• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROGRAM STUDI EKSTENSI SARJANA FARMASI FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2018

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PROGRAM STUDI EKSTENSI SARJANA FARMASI FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2018"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

PENILAIAN PERESEPAN OBAT DOKTER SPESIALIS PARU PADA APOTEK-APOTEK DI KOTA MEDAN

MENGGUNAKAN INDIKATOR WORLD HEALTH ORGANIZATION (WHO)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

MESTIKA S. J. SITOHANG NIM 151524048

PROGRAM STUDI EKSTENSI SARJANA FARMASI FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(2)

PENILAIAN PERESEPAN OBAT DOKTER SPESIALIS PARU PADA APOTEK-APOTEK DI KOTA MEDAN

MENGGUNAKAN INDIKATOR WORLD HEALTH ORGANIZATION (WHO)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

MESTIKA S. J. SITOHANG NIM 151524048

PROGRAM STUDI EKSTENSI SARJANA FARMASI FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(3)
(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah Tritunggal dan Bunda Maria yang telah melimpahkan rahmatNYA, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, dengan judul

“Penilaian Peresepan Obat Dokter Spesialis Paru Pada Apotek-apotek di Kota Medan Menggunakan Indikator World Health Organization (WHO)”.

Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Ibu Prof. Dr. Masfria, M.S, Apt., yang telah memberikan bantuan dan fasilitas selama masa pendidikan. Terima kasih kepada Ibu Khairunnisa M.Pharm.,Ph.D.,Apt., yang telah membimbing selama penelitian dan penulisan skripsi. Terima kasih kepada Bapak Prof Dr. Wiryanto, M.S., Apt., selaku ketua penguji dan Ibu Yuandani, M.Si., Ph.D., Apt., selaku anggota penguji. Terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Muchlisyam, M. Si., Apt., selaku penasihat akademik yang selalu memberikan bimbingan selama masa perkuliahan. Terima kasih kepada Bapak dan Ibu Pembantu Dekan, Bapak/Ibu Staf Pengajar Fakultas Farmasi USU atas ilmu yang telah diberikan.

Terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada suami tercinta Pantas

Tamba yang telah memberi izin serta motivasi untuk terus melanjutkan

pendidikan dengan semua keterbatasan yang ada. Terimakasih kepada kedua

orang tua tercinta Ayahanda Demus Sitohang dan Ibunda Magda Sidabutar,

terima kasih atas doa dan motivasi yang tidak pernah berhenti, terima kasih

(5)

untuk Ananda tersayang Seanie Grace Theodosia Tamba dan Beata Merrpriany Tamba, terima kasih atas kesabaran menunggu kepulangan Bunda. Terima kasih kepada adik-adikku dan keluarga besar yang senantiasa mendukung dalam doa dan materi.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah kabupaten Samosir melalui Badan Kepegawaian Daerah bidang Diklat dan kepada Direktur RSUD Dr. Hadrianus Sinaga Pangururan Samosir, yang telah memberikan izin penulis untuk melanjutkan pendidikan. Terima kasih kepada PPSDM Kesehatan Kementrian Kesehatan Repuplik Indonesia selaku pihak pemberi beasiswa tugas belajar. Terima kasih kepada Kepala Instalasi Farmasi yang memberi izin untuk melanjutkan pendidikan dan teman temanku sejawat di Instalasi Farmasi, di RSUD Dr. Hadrianus Sinaga, keluarga besar Rumah Sakit Hadrianus Sinaga Pangururan Samosir, peserta Tubel PPSDM-K Kemenkes 2015 .

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya di bidang Farmasi.

Medan, Januari 2018 Penulis,

Mestika S. J. Sitohang

NIM 151524048

(6)

SURAT PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan dibawah ini,

Nama : Mestika S. J. Sitohang

Nomor Induk Mahasiswa : 151524048

Program Studi : S1 Ekstensi Farmasi

Judul Skripsi : Penilaian Peresepan Obat Dokter Spesialis Paru Pada Apotek-apotek di kota Medan menggunakan

indikator World Health Organization (WHO).

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi ini ditulis berdasarkan data dari hasil pekerjaan yang saya lakukan sendiri dan belum pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar kesarjanaan di perguruan tinggi lain dan bukan plagiat karena yang ditulis telah disebutkan sumbernya di dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari ada pengaduan dari pihak lain karena, di dalam skripsi saya ditemukan plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia menerima sanksi apapun oleh Program Studi Farmasi Fakultas Universitas Sumatera Utara dan bukan menjadi tanggung jawab pembimbing.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya untuk dapat

digunakan jika diperlukan sebagaimana mestinya.

(7)

PENILAIAN PERESEPAN OBAT DOKTER SPESIALIS PARU PADA APOTEK-APOTEK DI KOTA MEDAN MENGGUNAKAN INDIKATOR

WORLD HEALTH ORGANIZATION (WHO)

ABSTRAK

Saat ini telah diketahui tingginya resiko kematian pada penderita penyakit paru,sehingga diperlukan tindakan pencegahan bagi orang yang belum mengalami penyakit paru-paru dan tindakan pengobatan yang rasional bagi orang-orang yang sudah mengalami penyakit paru-paru.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menilai peresepan obat Dokter spesialis Paru apakah sesuai dengan indikator World Health Organization (WHO).

