• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Budaya Sasi: Perlawanan Negara dan Masyarakat terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam T2 092009110 BAB V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Budaya Sasi: Perlawanan Negara dan Masyarakat terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam T2 092009110 BAB V"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

75

Bab Lima

Budaya Sasi

di Kampung Warsambin

Pengantar

Usaha untuk mempertahankan hasil sumber daya alam baik dari sisi ekosistem maupun keberlangsungan produksinya menjadi perhatian yang serius bagi berbagai daerah di Indonesia. Terlebih di tengah ancaman eksploitasi dan kerusakan lingkungan yang akan berpengaruh pada jumlah sumber daya alam itu sendiri.

Masyarakat tradisional memiliki sistem/budaya yang dibangun untuk melindungi sumber daya alam yang dimiliki. Di kepulauan Maluku dan Papua budaya seperti ini disebut dengan istilah budaya Sasi. Walaupun khusus untuk di Papua secara umum istilah Sasi jika dirunut kebelakang secara historis bukan memakai istilah tersebut. Sama halnya dengan budaya sasi yang ada di desa Warsambin.

(2)

76

Pada bab ini penulis akan memaparkan hasil temuan di lapangan tentang pelaksanaan budaya sasi. Dimana hasil temuan didasarkan pada amatan selama di lapangan dan dilengkapi dengan wawancara-wawancara bersama narasumber terkait.

Dari Kabus Menjadi Sasi

“Dulu masyarakat Teluk Mayalibit tidak mengenal istilah

Sasi. Yang masyarakat tahu itu kabus dalam bahasa Maya. Keduanya memiliki prinsip yang sama bertujuan untuk melindungi sumber daya alam milik perseorangan atau klan” ungkap Bambang.70

Demikian petikan wawancara antara penulis dengan Bambang pria asli suku Maya (Teluk Mayalibit), seorang aktifis lingkungan yang kini menjadi anggota DPD Provinsi Papua Barat. Bambang, mengungkapkan jauh sebelum masyarakat menggunakan istilah sasi, masyarakat sudah punya sistem sendiri yang mirip dengan sasi. Sistem itu dikenal dalam bahasa suku Maya yaitu Kabus.

Kabus dalam pemahaman orang Maya adalah larangan

pengambilan sumber daya yang ada di darat maupun di laut untuk memberikan kesempatan tumbuhan/hewan itu berkembang, dengan cara menempelkan cerita mistis di sebuah area pelarangan. Pelarangan itu bisa berlangsung berdasarkan jenis tumbuhan/hewan atau berdasarkan besaran area. Baik itu hasil kebun seperti pinang, sayur, kelapa, keladi, ubi, bahkan pohon yang ada dalam kawasan hutan milik pribadi maupun klan. Hal ini juga diberlakukan bagi kawasan laut yang diakui sebagai bagian dari kepemilikan pribadi maupun klan. Larangan dibalut cerita mistis yang melekat dalam tradisi kabus diharapkan mendatangkan kepatuhan bagi masyarakat agar tidak melanggar larangan yang dibuat. Tempat-tempat yang di kabus sering juga disebut daerah pamali/sakral sehingga benar-benar terlindungi dari sentuhan-sentuhan tangan dan aktifitas pencaharian mansia. Cerita mistis yang

70

(3)

77 dimaksud seperti halnya orang-orang tua dahulu bercerita pernah bertemu dengan makhluk halus di tempat tersebut sehingga siapa pun tidak boleh pergi ke wilayah itu, ternyata cukup ampuh untuk melindungi wilayah itu dari aktifitas masyarakat.

Lalu kapan terjadi pergantian istilah dari kabus menjadi sasi? Tidak ada yang tahu secara pasti kapan istilah kabus berubah menjadi sasi. Yang diketahui masyarakat, istilah sasi diperkenalkan pertama kali oleh gereja kepada masyarakat.

“Konsep sasi sebenarnya dibawa oleh gereja, gereja yang

bawa sasi itu. Orang Raja Ampat tidak kenal sasi, kenapa? Karena sebenarnya Raja Ampat itu tidak perlu dilindungi juga orang tidak akan saling korek-korek. Manusia masih sedikit, hasilnya melimpah, masing-masing suku akan tinggal di pulau setempat dan tidak akan korek tempat lain. Karena bagiannya sendiri itu tidak akan habis oleh dirinya sendiri. Gereja yang saya maksudkan disini adalah para missionaris atau penginjil yang datang dari kepulauan Maluku dan Sangihe Talaud.” ungkap Bagiyo.71

Kehadiran gereja di Raja Ampat merupakan faktor pendukung penghapusan budaya kabus yang kemudian belakangan diganti menjadi sasi. Kehadiran gereja yang dibawa oleh misionaris asal Maluku dan Sangihe Talaud. Tetapi ketika melihat peristiwa penghapusan kabus, mungkin oleh karena persepsi perseorangan hamba Tuhan bukan gereja sebagai lembaga. Ada hal yang mendasar kenapa para misionaris saat itu meminta masyarakat untuk menghilangkan budaya kabus. Alasan tersebut adalah ketika budaya kabus dilakukan, dan sebuah daerah dinyatakan pamali/sakral masyarakat justru menggunakan itu sebagai tempat sembah-sembah nenek moyang (mengingat saat itu sebelum kekristenan masuk, masyarakat menganut paham animisme). Kekhawatiran para hamba Tuhan tentang perilaku masyarakat yang melakukan praktek penyembahan terhadap berhala, membuat para hamba Tuhan melakukan tindakan mengutuk tempat-tempat kabus

tersebut. Dampak dari dihilangkannya pamali dari tempat-tempat

(4)

78

kabus adalah terbukanya area tersebut bagi orang luar. Terbukanya area kabus menjadikan area tersebut bisa diakses oleh siapa saja dan akhirnya terja eksploitasi terhadap sumber daya yang selama ini sudah dijaga lewat kabus.

“Gereja juga pernah melakukan satu kesalahan, terutama

pribadi-pribadi hamba Tuhan. Mereka menganggap, daerah pamali itu nanti bikin orang-orang asli pergi ke tempat pamali lalu sembah-sembah karena tempat itu sakral dan untuk memperoleh kekuatan gaib. Sehingga hamba-hamba Tuhan pergi ke tempat itu dan berdoa serta mengutuk tempat itu sehingga tempat itu menjadi terbuka. Saat itulah, orang mulai masuk ke tempat itu dan akhirnya tempat itu

hancur” cerita Bagiyo.72

Terbukanya sebuah area kabus tentu menjadi incaran banyak orang, karena tentu area tersebut akan sangat kaya akan sumber daya alamnya. Hal ini disebabkan selama area itu di kabus, tidak ada aktifitas pencaharian baik itu sumber daya alam darat maupun laut pada area itu, tentu akan tersimpan banyak sekali sumber dayanya. Saat inilah ancaman terhadap kerusakan lingkungan dan eksploitasi alam mulai terjadi.

