• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada acara Sentilan Sentilun Metro TV periode Agustus dan September 2014 sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada acara Sentilan Sentilun Metro TV periode Agustus dan September 2014 sebagai penanda kesantunan berkomunikasi."

Copied!
391
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Melati, Sofylia. 2015. Penggunaan Unsur Intralingual dan Ekstralingual dalam Daya Bahasa dan Nilai Rasa Bahasa pada Acara Sentilan Sentilun Metro TV Periode Agustus dan September 2014 sebagai Penanda Kesantunan Berkomunikasi. Skripsi. Yogyakarta: Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penelitian ini mengkaji tentang jenis daya bahasa dan nilai rasa bahasa serta unsur intralingual dan ekstralingual yang dapat memunculkannya sebagai penanda kesantunan berkomunikasi pada acara Sentilan Sentilun Metro TV. Tujuan penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual yang mampu memunculkan daya bahasa pada acara Sentilan Sentilun Metro TV sebagai penanda kesantunan berkomunikasi, (2) mendeskripsikan penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual yang mampu memunculkan nilai rasa bahasa pada acara Sentilan Sentilun Metro TV sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.

Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa tuturan dalam acara Sentilan Sentilun Metro TV. Data diambil selama bulan Agustus dan September 2014 yang terdiri dari 9 episode. Prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik observasi (simak dan catat). Selain itu, pencatatan observasi dilakukan untuk mengetahui konteks tuturan dan tanda-tanda ketubuhan yang mendukung. Peneliti juga memperoleh video dari youtube, kemudian disimak dan ditranskip untuk mempermudah dokumentasi audiovisual. Setelah itu, barulah data dianalisis baik dari segi verbal maupun non-verbal.

(2)

ABSTRACT

Melati, Sofylia. 2015. The Use of Intralingual and Extralingual of Language Power and Language Sense Value in Sentilan Sentilun Metro TV program on August and September 2014 as Communication unity Marker. Thesis. Yogyakarta: Indonesian Language and Literature Education Study Program, Faculty of Teacher Training and Education, Sanata Dharma University.

The research analyzed intralingual and extralingual elements in language power and language sense value at Sentilan Sentilun Metro TV program as well-mannered communication marker. The goals of the research were (1) Describing the use of intralingual and extralingual elements which were able to appear language power on Sentilan Sentilun Metro TV as well-mannered communication marker, (2) Describing the use of intralingual and extralingual elements which were able to appear language sense value on Sentilan Sentilun Metro TV program as well-mannered communication marker.

This research was a qualitative descriptive research. The researcher used discourses in Sentilan Sentilun Metro TV program as the data of the research. The data was taken on August and September, 2014 which consisted of 9 episodes. The researcher used observation technique to gather the data (listening and writing). Besides, the researcher wrote the observation to know discourse contexts and gestures which supported the research. The researcher got the videos from Youtube to ease audiovisual documentation, and then the researcher listened and transcribed the videos. After that, the researcher analyzed the videos from verbal and non-verbal sides.

(3)

PENGGUNAAN UNSUR INTRALINGUAL DAN EKSTRALINGUAL DALAM DAYA BAHASA DAN NILAI RASA BAHASA

PADA ACARA SENTILAN SENTILUN METRO TV PERIODE AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2014 SEBAGAI PENANDA KESANTUNAN BERKOMUNIKASI

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia

Oleh: Sofylia Melati

111224066

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(4)

i

PENGGUNAAN UNSUR INTRALINGUAL DAN EKSTRALINGUAL DALAM DAYA BAHASA DAN NILAI RASA BAHASA

PADA ACARA SENTILAN SENTILUN METRO TV PERIODE AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2014 SEBAGAI PENANDA KESANTUNAN BERKOMUNIKASI

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia

Oleh: Sofylia Melati

111224066

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(5)
(6)
(7)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan kepada Allah SWT, Orang tuaku, Kakakku, Adikku, serta

(8)

v

MOTO

Berdirilah sendiri di atas kakimu karena hanya dirimulah yang bisa

membuat keadaan berubah menjadi lebih baik.

(9)

vi

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

Nama : Sofylia Melati Nomor Mahasiswa : 111224066

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

“PENGGUNAAN UNSUR INTRALINGUAL DAN EKSTRALINGUAL

DALAM DAYA BAHASA DAN NILAI RASA BAHASA PADA ACARA SENTILAN SENTILUN METRO TV

PERIODE AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2014 SEBAGAI PENANDA KESANTUNAN BERKOMUNIKASI”

Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma baik untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mendistribusikan secara terbatas dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademik tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal 27 Juli 2015 Yang menyatakan,

(10)

vii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 25 Juni 2015 Penulis,

(11)

viii ABSTRAK

Melati, Sofylia. 2015. Penggunaan Unsur Intralingual dan Ekstralingual dalam Daya Bahasa dan Nilai Rasa Bahasa pada Acara Sentilan Sentilun Metro TV Periode Agustus dan September 2014 sebagai Penanda Kesantunan Berkomunikasi. Skripsi. Yogyakarta: Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penelitian ini mengkaji tentang jenis daya bahasa dan nilai rasa bahasa serta unsur intralingual dan ekstralingual yang dapat memunculkannya sebagai penanda kesantunan berkomunikasi pada acara Sentilan Sentilun Metro TV. Tujuan penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual yang mampu memunculkan daya bahasa pada acara Sentilan Sentilun Metro TV sebagai penanda kesantunan berkomunikasi, (2) mendeskripsikan penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual yang mampu memunculkan nilai rasa bahasa pada acara Sentilan Sentilun Metro TV sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.

Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa tuturan dalam acara Sentilan Sentilun Metro TV. Data diambil selama bulan Agustus dan September 2014 yang terdiri dari 9 episode. Prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik observasi (simak dan catat). Selain itu, pencatatan observasi dilakukan untuk mengetahui konteks tuturan dan tanda-tanda ketubuhan yang mendukung. Peneliti juga memperoleh video dari youtube, kemudian disimak dan ditranskip untuk mempermudah dokumentasi audiovisual. Setelah itu, barulah data dianalisis baik dari segi verbal maupun non-verbal.

(12)

ix ABSTRACT

Melati, Sofylia. 2015. The Use of Intralingual and Extralingual of Language Power and Language Sense Value in Sentilan Sentilun Metro TV program on August and September 2014 as Communication unity Marker. Thesis. Yogyakarta: Indonesian Language and Literature Education Study Program, Faculty of Teacher Training and Education, Sanata Dharma University.

The research analyzed intralingual and extralingual elements in language power and language sense value at Sentilan Sentilun Metro TV program as well-mannered communication marker. The goals of the research were (1) Describing the use of intralingual and extralingual elements which were able to appear language power on Sentilan Sentilun Metro TV as well-mannered communication marker, (2) Describing the use of intralingual and extralingual elements which were able to appear language sense value on Sentilan Sentilun Metro TV program as well-mannered communication marker.

This research was a qualitative descriptive research. The researcher used discourses in Sentilan Sentilun Metro TV program as the data of the research. The data was taken on August and September, 2014 which consisted of 9 episodes. The researcher used observation technique to gather the data (listening and writing). Besides, the researcher wrote the observation to know discourse contexts and gestures which supported the research. The researcher got the videos from Youtube to ease audiovisual documentation, and then the researcher listened and transcribed the videos. After that, the researcher analyzed the videos from verbal and non-verbal sides.

(13)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rakmat serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Penggunaan Unsur Intralingual dan Ekstralingual dalam Daya Bahasa dan Nilai Rasa Bahasa Pada Acara Sentilan Sentilun Metro TV

Periode Agustus dan September 2014 sebagai Penanda Kesantunan Berkomunikasi”. Penyusunan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia, pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.

Penulis menyadari bahwa selama penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak sehingga penulis dapat menyelesaikannya dengan lancar. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang selama ini memberikan bantuan, bimbingan, nasihat, motivasi, dorongan, dukungan doa, dan kerja sama yang tidak ternilai harganya dari awal hingga akhir penulisan skripsi ini. Sehubungan dengan dengan hal tersebut, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Rohandi, Ph.D., selaku dekan FKIP Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. 2. Dr. Yuliana Setiyaningsih, selaku Kaprodi PBSI yang telah memberikan

motivasi kepada penulis selama menyelesaikan skripsi.

3. Prof. Dr. Pranowo, M.Pd., selaku dosen pembimbing yang telah banyak mengorbankan waktu, pikiran, kesabaran, tenaga dan motivasi selama membimbing penulis.

4. Seluruh dosen PBSI yang telah memberikan banyak ilmu pengetahuan serta wawasan kepada penulis selama belajar di Prodi PBSI sehingga penulis mempunyai bekal menjadi pengajar yang cerdas, humanis dan profesional. 5. Perpustakaan Universitas Sanata Dharma yang telah menyediakan buku-buku

penunjang selama penulis menyelesaikan skripsi.

(14)

xi

7. Orang tua saya tercinta, Bimo Warsiyatno dan Supraptiningsih yang telah memberikan semangat, doa dan motivasi kepada penulis.

