II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Ruang dan Wilayah
Berdasarkan ketentuan Undang‐Undang Tentang Penataan Ruang yaitu Undang‐
Undang Nomor 27 Tahun 2006, pengertian ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan mahluk hidup lainnya malakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Dengan demikian maka tanah merupakan salah satu subsistem dari ruang.
Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Ruang wilayah Indonesia sebagai wadah atau tempat bagi manusia dan mahluk lainnya hidup dan melakukan kegiatannya merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang perlu disyukuri, dilindungi dan dikelola, ruang wajib dikembangkan dan dilestarikan pemanfaatannya secara optimal dan berkelanjutan demi kelangsungan hidup yang berkualitas. Sebagai landasan konstitusional yaitu UUD1945 mewajibkan agar sumber daya alam dipergunakan untuk sebesar‐besarnya untuk kemakmuran rakyat yang harus dapat dinikmati, baik oleh generasi sekarang maupun generasi yang akan datang. Oleh karena itu, ruang wajib dikembangkan dan dilestarikan pemanfaatannya secara serasi, selaras dan seimbang dalam yang berkelanjutan.
Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, sebenarnya sudah cukup berpengalaman mengalami kegagalan dalam pembangunan dan pengelolaan lingkungannya.
Tidak sedikit pula para ahli yang berharap bahwa kegagalan yang terjadi tidak separah dan 9
serumit seperti sekarang. Apalagi kegagalan‐kegagalan tersebut banyak menyisakan permasalahan yang berkepanjangan serta melibatkan banyak pihak,melintas batas dan generasi. Perkembangan kota yang tidak terkendali berimplikasi sangat serius pada lingkungan dan ekonomi perkotaan. Pembangunan yang tak terkendali mengakibatkan pengadaan perumahan, jalan‐jalan, pasokan air, dan pelayanan masyarakat menjadi sangat mahal. Kota‐kota sering dibangun di atas lahan pertanian yang paling produktif, dan pertumbuhannya yang tak terarah dapat mengakibatkan habisnya lahan tersebut. Kehilangan demikian ini sangat serius bagi bangsa yang mempunyai lahan pertanian terbatas seperti Mesir (WCED,1988).
Tata ruang dalam arti luas mencakup keterkaitan dan keserasian tata guna lahan, tata guna air, tata guna udara serta alokasi sumberdaya melalui koordinasi dan upaya penyelesaian konflik antar kepentingan yang berbeda (Soegijoko, 1999).
Menurut Jayadinata (1999) yang dimaksud ruang menurut istilah geografis umum adalah seluruh permukaan bumi yang merupakan lapisan biosfer, tempat hidup tumbuh‐
tumbuhan, hewan dan manusia. Menurut geografis regional ruang dapat merupakan statu wilayah yang mempunyai batas geografi yaitu batas menurut fisik, sosial dan pemerintahan yang terjadi dari permukaan bumi dan lapisan tanah dibawahnya dan lapisan udara diatasnya, jadi penggunaan tanah berarti juga tata ruang. Ruang sedang adalah ruang wilayah sering berubah karena proses alam dan tindakan manusia. Mengenai pengertian tata ruang atau “spatial structure” menurut Undang‐Undang tentang Penataan Ruang, baik direncanakan atau tidak.
Sedangkan penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Menurut Andy (2005) bahwa istilah tata ruang ini pertama‐tama menjadi sangat penting karena berkaitan erat dengan perencanaan pembangunan regional dan perkotaan.
Rencana tata ruang kota yang ideal adalah selalu memperhatikan aspek manusia tampa melupakan aspek fisik wilayah. Aspek fisik atau unsur alam sangat penting dalam mempengaruhi hidup manusia, sebagaimana yang dikemukakan oleh Daldjoeni, 1991 bahwa: Cuaca, iklim, musim, persediaan air, jenis tanah, batuan serta flora dan fauna turut mempengaruhi pola hidup manusia. Lebih lanjut dikatakan bahwa unsur alam yang disebutkan terakhir turut mempengaruhi pola menu makanan dan kadar kalori (Kozlowski, 1997).
Pemanfaatan ruang dilakukan melalui pelaksanaan program pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya yang didasarkan atas rencana tata ruang dan diseleggarakan secara bertahap sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam rencana tata ruang.
Dalam pemanfaatan ruang juga dikembangkan antara lain pola pengelolaan tata guna tanah (penatagunaan tanah), tata guna air, tata guna udara, dan tata guna sumber daya alam lainnya sesuai dengan asas penataan ruang. Selain itu juga dikembangkan perangkat yang bersifat insentif dan disinsentif dengan menghormati hak penduduk sebagai warga negara (Mayasari, 2007).
2.2. Rencana Tata Guna Tanah
Secara harfiah Land Use Planning adalah perencanaan tata guna tanah, yaitu pengaturan penggunaan tanah, kesesuaian tanah dan zonasi. Dengan kata lain tata guna tanah, adalah usaha untuk bisa memanfaatkan tanah sebesar‐besar bagi kemakmuran rakyat secara berencana. Adapun defenisi lain tentang tata guna tanah antara lain :
1. Tata guna tanah adalah rangkaian kegiatan untuk mengatur peruntukan, penggunaan dan persediaan tanaha secara berencana dan teratur sehingga diperoleh manfaat yang lestari, optimal, seimbang dan serasi.
2. Tata guna tanah adalah rangkaian kegiatan penataan, penyediaan peruntukan dan penggunaan tanaha secara berencana dalam rangkaian melaksanakan pembangunan Nasional.
3. Tata guna tanah adalah usaha untuk menata proyek‐proyek pebangunan, baik diprakarsai pemerintah maupun yang tumbuh dari prakarsa dan swadaya masyarakat sesuai dengan daftar skala prioritas sehingga di satu pihak dapat tercapai tertib penggunaan tanah, sedangkan dipihak lain tetap dihormati peraturan perundangan yang berlaku (Zaidar, 2006).
Meningkatnya kebutuhan akan tanah misalnya untuk berbagai kegiatan telah mendorong timbulnya upaya‐upaya ekstensifikasi, intensifikasi maupun diversifikasi usaha guna memanfaatkan tanah secara lebih efektif dan efisien untuk berbagai bidang kegiatan baik dibidang pertanian maupun bidang‐bidang non pertanian. Efisiensi pemanfaatan tanah, disisi lain juga mendorong timbulnya kompetensi maupun konflik kepentingan antar pengguna tanah yang pada kenyataannya sering kali yang dirugikan adalah pihak‐pihak ekonomi yang lemah.
Kebutuhan akan tanah dari tahun ketahun semakin meningkat karena laju pertumbuhan penduduk yang pesat sedangkan luas tanah relatif tidak bertambah, maka dampak yang sering terjadi adalah persengketaan tanah sehingga menimbulkan penipuan, kejahatan, pencaloan tanah dan bahkan ada yang mengakibatkan kematian seseorang. Untuk mengatasi hal tersebut perlu adanya pengendalian pertanahan yang harus mendapatkan penanganan khusus dari pemerintah agar ketertiban, kepastian, perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah dapat terwujud (Mayasari, 2007).
Berkurangnya lahan pertanian subur di sepanjang jalur transportasi, banjir‐banjir lokal karena tersumbatnya saluran drainase oleh sampah, galian‐galian pipa dan kabel yang tidak kunjung selesai dan lain‐lain yang semua itu sebagai akibat pembangunan yang dilaksanakan tidak secara terpadu antara satu sektor dengan sektor lainnya. Di samping itu izin pembangunan yang direkomendasikan Pemerintah Daerah sering tidak terpadu dengan peraturan daerah yang telah ditetapkan. Seperti daerah hijau (sebagai penyangga) diijinkan untuk daerah permukiman (Baiquni dan Susilawardani, 2002).
