• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENINGKATAN KOMUNIKASI MATEMATIS DAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA MELALUI PEMBELAJARAN DENGAN PENDEKATAN METACOGNITIVE INNER SPEECH (MIS).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENINGKATAN KOMUNIKASI MATEMATIS DAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA MELALUI PEMBELAJARAN DENGAN PENDEKATAN METACOGNITIVE INNER SPEECH (MIS)."

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan memegang peranan yang sangat penting bagi keberlangsungan

suatu negara. Begitu pentingnya, hingga inovasi dalam pendidikan terus menerus

dikembangkan demi meningkatnya kualitas pendidikan. Objek yang menjadi

fokus perhatian dan penelitian dalam kualitas pendidikan baik dari pemerintah

maupun peneliti adalah siswa. Hal ini disebabkan indikator pengukuran dari

keberhasilan suatu pembelajaran yaitu prestasi belajar siswa. Hal tersebut dapat

dilihat dari berbagai pengukuran yang menunjukkan kompetensi siswa seperti

Trends in International Mathematics and Sciences Study (TIMSS) dan

Programme of International Students Assessment (PISA).

Berkenaan dengan itu, salah satu pelajaran yang cukup penting dalam

peningkatan kualitas siswa yaitu pelajaran matematika. Hal itu dikarenakan

matematika merupakan pelajaran yang menuntut pola berpikir yang logis dan

sistematis, sehingga bila diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, maka akan

menghasilkan generasi yang berkualitas.

Selain menghasilkan generasi yang berkualitas, dewasa ini banyak

informasi disampaikan dengan bahasa matematika, misalnya menyajikan

persoalan atau masalah ke dalam representasi matematis yang dapat berupa

(2)

menyajikan grafik banyak makna yang bisa ditafsirkan, dan akan begitu terasa

membosankan dan terjadi pemborosan kalimat bila hanya disajikan secara naratif.

Sementara itu, Depdiknas (2006) menyatakan bahwa tujuan mata pelajaran

matematika di sekolah pada Standar Isi (SI) mata pelajaran matematika untuk

semua jenjang pendidikan dasar dan menengah, adalah agar siswa mampu:

1. memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep, dan

mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat

dalam pemecahan masalah;

2. menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi

matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan

gagasan dan pernyataan matematika;

3. memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,

merancang model matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan solusi

yang diperoleh;

4. mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain

untuk memperjelas keadaan atau masalah;

5. memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu rasa

ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap

ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

Dari tujuan pembelajaran matematika di atas, kemampuan komunikasi

matematis penting untuk diperhatikan, melalui komunikasi matematis siswa dapat

mengorganisasi dan mengkonsolidasi berpikir matematisnya baik secara lisan

(3)

menurut observasi peneliti, terlihat masih rendahnya kemampuan siswa dalam

mengkomunikasikan situasi, ide atau gagasan ke dalam model atau bahasa

matematika baik secara lisan maupun tulisan. Menurut hemat peneliti, hal tersebut

disebabkan oleh dua faktor yaitu pembelajaran yang dilakukan kurang dapat

mengakomodir kemampuan komunikasi matematis siswa dan soal-soal yang

diberikan masih merupakan soal-soal yang rutin dengan kata lain kurang

memfasilitasi High-Order Mathematical Thinking siswa. Kondisi tersebut

diperkuat oleh Tandililing (2011) yang menyatakan bahwa tingkat komunikasi

matematis siswa SMP yang menggunakan pembelajaran biasa cenderung rendah.

Selain komunikasi matematis, aspek afektif yang perlu diperhatikan untuk

menunjang keberhasilan belajar siswa yaitu kemandirian belajar. Kemandirian

belajar sepertinya belum dimiliki oleh banyak siswa. Hal ini terlihat dari observasi

lapangan yang dilakukan peneliti yaitu masih rendahnya inisiatif dari siswa untuk

bertanya, mengerjakan soal, dan membaca buku. Siswa menunggu instruksi dari

guru untuk melakukan aktivitas pembelajaran. Kondisi tersebut diperkuat oleh

penelitian Fauzi (2011) yang menyatakan bahwa kemandirian belajar siswa yang

menggunakan pendekatan konvensional masih rendah. Hal ini terlihat dari

kurangnya inisiatif siswa dalam belajar.

Dalam penelitian ini, selain dari aspek pembelajaran, aspek Kemampuan

Awal Matematis (KAM) siswa juga dijadikan sebagai fokus dalam penelitian ini.

Hal itu terkait dengan efektivitas implementasinya pada proses pembelajaran.

Tujuannya yaitu untuk melihat apakah implementasi pendekatan MIS dapat

(4)

KAM, maka penelitian ini dapat digeneralisir bahwa implementasi MIS cocok

diterapkan untuk semua level kemampauan.

Kemandirian seorang siswa diperkuat melalui proses sosialisasi yang terjadi

antara siswa dan teman sebaya. Hurlock (dalam Zainun, 2002) mengatakan bahwa

melalui hubungan dengan teman sebaya, siswa belajar berpikir secara mandiri,

mengambil keputusan sendiri, menerima (bahkan dapat juga menolak) pandangan

dan nilai yang berasal dari keluarga dan mempelajari pola perilaku yang diterima

di dalam kelompoknya. Kelompok teman sebaya merupakan lingkungan sosial

pertama dan merupakan tempat siswa belajar untuk hidup bersama dengan orang

lain yang bukan angota keluarganya. Kondisi ini dilakukan siswa dengan tujuan

untuk mendapatkan pengakuan dan penerimaan kelompok teman sebayanya

sehingga tercipta rasa aman. Penerimaan dari kelompok teman sebaya ini

merupakan hal yang sangat penting, karena siswa membutuhkan adanya

penerimaan dan keyakinan untuk dapat diterima oleh kelompoknya.

Menyadari akan pentingnya kemampuan komunikasi matematis dan

kemandirian belajar siswa maka guru perlu mengupayakan pembelajaran dengan

menggunakan pendekatan-pendekatan yang dapat memberi peluang dan

mendorong siswa untuk melatih kemampuan komunikasi dan kemandirian belajar

siswa. Cai dan Patricia (2000) berpendapat bahwa guru dapat mempercepat

peningkatan komunikasi matematis dengan cara memberikan tugas matematika

dalam berbagai variasi.

Berdasarkan uraian di atas, pendekatan yang diduga tepat untuk diterapkan

(5)

fasilatator agar siswa dapat memonitor proses berpikir mereka. Pendekatan yang

relevan dengan kebutuhan siswa tersebut yaitut pendekatan Metacognitive Inner

Speech (MIS). Pendekatan ini semacam self-talk yang memungkinkan siswa

untuk mengarahkan dan memantau proses kognitif mereka, memperoleh

pemahaman yang lebih dalam dan apresiasi dari proses berpikir mereka sendiri

Moffet (dalam Zakin, 2007).