8. Orang tua kedua saya, Cipto Nugroho Hadi Hapsoro dan Veronica Triprihatmini yang telah memberikan semangat, motivasi serta dorongan selama penulis kuliah di PBSI.

9. Kakak dan adikku, Mbak Leony Sheila Tofani, Mas Yudi Prastyadi dan Arga Kartika Aji yang telah memberikan motivasi dan doanya.

10.Penyemangatku, Dwi Santoso yang selalu memberikan dukungan dan doa dari awal hingga akhir penyusunan skripsi.

11.Teman-teman kelompok payung hibah bersaing, Wahyu Nurasih, Maria Retno Purwandani, Agnes Devi Utami, Veranita Ragil Sagita, Antonia Andari, dan Sr. Elisabeth Desi F.D Radja yang telah memberikan semangat, motovasi serta kekompakan yang luar biasa selama menyelesaikan skripsi. 12.Teman-teman PBSI angkatan 2011 yang banyak memberikan informasi,

motivasi serta dukungan kepada penulis.

13.Semua pihak yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Yogyakarta, 25 Juni 2015 Penulis,

(15)

xii DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

MOTO ... v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 7

1.5 Ruang Lingkup Penelitian... 8

1.6 Batasan Istilah ... 8

1.7 Sistematika Penyajian ... 10

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 12

2.1 Penelitian yang Relevan ... 12

2.2 Kajian Teoretis ... 13

2.2.1 Kajian Bahasa Secara Semantik ... 14

2.2.2 Kajian Bahasa Secara Pragmatik ... 15

2.2.3 Unsur Intralingual ... 26

(16)

xiii

2.2.5 Daya Bahasa... 42

2.2.6 Nilai Rasa Bahasa ... 45

2.2.7 Fungsi Komunikatif Berbahasa... 49

2.2.8 Dialog Interaktif ... 55

2.2.9 Kesantunan Berbahasa ... 56

2.3 Kerangka Berfikir ... 61

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 63

3.1 Jenis Penelitian... 63

3.2 Sumber Data dan Data Penelitian ... 63

3.3 Teknik Pengumpulan Data ... 64

3.4 Instrumen Penelitian ... 65

3.5 Teknik Analisis Data... 66

3.6 Trianggulasi Hasil Analisis Data ... 66

BAB IV HASIL ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN ... 68

4.1 Deskripsi Data ... 68

4.2 Hasil Analisis Data ... 70

4.2.1 Analisis Unsur Intralingual dan Ekstralingual dalam Daya Bahasa sebagai Penanda Kesantunan Berkomunikasi ... 71

4.2.1.1 Daya Permintaan ... 72

4.2.1.1.1 Daya Harap ... 72

4.2.1.1.2 Daya Permohonan ... 79

4.2.1.2 Daya Ancam... 81

4.2.1.2.1 Daya Peringatan ... 81

4.2.1.2.2 Daya Kritik Langsung ... 92

4.2.1.2.3 Daya Kritik Tidak Langsung ... 92

4.2.1.2.3.1 Daya Sindir... 99

4.2.1.3 Daya Perintah ... 105

4.2.1.3.1 Daya Suruh... 105

(17)

xiv

4.2.1.3.3 Daya Ajakan... 115

4.2.1.4 Daya Kelakar ... 124

4.2.1.5 Daya Kabar ... 129

4.2.1.5.1 Daya Informatif ... 129

4.2.1.5.2 Daya Ungkap ... 137

4.2.1.5.3 Daya Jelas ... 142

4.2.1.5.4 Daya Banding... 147

4.2.1.5.5 Daya Dukung ... 150

4.2.1.6 Daya Penolakan ... 152

4.2.1.6.1 Daya Protes ... 153

4.2.1.6.2 Daya Bantah ... 155

4.2.1.6.3 Daya Ketidaksetujuan ... 160

4.2.1.7 Daya Pikat ... 163

4.2.1.7. 1 Daya Nasihat ... 163

4.2.1.7.2 Daya Rayuan ... 167

4.2.1.7.3 Daya Saran ... 169

4.2.1.7.4 Daya Bujuk ... 174

4.2.1.8 Daya Dugaan ... 180

4.2.2 Analisis Unsur Intralingual dan Ekstralingual dalam Nilai Rasa Bahasa sebagai Penanda Kesantunan Berkomunikasi ... 182

4.2.2.1 Nilai Rasa Takut ... 184

4.2.2.1.1 Nilai Rasa Khawatir ... 184

4.2.2.1.2 Nilai Rasa Ragu ... 189

4.2.2.1.3 Nilai Rasa Sia-sia ... 195

4.2.2.1.4 Nilai Rasa Curiga ... 197

4.2.2.2 Nilai Rasa Sedih ... 204

4.2.2.2.1 Nilai Rasa Prihatin ... 204

4.2.2.2.2 Nilai Rasa Iba ... 208

(18)

xv

4.2.2.3 Nilai Rasa Gembira ... 215

4.2.2.3.1 Nilai Rasa Berbahagia... 215

4.2.2.3.2 Nilai Rasa Bangga ... 220

4.2.2.3.3 Nilai Rasa Puas ... 222

4.2.2.4 Nilai Rasa Marah ... 224

4.2.2.4.1 Nilai Rasa Jengkel... 225

4.2.2.4.2 Nilai Rasa Tersinggung... 231

4.2.2.4.3 Nilai Rasa Kecewa ... 233

4.2.2.4.4 Nilai Rasa Cemburu ... 238

4.2.2.5 Nilai Rasa Halus ... 243

4.2.2.5.1 Nilai Rasa Hormat... 243

4.2.2.5.2 Nilai Rasa Sopan ... 252

4.2.2.5.3 Nilai Rasa Merasa Terima Kasih ... 259

4.2.2.5.4 Nilai Rasa Merasa Bersyukur ... 264

4.2.2.5.5 Nilai Rasa Sungkan ... 266

4.2.2.6 Nilai Rasa Yakin ... 269

4.2.2.6.1 Nilai Rasa Optimistis ... 270

4.2.2.6.2 Nilai Rasa Mantap... 275

4.2.2.7 Nilai Rasa Simpatik ... 281

4.2.2.7.1 Nilai Rasa Merasa Setuju ... 282

4.2.2.7.2 Nilai Rasa Kagum ... 288

4.2.2.7.3 Nilai Rasa Merasa Peduli ... 294

4.2.2.8 Nilai Rasa Cengang... 296

4.2.2.8.1 Nilai Rasa Kaget ... 296

4.2.2.8.2 Nilai Rasa Heran ... 301

4.2.2.9 Nilai Rasa Merasa Bersalah ... 305

(19)

xvi

4.2.2.11 Nilai Rasa Religius ... 309

4.2.2.12 Nilai Rasa Sombong ... 313

4.2.2.13 Nilai Rasa Serius ... 315

4.2.2.14 Nilai Rasa Kasar ... 317

4.2.2.15 Nilai Rasa Malu ... 321

4.3 Pembahasan ... 323

4.3.1 Penggunaan Unsur Intralingual dan Ekstralingual dalam Daya Bahasa sebagai Penanda Kesantunan Berkomunikasi ... 224

4.3.2 Penggunaan Unsur Intralingual dan Ekstralingual dalam Nilai Rasa Bahasa sebagai Penanda Kesantunan Berkomunikasi .... 330

BAB V PENUTUP ... 340

5.1 Kesimpulan ... 340

5.2 Saran ... 341

DAFTAR PUSTAKA ... 343

LAMPIRAN - LAMPIRAN ... 345

Lampiran 1 Tabel Pengumpulan Data Daya Bahasa... 345

Lampiran 2 Tabel Pengumpulan Data Nilai Rasa Bahasa ... 358

(20)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kemajuan teknologi yang terjadi dewasa ini memudahkan manusia untuk mengakses informasi dari berbagai media. Televisi merupakan salah satu media yang banyak diminati karena selalu menghadirkan acara-acara inovatif yang memberikan informasi sekaligus menghibur khalayak umum. Acara inovatif yang saat ini banyak diminati adalah dialog interaktif atau talk show. Dialog interaktif atau talk show adalah perbincangan dengan tukar-menukar pendapat, dimana pemimpin acara dapat mengatur dan bertindak mengambil peranan aktif tanpa menarik kesimpulan, terkadang acaranya diselingi hiburan oleh peserta atau pemimpin acara itu sendiri (Darmanto,1998:100).

Dialog interaktif atau talk show ini selalu menyuguhkan obrolan ringan seputar topik-topik terhangat. Acara ini dapat dijadikan sebagai ajang penyampaian pikiran, kritikan, maupun himbauan terhadap pihak-pihak terkait dengan topik yang sedang dibicarakan. Adapun senjata utama yang digunakan untuk menyampaikan hal-hal tersebut ialah bahasa. Bahasa yang digunakan dapat berupa bahasa verbal maupun non verbal. Melalui bahasa verbal dan non verbal yang digunakan oleh presenter dan bintang tamu dalam obrolan tersebut, maka akan muncul efek komunikatif yang dapat dirasakan oleh pendengar.