Dalam perjalanan kehidupan gereja dan masyarakat, gereja pun mulai khawatir dengan kondisi yang dialami oleh masyarakat lokal pasca hilangnya budaya kabus. Kekhawatiran ini didasarkan karena lingkungan yang mereka miliki bahkan sumber daya alam yang mereka punyai perlahan-lahan mulai dicuri/dijarah oleh orang luar Raja Ampat. Hal ini diperparah dengan pertambahan jumlah penduduk yang tentu juga berdampak pada jumlah konsumsi di daerah tersebut. Terlebih penduduk yang datang adalah pedagang-pedagang yang menjadikan sumber daya alam sebagai komoditi perdagangan baik hasil sumber daya alam yang di darat dan di laut.

“Pada saat itulah gereja mulai berpikir, kalau tempat ini tidak ditutup maka hasilnya akan habis dan masyarakat

72

(5)

79

tidak dapat apa-apa. Maka konsep sasi dilihat dari adanya ancaman. Konsep sasi ini dibawa oleh misionaris dari kepulauan Maluku.” ungkap Bagiyo.73

Ditengah kondisi ancaman inilah kemudian gereja, mulai mencari cara untuk melindungi sumber daya alam yang dimiliki oleh masyarakat. Gereja saat itu berpikir paling tidak cara yang baru ini dapat meminimalisir pencurian/penjarahan terhadap hasil sumber daya alam yang dimiliki oleh masyarakat. Gereja saat itu ada dalam sebuah pilihan dilematis antara mengaktifkan kembali tradisi kabus yang penuh dengan nuansa mistis dan praktek berhala, itu berarti memberikan kesempatan kepada masyarakat lagi untuk melakukan praktek penyembahan kepada kekuatan gaib, ataukah mencari alternatif lain agar masyarakat bisa melindungi sumber daya yang mereka miliki.

Pilihan itu jatuh pada menggunakan alternatif lain dengan melakukan sasi. Mengapa sasi, seperti yang sudah saya sampaikan di bab III, bahwa budaya sasi itu adalah budaya yang digunakan oleh masyarakat di kepulauan Maluku, dan tentu budaya tersebut sangat dekat dengan para misionaris asal Maluku yang melakukan pelayanan di Raja Ampat. Lalu gereja saat itu mulai mendorong masyarakat untuk melakukan sasi untuk melindungi sumber daya alam baik darat maupun laut.

Peristiwa pergantian dari kabus (istilah lokal) menjadi sasi (oleh karena intervensi gereja), sama persis terjadi pada masyarakat kampung Rambatu, distrik Inamosol, Kabupaten Seram Bagian Barat (Ngamelubun, dkk. 2013). Di kampung Rambatu terdapat juga budaya

Matakao yang dalam perjalanannya juga berganti istilah menjadi Sasi. Pergantian ini terjadi setelah masuknya agama Kristen yang dibawa oleh Pendeta Suma. Matakao adalah tanda larangan atau petaka mengandung kekuatan gaib, biasa diletakkan di kebun atau barang milik tidak bergerak. Pergantian istilah dari Matakao menjadi Sasi juga

(6)

80

disebabkan oleh Matakao yang bersifat animisme dan tidak dapat diterima oleh gereja.

Selama melakukan penelitian di kampung Warsambin, penulis menemukan ada dua jenis sasi yang dilakukan oleh masyarakat. Dua jenis sasi itu dibagi berdasarkan tujuan dilaksanakan sasi. Jenis sasi yang ada di kampung Warsambin adalah Sasi Adat dan Sasi Gereja.

Sasi Adat dan Sasi Gereja

“Di kampung ini tong cuma tahu ada 2 (dua) sasi, yang sa tahu itu ada sasi adat dan sasi gereja. Walau sekarang memang sudah jarang sekali torang lakukan keduanya. Terakhir itu tahun 2010 pas torang sasi adat Mon.

Sedangkan sasi gereja itu su jarang sekali yang buat” Ungkap

Joko.74

Sasi adat dan sasi gereja adalah dua jenis sasi yang dilakukan oleh masyarakat kampung Warsambin. Kedua jenis sasi ini memang secara mendasar memiliki tujuan yang sama yaitu memberikan kesempatan bagi sumber daya alam untuk bertumbuh dan berkembang biak dalam jangka waktu tertentu. Yang menjadi pembedaan mendasar antara sasi adat dan sasi gereja adalah para pelaku sasi. Sedangkan ritual yang dilakukan kurang lebih sama.

Nanti dalam perkembangannya, sasi adat dan sasi gereja mengalami banyak pergeseran makna bahkan pembentukan makna baru oleh karena masuknya nilai kekristenan dalam kehidupan masyarakat.

Sasi Adat

Yang dimaksud dengan sasi adat adalah larangan pengambilan sumber daya alam dalam waktu tertentu, dan sasi ini dilakukan oleh seorang warga/klan tertentu untuk sumber daya alam yang masuk dalam kepemilikan pribadi. Misalnya pohon kelapa, pohon pinang, pohon pisang, dan semua sumber daya alam

(7)

81 yang masuk dalam wilayah kepemilikan pribadi/klan baik yang ada di darat dan di laut. Larangan ini dilakukan agar hasil dari sumber daya alam yang di sasi tersebut menghasilkan panen yang baik dan banyak, sekaligus juga melindungi hasil sumber daya itu dari pencurian/penjarahan yang dilakukan oleh orang lain.

Sasi adat dilakukan oleh masyarakat kampung yang masih memeluk agama suku, walaupun saat itu kekristenan sudah masuk ke kampung Warsambin. Sehingga setiap ritual yang nantinya dilakukan ditujukan hanya kepada arwah-arwah nenek moyang atau leluhur.

a) Mempersiapkan Sasi Adat

Pada pelaksanaan sasi adat lebih sederhana dibandingkan sasi gereja. Seperti yang penulis sampaikan sebelumnya, inisiatif sasi adat berasal dari perseorangan/klan. Biasanya seorang warga akan melakukan persiapan, dengan menyiapkan segala keperluan yang akan digunakan untuk melakukan sasi adat. Antara lain sesembahan atau yang sering masyarakat sebut dengan Kakes75 serta perlengkapan tanda

wilayah sasi. Untuk tanda wilayah sasi dalam masyarakat terdapat dua buah tanda yang digunakan, ada yang menggunakan anyaman daun kelapa dan kain merah. Anyaman daun kelapa dan kain merah ini nantinya akan diikatkan pada pohon (jika di darat) dan pada sebuah batang kayu (jika di laut, yang ditancapkan) di wilayah sasi. Sehingga siapapun yang memasuki sebuah wilayah dan melihat ada tanda berupa anyaman daun kelapa dan kain merah, berarti daerah tersebut sedang disasi.

