• Tidak ada hasil yang ditemukan

Politik Luar Negeri Indonesia dan Peruba

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Politik Luar Negeri Indonesia dan Peruba"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

Politik Luar Negeri Indonesia dan Perubahan

Diskursus tentang Pembangunan: Sebuah

Tinjauan Ekonomi-Politik

*

Ahmad Rizky Mardhatillah Umar

ahmad.rizky.m@mail.ugm.ac.id

ABSTRACT

This paper aims to analyze how thebebas-aktifforeign policy dealing with the contemporary development of global capitalism. Since its declaration in 1945, the bebas-aktif foreign policy tried to place Indonesia in the ideological battlefield of world politics. As argued by Mohammad Hatta in his speech, thebebas-aktifforeign policy tends to avoid the rooted conflict between the capitalist United States and the communist Sovyet Union, and consequently placed Indonesia in an active but independent form of articulation in international politics. But after the cold war ended up with the fall of Sovyet Union and the acclaimed triumph of capitalism, the world politics has no more coloured by the ideological batte. Since the fall of Sovyet Union, the world order has been built under the globalised mechanism of global capitalism which operates through two main international financial institutions: IMF and The World Bank. Since its establishment, they expands the logic of market-driven development to many third world countries. In Southeast Asia, the changing sphere of global capitalism raised after the economic crisis hit Asia in 1997-1998. It implied many countries, including Indonesia, to comply with several development frameworks offered by IMF and The World Bank in the name of “good governance”. The discourse of ‘good governance’ created by those financial institutions is currently hegemonizing the Indonesian development policy and injecting the new ideology of market liberalism which is operated through the regulatory state. Utilizing the structuralist and political economy approach, this paper argues that in dealing with those problems, the bebas-aktif foreign policy should be reformulated in structural approach, which address the political economic dimension in the foreign policy making process.

Keywords: Bebas-Aktif Foreign Policy, Political Economy, Global Capitalism, Discourse

*Makalah Disampaikan pada Seminar Politik Luar Negeri Bebas-Aktif, Balai Senat Universitas

(2)

“..Betapa djuga lemahnja kita sebagai bangsa jang baru, menurut anggapan Pemerintah kita harus tetap mendasarkan perdjoangan kita atas adagium: pertjaja kepada diri sendiri dan berdjoang atas tenaga dan kesanggupan jang ada pada kita...

-Mohammad

Hatta-A. Pendahuluan

Dalam salah satu tulisannya tentang politik luar negeri Indonesia, Mohammad Hatta menyatakan, “…Indonesia, rich in natural resources and having 84,000,000 inhabitants, comes automatically as an important factor onto the chessboard of world politics…” (Hatta, 1958: 480). Menurut Hatta, salah satu faktor yang menentukan posisi politik Indonesia dalam kancah global adalah kekayaan sumber daya alam yang berlimpah dan jumlah penduduk yang begitu besar.

Sebagai negara bekas koloni yang baru saja merdeka, Indonesia dihadapkan pada sebuah pilihan sulit: tarikan eksternal dan kebutuhan dana untuk menyukseskan program pembangunan. Pilihan untuk membangun perekonomian seringkali berujung pada masuknya sebuah negara ke kubu-kubu politik tertentu –untuk mendapatkan ‘bantuan’ (aid). Inilah sebabnya, sebuah pembangunan akan sangat menentukan bagi politik luar negeri sebuah negara.

(3)

Sehingga, analisis mengenai politik luar negeri dalam perspektif ekonomi politik pembangunan sangat diperlukan. Politik Luar Negeri pada dasarnya adalah instrument sebuah negara untuk bermain dalam percaturan politik internasional (Kegley & Wittkopf, 2006). Ekonomi Politik Internasional (EPI) sangat penting untuk mendefinisikan ‘apa itu power dalam politik internasional’ dan ‘bagaimana

power beroperasi dalam politik internasional’ (Cox, 2004). Oleh sebab itulah, ekonomi politik pembangunan menjadi sangat relevan untuk digunakan dalam analisis politik luar negeri.

Paper ini akan mencoba untuk mengulas politik luar negeri Indonesia dalam kacamata analisis tersebut.Paper ini, mengikuti perspektif kritis, melihat politik luar negeri sebagai sebuah hasil dari pertarungan antara wacana-wacana pembangunan yang dianut oleh rezim politik tertentu.1 Oleh sebab itu, berlawanan dengan

perspektif realisme yang melihat politik luar negeri hanya sebagai cara untuk membangun kekuatan (power politics), paper ini melihat politik luar negeri sebagai hasil dari kontestasi wacana tentang pembangunan yang tidak hanya dibuat oleh pengambilan keputusan politik di dalam negeri, melainkan juga merupakan hasil dari kontestasi wacana di luar negeri.

Dengan demikian, paper ini tidak melihat ‘politik luar negeri’ hanya sebagai produk keputusan birokrasi (Kementerian Luar Negeri) atau keputusan individual (Presiden) sebagaimana dipahami kaum ‘problem-solver’2, melainkan sebagai hasil

dari pertarungan wacana dan kepentingan ekonomi politik yang ada di dalam dan luar negeri. Sebab, semua relasi sosial yang dikonstruksi di dunia memiliki basis material yang diciptakan oleh ‘produksi’ dan relasi produksi tersebut direproduksi melalui ‘ideologi’ yang menginterpelasi sebuah negara menjadi ‘subjek’ (Cox, 2004; Althusser, 1977). Politik Luar Negeri, jika meminjam Cox (2002), adalah sebuah

1Perspektif kritis yang dimaksud dalampaperini lebih banyak mengikuti pendekatan EPI-Gramscian

yang diajukan oleh Robert W. Cox yang digabungkan dengan pendekatan kritis dalam studi

pembangunan yang digunakan untuk melihat bagaimana pembangunan berkaitan dengan politik luar negeri suatu negara. Beberapa studi kritis tentang pembangunan telah dilakukan di beberapa negara: Escobar (1995) untuk kasus Amerika Latin, Abrahamsen (2000) dan Ferguson (1995) untuk kasus Afrika, Robison (1986) dan Hadiz dan Robison (2004) yang membahas Indonesia secara lebih spesifik, serta Carroll (2010) yang membahas Asia Tenggara.