(21)

Sentilun Metro TV diberbagai media sosial seperti facebook (https://www.facebook.com/sentil4n.sentilun) dan tweeter (@Ssentilun). Publik merasa senang dengan acara Sentilan Sentilun karena memberikan informasi dan pemikiran-pemikiran baru dalam menyikapi permasalahan yang melanda Indonesia saat ini. Topik-topik yang diangkat dalam acara tersebut sangat up to date dan selalu menghadirkan bintang tamu dari kalangan profesional.

Acara Sentilan Sentilun menceritakan obrolan antara majikan, pembantu, dan bintang tamu dalam mengkritik kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Acara tersebut dikemas menarik, penuh canda, banyolan, dan mudah dicerna semua kalangan. Celotehan-celotehan presenter dan bintang tamu dalam acara tersebut sekilas memang terlihat biasa, namun sebenarnya mereka ingin menyampaikan suatu maksud tertentu. Misalnya pada saat presenter berbicara

“Marilah kita berlomba-lomba dalam kebaikan, jangan hanya berlomba-lomba memperebutkan jabatan dan kekuasaan!”. Kalimat tersebut mengandung daya

(22)

penonton dapat menyimpulkan daya bahasa dan nilai rasa bahasa dalam tuturan tersebut bila sebelumnya telah mengetahui konteks tuturannya.

Kata-kata yang dikeluarkan oleh presenter maupun bintang tamu tentu menggunakan unsur tertentu dalam berbahasa agar efek komunikatif berbahasa yang ditimbulkan dapat lebih kuat, disamping itu mereka juga mempertimbangkan nilai rasa dan kesantunan dalam setiap tuturan mereka. Unsur tersebut yang disebut dengan unsur intralingual (dalam kebahasaan) dan ekstralingual (luar kebahasaan). Unsur intralingual merupakan unsur di dalam bahasa meliputi bunyi, kata (diksi), frasa, klausa, kalimat, sedangkan unsur ekstralingual merupakan unsur di luar bahasa berupa tanda-tanda ketubuhan dan konteks tuturan (yang dapat dimunculkan melalui fenomena deiksis, tindak tutur, praanggapan, implikatur, latar belakang penutur dan lain sebagainya). Unsur intralingual dan ekstralingual ini saling berhubungan dan tidak dapat dipisahkan.

Tanpa kita sadari saat menyampaikan suatu gagasan, kita menggunakan rangkaian kata dan bahasa tubuh tertentu. Misalnya dalam tuturan berikut:

“Selamat ya, saya ikut berbahagia atas prestasi yang kamu raih”. (Konteks: Mitra tutur berhasil lulus dengan predikat cumlaud. Ekspresi wajah: bahagia).

Tuturan tersebut bermaksud mengucapkan selamat pada mitra tutur perihal keberhasilannya menyelesaikan studi dengan hasil yang sangat baik. Penutur manggunakan kata “selamat” untuk menyatakan perasaan ikut berbahagia.

(23)

penutur. Ekspresi bahagia yang diperlihatkan oleh penutur mengindikasikan perasaan ikut berbahagia.

Penggunaan suatu kata tertentu dalam sebuah tuturan belum tentu mengindikasikan maksud yang sebenarnya. Pada contoh diatas, penggunaan kata

“selamat” sesuai dengan maksud yang disampaikan. Namun, kata “selamat” juga

mampu mengungkapkan maksud yang berbeda. Perhatikan contoh tuturan berikut:

“Selamat ya, kamu sudah berhasil mengacaukan pesta ulang tahunku”.

(Konteks: meja dan kursi berantakan serta banyak sampah berceceran. Ekspresi wajah: sedih).

Tuturan tersebut bermaksud mengungkapkan rasa kecewa penutur karena pesta ulang tahunnya telah dikacaukan oleh mitra tutur. Walaupun tuturan tersebut juga menggunakan kata “selamat”, namun maksud yang ingin disampaikan berbeda dengan contoh sebelumnya. Kata “selamat” digunakan untuk mengungkapkan

rasa kecewa. Tuturan tersebut dapat diketahui maksudnya setelah ada konteks yang menyertainya. Berdasarkan dua contoh diatas, dapat dilihat bahwa konteks sangat berpengaruh terhadap makna dan maksud yang ingin disampaikan oleh penutur. Walaupun kata yang digunakan sama, namun karena berbeda konteksnya maka makna dan maksud yang disampaikan pun menjadi berbeda.

(24)

Daya bahasa merupakan kekuatan yang dimiliki oleh bahasa untuk mengefektifkan pesan yang disampaikan kepada mitra tutur (Pranowo, 2012:128), sedangkan nilai rasa bahasa merupakan kadar perasaan yang terkandung dalam suatu tuturan karena penutur mengungkapkan domain afektifnya menggunakan bahasa dalam berkomunikasi sehingga mitra tutur dapat menyerap kadar perasaan yang terdapat dalam tuturan (Pranowo, 2011:8). Melalui pemilihan aspek kebahasaan dan non-kebahasaan yang tepat, mitra tutur akan lebih memahami maksud tuturan dan tidak akan tersinggung dengan apa yang kita tuturkan. Misalnya pada tuturan berikut:

“Para pendemo itu harus segera amankan”.

(Konteks: Pasukan pengamanan berjaga di pusat kota karena ada demo besar-besaran menolak pemerintahan Pak Harto).

Tuturan tersebut mengandung nilai rasa halus. Penggunaan diksi “diamankan”

terasa lebih halus dibandingkan kata “ditangkap”. Sebenarnya makna kedua kata tersebut sama, namun nilai rasa yang melekat pada kedua kata tersebut berbeda. Penggunaan kata “diamankan” membuat mitra tutur mengira bahwa pendemo tidak akan disakiti. Namun, kita ketahui bersama di era pemerintahan Pak Harto, beliau sangat diktator dan kejam.

(25)

untuk mengidentifikasi unsur intralingual yang mengandung daya bahasa dan nilai rasa bahasa, teori pragmatik digunakan untuk mengidentifikasikan unsur ekstralingual yang mengandung daya bahasa dan nilai rasa bahasa, sedangkan teori kesantunan digunakan untuk menganalisis unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa yang dapat dijadikan sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimanakah penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual untuk memunculkan daya bahasa pada acara Sentilan Sentilun TV sebagai penanda kesantunan berkomunikasi?

2. Bagaimanakah penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual untuk memunculkan nilai rasa bahasa pada acara Sentilan Sentilun Metro TV sebagai penanda kesantunan berkomunikasi?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

(26)

2. Mendeskripsikan penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual yang mampu memunculkan nilai rasa bahasa pada acara Sentilan Sentilun Metro TV sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut. 1. Praktis

(27)

2. Teoretis

Penelitian ini dapat dijadikan sumbangan untuk menghasilkan kajian teori dalam bidang pragmatik dan semantik, khususnya mengenai unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa sebagai penanda kesantunan berkomunikasi, mengingat saat ini belum ada buku yang secara spesifik membahas tentang unsur intralingual dan ektralingual sebagai penanda kesantunan dalam berkomunikasi.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini memiliki lima ruang lingkup diantaranya:

1. Penelitian ini hanya akan mendeskripsikan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa dalam acara Sentilan Sentilun Metro TV sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.

2. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif.

3. Dialog interaktif yang diteliti hanya acara “Sentilan Sentilun” (Metro TV) 4. Waktu penelitian dilaksanakan selama dua bulan, yaitu bulan Agustus sampai

September 2014

1.6 Batasan Istilah

(28)

1. Unsur Intralingual

Merupakan segala unsur kebahasaan yang dapat berupa bunyi, kata, frasa, klausa, dan kalimat (Pranowo, 2013).

2. Unsur Ekstralingual

Unsur ekstralingual merupakan faktor tambahan di luar bahasa verbal yang mendukung maksud suatu tuturan (Sobur, 2004:257). Unsur ekstralingual mencakup konteks tuturan (yang diketahui lewat fenomena implikatur, tindak tutur, praanggapan, deiksis dan latar belakang penutur) dan tanda-tanda ketubuhan (meliputi ekspresi wajah, kontak mata, bahasa tubuh, dan sentuhan).

3. Daya Bahasa

Daya bahasa adalah kekuatan yang dimiliki oleh bahasa untuk mengefektifkan pesan yang disampaikan kepada mitra tutur (Pranowo, 2012:128).

4. Nilai Rasa Bahasa

Nilai rasa bahasa adalah kadar perasaan yang terkandung dalam suatu tuturan karena penutur mengungkapkan domain afektifnya menggunakan bahasa dalam berkomunikasi sehingga mitra tutur dapat menyerap kadar perasaan yang terdapat dalam tuturan (Pranowo, 2013).

5. Dialog Interaktif atau Talk Show

(29)

aktif tanpa menarik kesimpulan, terkadang acaranya diselingi hiburan oleh peserta atau pemimpin acara itu sendiri (Darmanto, 1998:100).

