KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI
Diajukan Sebagai Syarat Untuk Meraih Gelar Sarjana Hukum Pada Program Studi Hukum Keluarga
Oleh:
Triva Ariva NIM. 11170440000076
PRODI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1442 H/2021 M
i
PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA PADA MASYARKAT DESA BATANG MALAS KECAMATAN TEBING TINGGI BARAT
KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
Triva Ariva NIM. 11170440000076
Dibawah Bimbingan
Dr. Kamarusdiana, M.H NIP. 197202241998031003
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1442 H/2021 M
ii
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Nama : Triva Ariva
NIM : 11170440000076
Tempat/Tanggal Lahir : Bagiangus/ 13 November 1997
Jurusan : Hukum Keluarga
Fakultas : Syariah dan Hukum
Alamat : Jl. Pelajar No. 12, Tebing Tinggi Barat, Kep. Meranti Judul : Perceraian Di Luar Pengadilan Agama Pada
Masyarakat Desa Batang Malas Kecamatan Tebing Tinggi Barat Kabupaten Kepulauan Meranti
Dengan ini menyatakan:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S-1) Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang ada dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti karya ini bukan karya asli saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 26 September 2021
Triva Ariva
iv ABSTRAK
Triva Ariva, NIM 11170440000076. PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA PADA MASYARAKAT DESA BATANG MALAS, KECAMATAN TEBING TINGGI BARAT, KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI. Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 1442 H/2021 M.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan perceraian di luar Pengadilan Agama oleh masyarakat Desa Batang Malas serta jaminan hak-hak anak setelah terjadinya perceraian di luar Pengadilan Agama.
Penelitian ini menggunakan penelitian lapangan (Field Research) dan didukung dengan penelitian pustaka (Library Research). Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan empiris, kenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan teknik analisis data deskriptif kualitatif. Sumber data yang didapatkan berupa sumber data primer dan sumber data sekunder. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian menggunakan wawancara, dan studi kepustakaan.
Hasil penelitian ini menemukan bahwa pelaksanaan perceraian di luar Pengadilan Agama oleh masyarakat Desa Batang Malas disaksikan oleh Imam Masjid dan Rt serta keluarga, saudara juga teman dan ada pula yang tidak disaksikan oleh orang lain tanpa adanya surat keterangan yang ditanda tangani oleh pelaku, saksi dan wali sebagai tanda telah melakukan perceraian di luar Pengadilan Agama. Sedangkan jaminan terhadap nafkah anak setelah terjadinya perceraian di luar Pengadilan Agama beberapa anak tetap mendapatkan hak-haknya setiap bulannya dengan kadar kemampuan ayah, namun ada juga beberapa dari mereka tidak mendapatkan hak- haknya dikarenakan beberapa hal yaitu suami telah menikah lagi, suami pergi jauh merantau dan memilih melupakan tanggung jawabnya, dan sejak awal suami sudah tidak bertanggung jawab terhadap keluarganya. Adapun respon kepala Kantor Urusan Agama (KUA) setempat menyatakan perceraian yang terjadi di luar pengadilan mempunyai dua kedudukan hukum, yaitu sah secara agama dan tidak sah secara negara.
Kata Kunci: Cerai Luar Pengadilan Agama, Hak Anak, Masyarakat Desa Batang Malas
Pembimbing : Dr. Kamarusdiana, M.H Daftar Pustaka : 2020-2021
v
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi merupakan alih aksara melalui tulisan asing (terutama Bahasa Arab) ke dalam tulisan Latin. Pedoman ini diperlukan untuk karya tulis ilmiah yang menggunakan beberapa istilah Bahasa Arab yang belum dapat diakui sebagai kata Bahasa Indonesia atau lingkup yang penggunannya terbatas.
a. Padanan Aksara
Daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara Latin, sebagai berikut:
Huruf Arab Nama Huruf Latin Keterangan
أ Alif ... Tidak dilambangkan
ب Bā' B Be
ت Tā' T Te
ث Śā' Ś Es titik di atas
ج Jim J Je
ح Hā' H{ Ha titik di bawah
خ Khā' Kh Ka dan Ha
د Dal D De
ذ Źal Ź Zet titik di atas
ر Rā' R Er
ز Zai Z Zet
س Sīn S Es
ش Syīn Sy Es dan Ye
ص Şād Ş Es titik di bawah
ض Dād Ḍ De titik di bawah
ط Tā' Ţ Te titik di bawah
ظ Zā' Ẓ Zet titik di bawah
ع ‘Ayn ...’... Koma terbalik (diatas)
غ Gayn G Ge
vi
ف Fā' F Ef
ق Qāf Q Qi
ك Kāf K Ka
ل Lām L El
م Mīm M Em
ن Nūn N En
و Waw W We
ه Hā' H Ha
ء Hamzah ...’... Apostrof
ي Yā Y Ye
b. Vokal
Arti vokal dalam Bahasa Arab sama seperti dalam Bahasa Indonesia, yaitu memiliki vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Ketentuan alih aksara untuk vokal tunggal atau monoftong, sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ــــــَـــــ a Fathah
ـــــِــــــ i Kasrah
ـــــُـــــ u dammah
Ketentuan alih aksara vokal rangkap atau diftong, sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ي ـــــَــــــ Ai a dan i
و ـــــَــــــ Au a dan u
c. Vokal Panjang
vii
Ketentuan alih aksara vokal panjang atau madd dalam Bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
ََاـــــ â a dengan topi di atas
ۑــــــــِـــــــــــــ î i dengan topi di atas وـــــــــــــُــــــــــــــــ ȗ u dengan topi di atas
d. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan huruf alif dan lam (لا), dialihakasarakan menjadi huruf “I” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah atau huruf qomariyyah. Misalnya:
داهتجلاا = al-ijtihâd
ةصخرلا = al-rukhsah, bukan ar-rukhsah e. Tasydîd (Syaddah)
Dalam alih aksara, syaddah atau tasydîd dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya:
ةعفشلا = al-syuf’ah, tidak ditulis asy-syuf’ah.
f. Ta Marbûtah
Jika ta Marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2), maka huruf ta Marbûtah tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta Marbûtah tersebut diikuti dengan kata benda (isim), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “t” (lihat contoh 3)
No Kata Arab Alih Aksara
viii
1 ةعيَرش syarî‘ah
2 ةيمَلاسَلإلاَةعيَشلا al-syarî‘ah al-islâmiyyah 3 بهاذملاَةنراقم muqâranat al-madzâhib g. Huruf Kapital
Huruf kapital digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu diperhatikan jika nama yang didahului dengan kata sandang, maka huruf yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Contoh ىراخبلا = al-Bukhâri tidak ditulis Al-Bukhâri.
Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kata nama tersebut berasal dari bahasa Arab. Misalnya Nuruddin al-Araniri, tidak ditulis Nûr al-Dîn al-Rânîrî.
h. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi’il), kata benda (ism) atau huruf (harf), ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:
No Kata Arab Alih Aksara
1 تاروظحملاَحيبثَةرورضلا Al-darûrah tubîhu al-mahzûrât 2 يملاسلإاَدَاصتقلإا Al-iqtisâd al-islâmî
3 هقفلاَلوصأ Usûl al-fiqh
4 ةحَابلإاَءايشلأاَيفَلصلأا al-‘asl fî al-asyyâ’ al-ibâhah 5 ةلسَرملاَةحلصم لا Al-maslahah al-mursalah
ix
KATA PENGANTAR ميحرلاَنمحرلاَهللاَمسب
َهللاَدمحلا دمحمَانَديسَىلعَىلصَمهللاَهللاَلَوسرَادمحمَانَديسَناَدهشأَوَهللاَلااَهلإَلاَناَدهشَأ
َ
َىلعَو نيعمجاَهبَاحصأَوَهلأ
Puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala limpahan Rahmat, Nikmat, Taufik, serta Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyempurnakan skripsi ini.
Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada yang selalu dirindukan ummatnya, utusan yang paling mulia Nabi Muhammad SAW yang telah membawa dunia ke dalam cahaya Islam yang sempurna.
Penulis sangat bersykur dan bahagia karena masih diberikan umur yang panjang sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir dalam jenjang pendidikan Strata Satu (S1). Tak lupa penulis ucapkan permohonan maaf apabila dalam penulisan skripsi kurang berkenan dihati para pembaca, dan tentunya penulis menyadari bahwa penulis jauh dari kesempurnaan.
Dalam penyelesainnya skripsi yang penulis beri tajuk “Perceraian Di luar Pengadilan Agama Pada Masyarakat Desa Batang Malas Kecamatan Tebing Tinggi Barat Kabupaten Kepulauan Meranti” tidak lepas dari bantuan baik itu support, motivasi, dan doa berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Diri sendiri yang telah mampu bertahan hingga titik ini, berjuang untuk menuntaskan skripsi ini, melawan rasa malas, dan jenuh yang sungguh hebatnya. Terimakasih untuk diri sendiri, Proud of me.
2. Prof. Dr. Amany Lubis, Lc., MA., selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta beserta para Wakil Dekan I, Wakil Dekan II, Wakil Dekan III Fakultas Syariah dan Hukum.
x
4. Dr. Mesraini, M.Ag, selaku Ketua Program Studi Hukum Keluarga dan Bapak Ahmad Chairul Hadi, M.A., selaku Sekertaris Program Studi Hukum Keluarga.
Kepada keduanya yang tak henti-hentinya memberikan support dan motivasi kepada seluruh mahasiswanya.
5. Dosen Pembimbing Skripsi Bapak Dr. Kamarusdiana, M.H., sekaligus dosen Pembimbing Akademik yang selalu sabar memdampingi serta siap sedia memberikan waktu, ilmu dan arahannya dalam proses penyusunan skripsi ini hingga selesai dengan baik.
6. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum, Staf karyawan, dan seluruh Civitas Akademik yang telah memberikan ilmu, waktu, serta pikiran dalam membantu penulis sehingga tercapainya tugas akhir ini.
7. Teristimewa untuk yang tercinta Ibunda Karomah dan Ayahanda Masruha yang selalu memberikan dukungan setiap saat, kedua kakinya yang kuat untuk memberikan materi, mengorbankan seluruh hidupnya untuk mendidik, membesarkan, serta membahagiakan penulis hingga saat ini. Doa yang tiada henti-hentinya dipanjatkan pada yang Maha Kuasa saat sujud untuk anak- anaknya. Keduanya selalu menjadi sumber inspirasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
8. Yang tersayang untuk kakak penulis, Ima Marlina dan Mas Eko yang selalu memberikan semangat disaat datang rasa malas mengerjakan skripsi serta doa yang selalu ia panjatkan disetiap perjalanan hidup penulis.
9. Kepada seluruh teman-teman seperjuangan online penulis yang selalu siap membantu dan siap mendengarkan keluh kesah penulis Fauziyah, Nurul Awalia, Wilda Amalia, Ratu Bilqis, Zaimatul Qistina, Indi Niluvar, Feni Nuraeni, Irma Sholeha, Irwansyah, Faza Khusaini, Nurul Fadhlan, Muhammad Imam Bukhori, dan seluruh teman-teman Hukum Keluarga 2017 yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
10. Kepada seluruh senior yang selalu memberikan dukungan dan semangat yang luar biasa kepada penulis Mhd. Kurnia Putra, SH, Mirwan Asyiqin S.Kom,
xi
Murniati, Lc., M.H semoga selalu diberikan kebahagiaan dalam setiap aktivitas yang dijalani.
11. Seluruh teman-teman organisasi, HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) Hukum Keluarga 2017, IPEMALIS-J (Ikatan Pemuda Mahasiswa Bengkalis-Jakarta) yang telah memberikan pengalaman yang luar biasa dan teman-teman KKN yang mewarnai diakhir semester.
Semoga kebaikan mereka menjadi ladang pahala serta dimudahkan selalu urusannya. Sungguh hanya Allah yang mampu membalas kebaikan mereka dengan kebaikan yang berlipat ganda.
Harapan penulis semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membaca baik dimasa sekarang maupun dimasa yang akan datang. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna oleh karenanya, penulis mengharapkan kritik dan saran guna kesempurnaan skripsi selanjutnya.
Jakarta, 1 September 2021
Penulis
xii DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... i
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ... ii
LEMBAR PERNYATAAN... iii
ABSTRAK... iv
PEDOMAN TRANSLITERASI ... v
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xii
BAB I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 6
C. Pembatasan Masalah... 7
D. Rumusan Masalah ... 7
E. Tujuan Penelitian ... 7
F. Manfaat Penelitian ... 7
G. Kajian Terdahulu ... 8
H. Metode Penelitian ... 11
1. Jenis Penelitian ... 11
2. Pendekatan Penelitian ... 11
3. Sumber Data ... 12
4. Teknik Pengumpulan Data ... 12
5. Teknik Analisis Data ... 13
I. Sistematika Penulisan ... 14
BAB II PERCERAIAN DALAM KAJIAN NORMATIF ... 16
A. Kerangka Konseptual ... 16
1. Pengertian, Dalil dan Rukun Perceraian ... 16
2. Hukum Perceraian ... 19
3. Macam-Macam Perceraian ... 20
4. Akibat Hukum Perceraian ... 25
xiii
B. Kerangka Teori ... 28
1. Teori Keadilan ... 28
2. Teori Efektivitas Hukum ... 30
BAB III PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA DI DESA BATANG MALAS ... 34
A. Sejarah Desa Batang Malas ... 34
1. Letak Geografis ... 35
2. Kondisi Sosiologis ... 36
B. Fenomena Perceraian DI Luar Pengadilan Agama Di Desa Batang Malas ... 39
BAB IV ANALISIS PRAKTIK PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MASYARAKAT DESA BATANG MALAS ... 45
A. Pelaksanaan Perceraian Di Luar Pengadilan Agama Oleh Masyarakat Desa Batang Malas... 45
B. Jaminan Nafkah Anak Setelah Melakukan Perceraian Di Luar Pengadilan Agama ... 51
C. Respon Kantor Urusan Agama (KUA) Setempat Terhadap Perceraian Di Luar Pengadilan Agama ... 56
D. Analisis Penulis ... 58
BAB V PENUTUP ... 62
A. Simpulan ... 62
B. Saran ... 63
DAFTAR PUSTAKA ... 65
LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 70
1
diinginkan setiap pasangan saat memulai membina rumah tangga. Berdasarkan data yang didapat dari Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Tebing Tinggi Barat Kabupaten Kepualaun Meranti menunjukan bahwa sebanyak 352 pasangan telah melangsungkan pernikahannya pada tahun 2019-2021.1 Adapun salah satunya tujuannya adalah menjadi keluarga yang bahagia dan kekal, namun seringkali keinginan tersebut hanyalah tinggal harapan belaka tanpa dapat diwujudkan menjadi kenyataan.2 Hiruk pikuk dalam kehidupan berkeluarga memang tidak pernah terlepas dari problematika rumah tangga, persoalan dalam keluarga yang tidak terselesaikan terkadang harus berakhir dengan perceraian.3 Hal ini didukung dengan adanya data dari Pengadilan Agama Selat Panjang Kabupaten Kepulauan Meranti menunjukan sebanyak 1265 pasangan telah melangsungkan perceraian.4
Perkawinan dilakukan oleh manusia, hewan, bahkan oleh tumbuh-tumbuhan sekalipun.5 Hal tersebut merupakan intuisi yang paling penting dalam masyarakat, eksistensi intuisi ini untuk melegalkan hubungan hukum antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan.6 Berdasarkan hukum positif yang berlaku di Indonesia perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
1 Wawancara bersama petugas KUA Tebing Tinggi Barat, 30 April 2021, 10:05 WIB
2 Vivi hayati, “Dampak Yuridis Perceraian Di Luar Pengadilan (Penelitian di Kota Langsa)”, Samudra Keadilan, X, 2 (Desember, 2015), h. 216.