2Pendekatan yang dimaksud sebagai ‘problem-solver’ melihat kebijakan luar negeri sebagai sebuah

(4)

proses untuk menciptakan semacam ‘structural power’ yang ditentukan oleh kekuatan produksi sebuah negara. Oleh sebab itu, politik luar negeri tidak semata keputusan yang diambil oleh struktur birokrasi negara, melainkan juga hasil dari kontestasi wacana yang digunakan untuk mereproduksi kekuatan sebuah negara – atau ‘pembangunan’. Hal inilah yang coba dianalisis melaluipaperini.

Paper ini akan dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama akan mendiskusikan diskursus-diskursus tentang pembangunan dalam teori hubungan internasional. Paper ini melihat ‘pembangunan’ sebagai sebuah konsep yang dikontestasikan dalam konteks global, dan mempengaruhi praktik yang terjadi di negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia. Bagian kedua akan mendiskusikan konstruksi kebijakan luar negeri Indonesia dan kaitannya dengan kontestasi wacana pembangunan sejak kemerdekaan. Bagian ketiga akan mengevaluasi dan menyimpulkan secara kritis relasi antara pembangunan dan politik luar negeri Indonesia.

B. Pembangunan: Diskursus yang Dikontestasikan

Bagaimana studi Hubungan Internasional membaca konsep ‘pembangunan’ (development)? Penganut teori-teori modernisasi akan melihat ‘pembangunan’ sebagai proses transisi antara masyarakat yang tradisional menuju masyarakat modern (Abrahamsen, 2000; Escobar, 1995: 6). Untuk menjadikan masyarakat modern, tolak ukur yang digunakan adalah perubahan masyarakat dengan tolak ukur pertumbuhan ekonomi. (Abrahamsen, 2000: 26). Untuk mendorong pertumbuhan, kompetisi dan pasar bebas harus dihidupkan. Pembangunan dalam perspektif ini adalah alat untuk memfasilitasi pasar yang efektif dan efisien. Dalam konsep ini, pasar domestik harus diekspansi dan hambatan-hambatan pasar harus disingkirkan melalui fasilitas negara yang teknokratis (Escobar, 1995: 48)

(5)

belajar dari orang dewasa (baca: Amerika Serikat dan negara-negara maju lain) untuk dapat maju. Oleh sebab itu, pembangunan harus dikelola secara teknokratis dan membuka peluang pada pasar untuk mengembangkan dirinya sendiri (self-regulating market)

Oleh sebab itu, dari perspektif ini, berkembang teori-teori tentang pertumbuhan ekonomi yang linear, memerlukan tahapan-tahapan tertentu, teknokratis, kapitalistik dan sangat anti-politik.3 Bagaimana model pembangunan ini

dibiayai? Fenomena ekonomi-politik internasional yang terjadi di tahun 1970an memberikan jawaban: adanya ‘oil boom’. Melonjaknya penerimaan Migas di banyak negara, termasuk Indonesia, memberikan keuntungan pada kemampuan negara untuk membiayai proyek pembangunan mereka (Robison, 1986). Untuk menopang hal itu, dibukalah proyek penanaman modal asing yang di Indonesia telah berlangsung melalui UU No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (Robison, 1986).

Namun pada perkembangannya, teori pembangunan yang berbasis pada modernisasi ini melahirkan persenyawaan dengan kekuatan-kekuatan otoritarian yang menjadikan ‘developmentalisme’ sebagai tulang punggung untuk mempertahankan legitimasi mereka. Herbert Feith menyebutnya sebagai ‘rezim developmentalis represif’. (Feith, 1981). Dengan model ini, pembangunan yang berbasis pada mekanisme pasar dan teknokrasi digalakkan dengan melalui represi atas kekuatan-kekuatan sosial yang menghalangi pembangunan. Dengan model ini, lahirlah oligarki politik yang disangga oleh pemilik modal dan lembaga keuangan internasional (Robison, 2006).

Di akhir tahun 1980-an, model-model developmentalisme yang disangga oleh kekuatan negara ini mengalami kontradiksi dan kegagalan-kegagalan. Surutnya dana penerimaan di sektor Migas pasca-Oil Boom membuat negara memerlukan sumber pembiayaan lain. Penerapan model pembangunan gaya lama yang bertumpu di atas ekonomi pasar dan peran negara yang developmentalistik justru berakibat pada hyper-inflasi, krisis pembayaran utang, krisis keuangan, hingga pelayanan publik yang buruk (Abrahamsen, 2000: 37). Oleh sebab itu, Bank Dunia dan IMF

3Di antara teori-teori tersebut adalah teori tentang ‘lima tahap pembangunan’ dari Rostow yang

(6)

mempromosikan desain kebijakan pembangunan baru yang bertumpu pada finansialisasi. Konsep pembangunan itulah yang disebut sebagai ‘structural adjustment program’ (Hakim, 2011; Abrahamsen, 2000).

‘Structural adjustment program’ sebagai mantra jitu yang mengatasi krisis ekonomi di sebuah negara punya dua strategi utama: ‘stabilisasi’ dan ‘langkah penyesuaian struktural’. Konsep pertama digunakan oleh IMF sebagai resep ‘penyelamatan negara’ sehingga negara tersebut dapat keluar dari krisis ekonomi. Setelah ekonomi stabil, barulah digunakan konsep kedua yang berisi langkah-langkah penyesuaian kebijakan yang disertai dengan pinjaman dana (Abrahamsen, 2000: 37-38). Kerangka kebijakan ini pertama kali diterapkan di Afrika Utara pada dekade tahun 1980an.

