1. Sumber Bahan Hukum Primer

Sumber bahan hukum primer adalah sumber bahan hukum yang mengikat yakni berupa norma, kaidah dasar dan peraturan yang berkaitan, yang bersifat mengikat.24 Sumber bahan hukum primer yang digunakan adalah:

a. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);

b. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 266,

24

(38)

21

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5599); dan

c. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 2. Sumber Bahan Hukum Sekunder

Sumber bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, bahan hukum sekunder tersebut meliputi buku, literatur, makalah, skripsi, tesis, dan bahan-bahan hukum tertulis lainnya yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti.25 Bahan hukum sekunder juga meliputi jurnal, karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang termuat dalam media massa, dan internet dengan menyebut nama situsnya.

3. Sumber Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier merupakan bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum tersier meliputi kamus bahasa, kamus hukum, dan ensiklopedia.26

1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Bahan hukum yang digunakan pada penulisan ini dikumpulkan dengan teknik sistem kartu (card system). Sistem kartu merupakan teknik pengumpulan bahan hukum dengan cara mencatat dan memahami isi informasi yang diperoleh dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier secara berurutan dan sistematis sesuai permasalahan.

25

Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penulisan Hukum, Cet. IV, Kencana, Jakarta, h. 141.

26

(39)

22

1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum

Untuk menganalisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul digunakan berbagai teknik analisis seperti deskripsi, interpretasi, kontruksi, evaluasi, argumentasi dan sistematisasi. Dalam penulisan ini, teknik analisis bahan hukum yang digunakan adalah:

1. Teknik deskripsi yaitu menguraikan apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum dan non hukum.

2. Teknik interpretasi yaitu teknik analisis bahan hukum dengan menggunakan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu hukum seperti penafsiran gramatikal, historis, sistematis, teleologis, kontektual, dan lain-lain.

(40)

23

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG HAK CIPTA,

LISENSI, DAN PAMERAN

2.1 Hak Cipta

2.1.1 Pengertian Hak Cipta

Berdasarkan sejarah hukum Indonesia istilah yang pertamakali dikenal adalah istilah hak pengarang (author right) yang dikenal setelah berlakunya

Auteurswet 1912 Staatsblad Nomor 600 Tahun 1912 (Undang-Undang Hak Pengarang).27 Istilah hak pengarang tersebut merupakan terjemahan dari istilah Bahasa Belanda yaitu Auteurs Rechts.28 Namun istilah hak pengarang tersebut kemudian diganti dengan istilah hak cipta karena dianggap lebih sesuai dengan bidang cakupan yang diatur oleh hak cipta tersebut yaitu mengatur mengenai HKI di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra.

Penggunaan istilah hak cipta pertamakali diusulkan oleh Soetan Moh. Sjah pada Kongres Kebudayaan Nasional ke-2 bulan Oktober 1951 di Bandung yang kemudian kongres tersebut mengesahkan istilah hak cipta untuk menggantikan istilah hak pengarang.29 Alasannya karena istilah hak pengarang dianggap memiliki cakupan yang kurang luas. Dianggap kurang luas karena istilah hak pengarang memberikan kesan penyempitan arti, seolah-olah yang dicakup oleh hak pengarang tersebut hanyalah hak dari pengarang saja, sedangkan istilah hak

27

Muhamad Djumhana dan R. Djubaedillah, op.cit, h. 47.

28

OK. Saidin, op.cit. h. 58, dikutip dari Ajip Rosidi, 1984, Undang-Undang Hak Cipta 1982: Pandangan Seorang Awam, Djambatan, Jakarta, h. 3.

29

(41)

24

cipta mempunyai cakupan yang lebih luas. 30 Lingkup objek hak cipta sesungguhnya tidak hanya mencakup hak pengarang saja, tetapi juga mencakup pencipta karya seni seperti penari, pelukis, dan pencipta lagu.31

Berdasarkan hasil Seminar Nasional Hak Cipta Tahun 1975 di Denpasar, Bali, istilah hak cipta dikukuhkan sebagai terjemahan dari auteurswet.32 Salah satu hasil Seminar Nasional Hak Cipta Tahun 1975 di Denpasar, Bali tersebut adalah berhasil dirumuskannya pengertian hak cipta yaitu sebagai berikut:

Hak Cipta ialah hak tunggal pencipta atas ciptaannya dan hak memberi izin kepada pihak lain untuk melaksanakan dan memanfaatkan ciptaannya itu, misalnya:

1. Mengumumkan dan/atau memperbanyak ciptaannya itu dalam bentuk apa pun dan dengan cara apa pun;

2. Membuat terjemahan atau saduran dalam bentuk apa pun, serta mengumumkan dan memperbanyaknya.33

Menurut Sanusi Bintang, istilah hak cipta terdiri dari dua kata yaitu hak dan cipta.