75

(8)

82

b) Pelaksanaan Tutup Sasi Adat

Setelah semua persiapan selesai, maka sasi mulai dilakukan.Yang dilakukan pertama adalah mengikatkan anyaman daun kelapa pada semua batang pohon, atau mengikatkan kain merah pada batang kayu kemudian ditancapkan di wilayah laut yang ingin disasi. Setelah semua penanda sudah dipasangkan, dilanjutkan dengan menaruh

kakes pada sebuah tempat. Setelah itu pelaksana sasi membaca

doa menggunakan bahasa daerah (kalau di kampung Warsambin menggunakan bahasa suku Maya) atau yang sering disebut dengan bahasa tanah. Doa yang dibacakan tersebut ditujukan kepada para leluhur agar memberikan kesuburan bagi tanah sehingga tumbuhan yang berkembang dapat menghasilkan buah yang baik dan banyak. Selain itu isi doa juga meminta kepada leluhur untuk menjaga segala tanaman dan sumber daya laut yang disasi agar tidak dicuri atau dijarah oleh orang lain. Leluhur dalam pelaksanaan sasi adat menjadi pusat utama ketika sebagian masyarakat masih menganut agama suku. Leluhur adalah pusat segala sumber, yang menyeimbangkan kehidupan antara alam dan manusia. Setelah pembacaan doa selesai maka pelaksanaan sasi telah selesai dan tutup sasi telah berlaku. Lamanya sasi ini berlaku sesuai dengan kehendak sang pemilik wilayah sasi tersebut. Ada masyarakat yang melakukan sasi dalam jangka waktu 3 bulan, 6 bulan, bahkan ada juga yang selama 1 tahun.

c) Larangan Selama Sasi Adat

Setelah tutup sasi berlaku, maka ada aturan yang harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar. Aturan ini berlaku baik bagi orang lain dan juga orang yang melakukan sasi itu sendiri. Aturan itu antara lain :

(9)

83 2) Jika ada hasil sumber daya yang sudah matang dan jatuh ke tanah dari pohonnya, hasil tersebut pun tidak boleh diambil.

d) Pelaksanaan Buka Sasi Adat

Ketika waktu tutup sasi adat telah selesai, waktunya untuk melakukan panen hasil sumber daya yang biasanya oleh masyarakat disebut dengan buka sasi. Pada pelaksanaan buka sasi berlangsung dengan cara yang sederhana. Pelaku sasi akan memulainya dengan membaca doa yang ditujukan kepada leluhur. Dalam doa tersebut tersampaikan ucapan terima kasih pada leluhur yang sudah menjaga semua wilayah dan sumber daya yang di sasi. Selain itu, dalam doa itu juga disampaikan keinginan pelaku sasi agar para leluhur senantiasa memberikan kesuburan pada tanah sehingga setelah buka sasi selesai, semua sumber daya yang ada tetap bisa menghasilkan buah.

Setelah ritual doa selesai dilakukan selanjutnya adalah memanen semua hasil sumber daya yang disasi. Saat panen ini biasanya dilakukan oleh keluarga inti pemilik kebun. Semua hasil sumber daya yang sudah dipanen selanjutnya digunakan untuk kebutuhan keluarga tersebut. Sebagian akan digunakan sendiri, dan sebagian lainnya akan dijual ke pasar. Dalam sasi adat pemanfaatan hasil sumber daya dari sasi diperuntukkan hanya untuk keluarga sendiri tidak termasuk keluarga besar.

Sasi Gereja

Yang dimaksud dengan sasi gereja adalah larangan pengambilan sumber daya alam dalam waktu tertentu, untuk memberikan kesempatan bagi margasatwa bertumbuh, berkembang biak sebagai bentuk tanggungjawab umat dalam menjaga dan melestarikan alam yang sudah diberikan Tuhan kepada manusia. Sasi gereja ini dilakukan baik oleh perorangan/klan dan seluruh warga gereja dalam kesatuan umat.

(10)

84

gereja mendorong perilaku masyarakat untuk menghargai dan menjaga alam ciptaan Allah yang harus dilestarikan demi kelangsungan kehidupan bagi anak dan cucu kita. Lewat sasi gereja dapat dipahami juga bahwa Allah memakai gereja untuk memuliakan nama Allah lewat kebudayaan. Leiwakabessy, (1992) juga pernah melakukan penelitian tentang peranan gereja dalam melaksanakan budaya sasi di Seram dan Lease. Leiwakabessy menemukan bahwa gereja justru memiliki peran penting lewat budaya sasi untuk mendidik masyarakat agar lebih peduli terhadap alam dengan cara menjaga dan melindunginya.

a) Mempersiapkan Sasi Gereja

Untuk melakukan sasi gereja baik yang akan dilakukan oleh perseorangan/klan atau seluruh warga gereja sebagai kesatuan umat, ada rangkaian yang harus dipersiapkan. Tidak beda jauh dengan cara-cara mempersiapkan sasi adat, dalam sasi gereja masyarakat pun menggunakan kakes, anyaman daun kelapa atau kain merah sebagai atribut/tanda bahwa sumber daya sedang disasi.

(11)

85 Selain kakes, anyaman daun kelapa atau kain merah, masyarakat yang akan melakukan sasi gereja harus mempersiapkan sejumlah uang untuk diserahkan ke gereja dalam sebuah ibadah sebagai persembahan yang dalam masyarakat dikenal dengan nazar. Nazar ini berlaku untuk sasi yang dilakukan oleh perorangan/klan ataupun komunal. Sedangkan untuk jumlah uang yang akan dipersembahkan tidak ada patokan atau kewajiban yang harus dipenuhi, melainkan sukarela.

b) Pelaksanaan Tutup Sasi Gereja

Untuk pelaksanaan tutup sasi gereja, penulis akan membaginya dalam 2 (dua) pembahasan, karena sasi gereja bisa dilakukan secara perorangan dan bisa secara komunal artinya seluruh warga gereja.

1) Tutup Sasi Gereja oleh Perorangan

Tujuan dilakukannya sasi gereja oleh perorangan, sama dengan tujuan sasi pada umumnya, yaitu memberikan kesempatan bagi sumber daya untuk bertumbuh dan berkembang biak. Sasi gereja perorangan diberlakukan bagi sumber daya yang menjadi kepemilikan pribadi seperti kebun atau wilayah laut. Harapannya sumber daya yang di sasi dapat menghasilkan panen yang baik dan berkualitas.

(12)

86

“Nanti sebelum khotbah kan ada doa syafaat to?

Nah sebelum itu nanti warga yang mau melakukan sasi, akan dipanggil sama pendeta/presbiter untuk maju ke depan. Abis itu, pendeta/presbiter akan menjelaskan bahwa warga yang maju ke depan akan melakukan sasi untuk dia pu kebun atau sumber daya laut. Setelah itu juga nanti dong akan kasi tahu ke warga jemaat daerah mana saja yang disasi. Biar semua masyarakat itu tahu kalo si A atau si B sedang melakukan sasi dan berada pada wilayah yang ini dan itu. Dan berapa lama sasi itu akan berlangsung.” ujar Julianto.76

Setelah pemberitahuan tentang sasi yang dilakukan oleh seorang warga gereja disampaikan oleh pendeta/ majelis, maka warga tersebut dipersilahkan untuk membawa nazar yang sudah dipersiapkan dari rumah agar diletakkan pada altar. Lalu dilanjutkan dengan doa syafaat yang didalamnya juga mendoakan rencana sasi yang dilakukan oleh seorang warga. Dalam doa tersebut pendeta/majelis meminta kepada Allah Sang Pencipta Semesta untuk turut campur tangan dalam proses sasi tersebut. Harapan juga terucap didalam doa, agar Allah memberikan kesuburan bagi tanah, cuaca yang baik, menjauhkan segala macam hama dan penyakit yang bisa menyerang sumber daya, agar nantinya pada saat buka sasi, warga bisa mendapatkan hasil yang baik dan berkualitas. Ucapan doa ini dilandaskan pemahaman bahwa Allah-lah yang empunya segalanya termasuk alam semesta, sehingga campur tangan Allah sangat diharapkan selama sasi gereja ini berlangsung.