Alasan yang mendasar mengapa peningkatan komunikasi matematis dan

kemandirian belajar dapat terfasilitasi dengan menggunakan pendekatan MIS

yaitu dikarenakan pendekatan ini mampu memberi ruang terhadap siswa untuk

mengeksplorasi gumaman lewat bahasa verbal. Hal ini jelas dapat meningkatkan

komunikasi matematis siswa. Selain itu, untuk aspek kemandirian belajar, dengan

menggunakan pendekatan MIS siswa mampu menilai kemampuan yang ada

dalam dirinya. Hal ini disebabkan pada pendekatan MIS siswa dilatih untuk sadar

dalam berpikir atau dengan kata lain belajar bagaimana berpikir sehingga siswa

dapat mengetahui apa yang diketahui dan mengetahui apa yang tidak diketahui.

Selain itu, komunikasi matematis dan kemandirian belajar siswa

merupakan sesuatu yang terkait satu sama lain. Hal ini dikarenakan siswa yang

mampu mengkomunikasikan ide dalam bahasa matematis dapat dikatakan bahwa

siswa tersebut dapat memonitor diri dalam belajar serta mengevaluasi proses.

Kondisi siswa yang dapat memonitor diri dan mengevaluasi proses merupakan

(6)

Pada dasarnya pendekatan MIS pada pembelajaran matematika

menitikberatkan pada aktivitas belajar siswa, membantu dan membimbing siswa

jika ada kesulitan, serta membantu siswa untuk mengembangkan kesadaran

metakognisinya. Proses metakognisi, menurut Elawar (dalam Nindiasari, 2004)

adalah strategi pengaturan diri siswa dalam memilih, mengingat, mengenali

kembali, mengorganisasi informasi yang dihadapinya dan menyelesaikan

masalah. Metakognisi diartikan pula sebagai teori yang menyusun kesadaran

individu terhadap proses berpikirnya sendiri. Dengan memiliki pengetahuan

metakognisi, diharapkan para siswa sadar akan kelebihan dan keterbatasannya

dalam belajar. Artinya saat siswa mengetahui kesalahannya, mereka sadar

kemudian memperbaikinya dan segera menyadari bagaimana seharusnya.

Teori kognitif sosial dalam metakognitif mendorong siswa untuk berinisiatif

melakukan proses belajar mandiri dari berbagai sumber belajar. Teori kognitif

sosial tersebut menjelaskan tentang kemandirian belajar seperti model siklis

kemandirian belajar Schunk dan Zimmerman (dalam Fahinu, 2007) yang

memposisikan pengetahuan dan keterampilan metakognitif di luar sikliknya,

sebagai penggantinya menyertakan perasaan agen personal dalam mengatur

sumber-sumber pengaruh personal, tingkah laku, dan lingkungan sosial. Dalam

teori ini diusulkan bahwa dalam rangka mengkualifikasikan siswa yang mandiri,

siswa harus menggunakan strategi kemandirian belajar, menunjukkan

kepercayaan diri terhadap keterampilan yang dicapai, dan menunjukkan

(7)

Dari beberapa uraian di atas, pembelajaran dengan pendekatan MIS relevan

untuk menjadi solusi atas permasalahan yang dihadapai yaitu komunikasi

matematis dan kemandirian belajar siswa. Hal tersebut mengindikasikan bahwa

pembelajaran dengan pendekatan MIS layak untuk digunakan dalam pendekatan

pembelajaran. Untuk itu, dalam penelitian ini peneliti mengusulkan

pembelajaran matematika dengan pendekatan MIS dengan harapan dapat berguna

bagi usaha perbaikan proses pembelajaran matematika.

Pada kegiatan pembelajaran matematika di kelas, pembelajaran biasa juga

masih baik untuk digunakan. Pembelajaran biasa identik dengan pembelajaran

yang didominasi oleh guru, atau dengan kata lain pembelajaran yang teacher

centered. Pendekatan langsung merupakan salah satu pendekatan yang cocok

digunakan untuk materi yang baru dikenal siswa dan membutuhkan pemaparan

untuk membimbing siswa langkah demi langkah.

Menurut Ruseffendi (1991) pembelajaran biasa yang sering dipakai pada

pengajaran matematika diawali dengan pemberian informasi atau ceramah. Oleh

karena itu dalam menyampaikannya menggunakan metode ceramah atau

ekspositori. Guru memulai dengan menerangkan suatu konsep,

mendemonstrasikan keterampilannya mengenai pola/aturan/dalil tentang konsep

itu. Kemudian siswa bertanya, guru memeriksa apakah siswa sudah mengerti atau

belum. Kegiatan selanjutnya ialah guru memberikan contoh-contoh soal aplikasi

konsep dan kemudian meminta siswa menyelesaikannya, sehingga siswa juga

(8)

Dari penjelasan di atas metode ekspositori yang merupakan pembelajaran

biasa adalah metode yang biasa dipakai dalam pengajaran matematika. Walaupun

demikian, Ruseffendi (1991) menyatakan bahwa cara ekspositori merupakan cara

mengajar yang paling efektif dan efesien dalam menanamkan belajar bermakna

(meaningful), jika metode ekspositori dipergunakan sebagaimana mestinya dan

sesuai dengan kondisinya maka akan menjadi metode yang paling efektif.

Fokus penelitian dalam tesis ini adalah peningkatan kemampuan

komunikasi matematis dan kemandirian belajar siswa Sekolah Menengah

Pertama. Dengan mempertimbangkan beberapa pendapat di atas, penulis

mengajukan sebuah studi perbandingan tentang kemampuan komunikasi

matematik dan kemandirian belajar matematika antara siswa yang belajar

menggunakan dengan pendekatan MIS dan siswa yang belajar menggunakan

pembelajaran biasa (PB).

B. Rumusan Masalah

Merujuk kepada latar belakang masalah, masalah utama yang dikaji dalam

penelitian ini adalah pengaruh pembelajaran pendekatan MIS terhadap

kemampuan komunikasi matematis dan terbentuknya kemandirian belajar siswa

yang dibandingkan dengan PB. Permasalahan penelitian ini dapat disajikan dalam

pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Apakah terdapat perbedaan kemampuan komunikasi matematis antara siswa

yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan MISdan PB ditinjau dari

(9)

2. Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi matematis

antar siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan MISdan siswa

yang memperoleh PB?

3. Apakah terdapat perbedaan peningkatan komunikasi matematis antara siswa

yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan MIS dan siswa yang

memperoleh PB ditinjau dari kemampuan awal matematik siswa (KAM Baik,

KAM cukup, dan KAM kurang)?

4. Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemandirian belajar antara siswa

yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan MIS siswa yang

memperoleh PB?

5. Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemandirian belajar antara siswa

yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan MIS dan siswa yang

memperoleh PB ditinjau dari kemampuan awal matematik siswa (KAM Baik,

KAM cukup, dan KAM kurang)?

6. Apakah terdapat korelasi antara kemampuan komunikasi matematis dan

kemandirian belajar siswa setelah memperoleh pembelajaran dengan

pendekatan MIS?

C. Tujuan Penelitian

Dengan berpedoman pada rumusan masalah, rencana penelitian ini

bertujuan untuk :

1. Mengetahui perbedaan kemampuan komunikasi matematis siswa yang

mendapat pembelajaran dengan pendekatan MIS dengan siswa yang

(10)

2. Mengetahui perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa

yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan MIS dengan siswa yang

mendapat PB yang ditinjau dari aspek keseluruhan siswa dan kemampuan awal

siswa.