Penelitian yang dilakukan adalah metode survey deskriptif yang dilakukan secara retrospektif. Data diambil dari resep obat dokter spesialis paru pada bulan Maret - Mei 2017 di Apotek-apotek kota Medan.

Hasil penelitian ini didapat dari 644 lembar resep Dokter Spesialis Paru dengan total 2513 item obat diperoleh jumlah rata-rata jumlah obat per pertemuan adalah 3,9, persentase pertemuan dengan antibiotik yang diresepkan 31,99 %, persentase peresepan obat dengan nama generik 15,40 %, persentase pertemuan dengan obat injeksi yang diresepkan sebesar 0,62%, persentase obat yang diresepkan dari daftar obat esensial atau formularium sebesar 10,19%.

Berdasarkan hasil penelitian ini disimpulkan bahwa bahwa penilaian peresepan obat dokter spesialis paru pada apotek-apotek di kota medan tidak sesuai dengan nilai standar yang ditetapkan pada indikator World Health Organization (WHO).

Kata kunci : Penilaian, Peresepan, Apotek, WHO

(8)

ASSESMENT OF PHULMONOLOGIST PRESCRIPTIONS IN MEDAN PHARMACIES USING WORLD HEALTH ORGANIZATION (WHO)

INDICATORS ABSTRACT

Nowadays it has been known the high risk of death among the patients with lung disease. Remains a health problem, therefore prevention is required for people who never expanded lung disease and a good treatment for people who had experience lung disease. The purpose of study is to ascess drug prescription by pulmonary physician wheter it was compatible with World Health Organization (WHO)’s indicators.

The research was done descriptive retrospective method. The data was extracted from the phulmonologist prescriptions in March - May 2017 in Medan pharmacies.

The result of this study was found from 644 sheets of pulmonologist prescriptions with a total of 2513 items of drug obtained the average of drugs per encounter is 3.9, the percentage of drugs prescribed by generic name was 15.40 %, the percentage of encounters with an antibiotic prescribed was 31.99 %, the percentage of encounters with an injection prescribed was 0.62 %, the percentage of drugs prescribed from essential drugs list or formulary was 10.19%.

It could be concluded the assessment of Phulmonologist prescriptions in Medan pharmacies was not in accordance with the standard values of the World Health Organization (WHO) indicators..

Keywords: Assesment, Prescription, Pharmacy, WHO

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

SURAT PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT ... vi

ABSTRAK ... vii

ABTRACT ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ………... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Kerangka Pikir Penelitian ... 4

1.3 Perumusan Masalah ... 4

1.4 Hipotesis ... 5

1.5 Tujuan Penelitian ... 5

1.6 Manfaat Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Apotek ... 6

2.2 Beberapa Penyakit Paru dan gejalanya ... 7

2.2.1 Tuberkulosis (TBC) ... 7

(10)

2.2.3 Bronkitis ... 8

2.2.4 Emfisema ... 9

2.2.5 Asma ... 9

2.2.4 Pneumonia ... 10

2.3 Obat ... 10

2.3.1 Obat Generik ... 10

2.3.2 Obat Esensial nasional ... 11

2.3.3 Antibiotik ... 12

2.4 Peresepan Obat ... 14

2.4.1 Defenisi Resep ... 14

2.4.2 Peresepan Obat berdasarkan WHO ... 15

2.4.3 PerhitunganMasing-masing indikatorperesepan ... 15

2.4.4 Penggunaan Obat yang Rasional ... 17

BAB III METODE PENELITIAN... 22

3.1 Jenis Penelitian ... 22

3.2 Sumber Data penelitian ... 22

3.3 Waktu dan Tempat Penelitian ... 22

3.4 Populasi dan Sampel ... 22

3.4.1 Populasi ... 22

3.4.2 Sampel ... 23

3.5 Pengumpulan Data ... 23

3.6 Pengolahan Data ... 23

3.7 Prosedur Penelitian ... 23

3.8 Defenisi Operasional ... 24

(11)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 26

4.1 Demografi pasien ... 26

4.2 Indikator Peresepan WHO ... 26

4.2.1 Rata-rata jumlah item obat yang diresepkan ... 27

4.2.2 Persentase Peresepan Obat dengan nama Generik ... 28

4.2.3 Persentase Pertemuan dengan Antibiotik yg diresepkan ... 28

4.2.4 Persentase Pertemuan dengan Injeksi yang diresepkan ... 29

4.2.5 Persentase Peresepan Obat dari daftar esensial ... 29

4.3 Penggolongan Obat yang diresepkan ... 30

4.4 Bentuk Sediaan yang Diresepkan ... 34

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 36

4.1 Kesimpulan ... 36

4.2 Saran ... 36

DAFTAR PUSTAKA ... 37

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

4.1 Rata-rata item Obat yang diresepkan per pertemuan ... 27

4.2 Persentase pertemuan dengan antibiotik yg diresepkan ... 28

4.3 Persentase pertemuan dengan injeksi yg diresepkan ... 29

4.4 Rekapitulasi penilaian peresepan obat dokter spesialis paru ... 30

4.5 Obat yang diresepkan Dokter Spesialis Paru ... 32

4.6 Antibiotik yang diresepkan Dokter Spesialis Paru ... 33

4.7 Obat dalam bentuk sediaan ... 34

(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1.1 Skema Kerangka Pikir Penelitian ... 4