Namun, konsep pembangunan ini juga tidak kedap kritik. Di antara yang terkemuka adalah Escobar (1995), Ferguson (1995), dan Abrahamsen (2000). Dalam karyanya yang terkenal di Lesotho, Ferguson (1995) melihat bahwa proyek ‘structural adjustment program’ pada dasarnya bersifat anti-politik dan justru melemahkan kekuatan-kekuatan sosial yang ada dan memperkuat rezim politik yang represif. Ferguson menceritakan sebagai berikut,

“…tbe “development in Lesotho is not a machine for eliminating poverty that is incidentally involved with the state bureaucracy; it is a machine for reinforcing and expanding the exercise of bureaucratic state power, which is incidentally takes “poverty” as its point of entry –launching intervention tbat may have no effect on the poverty but does in fact have other concrete effects…”

(7)

Oleh sebab itu, mengacu pada beberapa kritik ini, pada tahun 1990an Bank Dunia mulai mengubah strategi mereka dengan melibatkan ‘modal sosial’ sebagai variabel yang tak terpisahkan dari pembangunan (Harris, 2002; Li, 2007; Carroll, 2010). Dengan melibatkan modal sosial, Bank Dunia memperkenalkan model pembangunan yang bersifat desentralistik dan memperhatikan partisipasi melalui mekanisme-mekanisme penjaringan aspirasi dalam perencanaan pembangunan (Harris, 2002: 9). Namun, sebagaimana kritik-kritik yang mengemuka, ‘modal sosial’ yang dibangun hanya sekadar ‘bungkus’ dari model perencanaan yang masih sangat teknokratis dan mengutamakan pasar (Hadiz, 2004; Hadiz, 2010; Carroll, 2010).

Dari pemaparan di atas, kita dapat memahami bahwa pada dasarnya, diskursus tentang ‘pembangunan’ yang ada di negara-negara dunia ketiga tak lepas dari diskursus yang diciptakan oleh lembaga-lembaga keuangan internasional yang ingin mempertahankan hegemoni neoliberalisme dalam ekonomi politik internasional. Dengan demikian, jika menggunakan argument Foucault (1991) tentang ‘governmentality’, pembangunan adalah cara negara-negara maju untuk menormalisasi diskursus neoliberalisme dan meng-govern negara-negara dunia ketiga. Inilah yang disebut oleh Cox (2004) sebagai ‘empire’.

Pertanyaannya, bagaimana diskursus-diskursus tentang pembangunan tersebut mempengaruhi pembuatan kebijakan luar negeri? Cox (2004) berargumen, ekonomi politik internasional memberi fondasi pada politik internasional untuk memahami power. Dalam konteks negara dunia ketiga, Hatta (1958) telah menyatakan bahwa posisi sebuah negara (Indonesia) akan ditentukan oleh sumber daya apa yang ia miliki. Jika dipahami dalam konteks pembangunan, kita akan sampai pada argument bahwa diskursus tentang pembangunan yang ada di suatu negara berpengaruh terhadap konstruksi ‘kepentingan nasional’ yang ingin dicapai dalam politik luar negeri. Pada titik inilah analisis tentang politik luar negeri RI menjadi relevan untuk memetakan keterkaitan antara diskursus tentang pembangunan dan politik luar negeri.

C. Indonesia Pasca-Kolonial dan Lahirnya ‘Politik Bebas Aktif’

(8)

Wakil Presiden Muhammad Hatta menyampaikan sebuah pidato di, hadapan Badan Pekerja KNIP. Pidato yang kemudian diberi judul “Mendajung di Antara Dua Karang” tersebut menjadi sebuah pidato yang bersejarah karena memuat pendirian pemerintah RI dalam menyikapi pertarungan politik internasional. Pidato tersebut disampaikan dalam konteks posisi Indonesia menyikapi perjanjian Renville yang baru saja dibatalkan (Hatta, 1947).

Pidato tersebut mengambil latar perjanjian Renville yang baru saja dibatalkan oleh pemerintah Amir Sjarifuddin. Menurut Hatta, pembatalan Renville yang terjadi karena pergolakan di dalam negeri dan kecenderungan untuk memihak pada politik anti-imperialisme Sovyet membuat Indonesia berada di bawah tarikan dua kekuatan besar: ‘kapitalisme’, yang dipandu oleh paham lassez-faire dan persaingan bebas, serta ‘sosialisme’ yang memiliki ‘materialisme sejarah’ sebagai cara untuk mengatur manusia (Hatta, 1947: 484). Oleh sebab itulah, menurut Hatta, dengan potensi yang menyeret Indonesia masuk pada percaturan politik internasional tersebut, Indonesia harus memiliki posisi tawar.sendiri dengan ‘politik luar negeri bebas aktif’. Dengan politik bebas aktif, Indonesia akan dapat melaksanakan pembangunan (Hatta, 1947; Hatta, 1953: Hatta, 452; 1958: 489).

Dalam pidatonya, Hatta menyatakan pendirian politik luar negeri Indonesia sebagai berikut,

Pemerintah berpendapat bahwa pendirian jang harus kita ambil ialah supaja kita djangan mendjadi objek dalam pertarungan politik internasional, melainkan kita harus tetap mendjadi subjek jang berhak menentukan sikap kita sendiri, berhak memperdjoangkan tudjuan kita sendiri, jaitu Indonesia Merdeka seluruhnja.

(9)

Apa yang bisa diambil dari pembacaan Hatta tersebut? Pidato ‘mendajung di antara dua karang’ menampilkan dua diskursus utama dalam haluan politik luar negeri Indonesia: Pertama, haluan politik luar negeri Indonesia bertumpu pada ‘kepentingan nasional’ yang menentukan posisi dan sikap politik Indonesia. Kedua,

‘kepentingan nasional’ tersebut sangat berkaitan dengan diskursus tentang ‘pembangunan’ yang dijalankan oleh pemerintah di dalam negeri.

Pidato Hatta tersebut menyiratkan diskursus tentang pembangunan pasca-kolonial yang mengharuskan Indonesia untuk mencari dana pembangunan. Pencarian dana pembangunan yang terhambat oleh adanya agresi dan konfrontasi militer dengan Belanda membuat Indonesia harus memikirkan jalan; apakah harus berpihak pada dua kekuatan atau harus bersikap independen; sehingga bisa lebih ‘lincah’ dalam bergerak. Pendirian tersebut diperjelas oleh Hatta dalam tulisannya yang lain di tahun 1953,

“Indonesia cannot possibly reconcile herself to being tied to the economies of a few nations, all the more so because certain articles of export such as rubber are subject to much fluctuation in price. Only by adhering to a peaceful yet independent policy can Indonesia ade quately safeguard its economic interests”

(Hatta, 1953: 450) Dari sana, terlihat bahwa haluan politik luar negeri yang diambil oleh Indonesia sangat terkait oleh kebutuhan penting Indonesia, yaitu ekspor kayu. Menurut Hatta, kondisi ekonomi Indonesia saat itu masih sangat lemah dan sangat bergantung dengan ekspor. Oleh sebab itu, perdagangan dengan semua negara harus dilakukan untuk menopang ekonomi nasional, juga menyukseskan agenda-agenda pembangunan yang ada (Hatta., 1953: 450-451)..