3. Mengetahui perbedaan peningkatan kemandirian belajar siswa yang

mendapat pembelajaran dengan pendekatan MIS dengan siswa yang mendapat

PB yang ditinjau dari aspek keseluruhan siswa dan kemampuan awal siswa.

4. Mengetahui korelasi antara kemampuan komunikasi matematis dan

kemandirian belajar siswa setelah memperoleh pembelajaran dengan

pendekatan MIS.

5. Memperoleh temuan-temuan yang bermanfaat untuk pembelajaran selanjutnya

serta dapat menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat bagi :

1. Guru matematika, penelitian ini diharapkan dapat membantu guru dalam

melakukan pembelajaran khususnya memberikan pemahaman tentang

pembelajaran dengan pendekatan MIS dan dapat mengaplikasikannya dalam

pembelajaran dengan lebih baik, dapat meningkatkan kinerjanya sebagai guru.

2. Siswa, melalui self-talk diharapkan dapat meningkatkan kemampuan

komunikasi matematis dan kemandirian belajar siswa.

3. Sekolah, penelitian ini diharapkan dapat membantu dalam mengembangkan

(11)

4. Peneliti, penelitian ini diharapkan dapat menjadi landasan berpijak atau bahan

referensi dalam rangka menindaklanjuti suatu penelitian dalam ruang lingkup

yang lebih luas.

E. Definisi Operasional

1. Pembelajaran matematika dengan pendekatan MIS adalah penyajian

pembelajaran yang menanamkan kepada siswa suatu proses bagaimana

merancang (plan), memonitor (monitor), serta mengevaluasi (evaluate)

informasi atau pengetahuan yang dimiliki untuk kemudian dikembangkan

menjadi tindakan (action) dalam menyelesaikan suatu masalah matematika.

Penyajian dalam tiga tahapan, yaitu: (1) Guru mendemonstrasikan dan

memodelkan suatu bentuk inner speech, (2) Siswa membentuk

kelompok-kelompok kecil, (3) Guru meminta siswa mengungkapakan

komentar-komentar mereka pada kertas yang kemudian didiskusikan dan dievaluasi

menggunakan The Inner Speech Cognitive Problem Solving Assesment Tool.

2. Kemampuan komunikasi matematis siswa yang dimaksud dalam penelitian ini

adalah kemampuan siswa dalam mengungkapkan ide/gagasan dalam

representasi matematis. Adapun indikator komunikasi matematis meliputi

kemampuan menjelaskan suatu persoalan secara tertulis dalam bentuk gambar

(Menggambar); menyatakan suatu persoalan secara tertulis dalam bentuk

model matematis (Ekspresi Matematis); serta menjelaskan ide atau situasi dari

suatu gambar yang diberikan dengan kata-kata sendiri dalam bentuk tulisan

(12)

3. Kemandirian belajar siswa adalah kemampuan siswa untuk berinisiatif dalam

belajar dan memiliki pengetahuan tentang strategi belajar efektif serta

mengetahui kapan menggunakan pengetahuan itu. Indikator kemandirian

belajar siswa yaitu (1) inisiatif belajar; (2) mendiagnosa kebutuhan belajar; (3)

menetapkan tujuan belajar; (4) memonitor, mengatur, dan mengontrol belajar;

(5) memandang kesulitan sebagai tantangan; (6) memanfaatkan dan mencari

sumber yang relevan; (7) memilih dan menerapkan strategi belajar; (8)

mengevaluasi proses dan hasil belajar; dan (9) konsep diri.

4. Pembelajaran biasa adalah pembelajaran yang menekankan pada penggunaan

metode ekspositori. Proses pembelajarannya dimulai dengan guru menjelaskan

konsep-konsep materi yang dipelajari dan beberapa contoh soal, guru

memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya, kemudian siswa

diminta untuk mengerjakan latihan soal, dan pada akhir pembelajaran siswa

(13)
(14)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan peningkatan sebuah

treatment yang diuji yaitu pendekatan Metacognitive Inner Speech terhadap dua

variabel terikat yaitu komunikasi matematis dan kemandirian belajar siswa.

Karena menggunakan treatment, maka penelitian ini berjenis eksperimen. Tetapi,

untuk mendapatkan random sampling cukup sulit dilakukan sehingga penelitian

ini berjenis kuasi eksperimen. Penelitian kuasi eksperimen digunakan karena pada

kenyataannya sulit mendapatkan kelompok kontrol yang digunakan dalam

penelitian. Menurut Sugiyono (2010) desain ini mempunyai kelompok kontrol,

tetapi tidak dapat berfungsi sepenuhnya untuk mengontrol variabel-variabel luar

yang mempengaruhi pelaksanaan eksperimen.

Desain penelitian yang digunakan adalah non equivalent groups

pretest-posttest design (Sugiyono 2010), dengan desain faktor 2 × 2 yaitu dua metode

pembelajaran, dan dua kelas yaitu eksperimen dan kontrol. Pada penelitian ini

menggunakan pretest, perlakuan yang berbeda (treatment), dan posttest. Berikut

(15)

Keterangan:

O : Pretest atau Posttest

X : Pembelajaran dengan pendekatan Metacognitive Inner Speech.

Pembelajaran yang dilakukan baik pada kelompok eksperimen maupun

kontrol dilakukan oleh peneliti. Hal ini dilakukan agar tindakan pembelajaran

yang telah direncanakan oleh peneliti dapat terlaksana dengan maksimal.

B. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMP kelas VII di

Kabupaten Pesawaran, Lampung yang dilaksanakan pada semester II (genap)

Tahun Ajaran 2011/2012. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah dua

kelas siswa di SMPN 1 Gedongtataan. SMPN 1 Gedongtataan merupakan sekolah

yang berdomisili di pusat kabupaten Pesawaran dan merupakan SMPN terbaik di

lingkungan kabupaten Pesawaran. Tetapi menurut Kasi Dikdas Dinas Pendidikan

Kabupaten Pesawaran, keseragaman kemampuan sekolah ini memiliki cluster

sedang. Peneliti memilih sekolah ini agar efektivitas penggunaan pembelajaran

MIS untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis dan kemandirian

belajar dapat terlihat secara proporsional. Hal tersebut dikarenakan jika peneliti

memilih cluster tinggi maka tidak akan berpengaruh secara signifikan karena

sekolah cluster tinggi diberi atau tidak diberi perlakuan akan tetap memiliki

kemampuan yang tinggi. Selain itu, kemadirian belajar siswa dari sekolah cluster Pretest Treatment Posttest

O X O

(16)

tinggi sudah terbentuk dengan baik. Adapun untuk cluster rendah, akan terjadi

bayes dalam penelitian yaitu jika terjadi kegagalan dalam penelitian bisa

disebabkan oleh faktor siswa.

Subjek dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMP kelas VII di

Kabupaten Pesawaran dengan pertimbangan bahwa Siswa SMP kelas VII

semester dua merupakan siswa yang sudah dapat menyesuaikan diri dengan

kondisi lingkungan sekolahnya dan merupakan masa transisi dari SD sehingga

gaya belajar dan motivasi cukup mudah untuk diarahkan.