Perkataan hak cipta itu sendiri terdiri dari dua kata hak dan cipta. Kata “hak” yang sering dikaitkan dengan kewajiban adalah suatu kewenangan yang diberikan kepada pihak tertentu yang sifatnya bebas untuk digunakan atau tidak. Sedangkan kata “cipta” tertuju pada hasil kreasi manusia dengan menggunakan sumber daya yang ada padanya berupa pikiran, perasaan, pengetahuan, dan pengalaman. Oleh karena itu, hak cipta berkaitan erat dengan intelektualita manusia itu sendiri berupa hasil kerja otak.34

(42)

25

menghasilkan kreasi dengan menggunakan pikiran, perasaan, pengetahuan, dan pengalaman yang Ia miliki.

Definisi hak cipta secara yuridis dapat dilihat pada Pasal 1 angka 1 UU No. 28/2014 yang menentukan bahwa “Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Dari definisi tersebut dapat ditarik unsur-unsur hak cipta yaitu:

1. Hak eksklusif pencipta;

2. Timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif; 3. Timbul setelah ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata; dan

4. Tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

1. Hak Eksklusif Pencipta

Penjelasan Pasal 4 UU No. 28/2014

Yang dimaksud dengan “hak eksklusif” adalah hak yang hanya diperuntukkan bagi Pencipta, sehingga tidak ada pihak lain yang dapat memanfaatkan hak tersebut tanpa izin Pencipta. Pemegang Hak Cipta yang bukan Pencipta hanya memiliki sebagian dari hak eksklusif berupa hak ekonomi.

(43)

26

pencipta yang bebas melaksanakan hak cipta, sementara pihak lain dilarang melaksanakan hak cipta tersebut tanpa persetujuan pencipta.35

Menurut Sanusi Bintang36, kata eksklusif tersebut artinya hanya diberikan kepada yang berhak saja yaitu pencipta, tidak diberikan kepada pihak lain. Oleh karena itu pencipta mempunyai hak monopoli terhadap ciptaannya, namun hak monopoli tersebut bukan tanpa batas melainkan tetap harus memperhatikan pembatasan menurut peraturan perundang-undangan, moral, agama, kesusilaan, ketertiban umum, serta pertahanan dan keamanan negara.

2. Timbul Secara Otomatis Berdasarkan Prinsip Deklaratif

Hak cipta diperoleh tanpa perlu melakukan pendaftaran/pencatatan karena hak cipta timbul secara otomatis setelah diwujudkannya ciptaan dalam bentuk nyata. Pasal 64 ayat (2) UU No. 28/2014 menentukan bahwa “Pencatatan Ciptaan dan produk Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan merupakan syarat untuk mendapatkan Hak Cipta dan Hak Terkait. Penjelasan Pasal 64 ayat (2) UU No. 28/2014 menjelaskan bahwa:

Pencatatan Ciptaan dan produk Hak Terkait bukan merupakan suatu keharusan bagi Pencipta, Pemegang Hak Cipta atau pemilik Hak Terkait. Pelindungan suatu Ciptaan dimulai sejak Ciptaan itu ada atau terwujud dan bukan karena pencatatan. Hal ini berarti suatu Ciptaan baik yang tercatat maupun tidak tercatat tetap dilindungi.

Berne Convention for the Protection of Artistic and Literary Works

(Konvensi Bern tentang Perlindungan Karya Seni dan Sastra) yang selanjutnya disebut Berne Convention, yang melandasi dasar perlindungan hak cipta di hampir

35

Zainal Asikin, op.cit, h. 127.

36

(44)

27

seluruh dunia menganut sistem perlindungan secara otomatis (automatic protection). 37 Hak cipta tidak mensyaratkan pendaftaran/pencatatan atau persyaratan formal lainnya, prinsip tersebut tersirat dalam ketentuan Article 5

paragraph (2) of the Berne Convention.38Article 5 paragraph (2) of the Berne Convention menentukan bahwa “The enjoyment and the exercise of these rights shall not be subject to any formality; such enjoyment and such exercise shall be

independent of the existence of protection in the country of origin of the work . . .