Dengan demikian bahwa pola pengelolaan tata guna tanah (penatagunaan tanah) adalah merupakan proses penyesuaian terhadap kondisi penggunaan tanah pada saat ini untuk mewujudkan kondisi yang dikehendaki menurut Rencana Tata Ruang yang dalam hal ini adalah Rencana Tata Ruang Kota (RUTRK). Atau dengan kata lain, apabila rencana tata ruang merupakan kondisi ideal yang akan dicapai, maka pengelolaan tata guna tanah (penatagunaan tanah) merupakan rangkaian proses untuk mewujudkan kondisi ideal tersebut (Baiquni dan Susilawardani, 2002).
Penggunaan lahan sebagai salah satu produk kegiatan manusia di permukaan bumi memang menunjukkan variasi yang sangat besar, baik di dalam kota besar, baik didalam kota lokal maupun didalam kota regional. Pemahaman bentuk-bentuk penggunaan lahan yang mewarnai daerah terbangun, daerah peralihan kota-desa serta daerah pedesaan sendiri merupakan suatu hal yang prinsipil untuk melakukan diferensiasi struktur keruangannya. Untuk membedakan jenis penggunaan lahan kekotaan dan penggunaan lahan kedesaan, pada umumnya keterkaitan jenis tersebut dengan lahan peranian menjadi fokus utamanya. Memang diakui bahwa sebahagian besar jenis penggunaan lahan pedesaan selaliu berasosiasi dengan kegiatan pertanian, namun diakui pula bahwa ada lahan kekotaan yang digunakan untuk kegiatan-kegiatan pertanian dan ada pula lahan-lahan kedesaan yang berkaitan dengan kepentingan non pertanian (Yunus, 2005).
2.3. Perencanaan Pembangunan Perkotaan di Indonesia
Secara harfiah Planning berarti perencanaan. Namun dari segi pengertian terdapat bermacam‐macam defenisi, ini tergantung dari sudut pandang keahlian seseorang. Namur bagi seorang perencana apapun latar belakang disiplin ilmunya, perencanaan merupakan statu pengaturan yang akan dilakukan untuk waktu yang akan datang. Dalam kaitannya dengan perencanaan, Wilson menyebutkan, perencanaan hádala statu proses yang mengubah proses lain, atau mengubah statu keadaan untuk mencapai maksud yang dituju oleh perencana atau oleh orang atau badan yang diwakili oleh perncana itu.
Plan for People merupakan suatu slogan yang seharusnya mendorong para
perencana untuk bekerja lebih terfokus kepada masyarakat. Rencana Tata Ruang yang disusun oleh perencana adalah media perantara untuk mencapai kesejahteraan masyarakat tersebut. Oleh karena itu, para perencana harus lebih banyak bekerja sama dengan masyarakat (plan by people) dan turut serta mendorong kegiatan perencanaan tata ruang agar menjadi proses yang partisipatif. Keterlibatan masyarakat menjadi komponen penting dalam perencanaan. Begitu juga halnya dalam pembangunan karena anggota masyarakat memiliki perspektif yang berbeda‐beda, baik dalam haknya sebagai orang memiliki pengetahuan maupun sebagai faktor strategis dalam pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi rencana tersebut (Andy, 2005).
Sebagai upaya dalam menterpadukan program pembangunan dan pengelolaan sumberdaya alam sehingga tercipta suatu pembangunan yang berkelanjutan, pemerintah daerah mempunyai kewajiban untuk menyusun suatu rencana tata ruang yang dapat menjadi acuan dalam pembangunan wilayah. Produk rencana tata ruang tersebut harus dapat menjadi pedoman dalam pelaksanaan pembangunan daerah dan telah menjadi hasil kesepakatan semua stakeholders di daerah (Sunardi, 2004).
Dalam melaksanakan proses perencanaan tata ruang partisipatif, perencana harus mampu mengawinkan kemampuan analitis dan sintesis secara berimbang agar dapat menjadi seorang fasilitator perencanaan tata ruang yang tepat. Perencana harus bisa menyadari posisinya dalam proses pembangunan, khususnya dalam pengambilan keputusan kebijakan publik. Perannya sebagai pihak yang netral dalam proses tersebut harus terus dijaga dan ditingkatkan kemampuan teknisnya dalam memberikan alternatif‐alternatif solusi yang lebih
informatif mengenai rencana tata ruang yang disusun tersebut. Perencana memang tidak dapat dilepaskan dari hal‐hal yang berkaitan dengan masa depan dan ke‐utopis‐an.
Dalam praktek perencanaan yang partisipatif, seringkali ditemui kendala bagi masyarakat untuk memahami gambaran masa depan yang ditawarkan oleh para perencana tersebut, dan begitu juga sebaliknya, tidak semua perencana mampu menyerap dan memahami keinginan masa depan dari para stakeholder bagi kota/wilayahnya. Padahal pengetahuan tersebut sangat diperlukan untuk dapat menghasilkan suatu konsesus terhadap gambaran kota/wilayah yang mereka cita‐citakan. Untuk menghasilkan konsesus tersebut, maka proses perencanaannya tentunya tidak akan berjalan dalam satu kali iterasi. Frekuensi dan intensitas dari forum yang diadakan akan terus bergulir sepanjang belum terjadinya kesepakatan terhadap substansi dari perencanaan tata ruang tersebut. Para perencana harus mampu memetakan (setting), mengarahkan (steering), dan mendorong (accelerating) proses perencanaan yang terjadi menjadi lebih efektif, efisien, dan tepat sasaran. Oleh karena itu, kepemilikan mental yang kuat dan kesabaran yang tinggi juga mutlak diperlukan oleh para perencana untuk dapat mewujudkan rencana tata ruang yang partisipatif tersebut (Nurrochmat, 2006).
Pengguanaan lahan kota merupakan statu proses dan sekaligus produk yang menyangkut semua sisi kehidupan manusia. Oleh karena hal inilah banyak seklai disiplin yang terlibat dalam pembahasan mengenai penggunaan lahan kota. Banyak sekali jenis model pendekatan yang telah dilontarkan untuk menyoroti dinamika kehidupan statu kota khususnya penggunaan lahan kotanya. Secara garis besar, pendekatan‐pendekatan tersebut dapat dikategorikan menjadi lima yaitu ;
1. Pendekatan Ekologikal 2. Pendekatan Ekonomi 3. Pendekatan Morfologikal 4. Pendekatan Sistem Kegiatan
5. Pendekatan Ekologi Faktorial (Yunus, 2005)
Hal yang terpenting dalam perencanaan wilayah adalah menunjukkan bagaimana caranya mempengaruhi proses pembangunan agar yakin bahwa hasil transformasi struktural dan fungsional pemukiman mengarah pada pemenuhan tujuan.
Selanjutnya perencanaan dapat juga dilihat sebagai organisasi kegiatan masa mendatang berkenaan dengan pertanyaan dimana? Dan bagaimana? Apa keputusan aspek sosial ekonomi selanjutnya? Dan kapan? Demikianlah, perencanaan secara jelas merupakan alat penting untuk pembangunan secara sadar tentang lingkungan manusia (Kozlowski, 1997).