Pada titik ini, kita bisa melihat bahwa politik luar negeri ‘bebas-aktif’ lahir dari sebuah konteks pembangunan pasca-kolonial yang mengharuskan Indonesia mencari strategi untuk mendapatkan dana pembangunan. Indonesia tidak menyatakan memihak karena akan merugikan basis produksi Indonesia dalam perdagangan internasional. Pada titik ini, pembangunan pasca-kolonial menjadi latar ekonomi-politik atas ekonomi-politik luar negeri Indonesia.

(10)

Dengan politik luar negeri bebas-aktif, Indonesia menggelar Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung, Aliansi NEFO (New Emerging Forces), dan aksi-aksi anti-kolonialisme. Diskursus utama yang mengemuka dalam aktivitas tersebut adalah diskursus anti-kolonialisme dan penggalangan solidaritas negara-negara baru yang secara geografis memiliki potensi perdagangan dengan Indonesia. Beberapa langkah ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu kekuatan negara dunia ketiga di level internasional.

Namun, kebijakan luar negeri ‘bebas-aktif’ ini lambat laun mulai merapatkan Indonesia pada kekuatan-kekuatan Timur, terutama setelah tahun 1959. Kampanye Indonesia untuk menolak keikutsertaan Malaysia di Dewan Keamanan PBB serta kampanye pembebasan Irian Barat mendekatkan Indonesia dengan Sovyet. Kedekatan tersebut diejawantahkan melalui bantuan dana pembangunan dan dukungan politik (Derkach, 1965). Keluarnya Indonesia dari PBB dan kampanye pembebasan Irian Barat merupakan cara Indonesia dalam membangun posisi di negara-negara pascakolonial lain, yang juga tak lepas dari tarikan-tarikan kekuatan politik yang memiliki sumber daya. Pada titik inilah kita akan memahami bahwa konstruksi politik luar negeri Indonesia di era Orde Lama akan sangat terkait dengan diskursus tentang pembangunan di level domestik dan internasional.

Akan tetapi, kekacauan politik pasca-30 September 1965 telah menyebabkan Indonesia mulai disibukkan oleh isu-isu domestik. Melemahnya Sukarno dan menguatnya kekuatan militer yang didukung oleh gerakan massa membuat situasi politik berubah 180 derajat. Jenderal Soeharto, yang menjadi ‘bintang’ pada krisis politik tersebut, mengambil alih kekuasaan pada tanggal 11 Maret 1966.

D. Utang dan Pembangunan: Politik Luar Negeri Indonesia era Orde Baru

(11)

mendirikan ASEAN, hingga menjalin hubungan yang lebih baik dengan negara-negara Barat (Sukma, 1995).

Pada konteks ini, Soeharto masih menjalankan politik bebas-aktif dengan aktif dalam forum-forum internasional, terutama di tingkat regional. Namun, politik luar negeri RI pada waktu itu lebih cenderung didesain untuk mendapatkan utang luar negeri yang digunakan untuk membiayai pembangunan. IMF dan Bank Dunia (IBRD) membiayai pembangunan tersebut. Sebagai kompensasi kebijakannya, Soeharto mengesahkan UU Penanaman Modal Asing pada tahun 1967 yang menjadi payung investasi asing dan diplomasi untuk mendapatkan utang (Robison, 1986). Pengesahan UU tersebut juga diikuti oleh pelaksanaan Indonesia Investment Conference di Jenewa yang disponsori oleh Time, Inc. dan menghadirkan para pebisnis Barat yang ingin berinvestasi di Indonesia (Time, 1967). Konferensi tersebut dihadiri oleh Adam Malik (Menteri Luar Negeri) dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Di awal masa pemerintahan Orde Baru, ‘utang’ menjadi diskursus utama yang menggeret politik luar negeri. Konsekuensi dari ‘utang’ adalah strategi pembangunan. Negara-negara donor yang difasilitasi oleh Amerika Serikat dan lembaga-lembaga keuangan internasional tentu saja memiliki prasyarat-prasyarat tertentu agar pinjaman dicairkan. Untuk menopang utang agar bisa memenuhi kriteria pembangunan yang diinginkan oleh negara donor, Indonesia membentuk IGGI (Inter-Governmental Group on Indonesia) yang berisi negara-negara yang memberikan resep kebijakan bersama-sama dengan IMF dan IBRD (Bank Dunia) (Robison, 1986).4 Negara-negara donor yang tergabung dalam IGGI tersebut secara

rutin memberikan masukan kepada Indonesia mengenai strategi pembangunan apa yang perlu dilaksanakan. Salah satunya, Soeharto yang ditopang oleh para teknokrat dan ekonom-ekonom liberal yang percaya pada teori-teori modernisasi menerapkan kebijakan yang berbasis pada perencanaan lima tahunan. Model perencanaan pembangunan tersebut terinspirasi dari teori WW Rostow dan dibangun secara teknokratis (Robison, 1986).

4IGGI dibubarkan pada tahun 1992 dan digantikan oleh CGI (Consultative Group on Indonesia). Jika

(12)

Pada tahun 1974, kedatangan Perdana Menteri Jepang, Tanaka datang ke Indonesia untuk melihat investasi yang sedang berjalan. Namun, kedatangan perdana menteri Jepang tersebut segera mendapatkan protes dari mahasiswa yang menolak investasi asing dan utang luar negeri. Pemerintah merespons dengan keras; terjadilah peristiwa kerusuhan 15 Januari 1974 (Malari) di Jakarta.

