• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Work-To-Family Conflict Dan Stres Kerja Terhadap Komitmen Organisasi Dengan Kepuasan Kerja Sebagai Variabel Intervening Pada Pt. Pelabuhan Indonesia I (Persero) Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Work-To-Family Conflict Dan Stres Kerja Terhadap Komitmen Organisasi Dengan Kepuasan Kerja Sebagai Variabel Intervening Pada Pt. Pelabuhan Indonesia I (Persero) Medan"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

Pengkajian tentang penelitian terdahulu dimaksudkan untuk mengetahui hubungan antara penelitian yang sudah pernah dilakukan dengan penelitian yang akan dilakukan. Beberapa penelitian sebelumnya beserta dengan hasil penelitian dapat dilihat dalam Tabel 2.1 berikut:

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

No Judul Penulis Alat Analisis Hasil Penelitian

1 Work-To-Family Conflict

Work-To-Family Conflict dan

Family-To-Family Conflict

mempunyai hubungan negatif terhadap Kepuasan dalam Bekerja dan Kinerja Karyawan sedangkan Work-To-Family Conflict dan Work-To-Family Conflict mempunyai hubungan positif terhadap Keinginan Pindah Tempat Bekerja 2 Pengaruh Work-Family

Conflict dan Kepuasan

berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Komitmen Organisasi dan Kepuasan Kerja berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Turnover Intention sedangkan Work-Family Conflict berpengaruh positif dan signifikan terhadap

Turnover Intention dan Kepuasan Kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap Komitmen Organisasional 3 Pengaruh Konflik Kerja

(2)

Tabel 2.1 Lanjutan

No Judul Penulis Alat Analisis Hasil Penelitian

4 Pengaruh Konflik berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Komitmen Organisasi dan Kepuasan Kerja sedangkan Kepuasan Kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap Komitmen Organisasi

5 Pengaruh Stres Kerja terhadap Kepuasan Kerja dan Komitmen terhadap Kepuasan Kerja dan Kepuasan Kerja berpengaruh positif terhadap Komitmen Organisasi berhubungan positif terhadap Stres Kerja, Konflik Pekerja-Keluarga dan Stres Kerja berhubungan negatif terhadap Komitmen Organisasi dan Prestasi Kerja

7 Work-Family Conflict and Organizational

Anova Konflik Kerja-Keluarga berpengaruh negatif terhadap Komitmen Organisasi dan tidak ada perbedaan signifikan Konflik Kerja-Keluarga antara pria dan wanita terhadap Komitmen Organisasi

8 Work-Family Conflict and Job Performance: Lesson from a Southeast Asian

Konflik Kerja-Keluarga dan Konflik Keluarga-Kerja berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Kepuasan Kerja, Konflik Kerja-Keluarga berpengaruh signifikan terhadap Keinginan Pindah Bekerja dan Konflik Keluarga-Kerja tidak berpengaruh signifikan terhadap Keinginan Pindah Bekerja

9 Work-Family role Conflict and Organizational

Commitment among industrial workers in Nigeria

Akintayo (2010)

Regresion Analysis

(3)

Tabel 2.1 Lanjutan

No Judul Penulis Alat Analisis Hasil Penelitian

10 The Impact of Job Stress

Stres Kerja berhubungan negatif dengan Kepuasan Kerja karyawan dan Lingkungan Kerja berhubungan positif terhadap Kepuasan Kerja.

11 Work-Family Conflict and Stress: Evidence from Malaysia

Jamadin

et.al

(2015)

Anova Konflik Kerja-Keluarga berpengaruh positif dan signifikan terhadap Stres

Effectiveness in The Institute of Southern Punjab-Pakistan

Malik and Abdul (2015)

Anova Konflik Kerja-Keluarga memiliki hubungan negatif dengan Komitmen Organisasi dan Efektivitas Organisasi

13 Antecedents of Job Stress and its impact on Job Performance and Job Satisfaction in The Islamia University of Bahawalpur Pakistan

Stres Kerja memiliki hubungan negatif dan signifikan dengan Kepuasan Kerja, Stres Kerja memiliki hubungan positif dan signifikan dengan Konflik Peran dan Ambiguitas Peran, Ambiguitas Peran memiliki hubungan negatif dan signifikan terhadap Kepuasan Kerja, Konflik Peran memiliki hubungan negatif dan tidak signifikan terhadap Kepuasan Kerja dan Stres Kerja memiliki hubungan negatif dan tidak signifikan terhadap Prestasi Kerja

14 Work Family conflict, Jobstress and Job Performance (Case Study SPA Employee In Bali) berpengaruh positif dan signifikan terhadap Stres Kerja, Konflik Kerja-Keluarga berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap Kinerja Karyawan dan Stres Kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap Kinerja Karyawan

Stres Kerja berhubungan signifikan terhadap Kepuasan Kerja, Ambiugitas Peran berhubungan signifikan terhadap Kepuasan Kerja dan

(4)

2.2 Teori tentang Work-To-Family Conflict

2.2.1 Pengertian Work-To-Family Conflict

Pekerjaan dan keluarga merupakan dua hal yang saling terkait dan sangat penting bagi semua orang. Mengintegrasikan kedua hal tersebut amatlah sulit apabila orang tersebut sudah menikah dan mempunyai anak. Oleh Karena itu konflik akan muncul ketika seseorang harus membuat pilihan diantara dua peran yang harus dijalani (peran dalam keluarga dan pekerjaan) sehigga orang tersebut harus menjalankan peran ganda yaitu sebagai suami/istri, orang tua, anak dan karyawan. Menurut Mangkunegara (2007:155), konflik adalah suatu pertentangan yang terjadi antara apa yang diharapkan oleh seseorang terhadap dirinya, orang lain, organisasi dengan kenyataan apa yang diharapkan.