Jika ritual di gereja telah selesai, selanjutnya warga yang melakukan sasi gereja akan menuju ke kebun/wilayah laut miliknya untuk menaruh tanda-tanda yang

(13)

87 menunjukkan bahwa sumber daya miliknya sedang disasi. Anyaman daun kelapa atau kain merah yang sudah dipersiapkan pun mulai diikatkan satu per satu pada tanaman-tanaman atau sebatang kayu yang nanti ditancapkan di wilayah laut. Kemudian setelah semua tanda-tanda tersebut terpasangkan, langkah selanjutnya yang dilakukan warga adalah menaruh kakes pada sebuah tempat sebagai wujud penghormatan kepada leluhur yang bertugas untuk menjaga seisi alam semesta. Peletakkan itu dilanjutkan dengan pembacaan doa dengan menggunakan bahasa daerah atau bahasa tanah leluhur, yang meminta agar para leluhur berkenan untuk menjaga dan melindungi seluruh sumber daya selama sasi berlangsung. Harapannya selama sasi ini dilakukan leluhur mampu melindungi sumber daya dari perilaku oknum-oknum warga yang tidak bertanggungjawab untuk mencuri atau menjarah. Lamanya sasi gereja perorangan berlangsung sesuai dengan keinginan warga yang melakukan sasi. Ada yang dilakukan selama 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, bahkan selama 1 tahun.

2) Pelaksanaan Sasi Gereja Secara Komunal

Sasi gereja secara komunal memiliki tujuan tidak berbeda dengan tujuan sasi pada umumnya. Selain itu sasi gereja secara komunal memberikan spirit hidup dalam kebersamaan untuk menjaga, melindungi dan melestarikan sumber daya alam yang sudah Allah berikan bagi masyarakat kampung Warsambin.

(14)

88

rangkaian pelayanan gereja secara keuangan. Untuk bahasan ini akan disampaikan pada sub bahasan selanjutnya. Sasi gereja secara komunal selama ini lebih cenderung dilakukan bagi sumber daya alam laut. Sebab untuk sumber daya alam darat semua berstatus kepemilikan pribadi, walau dalam beberapa kasus biasanya ada kesepakatan antara warga dan gereja yang merelakan kebun pribadinya dijadikan sasi untuk keperluan gereja.

(15)

89 Setelah semua persiapan sudah dilakukan maka masuk dalam pelaksanaan sasi gereja secara komunal. Pelaksanaan sasi ini dimulai dengan melakukan ibadah di gereja yang dipimpin oleh pendeta atau guru jemaat. Ibadah yang diselenggarakan tersebut adalah bagian dari ungkapan syukur masyarakat kampung oleh setiap anugerah yang sudah taruhkan dalam kehidupan mereka, baik itu anugerah nafas hidup dan juga berkat lewat alam serta segala isinya. Dalam ibadah ini, warga gereja diajak untuk merenungkan kembali semua kebaikan Tuhan. Selain itu juga dalam ibadah ini meminta campur tangan Tuhan dalam rencana pelaksanaan sasi, sehingga nantinya ketika sasi dibuka hasil panen dapat melimpah dan kebutuhan mereka dapat terpenuhi. Pada ibadah ini semua warga gereja diundang untuk hadir untuk mengikuti ibadah tersebut. Ibadah ini tidak dilakukan pada hari minggu tetapi sesuai dengan kesepakatan pada rapat pembahasan. Selain masyarakat kampung Warsambin, masyarakat kampung lainnya yang berdekatan dengan Warsambin juga diundang untuk ikut bersama.

(16)

90

Pemasangan tanda wilayah sasi sudah selesai terpasang, acara selanjutnya adalah kata sambutan yang diwakili oleh 3 pihak yaitu kepala kampung (mewakili pemerintah), tua-tua adat, dan pendeta atau guru jemaat. Inti dari setiap sambutan mengajak masyarakat untuk sama-sama mentaati aturan sasi yang sudah ditetapkan, untuk saling mengingatkan satu dengan yang lainnya. Dan juga sama-sama mengawasi wilayah sasi agar tidak terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh orang dari luar daerah sebab sanksi yang akan diterima oleh para pelanggar akan sangat membahayakan jiwa dan keselamatan mereka.

Ketika semua sambutan telah selesai disampaikan oleh 3 pihak, selanjutnya adalah pembacaan doa oleh pendeta atau guru jemaat sebagai akhir dari setiap proses pelaksanaan sasi gereja secara komunal. Setelah doa selesai, masyarakat pun kembali ke kampung Warsambin untuk melewati acara terakhir yaitu ramah-tamah dengan acara makan bersama. Dalam acara ramah-tamah ini masyarakat berbaur menjadi satu dalam kebersamaan dan kekeluargaan. Turut serta juga semua masyarakat kampung sekitar yang diundang hadir dalam acara tutup sasi gereja tersebut.

c) Larangan Selama Sasi Gereja

(17)

91 1) Sasi Gereja Perorangan

Selama kurun waktu yang ditentukan untuk sasi gereja perorangan, ada aturan yang harus dipatuhi oleh warga yang melakukan sasi dan masyarakat lainnya. Aturannya memang agak sedikit berbeda dengan yang berlaku pada sasi adat. Aturan yang sama hanya pada point yang pertama, yaitu siapapun dilarang mengambil hasil sumber daya alam yang sudah disasi. Untuk sumber daya di darat, selama buah masih melekat dengan pohonnya seperti kelapa atau pinang, siapapun itu dilarang untuk mengambilnya.

Sedangkan aturan yang kedua pada sasi adat, bahwa jika ada hasil yang sudah matang dan jatuh ke tanah dari pohonnya, hasil tersebut pun tidak boleh diambil, tidak berlaku untuk sasi gereja perorangan. Ada pengecualian bagi masyarakat lain yang berasal dari luar kampung yang sedang melakukan perjalanan jauh tetapi membutuhkan makanan atau minuman dari hasil yang sedang disasi. Jika ada masyarakat dari luar kampung sedang melakukan perjalanan jauh, dan kemudian membutuhkan bantuan berupa makanan atau minuman mereka diperbolehkan mengambil buah yang sudah jatuh ke tanah dari pohon yang disasi. Dengan cara harus meminta ijin terlebih dahulu kepada pemilik kebun. Hasil buah itu hanya boleh dimakan ditempat tersebut dan tidak boleh dibawa pulang dalam jumlah yang banyak. Jika ingin dibawa sebagai bekal, cukup mengambil sesuai dengan perhitungan makan sampai kampung terdekat.

(18)

92

pada aturan sasi yang berlaku. Selama tidak melanggar esensi sebenarnya dari tradisi sasi tersebut.