Peristiwa Malari ini mencerminkan adanya resistensi terhadap kebijakan luar negeri RI yang berbasis pada ‘utang’. Selain itu, fenomena ini memperlihatkan diskursus tentang pembangunan dimana kebijakan pembangunan yang ‘developmentalistik’ diramu dengan otoritarianisme yang merepresi kekuatan-kekuatan sosial lain. Dengan mengedepankan investasi dan menjaga proyek tersebut dengan kekuatan militer, Indonesia mendapatkan keuntungan dengan adanya oil boomdan dana segar yang didapatkan oleh pemerintah melalui utang luar negeri dan investasi.5 Diplomasi utang menampakkan hasil yang cukup signifikan pada awal

Orde Baru. Feith (1981) menyebut hal ini dengan ‘rezim developmentalis represif’. Orde Baru meneruskan politik luar negeri bebas-aktif dengan aktif di forum-forum ASEAN dan mendorong gerakan non-blok. Hal ini menyebabkan Indonesia banyak tampil di forum-forum tingkat regional. Namun, di sisi lain, Indonesia juga melakukak kebijakan anti-Sovyet dengan memutus semua bentuk hubungan diplomatik dengan Sovyet dan China sejak 1967 (Sukma, 1995). Sehingga, pada titik ini, kita sudah bisa membaca diskursus tentang pembangunan yang dianut oleh Orde Baru, dengan mengedepankan utang luar negeri, kebijakan yang developmentalis, dan militer yang represif terhadap kekuatan sosial lain. Kebijakan luar negeri RI yang berbasis pada ‘diplomasi utang’ pada dasarnya adalah manifestasi dari diskursus pembangunan yang menitikberatkan pada utang luar negeri dan pembukaan investasi asing sebagai cara untuk mendapatkan dana segar dan membiayai pembangunan yang telah diresepkan oleh IMF dan Bank Dunia.

Pada awal dekade 1990-an, Uni Sovyet jatuh dan Perang Dingin usai. Kondisi ini mengubah prioritas politik luar negeri AS yang tidak lagi menggelontorkan banyak uang ke Indonesia. Pada tahun 1992, IGGI yang mendampingi Indonesia

5Salah satu investasi asing yang mula-mula dibuka adalah konsesi tambang emas di Papua yang

(13)

untuk membuat kebijakan pembangunan dibubarkan dan digantikan oleh CGI yang lebih bersifat konsultatif (Sukma, 1995). Seiring dengan kebijakan luar negeri AS yang berubah, Indonesia mulai memperkuat hubungan kerjasamanya melalui negara-negara Gerakan Non-Blok ketika terpilih memimpin Gerakan Non-Blok pada tahun 1995. Sementara itu, di level domestik, Indonesia mulai mengikuti perubahan diskursus yang dibawa oleh Bank Dunia dengan serangkaian kebijakan deregulasi dan liberalisasi (Hadiz dan Robison, 2004). Surutnya penerimaan dari minyak membuat para investor Indonesia beralih ke sektor keuangan; liberalisasi finansial berlangsung sejak dekade 1980an. Pertanyaannya, uangnya berasal dari mana? Lagi-lagi, jawabannya sama: dari utang. Dari sinilah tumbuh oligarki yang sudah lahir sejak Indonesia membuka pintu investasi asing (Hadiz dan Robison, 2004: 74).

Namun, kebijakan liberalisasi tersebut tidak bisa bertahan ketika Indonesia mengalami krisis keuangan di tahun 1997-1998. Ketika Rupiah ambruk, perekonomian Indonesia tak mampu bertahan dari badai krisis dan akhirnya membangkitkan kekuatan-kekuatan sosial yang telah lama direpresi oleh Orde Baru. Kebijakan luar negeri Indonesia pada saat itu didesain untuk menstabilisasi perekonomian dengan memperbaharui nota kesepahaman (Letter of Intent) dengan IMF (Hadiz dan Robison, 2004). Namun, mota kesepahaman baru tersebut tak mampu mengatasi krisis dan justru semakin memperhebat gerakan massa. Soeharto jatuh pada tanggal 21 Mei 1998.

E. Neoliberalisme dan Politik Luar Negeri RI Pasca-Orde Baru

Setelah Soeharto jatuh, tampuk kepemimpinan Indonesia beralih pada Habibie, seorang teknolog yang bergabung dengan pemerintahan Soeharto sejak 1990. Habibie melanjutkan nota kesepahaman yang telah dibangun dengan IMF untuk menstabilisasi perekonomian Indonesia. Upaya Habibie dilanjutkan oleh Abdurrahman Wahid dan Megawati yang melanjutkan pinjaman dengan IMF dan membangun kerangka kebijakan pembangunan berbasis ‘structural adjustment program’ dengan dukungan dana dari beberapa lembaga donor: IMF, Bank Dunia, USAID, dll. (Hadiz, 2004; Hadiz & Robison, 2004).

(14)

(Carroll, 2010; Carroll, 2012). Kebijakan pembangunan yang mula-mula diambil adalah desentralisasi, yang digalakkan oleh Bank Dunia dan USAID. Desentralisasi menandai upaya untuk memasukkan ‘modal sosial’ dalam proses perencanaan pembangunan (Hadiz, 2004: 701-702; Li, 2007). Skema desentralisasi di Indonesia mentransfer kewenangan hingga pada tingkatan pemerintah daerah dan pemerintah desa, sehingga mengurangi otoritas pemerintah pusat dalam pembuatan kebijakan publik (Hadiz, 2004). Sehingga, konsekuensinya, aktivitas-aktivitas lembaga donor tidak lagi hanya berada di wilayah pusat, tetapi juga sampai ke daerah. Salah satu bentuk kebijakan yang lahir dari desentralisasi tersebut adalah Program Pembangunan Kecamatan yang dibiayai oleh Bank Dunia (kini menjadi PNPM-Mandiri Perdesaan). (Li, 2007).

Dengan demikian, kita bisa membaca ada semacam pergeseran dalam strategi pembangunan yang diusung oleh negara-negara donor dalam mengampanyekan pembangunan di Indonesia. Lantas, bagaimana dengan politik luar negeri yang diambil oleh Wahid dan Megawati? Salah satu kebijakan yang diambil oleh presiden Abdurrahman Wahid adalah memperbaiki citra Indonesia yang baru saja jatuh akibat berbagai kasus yang menerpa: Timor Timur, Aceh, Papua, dan Maluku (Smith, 2000). Aktivitas Abdurrahman Wahid yang sering bepergian –disebut pula sebagai “Foreign Policy President” dapat dibaca sebagai sebuah langkah untuk mengembalikan citra Indonesia yang terlanjur negatif, juga dalam konteks menopang pembangunan politik Indonesia yang sedang bergerak menuju transisi demokrasi (Smith, 2000: 506-508).