Prinsip automatic protection merupakan prinsip yang memberikan perlindungan secara otomatis terhadap ciptaan yang lahir tanpa memerlukan proses formalitas seperti pendaftaran (registration).39 Prinsip automatic protection

dapat juga dipahami bahwa pemberian perlindungan terhadap ciptaan diberikan secara langsung tanpa harus memenuhi syarat apapun (must not be conditional upon complience with any formality).40 Prinsip automatic protection dipengaruhi oleh Natural Right Theory (teori hukum alam) yang mengajarkan bahwa hak cipta muncul secara alamiah atau natural, bukan pemberian orang atau negara, oleh karena itu untuk perlindungannya tidak diperlukan tindakan formalitas seperti pendaftaran.41

Menurut Kollewijn sebagaimana dikutip oleh Soekardono, terdapat dua jenis cara atau stelsel pendaftaran yaitu stelsel konstitutif dan stelsel deklaratif.42

37

Ni Ketut Supasti Dharmawan, 2011, Hak Kekayaan Intelektual dan Harmonisasi Hukum Global: Rekontruksi terhadap Perlindungan Program Komputer, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, h. 86.

Ni Ketut Supasti Dharmawan, loc.cit.

42

(45)

28

Stelsel konstitutif menentukan bahwa hak cipta lahir karena pendaftaran. Jika ciptaan sudah didaftarkan maka hak cipta atas ciptaan tersebut diakui keberadaannya secara de jure dan de facto. Sedangkan stelsel deklaratif menentukan bahwa pendaftaran citaan hanya bersifat memberikan dugaan atau sangkaan saja bahwa orang yang mendaftarkan ciptaan adalah orang yang berhak atas ciptaan.43 Apabila ada pihak lain misalnya si X mampu membuktikan bahwa orang yang namanya tercantum dalam daftar umum ciptaan bukan merupakan pencipta melainkan si X lah yang merupakan pencipta dari ciptaan tersebut maka sesuai dengan Pasal 31 UU No. 28/2014, si X lah yang diakui sebagai pencipta.

Pasal 31 UU No. 28/2014

Kecuali terbukti sebaliknya, yang dianggap sebagai pencipta, yaitu Orang yang namanya:

a. disebut dalam Ciptaan;

b. dinyatakan sebagai Pencipta pada suatu Ciptaan; c. disebutkan dalam surat pencatatan Ciptaan; dan/atau d. tercantum dalam daftar umum Ciptaan sebagai pencipta.

3. Timbul Setelah Ciptaan Diwujudkan dalam Bentuk Nyata

Hak cipta timbul setelah ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata. Berdasarkan konsep idea and expression works, karya yang mendapatkan perlindungan hak cipta adalah karya yang sudah berwujud karya cipta nyata. Hak cipta tidak melindungi ide semata, melainkan melindungi ide yang sudah diwujudkan dalam bentuk karya cipta nyata (idea and expression works) yang sudah dapat dilihat, dibaca, didengar dan sebagainya.44

43

OK. Saidin, loc.cit.

44

(46)

29

Earl W. Kintner dan Jack Lahr menyatakan bahwa agar suatu karya mendapatkan perlindungan hak cipta (copyrightability), maka karya tersebut harus memenuhi kriteria fixation, originality, and creatifity. 45 Kriteria fixation

mengandung konsekuensi yaitu karya yang tidak atau belum berwujud nyata tidak mendapat perlindungan hak cipta.46 Contoh seorang profesor mempunyai ide berupa materi-materi pelajaran kemudian ia menyampaikan ide tersebut kepada orang lain sementara profesor tersebut tidak pernah menulis ide-idenya dalam bentuk buku. Karena profesor tidak pernah menuangkan ide-ide tersebut dalam bentuk konkret maka ide tersebut tidak dilindungi hak cipta. Konsekuensinya apabila orang lain menuliskan ide-ide tersebut dalam bentuk buku, orang lain tersebut tidak melanggar hak cipta, justru orang lain yang menulis buku tersebut yang mendapatkan perlindungan karena sudah berhasil menuangkan ide-ide tersebut dalam bentuk yang konkret yaitu berupa buku.47

Dasar hukum yang mengatur bahwa hak cipta hanya melindungi karya yang sudah diwujudkan dalam bentuk nyata adalah Pasal 1 angka 1 dan angka 3, dan Pasal 41 UU No. 28/2014. Secara internasional hal tersebut diatur dalam disepakati pada tanggal 9 September 1886 di Berne, kemudian telah mengalami beberapakali perubahan yaitu pada tahun 1896, 1908, 1914, 1928, 1948, 1967, 1971, dan 1979. Lihat Ni Ketut Supasti Dharmawan, op.cit, h. 68-69.