“Kan tra mungkin to, tong tidak bantu dorang yang membutuhkan tong pu pertolongan. Apalagi kalau dong butuh makan dan lagi dalam perjalanan jauh. Tetap kitong harus bantu, sebab ini alam Tuhan kasi buat torang semua umat manusia. Jadi dong boleh ambil hasil sasi, tapi yang su jatuh di tanah, tra boleh ambil yang masih di pohon dan seijin sang pemilik kebun. Kalau sa orang Kristen yang diajarkan untuk melakukan hukum kasih jadi sa harus lakukan itu. Ini alam Tuhan punya, tong cuma dapa suruh jaga saja, jadi kalo ada orang yang susah datang minta tolong kitong harus bantu.” ungkap Julianto.77

2) Sasi Gereja Secara Komunal

Aturan yang berlaku selama sasi gereja secara komunal dilaksanakan juga tidak berbeda jauh dengan aturan sasi gereja perorangan. Namun karena lokasi sasi gereja secara komunal lebih cenderung pada wilayah laut dan ini menjadi kesepakatan keseluruhan masyarakat kampung serta diberitahukan kepada masyarakat dari kampung lain sehingga aturan menjadi lebih ketat. Aturan ini pun bergantung pada model sasi yang dilakukan. Dalam sasi gereja secara komunal terdapat 2 model sasi yang dilakukan. Pertama, sasi gereja wilayah perairan yang artinya seluruh sumber daya laut yang masuk dalam area sasi dilarang untuk diambil oleh siapapun. Kedua, sasi gereja pada jenis biota tertentu seperti taripang, bia lola (sejenis kerang), atau salah satu jenis ikan. Aturan yang berlaku pada model yang kedua, bahwa setiap jenis biota yang disasi dilarang untuk diambil selama sasi gereja, tetapi

(19)

93 untuk jenis biota yang tidak disasi boleh diambil. Dan yang boleh mengambil dalam area sasi hanya masyarakat kampung sekitar tidak boleh orang dari luar daerah.

d) Pelaksanaan Buka Sasi Gereja

Setelah melewati masa tutup sasi gereja sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, selanjutnya yang dilakukan adalah kegiatan buka sasi gereja. Buka sasi gereja yang dilakukan oleh perseorangan berbeda yang dilakukan secara komunal. Oleh sebab itu dalam bagian ini, penulis akan membaginya dalam 2 sub bahasan yaitu : Buka Sasi Gereja Perorangan dan Buka Sasi Gereja Secara Komunal.

1) Buka Sasi Gereja Perorangan

Ketika masa tutup sasi gereja perorangan telah selesai, yang dilakukan selanjutnya adalah pelaksanaan buka sasi gereja. Untuk pelaksanaan buka sasi gereja perorangan, pertama kali yang dilakukan adalah melaporkan kembali kepada pendeta atau majelis jemaat bahwa masa tutup sasi telah berakhir dan akan dilakukan buka sasi. Setelah pemberitahuan ini disampaikan ke gereja, maka pada ibadah hari minggu akan diumumkan kepada warga jemaat bahwa sasi yang dilakukan oleh salah seorang warga telah selesai dan akan dilakukan buka sasi. Dalam ibadah tersebut pendeta atau guru jemaat akan mendoakan rencana pelaksanaan buka sasi yang akan dilakukan. Kemudian pada ibadah tersebut itu juga, warga gereja yang melakukan sasi gereja perorangan akan mengucapkan terimakasih kepada gereja dan seluruh warga gereja telah mendukung pelaksanaan tutup sasi yang mereka lakukan.

(20)

94

keluarga inti dan keluarga besar. Biasanya sang pemilik kebun juga mengundang beberapa warga kampung sesuai dengan kedekatan warga tersebut dengan keluarga pemilik kebun. Ritual buka sasi gereja ini dimulai dengan pembacaan doa yang dibawakan oleh salah satu anggota keluarga. Isi doa tersebut antara lain adalah mengucap syukur kepada Tuhan, oleh karena berkat penyertaan dan kasih Tuhan proses tutup sasi sudah berjalan dengan baik dan semua hasil sasi akan siap untuk dipanen. Setelah pembacaan doa syukur selesai dilanjutkan dengan ritual adat yaitu mempersiapkan kakes untuk diberikan kepada leluhur sebagai penghormatan dan ucapan terimakasih karena leluhur telah menjaga tanaman-tanaman yang disasi sehingga tidak dicuri atau dijarah orang lain.

Ritual doa syukur dan ritual adat mengawali pembukaan sasi gereja perorangan. Setelah kedua ritual itu selesai, selanjutnya yang dilakukan adalah memanen hasil tanaman yang disasi. Yang menarik dan membedakan antara sasi adat dan sasi gereja perorangan ini adalah peruntukkan dari hasil sasi. Jika disasi adat hasil yang sudah dipanen hanya digunakan sebagai kebutuhan keluarga pemilik kebun sendiri dan sisanya kemudian dijual. Sedangkan pada sasi gereja perorangan, hasil panen sasi sebagiannya harus dibagikan bagi keluarga-keluarga lainnya dan masyarakat sesuai dengan kedekatan antara pemilik kebun dengan warga tersebut. Sisa dari hasil sasi setelah dibagi-bagi tersebutlah yang kemudian dijual kembali oleh pemilik kebun. Sekali lagi, nilai kekristenan sangat mempengaruhi pola pikir dan perilaku masyarakat di kampung Warsambin.

“Tong tra boleh makan hasil sasi itu sendiri.

(21)

95

dan banyak. Setelah Tuhan kabulkan trus tong makan itu hasil sendiri ka? Kan tra boleh to? Makanya setelah buka sasi gereja, dia pu hasil tong harus berbagi deng orang lain. Tuhan itu

baik ade… Buktinya setelah tong bagi-bagi, kitorang tra pernah merasa kurang, hasil tetap ada dan cukup banyak yang dijual. Ada dia pu aneh, coba kalo bikin sasi gereja trus ko panen lalu ko makan dia pu hasil sendiri. Ko pu tumbuhan yang ko sasi abis panen itu langsung mati. Tra berbuah, langsung besoknya kering. Coba itu kenapa? Itu pernah terjadi di kampung

ini” jelas Joko.78

Sasi gereja perorangan yang dilakukan masyarakat kampung Warsambin memberikan pelajaran tersendiri bagi mereka. Menjalani kehidupan dalam satu kesatuan komunal berdasarkan kasih yang tergambarkan dalam perilaku saling berbagi adalah buah manis dari pengabaran injil di kampung Warsambin. Gereja memberikan warna dalam cara berpikir dan perilaku masyarakat. Dan sasi pun digunakan tidak hanya bagaimana masyarakat harus menjaga, melindungi dan melestarikan alam yang sudah Allah berikan, melainkan juga bagaimana sasi mengajarkan masyarakat untuk hidup saling berbagi satu dengan lainnya.

Sisa dari hasil sasi yang sudah dibagi-bagikan kepada sesama, kemudian dijual di pasar. Dan setelah semua hasil jualan tersebut, maka pemilik kebun akan membawa perpuluhan dari hasil penjualan tersebut ke gereja. Perpuluhan itu disampaikan pada ibadah minggu di gereja.

(22)

96

2) Buka Sasi Gereja Secara Komunal

Untuk melakukan buka sasi gereja secara komunal, langkah-langkahnya tidak jauh berbeda ketika saat melakukan tutup sasi gereja. Setelah masa tutup sasi gereja berakhir maka akan dilakukan pertemuan persiapan kegiatan buka sasi gereja. Pertemuan tersebut difasilitasi oleh gereja dengan menghadirkan pendeta atau guru jemaat, majelis jemaat, badan pengurus intera gerejawi, dan juga tokoh-tokoh masyarakat. Pertemuan ini membahas rangkaian persiapan kegiatan buka sasi, pembagian tugas sama seperti pada saat tutup sasi gereja, dan juga pembahasan tentang berapa lama buka sasi ini akan dilakukan. Pembahasan tentang berapa lama kegiatan buka sasi ini akan berlangsung, berkaitan dengan tujuan sasi gereja ini dilakukan. Apakah sasi dilakukan dalam rangka untuk memberi kesempatan kepada biota berkembang biak yang kemudian setelah disasi lalu ditutup kembali? Ataukah sasi dilakukan untuk memenuhi kebutuhan rangkaian pelayanan di gereja? Untuk penjelasan ini akan disampaikan selanjutnya bersama dengan pembahasan pada sub bahasan ini.