(15)

pembangunan di level domestik dan lebih banyak mempercayakan urusan luar negeri dengan Menteri Luar Negeri, Hassan Wirajudha.6

Mengapa kebijakan luar negeri Megawati tidak jauh berbeda dengan Soeharto? Dalam perspektif ekonomi politik pembangunan, jawabannya bisa kita temukan: kebutuhan untuk membiayai pembangunan yang dananya berasal dari pinjaman. Pada tahun 2001-2003, Megawati banyak menandatangani Letter of Intent yang berisi persetujuan untuk menanamkan pola-pola Washington Consensus dalam kebijakan publik di Indonesia dan mencairkan pinjaman untuk melaksanakannya (Umar, 2012).7

Menariknya, pada masa Megawati, Indonesia aktif dalam forum-forum di tingkat regional (ASEAN). Indonesia menjadi tuan rumah Bali Concord III yang kemudian menjadi ‘batu pertama’ dari ASEAN Community yang digadang-gadangkan akan efektif terlaksana di dekade 2020an. Namun, karena Megawati lebih banyak mempercayakan kebijakan pada Menteri, ASEAN masih menjadi agenda dari Kementerian Luar Negeri dan belum menjadi agenda utama pemerintah. Politik Luar Negeri Indonesia justru lebih banyak disibukkan oleh agenda kebijakan Global War on Terror Amerika Serikat yang menyeret Indonesia karena ada pengeboman di Bali tahun 2002.

Sikap Indonesia yang lebih banyak disibukkan olehGlobal War on Terrorini menarik untuk dicermati. Mengapa Indonesia lebih memprioritaskan pemberantasan terorisme daripada ASEAN? Jika dianalisis dari kebijakan pembangunan Indonesia, terlihat bahwa pemberantasan terorisme punya implikasi pada hubungan kerjasama antara Indonesia dan Amerika Serikat/Australia, yang bisa berakibat pada pemutusan kerjasama ekonomi yang berakibat negatif terhadap kepentingan nasional Indonesia.

Politik liberalisasi yang dikampanyekan oleh IMF dan Bank Dunia kemudian diteruskan oleh Susilo Bambang Yudhoyono. Di paruh pertama pemerintahannya,

66Hassan Wirajudha adalah seorang diplomat karier yang cukup senior di jajaran Departemen Luar

Negeri. Wirajudha kemudian banyak meneruskan kebijakan-kebijakan yang lebih bersifat birokrat, seperti ASEAN (Bali Concord III tahun 2003) atau pertemuan-pertemuan bilateral. Lihat Anwar (2003),

7Salah satu kebijakan yang diambil oleh Megawati adalah privatisasi BUMN. Di antara kasus yang

(16)

Yudhoyono banyak terlibat dalam mengurusi hal-hal domestik, seperti rekonstruksi Aceh pasca-Tsunami atau gempa di Yogyakarta. Kerangka kebijakan pembangunan yang ditawarkan oleh Yudhoyono mengikuti model kebijakan ‘socio-institutional neoliberalism’ (Carroll, 2010). Yudhoyono yang mewarisi konteks kebijakan

Washington Consensus dari Megawati meneruskannya dalam bentuk Good Governance dan mendesentralisasikannya ke level daerah, sehingga membuat pembangunan tidak lagi bertumpu hanya pada negara, tetapi juga dikelola secara desentralistik dengan menggunakan good governance sebagai pilar utama (Carroll, 2012).

Dengan berkembangnya diskursus baru tentang pembangunan, yaitu kerangka Post-Washington Consensus, terjadi pergeseran-pergeseran dalam konteks politik luar negeri Indonesia. Pergeseran tersebut dapat dipetakan ke dalam dua kategori. Pertama, kebijakan pembangunan yang bersifat desentralistik menyebabkan ekspansi kekuatan politik internasional tidak lagi masuk via ‘negara’, melainkan bisa masuk langsung pada masyarakat. Inilah yang dikritik oleh Carroll (2012) sebagai ‘trojan horse’ yang bisa menikam dari dalam. Kedua, politik luar negeri tidak lagi bersifat ‘statist’ atau mengandalkan negara. Semua aparatus negara bahkan kekuatan sosial kini bisa menjadi ‘diplomat’ karena interaksi yang intens dengan dunia luar menjadikan setiap hubungan luar negeri tidak hanya menjadi

domain‘negara’, tetapi juga melibatkan aktor-aktor yang lain.

Sehingga, dengan konfigurasi semacam ini, bagaimana posisi politik luar negeri Indonesia? Yudhoyono kemudian mengajukan konsep ‘zero enemy and million friends’ sebagai haluan baru politik luar negeri Indonesia. Konsep ini meniscayakan Indonesia untuk bekerjasama dengan semua kekuatan untuk, “(1) promote justice and order in the international arena, (2) better investment policy for economic development, (3) democracy and consolidation in regional integration, (4) protecting Indonesian nationals particularly migrant workers, (5) maintaining national unity,dan (6) striving for amore effective foreign policy mechanism.” (Puspitasari, 2010). Konsep ini meniscayakan Indonesia untuk memilih ‘multilateralisme’ sebagai haluan dalam setiap perundingan internasional. Belakangan, Menteri Luar Negeri RI Marty Natalegawa merumuskan konsep baru:

(17)

dinamis’ dan Indonesia mesti membangun hubungan persahabatan yang lebih kuat dengan sesama negara ‘global south’ (Umar, 2011).

Bagaimana kita membaca kerangka politik luar negeri Indonesia ini dalam konteks ekonomi politik pembangunan? Kebijakan pembangunan Indonesia di dalam negeri telah didesain dengan menginternalisasi apa yang disebut sebagai ‘ socio-institutional neoliberalism/post-washington consensus’ yang menempatkan neoliberalisme sebagai sebuah cara untuk membangun masyarakat. Dengan demikian, pada level domestik, ‘negara’ sudah tidak lagi menjadi aktor utama yang memenuhi kebutuhan masyarakat. Oleh sebab itu, peran ‘negara’ diredefinisi dengan konsep ‘zero enemy and million friends’.