49

(47)

30

Pasal 1 angka 3 UU No. 28/2014 menentukan bahwa “Ciptaan adalah

setiap hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata”.

Pasal 41 UU No. 28/2014

Hasil karya yang tidak dilindungi Hak Cipta meliputi: a. hasil karya yang belum diwujudkan dalam bentuk nyata;

b. setiap ide, prosedur, sistem, metode, konsep, prinsip, temuan atau data walaupun telah diungkapkan, dinyatakan, digambarkan, dijelaskan, atau digabungkan dalam sebuah Ciptaan; dan

c. alat, benda, atau produk yang diciptakan hanya untuk menyelesaikan masalah teknis atau yang bentuknya hanya ditujukan untuk kebutuhan fungsional.

Article 2 paragraph (2) of the Berne Convention menentukan bahwa “It shall, however, be a matter for legislation in the countries of the Union to

prescribe that works in general or any specified categories of works shall not be

protected unless they have been fixed in some material form”. Dan Article 9

paragraph (2) of the TRIPs menentukan bahwa “Copyright protection shall extend to expressions and not to ideas, procedures, methods of operation or

mathematical concepts as such”.

4. Tanpa Mengurangi Pembatasan Sesuai dengan Ketentuan Peraturan Perundang-undangan

Konsepsi hak cipta mengenal pembatasan hak yang dikukuhkan dalam norma peraturan perundang-undangan, salah satu pembatasan hak cipta adalah

(48)

31

ciptaan tidak boleh bertentangan dengan norma kesusilaan, ketertiban umum, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.50 Penjelasan lebih lanjut mengenai pembatasan hak cipta dapat dilihat pada subbab berikutnya.

2.1.2 Teori Hukum atau Landasan Filosofi Perlindungan Hak Cipta

Hak cipta merupakan bagian dari HKI yaitu HKI di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra. Oleh karena hak cipta merupakan bagian dari HKI maka landasan filosofi perlindungan hak cipta dapat merujuk pada landasan filosofi perlindungan HKI.

Terdapat dua teori besar yang menjadi landasan filosofi perlindungan HKI yaitu Utilitarianism Theory dan Labor Theory.

1. Utilitarianism Theory

Utilitarianisme memuat latin “utilis” yang artinya berguna. 51

Utilitarianisme merupakan aliran yang menempatkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum. Kemanfaatan tersebut diartikan sebagai kebahagiaan (happines). Pokok pembahasan dalam utilitanisme adalah mengenai apakah hukum mampu memberikan kebahagiaan kepada manusia atau tidak. 52

Landasan filosofi perlindungan HKI menurut utilitarianism theory

dipengaruhi oleh pemikiran utilitarianis dari Jeremy Bentham. Menurut Jeremy Bentham, the ultimate end of legislation is the greatest happiness of the greatest

50

Henry Soelistyo, op.cit, h. 13.

51

Muhamad Erwin, 2013, Filsafat Hukum: Refleksi Kritis Terhadap Hukum, Ed. I, Cet. III, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 179.

52

(49)

32

number.53 Hukum dibentuk untuk mencapai kebahagiaan bagi bagian terbesar warga masyarakat. Namun prinsip utilitarianis dari Jeremy Bentham tidak semata-mata ditujukan untuk kebahagiaan masyarakat, tetapi termasuk di dalamnya masyarakat dalam sosoknya sebagai individu. Oleh karena itu prinsip utilitarianis dari Jeremy Bentham dapat mengakomodir perlindungan hukum baik dalam dimensi individual maupun komunal.54

