BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kelapa Sawit
2.1.1 Sejarah Kelapa Sawit
Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) berasal dari Nigeria,
Afrika Barat. Meskipun demikian, ada yang menyatakan bahwa kelapa sawit
berasal dari Amerika Selatan, yakni Brazil karena lebih banyak ditemukan spesies
kelapa sawit di Hutan Brazil dibandingkan dengan Afrika. Kelapa sawit pertama
kali diperkenalkan di Indonesia oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada tahun
1848. Ketika itu hanya ada empat batang bibit kelapa sawit yang dibawa dari
Réunion atau Mauritius dan Hortus Botanicus Amsterdam yang ditanam di Kebun
Raya Bogor (Fauzi, 2002).
Tanaman kelapa sawit mulai dibudidayakan secara komersial dan menjadi
tanaman usaha perkebunan pada tahun 1911. Perkebunan kelapa sawit di
Indonesia dirintis oleh Adrien Hallet, seorang berkebangsaan Belgia. Ia
membangun perkebunan kelapa sawit pertama dalam skala besar di daerah Sungai
Liput (Pantai Timur Aceh) dan daerah Pulu Raja (Asahan). Pembudidayaan
kelapa sawit selanjutnya dilakukan oleh Karl Valentine Theodore Schdat
berkebangsaan Jerman. Luas areal perkebunan kelapa sawit pertama sudah
mencapai 3.250 ha (Fauzi, 2002).
Selanjutnya pada masa Pemerintah Kolonial Belanda, perkebunan kelapa
sawit mengalami perkembangan pesat karena Pemerintah Belanda menaruh
diperluas hingga 31.645 ha pada tahun 1925 dan 92.307 ha pada tahun 1938.
Pemerintah Belanda mulai melakukan berbagai program intensifikasi pertanian
guna menunjang hasil perkebunan. Pembentukan kebun-kebun afdeling dilakukan
agar manajemen perkebunan menjadi lebih terarah. Pada masa pendudukan
Jepang, perkembangan perkebunan kelapa sawit mengalami penurunan. Lahan
perkebunan mengalami penyusutan hingga 16% (Fauzi, 2002).
Setelah Indonesia mengalami kemerdekaan tahun 1945 dan bebas dari
pendudukan Belanda maupun Jepang yang meninggalkan Indonesia, pemerintah
Indonesia mengambil alih seluruh perkebunan kelapa sawit dengan alasan politik
dan keamanan. Pada masa ini pemerintah membentuk suatu wadah kerja sama
antara kaum buruh dan militer yang disebut BUMIL (Buruh Militer) (Fauzi,
2002).
Memasuki masa Orde Baru, pengembangan dan pembangunan perkebunan
diarahkan untuk menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan rakyat,
dan sebagai sumber devisa negara. Pemerintah terus mendorong pembukaan lahan
perkebunan baru guna menunjang hasil produksi. Pemerintah melaksanakan
program Perkebunan Inti Rakyat (PIR) sebagai wujud kepedulian terhadap sector
perkebunan. Kebijakan tersebut disusul dengan adanya program PIR-Transmigrasi
tahun 1986. Inilah cikal bakal terbentuknya PT Perkebunan Nusantara sebagai
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang perkebunan.
Terbentuknya PT Perkebunan didasarkan pada UU No. 86 tahun 1958 dimana
seluruh perusahan swasta maupun asing di Indonesia diambil alih oleh pemerintah
2.1.2 Klasifikasi Tanaman Kelapa Sawit
Tanaman kelapa sawit memiliki klasifikasi berdasarkan tingkatan
taksonomi secara botani sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Tracheophyta
Kelas : Angiospermae
Ordo : Arecales
Famili : Palmae (Arecaceae)
Genus : Elaeis
Spesies : Elaeis guineensis Jacq (Soehardjo, 1999).