Karena pembangunan yang didesain dengan model ‘post-Washington Consensus’ membutuhkan stimulus modal di level domestik, peran negara kini adalah membuka pintu seluas-luasnya kepada modal asing untuk masuk ke dalam negeri dan berinvestasi. Era perdagangan bebas dengan Cina (ACFTA) kemudian semakin menambah semarak politik pembangunan di Indonesia, yang tidak hanya berada di bawah tarikan lembaga-lembaga keuangan internasional, tetapi juga Cina. Upaya untuk menghadapi hegemoni Cina ini bukannya tidak diperhatikan oleh Indonesia; pada titik inilah kita bisa menjelaskan konsep ‘dynamic equilibrium’ dari Marty Natalegawa yang ia ejawantahkan dalam politik luar negeri berbasis ASEAN (Umar, 2011).

Dari pemaparan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa politik luar negeri di Indonesia pasca-Orde Baru tak lepas dari konsolidasi neoliberalisme yang bertransformasi di Indonesia. Diskursus tentang pembangunan yang diwarisi dari Orde Baru dan dikembangkan oleh ekonom-ekonom dari Bank Dunia atau lembaga donor kini diinternalisasi menjadi strategi pembangunan dan mempengaruhi kebijakan luar negeri Indonesia. Politik luar negeri menjadi semacam instrument untuk menjaga eksistensi dari hegemoni neoliberalisme dalam kebijakan pembangunan Indonesia.

F. Kesimpulan

(18)

ditarik dari penganut pendekatan Marxis dan Gramscian ini mengarahkan kita pada sebuah proposisi utama, bahwa semua bentuk hubungan sosial akan ditentukan oleh basis material yang bersumber pada proses produksi. Dengan meletakkan ‘produksi’ sebagai basis utama dari pembangunan, dalam konteks paper ini, kita bisa mengatakan bahwa politik luar negeri akan ditentukan oleh pertarungan wacana ekonomi-politik tentang pembangunan yang terjadi pada sebuah negara.

Paper ini berkesimpulan bahwa kebijakan-kebijakan luar negeri sejak era kemerdekaan hingga pasca-Orde Baru pada dasarnya diambil berdasarkan kebutuhan untuk membangun bangsa dan memenuhi kebutuhan dalam negeri. Ketika Orde Lama, ‘politik bebas-aktif’ dirumuskan agar Indonesia mampu bergerak secara lebih luwes dalam memperdagangkan komoditas ekspornya. Sebab, seperti analisis Hatta (1953), kebutuhan ekonomi dalam negeri sangat bergantung pada ekspor komoditas domestik yang membutuhkan hubungan kerjasama luar negeri. Hubungan itu dipertahankan dalam politik anti-kolonialisme Sukarno yang bertujuan untuk mengonsolidasikan kekuatan negara-negara dunia ketiga dalam menghadapi imperialisme.

Di masa Orde Baru, paradigma pembangunan berubah menjadi modernisasi yang mengimplikasikan dibukanya investasi asing dan perekonomian pada modal asing. Kebijakan ini disebut sebagai ‘developmentalisme’ yang ditopang oleh kekuatan represif militer (Feith, 1981). Munculnya ‘developmentalisme’ Orde Baru direspons oleh politik luar negeri dengan mencari ‘utang’ yang bisa digunakan sebagai talangan pembangunan. Konsekuensinya, dengan adanya utang yang diberikan oleh negara-negara donor tersebut, Indonesia harus memenuhi persyaratan kebijakan yang harus dilakukan sebagai kompensasi cairnya pinjaman. Sehingga, kebijakan luar negeri Orde Baru pada prinsipnya merupakan kebijakan yang dekat dengan negara-negara Barat

(19)

sampai pada level desa— tanpa harus melalui perantara negara (Carroll, 2010; Harris, 2002). Konsekuensi dari fenomena ini adalah biasnya peran negara dan membuat politik luar negeri menjadi tidak lagi berfungsi sebagai ‘filter’ dalam mengurusi hubungan luar negeri. Oleh sebab itu, terjadi pula perubahan diskursus politik luar negeri Indonesia menjadi lebih bersifat fasilitatif terhadap neoliberalisme yang berkembang di Indonesia. Politik luar negeri menjadi instrument untuk menarik investasi asing masuk ke Indonesia dan memberikan pencitraan positif bagi Indonesia di masyarakat internasional.

Dari pemaparan di atas, paper ini berkesimpulan bahwa pembuatan keputusan politik luar negeri di Indonesia selalu memiliki basis material yang bersumber dari kebutuhan sebuah negara untuk survive. Paper ini membuktikan bahwa pembangunan –sebagai sebuah langkahrealnegara untuk menghidupi dirinya dalam bertahan hidup dalam realitas politik internasional—memiliki pengaruh terhadap pengambilan keputusan politik luar negeri. Oleh sebab itu, penting untuk melihat politik luar negeri –terutama di dunia ketiga— tidak sekadar dari level

rational choice, bureaucratic polity,dan governmental politics yang disarankan oleh penganut pendekatan ‘problem solver’ (Korany, 1984), tetapi juga dari sudut pandang ekonomi politik yang memperlihatkan basis material dari kebijakan tersebut. Penelitian ini memperlihatkan bahwa ‘politik luar negeri’ Indonesia sejak 1966 berada di bawah ‘hegemoni’ dari kapitalisme yang mengambil banyak wajah (developmentalisme, neoliberalisme, dll.). Hal ini merupakan konsekuensi dari paradigma pembangunan yang sangat menekankan pada self-regulating market dan ‘negara’ sebagai penjaga keefektifan mekanisme pasar. Paradigma politik luar negeri ‘bebas-aktif’, pada praktiknya, tidak lagi menjadi pilihan kebijakan. Hal ini perlu menjadi agenda kebijakan yang perlu dipikirkan lagi secara lebih kritis, agar Indonesia mampu menempatkan posisinya secara tepat dalam pentas politik internasional. [*]

DAFTAR PUSTAKA

(20)

Anwar, D.F. & Crouch, H. (2003). “Indonesia: Foreign Policy and Domestic Politics”.Trends in Southeast AsiaVol. 9.