Menurut Robbins dan Judge (2015:183), konflik peran (role conflict) adalah suatu situasi yang mana individu dihadapkan oleh ekspektasi peran yang berbeda-beda. Sedangkan menurut Greenhause dan Beutell (1985) dalam Buhali dan Margaretha (2013:18), work-to-family conflict adalah suatu bentuk konflik antar peran dimana tekanan peran dari pekerja dan keluarga domain yang saling kompatibel dalam beberapa hal. Sedangkan menurut Martin et al, dalam Amalia (2010:203), work-to-family conflict adalah suatu keadaan yang terjadi ketika pekerjaan seseorang mengganggu atau mempengaruhi kehidupan keluarganya.

2.2.2 Bentuk-Bentuk Work-To-Family Conflict

Menurut Greenhaus dan Beutell (1985) dalam Amalia (2010:210),

(5)

1. Konflik karena waktu (time-based conflict) adalah banyaknya waktu yang dibutuhkan dalam memenuhi kebutuhan salah satu peran (pekerja/keluarga) sehingga menyebabkan seseorang mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan peran lainnya. Terdapat dua bentuk time based conflict, 1) tekanan waktu yang berhubungan dengan keanggotaan pada salah satu peran, menjadikan seseorang mustahil untuk memenuhi ekspektasi pada peran yang lain, 2) tekanan juga menjadikan kenyamanan dalam menjalani salah satu peran, walaupun secara fisik dia sedang memenuhi tuntutan dari peran yang lain. Pekerjaan sebagai sumber dari konflik (Work Related Sources of

Conflict) adalah:

1. Jumlah jam kerja 2. Lembur

3. Tingkat kehadiran 4. Ketidakteraturan shift 5. Kontrol jadwal kerja

Keluarga sebagai sumber konflik (Family Related Sources of Conflict) yakni adanya tuntutan dari peran keluarga untuk menghabiskan banyak waktu dalam aktivitas keluarga. Wanita yang menghabiskan sejumlah waktu untuk bekerja di luar rumah akan memiliki kecenderungan mengalami tekanan dari peran yang dijalaninya.

2. Strain-based conflict merupakan banyaknya tekanan yang timbul dalam

(6)

bahwa stres dari pekejaan dapat menimbulkan symptom ketegangan, seperti kecemasan, kelelahan, depresi, kelesuan dan kecenderungan untuk lekas marah. Adanya ketegangan pada salah satu peran menyebabkan seseorang kesulitan untuk memenuhi tuntutan peran lainnya.

Pekerjaan sebagai sumber dari konflik (Work Related Sources of Conflict), ambiguitas dan konflik dalam peran di pekerjaan dapat menyebabkan work

family conflict. Hal-hal yang memicu stres dalam pekerjaan misalnya coping

pada pekerjaan baru, kurang adanya keterikatan antara orang dan pekerjaan, kecewa karena adanya harapan yang tidak terpenuhi. Pada intinya keikutsertaan yang tinggi pada peran tertentu dapat menimbulkan symptom ketegangan.

Keluarga sebagai sumber konflik (Family Related Sources of Conflict), konflik dalam keluarga berhubungan dengan tingginya work family conflict. Dukungan dari pasangan dapat memberikan adanya perlindungan satu sama lain dari kemungkinan work family conflict. Jadi, ketegangan, konflik dan tidak adanya dukungan dari keluarga akan berkontribusi pada terjadinya work

family conflict. Namun karakteristik peran keluarga tertentu yang

membutuhkan komitmen waktu yang tinggi secara langsung dan tidak langsung akan menimbulkan ketegangan.

3. Behavior-based conflict yaitu adanya perilaku secara khusus yang dibutuhkan

(7)

adanya pertentangan pada diri orang tersebut. Ketika didalam dunia pekerjaan seseorang bisa dituntut menjadi seorang yang logis, berkuasa dan agresif, namun ketika di rumah atau ketika menjadi anggota keluarga, seseorang dituntut menjadi seorang yang hangat, penuh emosi dan menjadi pengasuh yang baik.

Menurut Gibson, dkk (1995) dalam Wirakristama (2011:32), bentuk konflik peran yang dialami individu ada tiga yaitu:

1. Konflik peran itu sendiri (person role conflict). Konflik ini terjadi apabila persyaratan peran melanggar nilai dasar, sikap dan kebutuhan individu tersebut.

2. Konflik intra peran (intra role conflict). Konflik ini sering terjadi karena beberapa orang yang berbeda-beda menentukan sebuah peran menurut rangkaian harapan yang berbeda-beda, sehingga tidak mungkin bagi orang yang menduduki peran tersebut untuk memenuhinya. Hal ini dapat terjadi apabila peran tertentu memiliki peran yang rumit.

3. Konflik antar peran (inter role conflict). Konflik ini muncul karena orang menghadapi peran ganda. Hal ini terjadi karena seseorang memainkan banyak peran sekaligus dan beberapa peran itu mempunyai harapan yang bertentangan serta tanggung jawab yang berbeda-beda.

Menurut Mangkunegara (2007:155), ada empat bentuk konflik dalam organisasi, yaitu sebagai berikut:

(8)

direktur utama, pemimpin dengan karyawan, pengurus dengan anggota koperasi, pengurus dengan manajer dan pengurus dengan karyawan.

2. Konflik Fungsional (Functional Conflict), yaitu konflik yang terjadi dari macam-macam fungsi departemen dalam organisasi. Contoh, konflik yang terjadi antara bagian produksi dengan bagian pemasaran, bagian administrasi umum dengan bagian personalia.

