• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Pemerintah Untuk Meningkatkan Penggunaan Produk Industri Dalam Negeri Melalui Pengadaan Barang Dan Jasa Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 Tentang Perindustrian Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peran Pemerintah Untuk Meningkatkan Penggunaan Produk Industri Dalam Negeri Melalui Pengadaan Barang Dan Jasa Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 Tentang Perindustrian Chapter III V"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

ASPEK HUKUM PENGADAAN BARANG DAN JASA MENURUT PERATURAN PRESIDEN (PERPRES) NOMOR 54 TAHUN 2010

TENTANG PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH

A. Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa

1. Tinjauan Umum Pengadaan Barang dan Jasa

a. Perkembangan Pengadaan Barang dan Jasa

Pengadaan barang dan jasa merupakan suatu kegiatan dalam rancangan

kerja untuk memenuhi kebutuhan bagi pengguna barang maupun jasa atau yang

memberi pekerjaan. Barang yang dimaksud adalah setiap benda berwujud maupun

tidak berwujud, bergerak maupun tidak bergerak yang merupakan kebutuhan

pengguna barang tersebut.66 Sedangkan jasa yang dimaksud terdiri dari input, proses, dan/atau output.67 Dari defenisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengadaan barang jauh lebih sederhana dibandingkan dengan jasa. Untuk

pengadaan barang, utamanya dilihat dari output saja. Sementara itu, proses tidak

lebih dari sekedar pelengkap.68

Pengadaan barang dan jasa dimulai dari adanya transaksi

pembelian/penjualan barang di pasar secara langsung (tunai). Kemudian

berkembang kearah pembelian berjangka waktu pembayaran, dengan membuat

66

Perpres Nomor 54 Tahun 2010, Pasal 1 angka 14 dan lihat juga Pasal 503-518 BW. 67

Perpres Nomor 54 Tahun 2010, Pasal 15-17 dan jasa masuk ke dalam ketegori barang tidak berwujud, misalnya jasa pelayanan kesehatan, jasa pelayanan pendidikan, jasa konsultasi, jasa supervisi, jasa manajemen, dll.

68

(2)

dokumen pertanggungjawaban (pembeli dan penjual), dan pada akhirnya melalui

pengadaan dan proses pelelangan. Dalam prosesnya, pengadaan barang dan jasa

melibatkan beberapa pihak terkait, sehingga perlu ada etika, norma, dan prinsip

pengadaan barang dan jasa, untuk dapat mengatur atau yang dijadikan dasar

penetapan kebijakan pengadaan barang dan jasa.69

Banyaknya jumlah dan jenis barang yang akan dibeli, tentunya akan

membutuhkan waktu lama bila harus dilakukan tawar menawar, biasanya

pengguna akan membuat daftar jumlah dan jenis barang yang akan dibeli secara

tertulis, yang selanjutnya diserahkan kepada penyedia barang agar mengajukan

penawaran secara tertulis pula. Daftar barang yang disusun secara tertulis tersebut

merupakan asal-usul dokumen pembelian, sedangkan penawaran harga yang

dibuat secara tertulis merupakan asal usul dokumen penawaran.70

Pada perkembangan selanjutnya, pihak pengguna menyampaikan daftar

barang yang akan dibeli tidak hanya kepada satu tetapi kepada beberapa penyedia

barang. Dengan meminta penawaran kepada beberapa penyedia barang, pengguna

dapat memilih harga penawaran yang paling murah dari setiap jenis barang yang

akan dibeli. Cara yang demikian merupakan cika-bakal pengadaan barang dengan

cara lelang. Namun demikian, pembelian barang tidak terbatas pada pembelian

barang yang telah ada di pasar saja, tetapi juga pembelian barang yang belum

tersedia di pasar. Pembelian barang yang belum ada di pasar dilakukan dengan

cara pesanan. Agar barang yang dipesan dapat dibuat seperti yang diinginkan,

69

Adrian Sutedi, Aspek Hukum Pengadaan Barang dan Jasa dan Berbagai

Permasalahannya, (Edisi I: Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm 1.

70

(3)

maka pihak pemesan (pengguna) menyusun nama, jenis, jumlah barang yang

dipesan beserta spesifikasinya secara tertulis dan menyerahkannya kepada pihak

penyedia barang. Dokumen ini selanjutnya disebut dokumen pemesanan barang

yang menjadi cikal-bakal dokumen lelang.71

Pengadaan barang dengan cara pemesanan ternyata tidak terbatas pada

pesanan barang bergerak, tetapi juga barang tidak bergerak seperti rumah, gedung,

jembatan, bendungan dan lain-lainnya. Untuk pemesanan barang berupa

bangunan, pihak pengguna biasanya menyediakan gambar rencana atau gambar

teknis dari bangunan yang dipesan. Pemesanan atau pengadaan barang berupa

bangunan tersebut merupakan asal-usul pengadaan pekerja pemborongan yang

kemudian disebut pengadaan jasa pemborongan.72 b. Hakikat Pengadaan Barang dan Jasa

Pengadaan barang dan jasa atau dalam istilah asing disebut sebagai

procurement muncul karena adanya kebutuhan akan suatu barang atau jasa, mulai

dari pensil, seprei, aspirin untuk kebutuhan rumah sakit, bahan bakar kendaraan

milik pemerintah, peremajaan mobil dan armada truk, peralatan sekolah dan

rumah sakit, perlengkapan perang untuk instansi militer, perangkat ringan atau

berat untuk perumahan, pembangunan, untuk jasa konsultasi serta kebutuhan jasa

lainnya (seperti pembangunan stasiun pembangkit listrik atau jalan tol hingg

71

Loc. Cit..

72

(4)

menyewa jasa konsultan bidang teknik, keuangan, hukum atau fungsi konsultasi

lainnya).73

Istilah pengadaan barang dan jasa atau procurement diartikan secara luas,

mencakup penjelasan dari tahap persiapan, penentuan dan pelaksanaan atau

administrasi tender untuk pengadaan barang, lingkup pekerjaan atau jasa lainnya.

Pengadaan barang dan jasa juga tak hanya sebatas pada pemilihan rekanan proyek

dengan bagian pembelian (purchasing) atau perjanjian resmi kedua belah pihak

saja, tetapi mencakup seluruh proses sejak awal perencanaan, persiapan, perijinan,

penentuan pemenang tender hingga tahap pelaksanaan dan proses administrasi

dalam pengadaan barang, pekerjaan atau jasa seperti jasa konsultasi teknis, jasa

konsultasi keuangan, jasa konsultsi huku m atau jasa lainnya.74

Berdasarkan uraian dan pengertian tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa

filosofi pengadaan barang dan jasa adalah upaya untuk mendapatkan barang dan

jasa yang diinginkan dengan dilakukannya atas dasar pemikiran yang logis dan

sistematis (the system of thought), mengikuti norma dan etika yang berlaku,

berdasarkan metoda dan proses pengadaan yang baku. 75 c. Para Pihak76

Pengadaan barang/jasa melibatkan beberapa pihak. Para pihak ini terbagi

menjadi dua yaitu pengguna dan penyedia. Di sisi pengguna, struktur para pihak

dibagi sesuai dengan tugas pokok, fungsi, dan kewenangan dalam setiap tahapan.

1) Pengguna Anggaran

73

Adrian Sutedi, Aspek Hukum Pengadaan Barang dan Jasa dan Berbagai

Permasalahannya, (Edisi II: Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm 3.

(5)

Pengguna anggaran (PA) adalah pejabat pemegang kewenangan pengguna

anggaran kementerian/lembaga/satuan kerja perangkat daerah atau pejabat

yang disamakan pada institusi lain pengguna APBN/APBD.

Wewenang pengguna anggaran oleh presiden selaku kepala pemerintahan

dikuasakan kepada menteri/pimpinan lembaga atas kementerian

negara/lembaga yang dipimpinnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat 2

Undang-Undang Nomo 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Sementera untuk daerah, presiden menyerahkan kekuasaan pemerintahan

kepada kepala daerah. Kepala daerah kemudian menguasakan kewenangan

pengguna anggaran kepada kepala satuan kerja perangkat daerah (SKPD)

yang diatur dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 Tahun 2005

tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Tugas Pengguna Anggaran (PA),

sebagai berikut.

a) Menetapkan dan mengumumkan rencana umum pengadaan (RUP).

b) Mengawasi pelaksanaan anggaran.

c) Menetapkan PKK, PP, PPHP, tim teknis, dan tim juri.

d) Menetapkan pemenang pengadaan, yakni: barang/pekerjaan

konstruksi/jasa lainnya > Rp100 miliar dan Jasa konsultansi > Rp10

miliar.

e) Pelaporan keuangan.

f) Menyimpan seluruh dokumen.

g) Menyelesaikan perselisihan pihak yang diangkat.

(6)

Kuasa pengguna anggaran (KPA) adalah pejabat yang ditetapkan oleh PA

untuk menggunakan APBN atau ditetapkan oleh kepala daerah untuk

menggunakan APBD. Tugas pokok KPA adalah melaksanakan sebagian

kewenangan pengguna anggaran yang dilimpahkan kepadanya.

3) Pejabat Pembuat Komitmen

Pejabat pembuat komitmen (PKK) adalah pejabat yang bertanggung jawab

atas pelaksanaan pengadaan barang/jasa. Tugas pokok PKK, sebagai

berikut.

a) Menetapkan rencana pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah

(spesifikasi teknis, harga perkiraan sendiri (HPS), dan rancangan

kontrak).

b) Menerbitkan surat penunjukan penyedia barang/jasa (SPPBJ) dan

menandatangani kontrak.

c) Melaksanakan dan mengendalikan kontrak.

d) Melaporkan kemajuan pekerjaan dan hambatannya.

e) Melaporkan pelaksanaan dan menyerahkan hasil pekerjaan.

f) Menyimpan seluruh dokumen pelaksanaan.