6. Acara Sentilan Sentilun

Sentilan Sentilun merupakan acara dialog interaktif atau talk show di Metro TV yang disajikan dalam bentuk parodi. Meski topik yang dibahasnya adalah topik-topik berat, namun acara Sentilan Sentilun bisa dinikmati siapa saja karena obrolannya terkesan santai. Acara Sentilan Sentilun senantiasa dibumbui dengan humor-humor segar yang menjadikannya unik dan menarik. Acara tersebut tayang setiap hari Senin Pukul 22.30-23.30 WIB. 7. Kesantunan Berkomunikasi

Pengungkapan komunikasi menggunakan tutur kata secara halus dan isi tuturannya memiliki maksud yang ingin diungkapkan dengan mempertimbangkan perasaan mitra tutur. Indikator kesantunan berkomunikasi yang digunakan dalam penelitian ini hanya berdasarkan teori kesantunan Leech (1983) dan Pranowo (2012).

1.7 Sistematika Penyajian

Penelitian ini terdiri dari lima Bab. Bab I dalam penelitian ini berisi pendahuluan. Pada bab tersebut akan diuraikan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian, batasan istilah, dan sistematika penyajian.

(30)

Bab III dalam penelitian ini berisi metodologi penelitian. Bab tersebut akan menguraikan tentang jenis penelitian, sumber data dan data penelitian, teknik pengumpulan data, instrumen penelitian, teknik analisis data, dan trianggulasi hasil analisis data.

Bab IV dalam penelitian ini berisi hasil penelitian dan pembahasan. Pada bab tersebut akan diuraikan mengenai deskripsi data, hasil analisis data penelitian dan pembahasan hasil penelitian.

(31)

12 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Penelitian yang Relevan

Terdapat dua penelitian yang relevan dengan penelitian ini. Penelitian pertama adalah milik Qonita Fitra Yuni (2009) dan penelitian kedua milik Dini Suryani (2013).

Penelitian Qonita Fitra Yuni (2009) berjudul Pemanfaatan Daya Bahasa pada Diksi Pidato Politik. Di dalam penelitian tersebut disimpulkan bahwa ditemukan beberapa jenis daya bahasa yang ada dalam pidato politik (K.H Abdurrahman Wahid, Amien Rais, dan Megawati Soekarnoputri). Kemampuan menggunakan bahasa Indonesia dan segala kekuatannya dapat digunakan untuk berbagai kepentingan oleh siapa saja, diantaranya para tokoh politik. Mereka memanfaatkan daya bahasa pada diksi untuk berbagai keperluan, seperti membujuk, mempengaruhi, mengkritik, membangkitkan semangat, atau bahkan memprovokasi. Hal itu membuktikan bahwa sebuah kata mempunyai kekuatan yang tinggi dalam komunikasi (Yuni,2006: 150). Peneliti menemukan beberapa daya bahasa pada pidato politik, yaitu daya bujuk, daya egosentrisme, daya „jelas‟

informatif, daya perintah, dan daya provokatif. Selain jenis daya bahasa, peneliti juga menemukan ciri-ciri yang menandai berbagai jenis daya bahasa yang ditemukan.

(32)

Oktober dan November 2012. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat nilai rasa bahasa pada Acara Mata Najwa, Metro TV. Ada 18 jenis nilai rasa yang ditemukan dalam dialog interaktif tersebut, yaitu nilai rasa halus, nilai rasa kasar, nilai rasa sehat, nilai rasa takut, nilai rasa yakin, nilai rasa heran, nilai rasa merasa bersalah, nilai rasa sedih, nilai rasa bahagia, nilai rasa marah, nilai rasa menerima, nilai rasa cinta, nilai rasa benci, nilai rasa tertekan, nilai rasa pesimis, nilai rasa bebas, nilai rasa malu, dan nilai rasa bosan (Suryani, 2013:100). Selain jenis nilai rasa bahasa, peneliti juga menemukan ciri-ciri diksi yang menandai berbagai jenis nilai rasa bahasa yang ditemukan. Peneliti juga mengambil kesimpulan bahwa bahasa yang digunakan dalam dialog interaktif di televisi banyak menggunakan tuturan yang mengandung nilai rasa dan jenis nilai rasa yang paling banyak adalah nilai rasa halus.

Perbedaan kedua penelitian di atas dengan penelitian ini terletak pada bidang kajian dan objek yang akan dikaji. Penelitian ini akan mengkaji tentang unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa yang ada dalam tuturan-tuturan presenter dan bintang tamu sebagai penanda kesantunan berkomunikasi. Objek yang digunakan dalam penelitian ini juga berbeda, yaitu acara Sentilan Sentilun periode Agustus sampai September 2014. Penelitian yang membahas mengenai kajian dan objek tersebut secara spesifik belum pernah dilakukan sebelumnya.

2.2 Kajian Teoretis

(33)

linguistik dengan kajian bahasa dari sudut pandang semantik dan pragmatik. Kedua teori tersebut dipakai untuk memecahkan masalah yang bekaitan dengan unsur intralingual dan ekstralingual. Teori semantik digunakan untuk memecahkan masalah yang bersifat intralingual, sedangkan teori pragmatik digunakan untuk memecahkan masalah yang bersifat ekstralingual. Kedua teori tersebut dipakai sebagai ancangan untuk mengidentifikasi serta mendeskripsikan unsur intralingual dan ekstralingual daya bahasa dan nilai rasa bahasa. Setelah unsur intralingual dan ekstralingual tersebut ditemukan, kemudian dianalisis menggunakan teori kesantunan untuk menentukan santun tidaknya tuturan tersebut dalam suatu tindak komunikasi. Kajian teoritis yang digunakan adalah sebagai berikut.

2.2.1 Kajian Bahasa secara Semantik

(34)

Makna yang terdapat dalam suatu tuturan dapat memunculkan daya bahasa dan nilai rasa bahasa. Perlu diingat bahwa makna merupakan substansi paling penting dalam kajian intralingual. Suatu bunyi, kata, frasa, klausa, dan kalimat tanpa dimaknai, maka tidak akan menjadi unsur intralingual yang mampu memunculkan daya bahasa dan nilai rasa bahasa. Misalnya pada tuturan berikut:

“Saya sudah hidup sebatangkara sejak kecil”.

Tuturan tersebut memiliki makna bahwa penutur sudah terbiasa hidup sendiri karena sudah tidak mempunyai orang tua dan sanak saudara. Tuturan tersebut menimbulkan rasa kasihan dan iba yang dirasakan oleh mitra tutur.

2.2.2 Kajian Bahasa secara Pragmatik

Pragmatik merupakan ilmu tentang bahasa yang membahas tentang maksud yang ingin disampaikan penutur kepada mitra tutur. Menurut Yule (2006:5), pragmatik adalah studi tentang hubungan antara bentuk-bentuk linguistik dan pemakai bentuk-bentuk itu. Pragmatik banyak kita temukan dalam setiap percakapan. Pendapat Yule tersebut didukung oleh Nadar (2009:2) yang mengungkapkan bahwa pragmatik merupakan cabang ilmu linguistik yang mempelajari bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi dalam situasi tertentu.

Berdasarkan pendapat beberapa ahli diatas, dapat disimpulkan pragmatik merupakan kajian ilmu linguistik yang membahas hubungan antara bentuk-bentuk lingusitik dan pemakainya dalam percakapan dengan tujuan menyampaikan maksud tertentu dan melibatkan situasi/ konteks tertentu.

(35)

memungkinkan penutur dan mitra tutur untuk dapat berinteraksi, dan membuat ujaran mereka dapat dipahami. Pendapat ini didukung oleh Halliday dan Hassan (dalam Rani, 2006:188) yang menyebutkan bahwa yang dimaksud konteks adalah teks yang menyertai teks lain.

Berdasarkan pendapat kedua ahli tersebut, dapat disimpulkan konteks adalah suatu hal yang menyertai sebuah tuturan agar dapat diketahui maksudnya oleh penutur maupun mitra tutur. Hal tersebut tidak hanya yang dilisankan dan dituliskan, tetapi termasuk pula kejadian-kejadian yang bukan kata-kata lainnya dalam keseluruhan lingkungan teks maupun tuturan tersebut. Tanpa konteks yang menyertai tuturan tersebut, kita tidak dapat mengetahui maksud penutur. Letak konteks disini sangat penting untuk mengetahui maksud dibalik suatu tuturan. Apabila maksud suatu tuturan ini dapat tersampaikan dengan baik, maka dapat dikatakan bahwa efek komunikatif yang dihasilkan oleh tuturan tersebut berhasil.

Yule (2006:13-81) serta Brown dan Yule (1996:38), mengungkapkan bahwa konteks dapat diketahui melalui berbagai aspek pragmatik yang meliputi (1) praanggapan, (2) tindak tutur, (3) implikatur, (4) deiksis, (5) referensi, (6) inferensi dan (7) latar belakang penutur. Secara terperinci, ketujuh aspek pragmatik yang digunakan untuk memunculkan konteks akan diuraikan sebagai berikut.

