• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROBLEMATIKA HUKUM ATAS LEVERING DARI OBJEK HAK YANG DIBUAT DALAM AKTA JUAL BELI TANAH TESIS. Oleh. MAY LISSA PUTRI BASANA SIANTURI /M.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PROBLEMATIKA HUKUM ATAS LEVERING DARI OBJEK HAK YANG DIBUAT DALAM AKTA JUAL BELI TANAH TESIS. Oleh. MAY LISSA PUTRI BASANA SIANTURI /M."

Copied!
172
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Oleh

MAY LISSA PUTRI BASANA SIANTURI 147011014/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2016

(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

MAY LISSA PUTRI BASANA SIANTURI 147011014/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2016

(3)

Program Studi : KENOTARIATAN

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)

Pembimbing Pembimbing

(Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, MHum) (Dr. Edy Ikhsan, SH, MA )

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof.Dr.Muhammad Yamin,SH,MS,CN) (Prof.Dr.Budiman Ginting,SH,MHum)

Tanggal lulus : 25 Agustus 2016

(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN Anggota : 1. Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, MHum

2. Dr. Edy Ikhsan, SH, MA

3. Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS

4. Dr. Rosnidar Sembiring, SH, MHum

(5)

Nim : 147011014

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : PROBLEMATIKA HUKUM ATAS LEVERING DARI OBJEK HAK YANG DIBUAT DALAM AKTA JUAL BELI TANAH

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama : MAY LISSA PUTRI BASANA SIANTURI

Nim : 147011014

(6)

terjadi beralihnya hak milik atau penyerahan (Levering) atas tanah yang dijual tersebut dan bagaimana keabsahan peralihan itu jika tidak diikuti dengan pendaftarannya serta untuk mengetahui peran PPAT selaku pejabat yang membuat akta jual beli tersebut.Jenis penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif, yang sifatnya deskriptif dan pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan perundang- undangan (statute approahch). Data yang dipergunakan adalah data sekunder berupa yaitu data yang dikumpulkan melalui studi dokumen terhadap bahan kepustakaan, dengan teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustaan (library research).

Analisis data dilakukan dengan pendekatan kwalitatif analisis yang berarti analisis yang dipakai dalam bentuk uraian, dan hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa saat atau momentum beralihnya hak milik atas tanah yang dijual yang sudah terdaftar adalah pada saat setelah ditandatanganinya akta jual beli di hadapan PPAT, dan bukan pada saat dilakukannya balik nama di kantor pertanahan, hal mana dapat menimbulkan persoalan karena selama belum dilakukannya balik nama ke nama pembeli, maka tanah tersebut masih tercatat atas nama pemilik lama (penjual) sehingga pembeli selaku pemilik baru akan mengalami kesulitan didalam mempertahankan haknya apabila ada tuntutan dari pihak ketiga. Oleh karenanya PPAT selaku pejabat yang berwenang membuat akta pengalihan memegang peranan yang penting dalam proses keaabsahan pengalihan hak atas tanah dimaksud.

Dengan demikian disarankan guna tercipta kepastian dan perlindungan hukum bagi pihak pembeli, maka momentum beralihnya hak atas tanah yang dijual kepada pembeli khususnya terhadap tanah yang telah terdaftar, sebaiknya adalah setelah terlaksana balik nama atas sertifikatnya ke nama pembeli yaitu setelah dilakukannya pendaftaran peralihan hak tersebut di Kantor Pertanahan, oleh karenanya disarankan perlu adanya peraturan yang mengatur hal tersebut. Selanjutnya untuk menghindari timbulnya sengketa atau permasalahan dikemudian hari, maka seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah disarankan untuk berhati-hati dalam menjalankan fungsi jabatannya. Dibutuhkan ketelitian dan pemahaman ilmu hukum yang luas, karena seorang PPAT yang lalai dan melanggar ketentuan-ketentuan yang telah diatur tidak saja dapat dikenakan sanksi maupun tuntutan hukum baik pidana maupun perdata akan tetapi dapat berakibat timbulnya kerugian bagi masyarakat yang harus memakai jasa PPAT dalam hal apabila mengadakan jual beli tanah.

Kata Kunci : Penyerahan, Jual Beli dan Akta PPAT

(7)

sale deed which was not followed by a transfer of title (an application) in BPN (National Land Agency)? How about the role and responsibility of a PPAT (Land Title Registrar) as the maker of AJB (Sale Deed) in the conduct of the transfer of the land rights?

The research was normative judicial which was descriptive and used statute approach. The data were secondary data gathered through documentary studies on literature which were collected through library research. The data were analyzed by using qualitative approach which meant that the analysis made in the form of description, namely by interpreting, studying, and assessing all regulations and the legal materials in order to draw a conclusion by using deductive logical reasoning which draws the conclusion from the more general to the more specific.

Article 37 paragraph (1) of Government Regulations No.24/1997 states that every transfer of land title through buy and sell can only be registered if its legal action on the land title transfer has been made in a deed by PPAT. In other words, the title of the land or also called the levering has to be put in a deed. It is clearly stipulated in the Sale Deed made by the PPAT, “Starting from today the title of object of the sale and purchase described in this deed has been transferred to the Second Party and therefore all its advantages from which are gained, and all its disadvantages has become the Second Party’s rights/ responsibility.” It shows that the levering of the object has been judicially carries out; it is called juridische levering in the legal context. However, there is still one legal problem; that as long as the deed by PPAT is not registered yet in accordance with what is stipulated in Article 37 paragraph (1) of Government Regulations No.24/1997, the land titles is not transferred in the name of the buyer yet, either on the Certificate of Land Title or the Land Registrar at the Land Registrar Office; the title is still in the name of the seller. There is also a chance in which the Head of the Land Registrar Office objects the application to the Land Title Transfer because it does not meet all the requirements stipulated by the law. As the official with the authority to make the deed of the land title transfer, the role and responsibility of PPAT determine the transfer of the title from the seller to the buyer; thus, his/her conscientiousness and carefulness is demanded to analyze the truth of all documents and to meet the requirements both formal and material of the title transfer deed so that it can be registered in the Land Registrar and the title can be transferred into the name of the buyer.

Keywords: Transfer, Sale and Purchase and PPAT Deed

(8)

Penulis dapat menyelesaikan Tesis ini yang diberi judul “ PROBLEMATIKA HUKUM ATAS LEVERING DARI OBJEK HAK YANG DIBUAT DALAM AKTA JUAL BELI TANAH”.

Penulisan Tesis ini adalah merupakan salah satu persyaratan guna memperoleh gelar Magister Kenotariatan (MKn) pada Fakultas Hukum USU, dan semoga karya ilmiah ini memberi manfaat tidak saja bagi penulis sendiri tetapi juga bagi rekan-rekan mahasiswa pada Program Magister Kenotariatan dan masyarakat pada umumnya yang tidak terlepas dari perbuatan-perbuatan hukum jual beli tanah.

Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih yang sebesar- besarnya kepada sengenap pihak yang telah memberi dukungan bagi penulis sehingga penulisan tesis ini dapat terlaksana dengan baik dan penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna dan untuk itu penulis secara terbuka menerima masukan-masukan dan kritikan yang bersifat menyempurnakan pengetahuan penulis akan materi yang dibahas. Secara khusus penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, MHum, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara dan segenap Staf dan jajarannya;

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara dan segenap Staf dan jajarannya;

(9)

masukan dan saran dalam penulisan tesis ini;

4. Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, MHum, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberi arahan, masukan dan saran dalam penulisan tesis ini;

5. Bapak Dr. Edy Ikhsan, SH. MA, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberi arahan, masukan dan saran dalam penulisan tesis ini;

6. Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS selaku dosen Penguji;

7. Ibu Dr. Rosnidar Sembiring, SH, MHum selaku dosen Penguji;

Ucapan terimakasih yang setulus-tulusnya kepada Suami tercinta Doniel Ferdinand Hutasoit SH, Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Simalungun, Papa dan Mama (Pantas Sianturi SH,MHum/ Nurhayati Pakpahan), Keluarga Kakanda dan Ponakan (Eva Cristina Sianturi SE/ Donal Purba SE/Nathanael Purba) dan Abanganda Adventus Darma Saputra Sianturi, ST, atas doa dan segala pengorbanannya, kiranya Tuhan Yesus memberkati keluarga tercinta.