3 Kamarusdiana dan Daniel Alfaruqi, “Konsep Hukum Penyelesaian Sengketa Harta Bersama Di Indonesia ( Analisis Perkara No. 195/Pdt.2013/PA.Mtr, Putusan No. 04/Pdt.G/2014/PTA. Mtr, dan Putusan No. 629 K/Ag/2014)”, Indo Islamika, VI, 2 (Juli, 2016), h. 263.
4 Wawancara bersama petugas Pengadilan Agama Selat Panjang, 27 April 2021, 12:07 WIB
5 Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, ( Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2009), h., 9.
6 Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana, 2008), h., 99.
2
bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.7 perkawinan yang diikat dengan aqad mitsaqan ghalizhan merupakan salah suatu sarana terbaik yang diberikan Allah guna mewujudkan rasa kasih sayang sesama makhluk dengan harapan dapat melestarikan keberadaan manusia di kehidupan dunia yang akhirnya akan melahirkan keluarga sebagi unit kecil dari kehidupaan manusia.8
Hukum keluarga Islam berfungsi sebagai pengatur mekanisme hubungan timbal balik antara sesama anggota keluarga dalam sebuah keluarga muslim.9 Perkawinan bertujuan memenuhi petunjuk agama Islam dalam rangka membangun rumah tangga yang harmonis dan bahagia.10 Setelah menikah, suami dan istri dianggap siap dalam melakukan peranannya yang positif untuk mewujudkan tujuan dari sebuah perkawinan. 11 Perkawinan sendiri memberikan dampak terhadap seorang pria dan wanita yang sudah melangsungkan pernikahan yaitu timbulnya hak dan kewajiban baik secara lahiriah atau batiniah.12 Hak dan kewajiban tersebut tidak hanya dilaksanakan selama keduanya masih dalam hubungan perkawinan, akan tetapi melekat hingga rumah tangganya telah usai.13 Namun sekalipun tujuan perkawinan sebagaimana yang telah disebutkan, akan tetapi jika melihat fakta yang terjadi menunjukan bahwa tak sedikit perkawinan pasangan suami dan istri yang terpaksa berakhir di tengah jalan yang disebabkan oleh beberapa hal.14
Upaya membentuk perkawinan yang harmonis tak lepas dari kondisi lingkungan serta budaya untuk membina sebuah rumah tangga. Tanpa adanya tujuan yang sama dapat mengakibatkan terjadinya pergesekan dalam proses kehidupan
7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 1
8 Djamal Latief, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), h., 12.
9 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004 Cet. Pertama), h., 31.
10 Yuliatin, “Implementasi Kompilasi Hukum Islam dalam hitungan Talak, Terhadap Cerai Khulu’”, Ar-Risalah, XII, 1 (Juni, 2012), h. 3.
11 Slamet Abidin dan Aminudin, Fiqh Munakahat 1, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h., 9.
12 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana 2008), h., 8.
13 Nurdin Bakri dan Antoni, “Talak diluar Pengadilan Menurut Fatwa MPU Aceh No. 2 Tahun 2015 Tentang Talak”, Samarah, I, 1 (Juli, 2017), h. 53.
14 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam, h., 101.
berkeluarga, yang pada akhirnya dapat menjadi pemicu keretakan dan berakhir dengan perceraian. Meskipun perceraian merupakan perkaran yang di benci oleh Allah namun perbuatannya dihalalkan, sebagaimana suatu riwayat menyebutkan
“Dari Muharib, Rasulullah bersabda: Tidak ada sesuatu yang halal yang sangat dibenci Allah selain talak/cerai. (HR. Sunan Abu Daud, Nomor 2178).”15
Perceraian hanya boleh dilakukan ketika rumah tangga tidak ada harapan untuk rukun kembali.16 Perkawinan diorientasikan sebagai komitmen selamanya dan abadi maka dari itu, untuk menjaga sistem perkawinan terciptalah mekanisme perceraian yang bertujuan agar laki-laki tidak semena-mena menceraikan istri.
Perceraian dapat diminta oleh salah satu pihak atau keduanya guna mengakomodasi realitas-realitas perkawinan yang gagal.17 Hukum islam memberikan solusi bagi istri yang akan menceraikan suaminya melalui jalan khulu’, sebagaimana suami yang akan menceraikan istri dengan cara talak.18
Perceraian merupakan sebuah peristiwa hukum dimana menimbulkan serangkaian akibat-akibat hukum seperti pembagian harta kekayaan yang didapat selama perkawinan.19 Perceraian dapat diartikan sebagai penghapusan suatu ikatan perkwinan yang disebabkan putusan hakim atau karena tuntutan dari salah satu pihak.20 Permohonan cerai talak dilakukan oleh suami dan diajukan ke Pengadilan Agama, sedangkan gugatan perceraian diajukan oleh istri.21
Sebagai negara hukum, Indonesia adalah negara hukum yang tunduk kepada hukum yang bersumber dari hukum Islam, hukum adat, dan sumber hukum yang
15 Iffah Muzammil, Fiqh Munakahat Hukum Pernikahan Dalam Islam, (Tangerang: Tira Smart, 2019), h., 031.
16 Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h., 228.
17 Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, h., 228.
18 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h., 220.
19 Mesraini, “Konsep Harta Bersama Dan Implementasinya Di Pengadilan Agama”, Ahkam, XII, 1 (Januari, 2012), h. 59.
20 Soebekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Inter Massa, 2005, Cet XXI), h., 247.
21 Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, h., 231.
4
berasal dari barat. 22 Kemudian terbentuk hukum positif yang saat ini berlaku di Indonesia. Undang-undang khususnya tentang perceraian jika dikaji bersama cenderung menganut prinsip harus adanya “persaksian” dan “mempersulit perceraian.” Hal tersebut dibuat dan disahkan oleh pemerintah dengan memperhatikan kondisi sosial masyarakat, yang mana masyarakat tersebut membutuhkan akan adanya ketertiban hukum dalam hal perkawinan khususnya perkara perceraian.
Adanya Undang-undang tersebut setidaknya dapat menjadikan perubahan besar bagi warga negaranya untuk memperhatikan dan memahami sesuatu yang telah ada di dalam undang-undang tersebut. Dengan memahami undang-undang tersebut dapat memberikan pemahaman hukum terhadap problematika keluarga dan cara penangannannya sehingga pelanggaran-pelanggaran hukum di dalam dunia hukum setidaknya dapat diminimalisisir. Kesadaran hukum masyarakat dalam hal ketaatannya menjadi tujuan suatu negara dalam membuat dan mengeluarkan ketentuan peraturan unang-undang terutama mengenai ketentuan perkawinan dan perceraian di wilayah hukum negara Republik Indonesia.23
Tujuan dari dilangsungkannya perceraian di depan pengadilan bukan hanya soal administratif saja, mekanisme dan prosedur yang diterapkan melalui Pengadilan Agama dapat memberikan waktu bagi suami dan istri untuk mempertimbangkan kembali terhadap apa yang telah dilakukan, menciptakan sikap toleransi serta saling menghargai dan memahami hak dan kewajiban masing-masing pasangan. 24 Selain itu, perceraian yang dilakukan di depan sidang dapat memberikan kepastian dan keadilan hukum terhadap mantan istri serta anak-anak.