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Data resep Dokter Spesialis Paru di apotek-apotek kota Medan 40

2. Nama-nama Apotek ... 93

3. Contoh resep Obat Dokter spesialis paru ... 94

4. Surat Rekomendasi PC IAI... 95

5. Surat Izin penelitian dari Dinas kesehatan Kota ... 96

6. Foto saat pengambilan data di Apotek ... 97

(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada era globalisasi dituntut adanya perubahan dari berbagai aspek salah satunya perubahan dalam dunia kesehatan. Adanya ketimpangan kualitas kesehatan di negara maju dan negara berkembang, memicu evaluasi kualitas pelayanan kesehatan di negara-negara berkembang. Indonesia sebagai salah satu negara yang sedang berkembang dituntut harus siap menghadapi perubahan dalam banyak hal termasuk perubahan menuju perbaikan kualitas kesehatan yang masih jauh tertinggal dibandingkan negara maju (Aris, 2008).

Kesehatan adalah hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya pada mulanya berupa upaya penyembuhan penyakit, kemudian secara berangsur-angsur berkembang ke arah keterpaduan upaya kesehatan untuk seluruh masyarakat dengan mengikutsertakan masyarakat secara luas yang mencakup upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang bersifat menyeluruh terpadu dan berkesinambungan (Pemerintah RI, 2009).

Paru-paru adalah salah satu organ vital manusia, organ yang rentan terhadap penyakit karena berhubungan langsung dengan udara yang dihirup oleh manusia.

Virus, bakteri, pola hidup yang buruk dapat memicu berbagai penyakit yang

menyerang berbagai organ paru-paru (Minarni, 2014).

(16)

Fungsi paru yang utama adalah untuk proses respirasi, yaitu pengambilan Oksigen dari luar masuk kedalam saluran pernafasan dan terus kedalam darah.

Oksigen diperlukan untuk keperluan metabolisme dan Karbondioksida yang terbentuk pada proses tersebut dikeluarkan ke udara luar (Saminan, 2014).

Tahun 2010 adalah Tahun Peduli Kesehatan Paru Sedunia (Year of The Lung) yang dideklarasikan oleh Organisasi Dokter Paru Sedunia. Pencanangan The Year Of The Lung (YOTL) bertujuan untuk meningkatkan kepedulian mengenai kesehatan paru di masyarakat. Hal ini juga sebagai usaha global yang mempunyai satu tujuan mengatasi masalah di bidang paru dan ilmu kedokteran respirasi yang berhubungan dengan kedaruratan penyakit paru dan kaitannya dengan kesehatan masyarakat. Perhimpuan Dokter Paru Indonesia (PDPI) sebagai organisasi profesi mencanangkan dukungan kegiatan Year Of The Lung tersebut.

Maka pada tanggal 21 Januari 2010, bertempat di gedung Asma RS Persahabatan

Jakarta Perhimpunan Dokter paru Indonesia bekerjasama dengan organisasi dan

instansi lain yang berkomitmen dalam penanganan masalah penyakit paru dan

pernafasan di Indonesia yaitu Perhimpunan Pemberantasan Tuberkulosis

Indonesia (PPTI), Yayasan Asma Indonesia (YAI), Dewan Asma Indonesia

(DAI), Perhimpunan Respiratori Care Indonesia (RESPINA), Perhimpunan

Bronkoskopi Indonesia (PERBRONKI), Departemen Pulmonologi dan Ilmu

Kedokteran Respirasi FKUI, RS Persahabatan sebagai rumah sakit rujukan

nasional penyakit paru dan pernafasan, America College Chest Physician

Indonesia (World Chapter, dan Indonesia Council APSR mensosialisasikan tahun

2010 sebagai The Year of The Lung Indonesia dengan tema LUNG HEALTH FOR

THE FUTURE (Dwi, 2010).

(17)

Resep adalah permintaan tertulis dari dokter,dokter gigi, dokter hewan dan praktisi lain yang berizin, kepada apoteker pengelola apotek untuk menyediakan / membuatkan obat dan menyerahkannya kepada penderita. Dokter sebagai pelaku peresepan harus menulis resep yang benar. Resep yang benar adalah ditulis dengan jelas,dapat dibaca, lengkap dan memenuhi perundangan serta kaidah yang berlaku (Olivia, 2014).