PKK dilarang mengadakan ikatan perjanjian dengan menandatangani

kontrak untuk penyedia barang/jasa apabila belum tersedia anggaran atau

tidak cukup tersedia anggaran yang dapat mengakibatkan dilampauinya

batas anggaran yang tersedia untuk kegiatan yang dibiayai dari

APBN/APBD.

(7)

Unit Layanan pengadaan (ULP) adalah unit organisasi

kementerian/lembaga/pemerintah daerah/institusi yang berfungsi

melaksanakan pengadaaan barang/jasa yang bersifat permanen, dapat berdiri

sendiri, atau melekat pada unit yang sudah ada.

5) Kelompok kerja ULP

Kelompok kerja adalah tim kepanitiaan berjumlah gasal yang dibentuk oleh

unit layanan pengadaan untuk melaksanakan proses pemilihan penyedia.

6) Pejabat Pengadaan

Pejabat pengadaan adalah personel yang ditunjuk untuk melaksanakan

pengadaan langsung.

7) PPHP

Panitia/pejabat penerima hasil pekerjaan (PPHP) adalah panitia/pejabat yang

ditetapkan oleh PA/KPA yang bertugas memeriksa dan menerima hasil

pekerjaan.

8) Penyedia

Penyedia barang/jasa adalah badan usaha atau orang perseorangan yang

menyediakan barang/pekerjaan konstruksi/jasa konsultansi/jasa lainnya.

2. Etika, Norma, dan Prinsip Pengadaan Barang dan Jasa

Pengadaan barang dan jasa pada dasarnya melibatkan dua pihak yaitu pihak

pengguna barang/jasa dan pihak penyedia barang/jasa, tentunya dengan

keinginan/kepentingan berbeda bahkan dapat dikatakan bertentangan. Pihak

pengguna barang/jasa menghendaki memperolah barang dan jasa dengan harga

(8)

barang/jasa sesuai kepentingan pengguna barang/jasa ingin mendapatkan

keuntungan yang setinggi-tingginya. Dua keinginan/kepentingan ini akan sulit

dipertemukan kalau tidak ada saling pengertian dan kemauan untuk mencapai

kesepakatan. Untuk itu perlu adanya etika dan norma yang harus disepakati dan

dipatuhi bersama.77

a. Etika Pengadaan Barang dan Jasa

Etika adalah asas akhlak/moral (Kamus Umum Bahasa Indonesia

asas-asas adalah dasar-dasar atau pondasi atau sesuatu kebenaran yang menjadi dasar

atau tumpuan berfikir. akhlak adalah watak, tabiat, budi pekerti sedangkan moral

adalah perbuatan baik-buruk). Etika dalam pengadaan barang dan jasa adalah

perilaku yang baik dari semua pihak yang terlibat dalam proses pengadaan. Yang

dimaksud perilaku yang baik adalah perilaku untuk saling menghormati terhadap

tugas dan fungsi masing-masing pihak, bertindak secara profesional, dan dan tidak

saling mempengaruhi untuk maksud tercela atau untuk kepentingan/ keuntungan

pribadi dan atau kelompok dengan merugikan pihak lain.78

Para pihak yang terkait dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa harus mematuhi

etika sebagai berikut.79

1) Melaksanakan tugas secara tertib disertai rasa tanggung jawab untuk

mencapai sasaran, kelancaran, dan ketepatan tercapainya tujuan pengadaan

barang/jasa.

77

Adrian Sutedi, Edisi II, Ibid., hlm. 39. 78

Loc. Cit.

79

(9)

2) Bekerja secara profesional, mandiri, dan menjaga kerahasiaan dokumen

pengadaan barang/jasa yang menurut sifatnya harus dirahasiakan untuk

mencegah terjadinya penyimpangan dalam pengadaan barang/jasa.

3) Tidak saling mempengaruhi baik, langsung maupun tidak langsung yang

berakibat terjadinya persaingan tidak sehat.

4) Menerima dan bertanggung jawab atas segala keputusan yang ditetapkan

sesuai dengan kesepakatan tertulis para pihak.

5) Menghindari dan mencegah terjadinya pertentangan kepentingan para pihak

yang terkait, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam proses

pengadaan barang/jasa.

6) Menghindari dan mencegah terjadinya pemborosan dan kebocoran

keuangan negara dalam pengadaan barang/jasa.

7) Menghindari dan mencegah penyalahgunaan wewenang dan/atau kolusi

dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan atau pihak lain yang

secara langsung atau tidak langsung merugikan negara.

8) Tidak menerima, menawarkan, atau menjanjikan untuk memberi atau

menerima hadiah, imbalan, komisi, rabat dan apapun dari atau kepada

siapapun yang diketahui atau patut diduga berkaitan dengan pengadaan

barang/jasa.

Dari uraian di atas maka perbuatan yang tidak patut dilakukan dan sangat

bertentangan dengan etika pengadaan adalah apabila salah satu pihak atau secara

bersama-sama melakukan praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

(10)

oleh karena itu perlu adanya upaya untuk meningkatkan mutu pelaksanaan

pengadaan barang dan jasa. Upaya tersebut diantaranya dapat dilakukan melalui

penyempurnaan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan

pengadaan, meningkatkan profesionalisme para pelaku pengadaan, meningkatkan

pengawasan serta penegakan hukum.80 b. Norma Pengadaan Barang dan Jasa

Agar tujuan pengadaan barang dan jasa dapat tercapai dengan baik, maka

semua pihak yang terlibat dalam proses pengadaan harus mengikuti norma yang

berlaku. Suatu norma baru ada apabila terdapat lebih dari satu orang, karena

norma pada dasarnya mengatur tata cara bertingkah laku seseorang terhadap orang

lain atau terhadap lingkungannya.81

Sebagaimana norma lain yang berlaku, norma pengadaan barang dan jasa

terdiri dari norma tidak tertulis dan norma tertulis. Norma tidak tertulis pada

umumnya adalah norma yang bersifat ideal, sedangkan norma tertulis pada

umumnya adalah norma yang bersifat operasional. Norma ideal pengadaan barang

dan jasa antara lain tersirat dalam pengertian tentang hakekat, filosofi, etika,

profesionalisme dalam bidang pengadaan barang dan jasa. Sedangkan norma

pengadaan barang dan jasa bersifat operasional pada umunya telah dirumuskan

dan dituangkan dalam peraturang perundangan yaitu berupa

undang-undang, peraturan, pedoman, petunjuk, dan bentuk produk statuter lainnya.82 c. Prinsip Pengadaan Barang dan Jasa

80

Adrian Sutedi, Edisi II, Op. Cit., hlm. 40.

81

Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan Dasar-Dasar dan

Pembentukannya, (Jakarta: Kanisius, 1998), hlm. 6.

82

(11)

Prinsip Pengadaan adalah tata nilai utama yang harus dipenuhi dalam setiap

proses pengadaan barang/jasa pemerintah. Tata nilai ini mencakup keseluruhan

proses. Ada tujuh prinsip pengadaan barang/jasa pemerintah yang diatur dalam

Perpres Nomor 54 Tahun 2010, yaitu:83

1) Efisien, berarti pengadaan barang/jasa menggunakan dana dan daya yang

minimal untuk mencapai kualitas dan sasaran dalam waktu yang ditetapkan

atau menggunakan dana yang telah ditetapkan untuk mencapai hasil dan

kualitas yang maksimal. Kata kunci terkait prinsip ini adalah hemat yaitu

hemat sumber daya dan sumber dana.

2) Efektif, berarti pengadaan barang/jasa harus sesuai dengan kebutuhan dan

sasaran yang telah ditetapkan serta memberikan manfaat yang

sebesar-besarnya. Kata kunci prinsip ini adalah tepat, yaitu tepat kualitas, kuantitas,

waktu, tempat, dan/atau harga yang selalu ada di bagian akhir.

3) Transparan, berarti semua ketentuan dan informasi mengenai

pengadaan barang/jasa bersifat jelas dan dapat diketahui secara luas oleh

penyedia barang/jasa yang berminat serta oleh masyarakat pada

umumnya. Salah satu penerapan prinsip ini adalah memberikan

informasi variabel-variabel yang digunakan dalam evaluasi penawaran

kepada publik. Dengan demikian, publik tidak hanya penyedia, tetapi

juga masyarakat mengetahui kriteria penilaian yang akan digunakan dalam

pemilihan penyedia. Kata kunci prinsip ini adalah memberikan informasi

kepada publik.

83

(12)

4) Terbuka, berarti pengadaan barang/jasa dapat diikuti oleh semua

penyedia barang/jasa yang memenuhi persyaratan/kriteria tertentu

berdasarkan ketentuan dan prosedur yang jelas.

5) Bersaing, berarti pengadaan barang/jas harus dilakukan melalui persaingan

yang sehat di antara sebanyak mungkin penyedia barang/jasa yang setara

dan memenuhi persyaratan, sehingga dapat diperoleh barang/jasa yang

ditawarkan secara kompetetif dan tidak ada intervensi yang mengganggu

terciptanya mekanisme pasar dalam pengadaan barang/jasa.

6) Adil/tidak diskriminatif, berarti memberikan perlakuan yang sama bagi

semua calon penyedia barang/jasa dan tidak mengarah untuk memberi

keuntungan kepada pihak tertentu, dengan tetap memperhatikan

kepentingan nasional. Contoh perlakuan diskriminatif ini adalah

pemberlakuan persyaratan “setempat”, misalnya wajib mempunyai KTP

setempat atau kartu anggota asosiasi setempat.

7) Akuntabel, berarti harus sesuai dengan aturan dan ketentuan yang terkait

dengan pengadaan barang/jasa sehingga dapat dipertanggungjawabkan.

Artinya, setiap keputusan yang diambil dalam proses pengadaan harus dapat

dipertanggungjawabkan dasar hukumnya.