2.1.3 Morfologi Tanaman Kelapa Sawit
Kelapa sawit termasuk tanaman monokotil. Tanaman kelapa sawit dapat
dibedakan menjadi dua bagian yaitu bagian vegetatif dan bagian generatif. Bagian
vegetatif kelapa sawit meliputi akar, batang dan daun. Sedangkan bagian generatif
yang merupakan alat perkembangbiakan yaitu bunga dan buah (Tim Penulis PS,
1997).
2.1.3.1 Bagian vegetatif
a. Akar
Tanaman kelapa sawit mempunyai akar serabut. Akar kelapa sawit akan
tumbuh ke bawah dan ke samping membentuk akar primer, sekunder, tertier, dan
akar kuarterner. Akar yang pertama muncul dari biji yang telah berkecambah
berfungsi mengambil air dan hara. Selanjutnya akan tumbuh akar primer yang
keluar dari bagian bawah batang dengan arah 45o dari permukaan tanah. Dari akar
primer akan tumbuh akar sekunder dengan arah horizontal. Selanjutnya akan
tumbuh akar-akar tertier dan kuarterner yang berada dekat dengan permukaan
tanah. Akar tertier dan kuarterner adalah akar yang paling aktif dalam mengambil
air dan hara (Soehardjo, 1999).
b. Batang
Kelapa sawit termasuk tanaman monokotil, maka batangnya tidak
mempunyai kambium dan umumnya tidak bercabang. Batang kelapa sawit
tumbuh lurus ke atas, diameternya dapat mencapai 40-60 cm. Pada tanaman yang
masih muda, batangnya tidak terlihat karena tertutup oleh pelepah daun yang
tumbuh rapat mengelilinginya. Pertumbuhan meninggi batang baru jelas terlihat
sesudah tanaman berumur 4 tahun. Rata-rata pertumbuhan tinggi batang adalah
25-40 cm per tahun. Namun demikian, hal ini tergantung selain pada jenis,
kesuburan lahan serta iklim setempat. Bagian dalam batang merupakan serabut,
yang dilengkapi jaringan pembuluh sebagai penguat batang dan untuk
menyalurkan hara. Fungsi batang adalah sebagai peyangga serta menyimpan dan
mengangkut bahan makanan (Soehardjo, 1999).
c. Daun
Daun kelapa sawit membentuk suatu pelepah bersirip genap dan bertulang
sejajar. Panjang pelepah dapat mencapai 9 meter, jumlah anak daun tiap pelepah
dapat mencapai 380 helai. Panjang anak daun dapat mencapai 120 cm. Pelepah
Jumlah pelepah dalam 1 pohon dapat mencapai 60 pelepah. Luas permukaan daun
tanaman dewasa dapat mencapai 15 cm. Daun kelapa sawit berfungsi sebagai
tempat berlangsungnya proses fotosintesis dan alat resfirasi (Suyatno, 1994).
2.1.3.2 Bagian Generatif a. Bunga
Tanaman kelapa sawit sudah mulai berbunga pada umur 12-14 bulan.
Tanaman ini merupakan tanaman berumah satu, artinya pada satu tanaman
terdapat bunga jantan dan bunga betina yang masing-masing terangkai dalam satu
tandan. Rangkaian bunga terdiri dari batang poros dan cabang-cabang meruncing
yang disebut spiklet. Jumlah bunga pada tiap spiklet bunga jantan lebih banyak,
yaitu sekitar 700-1200 buah. Sedangkan pada bunga betina hanya sekitar 5-30
buah (Tim Penulis PS, 1997).
b. Buah
Warna buah kelapa sawit tergantung pada varietas dan umurnya. Buah
yang masih muda berwarna hijau pucat kemudian berubah menjadi hijau hitam.
Semakin tua warna buah menjadi kuning muda dan pada waktu buah sudah masak
berwarna merah kuning (jingga). Mulai dari penyerbukan hingga menjadi buah
matang diperlukan waktu kurang lebih 5-6 bulan. Tanaman kelapa sawit normal
yang telah berbuah akan menghasilkan kira-kira 20-22 tandan/ tahun dan semakin
tua produktivitasnya semakin menurun menjadi 12-14 tandan/ tahun
(Mangoensoekarjo, 2003).