Medan, Agustus 2016 Penulis,

MAYLISSA PUTRI BASANA SIANTURI

NIM : 1470110

(10)

2. Tempat, tanggal lahir : Medan

3. Status : Kawin

4. Agama : Kristen

5. Alamat : Jln Setia Budi Psr II Nomor 15 Medan

II. KELUARGA

1. Nama Suami : Doniel Ferdinand Hutasoit,SH 2. Nama Ayah : Pantas Sianturi SH,MHum 3. Nama Ibu : Nurhayati Pakpahan 4. Nama Saudara : Eva Chistina Sianturi SE

: Adventus Darma Saputra Sianturi ST III. PENDIDIKAN

1. SD : SD Anthonius Medan

2. SMP : SMP Negeri I Medan

3. SMA : SMA St.Thomas II Medan

4. S1 : Fakultas Hukum USU

5. S2 : Program Studi Magister Kenotariatan FH USU

(11)

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

BAB I. PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 10

E. Keaslian Penelitian... 11

F. Landasan Teori dan Konseptual... 11

G. Metode Penelitian... 20

1. Sifat Dan Jenis Penelitian ... 21

2. Sumber Data... 22

3. Teknik Pengumpulan Data... 23

4. Analisa Data ... 24

BAB II. TINJAUAN UMUM TERHADAP PENYERAHAN (LEVERING) BERDASAR ALAS HAK (TITEL) PERJANJIAN JUAL BELI ... 26

A. Penyerahan (levering) Sebagai Perbuatan Pengalihan Objek Hak ... 26

1. Pengertian Penyerahan (levering) ... 26

2. Feitelijke Levering dan Juridische Levering... 29

3. Sistem dan Sahnya Penyerahan (Levering)... 31

B. Konsepsi Jual Beli Tanah... 45

(12)

MEMBUAT AKTA PERALIHAN DAN PENDAFTARAN

AKTA PERALIHAN HAK ATAS TANAH ... 63

A. Tentang PPAT... 63

1. Pengertian PPAT... 63

2. Pengangkatan dan Pemberhentian PPAT... 65

3. Fungsi dan Tugas PPAT ... 67

B. Pendaftaran Tanah... 70

1. Pengertian Pendaftaran Tanah ... 70

2. Tujuan Pendaftaran Tanah ... 74

3. Sistim dan Publikasi Pendaftaran Tanah... 78

BAB IV. PROBLEMATIKA HUKUM PERALIHAN HAK MILIK (LEVERING) ATAS TANAH DARI PENJUAL KE PEMBELI 87 A. Masalah Hukum Saat Beralihnya (Levering) Hak Atas Tanah Berdasar Jual Beli ... 87

1. Problema Hukum Saat Beralihnya Hak Atas Tanah Dalam Jual Beli... 87

2. Mekanisme Pengalihan dan Keabsahan Akta Jual Beli sebagai Momentum Peralihan Hak ... 99

B. Keabsahan Peralihan Hak yang Tidak Diikuti Pendaftaran... 124

1. Faktor-faktor yang mengakibatkan Akta Peralihan tidak dapat Didaftar... 124

2. Mekanisme Pendaftaran Peralihan Hak Atas tanah ... 129

C. Peran Dan Tanggung Jawab PPAT Selaku Yang Membuat Akta Peralihan... 134

1. Peran PPAT Selaku Pembuat Akta Peralihan ... 134

2. Tanggung Jawab PPAT terhadap Pembuatan Akta ... 139

(13)
(14)

3. TABEL 3: Pelaksanaan Pembuatan AJB Oleh PPAT dan Dasar Hukumnya.

4. TABEL 4: PPAT Menolak Membuat Akta Peralihan Hak.

(15)

terjadi beralihnya hak milik atau penyerahan (Levering) atas tanah yang dijual tersebut dan bagaimana keabsahan peralihan itu jika tidak diikuti dengan pendaftarannya serta untuk mengetahui peran PPAT selaku pejabat yang membuat akta jual beli tersebut.Jenis penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif, yang sifatnya deskriptif dan pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan perundang- undangan (statute approahch). Data yang dipergunakan adalah data sekunder berupa yaitu data yang dikumpulkan melalui studi dokumen terhadap bahan kepustakaan, dengan teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustaan (library research).

Analisis data dilakukan dengan pendekatan kwalitatif analisis yang berarti analisis yang dipakai dalam bentuk uraian, dan hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa saat atau momentum beralihnya hak milik atas tanah yang dijual yang sudah terdaftar adalah pada saat setelah ditandatanganinya akta jual beli di hadapan PPAT, dan bukan pada saat dilakukannya balik nama di kantor pertanahan, hal mana dapat menimbulkan persoalan karena selama belum dilakukannya balik nama ke nama pembeli, maka tanah tersebut masih tercatat atas nama pemilik lama (penjual) sehingga pembeli selaku pemilik baru akan mengalami kesulitan didalam mempertahankan haknya apabila ada tuntutan dari pihak ketiga. Oleh karenanya PPAT selaku pejabat yang berwenang membuat akta pengalihan memegang peranan yang penting dalam proses keaabsahan pengalihan hak atas tanah dimaksud.

Dengan demikian disarankan guna tercipta kepastian dan perlindungan hukum bagi pihak pembeli, maka momentum beralihnya hak atas tanah yang dijual kepada pembeli khususnya terhadap tanah yang telah terdaftar, sebaiknya adalah setelah terlaksana balik nama atas sertifikatnya ke nama pembeli yaitu setelah dilakukannya pendaftaran peralihan hak tersebut di Kantor Pertanahan, oleh karenanya disarankan perlu adanya peraturan yang mengatur hal tersebut. Selanjutnya untuk menghindari timbulnya sengketa atau permasalahan dikemudian hari, maka seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah disarankan untuk berhati-hati dalam menjalankan fungsi jabatannya. Dibutuhkan ketelitian dan pemahaman ilmu hukum yang luas, karena seorang PPAT yang lalai dan melanggar ketentuan-ketentuan yang telah diatur tidak saja dapat dikenakan sanksi maupun tuntutan hukum baik pidana maupun perdata akan tetapi dapat berakibat timbulnya kerugian bagi masyarakat yang harus memakai jasa PPAT dalam hal apabila mengadakan jual beli tanah.

Kata Kunci : Penyerahan, Jual Beli dan Akta PPAT

(16)

sale deed which was not followed by a transfer of title (an application) in BPN (National Land Agency)? How about the role and responsibility of a PPAT (Land Title Registrar) as the maker of AJB (Sale Deed) in the conduct of the transfer of the land rights?

The research was normative judicial which was descriptive and used statute approach. The data were secondary data gathered through documentary studies on literature which were collected through library research. The data were analyzed by using qualitative approach which meant that the analysis made in the form of description, namely by interpreting, studying, and assessing all regulations and the legal materials in order to draw a conclusion by using deductive logical reasoning which draws the conclusion from the more general to the more specific.

Article 37 paragraph (1) of Government Regulations No.24/1997 states that every transfer of land title through buy and sell can only be registered if its legal action on the land title transfer has been made in a deed by PPAT. In other words, the title of the land or also called the levering has to be put in a deed. It is clearly stipulated in the Sale Deed made by the PPAT, “Starting from today the title of object of the sale and purchase described in this deed has been transferred to the Second Party and therefore all its advantages from which are gained, and all its disadvantages has become the Second Party’s rights/ responsibility.” It shows that the levering of the object has been judicially carries out; it is called juridische levering in the legal context. However, there is still one legal problem; that as long as the deed by PPAT is not registered yet in accordance with what is stipulated in Article 37 paragraph (1) of Government Regulations No.24/1997, the land titles is not transferred in the name of the buyer yet, either on the Certificate of Land Title or the Land Registrar at the Land Registrar Office; the title is still in the name of the seller. There is also a chance in which the Head of the Land Registrar Office objects the application to the Land Title Transfer because it does not meet all the requirements stipulated by the law. As the official with the authority to make the deed of the land title transfer, the role and responsibility of PPAT determine the transfer of the title from the seller to the buyer; thus, his/her conscientiousness and carefulness is demanded to analyze the truth of all documents and to meet the requirements both formal and material of the title transfer deed so that it can be registered in the Land Registrar and the title can be transferred into the name of the buyer.