(23)

97 kepada warga gereja dan masyarakat berapa lama buka sasi ini akan berlangsung.

Ibadah syukur buka sasi gereja berakhir, selanjutnya warga gereja dan masyarakat bersama pendeta atau guru jemaat serta majelis jemaat juga tokoh-tokoh masyarakat menuju ke lokasi daerah sasi dengan perahu-perahu yang sudah dipersiapkan. Ritual yang selanjutnya, sama ketika melaksanakan tutup sasi gereja. Pendeta dan tokoh masyarakat memimpin doa di lokasi wilayah sasi. Pendeta berdoa bagi Allah Sang Pencipta alam semesta sedangkan tokoh masyarakat atau tokoh adat berbicara kepada leluhur.

Doa yang dibawakan oleh pendeta atau guru jemaat pertanda bahwa panen sasi akan segera dimulai. Untuk panen sasi gereja secara komunal ini biasanya ada aturan yang mengatur berapa lama buka sasi ini akan berlangsung.  Untuk sasi gereja secara komunal yang bertujuan untuk

memberikan kesempatan kepada biota laut untuk berkembang biak biasanya berlangsung sedikit lebih lama. Buka sasi gereja akan berlangsung 1-3 minggu. Dan setelah itu, wilayah tersebut kembali ditutup. Sedangkan untuk hasil panen dari sasi tersebut sepenuhnya dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat kampung.

(24)

98

pertempuan persiapan. Misalnya jika buka sasi akan berlangsung dalam waktu 7 hari, maka untuk hasil panen sasi hari ke-1 sampai hari ke-4 semua diserahkan untuk gereja. Sedangkan hasil panen sasi hari ke-5 sampai hari ke-7 menjadi hak masyarakat. Setelah masa buka sasi itu berakhir daerah tersebut kemudian kembali ditutup.

Budaya Sasi Mon

Tahun 2010, masyarakat kampung Warsambin melakukan budaya sasi yang belum pernah mereka lakukan sebelumnya. Budaya sasi ini merupakan perpaduan antara sasi adat dan sasi gereja. Budaya sasi ini disebut dengan Sasi Mon atau sering juga disebut sasi leluhur. Sasi Mon pada tujuannya memang tidak jauh berbeda dengan budaya sasi pada umumnya. Perbedaan mendasar antara sasi Mon dan sasi pada umumnya, terletak pada pelaksana sasi dan lokasi pelaksanaan sasi.

Jika sasi adat dan sasi gereja dilakukan oleh perorangan dan gereja secara komunal, sedangkan sasi Mon dilakukan oleh masyarakat adat yang berasal dari salah satu suku asli di Teluk Mayalibit yaitu masyarakat adat dengan marga Ansan. Masyarakat adat dengan marga Ansan adalah suku asli teluk Mayalibit yang mendiami pulau sebelah timur di teluk Mayalibit dan memiliki hak adat bagi sebagian besar wilayah perairan di pintu masuk teluk Mayalibit.

Mon sendiri adalah sebutan orang Ansan bagi leluhur mereka. Bagi orang Ansan, mereka mempercayai bahwa wilayah adat mereka didiami atau dihuni oleh para leluhur. Leluhur ini pula yang dipercayai sebagai penjaga dan pelindung alam beserta segala isinya yang telah diciptakan oleh Allah. Maka dalam kepercayaan orang Ansan, Mon

(25)

99 Sasi Mon adalah salah satu bukti bahwa orang Ansan masih berinteraksi dengan leluhur mereka lewat perilaku budaya. Sasi Mon

yang dilakukan oleh orang Ansan yang bertempat tinggal di kampung Warsambin, bertujuan untuk melindungi wilayah adat dari tangan-tangan yang ingin menjarah dan mencuri sumber daya alam, dan juga melindungi wilayah adat tersebut dari kerusakan lingkungan.

Pada pelaksanaan sasi Mon semua unsur masyarakat dilibatkan. Unsur yang terlibat didalamnya ada pimpinan adat, pemerintah, gereja, LSM, dan juga masyarakat kampung Warsambin serta masyarakat dari kampung-kampung lainnya yang berada di distrik Teluk Mayalibit.

Yang menarik dari sasi Mon adalah sasi akan berlangsung dalam jangka waktu yang tidak ditentukan. Dalam kata lain sasi Mon

akan berlangsung seumur hidup. Sampai pada penulisan data penelitian ini, wilayah perairan adat marga Ansan masih di sasi Mon. Karena sasi yang dilakukan berdasarkan luasan wilayah dan bukan terhadap jenis biota laut, maka wilayah sasi Mon tertutup dan tidak diperbolehkan orang luar ataupun masyarakat kampung di Teluk Mayalibit memancing di wilayah tersebut. Menurut Dortheus Metansan salah satu anak adat dari marga Ansan, sasi Mon bisa dibuka jika memang dewan adat orang Ansan memutuskan untuk dibuka. Jika tidak maka wilayah adat yang dilakukan sasi Mon tersebut akan terus tertutup untuk aktifitas memancing.

Intervensi LSM Conservation International dalam Pelaksanaan Sasi

Mon

“Setelah CI masuk ke Teluk Mayalibit, banyak sekali

(26)

100

bersama dengan CI untuk lakukan Sasi Mon di wilayah adat kami. Sa setuju sekali, untuk mengaktifkan kembali budaya sasi supaya tong pu sumber daya alam bisa terus

menghasilkan” ungkap Anwar.79

Hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa masuknya LSM-LSM ke Raja Ampat paska pemekaran kabupaten ternyata memberikan dampak yang signifikan dalam proses pembangunan. Bahkan ada yang sudah bergerak dengan aktifitasnya jauh sebelum kabupaten Raja Ampat dimekarkan. Di Teluk Mayalibit lokasi penelitian ada LSM Conservation International (CI), yang bergerak dalam persoalan konservasi laut.

CI dalam semua aktifitasnya, kembali membangkitkan semangat masyarakat untuk peduli terhadap keberlanjutan sumber daya alam. Serangkaian kegiatan konservasi mulai dari membangun pemahaman baru tentang konservasi, pelatihan-pelatihan, membangun sistem dan jejaring konservasi, sampai pada membangun komunitas masyarakat konservasi.