1. Eksokarp atau kulit luar yang keras dan licin
Ketika buah masih muda, warnanya hitam atau ungu tua atau hijau.
Semakin tua, warnanya berubah menjadi orange merah atau kuning orange.
2. Mesokarpatau Sabut
Diantara jaringan-jaringanya ada sel pengisi seperti spons atau karet busa
yang sangat banyak mengandung minyak (CPO), jika buah sudah masak.
3. Endokarpatau Tempurung
Ketika buah masih muda endokarp memiliki tekstur lunak dan berwarna putih. Ketika buah sudah tua, endokarp berubah menjadi keras dan berwarna
hitam. Ketebalan endokarp tergantung pada varietasnya. Contoh varietas dura memiliki endokarp sangat tebal, sedangkan varietas pisifera sangat tipis, bahkan
tanpa endokarp.
4. Kernel atau Biji atau Inti
Inti dapat disamakan dengan daging buah dalam kelapa sayur, tetapi
bentuknya padat dan tidak berisi air buah. Kernel mengandung minyak (PKO)
sebesar 3% dari berat tandan, berwarna jernih dan bermutu sangat tinggi
(Mangoensoekarjo, 2003).
2.1.4 Varietas Tanaman Kelapa Sawit
Ada beberapa varietas kelapa sawit yang telah dikenal. Varietas- varietas
tersebut dapat dibedakan berdasarkan tebal tempurung dan daging buah atau
a. Pembagian Varietas Berdasarkan Tebal Tempurung dan Daging Buah
Berdasarkan ketebalan tempurung dan daging buah, kelapa sawit
dibedakan atas lima varietas (Suyatno, 1994):
1. Dura
Varietas ini memiliki ciri tempurung yang tebal berkisar 2-8 mm dan tidak
terdapat lingkaran serabut di bagian luar tempurung. Daging buah tipis dengan
persentase daging buah 35 - 50% terhadap buah. Memiliki kernel (inti buah) yang
besar dengan kandungan minyak rendah.
2. Pisifera
Kelapa sawit varietas ini memiliki ciri-ciri tempurung yang tipis dengan
daging buah yang tebal, serta inti buah (kernel) yang kecil. Varietas ini tidak dapat
diperbanyak tanpa dilakukan persilangan dengan jenis lain karena memiliki bunga
betina yang steril (gugur pada fase dini). Karenanya varietas ini dipakai sebagai
induk jantan dalam persilangan.
3. Tenera
Varietas ini diperoleh dari hasil persilangan antara varietas Dura dan
Pisifera sehingga memiliki sifat-sifat dan ciri seperti induknya. Tenera memiliki
tempurung yang tipis berkisar 0,5 - 4 mm dan terdapat lingkaran serabut di luar
tempurung. Persentase daging buah terhadap buah tinggi, yakni 60 - 96%. Tandan
buah yang dihasilkan lebih banyak namun ukurannya relatif kecil.
4. Macro Carya
Varietas ini memiliki ciri-ciri tempurung biji yang tebal, sekitar 5 mm.
5. Diwikka-wakka
Varietas ini memiliki ciri khas adanya dua lapisan daging buah. Jenis ini
juga dibedakan atas tiga, yaitu: diwikka-wakkadura, diwikka-wakkapisifera, dan
wakkatenera. Namun, dua varietas wakkapisifera dan
diwikka-wakkatenera jarang dijumpai dan kurang begitu dikenal di Indonesia.
b. Pembagian Varietas Berdasarkan Warna Kulit Buah
Berdasarkan warna kulit buah, kelapa sawit dibedakan atas tiga varietas
(Suyatno, 1994):
1. Nigrescens
Kelapa sawit varietas ini memiliki ciri-ciri kulit buah berwarna ungu
sampai hitam pada waktu muda (mentah) dan akan berubah menjadi warna jingga
kehitam-hitaman pada waktu tua (matang). Varietas ini banyak ditanam di
lahan-lahan perkebunan.