Sampel pada penelitian ini dipilih dari kelas yang telah ada. Ada dua kelas

yang dipilih yaitu siswa kelas VII B dan VII D. Penentuan kelas MIS dan

kontrol dengan tekhnik purposive sampling yaitu dengan penimbang. Dalam hal

ini, kepala sekolah dan guru bidang studi matematika yang mengajar sebagai

penimbang, dengan pertimbangan bahwa penyebaran siswa untuk kedua kelas

tersebut merata ditinjau dari segi kemampuan akademisnya.

C. Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini adalah pembelajaran dengan Metacognitive

Inner Speech sebagai variabel bebas, sedangkan variabel terikatnya adalah

kemampuan komunikasi matematis dan kemandirian belajar siswa.

D. Instrumen Penelitian

Untuk memperoleh data dan informasi mengenai hal-hal yang ingin dikaji

dalam penelitian ini, maka dibuatlah seperangkat instrumen. Instrumen yang

(17)

1. TesTertulis

Tes tertulis yang digunakan berupa tes kemampuan komunikasi matematis.

Jumlah soal yang digunakan dalam penelitian ini ada enam soal. Agar

kemampuan komunikasi matematis siswa dapat terlihat dengan jelas maka

masing-masing tes dibuat dalam bentuk uraian. Tes tertulis ini terdiri dari tes

awal (pretest) dan tes akhir (posttest). Tes diberikan pada siswa setiap kelompok.

Soal-soal pretest dan posttest dibuat ekuivalen/relatif sama. Tes awal dilakukan

untuk mengetahui kemampauan awal siswa setiap kelompok dan digunakan

sebagai tolak ukur peningkatan prestasi belajar sebelum mendapatkan

pembelajaran dengan model yang diterapkan, sedangkan tes akhir dilakukan

untuk mengetahui perolehan hasil belajar dan ada tidaknya perubahan yang

signifikan setelah mendapatkan pembelajaran dengan pendekatan MIS. Sebelum

penyusunan tes kemampuan komunikasi matematis siswa dibuat kisi-kisi soal

terlebih dahulu.

Tabel 3.1.

Pedoman Pemberian Skor Kemampuan Komunikasi Matematis

Skor Menyatakan suatu Situasi dengan Gambar dan Model Matematika

Menjelaskan Ide, Situasi, dan Relasi Matematika secara

Tertulis

0

Tidak membuat gambar/pemodelan matematika atau membuat gambar/pemodelan matematika

tetapi salah

Tidak menjelaskan ide, situasi, dan relasi matematika secara

tertulis

1

Membuat gambar (jika mungkin)/model matematika dari

apa yang diketahui

(18)

2

Membuat gambar (jika mungkin)/model matematika dari

apa yang ditanyakan

Menjelaskan relasi secara tertulis

3

Membuat gambar (jika mungkin)/model matematika secara

lengkap

Menjelaskan ide, situasi, dan relasi secara tertulis

Skor maks 3 Skor maks 3

Pedoman pemberian skor dimaksudkan agar hasil penilaian yang diberikan

obyektif. Hal ini dikarenakan pada setiap langkah jawaban yang dinilai pada

jawaban siswa selalu berpedoman pada patokan yang jelas mengurangi kesalahan

pada penilaian.

2. Skala

Skala ini digunakan untuk mengetahui kemandirian belajar siswa sebelum

dan setelah pendekatan pembelajaran MIS ini diimplementasikan. Skala ini

mengggunakan Skal Likert dengan pilihan jawaban Sangat Tidak Setuju (STS),

Tidak Setuju (TS), Setuju (S), Sangat Setuju (SS).

3. Analisis Hasil Ujicoba

Alat pengumpul data yang baik dan dapat dipercaya adalah yang memiliki

tingkat validitas dan reliabilitas yang tinggi. Oleh karena itu, sebelum instrumen

tes digunakan terlebih dahulu akan dilakukan uji coba pada siswa yang telah

mendapatkan materi yang akan disampaikan. Setelah uji coba dilakukan analisis

untuk mengetahui tingkat validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran, dan daya

pembeda instrumen tersebut.

(19)

Validitas merupakan salah satu syarat penting yang harus dipenuhi oleh

instrumen penelitian. Suherman dan Kusumah (1990) menyatakan bahwa suatu

instrumen dinyatakan valid (absah atau sahih) bila instrumen itu mampu

mengevaluasi apa yang seharusnya dievaluasi. Validitas suatu instrumen

hendaknya dilihat dari berbagai aspek. Dalam penelitian ini, analisis validitas

yang dilakukan meliputi validitas isi dan validitas butir soal.

Validitas isi berkenaan dengan ketepatan materi yang dievaluasikan.

Dengan kata lain, materi yang dipakai sebagai alat evaluasi merupakan sampel

representatif dari pengetahuan yang harus dikuasai siswa (Suherman dan

Kusumah, 1990: 137). Penilaian validitas isi akan dilakukan oleh rekan

mahasiswa Pendidikan Matematika Pascasarjana UPI yang hasilnya akan

dikonsultasikan kepada dosen pembimbing. Validitas isi yang akan dinilai adalah

kesesuaian antara butir tes dengan kisi-kisi soal, penggunaan bahasa atau gambar

dalam soal, dan kebenaran materi atau konsep.

Tabel 3.2.

Koefisien Korelasi Validitas

Koefisien Korelasi Interpretasi

0,800 < r≤ 1,00 Sangat Tinggi

0,600 < r≤ 0,800 Tinggi

0,400 < r≤ 0,600 Cukup

0,200 < r≤ 0,400 Rendah

0,00 ≤ r ≤ 0,200 Sangat Rendah

Validitas hasil uji coba soal di SMP BPK Penabur Bandung kelas IX-B

(20)

kemampuan komunikasi matematis siswa dapat diinterpretasikan dalam

rangkuman yang disajikan pada Tabel 3.3.

Tabel 3.3.

Interpretasi Uji Validitas Tes Komunikasi Matematis

Nomor Korelasi Interpretasi Validitas

1 0,867 Sangat Tinggi

2 0,229 Rendah

3 0,493 Cukup

4 0,397 Rendah

5 0,447 Cukup

6 0,375 Rendah

Berdasarkan tabel di atas, nomor 2, 4, dan 6 tergolong rendah validitasnya.

Oleh karena itu, peneliti merevisi soal tersebut berdasaran saran dosen

pembimbing. Bila dilihat secara secara keseluruhan soal tersebut tergolong

signifikan, maka soal tersebut tetap dipakai.

b. Analisis Reliabilitas Tes

Reliabilitas tes adalah tingkat keajegan (konsistensi) suatu tes, yaitu sejauh

mana suatu tes dapat dipercaya untuk menghasilkan skor yang ajeg/konsisten

(tidak berubah-ubah). Klasifikasi besarnya koefisien reliabilitas berdasarkan

Guilford (Suherman, 2003: 139) berikut.

Tabel 3.4.