Untuk memulai aktifitas konservasi bersama dengan masyarakat bukanlah hal yang mudah. Pertama kali CI masuk ke Teluk Mayalibit penolakan dari masyarakat sudah terjadi. Dengan melakukan pendekatan-pendekatan personal antara CI dengan tokoh-tokoh masyarakat ternyata membuahkan hasil yang manis. Di tengah-tengah pendekatan personal, CI menjelaskan maksud dan kedatangan mereka ke Teluk Mayalibit kepada tokoh-tokoh masyarakat. Beberapa kali pertemuan harus dilakukan untuk menjelaskan kedatangan CI, serta memberikan pemahaman-pemahaman tentang apa itu konservasi. Buah manis itu akhirnya terlihat ketika CI pun mulai diterima di tengah-tengah masyarakat. Keberhasilan ini menurut penulis terletak pada pendekatan yang dilakukan oleh CI. Dalam perjalanan aktifitas konservasi ini, CI merekrut sejumlah orang yang berasal dari kampung-kampung yang ada di Teluk Mayalibit untuk menjadi berperan langsung

(27)

101 sebagai perwakilan CI. Inilah faktor yang menurut penulis menjadi kekuatan pendekatan CI sehingga mereka dapat diterima oleh masyarakat Teluk Mayalibit.

Seperti yang sudah penulis sampaikan pada halaman sebelumnya, bahwa ada berbagai aktifitas konservasi yang dilakukan CI di Teluk Mayalibit. Semua berawal dari bagaimana mempersiapkan komunitas masyarakat konservasi sebagai barisan terdepan dalam menjawab persoalan kerusakan lingkungan dan eksploitasi sumber daya alam. Dan untuk mencapai tujuan tersebut CI melakukan berbagai aktifitas seperti pertemuan-pertemuan bersama masyarakat kampung dalam rangka menjelaskan apa itu kegiatan konservasi dan manfaatnya bagi masyarakat. Kemudian mempersiapkan sumber daya masyarakat kampung untuk terlibat aktif dalam kegiatan konservasi dengan melakukan pelatihan-pelatihan.

Gambar. 5.1. Pelatihan bagi masyarakat oleh Fasilitator dari Conservation International

(Sumber Docs. Conservation International)

Tabel 5.1. Jadwal Kegiatan Pelatihan Masyarakat

No Nama Kegiatan Tempat dan 3. Pelatihan Diving Wayag,

November

2 orang dari MPA Teluk

(28)

102 8. Pelatihan Lobster Warkabu,

Maret 2011

Data yang penulis dapatkan di lapangan adalah data setelah komunitas masyarakat konservasi terbentuk dan melakukan serangkaian pelatihan-pelatihan. Namun sebelum itu sudah banyak aktifitas yang dilakukan CI bersama masyarakat, termasuk melakukan sasi Mon.

Intervensi yang besar dari CI untuk mendorong masyarakat untuk menghidupkan kembali budaya sasi, merupakan cara LSM ini untuk membantu masyarakat dalam melindungi sumber daya alam di Teluk Mayalibit. Mengangkat kearifan lokal budaya sasi dan melekatkan konsep konservasi terhadap budaya sasi adalah cara yang tepat memperkenalkan konservasi dengan istilah lokal.

“Orang di kampung itu tidak tahu konsep dari

(29)

103

yang dilakukan dengan budaya sasi, itulah prinsip dari konservasi sebenarnya. Bagaimana kita memberikan kesempatan bagi tumbuhan dan hewan untuk bertumbuh dan berkembang biak. Juga bagaimana kita melakukan batasan-batasan terhadap hasil laut yang bisa diambil dan mana yang tidak bisa diambil. Membatasi wilayah-wilayah tertentu untuk tidak boleh kita mengambil ikan di sana karena alasan tertentu. Itulah konservasi yang sebenarnya. Sehingga CI datang memperkenalkan konservasi dengan konsep lokal

masyarakat.” ungkap Bambang.80

Dengan memberikan pemahaman seperti yang dijelaskan oleh Goram, CI mampu mendorong masyarakat menghidupkan kembali budaya sasi di tengah kehidupan masyarakat kampung Warsambin. Maka pada tahun 2010 itulah deklarasi sasi Mon

diselenggarakan oleh masyarakat adat marga Ansan.

Gambar. 5.2 Pelaksanaan Deklarasi Sasi Mon Tahun 2010 di Teluk Mayalibit

(Sumber : Docs. Conservation International)

Ketika penulis turun lapangan pada Desember 2014, CI telah menyelesaikan masa kontrak sesuai dengan kesepakatan dengan pemerintah. Jangka waktu 10 tahun yang diberikan pemerintah kepada CI untuk melakukan aktifitasnya di kabupaten Raja Ampat telah usai. Kini seluruh aset beserta seluruh jaringan komunitas konservasi yang berada di seluruh Raja Ampat,

(30)

104

termasuk yang berada di Teluk Mayalibit diserahkan kepada Pemda untuk dikelola.

Pemerintah Kabupaten Raja Ampat Mendukung Pelaksanaan Sasi

Mon.

Usaha yang dilakukan masyarakat adat marga Ansan dan CI untuk melaksanakan sasi Mon, ternyata ibarat gayung bersambut. Rencana ini disambut positif oleh Pemerintah Daerah (Pemda) kabupaten Raja Ampat.

“Semangatnya masih sama, yaitu melindungi sumber

daya alam Raja Ampat. Jadi tidak ada alasan untuk pemerintah tidak mendukung pelaksanaan sasi Mon. Dengan mendukung sasi Mon itu artinya kami dalam hal ini pemerintah sedang melindungi sumber daya alam yang menjadi tempat pencaharian masyarakat Raja Ampat. Dan ini juga sama dengan spirit pemerintah dalam Peraturan Daerah No. 27 Tahun 2008 tentang Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Raja Ampat. Oleh sebab itu kami mendorong masyarakat untuk ikut berperan serta lewat kearifan lokal untuk

melindungi sumber daya alam yang kita punya.” ungkap

Lucky.81

Pemda Raja Ampat pun ikut serta dalam mendukung kegiatan pelaksanaan sasi Mon pada tahun 2010 tersebut. Dengan menyediakan sejumlah dana serta sarana dan prasarana untuk mendukung terlaksana kegiatan sasi Mon, Pemda menunjukkan keseriusannya dalam usaha melindungi sumber daya alam Raja Ampat.

Peraturan Bupati No. 66 Tahun 2007 tentang Kawasan Konservasi Laut Kabupaten Raja Ampat (KKL Raja Ampat) menjadi alasan utama pemerintah untuk terlibat dalam usaha masyarakat

81 Wawancara dengan Lucky, di Badan Layanan Umum Daerah Unit Pelaksana

(31)

105 dan LSM dalam melindungi sumber daya alam Raja Ampat. Pada pasal 2 PerBup tersebut tercantum bahwa Teluk Mayalibit ditunjuk sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Raja Ampat. Keseriusan PemDa dalam persoalan melindungi sumber daya alam semakin terlihat ketika PerBup ini kemudian dinaikkan tingkatannya menjadi PERDA No. 27 Tahun 2008 tentang Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Raja Ampat, yang ditetapkan pada tanggal 12 Desember 2008 oleh Bupati Raja Ampat, Drs. Marcus Wanma., M.Si.

Dengan berdasarkan pada asas pemanfaatan, dan tidak membatasi ruang mata pencaharian masyarakat lokal yang sebagian besar adalah nelayan. Maka KKLD Raja Ampat pun dibagi dalam 3 zona berdasarkan pemanfaatannya dan kondisi terumbu karang.