Selanjutnya Kozlowski (1997) mengatakan bahwa rencana yang dibuat harus mempengaruhi proses pembuatan keputusan pembangunan, karena nilai nyata perencanaan bagi masyarakat bergantung pada pelaksanaannya, sebab tanpa usulan perencanaan akan tampak hanya sekedar elemen dekoratif atau pelengkap saja dari kantor-kantor pejabat setempat. Seolah-olah pembangunan yang dilaksanakan tidak begitu penting untuk dilaksanakan. Pelaksanaan, dalam pada itu bergantung pada menejemen dan proses pembangunan yang tepat. Manajemen yang harus diperlakukan sebagai integral dari perencanaan, karenanya harus menekankan pada kegiatan yang ditujukan untuk pelaksanaan usulan perencanaan. Hal tersebut dapat dilakukan
terutama dengan penggunaan intensif atau sanksi ekonomi dan sosial. Manajemen harus pula dikaitkan dengan pengawasan dan evaluasi hasil pelaksanaan misalnya tinjauan dan penyusunan kembali tujuan. Hal tersebut berarti bahwa usulan yang telah dibuat, dalam pelaksanaannya harus diadakan pemantauan agar tetap dalam koridor seperti yang diharapkan.
Keberhasilan penataan ruang akan ditentukan oleh seberapa besar masyarakat dapat terlibat dalam kegiatan perencanaan, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang yang difasilitasi oleh Pemerintah. Sebagai tahapan pertama dari penataan ruang, maka perencanaan memegang peran strategis dan vital untuk dapat menentukan keberhasilan pemanfaatan dan serta pengendalian pemanfaatan ruang yang efektif dan efisien.
Perencanaan yang partisipatif memberikan peluang yang lebih besar untuk terciptanya pemanfaatan ruang yang terpadu dan sinergis, proses partisipatif dalam tahapan perencanaan tata ruang saja, beserta apa peran dan kontribusi yang dapat dilakukan oleh para perencana (Andy, 2005).
Sesuai UU No. 27 Tahun 2006, tentang Penataan Ruang, disiplin penataan ruang terdiri atas 3 (tiga) unsur utama, yakni: perencanaan tata ruang yang menghasilkan rencana tata ruang wilayah (RTRW), pemanfaatan ruang berupa rancangan program dan kebutuhan investasi untuk pelaksanaan pembangunan dan pengendalian pemanfaatan ruang untuk menjaga konsistensi pelaksanaan pembangunan supaya sesuai dengan rencana tata ruang.
Ketiga unsur penataan ruang tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh dan saling terkait dalam suatu siklus yang berlangsung secara terus‐menerus, seiring dinamika kehidupan masyarakat.
Perencanaan menyeluruh dan integral merupakan sauatu rencana tata guna lahan hanya merupakan fungsional dari suatu proses menyeluruh. Namun deikian perencanaan tata ruang kota mesti dilengkapi dengan unsur‐unsur fungsional dan hasil‐hasil penelitian yang mendukung. Seperti salah satu contoh yang dikemukakan oleh Andy (2005) pengembangan lahan pemerintahan daerah negara bagian Florida menyusun serta mensahkan rencana menyeluruh yang mencakup unsur‐unsur sebagai berikut: perbaikan modal, rencana tata guna lahan untuk masa depan, sirkulasi lalu lintas, saluran pembangunan limbah, pelestarian alam, rekreasi dan ruangan terbuka, perumahan, pengolahan daerah pantai, serta koordinasi antar instansi pemerintah.
Untuk dapat mengatasi berbagai permasalahan antara kepentingan pemerintah dan masyarakat yang berkaitan dengan RUTRK sebagai suatu model dalam penggunaan dan pemanfaatan tanah modern hádala suatu model yang mengatur semua bentuk pertanahan sesuai dengan RUTRK yang berlaku dari penataan tanah yang tidak teratur menjadi lebih teratur. Perkembangan dan pertumbuhan kota secara spesifik tercermin dari perubahan‐
perubahan fisik kota, yaitu sebagai akibat dari semakin meningkatnya kebutuhan akan perumahan, fasilitas sosial dan fasilitas umum, fasilitas ekonomi, fasilitas transportasi, fasilitas komunikasi, serta meningkatnya hubungan fungsional dengan kota‐kota atau daerah lainnya.
Dari penelitian diketahui bahwa pada umumnya penyimpangan terhadap rencana tata ruang kota justru berawal dari kebijaksanaan pemerintah. Hal ini berarti pemerintah daerah sebagai penanggung jawab rencana tata ruang kota dirasa kurang konsekuen dalam melaksanakan pembangunan kota. Sebagai penyebab utama kurang efektifnya rencana tata
ruang kota (dengan indikator adanya berbagai penyimpangan) adalah selain kurang adanya koordinasi antar dinas/instansi, juga kurang dilibatkannya unsur masyarakat, sehingga aspirasi masyarakat kurang terakomodasikan di dalam rencana tata ruang kota.
Dari hal‐hal terurai di atas dapat dikatakan bahwa penetapan peraturan daerah tentang rencana tata ruang kota hanyalah sekedar formalitas, sesuai dengan ketentuan peraturan Menteri Dalam Negeri. Tetapi mulai dari proses penyusunan, sampai dengan implementasi dan pelaksanaannya jauh dari apa yang diinginkan oleh peraturan dasarnya.
2.4. Deskripsi Area Kabupaten Batu Bara 2.4.1. Goegrafis
Pada pertengahan tahun 2007 berdasarkan UU No. 5 Tahun 2007 tanggal 25 Juni 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Batu Bara. Kabupaten Asahan dimekarkan menjadi dua kabupaten yaitu Asahan dan Batu Bara. Wilayah Asahan terdiri dari atas 13 kecamatan sedangkan Batu Bara 7 kecamatan yaitu kecamatan Sei Balai, Kecamatan Tanjung Tiram, Kecamatan Talawi, Kecamatan Lima Puluh, Kecamatan Air Putih, Kecamatan Sei Suka, Kecamatan Medan Deras.
Berdasarkan Peraturan Bupati Batu Bara Nomor 3 Tahun 2007 ditetapkan bahwa hari jadi Kabupaten Batu Bara adalah tanggal 8 Desember 2006 sesuai dengan Persetujuan Bersama DPR RI yang memutuskan undang-undang tentang pembentukan Kabupaten Batu Bara.
Kabupaten Batu Bara merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Utara yang baru terbentuk pada tahun 2007 berdasarkan pemekaran dari Kabupaten
Asahan. Kabupaten Batu Bara berada di kawasan Pantai Timur Sumatera Utara yang berbatasan dengan Selat Malaka.
Kabupaten Batu Bara menempati area seluas 904,96 Km2 atan 90.496 Ha yang terdiri dari 7 kecamatan serta 100 desa/kelurahan defenitif. Letak geografis kabupaten ini berada di 2003’00” Lintang Utara dan 99001-100’00” Bujur Timur. Adapun batas administrasi Kabupaten Batu Bara yaitu :
1. Sebelah Utara : Kabupaten Serdang Berdagai 2. Sebelah Selatan : Kabupaten Asahan
3. Sebelah Barat : Kabupaten Simalungun 4. Sebelah Timur : Selat Malaka
Ibukota Kabupaten terletak di Kecamatan Lima Puluh.
Berdasarkan luas daerah menurut kecamatan, daerah Lima Puluh merupakan kecamatan terluas dengan luas wilayah mencapai 239,55 Km2 atau 26,47 % dari luas total Kabupaten Batu Bara. Sedangkan Kecamatan Medan Deras merupakan wilayah terkecil dengan luas 65,47 Km2 atau 7,23 % dari luas total Kabupaten Batu Bara.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Luas Wilayah di Kabupaten Batu Bara Tahun 2009
No Kecamatan Ibu Kota
Kecamatan Kelurahan Desa Luas (Km2)
Jarak Ke Ibu Kota Kabupaten
(Km)
1 Sei Balai Sei Balai - 8 92,64 31
2 Tanjung Tiram Tanjung Tiram 1 11 173,79 18
3 Malawi Labuha Ruku 1 12 89,80 15
4 Lima Puluh Lima Puluh 1 26 239,55 0
5 Air Putih Indrapura 1 12 72,24 15
6 Sei Suka Sei Suka/Deras 1 12 171,47 20
7 Madang Deras Pngakalan Dodek 2 12 65,47 46
J u m l a h 7 93 904,96 -
Sumber: Batu Bara dalam Angka ”2010” Biro Pusat Statistik Kab. Asahan (2010).