Klasifikasi Koefisien Reliabilitas

Koefisien Korelasi Interpretasi

0,90 ≤ 11≤ 1,00 Sangat Tinggi

0,70 ≤ 11< 0,90 Tinggi

0,40 ≤ 11≤ 0,70 Cukup

0,20 ≤ 11≤ 0,40 Rendah

(21)

Berdasarkan hasil uji coba reliabilitas tes untuk kemampuan komunikasi

matematis diperoleh koefisien korelasinya sebesar 0,41. Artinya interpretasi

tingkat reliabilitas untuk soal tes kemampuan komunikasi matematis tergolong

cukup. Jadi, soal tersebut layak untuk dipergunakan.

Sementara itu untuk skala kemandirian belajar siswa reliabilitas yang

diperoleh yaitu sebesar 0,625. Artinya tingkat reliabilitas untuk skala kemandirian

belajar siswa tergolong cukup sehingga skala tersebut sangat layak untuk

digunakan.

Tabel 3.5. Koefisien Reliabilitas Skala Kemandirian Belajar Siswa

Cronbach's

Alpha N of Items

.625 36

c. Analisis Daya Pembeda

Menurut Arikunto (2009: 211-212), daya pembeda soal adalah

kemampuan sesuatu soal untuk membedakan antara siswa yang pandai

(berkemampuan tinggi) dengan siswa yang lemah (berkemampuan rendah).

Sebuah soal dikatakan memiliki daya pembeda yang baik bila memang siswa yang

pandai dapat mengerjakan dengan baik, sedangkan siswa kelompok rendah tidak

dapat menyelesaikan soal tersebut dengan baik.

Angka yang menunjukkan besarnya daya pembeda disebut indeks

diskriminasi. Tanda negatif pada indeks diskriminasi digunakan jika sesuatu soal

(22)

bodoh disebut pandai. Klasifikasi daya pembeda uji coba soal kemampuan

komunikasi matematis didasarkan pada To (Astuti, 2009).

Tabel 3.6.

Klasifikasi Daya Pembeda

Besarnya DP Interpretasi

Negatif – 10% Sangat buruk, harus dibuang 10% - 19% Buruk, sebaiknya dibuang

20% - 29% Agak baik, kemungkinan perlu direvisi

30% - 49% Baik

50% ke atas Sangat Baik

Hasil perhitungan hasil uji coba daya pembeda untuk tes kemampuan

komunikasi matematis siswa disajikan pada Tabel 3.7. di bawah ini.

Tabel 3.7.

Daya Pembeda Tes Kemampuan Komunikasi Matematis

Tes Kemampuan Nomor Daya Pembeda (%) Interpretasi

Komunikasi Matematis

1 44,00 Baik

2 16,67 Buruk

3 26,67 Agak Baik

4 6,67 Sangat Buruk

5 10,00 Buruk

6 40,00 Baik

Berdasarkan tabel terlihat bahwa untuk soal tes kemampuan komunikasi

matematis nomor 1 dan 6 klasifikasi daya pembedanya baik sehingga soal layak

digunakan. Untuk soal nomor 2,3,5 dilakukan revisi agar memiliki daya pembeda

yang baik, sedangkan soal nomor 4 dibuang dan diganti dengan soal yang layak

dan sesuai.

(23)

Soal yang baik adalah soal yang tidak terlalu mudah atau tidak terlalu sukar.

Soal yang terlalu mudah tidak merangsang siswa untuk mempertinggi usaha

memecahkannya. Sebaliknya soal yang terlalu sukar akan menyebabkan siswa

menjadi putus asa dan tidak mempunyai semangat untuk mencoba lagi karena di

luar jangkauannya.

Seorang siswa akan menjadi hafal dengan kebiasaan guru-gurunya dalam

hal pembuatan soal ini. Misalnya saja guru A dalam memberikan ulangan soalnya

mudah-mudah, sebaliknya guru B kalau memberikan ulangan soalnya

sukar-sukar. Dengan pengetahuannya tentang kebiasaan ini, maka siswa akan belajar

giat jika menghadapi ulangan dari guru B dan sebaliknya jika akan ulangan dari

guru A, siswa tersebut tidak mau belajar giat bahkan mungkin tidak mau belajar

sama sekali. (Arikunto, 2009 : 207). Kriteria tingkat kesukaran soal yang

digunakan yaitu berdasarkan To (Astuti, 2009).

Tabel 3.8.

Kriteria Tingkat Kesukaran

Tingkat Kesukaran Interpretasi

0% - 15% Sangat Sukar

16% - 30% Sukar

31% - 70% Sedang

71% - 85% Mudah

86% - 100% Sangat Mudah

Hasil perhitungan pada tabel di atas menggunakan Anates 4.0, diperoleh

tingkat kesukaran tiap butir soal tes kemampuan komunikasi matematis yang

(24)

Tabel 3.9.

Tingkat Kesukaran Butir Tes Kemampuan Komunikasi Matematis

Tes Kemampuan

Nomor Tingkat Kesukaran (%) Interpretasi

Komunkasi Matematis

1 74 Mudah

2 75 Mudah

3 86,67 Sangat Mudah

4 96,67 Sangat Mudah

5 75 Mudah

6 60 Sedang

Berdasarkan tabel di atas soal nomor 3 dan 4 yang berkategori sangat mudah

direvisi sehingga menjadi soal yang mudah. Adapun untuk soal nomor 1, 2 dan 5

direvisi sehingga menjadi soal yang berkategori sedang.

4. Observasi

Pedoman observasi digunakan untuk melihat proses pembelajaran yang

berlangsung. Observasi dilakukan untuk mengamati aktivitas belajar siswa

selama menerapkan pendekatan pembelajaran dengan MIS.

5. Wawancara

Wawancara dilakukan untuk mengetahui informasi lebih jauh tentang

pandangan siswa dan guru mengenai kemandirian belajar siswa. Pedoman

wawancara berupa pertanyaan terbuka.

(25)

Data yang dianalisis dalam penelitian ini, yaitu data kuantitatif berupa hasil

tes kemampuan komunikasi matematis dan kemandirian belajar siswa.

Data-data kuantitatif berupa soal tes matematika, dan skala kemandirian

belajar siswa. Untuk pengolahan data, peneliti menggunakan software SPSS 16

dan Microsoft Excel 2007. Dalam penelitian ini peneliti ingin melihat perbedaan

komunikasi matematis dan kemandirian belajar siswa setelah menggunakan

pembelajaran MIS ditinjau dari keseluruhan siswa, perbedaan peningkatan

kemampuan komunikasi matematis dan kemandirian belajar siswa yang

memperoleh pembelajarn MIS dan konvensional ditinjau dari KAM siswa,

korelasi komunikasi matematis dan kemandirian belajar siswa setelah

menggunakan MIS.

Kategori kemampuan awal matematis siswa: pengelompokan siswa

didasarkan pada kemampuan matematika sebelumnya dan terdiri dari tiga

kelompok, yakni kelompok tinggi, sedang dan rendah dengan perbandingan 30%,

40% dan 30% (Dahlan, 2004).