Keywords: Transfer, Sale and Purchase and PPAT Deed

(17)

A. Latar Belakang

Tanah merupakan bagian harta kekayaan yang sangat penting bagi seseorang, dimana tanah tersebut antara lain dipergunakan untuk bercocok tanam guna memenuhi kebutuhan hidupnya, ataupun guna mendirikan bangunan tempat tinggal, bahkan tanah merupakan tempat peristerahatan terakhir manakala seseorang itu meninggal dunia. Mengingat begitu bermanfaatnya tanah bagi seseorang maka transaksi-transaksi yang menyangkut tanah seperti jual beli boleh dikatakan sangat sering dilakukan ditengah-tengah kehidupan masyarakat.

Dalam transaksi atau perjanjian yang bermaksud untuk memperoleh sesuatu barang atau benda tersebut akan diikuti dengan perbuatan berupa menyerahkan dan menerima atas sesuatu barang atau benda di antara kedua belah pihak perbuatan mana dalam hukum disebut penyerahan atau levering.

Dalam bahasa sehari-hari atau dalam pergaulan di tengah-tengah masyarakat khususnya yang berkaitan dengan hubungan-hubungan hukum maka istilah levering (penyerahan) ini diartikan secara umum yaitu berupa pemindahan penguasaan pisik atas suatu benda tertentu dari seseorang kepada orang lain dalam arti tidak selalu dimaksudkan pemindahan hak kepemilikan atas benda dimaksud. Pengertian yang demikian itu tidak sama persis dengan pengertian menurut hukum perdata, karena dalam pengertian hukum perdata penyerahan (levering) itu dimaksudkan adalah suatu

1

(18)

momentum peralihan hak atas suatu benda dari seseorang kepada orang lain yang menerimanya. Jadi dalam artian hukum bahwa penyerahan (levering) itu tidak semata-mata peralihan penguasaan secara pisik atas suatu benda tetapi yang lebih hakiki adalah dimana penyerahan itu merupakan perpindahan hak kepemilikan atas suatu benda dari seseorang kepada orang lain. Bahkan secara hukum dapat terjadi bahwa dengan penyerahan ini hak kepemilikan atas bendanya telah berpindah dari seorang kepada orang lain tetapi secara pisik benda tersebut masih tetap dipegang (dikuasai) atau belum berpindah karena ada kesepakatan lain diantara kedua belah pihak. Hal ini dalam istilah hukum disebut “Constitutum possessorium”.

1

Penyerahan sebagai perbuatan pengalihan hak milik atas suatu benda dari seseorang pemilik semula kepada orang lain dalam sistim hukum perdata Indonesia dapat ditemukan dasar hukumnya dalam Pasal 584 KUHPerdata.

Pasal 584 KUHPerdata menyatakan:

Hak milik atas sesuatu kebendaan tak dapat diperoleh dengan cara lain, melainkan dengan pemilikan, karena perlekatan, karena daluwarsa, karena pewarisan baik menurut undang-undang maupun menurut surat wasiat dan karena penunjukan atau penyerahan atas suatu peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik, dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas terhadap kebendaan itu.

Dari cara-cara perolehan hak milik yang diatur dalam Pasal 584 KUHPerdata tersebut maka yang terpenting dan bahkan yang sering terjadi di masyarakat cara perolehan hak milik itu adalah dengan cara penyerahan (levering). Bahwa cara-cara

1 H.F.A.Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata Jilid I (Jakarta: CV.Rajawali,1983),hal.

207.

(19)

untuk mendapatkan eigendom dalam Pasal 584, yang terpenting adalah penyerahan dan diatur dalam Pasal 612-618 KUHPerdata.

2

Penyerahan yang sering juga disebut dengan istilah “levering” atau

“overdracht” mempunyai dua arti. Pertama perbuatan yang berupa penyerahan kekuasaan belaka (“feitelijke levering”). Kedua perbuatan hukum yang bertujuan memindahkan hak milik kepada orang lain (juridische levering”)

3

.

Perbuatan penyerahan atas sesuatu benda bukanlah suatu perbuatan yang berdiri sendiri melainkan merupakan suatu perbuatan yang mengikuti perbuatan yang mendahuluinya yang disebut sebagai peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 584 KUHPerdata tersebut di atas yang menyatakan bahwa berdasar atas suatu peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik, dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas terhadap kebendaan itu.

Menurut sistim BW, suatu pemindahan hak terdiri atas dua bagian. Pertama suatu “obligatoire overeenkomst” dan kedua suatu “zakelijke overeenkomst”. Yang dimaksud dengan yang pertama, ialah tiap perjanjian yang bertujuan memindahkan hak itu, misalnya perjanjian jual beli atau pertukaran, sedangkan yang kedua, ialah pemindahan hak itu sendiri.

4

Hak milik atas barang itu belum berpindah kepada sipembeli sepanjang belum dilakukan penyerahan oleh penjual kepada pembeli. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1459 KUHPerdata yang menyebutkan: “Hak milik atas barang yang dijual tidaklah

2H.F.A.Vollmar, Hukum Benda (Bandung: Tarsito,1987), hal. 98.

3R.Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata (Jakarta: PT.Intermasa, 1980), hal.71.

4Ibid, hal. 72.

(20)

berpindah kepada sipembeli, selama penyerahannya belum dilakukan menurut Pasal 612,613 dan 616”. Tahap perbuatan pemindahan hak milik yang disebut penyerahan (levering) yang pada tahap ini pihak-pihak seolah-olah bersepakat lagi yaitu untuk memindahkan hak milik, tahap ini disebut perjanjian kebendaan (zakelijke overeenkomst). Mengingat penyerahan (levering) tersebut adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan hak milik atas sesuatu barang, maka persoalan penyerahan (levering) menjadi sesuatu hal yang menarik untuk dibahas terutama menyangkut momentum saat beralihnya dan keabsahan peralihannya.

Berkaitan dengan tanah sudah ada ketentuan yang mengaturnya yaitu Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disingkat UUPA) dengan tujuan untuk memberikan kepastian hukum dibidang pertanahan, karena sebelum keluarnya UUPA ini di Indoneia berlaku dua sistim hukum di bidang pertanahan yaitu berdasar sistim Hukum Adat dan berdasar sistim Hukum Barat yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Namun sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang diberlakukan tanggal 24 September 1960 maka terciptalah unifikasi hukum dibidang agraria yang juga disebut hukum pertanahan, dimana dalam Pasal 5 UUPA ditegaskan hukum agraria berdasar hukum adat.

Pasal 5 UUPA menyebutkan:

Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum

adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara,

yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta

(21)

dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan -perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.

Dalam pasal tersebut ditegaskan bahwa hukum adatlah yang berlaku bukanlah hukum adat murni, melainkan hukum adat yang tidak boleh bertentangan dengan :

a. kepentingan nasional dan Negara yang berdasarkan persatuan bangsa;

b. sosialisme Indonesia;

c. ketentuan-ketentuan dalam UUPA;

d. peraturan-peraturan lainnya di bidang agraria;

e. dengan unsur-unsur agama.

Dalam ketentuan UUPA tidak banyak diatur mengenai aturan-aturan yang menyangkut jual beli tanah serta aturan-aturan mengenai penyerahan (levering) hak atas tanah tersebut. Dalam Pasal 26 ayat (1) disebutkan: Jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan- perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Dalam UUPA Pasal 23 ayat (1) disebutkan: Hak milik, demikian pula setiap peralihannya, hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam pasal 19.

Pasal 19 UUPA menyatakan :

(22)

1. Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah.

2. Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi : a. Pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah,

b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut,

c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat,

3. Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara dan mayarakat, keperluan lalu lintas sosial dan ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria;

4. Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftran dimaksud dalam ayat (1) diatas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.