Gambar 5.3. Peta Kondisi Kesehatan Terumbu Karang

(Sumber UPTD KKLD Kab. Raja Ampat)

(32)

106

(zona dilarang ambil) adalah wilayah yang ditutup dan tidak boleh ada aktifitas pengambilan ikan. Dilihat dari kondisi perairan tersebut yang dikelilingi oleh hutan mangrove seluas 64 ha merupakan titik dimana ikan melakukan aktifitas reproduksi. Sehingga menjadi penting untuk menutup lokasi tersebut dari aktifitas pencarian ikan. Untuk zona pemanfaatan terbatas dibagi menjadi 2 sub zona yaitu : sub zona ketahanan pangan dan pariwisata dan sub zona perikanan berkelanjutan dan budidaya. Sedangkan zona lainnya juga dibagi menjadi 2 sub zona yaitu : sub zona pemanfaatan tradisional masyarakat dan sub zona pemanfaatan lainnya.

Wilayah sasi Mon yang dilakukan oleh masyarakat masuk dalam sub zona ketahanan pangan dan pariwisata. Sub zona tersebut merupakah wilayah perairan yang memiliki terumbu karang cukup banyak, walau didominasi oleh terumbu karang yang sudah mati diantara karang-karang masih hidup. Oleh sebab itu dengan dilakukannya sasi Mon pada sub zona tersebut, maka karang yang masih hidup dapat berkembang biak dengan baik dan mampu menggantikan karang yang telah mati. Harapannya ketika karang itu bertumbuh mampu merubah memperbanyak terumbu karang dan menjadi habitat baru bagi ikan. Sasi Mon yang berlangsung lama dan menjadikan daerah tersebut tertutup sangat membantu cepat tumbuhnya terumbu karang yang baru.

(33)

107 digiatkan harapannya sumber daya alam Raja Ampat dapat terhindar dari ancaman eksploitasi.

Pro dan Kontra Pelaksanaan Budaya Sasi di Kampung

Warsambin

Berhasilnya pelaksanaan sasi Mon di kampung Warsambin oleh marga Ansan atas wilayah adat mereka berlangsung bukan tanpa pro dan kontra. Ketika berada di lapangan pada saat penelitian, penulis menemukan perbedaan pendapat dari beberapa anggota masyarakat yang mengungkapkan ketidaksetujuan mereka atas deklarasi sasi Mon

yang diselenggarakan oleh masyarakat marga Ansan, pemerintah, gereja dan CI. Menariknya justru perbedaan pendapat dari ketidaksetujuan masyarakat dengan sasi Mon yang sudah dilaksanakan, datangnya dari salah satu warga yang juga bagian dari marga Ansan.

Andi seorang bapak yang kesehariannya sebagai nelayan, mengungkapkan ketidaksepahaman beliau dengan sasi Mon yang dilakukan oleh marga Ansan. Alasan lainnya penulis sampaikan dalam beberapa point yang menjadi perhatian beliau, sehingga beliau tidak bersepakat dengan pelaksanaan sasi Mon tersebut. Point tersebut antara lain :

1) Tidak Dilibatkannya Seluruh Pemangku Hak Adat di Teluk Mayalibit. Dalam persoalan ini menurut Nikson, seharusnya seluruh masyarakat yang memiliki hak adat diundang untuk duduk berbicara bersama untuk sasi Mon. Walaupun sasi Mon hanya ditujukan bagi wilayah adat marga Ansan, itu bukan berarti kita mengabaikan pemangku adat lainnya. Ini menyangkut kepentingan khalayak banyak, karena wilayah yang disasi tersebut juga menjadi tempat pencaharian masyarakat dari kampung lain.

(34)

108

untuk mencari ikan, terlebih ketika wilayah yang disasi tersebut merupakan area menghasil ikan sangat banyak.

3) Pemerintah dan CI harus konsisten jika ingin betul-betul menghidupkan kembali budaya sasi. Misalnya persoalan komunitas konservasi yang dibentuk, apakah benar-benar SDM-nya terperhatikan dengan benar ataukah justru dibentuk lalu dibiarkan saja. Jika ada masyarakat yang ditarik masuk dalam tim CI seharusnya juga memperhatikan kesejahteraan dari masyarakat itu sendiri.

4) Ketika melaksanakan sasi, mereka melakukan ritual adat dengan meminta leluhur untuk menjaga dan melindungi daerah yang disasi. Dalam kepercayaan lokal masyarakat di Teluk Mayalibit, ketika sasi sudah dilakukan biasanya leluhur akan selalu menampakkan diri dalam wujud buaya sebagai penjaga wilayah sasi. Beberapa kejadian sudah memakan korban jiwa, ketika ada masyarakat yang menjadi korban penyerangan buaya. Walau sebenarnya hal ini terjadi oleh karena ulah masyarakat itu sendiri yang mencoba melakukan aktifitas memancing atau menyelam di area yang telah disasi.

Dalam wawancara yang penulis lakukan bersama Andi, pada akhir wawancara tersebut beliau pun mengakui bahwa sebenarnya budaya sasi memang perlu digalakkan kembali. Sebab beliau melihat bahwa ancaman terhadap kerusakan lingkungan serta eksploitasi sumber daya alam semakin nampak di depan. Namun menurut beliau pengecualian terjadi ketika melihat pada sasi Mon seperti point-point di atas yang sudah penulis sampaikan.

Secara jumlah memang kelompok yang tidak setuju lebih sedikit dibandingkan dengan masyarakat yang setuju adanya sasi Mon.

Gambar

Gambar. 5.1. Pelatihan bagi masyarakat oleh Fasilitator dari Conservation
Gambar. 5.2 Pelaksanaan Deklarasi Sasi Mon Tahun 2010 di Teluk
Gambar 5.3. Peta Kondisi Kesehatan Terumbu Karang

Referensi

Dokumen terkait

Kadar urea susu dipengaruhi oleh nutrisi pada ternak dan kadar amonia dalam rumen digunakan untuk sintesis protein mikroba, pada puncak laktasi urea susu

Dengan kata lain, Schmitthoff menegaskan wilayah hukum perdagangan internasional tidak termasuk atau terlepas dari aturan-aturan hukum internasional publik yang

Amonia yang tidak dimanfaatkan mikroba akan diserap oleh dinding rumen, yang kemudian dibawa oleh darah menuju hati dan diubah menjadi urea.. Kerja mikroba yang tidak optimal

Perangkat keras yang berhasil dibuat dalam penelitian ini adalah alat pengukur detak jantung manusia berbasis arduino dengan tampilan personal computer yang

Selain yang disebutkan di atas, tentu masih ada banyak peluang bisnis online yang bisa dijalankan dari rumah dan dalam menjalankan bisnis online tersebut, tentunya kita juga

Berdasarkan Hasil Evaluasi Penawaran untuk Kegiatan Pelaksanaan Normalisasi Saluran Sungai (DAK 2015) Pekerjaan Paket 2 - Rehabilitasi Saluran Tambak Sibaya Kel.. 2015, penyedia

suatu citra yang telah ada sebelumnya sesuai dengan keperluan penggunanya atau pada metode persepsi mesin terhadap suatu informasi visual (misalnya dalam dunia robotika) Graphic

 Langkah berikutnya menentukan lokasi titik potong antara garis tersebut dengan batas area gambar.  Titik potong dihitung berdasarkan bit=1 dari region code dengan menggunakan