Data berupa hasil komunikasi matematis dan kemandirian belajar dianalisa

secara kuantitatif dengan menggunakan uji statistik. Untuk data kemandirian

belajar sebelum diuji satitistik, terlebih dahulu dilakukan Methods of Successive

Interval (MSI) untuk mengubah skal ordinal menjadi interval. Adapun langkah–

langkah melakukan perubahan data tersebut adalah sebagai berikut:

a. Hasil jawaban untuk setiap pertanyaan dihitung frekuesi setiap pilihan

(26)

b. Frekuensi yang diperoleh setiap pertanyaan dihitung proporsi setiap

pilihan jawaban.

c. Berdasarkan proporsi untuk setiap pertanyaan tersebut, dihitung proporsi

kumulatif untuk setiap pertanyaan

d. Kemudian ditentukan nilai batas untuk Z bagi setiap pilihan jawaban dan

setiap pertanyaan.

e. Berdasarkan nilai Z, tentukan nilai densitas (kepadatan). Nilai densitas

dapat dilihat pada tabel ordinat Y untuk lengkungan normal standar

f. Hitung nilai skala/ scale value/ SV untuk setiap pilihan jawaban dengan

persamaan sebagai berikut :

SV = (Kepadatan Batas Bawah)-(Kepadatan Batas Atas)

(Daerah dibawah Batas Atas)-(Daerah di bawah batas atas)

g. Langkah selanjutnya yaitu tentukan nilai k, dengan rumus:

k= 1 + � � �

h. Langkah terakhir yaitu transformasikan masing-masing nilai pada SV

dengan rumus: SV + k

Untuk menentukan uji statistik yang akan digunakan, terlebih dahulu diuji

normalitas data dan homogenitas varians. Sebelum uji tersebut dilakukan harus

ditentukan terlebih dahulu rerata skor serta simpangan baku untuk setiap

kelompok. Untuk lebih jelasnya, berikut ini disajikan tahapan yang peneliti

(27)

a. Memberikan skor jawaban siswa sesuai dengan kunci jawaban dan pedoman

penskoran yang telah dibuat.

b. Menghitung statistik deskriptif skor pretes, postest, dan N-gain komunikasi

matematis dan kemandirian belajar siswa yang meliputi skor minimum, skor

maksimum, rerata, dan simpangan baku.

c. Menghitung besarnya peningkatan komunikasi dan kemandirian belajar siswa

yang diperoleh dari skor pretest dan posttest dengan menggunakan rumus:

Gain ternormalisasi= −

� � − ( Meltzer, 2002)

dengan kriteria indeks gain sebagai berikut:

Tabel 3.10.

Kriteria Skor Gain Ternormalisai

Skor Gain Interpretasi

g > 0,7 Tinggi

0,3 < g < 0,7 Sedang

g ≤ 0,3 Rendah

Sumber: (Hake, 1999)

d. Melakukan uji normalitas komunikasi matematis dan kemandirian belajar

siswa pada setiap data skor pretes, postest, dan N-gain ditinjau secara

keseluruhan siswa, N-gain ditinjau secara KAM siswa. Perhitungan melalui

Uji Shapiro-Wilk. Uji ini digunakan untuk ukuran sampel yang lebih besar

dari 30. Dalam penelitian ini jumlah siswa yang diambil dari kelas MIS dan

kontrol yaitu masing-masing 36. Kriteria pengujian adalah tolak H0 apabila

Asymp.Sig < taraf signifikansi (�= 0,05).

e. Menguji homogenitas varians komunikasi matematis dan kemandirian belajar

(28)

keseluruhan siswa, N-gain ditinjau secara KAM siswa. Pengujian varians

antara kelompok eksperimen dan kontrol dilakukan untuk mengetahui apakah

varians kedua kelompok sama atau berbeda. Pengujian ini menggunakan uji

statistik Levene’s Test. Kriteria pengujian adalah terima H0 apabila Sig. Based

on Mean taraf signifikansi ( ).

f. Melakukan uji kesamaan dua rerata skor pretest kedua kelompok eksperimen

dan kontrol, uji perbedaan kemampuan komunikasi matematis dan

kemandirian belajar siswa, serta uji perbedaan peningkatan kemampuan

komunikasi matematis dan kemandirian belajar siswa. Adapun pilihan uji

yang dilakukan adalah:

1. Jika data berdistribusi normal dan bervarians homogen maka uji statistik yang

digunakan adalah Uji-t.

2. Jika data berdistribusi normal tetapi varians tidak homogen maka uji statistik

yang digunakan adalah Uji-t’

3. Jika data berdistribusi tidak normal digunakan uji Mann- Whitney U

Kriteria pengujian untuk ketiga pilihan di atas adalah terima H0 apabila Sig.

Based on Mean taraf signifikansi ( ).

g. Melakukan uji perbedaan peningkatan untuk N- gain komunikasi matematis

dan kemandirian belajar siswa pada kedua kelas ditinjau dari KAM siswa.

Adapun pilihan uji yang dilakukan adalah:

1. Jika data berdistribusi normal dan bervarians homogen digunakan uji anova

(29)

2. Jika data berdistribusi normal dan bervarians tidak homogen digunakan uji

anova dua jalur. Jika H0 ditolak dilaanjutkan uji Post Hoc dengan uji Games

Howel.

3. Jika data berdistribusi tidak normal digunakan uji non parametrik Friedman.

Kriteria pengujian untuk ketiga pilihan di atas adalah terima H0 apabila Sig.

Based on Mean taraf signifikansi ( ).

h. Untuk menghitung korelasi

Data diuji menggunakan rumus Korelasi Pearson jika data berdistribusi

normal dan Korelasi Spearman jika data berdistribusi tidak normal.

F. Jadwal Penelitian

Penelitian ini dirancang dalam waktu enam bulan terhitung mulai dari bulan

November 2011 sampai dengan bulan Juni 2012. Secara lengkap, agenda kegiatan

penelitian tersebut di gambarkan pada tabel berikut:

Tabel 3.11.

Jadwal Kegiatan Penelitian

No Keterangan Waktu

Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun 1. Penyusunan

Proposal Penelitian 2. Seminar Proposal

Penelitian 3. Pembuatan

Instrumen Penelitian 4. Pelaksanaan

Penelitian

5. Penyusunan Hasil Penelitian dan Pembahasan

(30)

Tahap I

7. Ujian Sidang Tesis

Tahap II

G. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian mengenai kegiatan pembalajaran dengan pendekatan

MIS untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis dan kemandirian

belajar siswa ini, dirancang untuk memudahkan dalam pelaksanaan penelitian.

Prosedur dalam penelitian ini adalah :

1. Melakukan studi kepustakaan, yaitu mengidentifikasi dan merumuskan

masalah, dan melakukan studi literatur.

2. Menyusun instrumen penelitian dan bahan ajar.

3. Menguji coba instrumen dan menganalisis hasil uji coba instrumen.

4. Melakukan observasi dan sosialisasi terhadap calon subjek.

5. Menentukan subjek penelitian, kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.

6. Memberikan pretes pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol untuk

mengetahui kemampuan awal komunikasi matematis dan kemandirian

belajar siswa.