Kewajiban pendaftaran tanah yang bertujuan memberikan jaminan kepastian hukum dikenal dengan sebutan Rechts Cadaster/Legal Cadaster.

5

Pendaftaran hak dan pendaftaran peralihan hak atas tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (2) sub b UUPA, merupakan sebagian dari tugas dan wewenang Pemerintah dibidang pendaftaran tanah. Dibidang ini, pendaftaran hak dan pendaftaran peralihan hak dapat dibedakan atas :

1. Pendaftaran hak atas tanah yaitu pendaftaran untuk pertama kalinya atau pembukuan suatu hak atas tanah dalam daftar buku tanah,

2. Pendaftaran peralihan hak atas tanah.

Dengan demikian peralihan hak atas tanah (levering) berdasar jual beli haruslah didaftar di lembaga pendaftaran yang diperuntukkan untuk itu.

5 Urip Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hal. 2.

(23)

Ketentuan tentang pendaftaran tanah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Dimaksudkan dengan pendaftaran tanah disebut dalam Pasal 1 angka (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.

Pasal 1 angka (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang menyebutkan:

Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Pasal 5 disebutkan bahwa Instansi Pemerintah yang menyelenggarakan pendaftaran tanah adalah Badan Pertanahan Nasional (disebut BPN), dan pada pasal 6 ayat (2) disebutkan dalam melaksanakan pendaftaran tanah, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota tidak dapat melaksanakan sendiri, akan tetapi membutuhkan bantuan pihak-pihak lain yaitu Pejabat Pembuat Akta Tanah dan pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut Peraturan Pemerintah ini dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Pejabat lain yang membantu pelaksanaan kegiatan-kegiatan tertentu dalam pendaftaran tanah, adalah pejabat dari kantor lelang, Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf dan Panitia Ajudikasi.

6

6 Ibid, hal.24.

(24)

Ketentuan yang mengatur tentang PPAT diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (disingkat PJPPAT). PPAT adalah Pejabat Umum yang diberi wewenang untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah.

Agar dapat didaftar peralihan hak atas tanah dalam hal ini berdasar jual beli maka peralihan itu harus dibuat dalam akta PPAT sebagaimana diatur dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.

Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menyatakan:

Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Tidak dapat dipungkiri bahwa sampai saat ini masih banyak tanah-tanah yang belum dilakukan pendaftarannya sehingga dapat disimpulkan bahwa tanah dalam konteks UUPA dapat dibedakan atas “tanah terdaftar” dan “tanah tidak/belum terdaftar”.

Sebagaimana dikemukakan bahwa peralihan hak atas tanah (perbuatan

leveringnya) haruslah dibuat dengan akta PPAT, dengan demikian peranan PPAT

dalam peralihan hak atas tanah melalui jual beli memegang peranan yang sangat

penting, oleh karenanya menjadi persoalan yang menarik untuk diteliti tentang peran

dan tanggung jawab PPAT selaku pembuat akta jual beli.

(25)

Bahwa setelah dilakukannya peralihan hak atas tanah yang dibuat dengan akta PPAT, apakah dengan demikian telah terjadi peralihan hak kepemilikan atas tanah tersebut kepada pembeli, sekalipun pendaftaran peralihan hak atas tanah tersebut belum terlaksana di kantor pertanahan dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional dan bagaimana sekiranya Badan Pertanahan menolak pendaftaran dengan alasan misalnya ada syarat yang belum terpenuhi untuk dilakukannya pendaftaran. Oleh karenanya menjadi persoalan yang menarik untuk diteliti bagaimana keabsahan peralihan hak atas tanah yang telah dibuat dalam akta jual beli tetapi akta peralihan itu sendiri belum didaftar dengan kata lain belum dilakukan balik nama atas nama pembeli.

Berdasar uraian diatas penulis tertarik untuk membahas tesis ini yang berjudul

“PROBLEMATIKA HUKUM ATAS LEVERING DARI OBJEK HAK YANG DIBUAT DALAM AKTA JUAL BELI TANAH”

B. Perumusan Masalah.

Berdasar uraian yang dikemukakan dalam latar belakang pemilihan judul tersebut di atas menunjukkan bahwa persoalan penyerahan (levering) dari objek hak yang dibuat dalam akta jual beli tanah adalah sesuatu yang urgen mengingat fungsi penyerahan adalah momentum peralihan hak milik. Oleh karenanya pokok permasalahan yang akan menjadi fokus bahasan dalam tesis ini adalah sebagai berikut:

1. Kapan berpindah/beralih hak atas tanah kepada si Pembeli dalam jual beli

tanah?

(26)

2. Bagaimana keabsahan peralihan hak atas tanah dalam akta jual beli yang tidak diikuti proses balik nama (Pendaftaran) di Badan Pertanahan Nasional (BPN)?

3. Bagaimana peran dan tanggung jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) selaku pembuat Akta Jual Beli (AJB) dalam pelaksanaan peralihan hak atas tanah tersebut?

C. Tujuan Penelitian.

Adapun pembahasan tentang pokok permasalahan tersebut diatas adalah bertujuan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui secara jelas saat (momentum) beralihnya hak atas tanah dari pihak penjual kepada pihak pembeli berdasar alas hak jual beli, sehingga kepastian hukumnya menjadi jelas.

2. Untuk mengetahui secara jelas keabsahan peralihan hak atas tanah yang tidak diikuti proses balik nama (pendaftaran) di Badan Pertanahan Nasional (BPN).

3. Untuk mengetahui secara jelas peranan PPAT dalam pelaksanaan pengalihan hak atas tanah berdasar jual beli.

D. Manfaat Penelitian.

Adapun manfaat penulisan ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara

teoritis maupun secara praktis yaitu menjadi bahan untuk menambah wawasan

(27)

penulis sendiri maupun rekan-rekan mahasiswa sehingga pemahaman akan aspek hukum atas penyerahan (levering) tanah berdasar jual beli menjadi lebih luas. Selain itu pembahasan ini diharapkan dapat memberi manfaat secara praktis bagi masyarakat pada umumnya akan aspek hukum dari penyerahan/pengalihan hak atas tanah berdasar jual beli, mengingat penyerahan di dalam sistim hukum kita merupakan suatu perbuatan hukum yang menentukan beralihnya hak kepemilikan atas suatu benda yang didasarkan pada perjanjian-perjanjian tertentu yang bermaksud untuk memindahkan hak milik atas tanah.

E. Keaslian Penelitian

Berdasar atas pemeriksaan pada perpustakaan, bahwa penulisan tentang pokok masalah yang dikemukakan di atas belum ada yang ditulis oleh rekan-rekan mahasiswa yang telah menyelesaikan tesisnya, dan sekiranyapun ada yang menulis tentang pengalihan/ penyerahan (levering) atas tanah yang dibuat dalam akta jual beli namun pokok masalah yang dibahas kemungkinan berbeda.

F. Landasan Teori dan Konseptual 1. Landasan Teori

Kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis.

Kerangka teori dimakud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, sebagai pegangan baik disetujui atau tidak disetujui.

7

Kerangka teori adalah

7Solly lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian (Bandung: Mandar Maju,1994), hal. 80.

(28)

suatu model yang menerangkan bagaimana hubungan suatu faktor-faktor penting yang telah diketahui dalam suatu masalah tertentu. Arti teori adalah suatu proposisi umum yang saling berkaitan dan digunakan untuk menjelaskan hubungan beberapa variable yang di observasi.

Karena penelitian ini adalah merupakan penelitian yuridis normatif, maka kerangka teori diarahkan secara khas ilmu hukum, yang artinya penelitiaan ini berusaha untuk menggambarkan tentang problematika hukum levering atas tanah yang dibuat dalam akta jual beli.