1) Praanggapan

(36)

adalah sesuatu yang diasumsikan oleh penutur sebagai kejadian sebelum menghasilkan suatu tuturan. Bila penutur memiliki pranggapan yang sama dengan mitra tutur, maka tidak mungkin terjadi miskomunikasi. Misalnya saat penutur mengatakan:

“SBY mengunjungi korban jatuhnya pesawat Hercules”.

Praanggapan yang terkandung dalam tuturan diatas adalah presiden ikut bersimpati pada korban jatuhnya pesawat Hercules. Untuk memahami tuturan diatas, mitra tutur harus memiliki pengetahuan yang sama bahwa SBY adalah nama presiden yang merupakan akronim Susilo Bambang Yudhoyono. Pengetahuan yang sama antara penutur dan mitra tutur ini diperlukan agar maksud dari tuturan diatas tepat penginterpretasiannya.

2) Tindak Tutur

Suatu tuturan yang dihasilkan oleh seseorang selalu mengandung 3 tindak yang saling berhubungan, yaitu lokusi, ilokusi, dan perlokusi (Yule, 2006:83). Hal tersebut senada dengan pendapat Searle dalam Nadar (2009:14) yang membagi tindak tutur kedalam tiga macam tindakan, yaitu tindak lokusioner, tindak ilokusioner, dan tindak perlokusioner.

(37)

dikatakan sebagai tindak terpenting dalam kajian dan pemahaman tindak tutur. Jenis tindak tutur yang lain adalah tindak perlokusioner, yaitu tidakan untuk memengaruhi lawan tutur seperti memalukan, mengintimidasi, membujuk, dan lain-lain (Nadar, 2009:14).

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa tindak tutur mengandung tiga hal penting, yaitu apa yang kita tuturkan (lokusi), makna yang ada di dalam tuturan tersebut (ilokusi), dan efek yang muncul dari tuturan tersebut (perlokusi). Misalnya saat udara panas, dosen mengatakan:

“Panas sekali ya siang ini?”.

Tuturan tersebut merupakan tindak tutur tidak langsung yang dinyatakan dengan bentuk interogatif. Tuturan ini dikeluarkan dosen ketika konteksnya udara siang itu sangat panas dan menyebabkan tubuh menjadi gerah. Dibalik tuturan interogatif tersebut mengandung maksud lain, yaitu mahasiswa diminta untuk membuka jendela yang ada di ruangan tersebut agar angin bisa masuk ke dalam ruangan.

3) Implikatur

(38)

Penutur berharap pendengar akan mampu menentukan implikatur yang dimaksud dalam konteks berdasarkan apa yang sudah diketahui.

Levinson 1983 dalam Nababan (1987:28-30) melihat kegunaan konsep implikatur terdiri dari empat hal, yaitu (i) konsep implikatur memungkinkan penjelasan fungsional yang bermakna atas fakta-fakta kebahasaan yang tidak terjangkau oleh teori linguistik, (ii) konsep implikatur memberikan suatu penjelasan yang tegas atau eksplisit tentang bagaimana mungkinnya bahwa apa yang diucapkannya secara lahiriah berbeda dari apa yang dimaksud dan bahwa pemakai bahasa itu mengerti pesan yang dimaksud, (iii) konsep implikatur ini kelihatannya dapat meneyederhanakan pemerian semantik dari perbedaan hubungan antar klausa, (iv) hanya beberapa butir saja dasar-dasar implikatur dapat menerangkan berbagai macam fakta atau gejala yang secara lahiriah kelihatan tidak berkaitan dan berlawanan.

Berdasarkan beberapa pendapat ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa implikatur merupakan maksud yang ingin disampaikan melalui suatu tuturan. Implikatur ini hanya dapat berjalan karena adanya kesepahaman antara penutur dan mitra turur. Misalnya pada tuturan yang berikut:

“Segera bersihkan kamarmu, Ibu sudah pulang!”.

(39)

implikatur yang membentuk konteks tuturan antara penutur dan mitra tutur akan mempunyai kesepahaman dalam menginterpretasikan maksud tuturan tertentu.

4) Deiksis

Menurut Suryani (2013:29) deiksis adalah kata, frasa, atau ungkapan yang referensinya dapat berubah atau berganti-ganti. pendapat tersebut dilengkapi oleh Yule (2006: 13) mengungkapkan bahwa deiksis adalah istilah teknis (dari bahasa Yunani) untuk salah satu hal mendasar yang kita lakukan dengan tuturan. Deiksis berarti “penunjukkan” melalui bahasa. Jenis deiksis ada empat, yaitu deiksis persona dan deiksis sosial, deiksis tempat, deiksis sosial, dan deiksis wacana (Cummings, 2007:32-42). Jenis deiksis tersebut akan dipaparkan sebagai berikut.

a. Deiksis persona dan deiksis sosial

Deiksis persona dan deiksis sosial sangat erat hubungannya. Deiksis persona merupakan kata ganti orang seperti ia, dia, beliau, dan sebagainya, sedangkan deiksis sosial harus mencakup penyebutan deiksis orang tertentu. Fungsi deiktik ungkapan-ungkapan vokatif amat sangat jelas, yaitu bahasa yang digunakan untuk menyapa, memanggil, atau menunjuk seseorang dan menempatkannya pada referen tertentu dalam konteks ruang-waktu ujaran. Perhatikan tuturan berikut:

“Kasihan sekali beliau, diujung usia senjanya harus hidup sebatangkara”.

(40)

“beliau” sebagai ganti orang, sedangkan deiksis personanya, penggunaan

kata “beliau” menunjukkan status sosial yaitu penyebutan untuk orang yang lebih tua. Penggunaan kata “beliau” dalam tuturan diatas dianggap lebih santun dari pada tuturannya menjadi:

“Kasihan sekali dia, diujung usia senjanya harus hidup sebatangkara”.

Deiksis persona dan sosial ini dapat digunakan untuk mengetahui konteks yang digunakan untuk menginterpretasikan maksud tuturan.

b. Deiksis waktu

Deiksis waktu merupakan kata ganti yang menunjuk referennya adalah waktu seperti kata kemarin, minggu lalu, besok, lusa, dan sebagainya. Melalui dieksis waktu, kita dapat mengetahui konteks suatu tuturan yang digunakan untuk menginterpretasi maksud. Perhatikan contoh tuturan berikut berikut:

“Jangan seperti pemerintahan kemarin yang hobinya prihatin-prihatin mulu”.

Tuturan tersebut mengandung deiksis waktu, yaitu pada kata “kemarin”. Melalu deiksis waktu tersebut, kita dapat memahami konteks tuturan. Deiksis “kemarin” ingin mengungkapkan era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Konteks tuturan tersebut adalah menyindir pemerintahan SBY terkesan diam. Dahulu, saat berpidato presiden Susilo Bambang Yudhoyono banyak menggunakan kata „prihatin‟ pada saat

(41)

RUU pilkada tersebut, SBY baru bertindak dengan mengeluarkan Perpu pilkada.

c. Deiksis tempat

Deiksis waktu merupakan kata ganti yang menunjuk referennya adalah tempat seperti kata disini, disitu, tempat tertentu,dan sebagainya. Perhatikan tuturan berikut:

“Hakim harus berada di tengah dalam setiap kasus”.

Tuturan tersebut menggunakan deiksis tempat, yaitu pada kata “di

tengah”. Melalui penggunaan deiksis tersebut, konteks tuturan dapat

diketahui, yaitu protes terhadap hakim yang sering tidak adil. d. Deiksis wacana

Deiksis wacana menggunakan ungkapan linguistik untuk mengacu pada suatu bagian tertentu dari wacana yang lebih luas (baik teks tertulis maupun lisan) tempat terjadinya ungkapan-ungkapan tersebut. Perhatikan contoh tuturan berikut:

“Kami harap Pak Jokowi dapat membawa Indonesia menjadi lebih baik, seperti saat kinerjanya mengatasi masalah di Jakarta”.

(42)

Berdasarkan pendapat para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa bentuk bahasa yang digunakan untuk menunjuk sesuatu berdasarkan referen tertentu (persona/ orang, tempat, sosial, dan wacana) merupakan deiksis. Melalui contoh-contoh yang dipaparkan di atas, keempat jenis deiksis tersebut dapat memunculkan konteks yang digunakan untuk menginterpretasikan maksud suatu tuturan.

5) Referensi

Lynons (1977) dan Strawson (1950) dalam Brown dan Yule (1996:28) mengungkapkan referensi adalah ungkapan seorang penutur yang didasarkan pada acuan suatu bentuk linguistik tertentu. Pendapat tersebut didukung oleh Yule (2008:28) yang mengungkapkan bahwa referensi dalam jangkauan yang luas didasarkan pada asumsi penutur terhadap apa yang sudah diketahui pendengar.

Berdasarkan pendapat kedua ahli di atas dapat disimpulkan bahwa referensi adalah suatu tuturan yang didasarkan pada rujukan bentuk linguistik tertentu yang sebelumnya juga sudah diketahui oleh mitra tutur. Rujukan tersebut dapat berupa tuturan atau perilaku mitra tutur sebelumnya yang menimbulkan tanggapan dari penutur. Referensi ini juga dapat digunakan untuk mengetahui konteks suatu tuturan, misalnya pada contoh tuturan berikut.