Dalam konteks pengkajian HKI dalam dimensi komunal, Thomas Aquinas mengemukakan bahwa hukum hendaknya membantu manusia berkembang sesuai kodratnya, menjunjung keluhuran martabat manusia, bersifat adil, menjamin kesamaan dan kebebasan, serta memajukan kepentingan dan kesejahteraan umum. Melalui Summa Theologiae, Thomas Aquinas menyatakan bahwa hukum hendaknya bersifat adil serta ditujukan untuk kepentingan dan kesejahteraan umum.55

Berdasarkan Utilitarianism Theory, perlindungan terhadap HKI harus menjamin keseimbangan perlindungan bagi pencipta atau penemu dengan masyarakat luas.56 Perlindungan terhadap hak eksklusif pencipta atau penemu harus terjamin agar meningkatkan semangat mereka untuk menghasilkan ciptaan-ciptaan dan temuan-temuan baru.57 Kepentingan masyarakat luas juga harus diakomodir agar karya intelektual yang dihasilkan dapat dinikmati bagian terbesar

53

Ni Ketut Supasti Dharmawan, op.cit, h. 46, dikutip dari William Fisher, 1999,

“Theories of Intellectual Property”, URL:

http://www.law.harvard.edu/Academic_Affairs/coursepages/tfisher/iphistory.pdf, h. 2-8, diakses tanggal 24 Juni 2010.

54

Ni Ketut Supasti Dharmawan, op.cit, h. 46, dikutip dari Agus Sardjono, 2006, Hak Kekayaan Intelektual dan Pengetahuan Tradisional, PT Alumni, Bandung, h. 32-33.

55

Ni Ketut Supasti Dharmawan, op.cit, h. 46-47.

56

Ni Ketut Supasti Dharmawan, op.cit, h. 45.

57

(50)

33

warga masyarakat dengan catatan tidak merugikan kepentingan yang wajar pencipta atau penemu.

Sistem HKI yang berkembang dewasa ini sudah memperhatikan keseimbangan antara dua kepentingan yang berbeda yaitu kepentingan pemilik hak dan kepentingan masyarakat umum. Hal tersebut dapat dilihat pada Article 27

of the Universal Declaration of Human Rights (selanjutnya disingkat UDHR).58

Article 27 of the UDHR

1. Everyone has the right freely to participate in the cultural life of the community, to enjoy the arts and to share in scientific advancement and its benefits.

2. Everyone has the right to the protection of the moral and material interests resulting from any scientific, literary or artistic production of which he is the author.

2. Labor Theory

Labor Theory terdiri dari kata labor berarti kerja dan theory berarti teori. Menurut Labor Theory perlindungan hukum terhadap pencipta atau penemu diberikan karena pencipta atau penemu telah bekerja keras baik mempekerjakan fisik dan mempekerjakan otak sehingga menghasilkan karya intelektual.

Kerja keras seseorang dalam menuangkan segala kemampuan atau keahliannya (labor theory) untuk menghasilkan karya intelektual sudah sewajarnya diberikan perlindungan berupa hak milik alamiah (natural right theory) atas karya intelektualnya. Pandangan tersebut berkaitan dengan pemikiran John Locke yang menyatakan bahwa HKI lahir karena adanya usaha dan pengorbanan waktu dan tenaga yang telah dikontribusikan serta diinvestasikan

58

(51)

34

untuk menghasilkan karya intelektual. Oleh karenanya lahirlah hak yang melekat pada karya intelektual tersebut (Creative people have an inherent right to their intellectual property because of the labour they have invested in it).59

Natural right theory menekankan pada pertimbangan moral bahwa orang yang mampu membuat karya-karya berdasarkan kreatifitas intelektualnya, mereka secara alami akan memiliki natural right, yaitu hak alami yang melekat pada pencipta atas karya-karya intelektualnya. Akan terasa tidak adil apabila pihak lain yang tidak pernah berusaha untuk menghasilkan karya intelektual dapat menikmati manfaat karya intelektual hasil dari jerih payah orang lain.60

Dua unsur utama Natural Right Theory adalah:61

a. First Occupancy yaitu seseorang yang menciptakan atau menemukan karya intelektual berhak secara moral terhadap penggunaan eksklusif dari karya tersebut; dan

b. A Labor Justification yaitu seseorang yang sudah berupaya dalam menghasilkan karya intelektual seharusnya berhak atas hasil dari usahanya tersebut.