7. Melaksanakan pembelajaran dengan pendekatan MIS pada kelompok

eksperimen dan PB pada kelompok kontrol.

8. Memberikan postes pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol untuk

mengetahui kemampuan komunikasi matematis dan kemandirian belajar

(31)

9. Melakukan wawancara dengan siswa, sebagai triangulasi dari skala

kemandirian belajar siswa. Pemilihan subjek untuk diwawancara merupakan

perwakilan dari KAM (Baik, Cukup, Kurang).

10. Melakukan wawancara dengan guru, sebagai triangulasi untuk mengetahui

kemandirian belajar siswa setelah menggunakan pembelajaran dengan

pendekatan MIS.

11. Mengolah dan menganalisis data.

12. Menganalisis temuan dari hasil pengolahan dan analisis data.

(32)

BAB V

KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN REKOMENDASI

Berdasarkan rumusan masalah serta pembahasan terhadap hasil-hasil penelitian

yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, diperoleh kesimpulan dan saran dari hasil-hasil

penelitian tersebut.

A. Kesimpulan

1. Terdapat perbedaan komunikasi matematis antara siswa yang memperoleh pendekatan

MIS dan pembelajaran biasa. Siswa yang memperoleh pembelajaran biasa memiliki

kemampuan komunikasi matematis yang lebih baik daripada siswa yang memperoleh

pendekatan MIS.

2. Terdapat perbedaan peningkatan komunikasi matematis antara siswa yang memperoleh

pendekatan MIS dan pembelajaran biasa. Siswa yang memperoleh pembelajaran

biasa memiliki peningkatan komunikasi matematis yang lebih baik daripada siswa

yang memperoleh pendekatan MIS.

3 Tidak terdapat perbedaan peningkatan komunikasi matematis antara siswa yang

memperoleh pendekatan MIS dan pembelajaran biasa ditinjau dari KAM siswa.

4. . Terdapat perbedaan peningkatan kemandirian belajar antara siswa yang memperoleh

pendekatan MIS dan pembelajaran biasa. Siswa yang memperoleh pendekatan MIS

memiliki peningkatan kemandirian belajar yang lebih baik daripada siswa yang

(33)

3. Terdapat perbedaan peningkatan kemandirian belajar antara siswa yang memperoleh

pendekatan MIS dan pembelajaran biasa ditinjau dari KAM siswa.

4. Terdapat korelasi antara komunikasi matematis dan kemandirian belajar siswa setelah

pembelajaran pada kelas MIS. Korelasi antara komunikasi matematis dan

kemandirian belajar siswa tergolong lemah.

A. Keterbatasan

Dalam penelitian ini terdapat keterbatasan-keterbatasan yang diharapkan akan

membuka peluang bagi peneliti lainnya untuk melakukan penelitian sejenis yang akan

berguna bagi perluasan wawasan keilmuan. Keterbatasan-keterbatasan tersebut antara lain

sebagai berikut:

1. Perlakuan terhadap subjek penelitian hanya dilakukan dalam waktu sekitar satu bulan.

Waktu yang relatif singkat ini tentunya memiliki dampak pada proses pembelajaran

dan pelayanan, sehingga hasil yang dicapai belum maksimal.

2. Bahasan matematika yang dikembangkan dalam penelitian ini hanya terdiri dari dua

standar kompetensi yaitu mengidentifikasi sifat-sifat segiempat dan menghitung

besaran pada segiempat. Masih terbuka peluang bagi peneliti lain untuk melakukan

kelas MIS pada standar kompetensi yang lainnya.

3. Subjek sampel hanya dilakukan pada satu sekolah, yaitu salah satu SMP N di

Pesawaran, Lampung. Pada kesempatan lain, para peneliti dapat melakukan

(34)

rendah serta dapat juga meneliti di level SD atau SMA sehingga terlihat lebih jelas

efektifitas penggunaan pendekatan ini dilihat dari berbagai kategori

4. Kemampuan matematis yang diukur hanya kemampuan komunikasi matematis,

secara umum kemampuan ini belum menggambarkan seluruh kemampuan matematis

siswa.

B. Rekomendasi

Berdasarkan hasil-hasil dalam penelitian ini, peneliti mengemukakan beberapa

rekomendasi, terdiri dari rekomendasi teoritis dan rekomendasi riset.

Rekomendasi Teoritis, yaitu

1. Pada aspek komunikasi peningkatan hanya tercapai pada aspek menggambar. Oleh

karena itu, perlu adanya usaha latihan terencana dengan pemberdayaan potensi siswa

agar aspek-aspek komunikasi yang lain dapat tercapai.

2. Sebaiknya digunakan media yang lebih menarik pada pembelajaran agar siswa lebih

tertarik dengan pembelajaran MIS

3. Memunculkan inner speech siswa dengan cara-cara yang lebih menarik. Misalnya lewat

pemutaran video atau aksi drama dari siswa.

4. Siswa kurang terbiasa mengerjakan soal-soal yang tidak rutin, jadi hendaknya guru

memberikan latihan-latihan soal yang dapat memacu High- Order Mathematical

(35)

Rekomendasi Riset, yaitu

1. Pada penelitian ini, aspek afektif yang diukur yaitu self-regulated learning. Masih

terbuka peluang riset untuk mengukur aspek-aspek afektif lainnya seperti

self-awareness, self-knowledge, self-control, self-discrepantion dan self-criticism.

2. Pada penelitian ini, pendekatan yang digunakan hanya pendekatan MIS. Perlu

dilakukan penelitian lanjutan yang lebih luas yaitu dengan menerapkan strategi

kolaboratif antara pendekatan MIS dan debate scientific untuk mengukur berpikir

kritis siswa, komunikasi matematis serta self-critisism. Hal tersebut disebabkan

karakteristik dari pendekatan MIS dan debate scientific yang cukup relevan yaitu

sama-sama menuntut kesadaran siswa terhadap pengetahuan yang ada dalam dirinya,

serta mampu mengungkapkan pemikiran yang ada di benak siswa melalui bahasa

verbal.

3. Kelas yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kelas eksperimen dan kontrol. Untuk

mengetahui lebih dalam mengenai efektivitas MIS sangat efektif dilakukan riset

lanjutan dengan desain penelitian Solomon dengan kategori yaitu kelompok MIS

(36)
(37)

DAFTAR PUSTAKA

Aguspinal. (2011). Peningkatan Kemampuan Berpikir Kreatif dan Komunikasi Matematis Siswa Sma melalui Pendekatan Open-Ended dengan Strategi

Group-To-Group

Arikunto, S. (2009). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta: PT Bumi Aksara.

Astuti, R. (2009). Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematika dan Kemandirian Belajar Matematika Siswa Melalui Model Repirocal Teaching dengan Pendekatan Metakognitif. Tesis pada PPS UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Asmida. (2009). Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Komunikasi Matematis Siswa Sekolah Menengah Pertama Melalui Pendekatan Realistik. Tesis pada PPS UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Baird, J.E. (1981). Speaking for Result Communication by Objection. New York: Harper & Row Publisher.

Bandura, A. (1977). Self-efficacy: The exercise of control. New York: W. H. Freeman & Company.