2.4.1.1. Kelerengan
Salah satu faktor yang mempengaruhi kemampuan lahan adalah kemiringan lahan (lereng). Wilayah Kabupaten Batu Bara mempunyai topografi yang bervariasi, yakni kondisi landai, datar, bergelombang, curam dan terjal. Pada sebagian wilayah utara (arah pesisir) memiliki kondisi kemiringan yang relative tidak bervariasi yaitu landai dan datar.
2.4.1.2. Ketinggian lahan
Ketinggian Lahan dimaksud adalah ketinggian permukaan lahan rata-rata di atas permukaan laut. Wilayah Kabupaten Batu Bara berada pada ketinggian 0 sampai dengan 100 meter di atas permukaan laut. Wilayah Kabupaten Batu Bara didominasi dengan ketinggian 7 – 25 meter di atas permukaan laut dan untuk ketinggian lahan yang terkecil yakni 0 – 7 meter di atas permukaan laut. Memiliki kedalam efektif tanah yang dangkal (20-50) cm, sedang tanah lahan kering umunya memiliki kedalaman tanah sangat dalam (> 90 cm). Drainase tanah di lokasi pengamatan juga bervariasi dari berdrainase baik hingga sangat terhambat. Drainase sangat terhambat umunya terdapat pada lahan sawah dan tambak, sedangkan drainase baik hingga agak baik terdapat pada tanah lahan kering. Namun demikaian, pada lahan kering di beberapa lokasi pengamatan ada yang memiliki drainase agak terhambat (muka air dangkal),
kadang-kadang tergenang beberapa lama. Hal ini terutama terjadi pada lahan dekat pantai atau sungai yang muka air tanahnya terpengaruh oleh pasang surut air laut.
2.4.1.3. Klimatologi
Kabupaten Batu Bara memiliki iklim tropis dimana kondisi iklimnya hampir sama dengan Provinsi Sumatera Utara. Menurut catatan Pos Perkebunan Sei Bejangkar, pada tahun 2007 terdapat 95 hari hujan dengan curah hujan sebesar 1.376 mm. Curah hujan terbesar terjadi pada bulan Nopember yaitu sebesar 233 mm dengan hari hujan sebanyak 12 hari. Sedangkan Curah hujan terendah terjadi pada bulan Februari sebesar 18 mm dengan jumlah hari hujan sebanyak 2 hari. Rata-rata curah hujan tahun 2007 mencapai 144,67 mm/bulan.
2.4.1.4. Hidrologi
Satuan Wilayah Sungai yang tersebar yang terdapat di wilayah Kabupaten Batu Bara adalah Satuan Wilayah Sungai Bah Bolon dan sungai-sungai kecil lainnya yang mengalir ke pantai timur. Sungai-sungai di kabupaten ini merupakan sumber untuk pengairan ke persawahan dan perkebunan baik yang dimanfaatkan oleh masyarakat dan swasta. Aliran Hidrologi dari sungai yang ada kemudian mengaliri irigasi semi teknis maupun irigasi sederhana di Kabupaten Batu Bara sehingga sebagian besar sawah di kabupaten ini dapat ditanami 3 (tiga) kali setahun. Sungai-sungai di Kabupaten Batu Bara sebagian besar berhulu di pegunungan bukit barisan yang terdapat di Kabupaten Simalungun. Kondisi ini mengakibatkan fluktuasi air sungai
sangat dipengaruhi oleh kondisi penggunaan lahan wilayah aliran sungai (WAS) atau hulunya.
2.4.2. Penggunaan Tanah
Jenis penggunaan lahan dominan di Kabupaten Batu Bara adalah untuk budidaya komoditi perkebunan, terutama perusahaan perkebunan negara (BUMN) dan swasta nasional mencapai 49,61% dari total luas wilayahnya dan untuk perkebunan rakyat mencapai 21,35%. Luas penggunaan lahan untuk perkebunan ini belum termasuk luas lahan tegalan yang umumnya digunakan untuk kebun campuran dengan komoditi utama tanaman perkebunan (kelapa sawit, kakao, dan karet) mencapai 9,04%
dari total luas wilayah Kabupaten Batu Bara. Jenis penggunaan lahan selengkapnya di Kabupaten Batu Bara disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Jenis dan Luas Penggunaan Lahan Di Kabupaten Batu Bara Tahun 2009
Luas No Jenis Penggunaan Lahan
Hektar %
1 Pemukiman/pekarangan 5.053 5,48
2 Persawahan 2.052 2,23
3 Perkebunan Negara/Swasta Nasional 45.747 49,61
4 Perkebunan Rakyat 19.693 21,35
5 Tegalan 8.337 9,04
6 Rawa/Tambak/Kolam 3.082 3,34
7 Hutan 1.772 1,92
8 Sementara tidak diusahakan/lainnya 6.484 7,03
Jumlah 92.220 100
Sumber: Batu Bara dalam Angka ”2010” Biro Pusat Statistik Kab. Asahan (2010).
Bila ditinjau per wilayah kecamatan, penggunaan lahan di Kabupaten Batu Bara bervariasi bergantung kepada posisi wilayah kecamatan tersebut. Untuk wilayah kecamatan yang berada di bagian tengah hingga ke barat lebih didominasi oleh penggunaan untuk pertanian lahan kering dan perkebunan, sementara di bagian timur
hingga pantai Sumatera, penggunaan lahannya didominasi oleh persawahan dan perairan. Jenis dan distribusi penggunaan lahan untuk masing-masing wilayah kecamatan di Kabupaten Batu Bara disajikan pada Tabel 2.
Dari Tabel 2 diperoleh gambaran bahwa penggunaan lahan dominan di Kabupaten Batu Bara didominasi untuk perkebunan, baik perkebunan Negara maupun perkebunan rakyat. Penggunaan lahan yang berorientasi pada usaha dan kebun campuran berbasis tanaman perkebunan (terutama kelapa sawit, kelapa, karet dan kakao) juga tergambar dari hasil survei lapangan. Di areal persawahan juga banyak ditanami tanaman kelapa pada jarak tertentu di pematang sawahnya. Pengamatan menunjukkan bahwa pada setiap lokasi pengambilan sampel tanah, terutama pada lahan tegalan diusahakan untuk kebun campuran dengan komoditi utama tanaman perkebunan Tabel 3.