“Seharusnya kamu tidak berbuat seperti itu. Sekarang kamu tahu kan hukuman yang harus kamu terima”

(43)

Konteks tuturan tersebut diketahui melalui fenomena referensi, yaitu rujukan perilaku mitra tutur sebelumnya yang membolos saat pelajaran berlangung. Penutur dam mitra tutur sebelumnya sudah sama-sama mengetahui kesalahan apa yang dimaksud dalam tuturan.

6) Inferensi

Inferensi merupakan penyimpulan penutur mengenai kejadian tertentu (Yule,2006:28). Pendapat tersebut dilengkapi oleh Brown dan Yule (1996:33) yang mengungkapkan bahwa referensi merupakan usaha menarik kesimpulan untuk dapat menafsirkan ujaran-ujaran atau hubungan antra ujaran. Penarikan kesimpulan tersebut berdasarkan pada banya fakta mengenai suatu hal sebelumnya sehingga penutur berbicara berdasarkan penarikan kesimpulan atas fakta-fakta yang ia miliki sebelumnya mengenai suatu hal. Inferensi tersebut dapat memunculkan sebuah konteks, misalnya dalam contoh tuturan berikut.

“Sepertinya saat ini sudah memasuki musim kemarau”

(Cuaca siang itu sangat cerah dan tidak ada awan. Disamping itu, udara di pagi hari sangat dingin).

Konteks tuturan tersebut dimunculkan melalui fenomena referensi karena sebelumnya penutur mempunyai beberapa fakta mengenai ciri-ciri musim kemarau sehingga penutur dapat menyimpulkan bahwa saat ini sudah memasuki musim kemarau.

7) Latar Belakang Penutur

(44)

mengungkapkan bahwa pengetahuan tentang penutur pada peristiwa komunikatif tertentu memungkinkan mitra tutur membayangkan apa yang mungkin dikatakan oleh penutur.

Jika seorang mengetahui latar belakang penutur, maka mitra tutur dapat memprediksi apa yang akan dikatakan oleh penutur baik dari segi bentuk maupun isi. Latar belakang penutur ini juga dapat memengaruhi kepercayaan mitra tutur terhadap apa yang diucapkan oleh penutur, misalnya pada contoh tuturan berikut.

“Saat ini terdapat banyak mafia migas yang meraup keuntungan”.

(Tuturan tersebut dikatakan oleh seorang pengamat migas yang mengetahui seluk beluk migas termasuk praktik kecurangan mafia migas).

Konteks dalam tuturan diatas diketahui berdasarkan latar belakang penutur, yaitu berupa pekerjaan. Mitra tutur dapat memercayai perkataan penutur karena dari segi pekerjaan ia telah lama menggeluti dunia migas sehingga kebenaran tuturannya dapat dipertanggungjawabkan.

(45)

2.2.3 Unsur Intralingual

Unsur intralingual merupakan segala unsur didalam bahasa yang dapat berupa bunyi, kata, frasa, klausa, dan kalimat. Unsur intralingual sering disebut juga dengan bahasa verbal. Menurut Liliweri (1994:2) bahasa verbal merupakan penggunaan tanda-tanda atau simbol-simbol untuk menjelaskan suatu konsep tertentu. Pemakaian bahasa verbal memiliki unsur utama berupa kata, frasa, klausa, kalimat, dan wacana. Pendapat tersebut sejalan dengan Pranowo (2013), yang mengungkapkan bahwa kajian intraingual meliputi bunyi, kata, frasa, klausa, dan kalimat. Kajian intralingual tersebut tidak hanya sebatas pada aspek kebahasaan saja, melainkan sampai pada makna. Aspek-aspek bahasa tersebut tanpa dimaknai tidak akan ada artinya.

(46)

1) Bunyi

Ilmu yang mempelajari tentang bunyi disebut dengan fonologi. Menurut KBBI (2008:396), fonologi merupakan bidang linguistik yang menyelidiki bunyi-bunyi bahasa menurut fungsinya. Pendapat tersebut didukung oleh Muslich (2008:1), fonologi merupakan ilmu yang mengkaji bunyi-bunyi ujaran secara mendalam. Ilmu fonologi ini tidak terbatas pada bunyi saja, melainkan berkaitan dengan fungsi dari rentetan bunyi tersebut. Aspek paling penting dalam kajian bunyi sebagai unsur intralingual ini adalah makna yang dihasilkan dari rentetan bunyi tersebut. Bunyi tidak akan ada artinya bila bunyi tersebut tidak mempunyai makna.

Sudaryanto (1989) mengidentifikasikan bahwa bunyi memiliki makna tertentu. Pada tataran bunyi, bunyi /i/ memiliki makna yang dapat menggambarkan keadaan yang dipersepsi sebagai sesuatu yang kecil pada suatu benda seperti pada kata “kerikil, kutil, kerdil, dan sebagainya. Namun,

sebelum kata-kata yang mengandung bunyi /i/ dipakai dalam suatu konteks tuturan tertentu, daya bahasanya belum muncul. Misalnya saat orang mengatakan:

“Masalah ini hanya merupakan kerikil kehidupan”.

Tuturan tersebut mempunyai makna bahwa „masalah‟ yang sedang

dihadapi saat ini merupakan masalah yang kecil. Kata “kerikil” bermakna „batu kecil‟ sebagai pengungkapan masalah yang kecil. Pada tuturan tersebut

(47)

dihadapinya bukanlah masalah yang berat sehingga menimbulkan keyakinan di benak mitra tutur bahwa ia mampu menyelesaikan masalah tersebut.

Berdasarkan beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa bunyi merupakan unsur paling dasar sebelum membentuk suatu kata. Aspek bunyi yang sangat kecil pun dapat menjadi pembeda makna pada suatu kata. Bunyi tidak akan ada apa-apanya tanpa dimaknai. Dengan kata lain, aspek bunyi sangat berhubungan dengan makna. Aspek bunyi ini dapat dikatakan sebagai unsur intralingual yang dapat memunculkan daya bahasa dan nilai rasa bahasa. 2) Kata dan Pilihan Kata (Diksi)

Kata ialah satuan bebas yang paling kecil. Kata terdiri dari dua macam satuan, yaitu satuan fonologik dan satuan gramatik. Sebagai satuan fonologik, kata terdiri dari satu atau beberapa suku, dan suku itu terdiri dari satu atau beberapa morfem. Misalnya kata belajar terdiri dari tiga suku kata, yaitu be, la, dan jar, sedangkan sebagai satuan gramatik, kata belajar terdiri dari dua morfem yaitu ber- dan ajar (Ramlan, 2009:33).

Setiap kata pasti mengandung makna tertentu yang ingin mengungkapkan sebuah gagasan atau sebuah ide. Kata-kata adalah alat penyalur gagasan yang akan disampaikan kepada orang lain. Kata-kata ibarat „pakaian‟ yang dipakai oleh pikiran kita. Tiap kata memiliki jiwa. Setiap anggota masyarakat harus mengetahui „jiwa‟ setiap kata, agar ia dapat

menggerakkan orang lain dengan „jiwa‟ dari kata-kata yang dipergunakannya

(48)

kalimat. Kata tidak dapat menjadi ekspresi yang lengkap dan penuh jika ia tidak menjadi kalimat sendiri (Parera, 1988:3).

Kata sebagai satuan dari perbendaharaan kata sebuah bahasa mengandung dua aspek, yaitu aspek bentuk atau ekspresi dan aspek isi makna. Bentuk atau ekspresi adalah segi yang dapat diserap melalu pancaindra, yaitu dengan mendengar atau dengan melihat. Sebaliknya, segi isi atau makna adalah segi yang menimbulkan reaksi dalam pikiran pendengar atau pembaca karena rangsangan aspek bentuk tadi. Dengan kata lain, pengertian yang tersirat dalam suatu kata mengungkapkan sebuah gagasan atau ide penutur dengsn maksud dan tujuan tertentu terhadap mitra tutur.

Semakin banyak kata yang dikuasai seseorang, semakin banyak pula ide atau atau gagasan yang dikuasainya dan diungkapkannya (Keraf, 1987:21). Dengan menggunakan pilihan kata atau diksi yang tepat, maka pesan yang akan kita sampaikan kepada mitra tutur akan lebih mengena. Diksi juga dapat digunakan untuk mengungkapkan hal-hal yang lebih santun (berhubungan dengan nilai rasa bahasa). Misalnya pada tuturan berikut:

“Orang buta itu lewat di depan rumah”

Ungkapan tersebut terasa lebih kasar karena menggunakan kata „orang

buta‟. Tuturan tersebut sebenarnya dapat diperhalus dengan diksi „tuna netra‟

untuk menggantikan kata „orang buta‟. Dari contoh di tersebut, dapat

(49)

yang tepat. Selain itu, diksi yang digunakan juga dapat menentukan nuansa-nuansa makna dan bentuk yang sesuai dengan apa yang hendak dituturkan.