Cai, J.L. dan Jakabcsin, M. S. (1996). The Role of Open-Ended Tasks and Holistic Scoring Rubrics: Assessing Students’ Mathematical Reasoning and Communication. Dalam Portia C. Elliot (Fds). Communication in Mathematics K-12 and Beyond. Virginia: NCTM.

Cai, J. & Patricia. (2000). Fostering Mathematics Thinking Throught Multiple Solutions. Mathematics Teaching in Middle School. Vol V. NCTM.

Dahlan, J. A. (2004). Meningkatkan Kemampuan Matematis Siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Melalui Pendekatan Open-Ended. Disertasi. UPI: Tidak diterbitkan.

Depdiknas. (2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta : Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas.

(38)

Fahinu. (2007). Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kemandirian Belajar Matematika Pada Mahasiswa Melalui Pembelajaran Generatif. Disertasi Doktor pada PPS UPI: Tidak Dipublikasikan.

Fauzi, A. (2011). Peningkatan Koneksi Matematis dan Kemandirian Belajar Siswa Sekolah Menengah Pertama Melalui Pendekatan Metakognitif. Disertasi Doktor pada PPS UPI: Tidak Dipublikasikan.

Hill, W.F. (2010). Theoris of Learning. Bandung: Penerbit Nusa Media

Joyce, B. and Weil, M. (2000) Models of Teaching. New Jersey: Prentice Hall Inc.

Kadir. (2010). Penerapan Pembelajaran Kontekstual Berbasis Potensi Pesisir Sebagai Upaya Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik, Komunikasi Matematik, dan Keterampilan Sosial Siswa SMP. Disertasi pada PPS UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.

Kusumah, Y. S. (2008). Konsep, Pengembangan, dan Implementasi Computer-Based Learning dalam Peningkatan Kemampuan High-Order Mathematical Thinking. Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia tanggal 23 Oktober 2008. Bandung: UPI PRESS.

Meltzer, D. E. (2002). Addendum to: The Relationship Between Mathematics Preparation and Conceptual Learning Gains in Physics: A Possible

“Hidden Variable” in Diagnostics Pretest Scores. Vol. 70. Page 1259

-1268.[on line]. Tersedia:

http://www.physics.iastate.edu/per/docs/eddendum_on_normalized_gain. pdf#search+%22meltzer%2C%2002%2C%20gain%2C%20a%20possibl

e%20possible%20hidden20variable%22. [9 Oktober 2006]

Morin, A. and James E. (1990). Inner Speech As Mediator of Self-Awareness, Self-Consciousness, and Self-Knowledge: An Hypothesis. New Ideas in Psychology. Pergamon Press.

Nindiasari, H. (2004). Pembelajaran Metakognitif Untuk Meningkatkan Pemahaman dan Koneksi Matematika Siswa SMU Ditinjau dari Perkembangan Kognisi Siswa. Tesis pada PPS UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

(39)

Priatna, N. (2003). Teknik Probing dalam Pembelajaran Matematika untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Siswa SLTP. Proceeding National Seminar on Science and Mathematics Education, the Role of IT/ICT in Supporting the Implementation of Competency-Based Curriculum. Bandung: JICA-IMSTEP.

Rohaeti, E. (2003). Pembelajaran Matematika dengan Menggunakan Metode IMPROVE untuki Meningkatkan Pemahaman dan Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). Tesis pada PPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Ruseffendi, E.T. (1991). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika CBSA. Bandung: Tarsito.

Ruseffendi, E.T. (2006). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.

Siregar, N. (2011). Pembelajaran Geometri melalui Model Pace Berbantuan Geogebra sebagai Upaya Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Komunikasi Matematis Siswa SMP. Tesis pada PPS UPI Bandung: Tidak diterbitkan

Sudjana. (1989). Metode Statistika. Bandung: Tarsito.

Suherman, dkk. (2003). Evaluasi Pembelajaran Matematika. Bandung: JICA FPMIPA UPI.

Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta.

Suherman, E. dan Kusumah, Y.S. (1990). Petunjuk Praktis untuk Melaksanakan Evaluasi Pendidikan Matematika. Bandung: Wijayakusumah 157.

Suryadi, D. (2005). Penggunaan Pendekatan Pembelajaran Tidak Langsung serta Pendekatan Gabungan Langsung dan Tidak Langsung dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematik Tingkat Tinggi Siswa SMP. Disertasi pada PPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

(40)

Sumarmo, U. (2010). Berpikir dan Disposisi Matematik: Apa, Mengapa, dan Bagaimana dikembangkan pada Peserta Didik. [Online]

http://math.sps.upi.edu/wp-content/uploads/2010/02/Berpikir-dan-Disposisi-Matematik-SPS-2010.pdf. [25 Februari 2010]. .

Suzana, Y. (2003). Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematika Siswa Sekolah Menengah Umum (SMU) melalui Pembelajaran dengan Pendekatan Metakognitif. Tesis pada PPS UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.

Tandililing, E. (2011). The Enhancement of Mathematical Communicatin and Self-Regulated Learnng of Senior High School Students through PQ4R Strategies Accompanied Refutation Text Reading. Collection of Papers. International Seminar and the Fourth National Conference on Mathematics Education. Universitas Negeri Yogyakarta.

Zainun, M. (2002). Kemandirian Sebagai Kebutuhan Psikologis Pada Remaja.

[Online]. Tersedia: http://www.e-psikologi.com/remaja/250602.htm. (29 November 2008).

(41)

Gambar

Tabel 3.1. Pedoman Pemberian Skor Kemampuan Komunikasi Matematis
Tabel 3.2.  Koefisien Korelasi Validitas
Tabel 3.3.  Interpretasi Uji Validitas Tes Komunikasi Matematis
Tabel 3.5.   Koefisien Reliabilitas
+6

Referensi

Dokumen terkait

peranan sosial yang dapat diterima atau yang membuat mereka merasa tidak. mampu memenuhi tuntutan yang dibebankan pada mereka,

Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa: terdapat hubungan yang signifikan Aktivitas Jasmani dan Kondisi Biopsikososial pada Kelompok Usia Lanjut di Gasibu

Ini berarti koefisien regresi dalam model tersebut dapat digunakan untuk menganalisis dan menyimpulkan ketergantungan dan hubungan pola komunikasi guru model multi

Uji daya hambat Trichoderma spp dengan Athelia rolfsii pada hari ke-5. Tanaman

(Korporasi adalah subjek berupa orang buatan atau badan hukum yang dibentuk berdasarkan hukum suatu Negara. Persekutuan orang-orang tersebut dijadikan statusnya sebagai badan

Formulasi yang tampaknya perlu dicermati, adalah menempatkan peristiwa bahasa campur dan alih kode sebagai sesuatu yang wajar dalam pembelajaran bahasa daerah, bahasa

Kajian Nilai Sosial Permainan Tradisional Yang Ada Di Kecamatan Petanahan, Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Berdasarkan penelitian diketahui, bahwa di Pegadaian terdapat risiko kredit (kredit bermasalah) dalam produk Krasida.Walaupun masih dalam profil risiko yang aman, tetapi