Kesalahan terapi (medication errors) sering terjadi di praktek umum maupun rumah sakit. Kesalahan yang terjadi salah satu penyebabnya adalah karena peresepan yang salah, dan itu terjadi karena kesalahan dalam proses pengambilan keputusan. Setiap langkah mulai pengumpulan data pasien (anamnesis, pemeriksaan jasmani, dan pemeriksaan penunjang lainnya) berperan penting dalam pemilihan obat dan penulisan resep. Kesalahan pemilihan jenis obat, dosis, cara pemakaian, penulisan yang sulit dibaca merupakan faktor yamg dapat meningkatkan kesalahan terapi (Simatupang, 2012).

Uraian diatas merupakan hal yang menjadi latar belakang penulis melakukan penelitian ini. Menurut penulis penyakit paru perlu diperhatikan, mengingat tingginya resiko kematian sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahan bagi orang yang belum mengalami penyakit paru dan bagi orang- orang yang sudah mengalaminya agar mendapat pengobatan yang rasional.

Menurut hemat penulis, polusi udara juga semakin meningkat yang disebabkan

asap dari perokok aktif, asap dari kendaraan bermotor, asap dari pabrik, polusi

akibat banyaknya abu di jalanan karena banyaknya perbaikan jalan, jika udara

yang tercemar kita hirup maka kesehatan paru-paru akan terganggu.

(18)

1.2 Kerangka Pikir Penelitian

Variabel Bebas Variabel Terikat Parameter

Rata-rata jumlah tiap resep

Persentase peresepan Obat Generik Persentase Peresepan Antibiotik

Persentase Peresepan Injeksi Persentase Peresepan dari daftar obat

esensial/ formularium

Gambar 1. 1 Skema Kerangka Pikir Penelitian

1.3 Perumusahan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah peresepan obat Dokter Spesialis Paru sudah sesuai dengan nilai standard indikator World Health Organization (WHO) ?

1.4 Hipotesis Penelitian

Hipotesis dalam penelitian ini adalah peresepan obat Dokter Spesialis Paru sesuai dengan nilai standard indikator World Health Organization (WHO).

1.5 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui apakah peresepan obat Dokter Spesialis Paru sudah sesuai dengan nilai standard indikator peresepan World Health Organization (WHO).

Pola peresepan

Peresepan

menurut

indikator

WHO

(19)

1.6 Manfaat Penelitian

1.6.1 Bagi pihak kesehatan terkait

Sebagai bahan kajian dalam meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat.

Sebagai suatu informasi penting tentang kerasionalan peresepan obat agar senantiasa mengutamakan kebutuhan pasien dalam penyembuhan penyakit.

1.6.2 Bagi Penulis

Sebagai suatu sarana untuk mendapatkan pengalaman yang sesungguhnya tentang peresepan dokter spesialis paru dan sebagai cermin buat penulis untuk dapat memberi yang terbaik dalam pelayanan di masyarakat kelak sesuai dengan ilmu dan latar belakang pendidikan penulis.

1.6.3 Bagi Akademik

Sebagai referensi dalam penulisan skripsi selanjutnya.

(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Apotek

Dalam bahasa Belanda, apotek disebut apotheek, yang berarti tempat menjual atau meramu obat. Apotek berasal dari bahasa Yunani yaitu apotheca yang secara harfiah berarti “penyimpanan”. Apotek juga merupakan tempat apoteker melakukan praktik profesi farmasi (Bogadenta, 2012).

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, yang dimaksud dengan apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukannya praktik kefarmasian oleh Apoteker. Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Pengaturan standard pelayanan kefarmasian di Apotek bertujuan untuk: meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian, menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian, dan melindungi pasien dan masyarakat dari peggunaan Obat yang tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien.

Secara umum apotek mempunyai dua fungsi yaitu memberikan layanan kesehatan, sekaligus sebagai tempat usaha yang menerapkan prinsip laba. Dengan kata lain, apotek merupakan perwujudan dari praktik kefarmasian yang berfungsi melayani kesehatan masyarakat sambil mengambil keuntungan secara finansial.

Kedua fungsi tersebut bisa dijalankan secara beriringan. Meskipun sesungguhnya

(21)

mencari laba, namun apotek tidak boleh mengesampingkan peran utamanya dalam melayani kesehatan masyarakat (Bogadenta, 2012).

2.2 Beberapa Penyakit Paru-paru dan Gejalanya

Paru-paru adalah organ yang berperan dalam sistem pernafasan, dimana terdapat pertukaran oksigen dan juga pertukaran karbondioksida di dalam darah.

Proses pergantian oksigen dengan karbondioksida tersebut dinamakan dengan respirasi. Karena itulah Paru-paru adalah organ yang sangat penting bagi manusia.

Apabila fungsi paru-paru mengalami gangguan karena satu dan lain hal, maka otomatis sangat berpengaruh bagi kesehatan manusia dan harus ditangani dengan seksama. Berikut adalah beberapa penyakit paru lengkap dengan penyebab dan penanggulangannya yang dikutip dari data Kementrian Kesehatan Republik Indonesia direktorat pencegahan dan pengendalian penyakit tidalk menular (Direktorat P2PTM). Penyakit yang menyerang paru-paru sangatlah beragam dan semua jenis penyakit paru-paru bisa membahayakan kesehatan manusia. Berikut beberapa jenis penyakit paru-paru (ada yang menular) dan ada yang tidak menular yang patut diketahui.