Oleh karenanya adapun teori yang dipergunakan untuk membahas permasalahan dalam tesis ini yaitu :

1.1. Teori Tujuan Hukum.

Teori tujuan hukum menurut Radbruch adalah hubungan antara keadilan dan kepastian hukum perlu diperhatikan, oleh sebab kepastian hukum harus dijaga demi keamanan dalam Negara, maka hukum positif selalu harus ditaati, pun pula kalau isinya kurang adil, atau juga kurang sesuai dengan tujuan hukum. Tetapi terdapat kekecualian, yakni bila pertentangan antara isi tata hukum dan keadilan menjadi begitu besar, sehingga tata hukum itu nampak tidak adil pada saat itu tata hukum itu boleh dilepaskan

8

. Dengan adanya kepastian hukum, maka tujuan hukum dari hukum yaitu keadilan akan dapat dicapai. Yang utama dari nilai kepastian hukum adalah adanya peraturan itu sendiri. Tentang apakah peraturan itu harus adil dan mempunyai

8 Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah (Yogyakarta: Kanisius, 1982), hal.163.

(29)

kegunaan bagi masyarakat, adalah diluar pengutamaan nilai kepastian hukum.

9

Dalam kaitan dengan levering atau pengalihan hak atas tanah berdasar Akta Jual beli, maka akta jual beli harus dapat memberi tujuan hukum yaitu keadilan bagi para pihak serta adanya kepastian hukum terutama bagi pihak pembeli bahwa hak atas tanah itu telah beralih dan menjadi hak milik pembeli. Teori tujuan hukum dalam penelitian tesis ini dimaksudkan menganalisis perlindungan hukum bagi pihak pembeli atas objek hak yang dibuat dalam akta jual beli tanah. Teori tujuan hukum ini dipergunakan sebagai pisau analisis untuk menjawab permasalahan dalam tesis ini.

1.2. Teori Perjanjian.

Perjanjian dalam bahasa belanda diistilahkan dengan “overeenkomst” dan dalam bahasa inggris diistilahkan dengan “contract” diatur dalam pasal 1313 KUHPerdata

10

. Van Dunne sebagai pencetus teori baru mengartikan perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum

11

. Teori baru tersebut tidak hanya melihat perjanjian semata-mata, tetapi juga harus melihat perbuatan sebelumnya atau yang mendahuluinya.

Ada tiga tahap dalam pembuatan perjanjian menurut teori hukum baru ini, yaitu:

9Gustav Radbruch dalam Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2006), hal.19.

10Tan Tong Kie, Studi Notariat Dan Serba-Serbi Praktek Notaris (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2000), hal.402.

11Handri Raharjo, Hukum Perjanjian Di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009), hal.

42.

(30)

a. Tahap pracontractual yaitu adanya penawaran dan penerimaan.

b. Tahap contractual yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak.

c. Tahap post contractual yaitu pelaksanaan perjanjian

12

Unsur unsur perjanjian menurut teori lama adalah sebagai berikut :

1. Adanya perbuatan hukum,

2. Persesuaian pernyataan kehendak dari beberapa orang, 3. Persesuaian kehendak harus dipublikasikan/dinyatakan,

4. Perbutan hukum terjadi karena kerja sama antara dua orang atau lebih, 5. Pernyataan kehendak (wilsverklaring) yang sesuai harus saling bergantung

satu sama lain,

6. Kehendak ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum,

7. Akibat hukum itu untuk kepentingan yang satu atas beban yang lain atau timbal balik, dan

8. Persesuaian kehendak harus dengan mengigat peraturan perundang- undangan.

13

Rumusan Persetujuan diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata yang menyatakan:

”Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. R.Subekti, mengemukakan bahwa Perjanjian itu adalah suatu peristiwa, dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.

14

Sedangkan R.Wirjono Prodjodikoro, berpendapat perjanjian kini saya artikan sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.

15

Selanjutnya M.Yahya Harahap, berpendapat bahwa perjanjian atau Verbintenis

12Salim H.S., Hukum Kontrak Teori & Tehnik Penyusunan Kontrak, cet VIII (Jakarta: Sinar Grafika, Jakarta, 2011), hal.26.

13Ibid, hal 25.

14R.Subekti, Hukum Perjanjian (Jakarta: PT.Intermasa, 1985), hal. 1.

15R.Wirjono Prodjodikoro,Azas-Azas Hukum Perjanjian (Bandung: Sumur,1985),hal. 15.

(31)

mengandung pengertian : suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.

16

Bertitik tolak dari pengertian perjanjian atau persetujuan yang dirumuskan oleh para sarjana tersebut di atas dapat penulis tarik kesimpulan, bahwa perjanjian itu adalah persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri sehingga menimbulkan hubungan hukum diantara mereka, hubungan hukum mana melahirkan hak dan kewajiban diantara para pihak dan yang terletak dalam lapangan hukum harta kekayaan. Teori Perjanjian dalam tesis ini dimaksudkan sebagai pisau analisis untuk menjawab permasalahan yang dikemukakan diatas.

2. Landasan Konseptual.

Konsepsi adalah salah satu bagian yang terpenting dari teori, peranan konsepsi dalam penelitian ini untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstraksi dan kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal khusus yang disebut defenisi operasional.

17

Problematika berasal dari kata “Problem” yang berarti soal, masalah, teka- teki

18

. Dengan demikian problematika hukum adalah persoalan hukum atau masalah hukum.

16M.Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian (Bandung: Alumni,1985),hal. 6.

17Samadi Suryabrata, Metodologi Penelitian (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), hal. 3.

18Audi C, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Surabaya: Indah,1995), hal .191.

(32)

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan mengemukakan menurut hukum Perdata yang dimaksud dengan penyerahan itu adalah penyerahan suatu benda oleh pemilik atau atas namanya kepada orang lain, sehingga orang lain ini memperoleh hak milik atas benda itu

19

.

Perkataan penyerahan mempunyai dua arti. Pertama perbuatan yang berupa penyerahan kekuasaan belaka (“feitelijke levering”).Kedua perbuatan hukum yang bertujuan memindahkan hak milik kepada orang lain (“juridische levering”).

20

Terdapat 2 (dua) hal yang menjadi syarat utama dari penyerahan tersebut yaitu : 1. bahwa penyerahan itu haruslah berdasar atas suatu peristiwa perdata untuk

memindahkan hak milik dan;

2. dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas atas kebendaan itu.

Peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik tersebut dimaksudkan adalah perbuatan-perbuatan hukum berupa perjanjian yang bermaksud untuk memindahkan hak milik seperti perjanjian jual beli, perjanjian tukar-menukar, perjanjian hibah.

Perbuatan-perbuatan hukum yang demikian inilah yang menjadi dasar atau alas hak pemindahan hak milik. Penyerahan itu harus dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas dimaksudkan bahwa orang yang akan menyerahkan atau mengalihkan hak milik atas sesuatu benda tersebut harus orang yang berhak untuk mengusai benda itu, ini adalah sama sekali sesuai dengan azas bahwa tidak seorangpun dapat

19Soedewi Maschoen Sofwan, Op.cit hal. 67.

20R.Subekti I, Op.cit, hal. 71.

(33)

menyerahkan sesuatu lebih daripada apa yang jadi haknya (ini disebut “nemo plus regal”)

21

.

Oleh karenanya Levering (penyerahan) dalam sistim KUHPerdata adalah merupakan perbuatan hukum pemindahan atau penyerahan hak milik atas benda tersebut. Perbuatan pemindahan hak milik atas benda inilah yang dinamakan tahap zakelijke overeenkomst ataupun disebut perjanjian yang bersifat kebendaa

Mariam Darus Badrulzaman mengemukakan, yang dimaksud dengan perjanjian kebendaan (zakelijke overeenkomst) adalah perjanjian penyerahan benda yang diikuti dengan formalitas tertentu (pendaftaran)

22

. Perjanjian kebendaan (zakelijke overeenkomst) ini tidaklah dimaksudkan menimbulkan perikatan dengan kata lain tidak melahirkan hak dan kewajiban sebagaimana halnya dengan perjanjian obligator (obligatoire overeenkomst) yang melahirkan hak dan kewajiban, melainkan perjanjian kebendaan (zakelijke overeenkomst) ini adalah perbuatan hukum memindahkan hak milik itu sendiri.