Tabel 3. Jenis Dan Luas Penggunaan Lahan Pada Setiap Wilayah Kecamatan Di Kabupaten Batu Bara Tahun 2008
Luas No. Kecamatan Jenis Penggunaan Lahan
Hektar %
Belukar 170.15 2.31
Hutan belukar rawa 299.00 4.06
Hutan mangrove skunder 344.75 4.69
Perairan 145.37 1.98
Pert. lahan kering campur semak 3679.87 50.03
Pertanian lahan kering 215.62 2.93
Sawah 1879.80 25.55
Tambak 621.37 8.45
1 Medan Deras
J u m l a h 7355.94 100.00
Belukar 463.07 2.84
Danau/air 14.45 0.09
Hutan belukar rawa 208.53 1.28
Pemukiman 183.27 1.12
Perairan 30.04 0.18
Perkebunan 4433.57 27.21
2 Sei Suka
Pert. lahan kering campur semak 7218.81 44.31
Pertanian lahan kering 1442.05 8.85
Sawah 2298.33 14.11
Jumlah 16292.11 100.00
Belukar 657.50 2.56
Hutan belukar rawa 122.22 0.48
Perairan 30.75 0.12
Perkebunan 12611.68 49.21
Pert. lahan kering campur semak 7995.42 31.19
Pertanian lahan kering 895.21 3.49
Rawa 57.24 0.22
Sawah 3083.85 12.03
Terbuka 176.51 0.69
3 Lima puluh
Jumlah 25630.37 100.00
Belukar 18.92 0.18
Hutan belukar rawa 19.55 0.19
Hutan mangrove skunder 90.92 0.89
Perairan 39.99 0.39
Perkebunan 3256.97 31.71
Pert. lahan kering campur semak 4259.33 41.47
Pertanian lahan kering 167.32 1.63
Sawah 2049.82 19.96
Terbuka 367.29 3.58
4 Talawi
Jumlah 10270.11 100.00
Belukar 147.20 0.98
Hutan belukar rawa 566.18 3.79
Hutan mangrove skunder 18.30 0.12
Perairan 57.51 0.38
Perkebunan 1168.06 7.82
Pert. lahan kering campur semak 8249.92 55.21
Sawah 4653.09 31.14
Terbuka 81.90 0.55
5 Tanjung tiram
Jumlah 14942.15 100.00
Belukar 105.80 1.04
Perkebunan 5484.83 53.82
Pert. lahan kering campur semak 465.72 4.57
Pertanian lahan kering 9.59 0.09
Sawah 4120.78 40.44
Terbuka 3.68 0.04
6
Sei Balai
Jumlah 10190.41 100.00
Belukar 14.08 0.19
Pemukiman 127.39 1.71
Perairan 175.63 2.36
Perkebunan 19.55 0.26
Pert. lahan kering campur semak 4612.09 62.04
Pertanian lahan kering 3.44 0.05
Sawah 2482.26 33.39
7 Air putih
Jumlah 7434.45 100.00
Sumber: Batu Bara dalam Angka ”2010” Biro Pusat Statistik Kab. Asahan (2010).
Dari Tabel 3 dapat diketahui bahwa dari 20 lokasi pengambilan sampel tanah Lanjutan Tabel 3
baik berupa kebun campuran, maupun kebun tanaman monokultur. Pada lahan sawah pun banyak terdapat tanaman perkebunan, terutama kelapa, yang dibudidayakan pada pematang-pematangnya. Bahkan lahan sawah telah banyak dikonversi menjadi lahan perkebunan, terutama untuk pertanaman kelapa sawit.
2.4.3. Rona Sosial
2.4.3.1. Kependudukan
Perkembangan Jumlah Penduduk di Kabupaten Batu Bara dilihat dari tahun 2004 berjumlah 369.389 jiwa sampai pada tahun 2009 meningkat dengan jumlah 375.449 jiwa.
Jumlah penduduk Kabupaten Batu Bara pada tahun 2004 berjumlah 369.389 jiwa, pada tahun 2005 berjumlah 374.715 jiwa, tahun 2006 berjumlah 379.678 jiwa, tahun 2007 berjumlah 373.836 jiwa, sedangkan tahun 2009 berjumlah 375.449 jiwa.
Dimana jumlah penduduk pada tahun 2009 terbesar berada di Kecamatan Lima Puluh debgan jumlah penduduk 84.904 jiwa dan jumlah penduduk terkecil berada di Kecamatan Sei Balai berjumlah 29.301 jiwa. Hal ini disebabkan karena Kabupaten Batu Bara baru dimekarkan dari Kabupaten Asahan. Lihat Tabel 4.
Tabel 4. Perkembangan Jumlah Penduduk Di Kabupaten Batu Bara Tahun 2009
Perkembangan Jumlah Penduduk (Jiwa) No Kecamatan
2004 2005 2006 2007 2009
1 Sei Balai 58.132 34.111 34.820 28.699 29.301
2 Tanjung Tiram 33.627 59.004 59.713 59.790 59.350
3 Talawi 53.324 54.087 54.796 54.843 53.792
4 Lima Puluh 83.575 84.818 85.527 85.574 84.904
5 Air Putih 45.931 46.609 47.318 47.365 48.024
6 Sei Suka 50.474 51.116 51.825 51.872 53.232 7 Medang Deras 44.326 44.970 45.679 45.723 46.846 Jumlah 369.389 374.715 379.678 373.836 375.449
Sumber: Batu Bara dalam Angka ”2010” Biro Pusat Statistik Kab. Asahan (2010).
2.4.3.2. Laju pertumbuhan penduduk
Jumlah laju pertumbuhan penduduk di Kabupaten Batu Bara di Tahun 2009 sebesar 0,06 % per tahun di setiap kecamatan. Pertumbuhan penduduk tersebut di ambil berdasarkan pertumbuhan kabupaten bukan rata-rata laju pertumbuhan kecamatan, dikarenakan ada perkembangan laju jumlah penduduk kecamatan yang mengalami penurunan atau minus. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Laju Pertumbuhan Penduduk Di Kabupaten Batu Bara Tahun 2009
Perkembangan Jumlah Penduduk (Jiwa) No. Kecamatan
2004-2005 2004-2006 2004-2007 2007-2009
1 Sei Balai -0,41 -0,23 -0,21 0,06
2 Tanjung Tiram 0,75 0,33 0,21 0,06
3 Talawi 0,01 0,01 0,01 0,06
4 Lima Puluh 0,01 0,01 0,01 0,06
5 Air Putih 0,01 0,01 0,01 0,06
6 Sei Suka 0,01 0,01 0,01 0,06
7 Medang Deras 0,01 0,01 0,01 0,06
Total 0,014 0,014 0,004 0,06
Sumber: Batu Bara dalam Angka ”2010” Biro Pusat Statistik Kab. Asahan (2010).
2.4.3.3. Distribusi kepadatan penduduk
Berdasarkan data kepadatan penduduk di Kabupaten Batu Bara pada tahun 2009 sebesar 414,88 jiwa/km2. Kepadatan terbesar di Kecamatan Medang Deras
sebesar 715,53 jiwa/km2 dan kepadatan penduduk terkecil di Kecamatan Sei Suka sebesar 310,44 jiwa/km2. Lihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Kepadatan Penduduk di Kabupaten Batu Bara Tahun 2009
No Kecamatan Luas (Km2)
Jumlah Penduduk
(Jiwa)
Kepadatan Penduduk (Jiwa/Km2)
1 Sei Balai 92,64 29.301 316,29
2 Tanjung Tiram 173,79 59.350 341,50
3 Talawi 89,80 53.792 599,02
4 Lima Puluh 239,55 84.904 354,43
5 Air Putih 72,24 48.024 664,78
6 Sei Suka 171,47 53.232 310,44
7 Medang Deras 65,47 46.846 715,53
Jumlah 904,96 375.449 414,88
Sumber: Batu Bara dalam Angka ”2010” Biro Pusat Statistik Kab. Asahan (2010).
2.4.3.4. Sex ratio
Sex ratio penduduk memberi gambaran perbandingan antara jumlah penduduk
laki-laki dengan jumlah penduduk perempuan. Rasio penduduk laki-laki terhadap penduduk perempuan pada tahun 2007 sebesar 1:1, artinya diibaratkan dalam setiap 100 jiwa penduduk perempuan. Bila dilihat sex ratio di tiap kecamatan, maka Kabupaten Batu Bara yang memiliki ratio perempuan terkecil yaitu 186.340 jiwa penduduk dan yang memiliki ratio laki-laki terbesar yaitu 189.109 jiwa penduduk.