2.2.1 Tuberkulosis (TBC)

a. Penyebab: Penyakit TBC dapat menular melalui percikan ludah saat penderita bersin atau batuk. Penyebabnya adalah bakteri Mycobacterium tuberculosis.

b. Gejala: batuk berdahak lebih dari 3 minggu, juga dapat disertai batuk berdarah.

Selain itu penderita biasanya mengalami demam pada sore dan pagi hari, pada

malam hari akan berkeringat. Nafsu makanpun menurun.

(22)

c. Pencegahan dan solusi: jika teman atau keluarga anda mengalami gejala di atas, segera lakukan pemeriksakan ke dokter untuk memastikan apakah memang TBC

2.2.2 Kanker Paru-paru

a. Penyebab: asap rokok, adalah penyebab utama kanker paru-paru. Bukan hanya perokok aktif saja yang dapat terkena kanker paru-paru akan tetapi perokok pasif juga mempunyai resiko terserang kanker paru-paru, bahkan persentasenya lebih besar dibanding dengan perokok aktif. Kanker paru-paru dapat disebabkan stres , radiasi radioaktif dan bahan kimia beracun.

b. Gejala: sakit pada dada, batuk berdarah, sesak napas, berat badan menurun, mudah lelah. Seperti kanker lainnya, gejala umumnya baru terlihat saat kanker sudah tumbuh besar atau telah menyebar.

c. Pencegahan dan solusi: hindari rokok dan asap rokok, dan memakan makanan yang mengandung antioksidan yang dapat mencegah tumbuhnya sel kanker.

2.2.3 Bronkitis

a. Penyebab: salah satu penyebabnya adalah infeksi bakteri, kuman, atau virus.

Penyebab lainnya adalah asap rokok, debu atau polutan udara.Bronkitis merupakan penyakit peradangan pada bronkus (saluran yang membawa udara menuju paru-paru).

b. Gejala: jika penyebabnya addisebabkan infeksi kuman gejalanya batuk disertai

dengan demam dan dahak berwarna kuning. Sedangkan jika sudah kronis

dapat terjadi batuk berdahak serta sesak napas selama berbulan-bulan bahkan

beberapa tahun.

(23)

c. Pencegahan dan solusi: meningkatkan daya tahan tubuh dengan mengonsumsi makanan seperti sayur dan buah-buahan. Untuk menghentikan bronkitis kronis menghentikan kebiasaan merokok dan menghindari asap rokok agar tidak menjadi perokok pasif.

2.2.4 Emfisema

a. Penyebab: penyakit ini penyebab utamanya adalah asap rokok dan kekurangan enzim Alfa-1 dan hilangnya keelastisan alveolus. Alveolus adalah gelembung- gelembung yang ada dalam paru-paru. Penderita penyakit emfisema volume paru-parunya lebih besar dibanding dengan orang yang normal.

b. Gejala: nafsu makan sehingga berat badanpun menurun, sesak napas dalam waktu yang lama dan tidak dapat diatasi dengan obat yang digunakan penderita asma.

c. Pencegahan dan solusi: hindari rokok dan asap rokok.

2.2.5 Asma

a. Penyebab: disebabkan oleh penyempitan sementara pada saluran pernapasan (pembuluh tenggorokan) yang menyebabkan penderita sulit bernapas..

Penyakit Asma juga disebabkan faktor keturunan, perubahan suhu, debu, dan kelembaban, gerak badan yang berlebih atau ketegangan emosi.

b. Gejala: sulit bernapas disertai suara mengi.

c. Pencegahan dan solusi: hindari hal-hal yang dapat menyebabkan alergi pada

penderita.

(24)

2.2.6 Pneumonia

a. Penyebab: infeksi jaringan paru (parenkim) yang disebabkan oleh bakteri, virus, atau jamur. Umumnya disebabkan oleh bakteri - bakteri Mycoplasma pneumoniae dan Streptokokus .

b. Gejala: batuk berdahak, dahak berwarna kuning dan kental, sesak napas disertai dengan demam dan sakit pada dada.

c. Pencegahan dan solusi: menjaga kebersihan dan tingkatkan daya tahan tubuh..

Biasakan mencuci tangan, berolahraga secara teratur dan makan makanan bergizi.

2.3 Obat

Obat adalah bahan atau zat yang dipergunakan oleh manusia untuk mengobati suatu penyakit tertentu. Obat adalah racun atau zat kimia baik dari alam maupun sintesis yang apabila salah dalam penggunaan atau tidak sesuai dosis takaran dapat mengakibatkan hal hal yang tidak diinginkan tetapi dalam dosis tertentu dapat menghilangkan, mengurangi atau mengobati penyakit (Siregar, 2016).