3. Konflik Staf dengan Kepala Unit (Line Staff Conflict), yaitu konflik yang terjadi antara pimpinan unit dengan stafnya terutama staf yang berhubungan dengan wewenang/otoritas kerja. Contoh, karyawan staf tidak formal mengambil wewenang berlebihan.

4. Konflik Formal-Informal (Formal-Informal Conflict), yaitu konflik yang terjadi yang berhubungan dengan norma yang berlaku di organisasi informal dengan organisasi lain. Contoh, pemimpin yang menempatkan norma yang salah pada organisasi.

2.2.3 Penyebab Terjadinya Work-To-Family Conflict

Menurut Greenhaus dan Beutell (1985) dalam Wirakristama (2011:33), faktor-faktor penyebab konflik peran, diantaranya:

1. Permintaan waktu akan peran yang tercampur dengan pengambilan bagian dalam peran yang lain.

(9)

3. Kecemasan dan kelelahan yang disebabkan ketegangan dari satu peran dapat mempersulit untuk peran yang lainnya.

4. Perilaku yang efektif dan tepat dalam satu peran tetapi tidak efektif dan tidak tepat saat dipindahkan ke peran lainnya.

Sedangkan menurut Mangkunegara (2007:156), penyebab terjadinya konflik dalam organisasi, antara lain:

1. Koordinasi kerja yang tidak dilakukan 2. Ketergantungan dalam pelaksanaan tugas

3. Tugas yang tidak jelas (tidak ada deskripsi jabatan) 4. Perbedaan dalam orientasi kerja

5. Perbedaan dalam memahami tujuan organisasi 6. Perbedaan persepsi

7. Sistem kompetensi insentif (reward) 8. Strategi pemotivasian yang tidak tepat

2.2.4 Cara Mengatasi Work-To-Family Conflict

Menurut Robbins dan Judge (2015:312), terdapat lima niat untuk menangani konflik yaitu:

1. Bersaing

(10)

2. Berkolaborasi

Ketika pihak-pihak yang melakukan konflik mengenai keinginan masing-masing untuk memuaskan sepenuhnya perhatian dari semua pihak, terdapat kerjasama dan pencarian atas hasil yang saling menguntungkan. Dalam berkolaborasi, para pihak bermaksud untuk memecahkan permasalahan dengan menjernihkan perbedaan dan bukannya mengakomodasi sudut pandang yang bervariasi.

3. Menghindar

Seorang akan mengakui suatu konflik telah terjadi dan ingin menarik diri dari atau menyembunyikan diri dari konflik tersebut. Contoh dari menghindari, meliputi berusaha untuk mengabaikan sebuah konflik dan menghindari orang lain dengan siapa anda tidak setuju.

4. Mengakomodasi

Pihak yang berupaya untuk menenangkan lawan yang bersedia untuk menempatkan kepentingan dari lawan di atas kepentingannya sendiri, berkorban untuk mempertahankan hubungan. Kita mengacu niatan ini sebagai mengakomodasi.

5. Berkompromi

(11)

Sedangkan menurut Mangkunegara (2007:156), manajemen konflik dapat dilakukan dengan cara antara lain:

1. Pemecahan masalah (Problem Solving) 2. Tujuan tingkat tinggi (Lipsordinate Goal) 3. Menghindari konflik (Avoidance)

4. Melicinkan konflik (Smoothing) 5. Kompromi (Compromise)

6. Perintah dari wewenang (Authoritative Commands)

7. Mengubah variabel manusia (Altering the Human Variables) 8. Mengubah variabel struktural (Altering the Structural Variables) 9. Mengidentifikasi musuh bersama (Identifying a Common Enemy)

2.3 Teori tentang Stres Kerja

2.3.1 Pengertian Stres Kerja

(12)

Menurut Invacevich dalam Anatan dan Ellitan (2007:55), stres kerja adalah suatu tanggapan penyesuaian yang dilatarbelakangi oleh perbedaan individu atau proses psikologi yang merupakan konsekuensi setiap tindakan dari luar (lingkungan), situasi, peristiwa yang menetapkan permintaan psikologis/fisik yang berlebihan kepada seseorang. Sedangkan menurut Robbins dan Judge (2015:19), stres adalah proses psikologis tidak menyenangkan yang terjadi sebagai respon atau tekanan lingkungan.

Menurut Mc. Grant dalam Anatan dan Ellitan (2007:55), mendefinisikan stres kerja sebagai suatu keadaan yang tidak menyenangkan sebagai akibat seseorang menghadapi ketidakpastian apakah dia dapat mengatasi tantangan terhadap nilai-nilai yang penting. Dalam definisi tersebut terdapat tiga komponen penting yaitu:

1. Tantangan yang dirasakan (perceive challenge), yang timbul akibat interaksi seseorang dengan persepsi mereka terhadap lingkungan.

2. Nilai-nilai penting (important value), timbul karena seseorang mengalami kejadian, namun hal tersebut dianggap tidak penting sehingga tidak menimbulkan stres.

3. Ketidakpastian resolusi (uncertainity resolution), terjadi bila seseorang menginterprestasikan situasi bahwa ada kemungkinan untuk sukses dalam menghadapi suatu tantangan.

(13)

interaksi antara seseorang dengan pekerjaannya dan dikarakterisasikan oleh perubahan dalam diri seseorang yang memaksa mereka untuk menyimpang.

Bentuk perilaku terhadap stres adalah hasil dari interaksi situasi dengan individunya, mencakup ciri-ciri kepribadian yang khusus dan pola-pola perilaku yang didasarkan pada sikap, kebutuhan, nilai-nilai, pengalaman lalu, keadaan lingkungan dan kecakapan. Tuntutan peran ganda umumnya dialami oleh wanita yang melibatkan diri dalam lingkungan organisasi, yaitu sebagai wanita karir dan ibu rumah tangga sehingga lebih rentan mengalami stres yang dapat menyebabkan penderitaan psikis berupa kecemasan dibanding dengan pria. Tuntutan pekerjaan, rumah tangga dan ekonomi keluarga sangat berpotensi menyebabkan wanita karir rentan mengalami stres.