Lihat Tabel 7.
Tabel 7. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin di Kabupaten Batu Bara Tahun 2009
No Kecamatan Laki-laki (Jiwa)
Perempuan (Jiwa)
Jumlah Penduduk
(Jiwa)
Jumlah KK
1 Sei Balai 14.534 14.767 29.301 6.219
2 Tanjung Tiram 30.161 29.189 59.350 13.237
3 Talawi 27.119 26.673 53.792 11.960
4 Lima Puluh 42.369 42.535 84.904 18.341
5 Air Putih 24.063 23.961 48.024 11.417
6 Sei Suka 27.174 26.058 53.232 12.701
7 Medan Deras 23.689 23.157 46.846 11.274
Jumlah 189.109 186.340 375.449 85.149
Sumber: Batu Bara dalam Angka ”2010” Biro Pusat Statistik Kab. Asahan (2010).
2.4.4. Kelembagaan Pemerintahan
Perangkat pemerintah Kabupaten Batu Bara adalah Kepala Daerah Kabupaten, Kepala Kecamatan, dan Kepala Desa/Kelurahan. Tugas Pemerintah Kabupaten meliputi wewenang dan kebijaksanaan kegiatan pemerintah daerah, pemerintah umum, pemerintah desa, tugas pembantu, dan lain-lain sesuai dengan Undang-Undang No. 32 Tahun tentang Pemerintahan Daerah, dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 84 Tahun 2000 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah.
Selain Dinas Pemerintah, Kabupaten Batu Bara memiliki Kantor Daerah Kabupaten Batu Bara yang merupakan unsur pelaksana Pemerintah Kabupaten melaksanakan unsur-unsur Pemerintahan yang telah menjadi tanggung jawab dan kewenagannya yang mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas Daerah Kabupaten yang mempunyai wilayah kerja satu atau beberapa wilayah Kecamatan.
Untuk membantu pemerintahan daerah dalam melaksanakan wewenang dan tugas daerah maka Pemerintahan Kabupaten Batu Bara di bantu oleh unsur pelaksana Pemerintah Kabupaten meliputi :
A. Sekretariat Daerah
I. Sekretariat Daerah
II. Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Sosial 1. Bagian Pemerintahan Umum
2. Bagian Hukum
3. Bagian Kesejahteraan Sosial III. Asisten Administrasi Umum
1. Bagian Umum
2. Bagian Organisasi dan Tatalaksana 3. Bagian Hubungan Masyarakat IV. Staf Ahli
B. Sekretariat dewan 1. Bagian Umum
2. Bagian Risalah dan Persidangan
3. Bagian Humas dan Perundang – undangan C. Dinas - Dinas
1. Dinas Pendidikan 2. Dinas Kesehatan 3. Dinas Sosial
4. Dinas Tenaga Kerja
5. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
6. Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika 7. Dinas Pekerjaan Umum dan Pertambangan
8. Dinas Peerindustrian, Perdagangan Koperasi dan UKM 9. Dinas Kebudayaan, Periwisata dan Pemuda Olahraga 10. Dinas Pendapatan, Pengolahan Keuangan dan Asset Daerah 11. Dinas Pertanian dan Peternakan
12. Dinas Perkebunan dan Kehutanan 13. Dinas Kelautan dan Perikanan D. Lembaga Teknis Badan
1. Inspektorat
2. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPEDA) 3. Badan Kepegawaian Daerah
4. Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa
5. Badan Pemberdayaan Perempuan, Anak dan Keluarga Berencana 6. Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan
E. Lembaga Teknis Berbentuk Kantor 1. Kantor Lingkungan Hidup 2. Kantor Perpustakaan dan Arsip 3. Kantor Polisi Pamong Praja
4. Kantor Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat 5. Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu
2.4.5. Rona Ekonomi
2.4.5.1. Pertanian tanaman pangan
Perkembangan subsektor pertanian tanaman pangan yang meliputi komoditi tanaman padi sawah, kacang tanah, kedelai, dan kacang hijau di Kabupaten Batu Bara pada empat tahun teakhir ini mengalami peningkatan, sementara komoditi jagung, ubi kayu dan ubi jalar mengalami penurunan produksi. Sementara untuk komoditi tanaman hortikultura, terutama sayuran dan buah-buahan umunya mengalami penurunan produksi yang dipengaruhi oleh pengurangan luas panen.
Produksi padi sawah di Kabupaten Batu Bara mengalami peningkatkan cukup signifikan. Produksi padi sawah pada tahun 2006 sebanyak 147.541 ton menjadi 169.921 ton pada tahun 2007, yang berarti terjadi peningkatann sebesar 15,17 %.
Peningkatan produksi padi sawah ini terjadi karena adanya peningkatan luas panen dari 28.599 hektar pada tahun 2006 menjadi 32.677 hektar pada tahun 2007. Produksi padi sawah pada tahun 2009, hingga bulan September saja sebesar 189.920 ton yang berarti terjadi peningkatan sebesar 11,77 % dibandingkan pada tahun 2007.
Peningkatan produksi pada sawah ini juga terjadi akibat adanya peningkatan luas panen menjadi 37.984 hektar (hingga September 2009).
Perkembangan luas panen dan produksi padi sawah di Kabupaten Batu Bara terjadi di semua wilayah kecamatan dengan jumlah produksi tertinggi pada tahun 2006 dan 2007 terjadi di Kecamatan Air Putih, sedangakan pada tahun 2009 terjadi di Kecamatan Lima Puluh. Perkembangan luas panen dan produksi padi sawah di setiap wilayah kecamatan di Kabupaten Batu Bara disajikan pada Tabel 8
Peningkatan produksi padi sawah di Kabupaten Batu Bara dari tahun ke tahun sebenarnya masih dapat ditingkatkan bukan hanya disebabkan oleh peningkatan luas
tanam dan luas panen saja, namun dengan peningkatan produkstivitas lahan.
Produkstivitas lahan untuk tanaman padi sawah di Kabupaten Batu Bara pada tahun 2006 rata-rata sebesar 4,9 ton/ha, meningkat menjadi rata-rata 5,2 ton/ha pada tahun 2007. Produktivitas lahan sawah di Kabupaten ini belum mencapai standar nasional yang ditetapkan sebesar 6,0 ton/ha. Dengan peningkatan produktivitas mencapai standar nasional saja, total produksi padi sawah di Kabupaten Batu Bara dapat ditingkatkan, meskipun luas panen tidak bertambah dan bahkan berkemungkinan berkurang akibat alih fungsi lahan menjadi penggunaan lain seperti untuk perkebunan kelapa sawit dan atau pemukiman.
Tabel 8. Perkembangan Luas Panen dan Produksi Padi Sawah Pada Setiap Kecamatan Di Kabupaten Batu Bara
Tahun 2006 Tahun 2007 Tahun 2009
No Kecamatan Luas Panen (Ha)
Produksi (Ton)
Luas Panen (Ha)
Produksi (Ton)
Luas Panen (Ha)
Produksi (Ton)
1 Medan Deras 2.047 9.709 4.523 29.428 5.006 25.030
2 Air Putih 6.802 37.339 8.952 45.817 6.080 30.400
3 Sei Suka 2.846 14.652 2.554 13.190 7.543 37.715
4 Lima Puluh 6.444 34.072 5.419 24.433 8.876 44.380
5 Talawi 3.612 17.851 3.515 17.831 5.118 25.590
6 Tanjung Tiram 1.667 5.234 2.212 10.424 955 4.775
7 Sei Balai 5.181 28.684 5.502 28.798 5.006 25.030
Jumlah 28.599 147.541 32.677 169.921 38.584 192.920
Sumber: Batu Bara dalam Angka ”2010” Biro Pusat Statistik Kab. Asahan (2010).