H.F.A.Vollmar mengemukakan menurut Hukum Nederland persetujuan saja tidaklah mengakibatkan beralihnya eigendom dan untuk itu (untuk beralihnya eigendom) masih perlu juga penyerahan barangnya, penyerahan mana pada benda- benda bergerak seperti ternyata seringkali berupa pemberian secara nyata-nyata (Jawa: diulungake), tetapi pada benda-benda tak bergerak disyaratkan adanya sebuah akte dan balik nama penyerahan tersebut dalam daftar-daftar umum. Pada kata yang terakhir ini para pihak jadinya seakan-akan sampailah sekali lagi pada suatu persetujuan, yaitu untuk memperalihkan hak eigendom, dan hal ini lantas disebut perjanjian kebendaan (perjanjian zakelijk) berlawanan dengan perjanjian yang mewajibkan (perjanjian yang obligatoir), yaitu suatu perjanjian, dimana penjual

21H.F.A.Vollmar II, Op.cit, hal.95.

22Mariam Darus Badrulzaman , Mencari Sistim Hukum Benda Nasional (Bandung: Alumni, 1983),hal.40.

(34)

hanya mengikat diri untuk penyerahannya saja, pada jual-beli barang tak bergerak senantiasa disebut sebagai kontrak jual-beli-sementara

23

.

Penyerahan di dalam KUHPerdata sering dipakai istilah-istilah lain, tetapi yang mempunyai pengertian yang sama dengan penyerahan, misalnya :

1. Opdracht, 2. Overdracht,

3. Transport ini penyerahan atas benda tak bergerak, 4. Cessie-penyerahaan untuk piutang atas nama, 5. Inbreng-penyerahan dalam hal warisan.

24

Inbreng diartikan sebagai pemasukan (penyerahan) kedalam boedel harta peninggalan yang diberikan kepada ahli waris berupa hibah semasa hidupnya. Yang oleh M.Yamin Lubis

25

, inbreng diartikan juga sebagai pemasukan dalam perusahaan.

26

Adapun yang diartikan dengan jual beli dirumuskan dalam Pasal 1457 KUHPerdata yang menyatakan; “Jual-beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan sesuatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”. Dari bunyi pasal tersebut terlihat bahwa, yang menjadi unsur perjanjian jual beli adalah mengenai barang dan harga, hal ini relevan dengan asas “konsensualisme” yang menjiwai hukum perjanjian dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Perjanjian jual beli itu telah dilahirkan pada detik tercapainya “sepakat” para pihak mengenai barang dan

23H.F.A.Vollmar I, Op.cit, hal. 231.

24Soedewi Maschoen Sofwan, Hukum Benda (Yogyakarta: Liberty, 1981), hal. 68.

25Mhd.Yamin Lubis dan Abd.Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah (Bandung : Mandar Maju, 2012), hal 277.

26Ibid

(35)

harga, maka lahirlah perjanjian jual beli yang sah. Unsur pokok (“essentialia”) perjanjian jual beli adalah barang dan harga.

27

Dalam teori Hukum Adat, jual beli khususnya tanah berbeda dengan teori KUHPerdata yang bersifat obligatoir, dimana menurut hukum adat jual beli tanah itu adalah suatu perbuatan hukum untuk mengalihkan hak atas tanah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam sistim hukum adat tahap obligator dan zakelijknya jatuh pada saat bersamaan. Jual beli tanah menurut hukum adat adalah merupakan suatu perbuatan hukum, yang mana pihak penjual menyerahkan tanah yang dijualnya kepada sipembeli untuk selama-lamanya, pada waktu pembeli membayar harga (walaupun baru sebagian) tanah tersebut kepada penjual sejak itu hak tanah telah beralih dari penjual kepada pembeli.

28

Jual beli tanah menurut Adat harus dilakukan secara : 1) Contant atau tunai.

Contant atau tunai artinya harga tanah yang dibayar itu lunas seluruhnya tetapi bisa juga sebagian. Tetapi biarpun dibayar sebagaian, menurut hukum dianggap telah dibayar penuh. Pembayaran harga dan penyerahan haknya dilakukan pada saat bersamaan. Pada saat itu, jual beli menurut hukum telah selesai. Sisa harga yang belum dibayar dianggap sebagai hutang piutang kepada bekas pemilik tanah (penjual).

2) Terang.

Terang artinya jual beli tanah tersebut dilakukan dihadapan kepala desa (kepala adat) yang tidak hanya bertindak sebagai saksi tetapi dalam kedudukannya sebagai pihak yang menanggung bahwa jual beli tersebut tidak melanggar hukum yang berlaku.

29

27R.Subekti, Aneka perjanjian (Bandung: Alumni,1984), hal. 2.

28K.Wantjik Saleh, Hak atas tanah (Jakarta: Ghalia Indoneia, 1985), hal .30.

29 Effendi Perangin angin, Hukum Agraria Indonesia Suatu Telaah Dari Sudut Pandang Praktis Hukum (Jakarta: Rajawali, 1989), hal. 16.

(36)

Dalam hukum adat hak milik atas tanah yang dijual telah beralih kepada pembeli sejak saat terjadi jual beli dengan demikian jual beli menurut hukum adat adalah perbuatan pemindahan hak milik atas tanah antara penjual dan pembeli.

G. Metode Penelitian

Metode adalah merupakan cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan

30

.

Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan, oleh karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistimatis, metodologi dan konsisten

31

. Dengan demikian metode penelitian adalah upaya ilmiah untuk memahami dan memecahkan suatu permasalahan guna mencapai tujuan penelitian berdasarkan metoda tertentu.

Dalam menyelesaikan suatu permasalahan haruslah dilakukan dengan suatu metoda yang sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas. Dengan metoda yang ditentukan diharapkan dapat memberikan hasil yang baik atas pemecahan suatu masalah yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Agar penelitian tersebut memenuhi syarat keilmuan, maka diperlukan pedoman yang disebut metoda penelitian.

30 Soerjono Soekanto, Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris (Jakarta: Indoneia- Hill,1990), hal. 106.

31 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitiaan Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 1.

(37)

1. Sifat dan Jenis Penelitian.

Berdasar pada pokok permasalahan dan tujuan penelitian yang telah dikemukakan diatas , maka sifat penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah bersifat deskriptif analitis, yang berarti adalah suatu analisis data yang berdasarkan pada teori hukum yang bersifat umum diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data yang lain.

32

Dengan demikian penelitian dalam tesis ini sifatnya hanya menggambarkan keseluruhan keadaan objek yang diteliti yaitu levering atau peralihan hak milik dari objek hak yang dibuat dalam akta jual beli tanah. Penggambaran dimaksud berupa kajian hukum atas aturan-aturan mengenai peralihan hak atas tanah yang dibuat dalam akta jual beli.

Selanjutnya jenis penelitian yang diterapkan adalah mempergunakan metoda pendekatan yuridis normatif (penelitian hukum normatif), yaitu pendekatan yang dilakukan dengan mengadakan penelusuran asas-asas hukum umum, untuk kemudian membuat suatu interpretasi terhadap peraturan hukum umum. Selanjutnya akan dilakukan pengujian hasil interpretasi terhadap teori dan atau prinsip-prinsip hukum umum.

33

Dengan demikian penelitian ini mengacu pada aturan-aturan hukum yang terdapat dalam perundang-undangan yang berlaku sebagai pijakan normatif yang

32Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta: Raja Grafindo Persada,1997), hal.38.

33Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 2005), hal. 52.

(38)

dipergunakan dalam pengalihan (levering) dari hak atas tanah yang dibuat dalam suatu akta jual beli.

2. Sumber data.

Berdasar jenis dan bentuknya, data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Dimana data sekunder tersebut diperoleh melalui sumber kedua, yaitu melalui studi kepustakaan (library research), yaitu dari data-data yang sudah tersedia.

Data sekunder terdiri dari :

a. Bahan hukum primer yaitu berupa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tanah dan jual beli serta peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan jabatan notaris selaku pejabat pembuat akta.

Dalam penulisan tesis ini bahan hukum primer yang akan dipergunakan adalah:

(1). Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

(2). Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria.

(3). Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;

(4). Peraturan Menteri Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor

3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah

Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;

(39)

(5). Peraturan Kepala BPN Nomor 8 Tahun 2012 tentang Perubahan Peraturan Menteri Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;

(6). Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah;

(7). Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akte Tanah.