Kewajiban mantan suami terhadap hak-hak mantan istri serta anak-anak dapat
22 Kamarusdiana, “Qanun Jinayat Aceh Dalam Perspektif Negara Hukum Indonesia” Ahkam, XIV, 2 (Juli, 2016), h. 151
23 Dahwadin Dkk, Perceraian dalam Sistem Hukum Di Indonesia, (Jawa Tengah: Mangku Bumi, 2018), h., 21-22.
24 Abdulloh Munir, “Konsep Perceraian Di Depan Sidang Pengadilan Perspektif Maqashid al- Syari’ah Ibnu Asyur”, Ahakim, III, 2 (Juli, 2019), h. 90.
terpenuhi karena mempunyai kekuatan hukum yang tetap yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama. Sedangkan perceraian yang dilakukan di luar Pengadilan Agama menimbulkan lebih banyak permasalahan dibandingkan dengan kebaikan yang didapat, salah satunya pengadilan tidak dapat menjamin hak-hak yang seharusnya didapatkan oleh bekas istri dan anak-anak yang ditinggalkan.
Meskipun undang-undang telah mengatur sedemikian rupa mengenai perceraian, namun masih banyak ditemui beberapa daerah yang masyarakatnya masih belum melaksanakan aturan-aturan tersebut. Bagi sebagian umat islam di Indonesia, prosedur yang mengatur mengenai perceraian dirasakan masih tidak sejalan dengan hukum perundang-udangan yang mengatur, dikarenakan terdapat perbedaan prosedur antara fikih dan undang-undang. Di dalam fikih perceraian yang dilakukan di luar pengadilan sah hukumnya dengan rukun dan syarat yang telah ditetapkan. Sedangkan hukum positif yang ada mengharuskan seseorang yang ingin bercerai untuk melalui proses sidang Pengadilan. Akibat dari perbedaan prosedur yang terdapat di dalam fikih dan undang-undang menimbulkan dualisme di dalam masyarakat,25 dimana kehadiran hukum positif belum sepenuhnya diindahkan oleh sebagian masyarakat muslim di Indonesia.
Salah satu desa yang masih mempraktikkan perceraian di luar Pengadilan Agama yaitu Desa Batang Malas, berdasarkan survey didapati beberapa suami yang menceraikan istrinya di luar Pengadilan Agama, para suami cukup mengatakan “aku jatuhkan talak kepadamu”. Salah satunya adalah guru tilawah di desa ini yang melakukan perceraian tanpa proses sidang Pengadilan Agama.26 Ada pula yang sepakat untuk mengakhiri rumah tangganya karena adanya wanita idaman lain. Para pelaku yang menjatuhkan talak kepada istrinya beranggapan bahwasannya talak tersebut sudah jatuh sehingga setelah kejadian itu baik suami ataupun istri
25 Saiful Millah dan Asep Saepudin Jahar, Dualisme Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Amzah, 2019), h., 91.
26 Wawancara Dengan Bapak Nahrowi, Pelaku Cerai Di Luar Pengadilan Di Desa Batang Malas, 01 April 2021, 17:05 WIB
6
menggagap tugas dan kewajibannya sudah habis. Setelah bercerai pelaku memilih membesarkan anaknya tanpa seorang diri dan ada beberapa dari pelaku yang memilih untuk menikah lagi. 27 Jika ditilik lagi masyarakat Desa Batang Malas lebih berpegang erat pada hukum Islam namun tidak mengabaikan peraturan perundang- undangan yang ada, sehingga perceraian di luar pengadilan di anggap sah karena sudah memenuhi syarat dan rukun dari talak itu sendiri. Hal ini dibuktikan dengan adanya rutinitas wirid yasin setiap malam jumat secara bergilir bagi bapak-bapak dan kaula muda, sedangkan pada hari rabu siang diadakan pengajian bagi ibu-ibu, dan pengajian di malam jumat kliwon pun masih menjadi kegiatan yang ajek dilakoni di desa ini, serta kegiatan lain sebagainya yang bersifat keagamaan. 28
Adanya fakta tersebut menjadikan peneliti tertarik untuk membahasnya dalam penelitian yang berbentuk skripsi dengan judul “Perceraian di Luar Pengadilan Agama Pada Masyarakat Desa Batang Malas Kecamatan Tebing Tinggi Barat Kabupaten Kepulauan Meranti.”
B. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah merupakan beberapa permasalahan yang ada relevansinya dengan tema yang sedang di teliti. Maka peneliti paparkan beberapa diantaranya:
1. Prosedur perceraian yang dilakukan masyarakat Desa Batang Malas.
2. Alasan masyarakat Desa Batang Malas bercerai di luar Pengadilan Agama.
3. Pemahaman masyarakat Desa Batang Malas tentang perceraian yang di jatuhkan diluar Pengadilan Agama.
4. Proses pernikahan yang masyarkat Desa Batang Malas lakukan setelah melakukan perceraian di luar Pengadilan Agama.
5. Tinjauan hukum positif mengenai perceraian yang dijatuhkan di luar Pengadilan Agama.
27 Wawancara Dengan Ibu Nurhidayah, Pelaku Cerai Di Luar Pengadilan Di Desa Batang Malas, 1 April 2021, 16:20 WIB
28 Wawancara Dengan Ibu Rumanah, Warga Desa Batang Malas, 04 Januari 2021, 14:11 WIB
6. Jaminan nafkah terhadap anak-anak setelah melakukan perecraian di luar Pengadilan Agama.
7. Alasan masyarakat Desa Batang Malas memilih bercerai di luar Pengadilan Agama.
8. Respon Kantor Urusan Agama (KUA) terhadap perceraian yang dilakukan di luar Pengadilan Agama.
C. Pembatasan Masalah
Supaya pembahasan ini tidak keluar dari fokus yang diinginkan peneliti, maka peneliti membatasi masalah dalam penelitian ini dengan hanya membahas perceraian yang dilakukan masyarakat Desa Batang Malas Di Luar Pengadilan Agama baik itu cerai talak maupun cerai gugat pada tahun 2019-2021.
D. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pelaksanaan perceraian di luar Pengadilan Agama oleh masyarakat Desa Batang Malas?
2. Bagaimana jaminan nafkah anak setelah melakukan perceraian di luar Pengadilan Agama?
3. Bagaimana respon Kantor Urusan Agama (KUA) setempat terhadap perceraian yang dilakukan di luar Pengadilan Agama?
E. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pelaksanaan perceraian di luar Pengadilan Agama oleh masyarakat Desa Batang Malas.
2. Untuk mengetahui jaminan nafkah anak setelah melakukan perceraian di luar Pengadilan Agama.
3. Untuk mengetahui respon Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) setempat terhadap perceraian yang dilakukan di luar Pengadilan Agama.
F. Manfaat Penelitian 1. Secara Akademis:
8
Penelitian sebagai saran untuk meraih gelar Sarjana Hukum pada Strata 1 Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.
2. Secara Teoritis
1) Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat memberikan kontribusi terhadap ilmu pengetahuan, khususnya pada bidang Hukum Keluarga yang membahas tentang perceraian di luar Pengadilan Agama Pada masyarakat Desa Batang Malas.
2) Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat menjadi sumber rujukan bagi penelitian yang akan datang.