2.3.2 Gejala-Gejala Stres Kerja

Menurut Robbins dan Judge (2015:434), mengelompokkan gejala-gejala stres kerja kedalam tiga aspek, yaitu:

1. Gejala Fisik/Fisiologis

Yang termasuk dalam simptom-simtom ini yaitu: a. Meningkatkan metabolisme

b. Meningkatkan fungsi jantung, tingkat pernapasan dan tekanan darah c. Sakit kepala

d. Serangan jantung

(14)

kerumitan gejala-gejala dan kesulitan untuk secara objektif mengukurnya. Tetapi yang lebih relevan adalah fakta bahwa gejala fisiologis mempunyai relevansi langsung yang kecil sekali bagi perilaku organisasi.

2. Gejala Psikis/Psikologis

Yang termasuk dalam simptom-simptom ini yaitu: a. Cepat tersinggung

b. Kecemasan c. Kebosanan d. Penundaan

Gejala-gejala psikologis tersebut merupakan gejala yang paling sering dijumpai dan diprediksikan dari terjadinya ketidakpuasan kerja. Stres yang berakibat dengan pekerjaan dapat menimbulkan ketidakpuasan yang berkaitan dengan pekerjaan, dimana dampak ketidakpuasan memiliki dampak psikologis yang paling sederhana dan paling jelas dari stres. Pekerjaan yang membuat tuntutan berlipat dan pertentangan atau kurangnya kejelasan mengenai pekerjaan, wewenang, tanggungjawab dan beban kerja sehingga stres dan ketidakpuasan akan semakin mengikat.

3. Gejala Perilaku

Yang termasuk dalam simptom-simptom ini yaitu: a. Merokok berlebihan

b. Menunda atau menghindari pekerjaan

(15)

2.3.3 Sumber-Sumber Stres Kerja

Menurut Siagian (2008:301), pada dasarnya berbagai sumber stres dapat digolongkan yang berasal dari pekerjaan dan dari luar pekerjaan seseorang.

1. Sumber stres yang berasal dari pekerjaan

Berbagai hal yang dapat menjadi sumber stres yang berasal dari pekerjaan yang dapat beraneka ragam, seperti beban tugas yang terlalu berat, desakan waktu, penyelia yang kurang baik, iklim kerja yang menimbulkan rasa tidak aman, kurangnya informasi dari umpan balik tentang prestasi kerja seseorang, ketidakseimbangan antara wewenang dan tanggung jawab, ketidakjelasan peran karyawan dalam keseluruhan kegiatan organisasi, frustasi yang timbul oleh intervensi pihak lain yang terlalu sering sehingga seorang merasa terganggu konsentrasinya, konflik antar karyawan dengan pihak lain di dalam dan di luar kelompok kerjanya, perbedaan sistem nilai yang dianut oleh karyawan dan yang dianut oleh organisasi, dan perubahan yang terjadi yang pada umumnya memang menimbulkan rasa ketidakpastian.

2. Sumber stres yang berasal dari lingkungan luar pekerjaan

Situasi lingkungan di luar pekerjaan dapat menimbulkan stres. Berbagai masalah yang dihadapi seseorang, seperti masalah keuangan, perilaku negatif anak-anak, kehidupan keluarga yang tidak atau kurang harmonis, pindah tempat tinggal, ada anggota keluarga yang meninggal, kecelakaan, penyakit gawat adalah beberapa contoh sumber stres tersebut.

(16)

kualitas pengawasan kerja yang rendah, iklim kerja yang tidak sehat, otoritas kerja yang tidak memadai yang berhubungan dengan tanggung jawab, konflik kerja, perbedaan nilai antara karyawan dengan pemimpin yang frustasi dalam kerja.

Menurut Anatan dan Ellitan (2007:56), beberapa faktor penyebab stres meliputi:

1. Stressor dari luar organisasi (extra organizational stressor) yang meliputi perubahan sosial dan teknologi yang mengakibatkan perubahan life style masyarakat, perubahan ekonomi dan finansial mempengaruhi pola kerja seseorang untuk mencari the second job, serta faktor lain yaitu kondisi masyarakat relokasi dan kondisi keluarga.

2. Stressor dari dalam organisasi (organizational stressor) yang meliputi kondisi kebijakan dan strategi administrasi, struktur dan desain organisasi, proses organisasi dan kondisi lingkungan kerja.

3. Stressor dari kelompok dalam organisasi (group stressor) timbul akibat kurangnya kesatuan dalam pelaksanaan tugas kerja terutama terjadi pada level bawah, kurangnya dukungan dari atasan dalam melaksanakan tugas yang dibebankan, munculnya konflik antar personal, interpersonal dan antar kelompok.

4. Stressor dari dalam diri individu (individual stressor) yang mincul akibat role

ambiguity and conflict, beban kerja yang terlalu berat dan kurangnya

pengawasan dari pihak perusahaan.

(17)

1. Faktor Lingkungan

Seperti ketidakpastian lingkungan akan mempengaruhi desain dari struktur organisasional, hal ini juga mempengaruhi level stres diantara karyawan di dalam organisasi tersebut. Tentu saja, ketidakpastian merupakan alasan terbesar orang-orang yang memiliki masalah dalam mengatasi perubahan organisasional. Terdapat tiga tipe ketidakpastian lingkungan yang utama: ekonomi, politik dan teknologi.