3. Kebijakan Umum Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah

Kebijakan umum pengadaan barang/jasa pemerintah bertujuan untuk

menciptakan sinergi antara ketentuan pengadaan barang/jasa dan

(13)

pemerintah dalam pengadaan barang/jasa sebagaimana diatur dalam Perpres

Nomor 54 Tahun 2010, sebagai berikut.84

a. Peningkatan penggunaan produksi barang/jasa dalam negeri yang

sasarannya untuk memperluas kesempatan kerja dan basis industri dalam

negeri dalam rangka meningkatkan ketahanan ekonomi dan daya saing

nasional.

b. Kemandirian industri pertahanan, industri alat utama sistem senjata

(Alutsista) dan industri alat material khusus (Almatsus) dalam negeri.

c. Peningkatan peran serta usaha mikro, usaha kecil, koperasi kecil, dan

kelompok masyarakat dalam pengadaan barang/jasa.

d. Perhatian terhadap aspek pemanfaatan sumber daya alam dan

pelestarian fungsi lingkungan hidup secara arif untuk menjamin

terlaksananya pembangunan berkelanjutan.

e. Peningkatan penggunaan teknologi informasi dan transaksi elektronik.

f. Penyederhanaan ketentuan dan tata cara untuk mempercepat proses

pengambilan keputusan dalam pengadaan barang/jasa.

g. Peningkatan profesionalisme, kemandirian, dan tanggung jawab para

pihak yang terlibat dalam perencanaan dan proses pengadaan barang/jasa.

h. Peningkatan penerimaan negara melalui sektor perpajakan.

i. Penumbuhkembangan peran usaha nasional.

j. Penumbuhkembangan industri kreatif inovatif, budaya dan hasil penelitian

laboratorium atau institusi pendidikan dalam negeri.

84

(14)

k. Memanfaatkan sarana/prasarana penelitian dan pengembangan dalam

negeri.

l. Pelaksanaan pengadaan barang/jasa di dalam wilayah Negara Kesatuan

Republik Indonesia, termasuk di Kantor Perwakilan Republik Indonesia.

m. Pengumuman secara terbuka rencana dan pelaksanaan pengadaan

barang/jasa di masing-masing kementerian/lembaga/satuan kerja Pemerintah

Daerah/Institusi lainnya kepada masyarakat luas.

4. Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa melalui Pemberian Pinjaman

Perjanjian pinjaman luar negeri merupakan salah satu perjanjian yang

dikenal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2006 tentang Tata Cara

Pengadaan Pinjaman, Penerimaan Hibah Serta Penerusan Pinjaman dan Hibah

Luar Negeri. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2006 tidak disebutkan

secara eksplisit tentang pengertian perjanjian pinjaman luar negeri. Hal yang

disebutkan secara eksplisit dalam peraturan pemerintah itu, hanya berkaitan

dengan pinjaman luar negeri dan naskah perjanjian pinjaman luar negeri

(NPPLN). Pengertian pinjaman luar negeri kita temukn dalam Pasal 1 angka 4

Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2006. Pinjaman luar negeri adalah setiap

penerimaan negara baik dalam bentuk devisa dan/atau devisa yang dirupiahkan,

rupiah, maupun dalam bentuk barang/jasa yang diperoleh dari pemberian

pinjaman luar negeri yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu.85

85

Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Di luar KUH Perdata, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), hlm. 47.

(15)

a. Lembaga Keuangan Internasional (International Financial Institution –

IFIS)86

Lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia, Bank Pembangunan

Asia, Bank Pembangunan Afrika, Bank Pembangunan InterAmerika, Bank Eropa

untuk rekonstruksi dan pembangunan dan bank-bank pembangunan nasional

(seperti Kreditanstalt fur Wiederaufbau di Jerman) selama bertahun-tahun telah

mengembangkan peraturan mengenai pengadaan barang dan jasa sesuai

kepentingan mereka. Panduan Bank Dunia tentang pengadaan barang dan jasa

(termasuk mengenai penentuan konsultan) merupakan sistem yang paling

kompleks dan juga telah diadopsi lembaga keuangan lainnya.

Panduan ini juga memasukkan sistem yang terbukti berhasil mengurangi

korupsi, namun karena sistem ini dijalankan oleh staf pemerintahan, peserta

tender dan staf lembaga keuangan internasional, menyebabkan sistem ini sangat

rentan. Dimana staf lembaga keuangan internsional dapat terlibat dalam kasus

suap bersama peserta tender. Modus adalah keengganan menerapkan transparansi

penuh dalam sistem pengadaan barang dan jasa. Meski masih memiliki

kelemahan, namun panduan Bank Dunia ini masih merupakan standar

internasional yang terbaik saat ini.

b. Kredit Ekspor dan Lembaga Penjamin Kredit Ekspor (ECAS)87

Banyak pemerintah menawarkan ekspor dan penanaman modal

internasional ke perusahaan-perusahaan domestik dengan cara menyediakan

dukungan keuangan dalam bentuk kredit atau asuransi ekspor penanaman modal.

86

Adrian Sutedi, Op. Cit., hlm. 43. 87

(16)

Lembaga penjamin kredit ekspor (selanjutnya disebut ECAS) banyak

menyediakan dukungan dalam penjualan dan pembelian proyek infrastruktur di

seluruh dunia.

Sebelumnya hanya ECAS yang menjadi anggota kelompok negara-negara

maju (OECD) yang mendukung upaya mengidentifikasi korupsi dan menolak

perlindungan bagi pelaku korupsi. Dukungan ini diperkuat lagi dengan Action

Agreement yang dilakukan oleh OECD Export Credit Working Group pada bulan

April 2006. Meski masih menuai tantangan saat akan ditetapkan di seluruh dunia,

Action Agreement 2006 ini menjadi alat yang penting untuk mencegah dan

mengawasi praktik korupsi dalam transaksi-transaksi bisnis Internasional,

diantaranya:

a) ECAS menginformasikan adanya konsekuensi hukum atas tindakan

penyuapan kepada para eksportir;

b) Persyaratan bagi perusahaan penjamin untuk memasukan surat pernyataan

bahwa kontrak ekspor yang didanai atau dijaminnya, tidak didapat dengan

cara suap atau korupsi;

c) Kemungkinan bagi ECAS untuk menerapkan secara efektif sanksi dan

hukuman lainnya jika terjadi pelanggaran;

d) Kemungkinan bagi ECAS untuk meminta informasi tentang para agen,

komisi yang diterima dan mandatnya kepada para eksportir;

(17)

c. Bank Komersial

Bank-bank komersial sebenarnya memegang peran penting dalam

pencegahan korupsi dan memantau transaksi bisnis. Meski hal ini jarang sekali

dilakukan. Bank-bank tersebut lebih sering berperan sebagai penyedia informasi

yang dapat menjadi indikasi kuat terjadinya korupsi yang melibatkan agen di luar

negeri, terutama pembayaran komisi dan kontrak yang tidak jelas, pergerakan

uang untuk pajak pendapatan dan ketidakjelasan struktur kepemilikan perusahaan.

Seharusnya, bank-bank tersebut dapat menerapkan due diligence88

d. Lembaga Donor

kepada

nasabahnya serta meningkatkan ketertarikan untuk mengurangi resiko sekaligus

mengurangi resiko korupsi.

89

Lembaga donor memiliki peran penting dalam pelaksanaan sistem

transparansi dan akuntabilitas, baik diluar kegiatan yang didanai maupun kegiatan

operasionalnya sendiri. Setiap lembaga donor memiliki sistem pengadaan barang

dan jasa sendiri, yang masih memilki kelemahan dari sisi transparansi dalam mata

rantai proyek yang mereka danai. Kesulitan yang muncul adalah ketika terjadi

disharmoni antara penerapan aturan donor dengan peraturan di negara yang

didanainya. Namun hal ini telah di bahas secara mendalam melalui Increasing Aid

88

Due diligence adalah istilah yang digunakan untuk kegiatan pemeriksaan secara

seksama dari segi hukum yang dilakukan oleh konsultan hukum terhadap suatu perusahaan atau obyek transaksi sesuai dengan tujuan transaksi, untuk memperoleh informasi atau fakta material yang dapat menggambarkan kondisi suatu perusahaan atau obyek transaksi. Pemeriksaan dan penilaian yang dilakukan oleh konsultan hukum tersebut (Legal Due Diligence), merupakan suatu analisa hukum terhadap satu atau lebih dokumen perusahaan yang dilakukan untuk: 1. memperoleh status hukum atau penjelasan hukum terhadap dokumen yang diaudit atau diperiksai; 2. Memeriksa legalitas suatu badan hukum/badan usaha; 3. Memeriksa tingkat ketaatan suatu badan hukum/badan usaha; 4. memberikan pandangan hukum atau kepastian hukum dalam suatu kebijakan yang dilakukan oleh perusahaan. “Strategi Pembuatan Legal Due Diligence yang Tanpa Celah”, www.hukumonline.com (diakses 3 Juni 2016).

89

(18)

Effectiveness dalam Deklarasi Paris yang ditandatangani sebagian besar lembaga

donor dan negara-negara penerima bantuan pada tahun 2005.

Isi deklarasi Paris (dilengkapi dengan indikator perkembangan), termasuk

komitmen negara berkembang, dalam penerapan standar kerjasama saling

menguntungkan serta reformasi jangka menengah dan jangka panjang tentang

sistem pengadaan barang dan jasa. Lembaga donor juga harus berkomitmen untuk

membantu bila negara penerima bantuan yang telah menerapkan standarisasi

sistem pengadaan barang dan jasanya. Komitmen lainnya adalah lembaga donor

akan melakukan pendekatan secara terpadu bila sistem nasional negara

bersangkutan tidak berhasil menerapkan standarisasi yang diharapkan.

OECD-DAC Joint Venture on Procurement bekerjasama dengan Bank

Dunia dan pemerintah negara berkembang untuk menyepakati 4 skala peringkat

(A-D) dalam penerapan sistem pengadaan barang dan jasa di seluruh negara. Data

yang diperoleh mengacu pada indikator yang telah disetujui dalam alat

standarisasi penilaian sistem pengadaan barang dan jas OECD (the OECD

Benchmark and Assesment Tool for Public Procurement System) versi empat yang

dirilis tahun 2006.

B. Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah

1. Prinsip dan Aturan Hukum Pengadaan Barang dan Jasa oleh Pemerintah

Pengaturan pelaksanaan pengadaan barang/jasa melalui penyedia

barang/jasa di dalam Bab VI Perpres Nomor 54 Tahun 2010, dimulai dari

(19)

a. Persiapan Pengadaan90

Tahap persiapan pengadaan sebagaimana diatur dalam Pasal 33 Perpres

Nomor 54 Tahun 2010, meliputi: perencanaan pemilihan penyedia barang/jasa;

pemilihan sistem pengadaan; penetapan metode penilaian kualifikasi; penyusunan

jadwal pemilihan penyedia barang/jasa; penyusunan dokumen pengadaan, dan

penetapan HPS. Namun, sebelum masuk kedalam tahap persiapan pengadaan,

penggunaan anggaran (PA) terlebih dahulu menyusun dan menetapkan rencana

umum pengadaan barang/jasa sesuai dengan kebutuhan K/L/D/I dan

mengumumkan paling tidak dalam website K/L/D/I.

Rencana itu meliputi kegiatan dan anggaran pengadaan yang akan dibiayai

oleh K/L/D/I sendiri, dan/atau kegiatan dan anggaran pengadaan yang akan

dibiayai berdasarkan kerjasama antar K/L/D/I secara pembiayaan bersama

(co-financing). Sedangkan kegiatan-kegiatan tersebut meliputi : a) identifikasi

kebutuhan barang/jasa, b) penyusunan dan penetapan rencana penganggaran, c)

penetapan kebijakan umum tentang pemaketan pekerjaan, cara pelaksanaan,

pengorganisasian pengadaan dan penetapan penggunaan produk dalam negeri, dan

d) penyusunan kerangka acuan kerja (KAK), yang paling sedikit memuat: uraian

kegiatan, waktu pelaksanaan, spesifikasi teknis barang/jasa, dan besarnya total

perkiraan biaya pekerjaan.

Sedangkan rencana pengadaan barang/jasa melalui swakelola91

90

Y. Sogar Simamora, Hukum Kontrak: Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa

Pemerintah di Indonesia, (Edisi II, Surabaya: Wins & Partners, 2012), hlm. 130.

meliputi: a)

(20)

jadwal pelaksanaan; c) perencanaan teknis dan penyiapan metode pelaksanaan; d)

penyusunan rencana keperluan tenaga, bahan dan peralatan secara rinci serta

dijabarkan dalam rencana kerja bulanan, rencana kerja mingguan dan/atau rencana

kerja harian; dan e) penyusunan rencana total biaya secara rinci dalam rencana

biaya bulanan dan/atau biaya mingguan yang tidak melampaui pagu anggaran.

Terkait panitia pengadaan, dalam Perpres ini lebih dikenal dengan Unit

Layanan Pengadaan (ULP) yang wajib dibentuk oleh K/L/D/I. di dalam

pelaksanaannya, pemilihan penyedia barang/jasa dilakukan Kelompok Kerja

(Pokja) ULP, yang wajib ditetapkan untuk pengadaan barang/pekerjaan

konstruksi/jasa lainnya dengan nilai diatas Rp 200.000.000,00. (dua ratus juta

rupiah), dan untuk pengadaan jasa konsultansi dengan nilai Rp 50.000.000,00

(lima puluh juta rupiah). Sama halnya dengan Keppres Nomor 80 Tahun 2003,

salah satu syarat untuk dapat menjadi anggota pokja ULP/pejabat pengadaan

adalah harus memiliki sertifikat keahlian, yaitu tanda bukti pengakuan atas

kompetensi dan kemampuan profesi di bidang pengadaan barang/jasa pemerintah

kecuali untuk Kepala ULP. Di samping itu terdapat tiga aspek yang harus dikuasai

atau dipahami oleh anggota Pokja ULP, yaitu: pekerjaan/kegiatan yang akan

diadakan; jenis pekerjaan tertentu yang menjadi tugas ULP/Pokja ULP/Pejabat

Pengadaan yang bersangkutan; dan isi dokumen, metode dan prosedur pengadaan.

Sedangkan terkait dengan pembentukan Pokja ULP, sama halnya dengan Keppres

Nomor 80 Tahun 2003, Perpres ini juga menentukan bahwa keanggotaan Pokja

91

(21)

ULP harus berjumlah gasal, paling kurang berjumlah 3 (tiga) orang, namun

Perpres Nomor 54 Tahun 2010 menambahkan bahwa keanggotaan Pokja ULP

dapat dibantu oleh tim atau tenaga ahli pemberi penjelasan teknis.

b. Pelaksanaan Pengadaan92

Pelaksanaan pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah dapat dilakukan

dengan dua cara, yaitu pengadaan yang dilakukan oleh penyedia barang/jasa dan

pengadaan dengan cara swakelola.93 Pengadaan pada cara yang pertama dibedakan menjadi dua yaitu pengadaan barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya

dan pengadaan untuk jasa konsultansi. Tahap ini merupakan tahap yang sangat

penting dan menentukan dalam pencapaian tujuan pengadaan. Prinsip dasar

pengadaan, yaitu: prinsip efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil/tidak

diskriminatif dan akuntabel sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Perpres Nomor 54

Tahun 2010 hanya akan bermakna jika prosedur dan tata cara pelaksanaan

pengadaan secara konsisten mengacu pada prinsip tersebut.94

2. Prinsip dan Aturan Hukum Dalam Tahap Pra Kontrak dan Penerapannya

Dalam Kontrak Pengadaan

Dari uraian mengenai prosedur dan tata cara pelaksanaan pengadaan

barang/jasa yang diselenggarakan dengan penyedia barang/jasa sebagaimana

ditetapkan dalam Perpres Nomor 54 Tahun 2010 nampak bahwa sebelum terjadi

92

Y. Sogar Simamora, Op. Cit., hlm. 140. 93

Perpres Nomor 54 Tahun 2010, Pasal 27.

94

(22)

kesepakatan antara pengguna barang/jasa (pemerintah) dengan penyedia

barang/jasa terdapat tahap pemilihan penyedia barang/jasa. Terdapat beberapa

metode pemilihan tergantung dari obyek pengadaannya, yaitu pelelangan/seleksi

umum, pelelangan/seleksi sederhana, pelelangan terbatas, pemilihan langsung,

penunjukan langsung, pengadaan langsung, dan sayembara/kontes. Tahap

pemilihan penyedia barang/jasa ini merupakan tahap menuju terciptanya kontrak

bagi kedua belah pihak. Dalam kaitan ini prinsip transparansi berikut prinsip

kompetitif dan responsiveness95

Oleh karena itu terhadap kontrak pemerintah, termasuk kontrak pengadaan,

berlaku prinsip dan aturan yang berlaku bagi kontrak privat pada umumnya maka

prinsip dan aturan umum tentang Hukum Perikatan

merupakan prinsip utama yang harus diterapkan

untuk mencapai tujuan pengadaan tidak saja sepadan dengan besarnya uang yang

dibelanjakan tetapi juga dari segi kualitas dapat dipertanggungjawabkan.

96

yang terdapat dalam Bab I

sampai Bab IV, Buku III BW berlaku bagi kontrak pengadaan disamping

kaidah-kaidah yang terdapat dalam yurisprudensi kita. Oleh sebab itu syarat-syarat yang

diwajibkan oleh BW bagi pembentukkan kontrak sebagaimana terdapat dalam

Pasal 1320 BW97

95

Responsiveness artinya kemampuan reaksi.

berlaku juga bagi kontrak pengadaan.

96

Perikatan adalah suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu. Adapun barang sesuatu yang dapat dituntut dinamakan “prestasi” yang menurut undang-undang dapat berupa: menyerahkan suatu barang, melakukan suatu perbuatan, dan tidak melakukan suatu perbuatan. Subekti, “Pokok-Pokok Hukum Perdata”, (Jakarta: Intermasa, 2001), hlm. 122-123.

97

(23)

Kesepakatan merupakan syarat pertama dalam pembentukan kontrak.

Dalam konteks kontrak pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah terdapat

beberapa tahapan yang harus dilalui sebelum persesuaian kehendak (meeting of

minds) menuju kesepakatan itu tercapai. Tahapan tersebut adalah yang terkait

dengan persiapan dan pelaksanaan pengadaan khususnya mengenai metode

pemilihan penyedia barang dan jasa berikut evaluasi terhadap dokumen

penawaran. Pada prinsipnya pembentukan kontrak itu diawali dengan pelelangan

(tender) atau seleksi, dan dalam hal tertentu dapat pula melalui proses negosiasi.

Setelah bagian yang menjelaskan elemen kesepakatan, termasuk didalamnya

pelelangan dan seleksi sebagai bagian dari cara pembentukan kesepakatan, akan

ditelaah pula kekuatan hukum Memorandum of Understanding (MOU), syarat

kewenangan dan prinsip-prinsip dalam perancangan kontrak (contract drafting).

a. Prinsip Konsensualisme: Penawaran dan Akseptasi98

Prinsip konsensualisme merupakan prinsip yang sangat penting dalam

hukum kontrak, khususnya pada aspek pembentukkan. Ini merupakan syarat

mutlak dalam setiap kontrak dan berfungsi untuk menjamin kepastian hukum.

Dengan prinsip ini dipahami bahwa kontrak dianggap telah terjadi dan karenanya

mengingkat para pihak sejak tercapainya kata sepakat. Prinsip ini berlaku

universal. Setiap kelompok sistem hukum menganut prinsip ini, bahkan dalam

perkembangannya prinsip konsensualisme memperoleh penjabaran lebih detail

dalam legislasi di beberapa negara, termasuk dalam BW baru Belanda dan dalam

98

(24)

berbagai model hukum kontrak, seperti PICC dan PECL serta konvensi seperti

CISG.