Menurut Robert M. Sherwood terdapat beberapa teori yang berkaitan dengan pentingnya memberikan perlindungan hukum terhadap karya-karya intelektual manusia. Teori-teori tersebut adalah:62

59

Ni Ketut Supasti Dharmawan, op.cit, h. 47, dikutip dari Kinney dan Lange PA, 1996,

Intellectual Property Law For Business Lawyer, ST Paul Minn West Publishing Co, USA, h. 3.

60

Ni Ketut Supasti Dharmawan, op.cit, h. 85.

61

Tomi Suryo Utomo, op.cit, h. 10, dikutip dari A Samuel Oddi, 1996, TRIPS-Natural Rights and A “Polite Form of Economic Imperialism”, 29 Vand. J. Transnat’l L. 415, h. 5.

62

Ranti Fauza Mayana, 2004, Perlindungan Desain Industri di Indonesia dalam Era Perdagangan Bebas, Grasindo, Jakarta, h. 44-46, dikutip dari Robert M. Sherwood, 1990,

(52)

35

a. Reward Theory menentukan bahwa seseorang yang telah berhasil membuat karya intelektual pantas diberikan penghargaan atas upaya kreatifnya menghasilkan karya intelektual tersebut;

b. Recovery Theory menentukan bahwa pencipta, penemu, dan pendesain yang telah mengeluarkan banyak waktu, tenaga, dan biaya dalam membuat karya intelektual harus memperoleh kembali segala sesuatu yang telah ia keluarkan;

c. Incentive Theory menentukan bahwa insentif perlu diberikan karena berguna untuk pengembangan kreativitas pencipta, penemu, dan pendesain. Insentif perlu diberikan untuk mengupayakan karya-karya kreatif terus bermunculan secara berkelanjutan;

d. Risk Theory menentukan bahwa karya intelektual merupakan hasil dari kegiatan penelitian yang mengandung resiko, sehingga wajar memberikan perlindungan terhadap kegiatan yang mengandung resiko tersebut; dan

e. Economic Growth Stimulus Theory menyatakan bahwa perlindungan atas HKI merupakan suatu alat pembangunan ekonomi. Yang dimaksud dengan pembangunan ekonomi adalah keseluruhan tujuan dibangunnya sistem perlindungan HKI yang efektif.

(53)

36

atau natural akan lahir terhadap suatu karya intelektual yang berasal dari jerih payah dan pengorbanan individu. Berangkat dari pemikiran tersebut maka HKI merupakan hak milik individu.63

Frederick Abbott adalah penstudi yang mendukung teori hukum alam. Frederick Abbott mengemukakan Demands for protection of intellectual property are often based on theory of natural law or moral right. The idea that intellectual

property is naturally owned by the person who creates it and that appropriation

from that person without compensation is wrongful.64 Teori hukum alam tersebut menjadi landasan kuat untuk memberikan perlindungan secara individu kepada pemegang HKI karena penggunaan suatu karya intelektual tanpa membayar kompensasi kepada pemegang hak merupakan perbuatan yang salah karena melanggar ajaran moral yang baik.65

2.1.3 Hak Moral dan Hak Ekonomi

Pasal 4 UU No. 28/2014 menentukan bahwa “Hak Cipta sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 3 huruf a merupakan hak eksklusif yang terdiri atas hak moral dan hak ekonomi.”

1. Hak Moral

Hak moral berasal dari sistem hukum kontinental, yaitu dari Prancis yang pertamakali dikenal pada abad ke-19.66 Berdasarkan konsep hukum kontinental,

63

Ni Ketut Supasti Dharmawan, op.cit, h. 50.

64

Ni Ketut Supasti Dharmawan, op.cit, h. 50, dikutip dari Frederick Abbott, Thomas Cottier, and Francis Gurry, 1999, The International Intellectual Property System Commentary and Materials, Kluwer Law international, The Netherlands, p. 7.

65

Ni Ketut Supasti Dharmawan, op.cit, h. 51.