2. Virescens
Pada waktu muda/ mentah, kulit buah kelapa sawit varietas ini berwarna
hijau, sedangkan ketika mencapai masa matang akan berubah menjadi jingga
kemerahan dengan bagian ujung kulit buah tetap kehijauan. Varietas ini jarang
dijumpai di lapangan.
3. Albescens
Sebagai varietas terakhir, kelapa sawit ini memiliki warna kulit
keputih-putihan pada waktu muda. Pada waktu matang/ tua akan berubah menjadi
kekuning-kuningan dan ujungnya berwarna ungu kehitaman. Varietas ini juga
2.2 Pengolahan Tandan Buah Segar menjadi CPO
Hasil panen yang diterima di pabrik adalah berupa tandan buah segar
(TBS). Tandan tersebut dikatakan masih segar apabila tiba di pabrik dan selesai
diolah dalam jangka waktu 24 jam. Pada umumnya TBS terdiri atas tandan buah
yang sebagian buahnya telah memberondol atau lepas dari tandannya.
Pemberondolan terjadi sewaktu tandan masih di pohon. Pengolahan TBS di pabrik
bertujuan untuk memperoleh minyak sawit yang berkualitas baik. Proses tersebut
berlangsung cukup panjang dan memerlukan kontrol yang cermat, dimulai dari
pengangkutan TBS atau brondolan dari TPH (tempat pengumpulan hasil) ke
pabrik sampai dihasilkannya minyak sawit dan hasil-hasil sampingnya
(Mangoensoekarjo, 2003).
Adapun tahapan proses pengolahan kelapa sawit menjadi CPO adalah
sebagai berikut:
1. Tahap Penerimaan Buah
Pada tahap penerimaan buah, tahap pertama TBS (tandan buah segar)
ditimbang di jembatan timbang. Penimbangan di lakukan dua kali untuk setiap
pengangkutan TBS yang masuk ke pabrik, yaitu pada saat masuk (berat truk dan
TBS) serta pada saat keluar (berat truk). Dari selisih timbangan saat truk masuk
dan keluar, di peroleh berat bersih TBS yang masuk ke pabrik. Misal :
- Berat truk + TBS = 5 ton
- Berat truk kosong = 1 ton
Kemudian setelah dilakukan penimbangan, TBS (Tandan Buah Segar)
selanjutnya dibongkar dengan menuang langsung dari truk ke Loading ramp. Di pintu loading ramp, buah disortir berdasarkan fraksi kematangannya. Penyortasian dilakukan berdasarkan kriteria kematangan buah, hal ini bertujuan
pada penentuan rendemen minyak. Loading ramp terdiri dari 15 pintu dengan sistem hidrolik. Buah yang telah matang dimasukkan ke dalam lori melalui
loading ramp untuk selanjutnya dibawa ke stasiun perebusan. Tiap lori berkapasitas 2,3-2,5 ton (Waluyo, 2000).
2. Tahap Perebusan
Proses rebusan dilakukan dengan tujuan untuk mempermudah berondolan
lepas dari tandan pada waktu proses penebahan di thresher dan menghentikan
proses peningkatan asam lemak bebas (ALB) karena aktivitas enzim lipase dan oksidase yang berperan sebagai katalisator. Untuk menurunkan kadar air serta membantu proses pelepasan inti dari cangkang (Waluyo, 2000).
Rebusan berupa bejana silindris mendatar dengan pintu pada kedua
ujungnya yang biasanya dikenal dengan istilah sterilizer. Lori-lori yang telah
berisi TBS ditarik dengan capstand untuk dimasukkan ke dalam sterilizer. Tiap sterilizer mampu memuat 9-10 lori. Perebusan dilakukan dengan menggunakan steam bertekanan 2,8-3,0 kg/ cm2, temperatur 135-140oC selama 80-90 menit
dengan siklus perebusan selama 90-100 menit (Bagian Pengolahan, 2009).