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer berupa buku-buku kepustakaan, hasil-hasil penelitian dan karya-karya ilmiah lainya yang relevan dengan pembahasan atas permasalahan dalam penelitian ini.

c. Bahan hukum tertier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus.

3. Teknik Pengumpulan Data.

Sebagimana telah dikemukakan bahwa jenis penelitian ini adalah penelitian

hukum normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan

pustaka atau data sekunder belaka, oleh karenanya teknik pengumpulan data yang

dipergunakan dalam penelitian ini adalah melalui studi kepustakaan (library

research). Bahan hukum yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan pertama-

tama dilakukan pemahaman dan mengkaji isinya secara mendalam untuk selanjutnya

(40)

dibuat catatan ssesuai permasalahan yang dikaji baik langsung maupun tidak langsung. Bahan hukum yang relevan dikumpulkan menggunakan teknik sistim kartu (card system)

34

, yaitu dengan menelaah peraturan-peraturan yang relevan, buku-buku atau bahan-bahan bacaan serta karya ilmiah atau tesis dan hasilnya dicatat dengan sistim kartu. Kartu yang disusun berdasarkan topik bukan berdasarkan nama pengarang, hal ini dimaksudkan agar lebih memudahkan dalam penguraian, analisis dan membuat kesimpulan. Studi kepustakaan bertujuan untuk memperoleh konsepsi- konsepsi, teori-teori, pendapat-pendapat ataupun penemuan-penemuan yang berhubungan erat dengan pokok permasalahan yang dibahas.

4. Analisa Data.

Analisa data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipoatesis kerja seperti yang disarankan oleh data.

35

Analisis atau pengolahan data dilakukan secara analisis kwalitatif yang berarti analisis yang dipakai tidak menggunakan angka maupun rumusan statistika dan matematika namun disajikan dalam bentuk uraian, yaitu dengan melakukan analisis dengan cara menginpretasikan, menelaah dan menilai semua peraturan-peraturan dan bahan-bahan hukum yang berkaitan dengan pokok masalah yang dibahas, sehingga pada akhirnya dapat dilakukan penarikan kesimpulan dengan menggunakan logika

34 Amiruddin dan H.Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta:

PT.RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 58.

35Lexy Moleong, Metode Penelitian Kwalitatif (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2002), hal.

101.

(41)

berfikir secara deduktif yaitu penarikan kesimpulan dari yang berifat umum ke yang

bersifat khusus dan dipaparkan secara deskriptif dengan harapan akan tergambar

secara jelas mengenai problematika hukum atas levering dari objek hak yang dibuat

dalam akta jual beli tanah.

(42)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP PENYERAHAN (LEVERING) BERDASAR ALAS HAK (TITEL) PERJANJIAN JUAL BELI

A. Penyerahan (levering) Sebagai Perbuatan Pengalihan Objek Hak 1. Pengertian Penyerahan (Levering)

Penyerahan yang juga diistilahkan “levering”, “overdracht”, “opdracht”

adalah merupakan tindakan atau perbuatan pemindahan hak kepemilikan atas sesuatu barang atau benda dari seseorang kepada orang lain. Namum perlu dipahami bahwa peralihan atau berpindahnya hak atas kekayaan dari seseorang kepada orang lain dapat terjadi dengan titel umum dan titel khusus.

Mr.N.E.Algra & Mr.K.Van Duyvendijk mengemukakan, kekayaan itu mencakup segala hak dan utang. Peralihan suatu kekayaan, keseluruhan “laba dan beban”, disebutkan peralihan di bawah perbuatan perdata (titel) umum.

Apabila hanya sebagian tertentu dari objek kekayaan itu yang pindah, maka hal itu disebut peralihan dibawah titel khusus.

36

Penyerahan adalah merupakan salah satu cara untuk memperoleh hak milik. Hal ini ditegaskan dalam ketentuan Pasal 584 KUHPerdata yang menyatakan; “Hak milik atas sesuatu kebendaan tak dapat diperoleh dengan cara lain, melainkan dengan pemilikan, karena perlekatan, karena daluwarsa, karena pewarisan, baik menurut undang-undang, maupun menurut surat wasiat, dan karena penunjukan atau penyerahan berdasar atas suatu peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik, dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas terhadap kebendaan itu”. Dari

36Mr.N.E.Algra & Mr K.Van Duyvendijk, Pengantar Ilmu Hukum, Terj.J.T.C. Simorangkir, (Bandung: Binacipta,1983), hal .224.

(43)

ketentuan tersebut di atas jelas disebutkan bahwa penyerahan itu merupakan salah satu cara memperoleh hak milik. Bahkan dari berbagai cara memperoleh hak milik yang disebut dalam Pasal 584 KUHPerdata tersebut di atas, maka sesungguhnya cara penyerahan ini merupakan cara yang paling sering terjadi dalam lalu-lintas hukum di tengah-tengah masyarakat. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa penyerahan di dalam KUHPerdata sering dipakai istilah-istilah lain, tetapi mempunyai pengertian yang sama dengan penyerahan, yaitu Opdracht, Overdracht, Transport (penyerahan atas benda tak bergerak), Cessie (penyerahaan untuk piutang atas nama) dan Inbreng (penyerahan dalam hal warisan).

R. Subekti mengemukakan, perkataan penyerahan mempunyai dua arti. Pertama perbuatan yang berupa penyerahan kekuasaan belaka (“feitelijke levering”). Kedua perbuatan hukum yang bertujuan memindahkan hak milik kepada orang lain (“juridische levering”).

37

Perbedaan antara kedua jenis penyerahan tersebut tampak dengan nyata pada benda-benda tidak bergerak, dimana hak milik atas benda tidak bergerak diserahkan atau berpindah dengan dilakukannya pencatatan (overschrijving) akta dalam register umum dengan apa yang disebut akta transport (acte van transport), tetapi terlepas daripada itu terdapat juga penyerahan nyata. Sebaliknya pada benda-benda bergerak penyerahan nyata dan penyerahan yurudis pada umumnya berpadu berupa penyerahan nyata.

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan mengemukakan, menurut hukum Perdata yang dimaksud dengan penyerahan itu adalah penyerahan suatu benda oleh pemilik atau

37R.Subekti I, Op.cit,hal .71.

(44)

atas namanya kepada orang lain, sehingga orang lain ini memperoleh hak milik atas benda itu

38

. Penyerahan (levering) sebagai suatu perbuatan hukum untuk mengalihkan atau memindahkan hak milik oleh seseorang kepada orang lain bukanlah merupakan suatu perbuatan yang berdiri sendiri melainkan perbuatan hukum penyerahan (levering) merupakan tindak lanjut dari suatu perbuatan hukum yang menjadi dasar atau yang disebut sebagai alas hak (titel) dari penyerahan itu.

Dalam hal ini perbuatan hukum yang menjadi dasar atau alas hak (titel) dari penyerahan adalah didasarkan atas persesuaian kehendak yang bermaksud mengalihkan hak milik atas kebendaan itu (obligatoir overeenkomst). Adapun perjanjian-perjanjian obligatoir (obligatoir overeenkomst) yang bertujuan memindahkan hak milik yang diatur dalam KUHPerdata adalah berupa perjanjian jual beli, perjanjian tukar-menukar dan perjanjian hibah.

Dalam Code civil Perancis, kata penyerahan dikenal dengan nama

“Delivrance”, penyerahan yang dilakukan pada perjanjian jual beli, dianggap merupakan penyerahan kekuasaan belaka saja atas sesuatu benda yang dijualnya, karena hak milik atas barang yang dijual menurut Code Civil Perancis telah berpindah kepada pembeli pada saat terjadinya perjanjian jual beli. Berbeda halnya menurut sistim yang dianut oleh KUHPerdata (BW) justru sebaliknya dimana dengan perjanjian jual beli saja belum mengakibatkan berpindahnya hak milik dan untuk itu masih diperlukan perbuatan hukum berupa penyerahan (levering). Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1459 KUHPerdata yang menyebutkan, Hak milik atas barang yang dijual

38Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Op.cit, hal .67.

(45)

tidaklah berpindah kepada si pembeli, selama penyerahannya belum dilakukan menurut Pasal 612, 613 dan 616.