3. Secara Praktis
1) Bagi peneliti: hasil penelitian ini diharapakan dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan pada bidang Hukum Keluarga, khususnya yang berhubungan dengan perceraian di luar Pengadilan Agama Pada masyarakat Desa Batang Malas.
2) Bagi masyarakat: hasil penelitian ini diharapakan dapat memberikan informasi mengenai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perceraian.
3) Bagi pemerintah: hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang berguna ketika menghadapi permasalahan perceraian khususnya yang dilakukan di luar Pengadilan Agama.
G. Kajian Terdahulu
kajian mengenai perceraian yang di lakukan di luar Pengadilan Agama telah banyak di kupas dan di kemas baik dalam bentuk buku, serta karya-karya ilmiah lainnya yang berkaitan dengan perceraian, semua itu di tulis dan di jelaskan dengan sudut pandang dan karakter yang berbada-beda. sebagai fokus dalam penelitian ini, maka peneliti melakukan review terdahulu yakni pada penelitian yang di lakukan:
Pertama, Skripsi dengan “Kedudukan dan Konsekuensi Hukum Talak di Luar Sidang Pengadilan di Indonesia dan Malaysia (Studi Komparatif di Pengadilan
Agama Kota Malang dan Mahkamah Syariah Kuching Sarawak)” yang di tulis oleh Abu Ubaidah Bin Fadzli. Penulis dalam karyanya menyimpulkan bahwasannya Pengadilan Agama Malang tidak mengakui terhadap talak yang terjadi di luar pengadilan, sedangkan Mahkamah Syariah Kuching Sarawak terhadap talak yang dijatuhkan di luar sidang Mahkamah akan di sahkan oleh Mahkamah Syariah Kuching Sarawak setelah melalui beberapa proses persidangan tanpa melalui mediasi. Konsekuensi hukum dari talak di luar Pengadilan Agama Malang bahwa talak harus disaksikan di depan sidang, sementara Mahkamah Syariah Kuching Sarawak menetapkan bahwa semua talak yang dijatuhkan di luar Mahkamah Syariah harus di administrasikan melalui pengesahan talak yang dijatuhkan oleh suami di luar sidang. 29
Kedua, Skripsi yang ditulis oleh Yan Pangestu Arifa dengan tajuk “Talak Melalui Tulisan Menurut Pandangan Wahbah Az-Zuhaili.” Dalam penelitiannya peneliti menuliskan bahwasannya menurut wahbah az-zuhaili talak yang ditulis oleh suami lalu istri membaca dan memahami isi dan maksudnya apabila lafalnya dalam bentuk sharih, dan apabila tidak dibarengi dengan niat maka jatuh talaknya.
Lalu apabila lafalnya dalam bentuk kinayah, dan dibarengi dengan niat maka jatuh talaknya. Apabila lafalnya ditulis dalam bentuk kinayah dan tidak diiringi dengan niat maka talaknya tidak jatuh. Ini semua apabila ditulis memiliki jejak dan bekas, apabila tulisan yang ditulis tidak berbekas maka hukumnya tidak terjadi seperti tulisan di air atau udara.30
Ketiga, skripsi yang di tulis oleh Munandar yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Talak di Luar Pengadilan Agama Pada Masyarakat di Kecamatan Lappariaja Kabupaten Bone.” penulis menyimpulkan bahwasannya dalam konteks hukum Islam memiliki dua status hukum yang berbeda sesuai dengan konteks
29 Abu Ubaidah Bin Fadzli, “Kedudukan dan Konsekuensi Hukum Talak di Luar Sidang Pengadilan di Indonesia dan Malaysia (Studi Komparatif di Pengadilan Agama Kota Malang dan Mahkamah Syariah Kuching Sarawak),” (Fakultas Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, 2018)
30 Yan Pangestu Arifa “Talak Melalui Tulisan Menurut Pandangan Wahbah Az-Zuhaili),”
(Fakultas Syariah, IAIN Purwokerto, 2018),
10
hukum Islam yang berlaku di Indonesia. Dalam lingkup hukum Islam status perceraian yang dilakukan masyarakat kecamatan Lappariaja Kabupaten Bone di luar Pengadilan Agama, ada pertentangan dengan hukum tersebut sehingga di anggap tidak sah. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), perceraian masyarakat Kecamatan Lappariaja Kabupaten Bone yang dilakukan di luar Pengadilan Agama dianggap tidak sah karena tidak sesuai dengan ketentuan perceraian yang diatur dalam KHI dalam Pasal 113 dan Pasal 142.31
Keempat, skripsi dengan judul “Pandangan Hakim Pengadilan Agama Yogyakarta Tentang Status Talak yang Dijatuhkan di Luar Pengadilan” di tulis oleh Chairul Muchlisin. Chairul menjelaskan bahwasannya pandangan hakim Pengadilan Agama Yogyakarta tentang status talak yang di jatuhkan di luar pengadilan tidak lah sah, karena tidak mempunyai legalitas yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama.32
Dalam penelitian ini yang akan di uraikan oleh peneliti adalah tentang proses pelaksanaan perceraian di luar Pengadilan Agama oleh masyarakat Desa Batang Malas, serta terkait jaminan nafkah anak setelah melakukan perceraian di luar Pengadilan Agama, respon Kantor Urusan Agama (KUA) setempat terhadap perceraian yang terjadi di luar Pngadilan Agama serta tempat objek penelitian yang berbeda yang merupakan sebagai pembeda dari pembahasan-pembahasan sebelumnya, dan juga hasil penelitian ini akan di analisis menggunakan teori yang telah tercantum dalam skripsi ini. Selain itu, peneliti juga menemukan fakta bahwa jarak antara Desa Batang Malas dan lokasi pengadilan hanya berkisar 22 Km atau sekitar 15-30 menit yang terbilang dekat dengan Pengadilan Agama. Maka peneliti berniat untuk menelaah lebih dalam terhadap perceraian yang dilakukan di luar pengadilan oleh masyarakat Desa Batang Malas dengan jarak yang terbilang dekat.
31 Munandar, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Talak di Luar Pengadilan Agama Pada Masyarakat di Kecamatan Lappariaja Kabupaten Bone”, (Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Alauddin Makassar 2017),
32 Chairul Muchlisin, “Pandangan Hakim Pengadlan Agana Yogyakarta Tentang Status Talak yang di Jatuhkan di Luar Pengadilan” Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga) 2016,
H. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Adapun jenis penelitian yang peneliti gunakan yakni penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif didefinisikan sebagai suatu pendekatan atau penelusuran untuk mengeksplorasi dan memahami suatu gejala sentral.
Untuk mengetahui gejala sentral tersebut peneliti mewawancarai partisipan dengan mengajukan pertanyaan umum dan agak luas.33 Melalui penelitian kualitatif peneliti dapat mengenali subjek, merasakan apa yang dialami subjek dalam kehidupan sehari-hari. Tujuannya untuk memahami kondisi suatu konteks dengan mengarahkan pada pendeskripsian secara rinci mengenai potret kondisi dalam suatu konteks yang alami tentang apa yang sebenarnya terjadi di lapangan.34 Penelitian ini menggunakan penelitian lapangan dan didukung dengan penelitian kepustakaan. 35
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan empiris merupakan pengetahuan yang didasarkan dari berbagai fakta-fakta yang didapat dari hasil penelitian. Adapun dalam penelitian pendekatan penelitian yang dugunakan adalah pendekatan empiris. 36
Pendekatan sosiologi empiris juga digunakan dalam penelitian ini.