3. Tahap Pemipilan
Tandan buah segar (TBS) serta lori yang telah direbus dikirim ke bagian
crane. Proses pemipilan terjadi akibat tromol berputar pada sumbu mendatar yang
membawa TBS ikut berputar sehingga membanting-banting TBS tersebut dan
menyebabkan brondolan lepas dari tandannya. Brondolan yang keluar dari bagian
bawah pemipil ditampung oleh sebuah screw conveyor untuk dikirim kebagian
digesting dan pressing. Sementara tandan kosong yang keluar dari bagian bawah pemipil ditampung oleh elevator, kemudian hasil tersebut dikirim ke hopper
janjangan kosong(Bagian Pengolahan, 2009).
4. Tahap Pelumatan dan Ekstraksi Minyak
Brondolan yang telah terpipil dari tahap pemipilan diangkut ke bagian
pengadukan/ pelumatan (digester). Fungsi dari tahap pelumatan (digester) adalah untuk melumatkan daging buah, memisahkan daging buah dengan biji,
melepaskan sel minyak dan mengempa (pressing) untuk memisahkan minyak
kasar dari ampas.
Brondolan yang telah mengalami pelumatan (digester) akan keluar melalui
bagian bawah digester berupa bubur. Hasil pelumatan tersebut langsung masuk kealat pengempaan yang persis dibagian bawah digester.
5. Tahap Pemurnian (Klarifikasi Minyak)
Minyak dari hasil pengempaan dialirkan (masuk) kedalam tangki pemisah/
Continous Settling Tank (CST) untuk memisahkan minyak dari lumpur dengan
cara pengendapan lalu menuju tangki lumpur/ Sludge Tank yang menampung lumpur yang keluar dari tangki pemisah. Kemudian masuk kedalam tangki
Selanjutnya menuju saringan berputar/ Brush Strainer untuk memisahkan
serabut-serabut dari sludge. Lalu menuju Sludge Separator untuk memisahkan/ mengambil minyak yang masih terkandung dalam sludge.
Sludge merupakan fasa campuran yang masih mengandung minyak. Di pabrik kelapa sawit, sludge diolah untuk dikutip kembali pada minyak yang masih terkandung didalamnya, lalu dialirkan kembali ke Continous Settling Tank (CST)
lalu dikirim ke oil tank. Dari oil tank minyak dimurnikan kembali melalui oil purifier, setelah itu dikirim ke vacuum drier untuk mengurangi kadar air minyak
yang keluar dari oil purifeier sehingga kandungan air memenuhi standar (Bagian Pengolahan, 2009).
2.3 Minyak Kelapa Sawit (CPO)
Sebagai minyak atau lemak, minyak sawit adalah suatu trigliserida, yaitu
senyawa gliserol dengan asam lemak. Minyak kelapa sawit seperti umumnya
minyak nabati lainnya adalah merupakan senyawa yang tidak larut dalam air. Minyak
sawit termasuk golongan minyak asam oleat-linoleat. Minyak sawit berwarna
merah jingga karena mengandung karotenoida, berkonsistensi setengah padat pada
suhu kamar (konsistensi dan titik lebur banyak ditentukan oleh kadar asam lemak
bebasnya), dan dalam keadaan segar dan kadar asam lemak bebas yang rendah,
bau dan rasanya cukup enak. Penggunaan terbanyak minyak kelapa sawit terdapat
dalam industri pangan. Sebagian besar bahan-bahan makanan di pasar swalayan,
mulai dari margarin sampai pizza siap saji mengandung minyak kelapa sawit,
Bahkan saat membeli lipstik, sabun cuci, banyak konsumen yang tidak sadar,
bahwa semua itu mengandung minyak kelapa sawit (Mangoensoekarjo, 2003).
2.3.1 Komposisi Minyak Kelapa Sawit
Minyak kelapa sawit memiliki komposisi asam lemak bebas yang
seimbang, dengan asam lemak jenuh yang hampir sama kandungannya dengan
asam lemak tak jenuh. Kelapa sawit mengandung kurang lebih 80% perikarp dan
20% buah yang dilapisi kulit yang tipis, kadar minyak dalam perikarp sekitar
34-40% (Ketaren, 1987). Komposisi asam lemak bebas minyak sawit (CPO) dapat
dilihat/ tercantum pada tabel 2.1 berikut.