Kata dan pilihan kata ini juga dapat digunakan untuk memunculkan daya bahasa. Misalnya pada tuturan:

“Para tikus kantor itu harus segera kita basmi!”.

(Konteks: pimpinan KPK sedang menginstruksikan kepada para anggotanya untuk segera membasmi para koruptor).

Penggunaan kata “tikus” dan “basmi” dalam tuturan tersebut mengandung perintah. Koruptor diibaratkan dengan kata “tikus” yang merupakan hama yang merugikan. Kata „basmi‟ lebih menekankan bahwa semua koruptor benar

-benar harus ditangkap seluruhnya. Kata “tikus” dan “basmi” lebih berdaya bahasa dari pada tuturan tersebut menjadi:

“Para koruptor kantor itu harus segera kita tangkap!”

Bila tuturan diubah menjadi seperti itu, maka daya bahasa yang dihasilkan kurang kuat. Daya perintah tuturan kedua ini kurang kuat sehingga mungkin pesan yang ingin disampaikan kepada mitra tutur kurang mengena. Disini juga dapat dilihat bahwa terdapat nilai rasa dalam tuturan tersebut. Penutur merasa kesal dengan ulah para koruptor yang telah banyak merugikan negara.

(50)

3) Frasa

Frasa merupakan tataran yang lebih kompleks dari pada kata. Frasa dapat terbentuk dari beberapa kata atau lebih yang tidak melebihi batas fungsi unsur klausa. Ramlan (2005: 138) mengungkapkan bahwa klausa merupakan satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi unsur klausa. Pendapat tersebut sejalan dengan Samsuri dalam Arifin (2008:18) yang menyatakan bahwa frasa adalah satuan gramatikal berupa gabungan satu kata atau lebih yang sifatnya predikatif atau nonpredikatif. Frasa dapat berupa subjek, predikat, objek, keterangan, dan pelengkap.

Melalui dua pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa frasa merupakan satuan gramatik yang terdiri dari beberapa kata dan tidak melampaui batas fungsi klausa, frasa ini mewakili suatu fungsi tertentu seperti predikat, objek, keterangan, dan pelengkap. Frasa ini juga dapat dipergunakan untuk memunculkan nilai rasa bahasa seperti pada tuturan berikut:

“Beliau gugur di medan perang”.

(51)

Selain untuk memunculkan nilai rasa bahasa, frasa juga dapat memunculkan daya bahasa, seperti pada tuturan berikut:

“Mafia migas itu harus kita babat habis”.

(Konteks: Menteri ESDM menginstruksikan kepada tim pembasmi mafia migas untuk segera menangkap seluruh mafia migas).

Frasa “mafia migas” dan “babat habis” merupakan objek dan predikat pada tuturan tersebut. Frasa “mafia migas” mempunyai makna perkumpulan rahasia yg bergerak di bidang kejahatan tentang penyelundupan migas. Frasa “babat

habis” mempunyai makna harus ditangkap seluruhnya. Kedua frasa tersebut

mempunyai daya perintah, yaitu perintah menteri ESDM (Energi Sumber Daya Mineral) kepada anggota tim pembasmi mafia migas untuk segera menangkap seluruh penjahat migas. Tuturan diatas lebih berdaya bahasa dari pada tuturannya diubah menjadi:

“Pencuri migas harus segera ditangkap seluruhnya”

Secara semantis, kedua tuturan tersebut mempunyai makna yang sama, yaitu untuk mengangkap seluruh pencuri migas, namun dengan memanfaatkan frasa-frasa tertentu, tuturan tersebut dapat menjadi menimbulkan efek komunikatif yang lebih pada mitra tutur.

4) Klausa

(52)

keterangan maupun tidak. Unsur wajib dalam suatu klausa adalah predikat, unsur lainnya boleh ada ataupun tidak. Klausa ini juga dapat memunculkan daya bahasa dan nilai rasa bahasa. Misalnya pada tuturan di bawah ini:

“Setiap hari kita membakar uang”.

(Konteks: Masyarakat saat ini cenderung boros dalam penggunaan BBM sehingga diibaratkan dengan membakar uang karena saat kita membeli BBM dan menggunakannya untuk perjalanan yang kurang penting sesungguhnya kita hanya membakar BBM itu dengan percuma).

Klausa “kita membakar uang” terdiri dari unsur subjek dan predikat. Klausa tersebut mengandung daya sindir bagi masyarakat yang selama ini hanya menggunakan kendaraan bermotor untuk hal-hal yang kurang penting. Maksud yang ingin disampaikan oleh penutur adalah himbauan agar kita lebih bijak dalam menggunakan BBM untuk kebaikan bersama.

5) Kalimat

(53)

Kalimat dapat berwujud lisan maupun tulisan (Alwi dkk, 2003:311). Kalimat berwujud lisan diucapkan dengan unsur suprasegmental seperti titinada, tekanan, tempo, jeda, dan intonasi akhir. Kalimat berwujud tulisan mengandung unsur segmental berupa kata, frasa, dan klausa (Sukini,2010:55).

Berdasarkan pengertian beberapa ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa kalimat merupakan satuan gramatikal dalam wujud lisan maupun tulisan, yang dibatasi jeda panjang naik atau turun. Kalimat selalu disertai dengan unsur segmental dan suprasegmental. Dengan kata lain, kalimat yang berupa tuturan langsung konstruksinya berupa unsur segmental, namun disertai dengan unsur suprasegmental seperti titinada, tekanan, tempo, jeda, dan intonasi akhir. Misalnya pada tuturan “Jangan sentuh benda itu!”. Kalimat tersebut terbentuk melalui beberapa kata dan frasa. Kalimat tersebut merupakan larangan yang dituturkan menggunakan nada yang keras (unsur suprasegmental). Selain itu, kalimat juga dapat memunculkan daya bahasa dan nilai rasa bahasa. Misalnya contoh kalimat berikut:

“Jokowi-JK adalah kita”.

(Konteks: kalimat tersebut merupakan kalimat yang digunakan dalam spanduk-spanduk saat kampanye pilpres 2014 kemarin).

(54)

masyarakat karena mereka berasal dari kalangan masyarakat biasa. Selama ini, yang menjadi presiden Indonesia identik dari kalangan yang sebelumnya sudah mempunyai posisi di Republik Indoneisa. Misalnya saja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang sebelum terpilih menjadi presiden merupakan Jenderal TNI.

2.2.4 Unsur Ekstralingual

Unsur ekstralingual merupakan faktor tambahan di luar bahasa verbal yang mendukung makna dan maksud suatu tuturan. Sobur (2004:257) mengungkapkan bahwa setiap tanda linguistik terdiri dari unsur bunyi dan unsur makna. Kedua unsur ini adalah unsur dalam bahasa (intralingual) yang biasanya merujuk atau mengacu kepada suatu referen yang merupakan unsur luar bahasa (ekstralingual). Pendapat tersebut dilengkapi oleh Pranowo (2012:90) yang mengungkapkan unsur kebahasaan mencakup bahasa verbal dan non verbal, sedangkan unsur non kebahasaan meliputi topik pembicaraan dan konteks situasi komunikasi.

(55)

pada umumnya selalu menyertai tuturan. Peran unsur ekstralingual ini adalah untuk memberikan efek komunikatif yang lebih kuat kepada mitra tutur.

Brown (2004:117) berpendapat bahwa peran bahasa non-verbal akan nampak jelas ketika seseorang berkomunikasi menggunakan bahasa lisan. Bahasa non-verbal dapat berupa gesture yang meliputi gerakan tubuh atau bagian tubuh yang dapat berfungsi penting dalam berkomunikasi. Gesture ini dapat berupa kinesik, kontak mata (kerlingan mata), dan kinestetik. Pendapat tersebut sejalan dengan Pateda (2001:48) yang mengungkapkan bahwa bahasa non verbal dapat berupa tanda yang menggunakan anggota badan, lalu diikuti dengan lambang (verbal yang diucapkan). Bahasa non verbal ini, biasanya digunakan penutur untuk memperkuat maksud yang diucapkan melalui bahasa verbal.

Liliweri (1994:89) mengungkapkan bahwa komunikasi non verbal acapkali dipergunakan untuk menggambarkan perasaan dan emosi. Saat pesan yang disampaikan melalui bahasa verbal kurang kuat efeknya, penutur dapat menggunakan tanda-tanda non-verbal sebagai pendukung. Di dalam suatu situasi komunikasi verbal, komunikasi non-verbal merupakan pelengkap dan penegas unsur-unsur intralingual yang digunakan. Misalnya dalam tuturan berikut:

“Maaf, kami sudah melakukan yang terbaik. Namun ternyata Tuhan bekehendak lain”.

(Konteks: Dokter baru selesai menangani seorang pasien Ekspresi wajah: sedih).

Tuturan tersebut mengandung nilai rasa merasa bersalah seorang dokter kepada keluarga pasien. Tuturan tersebut menggunakan kata „maaf‟ untuk

(56)

memunculkan ekspresi wajah bersedih yang semakin memperkuat rasa bersalahnya. Bila dokter tersebut tidak memunculkan ekspresi wajah sedih, maka efek rasa bersalah yang dirasakan oleh mitra tutur menjadi kurang mengena. Melalui contoh tersebut, kita dapat melihat bahwa bahasa non-verbal atau unsur ekstralingual juga mempunyai peran yang sangat penting untuk menimbulkan efek komunikatif.