66

(54)

37

hak pengarang (droit d’aueteur, author rights) terdiri dari hak ekonomi dan hak moral. Hak moral tersebut bersifat melindungi reputasi pencipta dan melekat pada diri pencipta secara kekal, walaupun kepemilikan atas hak cipta telah beralih ke pihak lain, namun hak moralnya akan tetap melekat pada penciptanya.67

Hak moral muncul dari suatu pemikiran bahwa karya cipta merupakan ekspresi atau pengejawantahan dari pribadi pencipta. Dengan demikian, gangguan terhadap ciptaan sama maknanya dengan gangguan terhadap pribadi pencipta.68

Hak moral mencakup dua hal besar yaitu right of paternity dan right of integrity.69

a. Right of paternity adalah hak pencipta untuk dicantumkan nama asli atau nama samarannya dalam ciptaan atau sebaliknya, hak untuk tidak dicantumkan namanya dalam ciptaan.

b. Right of integrity adalah hak untuk melarang orang lain mengubah, mengurangi dan memperlakukan ciptaan secara tidak pantas karena perbuatan tersebut dapat menghancurkan integritas pencipta. Misalnya hak untuk melarang tindakan mengganti lirik lagu dengan kata-kata konyol. Hak moral diatur dalam Article 6bis of theBerne Convention. Berdasarkan

Article 6bis of theBerne Convention, substansi hak moral meliputi:70

a. The right to claim authorship yaitu hak untuk diakui sebagai pencipta yang dilaksanakan dengan cara mencantumkan nama pencipta dalam ciptaan;

67

Muhammad Djumhana dan R. Djubaedillah, op.cit, h. 74.

68

Henry Soelistyo, op.cit, h. 107.

69

Henry Soelistyo, op.cit, h. 13 dan 16.

70

(55)

38

b. The right to object to any distortion, mutilation, or other modification of the work yaitu hak pencipta untuk menolak tindakan mendistorsi, memotong, atau menghilangkan beberapa bagian dari suatu ciptaan atau memodifikasi ciptaan sehingga merusak reputasi pencipta;

c. The right to object other derogatory action in relation to the said work

yaitu hak pencipta untuk menolak segala tindakan yang dapat merendahkan reputasi atau kehormatan pencipta.

Komen dan Verkade berpendapat hak moral pencipta terdiri dari:71 a. Larangan mengadakan perubahan dalam ciptaan;

b. Larangan mengubah judul;

c. Larangan mengubah penentuan pencipta; dan d. Hak untuk mengadakan perubahan.

Pasal 5 ayat (1) UU No. 28/2014 menentukan bahwa hak moral merupakan hak yang melekat secara abadi pada diri Pencipta untuk:

a. tetap mencantumkan atau tidak mencantumkan namanya pada salinan sehubungan dengan pemakaian Ciptaannya untuk umum;

b. menggunakan nama aliasnya atau samarannya;

c. mengubah Ciptaannya sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat; d. mengubah judul dan anak judul Ciptaan; dan

e. mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi Ciptaan, mutilasi Ciptaan, modifikasi Ciptaan, atau hal yang bersifat merugikan kehormatan diri atau reputasinya.

2. Hak Ekonomi

Pasal 8 UU No. 28/2014 menentukan bahwa “Hak ekonomi merupakan hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mendapatkan manfaat

71

Gambar

Tabel 1. Daftar Penelitian Terdahulu

Referensi

Dokumen terkait

dalam penelitian ini telah teruji, yaitu ”terdapat perbedaan kecerdasan naturalis anak sebelum dan sesudah pembelajaran metode proyek.” Kesimpulan yang diambil dari hasil

Dari Tabel 1 dan Tabel 4 terlihat bahwa baik untuk data Karangploso dan Banyuwangi, nilai RMSE yang diuji menggunakan metode BPNN lebih kecil jika dibandingkan dengan

Selain dengan ROA Penilaian kinerja keuangan juga dapat diukur dengan menggunakan Return on Equity (ROE) merupakan rasio yang menunjukan kemampuan perusahaan

Dari jenis-jenis permainan yang terdiri dari 4 jenis permainan yaitu lacer, home shesaw, double rock trail, slowly & twisa dari beberapa jenis permainan tersebut ada

9) Melakukan penyusunan laporan Seksi Laporan Hasil pelaksanaan program Evaluasi PDK-08.01.01 Pengolahan data dan statistik satuan pendidikan. Penyusunan Laporan Seksi

Implementasi Teknologi Informasi dalam dunia pendidikan yaitu berkembangnya software yang digunakan sebagai system informasi dengan tujuan untuk efektifitas dan

berkekuatan hukum tetap dari pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal calond. Surat keterangan dipidana karena kealpaan ringan (Culfa Levis)

Bila para ahli waris yang sah menurut undang-undang bertalian dengan yang meninggal dalam derajat-derajat yang tidak sama, maka yang terdekat derajatnya