Tabel 2.1 Komposisi Asam Lemak Minyak Kelapa Sawit (Ketaren, 1986).
Asam Lemak Jumlah (%) Minyak sawit
Asam Kaprilat
2.4 Standar Mutu Minyak Kelapa Sawit
Minyak sawit berperan penting dalam perdagangan dunia. Berbagai
industri, baik pangan maupun nonpangan banyak menggunakannya sebagai bahan
baku. Dalam perdagangan minyak kelapa sawit istilah mutu memiliki dua
kemurnian minyak itu sendiri. Kemurnian minyak tersebut dapat diartikan tidak
tercampur dengan minyak nabati lain. Dalam hal ini kemurnian minyak sawit
dapat dilihat dari sifat-sifat fisiknya, antara lain: titik lebur, bilangan penyabunan,
bilangan iodine. Sedangkan pengertian mutu yang kedua mengarah pada
spesifikasi/ penilaian menurut ukuran sesuai standar mutu internasional.
Spesifikasi tersebut meliputi: Asam Lemak Bebas (ALB)/ Free Fatty Acid (FFA),
kadar air, kadar kotoran, dan kadar logam. Dalam hal ini syarat mutu diukur
berdasarkan spesifikasi standar mutu internasional yang meliputi kadar asam
lemak bebas (ALB), air, kotoran, logam besi, logam tembaga, peroksida, dan
ukuran pemucatan (Tim Penulis, 1997).
Standar mutu minyak sawit, norma/ ketetapan mutu pabrik kelapa sawit
Adolina dan syarat mutu minyak kelapa sawit mentah (CPO) SNI Nomor
01-2901-2006 tercantum pada tabel 2.2, 2.3, 2.4 berikut:
Tabel 2.2 Standar Mutu Minyak Sawit
Karakteristik Minyak Sawit Ket
Tabel 2.3 Norma/ Ketetapan Mutu Pabrik Kelapa Sawit Adolina
Kriteria Norma yang ditetapkan
Minyak Sawit (CPO)
- Asam Lemak Bebas (ALB) - Kadar Air
- Kadar Kotoran
<5,00 0,150 0.020 Sumber: SOP Adolina
Tabel 2.4 Syarat Mutu Minyak Kelapa Sawit Mentah (CPO) SNI Nomor
01-2901-2006.
Kriteria Uji Satuan Syarat Mutu
Warna - Jingga kemerahan
Kadar Air dan Kotoran % fraksi masa 0,5 maks
Asam Lemak Bebas % fraksi masa 5 maks
Bilangan Yodium g Yodium/ 100 g 50-55
2.5 Asam Lemak Bebas (ALB)
Asam lemak bebas adalah asam lemak yang berada sebagai asam bebas
tidak terikat sebagai trigliserida. Kandungan asam lemak bebas pada minyak sawit adalah salah satu penentu utama mutu minyak sawit yang diperdagangkan.
Terbentuknya asam lemak bebas ini adalah sebagai bentuk enzim lipase. Pada
waktu buah sawit masih di pohon, enzim ini berperan dalam pembentukan minyak
tetapi setelah buah sawit tersebut dipanen enzim ini akan memecah/ merombak
kelapa sawit yang struktur selnya rusak/ memar mengandung enzim lipase yang
paling aktif (Ketaren, 1986).
Kandungan asam lemak bebas pada buah segar adalah rendah, yaitu 0,1%,
tetapi bila buah memar dan remuk maka asam lemak bebas akan meningkat cepat
dalam beberapa jam saja. Asam lemak bebas dalam konsentrasi tinggi yang terikut
dalam minyak sawit sangat merugikan. Tingginya asam lemak bebas ini
mengakibatkan rendemen minyak turun. Untuk itulah perlu dilakukan usaha
pencegahan terbentuknya asam lemak bebas dalam minyak sawit. Kenaikan asam
lemak bebas ditentukan mulai dari tandan dipanen sampai tandan diolah di pabrik.