Pendekatan ini merupakan penelitian non doktrinal yang bertitik terhadap data primer, yaitu data yang didapat langsung dari objek penelitian. Dalam artian pendekatan ini menekankan terhadap pencarian jawaban mengenai fenomena sosial yang terjadi terhadap pemberlakukan hukum sehingga akan menjawab pertanyaan signifikan.37
33 J.R. Raco, Metode Penelitian Kualitatif Jenis, Karateristik, dan Keunggulannya, (Jakarta:
PT. Grasindo, 2010), h., 7
34 Farida Nugrahani, Metode Penelitian Kualitatif: Dalam Penelitian Pendidikan Bahasa, (Surakarta: Cakra Books, 2014), h., 4.
35 Yayan Sopyan, Pengantar Metode Penelitian, (Ciputat: 2010), h., 27.
36 Yayan Sopyan, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Buku Ajar, 2010), H., 19.
37 Yayan Sopyan, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Buku Ajar, 2010), H., 32.
12
3. Sumber Data a. Data Primer
Data primer merupakan sumber data yang didapatkan secara langsung dari masyarakat yaitu dengan cara interview.38 Interview dilakukan dengan para pelaku yang melakukan perceraian di luar Pengadilan Agama sebanyak 10 orang diantaranya Ibu Nurhidayah, Ibu Zaemah, Ibu Wiwin, Ibu Siti Walijah, Ibu Rini, Ibu Siti Sarofah, Ibu Zaimah, Ibu Sufiatin, Bapak Nahrowi, dan Bapak Agus Riyanto. Para pelaku yang akan diinterview merupakan masyarakat Desa Batang Malas dan wawancara dilakukan tanpa memperhatikan tingkatan sosial masyarakat.
b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan sumber data yang mencakup dokumen-deokumen resmi seperti buku-buku, hasil penelitian yang berbentuk laporan, buku harian dan seterusnya. Sumber data yang digunakan peneliti dalam penelitiannya adalah dengan cara melakukan studi kepustakaan terhadap buku-buku yang erat kaitannya dengan perceraian, Al-Quran dan Hadist, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Kompilasi Hukum Islam serta tulisan-tulisan lain yang berhubungan dengan penelitian ini.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan
38 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 1986), h., 51.
data. Teknik pengumpulan data dapat dilakukan dengan cara wawancara, dan studi kepustakaan.39
a. Wawancara
Wawancara merupakan salah satu teknik yang digunakan dalam mengumpulka data penelitian.40 Dapat dikatakan bahwa wawancara adalah suatu proses interaksi tentang suatu objek yang akan diteliti antara pewawancara dan orang yang di wawancarai atau sumber informasi melalui komunikasi langsung.41 Dalam penelitian ini peneliti melakukan wawancara langsung kepada masyarakat Desa Batang Malas yang melakukan perceraian di luar pengadilan secara mendalam.
b. Studi Pustaka
Studi ini dilakukan dengan cara mengidentifikasi secara sistematis serta melakukan analisis terhadap tulisan-tulisan yang mencakup informasi yang berhubungan dengan penelitian ini. Studi ini dilakukan dengan cara: Pertama, kepustakaan penelitian yang memuat laporan penelitian yang sudah diterbitkan. Kedua, kepustakaan konseptual memuat artikel, tulisan-tulisan, dan bukun-buku yang ditulis oleh para ahli yang memberikan pendapat, pengalaman, serta teori-teri atau ide-ide. 42
5. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data merupakan proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan dan dokumentasi.43 Adapun analisis data yang akan digunakan ialah metode
39 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2013), h., 224.
40 Muri Yusuf, Metode Penelitian: Kuantitatif, Kualitatif, dan Penelitian Gabungan, (Jakarta:
Kencana, 2014), h., 372.
41 Muri Yusuf, Metode Penelitian: Kuantitatif, Kualitatif, dan Penelitian Gabungan, h., 372.
42 Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Lembaga Penelituan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h., 17-18.
43 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, h., 224.
14
deskriptif kualitatif. Yakni menganalisis dengan cara menguraikan serta mendeskripsikan hasil wawancara yang diperoleh dengan menggunakan kata-kata yang lebih luas namun tidak mengubah maksud dari apa yang di sampaikan saat wawancara, sehingga menghasilkan suatu simpulan yang objektif, logis, konsisten, dan sistematis sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai peneliti.
I. Sistematika Penulisan
Agar penulisan ini lebih terarah dan sistematis dan agar tidak terjadi penyimpangan, maka penulisan ini di atur dalam 5 bab yang setiap babnya mempunyai beberapa sub bab.
Bab pertama merupakan pendahuluan yang berisi hal-hal yang sifatnya mengatur bentuk dan isi skripsi, mulai dari latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian terdahulu, metode penelitian dengan sub pembahasan terdiri dari jenis penelitian, pendekatan penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, dan sistematika penulisan.
Bab kedua adalah pembahasan terkait perceraian dalam kajian normatif. Dalam bab ini menguraikan kerangka konseptual dan kerangka teori. Adapun kerangka konseptual terdiri dari sub pembahasan pengertian, dalil dan rukun perceraian, hukum perceraian, macam-macam perceraian, dan akibat hukum perceraian.
Sedangkan kerangka teori memuat sub pembahasan teori keadilan dan teori efektivitas hukum.
Bab ketiga membahas tentang perceraian di luar Pengadilan Agama di Desa Batang Malas yang memuat tentang sejarah Desa Batang Malas dengan sub pembahasan letak geografis, dan kondisi sosiologis yang membahas pendidikan, agama, ekonomi, dan rutinitas masyarakat Desa Batang Malas. Lalu dilanjut dengan membahas fenomena perceraian di luar Pengadilan Agama di Desa Batang Malas.
Bab keempat di dalam bab ini menguraikan analisis perceraian di luar Pengadilan Agama masyarakat Desa Batang Malas yang terbagi dalamiga sub pembahasan yaitu pelaksanaan perceraian di luar Pengadilan Agama oleh masyarakat Desa Batang Malas, jaminan nafkah anak setelah melakukan perceraian di luar Pengadilan Agama, dan respon Kantor Urusan Agama (KUA) setempat terhadap perceraian yang terjadi di luar Pengadilan Agama.
Bab kelima bab ini merupakan bab terakhir penulisan yang berisikan penutup meliputi simpulan serta saran-saran.
16 BAB II
PERCERAIAN DALAM KAJIAN NORMATIF A. Kerangka Konseptual
1. Pengertian, Dalil, dan Rukun Perceraian
Perceraian dalam bahasa Indonesia berarti “pisah” berasal dari kata “cerai”.44 Menurut istilah perceraian merupakan sebutan untuk melepaskan ikatan pernikahan. Menurut Subekti perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam sebuah perkawinan.45 Dalam fiqh perceraian dikenal dengan istilah “Thalaq” atau
“Furqah.” Thalaq berasal dari kata Al-Ithlaq yang secara bahasa artinya lepasnya ikatan dan pembebasan. Adapun menurut syariat talak ialah lepasnya ikatan pernikahan dengan lafaz thalaq dan yang sejenisnya.46 Sedangkan furqah yakni bercerai yang merupakan lawan kata dari berkumpul. Sedangkan menurut istilah, beberapa definisi mengenai talak yang dikemukakan oleh para ahli fiqh, diantaranya:
Sayyid Sabiq mendefinisikan talak dengan:
َِح
َ ل
ََرَ
َِبَا
َِةََط
َ
َ زلا
َِجاََو
ََوَ
ََِإ
ََهَ ن
َِءا
َ
ََعَ لا
ََلا
َِةَََق
َ
َ زلا
َِجَ و
َ ي
َِة
َ
“Thalaq ialah lepasnya ikatan dan berakhirnya hubungan perkawinan atau hubungan suami istri.”47
Abdu Ar-Rahman Al-Jaziri mengemukakan istilah talak dengan:48
َِإ
ََز
ََلَا
َُة
َِ نلاَ
َِحاََك
َ وَََأ
ََُن
ََصَ ق
َُنا
َِه ِلَحَ
ََِب
ََل
َ ف
َ ظ
ََمَ
َُصَ خ
َ و
َ ص
َ
ََأَ,
َ و
ََرَ
َُعَ ف
َ ي َََق
َ د
َِ نلاَ
َِحاَك
َ وَََأ
َََب
َِضَ ع
َِه
44 Khoirul Abror, Hukum Perkawinan dan Perceraian, (Yogyakarta: Ladang Kata, 2020), h., 161.
45 Soebekti, Pokok-pokok Hukum Perdata,.. h., 42.
46 Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, (T.tp.: Daar al-Fikr, t.th.), h., 318.