Dalam Hukum Positif kita, syarat kesepakatan merupakan syarat pertama

yang tertuang dalam Pasal 1320 BW. Tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai

hal-hal yang berhubungan dengan kata sepakat, kecuali tentang cacat kehendak

sebagaimana di atur dari Pasal 1321 sampai dengan Pasal 1328 BW. Dari

berbagai kepustakaan dapat disimpulkan bahwa kesepakatan adalah keadaan

dimana pernyataan pihak yang satu “cocok” dengan pernyataan kehendak pihak

lain. Cocok yang dimaksudkan adalah terdapat persesuaian, jadi bukan berarti

sama.

1) Penawaran99

Secara luas dipahami bahwa penawaran merupakan pernyataan kehendak

yang mengandung maksud untuk membuat kontrak. Penawaran dengan

demikian adalah usulan atau ajakan untuk mengadakan perjanjian. Namun

demikian tidak setiap usulan itu dapat dinilai sebagai penawaran. Dalam

penawaran harus diungkapkan secara jelas pokok yang diperjanjikan. Dalam

penawaran harus dikemukakan unsur pokok dari perjanjian. Hal yang pokok

dari perjanjian ini lazim disebut unsur essentialia. Dalam jual beli misalnya,

penawaran yang dimaksud harus mengemukakan unsur esensial dari jual

beli yakni barang dan harganya. Hal-hal yang tidak termasuk unsur pokok

tidak harus dikemukakan dalam penawaran. Apa yang terkandung dalam

penawaran secara hukum mengikat. Artinya, bila pihak lain melakukan

99

(25)

akseptasi maka isi penawaran itu berlaku baik mengenai unsur pokok yang

secara tegas telah dikemukakan, maupun unsur-unsur tambahan bila tentang

hal ini juga dikemukakan.

2) Akseptasi 100

Akseptasi merupakan pernyataan penerimaan oleh pihak yang ditawari atas

penawaran yang diajukan kepadanya. Akseptasi itu meliputi syarat dan

ketentuan dalam penawarannya. Akseptasi yang bersyarat tidak dapat dinilai

sebagai akseptasi melainkan penawaran balik (counter offer). Dalam proses

negosiasi yang panjang, sering terjadi counter offer karena penerimaan tidak

cocok (match) dengan penawarannya. Apabila terjadi counter offer maka

penawaran kehilangan kekuatannya karena adanya penolakan (rejection).

Menjadi pertanyaan dalam hal terjadi counter offer, siapa yang kemudian

menjadi pihak pemberi penawaran (offeror) dalam situasi seperti itu? Dalam

kaitan ini maka yang menjadi offeror adalah pihak yang melakukan counter

offer.

Terjadinya akseptasi menandai terjadinya kesepakatan. Oleh sebab itu

penentuan waktu terjadinya akseptasi sangat penting. Hak dan kewajiban

para pihak efektif berlaku setelah kesepakatan terbentuk. Para pihak tidak

dapat menuntut sama terhadap yang lain sebelum mereka mencapai

kesepakatan. Dengan demikian para pihak hanya saling terikat pada

kewajiban kontraktualnya manakala mereka telah mencapai kesepakatan.

100

(26)

Dalam kaitan inilah maka isu mengenai waktu terjadinya akseptasi

merupakan isu yang sangat penting dijawab.

b. Itikad Baik Dalam Pembentukkan Kontrak dan Negosiasi101

Dalam studi hukum kontrak modern, prinsip itikad baik (good faith)

merupakan salah satu isu yang selalu mendapatkan perhatian istimewa khususnya

dalam studi perbandingan hukum. Dikotomi civil law dan common law,

diantaranya terletak pada penerapan prinsip ini dalam proses kontrak. Sebagai

suatu kewajiban hukum, prinsip yang berakar dari Hukum Romawi ini

berkembang kira-kira sejak tahun 1870-an pada masa kelahiran ajaran legal

positivism dan the laissez-faire theory yang menjadi basis dari teori hukum

kontrak klasik. Sekalipun terdapat perbedaan penekanan pada daya kerjanya,

prinsip ini dapat dikatakan telah diterima secara universal sebagai prinsip umum

dalam hukum kontrak sebagaimana nampak dari substansi konvensi CISG dan

model hukum PICC dan PECL.

Pada mulanya dipahami bahwa kewajiban itikad baik atau bona fides

berlaku pada saat para pihak akan melaksanakan kontrak. Walaupun itikad baik

para pihak dalam perjanjian sangat ditekankan pada tahap praperjanjian, secara

umum itikad baik harus selalu ada pada setiap tahap perjanjian sehingga

kepentingan pihak yang satu selalu dapat diperhatikan oleh pihak lainnya.102

101

Ibid., hlm. 186.

102

(27)

c. Perjanjian Pendahuluan dan Tanggung Gugatnya103

Perjanjian pendahuluan (pactum de contrabendo) merupakan perjanjian

yang digunakan sebagai pendahuluan untuk mengadakan perjanjian lain yang

lebih pasti. Di Indonesia landasan hukum yang digunakan dalam praktek

penggunaan perjanjian pendahuluan bertumpu pada prinsip kebebasan berkontrak.

Dengan demikian dasar hukum yang digunakan adalah Pasal 1320 jo. 1338104

Dalam situasi dimana terjadi pengingkaran terhadap perjanjian, perlu

dijawab pertanyaan apakah jenis perjanjian ini secara hukum mengikat dan

karenanya melahirkan kewajiban kontraktual. Seperti telah dikemukakan, tidak

ada aturan yang spesifik mengatur hal ini dalam BW. Namun demikian syarat

pembuatan perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 BW dapat diterapkan

untuk mengukur apakah telah terpenuhi empat syarat yang diwajibkan, yakni:

kesepakatan, kecapakan, objek dan causa yang dibolehkan dalam perjanjian ayat

(1) BW. Esensi perjanjian pendahuluan adalah kesepakatan untuk membuat

perjanjian (agreed to agree). Dengan demikian apa yang disepakati dalam

perjanjian pendahuluan belum merupakan perjanjian yang sesungguhnya. Apa

yang dituangkan di dalamnya belum secara rinci mengatur hak dan kewajiban

bagi para pihak melainkan baru menentukan pokok-pokonya saja. Rincian lebih

lanjut dari perjanjian pendahuluan itu akan dituangkan ke dalam perjanjian

tertentu sesuai dengan kesepakatan mereka, misalnya jual beli, sewa-menyewa

atau joint venture.

103

Ibid., hlm. 193.

104

(28)

pendahuluan. Jika perjanjian pendahuluan yang dibentuk konsisten dengan makna

aslinya maka syarat objek dan causa tidak akan terpenuhi karena dalam perjanjian

pendahuluan belum secara detail diatur hak dan kewajiban bagi para pihak. Tetapi

jika substansi yang termuat dalam perjanjian pendahuluan itu telah tercerminkan

suatu kontrak maka perjanjian pendahuluan yang dimaksud tidak ada bedanya

dengan perjanjian yang sesungguhnya dan dengan demikian berlakulah maksim

Pacta Sunt Servanda.105

Dalam kaitan dengan kontrak pengadaan, Perpres Nomor 54 Tahun 2010

tidak mengatur mengenai perjanjian pendahuluan. Setiap jenis pelaksanaan

pengadaan barang dan jasa harus mengacu pada aturan dalam perpres tersebut

yang menyangkut metode pemilihan penyedia barang/jasa, yaitu:

pelelangan/seleksi umum, pelelangan/seleksi sederhana, pelelangan terbatas,

pemilihan langsung, penunjukan langsung, pengadaan langsung dan

sayembara/kontes. Dengan memperhatikan prosedur dan tata cara dalam setiap

metode ini yang didalam prosesnya selalu bertitik tolak dari prinsip transparansi,

prinsip kompetisi dan responsiviness, maka perjanjian pendahuluan tidak

mungkin dapat diterapkan karena hakikat perjanjian pendahuluan justru

bertentang dengan prinsip-prinsip dalam metode pemilihan penyedia barang dan

jasa. Oleh sebab itu dalam kontrak pengadaan tidak tepat jika dibuat perjanjian

pendahuluan dari segi tujuannya jelas bertentangan dengan prinsip pengadaan

105

Pacta Sunt Servanda (Asas Mengikatnya Kontrak) adalah setiap orang yang membuat

(29)

yang dimaksudkan untuk memperoleh barang dan jasa dengan kualitas dan harga

terbaik sepadan dengan besarnya uang yang dikeluarkan oleh negara.

Dari sisi Hukum Kontrak, status perjanjian pendahuluan dalam rangka

pelaksanaan pengadaan barang dan jasa oleh Pemerintah adalah batal demi hukum

(nietig van rechtwege) dan karenanya tidak mempunyai kekuatan mengikat.

Implikasi selanjutnya adalah perjanjian yang demikian ini tidak dapat dilanjutkan

ke dalam fase yang berikutnya, yaitu penandatanganan kontrak pengadaan.