Peningkatkan total produksi padi sawah di Kabupaten Batu Bara dari tahun 2006 ke tahun 2007 tidak diikuti oleh produksi komoditi tanaman pangan lainnya,
terutama jagung, ubi kayu dan ubi jalar. Total produksi jagung di daerah ini paada tahun 2006 sebanyak 7050 ton menurun cukup drastis menjadi hanya 1370 ton.
Demikian halnya dengan ubi kayu yang dapat mencapai produksi 11989 ton pada tahun 2006 menjadi hanya 8008 ton pada tahun 2007. Penurunan produksi jagung dan ubi kayu dari tahun 2006 ke tahun 2007, disamping disebabkan oleh penurunan luas panen, juga disebabkan penurunan produktivitas lahan. Namun pada tahun 2009 (hingga bulan September), terjadi peningkatkan produksi cukup berarti pada dua komoditi ini. Peningkatkan produktivitas rata-rata untuk jagung dan 927 hektar untuk ubi kayu. Dengan asumsi produktivitas rata-rata untuk jagung sebesar 4,5 ton/ha untuk ubi kayu sebesar 23 ton/ha, maka produksi jagung pada tahun 2009 (hingga bulan September) mencapai 11.497,5 ton, sedangkan produksi ubi kayu mencapai 21.321 ton.
Produksi jagung tertinggi pada tahun 2006 terjadi di Kecamatan Medan Deras dan Kecamatan Sie Suka, sedangkan pada tahun 2007 juga terjadi di Kecamatan Medan Deras yang diikuti kemudian di Kecamatan Lima Puluh. Data perkembangan produksi dan luas panen jagung pada setiap kecamatan di Kabupaten Batu Bara disajikan pada Tabel 9
Tabel 9. Perkembangan Luas Panen dan Produksi Jagung Pada Setiap Kecamatan di Kabupaten Batu Bara
Tahun 20061) Tahun 20072) No Kecamatan Luas Panen
(Ha)
Produksi (Ton)
Luas Panen (Ha)
Produksi (Ton)
1 Medan Deras 501 2.590 113 611
2 Air Putih 28 120 23 114
3 Sei Suka 500 3.817 30 162
4 Lima Puluh 65 263 80 392
5 Talawi 27 167 3 12
6 Tanjung Tiram 5 23 5 17
7 Sei Balai 31 70 26 62
Jumlah 1.175 7.050 280 1.370
Sumber: Batu Bara dalam Angka ”2010” Biro Pusat Statistik Kab. Asahan (2010).
Penurunan produksi jagung di Kabupaten Batu Bara pada tahun 2007 terjadi di semua Kecamatan, kecuali di Kecamatan Lima Puluh yang terjadi sedikit peningkatkan dari 263 ton pada tahun 2006 menjadi 392 ton pada tahun 2007 (Tabel 10).
Berbeda dengan komoditi jagung, produksi ubi kayu tertinggi pada tahun 2006 diperoleh di Kecamatan Sei Suka, sedangkan pada tahun 2007 terjadi di Kecamatan Lima Puluh. Data perkembangan produksi dan luas panen komoditi ubi kayu pada setiap Kecamatan di Kabupaten Batu Bara disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10. Perkembangan Luas Panen dan Produksi Ubi Kayu Pada Setiap Kecamatan di Kabupaten Batu Bara
Tahun 2006 Tahun 2007 No Kecamatan
Luas Panen (Ha)
Produksi (Ton)
Luas Panen (Ha)
Produksi (Ton)
1 Medan Deras 6 90 33 502
2 Air Putih 8 240 6 180
3 Sei Suka 212 8.945 55 1.533
4 Lima Puluh 60 1.050 120 3.600
5 Talawi 35 811 49 1.137
6 Tanjung Tiram 40 593 8 126
7 Sei Balai 19 230 75 930
Jumlah 380 11.989 346 8. 008
Sumber: Batu Bara dalam Angka ”2010” Biro Pusat Statistik Kab. Asahan (2010).
Dari Tabel 10 dapat diketahui bahwa penurunan produksi ubi kayu secara drastis terjadi di Kecamatan Sei Suka dari 8945 ton pada tahun 2006 menjadi hanya 1533 ton pada tahun 2007. Penurunan produksi ubi kayu juga terjadi di Kecamatan Air Putih dan Tanjung Tiram, sementara di Kecamatan lainnya (Medang Deras, Lima Puluh, talawi dan Sei Balai) terjadi peningkatan produksi. Namun peningkatan produksi di empat kecamatan yang disebutkan terakhir ini tidak dapat mengimbangi penurunan produksi yang sangat drastis yang terjadi di Kecamatan Sei Suka mencapai sekitar 7421 ton.
Perkembangan budidaya dan produksi komoditi tanaman pangan lainnya ada yang mengalami peningkatan yaitu kacang tanah dan kacang hijau dan ada juga yang mengalami penurunan pada 2006-2007 dan meningkat pada 2009 yaitu kedelai dan mengalami penurunan terus menerus yaitu ubi jalar.
Produksi kacang tanah di Kabupaten Batu Bara pada tahun 2006 sebanyak 14 ton dari luas panen 15 hektar menjadi 28 ton dengan luas panen 20 hektar pada tahun 2007. Selanjutnya berdasarkan laporan posko bulanan Dinas Pertanian dan Peternakan kabupaten Batu Bara tahun 2009 bahwa hingga bulan September saja produksi total kacang tanah bisa mencapai 44 ton dari luas panen 44 hektar (asumsi produktivitas kacang tanah rata-rata 1 ton/ha). Dalam hal ini peningkatan produksi kacang tanah masih disebabkan oleh faktor peningkatan luas panen (ekstensifikasi). Masih sangat terbuka peluang peningkatan produksi kacang tanah di daerah ini melalui peningkatan produktivitas dengan memanfaatkan agroteknologi yang berkembang. Demikian pula
pengembangan luas panen masih dapat dilakukan guna meningkatkan produksi kacang tanah di Kabupaten Batu Bara karena wilayah kecamatan yang menghasilkan kacang tanah selama ini hanya di Kecamatan Air Putih, Sei Suka, dan Medang Deras saja.
Hal yang sama terjadi pada peningkatan produksi kacang hijau. Dari luas panen 33 hektar pada tahun 2006 dihasilkan 31 ton kacang hijau. Produksi kacang hijau meningkat pada tahun 2007 menjadi 53 ton dengan peningkatan luas panen menjadi 39 hektar. Demikian pula pada tahun 2009 (hingga bulan September) menurut laporan posko bulanan Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Batu Bara tahun 2009 bahwa terjadi peningkatan luas panen menjadi 51 hektar. Ini berarti dapat memproduksi kacang hijau sebanyak 58.61 ton bila produktivitas kacang hijau ini rata- rata 1,15 ton/ha. Wilayah kecamatan yang banyak memproduksi kacang hijau di Kabupaten Batu Bara adalah Kecamatan Air Putih, Sei Balai, dan Medang Deras.
Produksi kedelai di Kabupaten Batu Bara mengalami penurunan dari tahun 2006 dengan produksi sebanyak 53 ton dari luas panen 97 hektar menjadi 19 ton dari luas panen 16 hektar pada tahun 2007. Pada tahun 2009 (hingga bulan September) menurut laporan posko bulanan Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Batu Bara tahun 2009 bahwa luas panen kedelai meningkat drastis menjadi 590 hektar. Dengan produktivitas kedelai di daerah ini rata-rata sebesar 0,87 ton/ha akan diperoleh produksi kedelai sebanyak 511 ton. Daerah penghasil kedelai di Kabupaten Batu Bara adalah Kecamatan Sei Balai, Talawi, Air Putih dan Sei Suka.