47 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Beirut: Dar Al-Kitab Al-Arabi, 1973, cet. Ke-2), Jilid 2, h., 241.
48 ‘Abdu ar-Rahman al-Jaziri, Kitabu al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah Juz IV, Penerjemah Yusuf Sinaga, dkk, (Johor Baru: Perniagaan Jahabersa, 2011, Cet. Pertama), h., 216.
“Hilangnya ikatan perkawinan atau berkurangnya kehalalan perkawinan dengan lafaz khusus, atau menghilangkan perkawinan seluruhnya atau sebagiannya.”
Ulama Syafi’yah menjelaskan talak dengan pernyataan:49
ََح
َ ل
َ يَََق
َِد
َِ نلاَ
َِحاََك
ََِب
ََل
َِظَ ف
َ
ََط
َ قَََلا
ََوَ
َ حَََن
َِو
َِه
“Melepaskan ikatan perkawinan dengan lafaz thalaq dan sejenisnya.”
Dari beberapa pengertian di atas, dapat ditarik simpulan bahwa talak merupakan lepasnya atau hilangnya sebuah ikatan perkawinan dalam rumah tangga dengan lafaz talak atau yang semakna dengan itu. Adapun maksud dari mengurangi pelepasan yaitu berkurangnya bilangan talak yang menjadi hak suami dari semula berjumlah 3 talak menjadi 2 talak. Sedangkan menghilangkan yaitu hilangnya hubungan ikatan perkawinan serta kehalalan antara suami dan istri. Secara umum, masyarakat memahami talak sebagai sebuah perceraian atau perpisahan yang terjadi anatar suami dan istri, sehingga sudah menjadi bahasa sehari-hari bilamana seseorang menyebutkan talak berarti perceraian.50
Adapun dalil tentang diperbolehkannya perceraian adalah berikut:
َُت قَلَطََذِإَ يِب نلاَاَه يَآَي ... مُك ب َرََهللاَا وُق تلاَوََة دِع لاَا وُص حََأَوَ نِهِتَ دِعِلَ نُهَوُقِ لَطَفََءآَسِ نلاَُم
Hai Nabi, Apabila kamu menceraikan istri-istrimu hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertaqwalah kepada Allah
Tuhanmu... (QS. at-Thalaq [65]:1)51 Hadist Nabi Muhammad SAW:52
َنع يبنلاَنعَرمعَنبا
َ ملسوَهيلعَهللاَىلص
َ
َلَاق
ََأَ:
ََضَغ بَ
ََىلََاعَتَِهللاَيَلَِإَِلََلاَح لاَ
َُقََلا طلاَ
َ
49 Saiful Millah dan Asep Saepudin Jahar, Dualisme Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h., 150
50 R.M Dahlan, Fikih Munakahat, (Yogyakarta: Deepublish, 2015), h., 112.
51 Kamarusdiana, Ayat-Ayat Al-Quran Tentang Hukum keluarga, h., 27.
52 Nurhayati dan Ali Imran Sinaga, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media Group, 2018), h., 137.
18
Dari ‘Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda: perbuatan hahal yang sangat dibenci oleh Allah ‘Azza wajalla ialah talak. (HR Sunan Abu Dawud, Kitab at-Thalaq No. 1863)
Untuk terjadinya perceraian, diperlukan rukun. Rukun talak merupakan unsur-unsur pokok yang harus ada dalam perceraian serta terjadinya perceraian tergantung pada lengkapnya unsur-unsur yang dimaksud. Masing-masing rukun harus memenuhi syarat tertentu. Beberapa rukun dan syarat talak yang telah disepakati, yaitu:53
1. Suami, adapun syarat seorang suami agar bisa menjatuhkan talak haruslah seseorang yang telah dewasa, sehat akalnya, serta sadar dan atas kehendaknya sendiri untuk menjatuhkan talak.
2. Istri, perempuan yang akan ditalak masih berada di bawah kekuasaan suami yang akan mentalaknya. Seseorang yang menjatuhkan talak kepada wanita yang belum menjadi istrinya adalah tidak sah, sekalipun pada akhirnya wanita tersebut menjadi istrinya. Hal ini berdasarkan pada Hadist Nabi:
َ:لاقَملسوَهيلعَهللاَىلصَيبنلاَنعَبلَاطَيبأَنبَيلعَنع
ََلا
َ
ََط
ََقَََلا لاََل بَقَ
َِ ن
َِحاَك
Dari Ali b. Abi Thalib, dari Nabi saw bahwasannya beliau bersabda:
tidak ada talak sebelum ada pernikahan. (HR Bukhori Ibnu Majah dan Abu Daud)54
3. Sighat, lafadz yang dipahami sebagai ucapan yang mengandung makna talak (perceraian) baik lafadz tersebut diucapkan dalam bentuk sharih (jelas) ataupun kinayah (sindiran).
4. Saksi, ulama Syi’ah Imamiyah menambahkan keharusan adanya seorang saksi sebagai rukun untuk terjadinya perceraian. Saksi harus hadir dan menyaksikan saat suami mengucapkan talak kepada istrinya. Apabila talaknya tidak dihadiri oleh seorang saksi, maka talak tersebut dinyatakan
53 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h., 202-214.
54 Abu Abdullah Muhammad bin Yazid al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, (Beirut: Dar al-Fikr, 824-827 M), Nomor 2048, h., 353.
belum terlaksana. Adapun saksi disyaratkan harus 2 orang, keduanya adalah laki-laki tidak boleh perempuan maupun campuran, dan saksi tersebut harus adil.55
2. Hukum Perceraian
Adapun hukum melakukan percraian menurut pendapat yang paling shahih (mazhab Hanafi dan Hambali) hukum talak itu dilarang (makruh) kecuali dalam keadaan darurat.56 Sedangkan menurut Jumhur ulama bahwasannya talak diperbolehkan namun sebaiknya tidak dilakukan karena mengandung pemutus rasa dekat kecuali karena ada sebab.57 Akan tetapi dalam keadaan-keadaan tertentu, hukum talak dapat berubah diantaranya sebagai berikut:
1. Wajib, hukum talak menjadi wajib apabila terjadi syiqaq yatu perselisihan suami istri yang terjadi secara terus menerus dan keduanya tidak mungkin untuk rukun kembali, dan kedua pihak memandang perceraian merupakan jalan terbaik untuk mengakhiri persengketaan yang terjadi. Termasuk talak wajib adalah talak dari orang yang melakukan ila’ terhadap istrinya setelah lewat 4 bulan.58
2. Haram, hukum talak menjadi haram ketika dijatuhkan dengan tanpa disertai alasan yang jelas. Talak ini diharamkan karena tidak merugikan salah satu pihak yaitu suami atau istri, serta tidak ada kemaslahatan yang ingin dicapai antara suami dan istri.59
3. Mubah, talak diperbolehkan ketika suami mempunyai alasan untuk mentalak istrinya.60
55 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h., 214.