Defenisi yang lebih lengkap, obat adalah bahan atau paduan bahan-bahan,

yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau

keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan,

pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi termasuk produk biologi

(Kemenkes RI, 2008).

(25)

2.3.1 Obat generik

Obat generik adalah obat dengan nama resmi yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia atau buku standar lainnya untuk zat berkhasiat yang dikandungnya. Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah, Pemerintah daerah wajib menyediakan obat generik untuk kebutuhan pasien rawat jalan dan rawat inap dalam bentuk formularium. Obat paten adalah obat yangmasih memiliki hak paten. Obat Generik Bermerek adalah obat generik dengan nama dagang yang menggunkan nama milik produsen obat yang bersangkutan (Kemenkes, 2010).

Obat generik di indonesia dibuat sesuai dengan standar Indonesia dan dijamin oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Jika dibandingkan dengan obat paten, obat generik memiliki harga yang jauh lebih murah karena tidak terdapat biaya promosi yang setinggi obat paten. Hal ini mengakibatkan obat generik kurang dikenal masyarakat, padahal memiliki efektivitas yang sama karena bahan baku dan teknologi produksi yang sama dengan obat paten.

Penetapan harga obat Paten biasanya mengikuti harga pokok obat paten dari pabrik penemu obat yang sama yang memperhitungkan pengembalian inbestasi untuk penelitian obat baru, sedangkan obat generik tidak (Pane, 1998).

2.3.2 Obat Esensial Nasional

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

312/Menkes/IX/2013 tentang Daftar Obat Esensial Nasional 2013, yang dimaksud

dengan Obat Esensial adalah obat terpilih yang paling dibutuhkan untuk

pelayanan kesehatan mencakup upaya diagnosis, propilaksis, terpi dan

rehabilitasi, yang diupayakan tersedia pada unit pelayanan kesehatan sesuai

dengan fungsi dan tingkatnya. Manfaat penggunaan DOEN :

(26)

1. Memberi keleluasaan bagi dokter utuk memilih obat yang tepat bagi pasien 2. Rasionalisme dalam peresepan

3. Menjamin ketersediaan obatbagi masyarakat 4. Memudahkan dokter memilih obat

5. Menyediakan Obat dengan harga yang ekonomis dan terjangkau oleh setiap lapisan masyarakat

6. Menghindari tindakan pemberian obat paten tertentu secara terus menerus kepada pasien

7. Memberikan gambaran anggaran penggunaa obat bagi instansi-instansi seperti rumah sakit, puskesmas, dll.

Dinas Kesehatan Kabupaten/ kota wajib menyediakan obat esensial dengan nama generik untuk kebutuhan puskesmas dan unit pelaksanaan teknis lain di wilayahnya. Instalasi Farmasi Rumah Sakit wajib mengelola obat rumah sakit secara berdaya guna dan berhasil guna. Apotek wajib menyediakan Obat Esensial dengan nama Generik.

2.3.3 Antibiotik

Antibiotik adalah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba, terutama fungi, yang dapat menghambat atau dapat membasmi mikroba jenis lain. Banyak antibiotik dewasa ini dibuat secara semisintetik atau sintetik penuh. Namun dalam praktek sehari-hari Anti Mikroba sintetik yang tidak diturunkan dari produk mikroba (misalnya sulfonamid dan kuinolon) juga sering digolongkan antibiotik (Setiabudy, 2012).

Umumnya tubuh berhasil mengeliminasi bakteri dengan respon imun yang

dimiliki, tetapi bila bakteri lebih cepak berkembangbiak dari pada respon imun

(27)

tersebut, maka infeksi akan terjadi. Jika infeksi terjadi maka antibiotik lah yang digunakan untuk mengatasinya. Antibiotik dapat bersifat bakteriostatik ( mencegah berkembangbiaknya bakteri dan bakterisid (membunuh bakteri) (Kemenkes RI, 2011).

Antibiotik dapat dikelompokkan berdasarkan mekanisme kerjanya yaitu :

1. Antibiotik yang menghambat sintesis atau merusak dinding sel bakteri. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah golongan, penisilin, sefalosporin, monobaktam,, karbapenem, inhibitor beta laktamase, basitrasin dan vankomisin ( Kemenkes RI, 2011).

2. Antibiotik yang memodifikasi atau menghambat sintesis protein, yang termasuk dalam kelompok ini adalah aminoglikosid, kloramfenikol, tetrasiklin, mkrolida, (eritromisin, azitromisin,, klaritromisin,), klindamisin, mupirosin, dan spektinomisin ( Kemenkes,RI 2011).