Apabila substansi perjanjian pendahuluan ini telah mengandung

kewajiban-kewajiban kontraktual, dengan kata lain perjanjian pendahuluan dimanfaatkan

sebagai rekayasa kontrak, maka praktek pengadaan dengan cara demikian ini dari

sisi Hukum Kontrak perjanjiannya juga batal demi hukum.

d. Syarat Kewenangan106

Kewenangan merupakan salah satu syarat yang menentukan keabsahan

kontrak yang dibuat oleh badan hukum, baik badan hukum privat maupun badan

hukum publik. Dalam kaitan dengan kontrak pengadaan oleh pemerintah,

perhatian terhadap pemenuhan syarat kewenangan tidak saja pada tahap

penandatangan kontrak, tetapi juga pada proses pengadaannya. Penandatanganan

kontrak pengadaan hanya dapat dilakukan apabila proses pengadaan telah

dilaksanakan secara sah, yakni jika seluruh aturan dan prosedur dalam pengadaan

barang/jasa telah dipenuhi. Kontrak pengadaan mempunyai kekuatan hukum yang

sah dan mengikat jika kontrak itu ditandatangani oleh pejabat yang mempunya

kapasitas untuk itu. Syarat kewenangan demikian meliputi dua aspek, yaitu

106

(30)

kewenangan pada proses pengadaannya dan kewenangan pada tahap

penandatanganan kontrak pengadaan.107 e. Jenis dan Isi Kontrak108

Pemahaman mengenai jenis kontrak dalam pelaksanaan pengadaan

barang/jasa perlu dilakukan untuk mengetahui jenis hubungan hukum yang

mengikat para pihak dan aturan hukum yang berlaku. Prinsip kebebasan

berkontrak memungkinkan pemerintah secara leluasa mengatur standarisasi syarat

dan ketentuan dalam hubungan hukum itu. Standarisasi ini penting tidak saja

untuk tujuan efisiensi tetapi juga memudahkan kontrol terhadap praktek

pelaksanaan kontrak pengadaan oleh berbagai lembaga pemerintahan. Dalam

konteks kontrak pengadaan, standar pada dasarnya merupakan suatu aturan, oleh

karenanya daya berlaku bersifat memaksa. Inilah yang oleh Collins disebut

sebagai mandatory standards. Standar dapat mencakup elemen baik yang bersifat

substansial maupun prosedural. Termasuk kedalam kategori standar adalah aturan

yang menentukan keabsahan kontrak, syarat-syarat yang diwajibkan dan setiap

aturan yang menentukan prosedur dalam pembuatan kontrak agar dapat berlaku

(anforceable contracts). Dalam kaitan dengan aturan pengadaan barang dan jasa

oleh Pemerintah di Indonesia, materi yang termuat di dalamnya sudah

menunjukkan segi-segi yang substansial khususnya yang menyangku standar

dalam pengaturan syarat dan ketentuan yang harus dituangkan dalam kontrak,

yaitu dengan diterbitkannya Perka LKPP No. 6/2010 jo. Perka LKPP No. 2/2011

tentang Standar Dokumen Pengadaan, yang didalamnya dituangkan pula

107

Perpres Nomor 54 Tahun 2010, Pasal 8. 108

(31)

mengenai syarat-syarat umum kontrak (SSUK) dan syarat-syarat khusus kontrak

(SSKK).109

f. Kontrak Manajemen110

Kontrak manajemen dipergunakan dalam ruang lingkup yang beragam, di

antaranya yang teridentifikasi adalah:

1) Kontrak manajemen sebagai statement of corporate intent (SCI);

2) Kontrak manajemen sebagai salah satu bentuk kerjasama;

3) Kontrak manajemen dalam bidang konstruksi;

Kontrak manajemen sebagai SCI dapat dijumpai dalam Pasal 16 ayat (3)

UU No. 19/2003. Dalam kaitan ini kontrak manajemen merupakan kontrak antara

pemegang saham dengan direksi. Kontrak ini wajib ditandatangani direksi karena

merupakan syarat bagi pengangkatan direksi. Substansi kontrak manajemen pada

intinya adalah janji atau pernyataan direksi untuk memenuhi segala target yang

ditetapkan oleh pemegang saham. Dari segi inilah kemudian nampak bahwa

kontrak manajemen merupakan SCI.

Sebagai bagian dari jenis kerja sama, substansi kontrak manajemen pada

dasarnya merupakan kerjasama pengolahan. Batasan kontrak manajemen, seperti

misalnya yang terdapat dalam pasal 1 angka (4) keputusan Menteri Pendidikan

dan Kebudayaan tentang Kerjasama antar Perguruan Tinggi adalah “kerjasama

dalam pengolahan operasional perguruan tinggi dengan pemberian bantuan

sumberdaya baik manusia, finansial, informasi, maupun fisik serta konsultasi”.

109

Jenis kontrak dalam pengadaan barang dan jasa dapat berupa jual beli, kontrak konstruksi, kontrak pengadaan jasa konsultansi, kontrak pengadaan jasa lainnya, perjanjian kerja sama. Ibid., hlm. 212.

110

(32)

Sedangkan dalam bidang industri konstruksi, kontrak manajemen pada

dasarnya adalah kontrak antara penyedia jasa dengan pengguna jasa dalam mana

penyedia jasa ini bertanggung jawab atas pengelolaan (manajemen) dalam

pelaksanaan suatu pekerjaan atau proyek yang kompleks.

Dari gambaran di atas jelas bahwa kontrak manajemen bidang konstruksilah

yang merupakan jenis dari kontrak pengadaan. Kontrak manajemen dilingkungan

BUMN sebagai persyaratan pengangkatan direksi jelas bukan kontrak pengadaan.

Sedangkan kontrak manajemen sebagai bagian dari jenis kerjasama dapat

dikategorikan sebagai kontrak pengadaan jika substansi kontrak memang

ditujukan dalam rangka pengadaan dan terdapat pengeluaran atas keuangan

negara.

g. Aspek Perancangan Kontrak111

Dalam konteks perancangan kontrak (contract drafting), istilah “kontrak”

ditujukan pada kontrak yang dibuat secara tertulis. Dengan prinsip kebebasan

berkontrak (freedom of contract), dari segi bentuk, kontrak dapat saja dibuat

secara lisan sehingga tidak diperlukan perancangan. Kontrak pada dasarnya dibuat

oleh para pihak untuk menjamin kelancaran bisnis sekaligus menghindari

terjadinya kerugian. Oleh karena itu prinsip dasar dalam perancangan kontrak

adalah memastikan keabsahannya. Isi kontrak adalah hak dan kewajiban bagi para

pihak yang bersifat mengikat. Tetapi ini hanya berlaku apabila kontrak yang

dibuat dan ditandatangani mempunyai kekuatan hukum yang sah. Dalam konteks

111

(33)

inilah perlu dipahami bahwa kontrak adalah proses: pelaksanaan kontrak

bergantung pada keabsahan dalam pembentukkannya.112

3. Prinsip dan Aturan Hukum Pelaksanaan Kontrak Pengadaan

a. Pelaksanaan Kewajiban Kontraktual113

Bagian pertama Bab IV Buku III BW diberi judul “Tentang Pembayaran”.

Dalam perspektif Hukum Perikatan, makna pembayaran yang dimaksud adalah

pelaksanaan kewajiban kontraktual. Pada prinsipnya pelaksanaan kewajiban atas

suatu kontrak ada pada debitor. Pelaksanaan oleh pihak ketiga sebagaimana

disebut dalam Pasal 1328 BW merupakan perkecualian terhadap prinsip

pembayaran dalam perikatan. Dalam kaitan dengan kontrak pengadaan kewajiban

pihak pertama yakni pengguna barang/jasa adalah membayar harga kontrak,

sedangkan penyedia barang/jasa memenuhi kewajiban kontraktual sesuai dengan

masing-masing jenis prestasi yang terdapat dalam kontrak.

Pembayaran oleh pengguna barang/jasa dilakukan sesuai dengan jenis

kontraknya. Perpres Nomor 54 Tahun 2010 menentukan lima jenis kontrak

berdasarkan cara pembayarannya, yakni kontrak lumpsum, kontrak harga satuan,

kontrak gabungan lumpsum dan harga satuan, kontrak presentase dan kontrak

terima jadi (turn key).114

112

Beberapa tahap yang perlu diperhatikan sebelum kontrak ditandatangani adalah tahap penelitian hukum, tahap pembuatan kerangka dari kontrak yang akan dirancang (outlining),dan persesuaian bahasa dalam perancangan. Ibid., hlm. 234-245.

113

Ibid., hlm. 248.

114

Perpes Nomor 54 Tahun 2010, Pasal 51.

Pembayaran uang muka diberikan kepada penyedia

barang/jasa dengan pedoman, untuk usaha kecil maksimal 30% dari nilai kontrak,

(34)

prestasi pekekrjaan dapat dilakukan dengan bentuk pembayaran bulanan,

pembayaran berdasarkan tahapan penyelesaian pekerjaan (termijn) dan

pembayaran secara sekaligus setelah penyelesaian pekerjaan, dengan

memperhitungkan pengambilan uang muka, denda (jika ada) dan pajak. Tempat

dimana pembayaran dilakukan tidak diatur secara khusus dalam Perpres 54/2010.

Tetapi pada umumnya dilakukan pada tempat PA/KPA. Dengan demikian

mengenai tempat pembayaran ini terjadi penyimpangan atas ketentuan yang

terdapat dalam Pasal 1514 BW. Bagi penyedia barang/jasa yang terpenting adalah

menerima pembayaran, karenanya tempat bukan persoalan yang esensial.

Sebaliknya, waktu dan metode pembayaran merupakan aspek penting dalam

pelaksanaan kontrak karena ini menyangkut hak dari penyedia barang/jasa.

b. Sub Kontrak dan Prinsip Privity of Contract115

Dalam kontrak pengadaan, kolaborasi antara beberapa pihak dalam

pelaksanaan suatu pekerjaan merupakan kelaziman. Pengalihan sebagian dari

kontrak (subkontrak) kepada pihak lain karenanya menjadi fenomena yang umum,

lebih-lebih dalam industri konstruksi dengan pekerjaan kompleks dalam mana

dibutuhkan spesialis untuk pelaksanaan bagian pekerjaan tertentu. Subkontrak

hanyalah mengalihkan sebagian dari pekerjaan dan pada umunya daftar pekerjaan

yang dapat disubkontrakkan itu telah ditetapkan oleh penggunan barang/jasa.

Dengan demikian tidak dibenarkan mengalihkan seluruh kontrak. Salah satu

alasan munculnya subkontrak adalah untuk memenuhi syarat-syarat dan standar

dalam pekerjaan konstruksi yang kompleks. Subkontrak juga merupakan sarana

115

(35)

yang efektif guna melibatkan perusahaan nasional dalam kegiatan pelaksanaan

pekerjaan oleh perusahaan asing dalam bentuk kerjasama yang berupa kemitraan

atau subkontrak sebagaimana tertuang dalam Pasal 104 ayat (2) Perpres Nomor 54

Tahun 2010.