56 Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenamedia Group, 2016), h., 146.
57 Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, h., 323.
58 Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, h., 249-250.
59 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, h., 5.
60 R.M Dahlan, Fiqh Munakahat, h., 119.
20
4. Sunnah, yaitu apabila istrinya tidak taat terhadap hukum Allah seperti meninggalkan sholat, sementara suami tidak mampu memaksanya.61 5. Makruh, hukum asal dari talak.62
3. Macam-macam Perceraian
Adapun macam-macam perceraian dapat dijabarkan berdasarkan beberapa kategori diantaranya:63
1. Perceraian dilihat dari segi waktu jatuhnya talak:
a. Talak sunny, yaitu talak yang dijatuhkan oleh suami terhadap istrinya sesuai dengan ajaran Sunnah Nabi, dalam KHI pasal 121 juga disebutkan bahwa talak sunni adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut.
b. Talak bid’i, yakni talak yang tidak sesuai dengan ketentuan agama.
Contohnya suami mentalak istri dalam waktu haid atau nifas atau di waktu suci sesudah ia setubuhi.64 Pasal 122 KHI menyebutkan talak bid’i adalah talak yang dilarang.
c. Talak la sunny wa la bid’i, yang termasuk dalam talak ini yaitu:65 (1) Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah
disetubuhi.
(2) Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah haid atau istri yang telah menopause.
(3) Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang hamil.
2. Perceraian dilihat dari segi lafaz yang digunakan suami untuk menjatuhkan talak kepada istrinya. Terbagi menjadi 2 yaitu:
61 Ilfah Muzammil, Fiqh Munakahat Hukum Pernikahan Dalan Islam, h., 131.
62 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h., 201.
63 R.M Dahlan, Fiqh Munakahat, h., 112-117.
64 Nurhayati dan Ali Imran Sinaga, Fiqh dan Ushul Fiqh, h., 140.
65 Khoirul Abror, Hukum Perkawinan dan Perceraian, h., 189.
a. Talak sharih (jelas), yaitu talak yang apabila seorang suami menjatuhkan talak terhadap istrinya dengan menggunakan kata-kata at-thalaq, al-firaq, atau as-sara. Ketiga kata ini adalah jelas artinya yakni menceraikan istri, dengan menggunakan kata-kata tersebut meskipun tidak diiringi dengan niat maka jatuh talaknya secara hukum.66
b. Talak kinayah (sindiran), yaitu talak yang dilakukan oleh suami terhadap istri dengan menggunakan kata-kata selain kata-kata pada lafaz sharih. Jika seorang suami mentalak istri dengan menggunakan lafaz kinayah maka jatuh talaknya apabila disertai dengan niat. Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat bahwasannya bilamana seorang suami menjatuhkan talak secara kinayah terhadap istrinya tanpa maksud untuk mentalak maka talaknya tidak jatuh. Hal ini dikarenakan lafaz kinayah mempunyai makna ganda dan yang dapat menjelaskan makna dari lafaz kinayah itu sendiri adalah niat dan tujuan orang yang mengucapkannya.67 3. Perceraian ditinjau dari segi susunan kata (sighat) yang digunakan
untuk mentalak, terbagi menjadi 2 yaitu:
a. Talak tanjiz yaitu talak yang dijatuhkan suami dengan menggunakan ucapan langsung tanpa dikaitkan pada waktu baik menggunakan ucapan sharih atau kinayah, 68 seperti suami mengucapkan kepada istrinya: “sekarang engkau aku talak!”69 b. Talak ta’liq, yakni talak yang dijatuhkan suami dengan
menggunakan ucapan yang pelaksanaannya digantungkan pada
66 Khoirul Abror, Hukum Perkawinan dan Perceraian, h., 190.
67 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, h., 20.
68 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2007), h., 225.
69 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, h., 29.
22
suatu waktu atau syarat tertentu. 70 Baik bentuk ucapan talaknya sharih ataupun kinayah
seperti ucapan “bila ayahmu pulang dari luar negeri engkau saya talak.” Talak dalam bentuk ini baru terlaksana secara efektif setelah syarat yang digantungkan itu terjadi.71
4. Perceraian dilihat dari segi hak bekas suami atas bekas istrinya setelah suami menjatuhkan talaknya. Ada 2 macam:
a. Talak raj’i, yakni talak yang dijatuhkan suami terhadap istrinya yang memungkinkan mereka berdua untuk kembali bersama (rujuk) sebagai suami istri.72 Allah memperbolehkan talak hanya sampai dua kali agar laki- laki tidak leluasa menceraikan istrinya apabila terjadi perselisihan.73Talak satu dan talak dua masih memungkinkan untuk melakukan rujuk, dalam arti apabila suami sudah mentalak istrinya sampai dua kali, maka ia masih diperbolehkan untuk menjadi suami dari perempuan yang sudah ditalaknya melalui proses rujuk.74 Dasar hukum dari talak raj’i ini adalah Al-Quran Surah Al-Baqarah: 229
ََت رَمَُقََلاَطلَا
ََ نَس حَِإِبٌَحي ِر سَتَ وََأَ فَوُر عَمِبٌَكَاَس مَِإَفَِنَا
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikannnya dengan cara yang baik. (Q.S Al-Baqarah:229)75
70 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, h., 30.
71 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h., 225.
72 Nurhayati dan Ali Imran Sinaga, Fiqh dan Ushul Fiqh, h., 141.
73 Sudarto, Fiqh Munakahat, (Yogyakarta: Deepublish, 2021), h., 107.
74 Sudirman, Pisah Demi Sakinah Kajian Kasus Mediasi Perceraian Di Pengadilan Agama, (Jember: Buku Pustaka Radja, 2018), h., 11.
75 Kamarusdiana, Ayat-Ayat Al-Quran Tentang Hukum Keluarga, h., 25.
b. Talak ba’in, adalah talak yang tidak memungkinkan suami kembali kepada istrinya, kecuali dengan dengan melakukan akad nikah baru.
76 Talak ba’in terbagi menjadi 2 yaitu:
(1) Talak ba’in sughra, yakni talak yang menyebabkan hilangnya hak bekas suami untuk rujuk kepada bekas istrinya tetapi ia dapat menikah kembali dengan akad yang baru tanpa melalui muhallil.77 Adapun yang termasuk dalam kategori talak ba’in sughra adalah:78
a. talak yang dijatuhkan oleh suami terhadap istri yang antara keduanya belum pernah terjadi dukhul (bersetubuh).
b. talak yang dilakukan dengan cara tebusan atau khulu’.
c. talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.79
(2) Talak ba’in kubra, yakni talak yang mengakibatkan hilangnya hak rujuk kepada bekas istri, walaupun kedua bekas suami istri ingin melakukannya baik di waktu iddah atau sesudahnya.80 Hal ini berdasakan pada Al-Quran Surah Al-Baqarah:233. Adapun yang termasuk dalam kategori talak ba’in kubra yaitu talak yang ketiga dari talak-talak yang telah dijatuhkan oleh suami kepada istrinya.81
5. Perceraian dilihat dari segi siapa yang berkehendak untuk melakukan perceraian, ada 3 macam yaitu:82
a. Talak, yakni perceraian yang terjadi atas kehendak suami dengan menggunakan lafaz talak atau yang semakna dengan itu kepada istrinya.
76 Ansari, Hukum Keluarga Islam Di Indonesia, (Yogyakarta: Deepublish, 2020), h., 149
77 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h., 221.
78 Sudarto, Fiqh Munakahat, h., 108.
79 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h., 222.
80 Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, h., 246.
81 R.M Dahlan, Fikih Munakahat, h., 116.
82 R.M Dahlan, Fikih Munakahat, h., 117.