3. Antibiotik yang menghambat enzim-enzim esensial dalam metabolisme folat, yang termasuk dalam kelompok ini adalah sulfonamid dan trimetoprim yang mana keduanya bersifat bakteriostatik ( kemenkes, 2011)

4. Antibiotik yang mempengaruhi sintesis atau metabolisme asam nukleat, misalnya kuinolon (asam nalidiksat dan Fluorokuinolon), nitrofuran ( nitrofurantoin, furazolidin, dan nitrofurazon)

2.4 Peresepan Obat 2.4.1 Defenisi Resep

Resep adalah permintaan tertulis dari seorang dokter, dokter gigi, dokter

hewan yang diberi izin berdasarkan peraturan perundangan-undangan yang

(28)

berlaku kepada Apoteker pengelola Apotek (APA) untuk menyiapkan dan atau membuat, meracik serta menyerahkan obat kepada pasien. Resep asli tidak boleh diberikan kembali setelah obatnya di ambil oleh pasien, hanya dapat diberikan copy resep atau Salinan resepnya. Resep asli tersebut harus disimpan di apotek dan tidak boleh diperlihatkan kepada orang lain kecuali diminta oleh :

1. dokter yang menulisnya atau yang merawatnya, 2. pasien yang bersangkutan,

3. pegawai (kepolisian, kehakiman, kesehatan) yang ditugaskan untuk memeriksa 4. yayasan dan lembaga lain yang menanggung biaya pasien

Resep adalah permintaan tertulis dari seorang dokter, dokter gigi, kepada apoteker, baik dalam bentuk paper atau electrinic untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan yang berlaku (Kemenkes RI, 2014).

Resep disebut juga Formulae Medicae terdiri atas: Formulae Officinalis, yaitu resep yang tercantum dalam buku farmakope atau buku lainnya dan Formulae magistralis, yaitu resep yang ditulis oleh dokter ( Syamsuni, 2002).

Untuk keamanan penggunaan obat dibagi dalam beberapa golongan. Secara garis besar dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu obat bebas (OTC= Other Of the Counter) dan Ethical (Obat keras, psikotropika, dan narkotika), harus dilayani dengan dengan resep dokter. Jadi sebagian obat tidak dapat diserahkan langsung kepada pasien atau masyarakat, tetapi harus melalui resep dokter (on medical prescription only). Dalam sistem distribusi obat nasional eran dokter sebagai

“medical care” dan alat kesehatan ikut mengawasi penggunaan obat oleh

masyarakat, apotek sebagai organ distributor terdepan berhadapan langsung

(29)

dengan masyarakat atau pasien dan apoteker berperan sebagai “pharmaceutical care” dan informan obat serta melakukan pekerjaan kefarmasian di apotek. Dalam sistem pelayanan kesehatan masyarakat, kedua profesi ini harus berada dalam satu team yang solid dengan tujuan yang sama yaitu menyembuhkan pasien (Jas, 2007).

Peresepan atau penulisan resep artinya mengaplikasikan pengetahuan memberikan obat kepada pasien melalui kertas resep sesuai dengan kebutuhan, sekaligus permintaan secara tertulis kepada apoteker di apotek agar obat diberikan sesuai dengan permintaan. Pihak apotek berkewajiban melayani secara cermat, memberi informasi terutama yang menyangkut dengan penggunaan dan mengoreksinya supaya tidak terjadi kesalahan dalam pemberian obat. Tujuan Penulisan Resep adalah:

1. Memudahkan dokter dalam pelayanan kesehatan dibidang farmasi/obat.

2. Meminimalkan kesalahan dalam pemberian obat.

3. Terjadi kontrol silang (cross check) dalam pelayanan dibidang farmasi/obat.

4. Instalasi farmasi/ apotek wajib bukanya lebih panjang dalam pelayanan dibandingkan dengan praktik dokter

5. Dituntut peran dan tanggung jawab dokter dalam pengawasan distribusi obat kepada masyarakat.

6. Pemberian obat lebih rasional.

7. Peyanana lebih berorientasi kepada pasien (patient oriented) dan

menghindarkan material oriented.

(30)

2.4.2 Peresepan Obat berdasarkan World Health Organization

Indikator yang ditetapkan WHO dalam pelayanan kesehatan dibedakan menjadi tiga indikator yaitu: Indikator Peresepan, Indikator pelayanan Pasien, Indikator Fasilitas Kesehatan. Pada penelitian ini, penulis membahas tentang pelayanan kesehatan dalam hal peresepan obat dengan menggunakan Indikator Peresepan WHO, yang terdiri dari:

1. Rata-rata jumlah item obat tiap lembar resep obat 2. Persentase peresepan obat dengan nama generik 3. Persentase peresepan antibiotik

4. Persentase peresepan sediaan injeksi

5. Persentase peresepan obat dari daftar obat esensial atau formularium.

2.4.3 Perhitungan untuk masing masing indikator peresepan 1.Rata-rata jumlah obat per pertemuan (C)

Pertama Hitung total pertemuan (total resep)... A, lalu hitung total obat yang diresepkan dari seluruh resep... (B), maka rata-rata jumlah obat per pertemuan Rumus : C= B/A

2. Persentase peresepan obat dengan nama generik (E)

Hitung jumlah obat yg diresepkan dengan nama generik (D), lalu bagi dengan total obat yang diresepkan (B) kalikan dengan 100

Rumus : % Peresepan dengan nama generik... E= (D/B)x 100% (WHO,1993) 3. Persentase Pertemuan dengan antibiotik yg diresepkan (G)