Komoditi tanaman pangan yang terus menerus mengalami penurunan produksi adalah ubi jalar. Total produksi sebanyak 1619 ton dari luas panen 117 hektar pada
tahun 2006 menurun menjadi 1490 ton dari luas panen yang juga menurun menjadi 106 hektar pada tahun 2007. Pada tahun 2009 (hingga bulan September) menurut laporan posko bulanan Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Batu Bara tahun 2009 bahwa luas panen ubi jalar menjadi hanya 36 hektar. Dengan produktivitas ubi jalar rata-rata di daerah ini sebesar 13,95 ton/ha maka total produksi di tahun 2009 hanya 502 ton. Daerah penghasil ubi jalar di Kabupaten Batu Bara masih terbatas di tiga kecamatan saja, yaitu Kecamatan Lima Puluh, Medang Deras dan Sei Balai.
2.4.5.2. Tanaman hortikultura
Komoditi tanaman hortikultura (sayuran dan buah-buahan) yang banyak diusahakan di Kabupaten Batu Bara adalah mentimun, cabai, kacang panjang, sawi/petsai, terung, bayam, tomat dan semangka Tabel 11.
Produksi mentimun di Kabupaten Batu Bara pada tahun 2008 mengalami penurunan sebesar 620 ton atau 25% dari tahun sebelumnya. Produksi mentimun pada tahun 2007 sebanyak 3095 ton dari luas panen 206 hektar (Batu Bara dalam Angka, 2008) menjadi 2475 ton dari luas panen 110 hektar pada tahun 2008 (Posko Bulanan Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Batu Bara, 2009). Dari sumber (bahan) bacaan yang sama, diketahui bahwa produksi cabai juga mengalami penurunan dari 3446 ton dari luas panen 440 hektar pada tahun 2007 menjadi hanya 339 ton dari luas panen 29 hektar pada tahun 2008.
Tabel 11. Perkembangan Luas Panen dan Produksi Berbagai Komoditi Hortikultura di Kabupaten Batu Bara
Tahun 20071) Tahun 20082)
No Kecamatan Luas Panen
(Ha)
Produks i (Ton)
Luas Panen (Ha)
Produksi (Ton)
1 Sawi/Petsai 256 1830 15 150
2 Kacang Panjang 384 2501 43 645
3 Cabai (besar/kecil) 440 3446 29 339
4 Tomat - - 1,5 30
5 Terung 292 2713 15 225
6 Mentimun 206 3095 110 2.475
7 Kangkung 198 1219 9 67,5
8 Bayam 244 1436 40 300
9 Semangka Tidak ada data 400 12.00
Sumber: Batu Bara dalam Angka ”2010” Biro Pusat Statistik Kab. Asahan (2010).
Produksi kacang panjang pada tahun 2008 juga mengalami penurunan bila dibandingkan dengan produksi pada tahun 2007. Produksi kacang panjang pada tahun 2007 sebesar 2501 ton (Batu Bara Dalam Angka, 2008) menjadi hanya 645 ton pada tahun 2008 (Posko Bulanan Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Batu Bara, 2008). Penurunan produksi yang sangat drastis ini disebabkan oleh penurunan luas panen yang sangat tinggi dari 384 hektar pada tahun 2007 menjadi 43 hektar pada tahun 2008.
Produksi sayuran yang juga mengalami penurunan drastis adalah terung.
Produksi terung paada tahun 2007 sebanyak 2713 ton dari luas panen 292 hektar (Batu Bara Dalam Angka, 2008) menjadi hanya 225 ton dari luas panen 15 hektar pada tahun 2008 (Posko Bulanan Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Batu Bara, 2009).
Hal yang sama terjadi pada sayuran sawi/petsai yang mengalami penurunan dari 1830 ton dengan luas panen tanam 256 hektar pada tahun 2007 menjadi 150 ton dari 15
hektar luas panen pada tahun 2008. Produksi bayam juga menurun dari 1436 ton dengan luas panen 244 hektar pada tahun 2007 menjadi 300 ton dari luas panen 40 hektar pada tahun 2008. Produksi kangkung menurun drastis dari 1219 ton dengan luas panen 198 hektar menjadi hanya 67,5 ton dari luas panen 9 hektar pada tahun 2008.
Hanya produksi tomat yang mengalami peningkatkan dari tidak ada produksi pada tahun 2007 menjadi 30 ton pada tahun 2008 dari luas panen 1,5 hektar. Buah semangka diproduksi di Kabupaten Batu Bara sebanyak 12000 ton dari luas panen 400 hektar pada tahun 2008 (Posko Bulanan Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Batu Bara, 2009).
Komoditi tanaman buah-buahan yang potensial untuk dikembangkan di Kabupaten Batu Bara berdasarkan pengamatan lapangan selain semangka adalah rambutan, sawo dan sukun. Rambutan banyak dijumpai pada lahan pekarangan di Kecamatan Air Putih dan Lima Puluh yang kemudian dapat dikembangkan di daerah ini lainnya, terutama pada kawasan tengah kearah barat dari Kabupaten Batu Bara ini.
Pohon sawo banyak dijumpai dan dapat dikembangkan di Kecamatan Sei Suka dan sekitarnya, demikian juga dengan sukun yang banyak dijumpai di Kecamatan Lima Puluh. Pohon sukun banyak dijumpai sebagai komponen kebun campuran, baik di lahan pekarangan maupun di perladangan (telagan).
2.4.5.3. Daerah penangkapan ikan
Karena posisi letak geografis Kabupaten Batu Bara sebelah timur bersebelahan dengan selat Malaka, maka daerah penangkapan ikan (fishing ground) mengandalkan perairan laut selat Malaka. Perairan laut Kabupaten Batu Bara seluas 7.280 hektar yang
terdiri dari perairan laut Kecamatan Tanjung Tiram seluas 3.471 hektar, Kecamatan Talawi seluas 286 hektar, Kecamatan Lima Puluh seluas 1.105 hektar, Kecamatan Sei Suka seluas 663 hektar dan Kecamatan Medang Deras seluas 1.755 hektar. Untuk jelasnya dapat dilihat pada Tabel 12 berikut ini:
Tabel 12. Luas Daerah Penangkapan Ikan Menurut Kecamatan Kabupaten Batu Bara Tahun 2008
No Kecamatan Luas (Ha) 1 Tanjung Tiram 3.471
2 Talawi 286
3 Lima Puluh 1.1.05
4 Sei Suka 663
5 Medang Deras 1.755
Jumlah 7. 280
Sumber: Batu Bara dalam Angka ”2010” Biro Pusat Statistik Kab. Asahan (2010).
Kecamatan Tanjung Tiram memiliki perairan laut yang luas 3.471 hektar sebagai daerah penangkapan ikan bagi nelayan Kabupaten Batu Bara dan memiliki 1 unit TPI, kemudian disusul oleh Kecamatan Medang Deras 1.755 hektar yang memiliki 2 unti TPI. Sedangkan yang memiliki perairan laut terkecil sebagai daerah penangkapan ikan adalah di Kecamatan Talawi seluas 286 hektar.
A. Budidaya Laut
Kawasan budidaya laut Kabupaten Batu Bara tahun 2008 seluas 321 hektar yang tersebar di 5 Kecamatan Pesisir. Untuk jelasnya dapat dilihat pada Tabel 13 berikut ini. Kecamatan Tanjung Tiram memiliki kawasan budidaya air laut terluas dibanding dengan Kecamatan Medang Deras seluas 85 hektar dan yang terkecil adalah