Agussalim, D. (2011). “New Trends in Indonesian’s Foreign Policy Orientation and

Practices: From Regional To Global-Oriented”. Nagoya Graduate School of International Development Blog. Accessed from http://www2.gsid.nagoya-

u.ac.jp/blog/anda/files/2011/08/56-dafri-agussalim_trends-in-indonesias-foreign-policy.pdf

Carroll, T. (2010). Delusion of Development: The World Bank and The Post-Washington Consensus in Southeast Asia.New York: Palgrave.

Carroll, T. (2012). Neoliberal Development Policy in Asia Beyond The Post-Washington Consensus.Jakarta: TIFA and INFID.

Cox, R.W. (2004). “Beyond Empire and Terror: Critical Reflections on the Political Economy of World Order”.New Political EconomyVol. 9 (3): 307-323.

Cox, R.W. & Schehter, M.G. (2002). The Political Economy of a Plural World: Critical Reflections on Power, Morals and Civilization.London: Routledge. Derkach, Nadia. “The Soviet Policy towards Indonesia in the West Irian and the

Malaysian Disputes”Asian Survey, Vol. 5, (11), pp. 566-571

Escobar, A. (1995). Encountering Development: The Making and Unmaking of The Third World.New Jersey: Princeton University Press.

Feith, H. (1981). “Rezim-rezim Developmentalis Represif di Asia: Kekuatan Lama, Kerawanan Baru”,Prisma, 11 Vol. 11, pp. 69-84.

Ferguson, J. (1995). Anti-Politics Machine: Development, Depoliticization, and Bureaucratic Power in Lesotho.Minneapolis: University of Minnesota Press. Foucault, M. (1991). “Governmentality” in Sukma, A. and Gupta, A. (eds). The

Anthropology of the State.Oxford, Malden, and Victoria: Blackwell.

Hadiz, V.R. (2004). “Decentralization and Democracy in Indonesia: A Critique of Neo-Institustional Perspective”.Development and Change, Vol. 3 (4) :697-718 Hadiz, V.R. (2006). “Corruption and Neo-liberal Reform: Markets and Predatory

Power in Indonesia and Southeast Asia” in Robison, R. (ed). The Neoliberal Revolution: Forging the Market State.New York: Palgrave.

(21)

Harris, J. (2002). Depoliticizing Development: The World Bank and Social Capital.

New Delhi: Left World Books.

Hatta, M. (1947). “Mendajung di Antara Dua Karang” Pidato disampaikan dalam Rapat BPKNP,Yogyakarta, Indonesia.

Hatta, M. (1953). “Indonesia’s Foreign Policy”. Foreign Affairs, Vol. 31 (3), pp. 441-452.

Hatta, M. (1958). “Indonesia’s Between Power Blocs”. Foreign Affairs, Vol. 36 (3), pp. 480-490.

Kegley, C.W. & Wittkopf, E.R. (2006). World Politics: Trends and Transformation

Belmont: Thomson-Wadsworth.

Korany, B. (1984). “Foreign Policy in the Third World: An Introduction”

International Political Science Review,Vol. 5 (1), pp. 7-20.

Li, T.M. (2007). The Will to Improve: Perencanaan, Kekuasaan, dan Pembangunan di Indonesia.Penterjemah Hery Santoso dan Pujo Semedi. Depok: Marjin Kiri. Novotny, D. (2004). “Indonesia’s Foreign Policy: In Quest for the Balance of

Threats”. Presented to the 15th Biennial Conference of the Asian Studies Association of Australia, Canberra, AU.

Puspitasari, I. (2010). “Indonesia’s New Foreign Policy: Thousand Friends Zero Enemy”IDSA Issue Brief,November.

Robison, R (1986).Indonesia: The Rise of Capital.Singapore: Equinox.

Robison, R. (2006). “Neo-liberalism and the Market State: What is the Ideal Shell?” in Robison, R. (ed).The Neoliberal Revolution: Forging the Market State. New York: Palgrave.

Robison, R. & Hadiz, V.R. (2004).Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets.London: RoutledgeCurzon.

Sukma, R. (1995). “The Evolution of Indonesia's Foreign Policy: An Indonesian View”Asian Survey, Vol. 35 (3) pp. 304-315.

Smith, A.L. (2000). “Indonesia's Foreign Policy under Abdurrahman Wahid: Radical or Status Quo State?” Contemporary Southeast Asia, Vol. 22 (3), pp. 498-526 Smith, A.L. (2003). “Indonesia in 2002: Megawati's Way” Southeast Asian Affairs,

pp. 97-116.

(22)

Umar, A.R.M. (2011). “A Critical Reading of Natalegawa Doctrine”. The Jakarta Post,7 January.

Umar, A.R.M. (2012). “Ekonomi Politik Perminyakan Indonesia: Analisis Kebijakan Liberalisasi Sektor Hulu Migas Indonesia Pasca-1998” Jurnal Sosial Politik. Vol. 16 (1): 45-61.

Referensi

Dokumen terkait

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada pengaruh Net Profit Margin (NPM), Return On Investment (ROI), dan Debt Equity Ratio (DER) terhadap

Conclusions Health care costs of occupational accidents are similar to the economic direct expenditures to compensate death and disability in the social security system in

Perkembangan jaman memaksa kita harus tetap maju dan berinovasi sesuai dengan kebutuhan yang kita kehendaki. Saat ini `pemerintah telah memberikan kesempatan yang

• Satu kesatuan secara menyeluruh dari komponen komponennya,shg membentuk keadaan yg stabil • Hubungan antara struktur dan fungsi dari

Selain itu tidak hanya dari pihak pengelola sekolah saja yang hanya bisa menciptakan iklim dan budaya sekolah yang kondusif, melainkan peserta didik pun ikut berperan aktif,

Tabel 2. Kandungan bahan organik media fermentasi G. lucidum pada level Cr dan lama fermentasi berbeda. TKS= campuran tandan kosong sawit dan serat sawit dengan perbandingan

- Psikotropika golongan II adalah psikotropika yang berkhasiat untuk pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi atau tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat

Sistem dianggap air dangkal jika kedalaman fluida jauh lebih kecil daripada panjang gelombangnya atau persaman air dangkal hanya berlaku untuk gelombang yang