Kenaikan asam lemak bebas ini disebabkan adanya reaksi hidrolisa pada minyak.
Hasil reaksi hidrolisa minyak sawit adalah gliserol dan asam lemak bebas
(Ketaren, 1986).
Hidrolisis lemak menjadi gliserol dan asam lemak bebas dalam buah
kelapa sawit terjadi sejak buah membrondol atau saat tandan dipotong dan
terlepas hubungannya dengan pohon. Proses hidrolisis dikatalisis oleh enzim
lipase yang terdapat didalam buah, tetapi berada di luar sel yang mengandung
minyak. Jika dinding sel pecah karena proses pembusukan, pelukaan mekanik,
tergores atau memar karena benturan, enzim akan bersinggungan dengan minyak
dan reaksi hidrolisis akan berlangsung dengan cepat. Pembentukan asam lemak
bebas oleh mikroorganisme juga dapat terjadi bila suasana sesuai, yaitu pada suhu
rendah di bawah 50oC, dan dalam keadaan lembab dan kotor. Oleh karena itu,
suhu diatas 90oC seperti pada pemisahan dan pemurnian akan menghancurkan
semua mikroorganisme dan menginaktifkan enzimnya (Mangoensoekarjo, 2003).
2.6 Faktor yang Mempengaruhi Peningkatan ALB
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan peningkatan kadar asam lemak
bebas yang relatif tinggi dalam minyak sawit antara lain:
1. Pemanenan buah sawit yang tidak tepat waktu.
Penentuan saat panen sangat mempengaruhi kandungan asam lemak
bebas minyak sawit yang dihasilkan. Apabila pemanenan buah dilakukan dalam
keadaan lewat matang, maka minyak yang dihasilkan mengandung asam lemak
bebas dalam persantase tinggi (lebih dari 5%). Sebaliknya, jika pemanenan
dilakukan dalam keadaan buah belum matang, maka selain kadar asam lemak
bebasnya rendah, rendemen minyak yang diperolehnya juga rendah (Tim Penulis
PS, 1997).
Tabel 2.5 TingkatKematangan Buah Terhadap Rendemen Minyak Sawit
Kematangan/
Fraksi Jumlah Berondolan
2. Keterlambatan dalam pengumpulan dan pengangkutan buah.
Pencegahan kerusakan buah sawit dengan sistem yang dianggap cukup
efektif adalah dengan memasukkan TBS langsung ke dalam keranjang rebusan
buah. Hal ini akan lebih mengefisienkan waktu yang digunakan untuk
pembongkaran, pemuatan, atau penumpukan yang terlalu lama. Sehingga,
pembentukan asam lemak bebas buah dapat dikurangi.
3. Penumpukan buah yang terlalu lama.
Pencegahan kerusakan buah sawit dengan sistem yang dianggap cukup
efektif adalah dengan memasukkan TBS langsung ke dalam keranjang rebusan
buah. Hal ini akan lebih mengefisienkan waktu yang digunakan untuk
pembongkaran, pemuatan, atau penumpukan yang terlalu lama. Sehingga,
pembentukan asam lemak bebas buah dapat dikurangi (Mangoensoekarjo, 2003).
4. Proses hidrolisa selama pemprosesan di pabrik.
Peningkatan kadar asam lemak bebas juga dapat terjadi pada proses
hidrolisa di pabrik. Pada proses ini terjadi penguraian kimiawi yang dibantu oleh
air dan berlangsung pada kondisi suhu tertentu. Air panas dan uap air pada suhu
tertentu merupakan bahan pembantu dalam proses pengolahan. Akan tetapi,
proses pengolahan yang kurang cermat mengakibatkan efek samping yang tidak
diinginkan, mutu minyak menurun sebab air pada kondisi tertentu bukan
membantu proses pengolahan tetapi malah menurunkan mutu minyak dengan
meningkatnya kadar asam lemak bebas pada minyak sawit. Untuk itu, setelah
akhir proses pengolahan minyak sawit dilakukan pengeringan dengan bejana