Terdapat dua isu yang relevan untuk dijawab terkait dengan subkontrak

dalam kontrak pengadaan. Disamping mengenai jenis kontrak yang dapat

disubkontrakkan dan syarat yang diperlukan, hal lain yang perlu dipahami adalah

tanggung gugat atas pekerjaan yang disubkontrakkan itu terutama dalam kaitan

dengan prinsip privity.116

c. Prinsip confidentiality Dalam Kontrak Pengadaan117 Prinsip confidentiality118

116

Suatu Perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya. Pasal 1340 BW. 117

Y. Sogar Simamora, Op. Cit., hlm.261.

pada hakikatnya untuk melindungi kepentingan

penyedia barang/jasa. Informasi itu dalam banyak hal memang terkait dengan

informasi dalam proses negosiasi sekalipun tidak menutup kemungkinan

kerahasiaan itu juga meliputi isi kontrak. Perspektif kontrak pengadaan oleh

pemerintah, penerapan prinsip ini harus dengan mempertimbangkan prinsip

tranparansi. Demikian juga sebaliknya. Oleh karena itu perlu pemahaman bahwa

prinsip confidential dengan prinsip transparansi pada dasarnya bersifat saling

membatasi. Sifat saling membatasi itu pada satu sisi nampak ketika prinsip

transparansi harus diterapkan dalam proses pengadaan. Pada tahap ini terdapat

pembatasan transparansi oleh pihak confidentiality. Demikian juga dalam tahap

pelaksana, sekalipun substansi kontrak oleh para pihak dinyatakan sebagai

118

(36)

confidential, tetapi jika kepentingan perlindungan keuangan negara menghendaki,

apa yang terdapat dalam kontrak itu tidak dapat dinilai sebagai kerahasiaan yang

mutlak. Prinsip confidential tidak seharusnya digunakan untuk menghambat akses

publik dalam mengetahui informasi yang terkait dengan kontrak yang

sesungguhnya dibuat untuk kepentingan publik. Demikianlah, pihak pengguna

barang/jasa atau pejabat yang berwenang tidak dapat berlindung di balik klausula

confidentiality sebab dalam kaitan kontrak pengadaan oleh pemerintah, prinsip

transparansi merupakan prinsip yang utama dan bukan sebaliknya.

d. Jaminan mutu dan inspeksi dalam pelaksanaan Kontrak119

Pelaksanaan kontrak sangat mementukan kualitas pengadaan. Perpres

Nomor 54 Tahun 2010 memberikan pedoman, mengenai metode pelaksanaan

kontrak untuk mencapai kualitas yang dapat dipertanggungjawabkan. Metode

pelaksanaan kontrak ini penting dalam rangka terciptanya akuntabilitas. Beberapa

aspek yang terkait dengan metode pelaksanaan ini adalah penggunaan program

mutu, mekanisme pengawasan dan penolakan hasil pekerjaan.

1) Penjaminan mutu (Quality Assurance)

Standarisasi merupakan isu penting dalam pengadaan barang/jasa.

Tujuannya adalah untuk mencapai kualitas sesuai dengan standar yang telah

ditetapkan. Dalam Perka LKPP No. 6/2012 disebutkan bahwa program mutu

pengadaan barang/jasa harus disusun oleh penyedia barang/jasa dan

disepakati PKK pada saat rapat persiapan pelaksanaan kontrak dan dapat

direvisi sesuai dengan kondisi lapangan. Sedangkan substansi yang termuat

119

(37)

dalam program mutu ini sekurang-kurangnya adalah : informasi mengenai

pekerjaan yang akan dilaksanakan, organisasi kerja penyedia, jadwal

pelaksana, prosedur pelaksanaan pekerjaan, prosedur instruksi kerja, dan

pelaksanaan kerja.

2) Inspeksi, Penerimaan dan Penolakan Pekerjaan

Dalam usaha untuk menjamin terciptanya pengadaan dengan kualitas yang

diharapkan maka inspeksi menjadi penting. Dalam perspektif Hukum

Kontrak, inspeksi merupakan hak dari pembeli untuk melakukan verifikasi

atas barang yang akan diterima dari penjual dan bukan sebaliknya.120 Inspeksi perlu dilakukan pada kontrak pengadaan barang dan pekerjaan

konstruksi. Ini ditujukan terutama pada sesuai tidaknya spesifikasi barang

atau bahan. Inspeksi pad akhirnya juga melahirkan hak untuk melakukan

penolakan (rejection) atau penerimaan (acceptance) atas pekerjaan penyedia

barang/jasa. Ini dapat menimbulkan persoalan tersendiri. Oleh sebab it perlu

pengaturan secar akurat klausula inspeksi dalam kontrak sebelum klausula

pengakhiran atau pemutusan kontrak dimanfaatkan.121 e. Perubahan Kontrak

Klausula perubahan kontrak merupakan klausula untuk mengantisipasi

kemungkinan terjadinya perubahan situasi pada tahap pelaksanaan kontrak. Pada

120

Pasal 1504 BW. 121

Kata “pengawasan” dalam Perpres Nomor 54 Tahun 2010 nampaknya tidak dimaksudkan sebagai inspeksi (inspection) melainkan supervisi (supervision). Inspeksi merupakan hak dari Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan terutama ditujukan pada kesesuaian spesifikasi barang/bahan yang mutlak menjadi kewajiban kontraktor, sedangkan supervisi pada dasarnya merupakan tanggung jawab kontraktor dalam melakukan pengawasan yang meliputi seluruh tahapan pekerjaan termasuk akurasi dan fasilitas yang harus disediakan. Y. Sogar Simamora, Op.

Cit., hlm. 272. Lihat Pasal 116 Perpres Nomor 54 Tahun 2010 dan bandingkan dengan ketentuan

(38)

kontrak pengadaan terdapat pengecualian atas berlakunya prinsip umum dalam

kontrak privat yakni prinsip bahwa perubahan kontrak hanya dapat dilakukan atas

kesepakatan kedua belah pihak. Dalam pelaksanaan kontrak pengadaan, pada

umumnya pejabat/pengguna barang/jasa diberi hak untuk secara sepihak

mengubah isi kontrak, ini berlaku di Amerika Serikat maupun di India. Tetapi ini

berbeda dengan ketentuan yang berlaku di Indonesia sebab Perpres Nomor 54

Tahun 2010 mensyaratkan adanya persetujuan kedua belah pihak untuk perubahan

ini.122

f. Penghentian dan Pemutusan Kontrak

Salah satu klausula standar yang sangat penting dalam kontrak pengadaan

adalah klausula mengenai kegagalan prestasi oleh penyedia barang/jasa. Klausula

ini menjadi dasar bagi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam memutuskan

kontrak karena adanya kegagalan itu. Dalam kaitan dengan pelaksanaan kontrak

di Indonesia, ketentuan mengenai pemutusan kontrak dapat dijumpai dalam Pasal

93 Perpres Nomor 54 Tahun 2010, sedangkan untuk penghentian kontrak tidak

diatur dalam Perpres Nomor 54 Tahun 2010, melainkan dituangkan dalam Perka

LKPP No. 6/2012. Penghentian kontrak dikaitkan dengan terjadinya keadaan

memaksa/keadaan kahar (force majeur), sedangkan pemutusan dilakukan jika

penyedia barang/jasa dinilai gagal melaksanakan kewajibannya. Di dalam Perka

LKPP No. 6/2012 disebutkan bahwa penghentian kontrak dapat dilakukan karena

pekerjaan telah selesai atau terjadi keadaan kahar. Sedangkan yang dimaksud

keadaan kahar dalam Perpres Nomor 54 Tahun 2010 adalah suatu keadaan yang

122

(39)

terjadi diluar kehendak para pihak dan tidak dapat diperkirakan sebelumnya,

sehingga kewajiban yang ditentukan dalam kontrak menjadi tidak dapat

dipenuhi.123

berdasarkan penjelasan diatas tentang kontrak pengadaan barang dan jasa

pemerintah yang diharuskan memenuhi syarat-syarat yang terdapat dalam Perpres

Nomor 54 Tahun 2010 maupun peraturan perundang-undangan yang terkait agar

para pihak mendapatkan ketersediaan barang dan jasa yang terjangkau dan

berkualitas khususnya untuk mencapai tujuan memaksimalkan penggunaan

barang dan jasa hasil produksi dalam negeri yang efisien, terbuka dan kompetetif.

Sebagaimana juga tingginya minat investor luar negeri pada pengadaan

infrastruktur di Indonesia sebagai peluang untuk mendapatkan devisa namun juga

sebagai tantangan agar kebijakan-kebijakan dan kerangka hukum di Indonesia

memberikan kepastian bagi para Investor yang ingin melakukan investasi pada

pengadaan infrastruktur di Indonesia. Adanya peran pemerintah serta pihak terkait

khususnya untuk mengurangi penyalahgunaan klausul-klausul dalam kontrak

pemberian pinjaman dalam rangka pengadaaan barang dan jasa baik pinjaman luar

negeri maupun daerah serta kontrak pengadaan terhadap keikutsertaan perusahaan

barang dan/atau perusahaan jasa luar negeri yang akan dibahas di bab selanjutnya.