2. Faktor Organisasional

Tidak terdapat kekurangan faktor di dalam organisasi yang dapat menyebabkan stres. Tekanan untuk menghindari kesalahan atau menyelesaikan tugas dalam waktu yang terbatas, beban kerja yang berlebihan, bos yang sangat menuntut dan tidak sensitif, serta para rekan kerja yang tidak menyenangkan merupakan beberapa contoh. Kita telah mengategorikan faktor-faktor tersebut disekitar tuntutan tugas, peranan dan interpersonal.

3. Faktor Pribadi

(18)

2.3.4 Pendekatan-Pendekatan Stres Kerja

Menurut Mangkunegara (2007:157), pendekatan stres kerja ada empat, yaitu:

1. Pendekatan dukungan Sosial (social support)

Mendekatan ini dilakukan melalui aktivitas yang bertujuan memberikan kepuasan sosial kepada karyawan. Misalnya, bermain game, lelucon dan bodor kerja.

2. Pendekatan melalui Meditasi (meditation)

Pendekatan ini perlu dilakukan karyawan dengan cara berkonsentrasi ke alam pikiran, mengendorkan kerja otot dan menenangkan emosi. Meditasi ini dapat dilakuan selama dua periode waktu yang masing-masing 15-20 menit. Meditasi bisa dilakukan di ruangan khusus. Karyawan yang beragama Islam bisa melakukannya setelah shalat Dzuhur melalui doa dan zikir kepada Allah SWT.

3. Pendekatan melaui Biofeedback

Pendekatan ini dilakukan melalui bimbingan medis. Melalui bimbingan dokter, psikiater dan psikolog, sehingga diharapkan dapat menghilangkan stres yang dialaminya.

4. Pendekatan Kesehatan Pribadi (personal wellness programs)

(19)

Sedangkan menurut Rivai (2005:105), terdapat dua pendekatan stres kerja yaitu pendekatan individu dan pendekatan perusahaan:

1. Pendekatan individu meliputi: a. Meningkatkan keimanan

b. Melakukan meditasi dan pernafasan c. Melakukan kegiatan olahraga d. Melakukan relaksasi

e. Dukungan sosial dari teman-teman dan keluarga f. Menghindari kebiasaan rutin yang membosankan 2. Pendekatan perusahaan meliputi:

a. Melakukan perbaikan iklim organisasi

b. Melakukan perbaikan terhadap lingkungan fisik c. Menyediakan sarana olahraga

d. Melakukan analisis dan kejelasan tugas

e. Meningkatkan partisipasi dalam proses pengambilan keputusan f. Melakukan restrukturisasi tugas

g. Menerapkan konsep manajemen berdasarkan sasaran

2.3.5 Cara Mengatasi Stres Kerja

(20)

1. Pola Sehat adalah pola menghadapi stres yang terbaik yaitu dengan kemampuan mengelola perilaku dan tindakan sehingga adanya stres tidak menimbulkan gangguan, akan tetapi menjadi lebih sehat dan berkembang. 2. Pola Harmonis, adalah pola menghadapi stres dengan kemampuan mengelola

waktu dan kegiatan secara harmonis dan tidak menimbulkan berbagai hambatan. Dalam pola ini, individu mampu mengendalikan berbagai kesibukan dan tantangan dengan cara mengatur waktu secara teratur.

3. Pola Patogis ialah pola menghadapi stres dengan berdampak berbagai gangguan fisik maupun sosial-psikologis. Dalam pola ini, individu akan menghadapi berbagai tantangan dengan cara-cara yang tidak memiliki kemampuan dan keteraturan mengelola tugas dan waktu.

2.4 Teori tentang Komitmen Organisasi

2.4.1 Pengertian Komitmen Organisasi

Komitmen pegawai pada organisasi merupakan dimensi perilaku yang dapat digunakan untuk mengukur dan mengevaluasi kekuatan karyawan dalam bertahan dan melaksanakan tugas dan kewajibannya pada organisasi. Komitmen dipandang sebagai suatu orientasi nilai terhadap organisasi yang menunjukkan individu sangat memikirkan dan mengutamakan pekerjaan dan organisasinya. Individu akan berusaha memberikan segala usaha yang dimilikinya dalam rangka membantu organisasi mencapai tujuannya.

(21)

harapannya untuk tetap menjadi anggota. Sedangkan menurut Kasawan (2012:293), komitmen organisasi merupakan ukuran kesediaan karyawan bertahan dengan sebuah perusahaan di waktu yang akan datang.

2.4.2 Bentuk-Bentuk Komitmen Organisasi

Menurut Mayer dan Allen dalam Kasawan (2012:293), komitmen organisasi terdiri atas tiga dimensi yaitu:

1. Komitmen Afektif

Menunjukkan kuatnya keinginan emosional karyawan untuk beradaptasi dengan nilai-nilai yang ada agar tujuan dan keinginannya untuk tetap di organisasi dapat terwujud. Komitmen afektif dapat timbul pada diri seseorang karyawan dikarenakan adanya: karakteristik individu, karakteristik struktur organisasi, signifikansi tugas, berbagai keahlian, umpan balik dari pimpinan dan keterlibatan dalam manajemen. Umur dan lama masa kerja di organisasi sangat berhubungan positif dengan komitmen afektif. Karyawan yang memiliki komitmen afektif akan cenderung untuk tetap dalam suatu organisasi karena mereka mempercayai sepenuhnya misi yang dijalankan oleh organisasi.

2. Komitmen Kelanjutan

(22)

berbagai tunjangan yang diperoleh. Komitmen ini akan menurun jika terjadi pengurangan terhadap berbagai fasilitas dan kesejahteraan yang diperoleh karyawan.