2. Feitelijke Levering dan Juridische Levering

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa dalam sistim KUHPerdata, beralihnya hak milik dari seorang kepada orang lain adalah pada saat dilakukannya penyerahan (levering) atas benda tersebut, bukan pada saat dibuatnya perjanjian yang menjadi alas hak (titel) dari peralihan hak milik tersebut. Dengan kata lain hak milik atas suatu benda belum berpindah saat perjanjian jual-beli atau tukar-menukar ataupun hibah dibuat, melainkan hak milik atas benda tersebut baru berpindah setelah dilakukan penyerahan ( levering). Oleh karenanya penyerahan (levering) adalah seolah-olah para pihak berjanji lagi untuk mengalihkan hak milik atas suatu benda.

Dalam Hukum Perdata (BW), dikenal dua jenis penyerahan yaitu;

1. Penyerahan secara nyata (feitelijke levering) 2. Penyerahan secara hukum (yuridische levering).

Penyerahan secara nyata (feitelijke levering) yaitu perbuatan berupa penyerahan

kekuasaan belaka atau penyerahan secara phisik atas benda yang dialihkan yang

biasanya dilakukan dari tangan ke tangan, kecuali barang yang akan diserahkan itu

berada dalam suatu gudang, maka penyerahannya cukup dilakukan dengan

menyerahkan kunci dari gudang tersebut. Penyerahan secara hukum (yuridische

levering) yaitu perbuatan hukum memindahkan hak milik atas suatu benda dari

seorang kepada orang lain, perbuatan hukum mana dilakukan dengan membuat surat

(46)

atau akta penyerahan yang disebut “akta van transport” dan diikuti pendaftaran di lembaga pendaftaran yang diperuntukkan untuk itu. H.F.A.Vollmar

39

mengemukakan bahwa penyerahan yuridis adalah perbuatan hukum pada mana dan karena mana hak eigendom (atau salah satu hak harta kekayaan lain) diperalihkan. Dari kedua istilah penyerahan ini, yaitu penyerahan secara hukum (yuridische levering) dan penyerahan secara nyata (feitelijke levering), tentunya mempunyai perbedaan antara satu dengan yang lainnya, perbedaan ini akan tampak jelas dalam penyerahan terhadap benda bergerak dan benda tidak bergerak.

Terhadap penyerahan benda bergerak, penyerahan secara nyata (feitelijke levering) dan penyerahan yuridis (yuridiche levering) jatuh pada saat bersamaan, dalam arti dengan dilakukannya penyerahan secara phisik atas benda itu, maka ketika itu telah berpindah hak milik atas benda itu dalam arti telah terjadi penyerahan yuridis (yuridiche levering) dan tidak diperlukan adanya akta van transport atau akta penyerahan, jadi cukup dilakukan secara dari tangan ke tangan. Untuk penyerahan atas benda bergerak dapat dilihat dalam Pasal 612 KUHPerdata yang menyebutkan ;

“Penyerahan kebendaan bergerak, terkecuali yang tak bertubuh, dilakukan dengan penyerahan yang nyata akan kebendaan itu oleh atau atas nama pemilik, atau dengan penyerahan kunci-kunci dari bangunan, dalam mana kebendaan itu berada.

Penyerahan tak perlu dilakukan, apabila kebendaan yang harus diserahkan, dengan alasan hak lain telah dikuasai oleh orang yang hendak menerimanya”.

39H.F.A.Vollmar I, Op.cit, hal.230.

(47)

Penyerahan secara nyata (feitelijke levering) dan penyerahan yuridis (yuridische levering) nampak dalam penyerahan benda tidak bergerak, dimana pemindahan/pengalihan hak milik atas benda tidak bergerak ini tidak cukup dilakukan hanya penyerahan secara nyata kekuasaan atau phisik atas benda tersebut tetapi justru yang menentukan perpindahan hak milik atas benda itu adalah pada penyerahan secara yuridis (yuridische levering) yang dilakukan yaitu dengan cara membuat akta penyerahan yang disebut akta van transport dan didaftar di lembaga pendaftaran yang diperuntukkan untuk itu, misalnya untuk tanah dilakukan balik nama pendaftaran tanah di Badan Pertanahan Nasional.

Untuk penyerahan atas benda-benda yang tidak bergerak, misalnya tanah harus dilakukan dengan mendaftarkan akte jual belinya ke Kantor Kadaster (Kantor Balik Nama), hal ini dapat dilihat dari ketentuan bunyi Pasal 616 KUHPerdata:

“Penyerahan atau penunjukkan akan kebendaan tak bergerak dilakukan dengan pengumuman akan akte yang bersangkutan dengan cara ditentukan seperti dalam Pasal 620”.

3. Sistem dan Sahnya Penyerahan (Levering).

Berkaitan dengan sistem penyerahan (levering) ini dalam berbagai sistem

hukum dikenal apa yang disebut dengan “Causal stelsel” dan “Abstracts stelsel”. Di

dalam stelsel causal maka kekuatan yang berlaku dari penyerahan ditentukan oleh

alas hak atau titel dari penyerahan itu, sedangkan didalam stelsel abstrak maka

(48)

berlakunya penyerahan itu terlepas dari pada apa yang menjadi dasar/ alas hak atau yang menjadi titel dari penyerahan itu.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, Abdul Kadir Muhammad mengemukakan ada dua pendapat atau teori

40

, yaitu :

1. Teori kausal. Menurut teori ini sah atau tidak pemindahan hak milik tergantung pada sah atau tidak alas hak (perjanjian obligator). Jika alas haknya sah, pemindahan hak milik sah. Teori ini diikuti dalam praktek.

Tujuannya untuk melindungi pemilik yang berhak. Penganjur teori ini adalah Paul Scholten.

2. Teori abstrak. Menurut teori ini, sah atau tidak pemindahan hak milik tidak digantungkan pada sah atau tidak alas hak. Jadi pemindahan hak milik dan alas hak itu terpisah sama sekali. Pemindahan hak milik juga sah, walaupun alas haknya tidak sah atau tanpa alas hak. Tujuan teori ini untuk melindungi pihak ketiga yang jujur. Penganjurnya adalah Meyers.

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan mengemukakan bahwa sistem hukum yang terbanyak diikuti ialah yang menganut sistem Code Civil, yaitu perpindahan hak atas barang itu terjadi pada saat penutupan perjanjian sedangkan penyerahan merupakan suatu feitelijke-daad saja

41

yang artinya tindakan nyata pemindahan secara pisik atas penguasaan bendanya.

Pentingnya membicarakan kedua sistem penyerahan (levering) ini karena kedua sistem ini berkaitan dengan keabsahan perbuatan penyerahan (levering) tersebut dikaitkan dengan keabsahan dari perjanjian obligatoir (obligatoir overeenkomst) yang menjadi dasar dari penyerahan dimaksud. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa penyerahan (levering) sebagai suatu perbuatan hukum mengalihkan/memindahkan hak milik bukanlah merupakan perbuatan hukum yang berdiri sendiri melainkan

40Abdul Kadir Muhammad., Hukum Perikatan,(Bandung, Alumni, 1982), hal. 108.

41Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Loc.cit.

Referensi

Dokumen terkait

37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang mengatur bahwa tugas pokok PPAT adalah melaksanakan sebagian pendaftaran tanah dengan membuat

Pengertian PPAT diatur dalam Pasal 1 butir 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pembuat Akta Tanah yang menetukan bahwa pejabat

Akta jual beli menurut Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran tanah harus dibuat oleh PPAT. Untuk mewujudkan adanya suatu kepastian

Tugas PPAT ini diatur dalam Pasal 2 PP Nomor 37 Tahun 1998 yang menyatakan bahwa tugas PPAT adalah melaksanakan sebagaian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat

Sedangkan tugas pokok PPAT sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 adalah melaksanakan sebagian kegiatan

bahwa sesuai ketentuan dalam Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah formasi PPAT untuk setiap daerah kerja

jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT. PPAT khusus adalah Pejabat Badan Pertanahan Nasional yang ditunjuk

Pengaturan mengenai kewenangan serta jabatan apa saja dari PPAT sudah termaktub pada pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 Juncto Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998