123

(40)

BAB IV

PERAN PEMERINTAH UNTUK MENINGKATKAN PENGGUNAAN PRODUK INDUSTRI DALAM NEGERI MELALUI PENGADAAN BARANG DAN JASA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR

3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN

A. Pedoman Peningkatan Penggunaan Produk Industri Dalam Negeri Melalui Pengadaan Barang dan Jasa

Sebagai tindak lanjut Inpres Nomor 2 Tahun 2009 tentang Penggunaan

Produk Dalam Negeri Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sekaligus dalam

rangka lebih menggerakkan pertumbuhan dan memberdayakan industri dalam

negeri, Departemen Perindustrian pada tanggal 12 Mei 2009 telah menerbitkan

Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 49/M-IND/PER/5/2009

tentang Pedoman Penggunaan Produk Dalam Negeri Dalam Pengadaan

Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku

semenjak diundangkannya yang terkahir kali Permenperin Nomor

02/M-IND/PER/1/2014 tentang Pedoman Peningkatan Penggunaan Produk Dalam

Negeri Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.124

Permenperin ini diterbitkan sebagai upaya untuk mengoptimalkan

penggunaan barang/jasa hasil produksi dalam negeri termasuk yang dihasilkan

oleh usaha mikro dan kecil dan koperasi melalui kemitraan, dalam pengadaan

124

(41)

barang/jasa pemerintah.125 Penggunaan produk dalam negeri dalam pengadaan barang/jasa pemerintah berlaku bagi: pengadaan barang/jasa di lingkungan

Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi lainnya (K/L/D/I)

yang pembiayaannya baik sebagian atau seluruhnya bersumber dari

APBN/APBD; pengadaaan barang/jasa untuk investasi di lingkungan Bank

Indonesia, Lembaga Penjamin Simpanan, Otoritas Jasa Keuangan, Perguruan

Tinggi Negeri Badan Hukum, dan Badan Usaha Milik Negara/Daerah yang

pembiayaannya sebagian atau seluruhnya dibebankan pada APBN/APBD;

Pengadaan barang/jasa yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari

pinjaman atau hibah dalam negeri yang diterima oleh Pemerintah dan/atau

Pemerintah Daerah; pengadaan barang/jasa yang dananya baik sebagian atau

seluruhnya berasal dari Pinjaman/Hibah Luar Negeri (PHLN).126

Penggunaan produk dalam negeri dalam pengadaan barang/jasa pemerintah

merupakan upaya untuk menggerakan pertumbuhan dan memberdayakan industri

yang ada di Indonesia, melalui upaya pemberian penghargaan bagi pengguna dan

produsen dalam negeri. Penghargaan diberikan dalam bentuk kewajiban

penggunaan produk dalam negeri dan/atau pemberian preferensi harga pada

proses pengadaan barang/jasa pemerintah. Kewajiban penggunaan produk dalam

negeri dan/atau pemberian preferensi harga dilakukan sejak perencanaan

pengadaan oleh pengguna anggaran sedangkan dalam pelaksanaan pengadaan

dilakukan oleh ULP/pejabat pengadaan dan dalam pengawasan dilakukan oleh

125

Loc. Cit.

126

(42)

aparat pengawas internal dan eksternal dengan memperhatikan konsistensi dan

komitmen TKDN dari penyedia barang/jasa pada saat mengikuti lelang sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.127

Maksud dari pemberian penghargaan Peningkatan Penggunaan Produk

Dalam Negeri (P3DN) adalah memberikan apresiasi dan penghargaan pemerintah

kepada Kementerian/Lembaga Pemerintah non Kementerian, BUMN/BUMD,

Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota yang telah berprestasi

dalam melaksanakan program peningkatan penggunaan produk dalam negeri. hal

ini dilakukan sebagai langkah nyata pemerintahan mendukung penggunaan

produk dalam negeri sehingga dapat meningkatkan penggunaan produk dalam

negeri dalam instansi pemerintah dan tujuan memasyarakatkan penggunaan

produk dalam negeri dapat terlaksana yang dimulai dari abdi negara tersebut

sebagai contoh nyata.128

Menteri menetapkan produk yang diprioritaskan untuk dikembangkan yang

dijadikan sebagai acuan bagi pemberian preferensi harga dalam pengadaan

barang. Preferensi harga diberikan kepada barang dengan capaian TKDN lebih

besar atau sama dengan 25% yang mengacu pada daftar inventarisasi barang/jasa

produksi dalam negeri. Dalam melakukan pengadaan barang, pemerintah

pengguna anggaran mengacu pada produk yang diprioritaskan untuk

dikembangkan yang ditetapkan menteri. Produk yang diprioritaskan untuk

127

Ibid., Pasal 5 angka 6.

128

(43)

dikembangkan dapat ditambah atau dikurangi secara berkala dengan peraturan

menteri.129

Pencantuman persyaratan penggunaan produk dalam negeri pada tahap

perencanaan pengadaaan meliputi: penyusunan rencanan umum pengadaan;

penyusunan spesifikasi teknis atau kerangka acuan yang wajib mengacu pada

kemampuan industri dalam negeri; dan penyusunan Harga Perkiraan Sendiri

(HPS) yang wajib mengacu pada kewajaran harga produk dalam negeri. Dalam

penyusunan dokumen pengadaan, ULP/pejabat pengadaan wajib mencantumkan

persyaratan produk dalam negeri yang wajib digunakan. Pelaksaan evaluasi teknis

oleh ULP/pejabat pengadaan wajib memperhitungkan kemampuan industri dalam

negeri.130

Dalam rencana pengadaan barang/jasa, pengguna anggaran mengelompokan

barang dengan ketentuan:131

1. Barang diwajibkan yaitu barang produksi dalam negeri yang wajib

dipergunakan untuk memenuhi persyaratan kebutuhan dan memiliki

penjumlahan capaian TKDN dan capaian BMP lebih dari atau sama dengan

40% dan capaian TKDN barang lebih dari atau sama dengan 25%.

2. Barang dimaksimalkan yaitu barang produksi dalam negeri yang memenuhi

persyaratan kebutuhan dan memiliki penjumlahan capaian TKDN dan

capaian BMP kurang dari 40% dan memiliki capaian TKDN barang lebih

dari atau sama dengan 15%.

129

Ibid., Pasal 4 angka 1-6.

130

Ibid., Pasal 5 angka 1-5.

131

(44)

3. Barang diberdayakan yaitu barang produksi dalam negeri yang memenuhi

persyaratan kebutuhan dan memiliki capaian TKDN barang kurang dari

15% dan lebih dari atau sama dengan 10%.

Dalam hal telah terdapat barang produksi dalam negeri yang memiliki

penjumlahan capaian TKDN dan capaian BMP minimal 40% dengan TKDN

minimal 25%, pengadaan barang/jasa pemerintah wajib menggunakan produk

dalam negeri.132 Dalam hal tidak terdapat barang yang memiliki capaian tersebut proses pengadaan barang/jasa pemerintah menggunakan mekanisme pengadaan

barang dimaksimalkan dengan diberikan preferensi atau pengadaan barang

diberdayakan.133

Barang diwajibkan, barang dimaksimalkan, dan barang diberdayakan

dilarang untuk dimasukan dalam satu paket pengadaan, dalam hal terdapat lebih

dari satu jenis barang memiliki kategori kelompok barang yang sama dan/atau

yang merupakan satu kesatuan sistem yang tidak dapat dipecah-pecah, maka

pengadaan barang dapat dilakukan dalam satu paket.134

132

Dilakukan melalui pelelangan umum yang diikuti oleh paling sedikit 3 penyedia barang/jasa dan hanya dapat diikuti oleh produsen dalam negeri yang memproduksi barang sesuai persyaratan teknis dan spesifikasi kebutuhan atau distributor yang yang ditunjuk oleh produsen dalam negeri dengan capaian TKDN (penjumlahan capaian TKDN dan capaian BMP lebih dari atau sama dengan 40% dan capaian TKDN barang lebih dari atau sama dengan 25%) atau agen tunggal pemegang merek produk dalam negeri tanpa perlakukan preferensi harga.

133

Dilaksanakan melalui pelelangan umum dengan memberi kesempatan pertama kepada produsen dalam negeri yang memproduksi barang sesuai persyaratan teknis dan spesifikasi sesuai kebutuhan atau distributor yang ditunjuk oleh produsen dalam negeri dengan capaian TKDN minimal (memiliki penjumlahan capaian TKDN dan capaian BMP kurang dari 40% dan memiliki capaian TKDN barang lebih dari atau sama dengan 15%) atau agen tunggal pemegang merek produk dalam negeri. Sedangkan pengadaan barang diberdayakan dilaksanakan melalui pelelangan umum sesuai persyaratan teknis dan spesifikasi yang sesuai kebutuhan atau distributor yang ditunjuk oleh produsen dalam negeri dengan capaian TKDN minimal (capaian TKDN barang kurang dari 15% dan lebih dari atau sama dengan 10%) atau agen tunggal pemegang merek.

134

Referensi

Dokumen terkait

(1) Hasil uji tipe kebisingan kendaraan bermotor tipe baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (4), wajib disampaikan kepada Kepala instansi yang bertanggung jawab usaha

Dalam penghentian pengakuan aset keuangan terhadap satu bagian saja (misalnya ketika Perusahaan masih memiliki hak untuk membeli kembali bagian aset yang

Bagi investor dapat melihat semakin tinggi tingkat pengaruh modal intelektual yang diukur dengan efisiensi modal fisik (VACE) karena berpengaruh terhadap kinerja keuangan

Perlunya komitmen Pimpinan, Tim Reformasi Birokrasi, dan Pegawai dalam melaksanakan Reformasi Birokrasi di PTN dan Kopertis untuk mewujudkan birokrasi yang bersih, kompeten,

Terlebih lagi semakin bervariasi produk maupun jasa di pasaran dengan harga yang seminimum mungkin, kualitas produk yang baik, waktu yang cepat dan pelayanan yang cepat

→ sumber dana easternal: mitra industri / hibah dari dalam / luar negeri → diperoleh melalui aompetsi terbuaa.. → aompetsi berbasis aapasitas dan aompetensi menyelesaiaan masalah

Hasil dalam penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat 3 variabel atribut kualitas audit (responsivenes, conduct of audit field work, dan member characteristics) berhubungan positif

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan maka diperlukan sebuah sistem yang dapat membantu kinerja pakar dalam mendiagnosa hama penyakit tanaman jeruk secara