3. Komitmen Normatif

Menunjukkan tanggung jawab moral karyawan untuk tetap tinggal dalam organisasi. Penyebab timbulnya komitmen ini adalah tuntutan sosial yang merupakan hasil pengalaman seseorang dalam berinteraksi dengan sesama atau munculnya kepatuhan yang permanen terhadap seorang panutan atau pemilik organisasi dikarenakan balas jasa, respek sosial, budaya atau agama. Individu dengan komitmen normatif yang tinggi akan tetap bertahan dalam organisasi karena merasa adanya suatu kewajiban atau tugas.

Setiap komponen memiliki dasar yang berbeda. Karyawan dengan komponen afektif tinggi, masih bergabung dengan organisasi karena keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi. Sementara itu karyawan dengan komponen berkelanjutan tinggi, tetap bergabung dengan organisasi tersebut karena mereka membutuhkan organisasi. Karyawan yang memiliki komponen normatif yang tinggi, tetap menjadi anggota organisasi karena mereka harus melakukannya.

(23)

organisasi. Sebaliknya, mereka yang terpaksa menjadi anggota akan menghindari kerugian finansial dan kerugian lain, sehingga mungkin hanya melakukan usaha yang tidak maksimal. Sementara itu, komponen normatif yang berkembang sebagai hasil dari pengalaman sosialisasi, tergantung dari sejauh apa perasaan kewajiban yang dimiliki karyawan. Komponen normatif menimbulkan perasaan kewajiban kepada karyawan untuk memberikan balasan atas apa yang telah diterimanya dari organisasi.

2.4.3 Ciri-Ciri Komitmen Organisasi

Sedangkan menurut Fink dalam Kaswan (2012:293), mengelompokkan ciri-ciri komitmen menjadi sepuluh yaitu:

1. Selalu berupaya untuk mensukseskan organisasi. 2. Selalu mencari informasi tentang organisasi.

3. Selalu mencari keseimbangan antara sasaran organisasi dengan sasaran pribadi.

4. Selalu berupaya untuk memaksimumkan kontribusi kerjanya sebagai bagian dari secara keseluruhan.

5. Menaruh perhatian pada hubungan kerja antar unit organisasi. 6. Berfikir positif terhadap kritik dari teman kerja.

(24)

2.5 Teori tentang Kepuasan Kerja

2.5.1 Pengertian Kepuasan Kerja

Menurut Robbins dan Judge (2015:46), kepuasan kerja adalah suatu perasaan positif tentang pekerjaan, yang dihasilkan dari suatu evaluasi dari karakteristik-karakteristiknya. Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi memiliki perasaan yang positif mengenai pekerjaannya, sedangkan seseorang dengan level yang rendah memiliki perasaan negatif.

Luthans (2006:243), kepuasan kerja adalah hasil dari persepsi karyawan mengenai seberapa baik pekerjaan mereka memberikan hal yang dinilai penting. Bagi mereka, kepuasan kerja dapat menimbulkan peningkatan kebahagiaan hidup, sedangkan bagi perusahaan kepuasan kerja dapat meningkatkan produktivitas sehingga akan tercapai apa yang menjadi sasaran suatu perusahaan.

Sedangkan menurut Greenberg dan Baron dalam Wibowo (2007:501), kepuasan kerja adalah sebagai sikap positif atau negatif yang dilakukan individual terhadap pekerjaan mereka. Setiap individu mempunyai tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan sistem nilai yang berlaku dalam dirinya. Makin tinggi penilaian terhadap kegiatan dirasakan sesuai dengan keinginan individu, maka makin tinggi kepuasannya terhadap kegiatan tersebut. Dengan kata lain, kepuasan merupakan evaluasi yang menggambarkan seorang atas perasaan sikapnya senang atau tidak senang, puas atau tidak puas dalam bekerja.

(25)

kondisi kerja yang kurang dari ideal dan serupa ini berarti penilaian (assessment) seseorang karyawan terhadap betapa puas dan tidak puas akan pekerjaannya merupakan penjumlahan yang rumit dari sebuah unsur pekerjaan, Robbin dalam Kesawan (2012:288).

Kepuasa kerja akan didapat jika ada kesesuaian antara harapan pekerja dan kenyataan yang didapatkannya ditempat kerja. Persepsi pekerjaan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaannya dan kepuasan kerja melibatkan rasa aman, rasa adil, rasa menikmati, rasa bergairah, status dan kebanggaan. Dalam persepsi ini juga dilibatkan situasi kerja pekerjaan yang bersangkutan yang meliputi intraksi kerja, kondisi kerja, pengakuan, hubungan dengan atasan dan kesempatan promosi. Selain itu didalam persepsi ini juga tercakup kesesuaian dengan antara kemampuan dan keinginan pekerja dengan kondisi organisasi tempat mereka bekerja yang meliputi jenis pekerjaan, minat, bakat, penghasilan dan isentif.

(26)

sepenuhnya merupakan refleksi sepenuhnya dari realita dan orang yang berbeda mungkin memandang situasi yang sama dengan cara yang berbeda. Menurut Fathoni (2006:128), bahwa kepuasan kerja adalah sikap emosional yang menyenangkan dan mencintai pekerjaan.

2.5.2 Bentuk-Bentuk Kepuasan Kerja

Menurut Kaswan (2012:284), kepuasan kerja mempunyai enam dimensi yaitu:

1. Pekerjaan itu sendiri

Dalam hal ini pekerjaan memberikan tugas yang menarik, kesempatan untuk belajar dan kesempatan untuk menerima tanggung jawab. Karyawan cenderung menyukai pekerjaan-pekerjaan yang memberi mereka kesempatan untuk menggunakan keterampilan, kemampuan mereka dan menawarkan tugas, kebebasan serta umpan balik mengenai betapa baik mereka mengerjakan.