Namun, perlu diketahui bahwa unsur ekstralingual berupa bahasa non-verbal ini tidak selalu menyertai suatu tuturan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Liliweri (1994:88) yang mengungkapkan bahwa unsur ekstralingual berupa bahasa non-verbal ini tidak selalu menyertai suatu tuturan karena hanya digunakan sebagai penegas dan pelengkap. Liliweri juga mengungkapkan meskipun tidak mengeluarkan suatu tuturan, namun ekspresi wajah seseorang juga mampu mewakili pesan dengan makna tertentu terhadap orang lain. Pada saat seseorang mengungkapkan rasa kesalnya seringkali menggunakan bahasa tubuh berupa menyilangkan kedua tangan (posisi sedekap) dan menunjukkan ekspresi marah. Melalui tanda yang dibuat tersebut, tentu mitra tutur dapat menangkap maksud bahwa orang tersebut kesal dengan pernyataan yang diucapkan mitra tutur.

(57)

ini, meliputi ekspresi wajah, kontak mata, bahasa tubuh, dan sentuhan. Masing-masing tanda non-verbal akan dijabarkan sebagai berikut:

1) Ekspresi Wajah

Ekspresi wajah meliputi pengaruh raut wajah yang digunakan untuk berkomunikasi secara emosional atau bereaksi terhadap suatu pesan. Ekspresi wajah manusia juga dapat bersifat sadar dan tak sadar. Ekspresi wajah setiap orang selalu menyatakan hati dan perasaannya. Wajah ibarat cermin dari pikiran dan perasaan. Melalui wajah orang juga bisa membaca makna suatu pesan (Liliweri, 1994:145)

Pada tahun 1963, ahli psikologi Paul Ekman dan timnya melakukan penelitian untuk menentukan ekspresi-ekspresi wajah tertentu sebagai tanda universal bagi emosi-emosi spesifik. Mereka menunjukkan bahwa dengan membagi-bagi ekspresi wajah menjadi komponen-komponen karakteristik-posisi alis, bentuk mata, bentuk mulut, ukuran lubang hidung, dan seterusnya-dalam pelbagai kombinasi akan menentukan bentuk ekspresi tertentu. Penelitian ini menunjukkan bahwa mungkin saja untuk menulis “gramatika”

wajah yang mengandung lebih sedikit variasi kultural dibanding gramatika dalam bahasa (Danesi,2010:67-68).

Empat sketsa ekspresi wajah berikut ini menunjukkan cara kita menafsirkan komponen wajah dari segi emosi:

(58)

Keempat ekspresi tersebut dapat mewakili persaan seseorang saat sedang menyampaikan sebuah tuturan. Ekspresi wajah penutur dapat mewakili perasaan penutur terhadap suatu hal. Ekspresi wajah ini juga dapat memunculkan daya bahasa dan nilai rasa bahasa. Ekspresi wajah ini selalu menyertai tuturan. Misalnya saja pada tuturan berikut:

Akhirnya setelah empat tahun kuliah tibalah saatnya aku untuk diwisuda”.

Tuturan tersebut diucapkan dengan mata berbinar-binar dan bibir tersenyum. Berdasarkan ekspresi wajah tersebut dapat disimpulkan bahwa penutur sedang merasa senang (nilai rasa bahagia) karena dia dapat lulus dan menjadi sarjana setelah kuliah selama empat tahun.

2) Kontak Mata

Pola kontak mata bersifat tidak sadar. Melalui kontak mata, seseorang dapat menceritakan kepada orang lain suatu pesan tertentu. Misalnya, pandangan mata cemas mengindikasikan rasa kecemasan penutur terhadap suatu hal. Di dalam berbagai kehidupan sehari-hari, kontak mata sering diartikan sebagai penanda non verbal yang dapat dilihat dalam fakta-fakta berikut. (Danesi, 2010:69)

 Menatap sering ditafsirkan sebagai tantangan; main mata dengan orang

lain biasanya ditafsirkan sebagai rayuan.

 Di dalam banyak kebudayaan, ada konsep mata jahat, yang

(59)

 Mengadakan kontak mata di awal percakapan verbal atau irama setelah

percakapan berlangsung akan mengindikasikan jenis hubungan yang ingin kita miliki dengan si pembicara.

 Saat pupil berkontraksi dalam keadaan bersemangat.

 Kelopak mata yang menyempit mengomunikasikan sikap merenung.

 Mendekatkan alis satu sama lain secara universal mengomunikasikan

sikap tengah berpikir; saat alis naik, yang terungkap adalah rasa terkejut.

 Memicingkan mata sebagai indikasi menatap dengan pandangan sempit

dan penuh selidik.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa kontak mata ini sangat penting saat kita berkomunikasi. Kontak mata dapat mengindikasikan suatu keadaan tertentu penutur yang ingin ditunjukkan kepada mitra tutur. Misalnya saja dalam tuturan berikut:

“Benarkah teman SD kita ikut menjadi korban dalam kecalakaan tersebut?”.

Tuturan tersebut dituturkan dengan mata melotot dan alis terangkat. Kontak mata tersebut mengindikasikan bahwa penutur benar-benar terkejut (nilai rasa terkejut) setelah mendapat kabar perihal kecelakaan yang terjadi tadi siang. 3) Bahasa Tubuh

(60)

Ada dua jenis sinyal tubuh-sadar (dipancarkan dengan sengaja) atau tidak sadar (dipancarkan secara naluriah oleh tubuh). Manusia mampu menggunakan sinyal sadar untuk tujuan yang disengaja dalam lingkup yang sangat luas, seperti mengangguk, menyenggol, menendang, mengangkat kepala, dan seterusnya (Danesi, 2010:69). Pada dasarnya manusia selalu mengeluarkan sinyal-sinyal saat hendak mengungkapkan sesuatu. Misalnya dalam tuturan berikut:

“emmm... ya..”.

(Konteks: tuturan yang diucapkan mitra tutur sebagai tanda bahwa mitra tutur mengerti)

Tuturan terebut disertai bahasa tubuh berupa anggukan kepala dari penutur. Berdasarkan contoh tuturan dan bahasa tubuh yang dimunculkan penutur pada contoh di atas, mitra tutur dapat menangkap bahwa penutur mengerti apa yang dibicarakan mitra tutur sebelumnya.

(61)

Bahasa tubuh juga dapat dibangun untuk berbohong atau menutupi sesuatu. Misalnya, mengatupkan bibir dapat mengindikasikan ketidaksetujuan atau keraguan, bahkan jika pernyataan verbal orang tersebut menyampaikan persetujuan. Saat pernyataan verbal dan bahasa tubuh saling berbenturan, pendengar akan cenderung lebih memercayai bahasa tubuh.

4) Sentuhan

Sentuhan atau perabaan menjelaskan bentuk atau cara lain untuk menyatakan diri dalam komunikasi non-verbal (Liliweri, 1994:135). Banyak orang menggunakan tangan karena senang, menampar, mecubit, memukul, memegang, dan memeluk untuk menyatakan suatu maksud tertentu. Di dalam kebanyakan budaya, bentuk dasar pemberian salam mencakup jabat tangan, yang merupakan contoh tepat dari perilaku sosial yang diatur oleh kode taktil (sentuhan), yang artinya kode yang mengatur pola sentuhan dalam situasi antarpribadi (Danesi, 2010:77). Dari dulu hingga sekarang, kita kenal bahwa berjabat tangan ini merupakan simbol kesetaraan antar individu, dan digunakan untuk mengesahkan berbagai jenis persetujuan. Makna dan maksud yang ada dalam sentuhan ini tergantung pada budaya dimana sentuhan tersebut digunakan.

2.2.5 Daya Bahasa

Gambar

Tabel Pengumpulan Data Daya Bahasa  (Per Episode)
Tabel Pengumpulan Data Nilai Rasa Bahasa  (Per Episode)

Referensi

Dokumen terkait

Pembicara utama yang lain akan berbicara tentang daya bahasa dan nilai rasa bahasa sebagai penanda kesantunan dalam berkomunikasi (Prof. Pranowo, M.Pd.), tindak tutur kekerasan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI... PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN

yang dipersepsi sebagai sesuatu yang kecil pada suatu benda, seperti kata ―kerikil‖, ―cukil‖, ―muskil‖, ―kandhil‖―kutil‖, dan sebagainya. Namun, sebelum kata -kata yang

Jenis-jenis gaya bahasa sindiran yang terdapat dalam acara Stand Up Comedy Show di stasiun televisi Metro TV pada bulan Oktober 2016. Gaya Bahasa Sindiran Ironi

Berdasarkan hasil temuan, kritik sosial melalui gaya bahasa dalam program Sentilan Sentilun dapat dijadikan sebagai bahan ajar pada materi pembelajaran teks anekdot