2. Gaji

(27)

kurang menuntut atau mempunyai keleluasaan yang lebih besar bila mereka melakukan pekerjaan dan jam-jam kerja, tetapi kunci hubungan antara upah dengan kepuasan bukanlah jumlah mutlak yang dibayarkan, yang sangat penting adalah persepsi keadilan.

3. Kesempatan promosi

Setiap karyawan menginginkan jabatan yang lebih tinggi. Karyawan berusaha mendapatkan kebijakan dan praktik promosi yang lebih banyak dan status sosial yang ditingkatkan. Oleh karena itu individu yang mempersepsikan bahwa keputusan promosi dibuat secara adil kemungkinan besar akan mengalami kepuasan dari pekerjaan mereka.

4. Pengawasan

Perilaku atasan juga merupakan determinan utama dari kepuasan. Umumnya studi mendapatkan bahwa kepuasan karyawan ditingkatkan bila penyedia langsung bersifat ramah dan dapat memahami, menawarkan pujian yang baik, mendengar pendapat karyawan dan menunjukkan suatu minat pribadi kepada mereka.

5. Rekan kerja

Orang-orang mendapatkan lebih dari pada sekedar uang atau persepsi yang berwujud dari dalam kerja. Bagi kebanyakan karyawan, kerja juga mengisi kebutuhan akan interaksi sosial. Oleh karena itu tidaklah mengejutkan bila mempunyai rekan kerja yang ramah dan menukung menghantar ke arah kepuasan kerja yang meningkat.

(28)

Karyawan sangat peduli akan lingkungan kerja baik untuk kenyamanan pribadi maupun untuk memudahkan mengerjakan tugas. Studi-studi memperagakan bahwa karyawan lebih menyukai keadaan sekitar fisik yang tidak berbahaya atau merepotkan. Temperatur (suhu), cahaya, kebisingan dan faktor lingkungan lain seharusnya tidak ektrim yaitu tidak terlalu tinggi atau terlalu rendah.

2.5.3 Variabel-Variabel Kepuasan Kerja

Menurut Keith Davis dalam Mangkunegara (2007:117), kepuasan kerja berhubungan dengan variabel-variabel seperti:

1. Turnover (such as turnover)

Kepuasan kerja lebih tinggi dihubungkan dengan turnover pegawai yang rendah. Sedangkan pegawai-pegawai yang kurang puas biasanya turnovernya lebih tinggi.

2. Tingkat ketidakhadiran kerja (absences)

Pegawai-pegawai yang kurang puas cenderung tingkat ketidakhadiran (absen) tinggi. Mereka sering tidak hadir kerja dengan alasan yang tidak logis dan subjektif.

3. Umur (age)

(29)

tentang dunia kerjanya, sehingga apabila antara harapannya dengan realita kerja terdapat kesenjangan atau ketidakseimbangan dapat menyebabkan mereka menjadi tidak puas.

4. Tingkat pekerjaan (size of the organization in which an employee works) Pegawai-pegawai yang menduduki tingkat pekerjaan yang lebih tinggi cenderung lebih puas dari pada pegawai yang menduduki tingkat pekerjaan yang lebih rendah. Pegawai-pegawai yang tingkat pekerjaannya lebih tinggi menunjukkan kemampuan kerja yang baik dan aktif dalam mengemukakan ide-ide serta kreatif dalam bekerja.

2.5.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja

Menurut Kreitner dan Kinicki dalam Wibowo (2012:504) terdapat lima faktor yang dapat memengaruhi timbulnya kepuasan kerja, yaitu sebagai berikut:

1. Need Fulfillment (pemenuhan kebutuhan)

Model ini dimaksudkan bahwa kepuasan ditentukan oleh tingkat karakteristik pekerjaan memberikan kesempatan pada individu untuk memenuhi kebutuhannya.

2. Discrepancies (perbedaan)

(30)

diperkirakan individu akan puas apabila mereka menerima manfaat di atas harapan.

3. Value Attainment (pencapaian nilai)

Gagasan value attainment adalah bahwa kepuasan merupakan hasil dari persepsi pekerjaan memberikan pemenuhan nilai kerja individual yang penting.

4. Equity (keadilan)

Dalam model ini dimaksudkan bahwa kepuasan kerja merupakan fungsi dari seberapa adil individu diperlakukan ditempat kerja. Kepuasan merupakan hasil dari persepsi orang bahwa perbandingan antara hasil kerja dan inputnya relatif lebih menguntungkan dibandingkan dengan antara keluaran dan kemasukan pekerjaan lainnya.

5. Dispositional/Genetic Components (komponen genetik)

Beberapa rekan kerja atau teman tampak puas terhadap variasi lingkungan kerja, sedangkan lainnya kelihatan tidak puas. Model ini didasarkan pada keyakinan bahwa kepuasan kerja sebagian merupakan fungsi sifat pribadi dan faktor genetik. Model menyiratkan perbedaan individu hanya mempunyai arti penting untuk menjelaskan kepuasan kerja seperti halnya karakteristik lingkungan pekerjaan.

(31)

1. Faktor pegawai, yaitu kecerdasan (IQ), kecakapan khusus, umur, jenis kelamin, kondisi fisik, pendidikan, pengalaman kerja, masa kerja, kepribadian, emosi, cara berfikir, persepsi dan sikap kerja.

2. Faktor pekerjaan, yaitu jenis pekerjaan, struktur organisasi, pangkat (golongan), kedudukan, mutu pengawasan, jaminan finansial, kesempatan promosi jabatan, interaksi sosial dan hubungan kerja.

2.6 Kerangka Konseptual

2.6.1 Pengaruh Work-To-Family Conflict terhadap Stres Kerja

Menurut Murtiningrum (2005) terdapat hubungan yang positif antara

work-to-family conflict terhadap stres kerja. Semakin besarnya work-to-family

conflict yang dialami seseorang maka akan semakin meningkatnya stres bagi

seseorang tersebut. Tekanan yang dialami seseorang dalam menghadapi

work-to-family conflict dapat menyebabkan timbulnya stres.

Work-to-family conflict merupakan bentuk konflik peran dimana tekanan

(32)

2.6.2 Pengaruh Work-To-Family Conflict terhadap Komitmen Organisasi

Menurut Anatan dan Ellitan (2007:57), konflik antar kelompok sebagai salah satu tipe/jenis konflik organisasional, merupakan masalah yang selalu muncul dalam organisasi dan tidak dapat dihindari atau dihilangkan dari kehidupan organisasi. Konflik ini dapat memberikan dampak positif atau negatif terhadap kinerja organisasi perusahaan tergantung pada sifat dan tingkat level dan bagaimana konflik tersebut dikelola secara efektif untuk menjadi konflik yang fungsional yaitu pada tingkat konflik yang moderat atau optimal sehingga tercapai peningkatan kinerja organisasi.

Menurut Allen dan Meyer dalam Buhali dan Margaretha (2013:22), menunjukkan bahwa work-to-family confict memiliki hubungan negatif dengan komitmen organisasional. Hubungan negatif antara work-to-family conflict dan komitmen organisasi nampak pada individual yang mengalami kesulitan dalam menyelaraskan perannya dikeluarga maupun dipekerjaan akan merasa kurang berkomitmen kepada organisasinya.

2.6.3 Pengaruh Stres Kerja terhadap Komitmen Organisasi

(33)

semakin tinggi komitmen organisasional, karyawan akan merasa nyaman dalam bekerja sehingga dapat menekan tingkat stres kerja.

Menurut Wibowo (2012:508), stres dapat berpengaruh sangat negatif terhadap perilaku organisasi dan kesehatan individu. Stres secara positif berhubungan dengan kemangkiran, perputaran, sakit jantung koroner dan pemeriksaan virus. Penelitian menunjukkan adaya hubungan negatif kuat antara perasaan stres dengan kepuasan kerja sehingga menurunnya komitmen organisasi dan kinerja.

2.6.4 Pengaruh Kepuasan Kerja terhadap Komitmen Organisasi

Menurut Wibowo (2012:507), komitmen organisasi mencerminkan tingkat dimana individu mengidentifikasi dengan organisasi dan mempunyai komitmen terhadap tujuannya. Penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan dan kuat antara komitmen organisasi dan kepuasan kerja.

Berdasarkan teori-teori dan penjelasan yang telah dituliskan sebelumnya, penelitian ini membahas Pengaruh Work-To-Family Conflict dan Stres Kerja terhadap Komitmen Organisasi dan dampaknya pada Kepuasan Kerja karyawan PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) Medan. Melihat teori dan penjelasan tersebut, maka dibentuklah kerangka konseptual yang menunjukkan gambaran hubungan antar variabel X1 terhadap X2, variabel X1 dan X2 terhadap Z dan variabel X1, X2

(34)

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual

2.7 Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah yang ditetapkan dirumuskan hipotesis sebagai berikut:

H1 : Work-To-Family Conflict berpengaruh positif dan signifikan terhadap Stres

Kerja

H2 : Work-To-Family Conflict berpengaruh negatif dan signifikan terhadap

Kepuasan Kerja.

H3 : Stres Kerja berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Kepuasan Kerja.

H4 : Work-To-Family Conflict berpengaruh negatif dan signifikan terhadap

Komitmen Organisasi.

H5 : Stres Kerja berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Komitmen

Organisasi.

H6 : Kepuasan Kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap Komitmen

Organisasi. Work-To-Family Conflict

(X1)

Komitmen Organisasi (Y)

Stres Kerja (X2)

(35)

H7 : Work-To-Family Conflict berpengaruh negatif dan signifikan terhadap

Komitmen Organisasi melalui Kepuasan Kerja.

H8 : Stres Kerja berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Komitmen

Gambar

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
Tabel 2.1 Lanjutan
Tabel 2.1 Lanjutan
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual

Referensi

Dokumen terkait

Berbagai hal yang dapat menjadi sumber stres yang berasal dari pekerjaan pun dapat beraneka ragam seperti beban tugas yang terlalu berat, desakan waktu, penyeliaan yang kurang

Berbagai hal yang dapat menjadi sumber stres yang berasal dari pekerjaan dapat beraneka ragam seperti beban tugas yang terlalu berat, desakan waktu, penyeliaan yang kurang

menunjukkan secara parsial work-to-family conflict berpengaruh positif dan signifikan terhadap stres kerja, work-to-family conflict berpengaruh negatif dan

Hasil penelitian menunjukkan secara parsial work-to-family conflict berpengaruh positif dan signifikan terhadap stres kerja, work-to-family conflict berpengaruh

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran guna memperluas wawasan dan pengetahuan berpikir dalam bidang sumber daya manusia, khususnya yang

Berdasarkan jawaban responden yang rata-rata menjawab sangat setuju bahwa meningkatnya detak jantung dapat mempengaruhi menurunnya kepuasan kerja karyawan,

Pengaruh Stres Kerja dan Iklim Organisasi terhadap Turnover Intention dengan Kepuasan Kerja sebagai variabel Intervening (Studi di Bank Internasional Indonesia).. Program Studi

Dengan ini memohon kesediaan Bapak/Ibu untuk berpartisipasi mengisi kuesioner ini untuk keperluan penyelesaian penelitian tesis saya pada sekolah Pascasarjana