Hitung jumlah resep yang memiliki antibiotik dari total pertemuan (F), lalu

bagikan dengan Total pertemuan (total resep).... A lalu dikalikan dengan 100

Rumus : % Antibiotik ... G= (F/A) x 100% (WHO,1993)

(31)

4. Persentase Pertemuan dengan injeksi yg diresepkan (I)

Hitung total resep injeksi dari total pertemuan (resep)...H.... lalu bagikan dengan total pertemuan(total resep)...A lalu dikalian dengan 100%

Rumus : % Injeksi... I= (H/A) x 100% (WHO,1993)

5. Persentase dari obat yang diresepkan berdasarkan daftar obat esensial/

formularium ...(K)

Hitung total obat dari daftar obat esensial (J), lalu bagikan dengan total obat yang diresepkan dari semua resep (B) kalikan dengan 100

Rumus: % Obat dari daftar obat esensial ... K=(J/B)x 100%

(WHO,1993)

Menurut World Health Organization (WHO) dilakukan penghitungan jumlah item obat tiap lembar resep obat adalah untuk mengetahui tingkat polifarmasi. Nilai standard untuk indikator ini adalah 1,6-1,8. Pengukuran dengan menggunakan indikator Persentase peresepan Obat dengan nama generik adalah bertujuan untuk mengetahui kecenderungan peresepan obat dengan nama generik.

Nilai Standar WHO adalah 100 %. Pengukuran dengan menggunakan indikator persentase peresepan antibiotik adalah bertujuan untuk mengukur penggunaan antibiotik karena antibiotik sering digunakan secara berlebihan sehingga dapat dapat menyebabkan kerugian, salah satunya resistensi. Nilai standard yang ditetapkan WHO adalah 20,0%-26,8%. Pengukuran dengan menggunakan indikator peresepan sediaan injeksi adalah bertujuan untuk mengukur penggunaan injeksi pada pasien. Nilai standard yang ditetapkan WHO adalah 13,4% -24,1 %.

Pengukuran dengan mengunakan indikator persentase peresepan obat yang sesuai

dengan daftar obat esensial nasional adalah untuk mengetahui sejauh mana

(32)

pelaksanaan peresepan obat menggunakan obat yang terdapat dalam daftar obat esensial nasional (DOEN). Nilai standard untuk indikator ini adalah 100 % (Isah, 1997).

2.4.4 Penggunaan Obat yang Rasional

WHO memperkirakan bahwa lebih dari separuh dari seluruh obat di dunia diresepkan, diberikan dan dijual dengan cara yang tidak tepat dan separuh dari pasien menggunakan obat secara tidak tepat. Secara praktis penggunaan Obat yang rasional jika memenuhi kriteria:

a. Tepat Diagnosis

Penggunaan obat disebut rasional jika diberikan untuk diagnosis yang tepat. Jika diagnosis tidak ditegakkan dengan benar, maka pemilihan obat akan terpaksa mengacu pada diagnosis yang keliru tersebut. Akibatnya obat yang diberikan juga tidak akan sesuai dengan indikasi yang seharusnya (Kemenkes RI, 2011).

b. Tepat Indikasi Penyakit

Setiap obat memiliki spektrum terapi yang spesifik. Antibiotik, misalnya diindikasikan untuk infeksi bakteri. Dengan demikian, pemberian obat ini hanya dianjurkan untuk pasien yang memberi gejala adanya infeksi bakteri (Kemenkes RI, 2011)

c. Tepat Pemilihan Obat

Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis

ditegakkan dengan benar. Dengan demikian, obat yang dipilih harus yang

memiliki efek terapi sesuai dengan spektrum penyakit. Contoh: Gejala demam

terjadi pada hampir semua kasus infeksi dan infl amasi. Untuk sebagian besar

(33)

demam, pemberian parasetamol lebih dianjurkan, karena disamping efek antipiretiknya, obat ini relatif paling aman dibandingkan dengan antipiretik yang lain. Pemberian antiinflamasi non steroid (misalnya ibuprofen) hanya dianjurkan untuk demam yang terjadi akibat proses peradangan atau inflamasi (Kemenkes RI, 2011)

d. Tepat Dosis

Dosis,cara dan lama pemberian obat sangat berpengaruh terhadap efek terapi obat. Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat yang dengan rentang terapi yang sempit, akan sangat beresiko timbulnya efek samping.

Sebaliknya dosis yang terlalu kecil tidak akan menjamin tercapainya kadar terapi yang diharapkan(Kemenkes RI, 2011)

e. Tepat Cara Pemberian

Obat Antasida seharusnya dikunyah dulu baru ditelan. Demikian pula antibiotik tidak boleh dicampur dengan susu, karena akan membentuk ikatan, sehingga menjadi tidak dapat diabsorpsi dan menurunkan efektivtasnya (Kemenkes RI, 2011)

f. Tepat Interval Waktu

Pemberian Cara pemberian obat hendaknya dibuat sesederhana mungkin

dan praktis, agar mudah ditaati oleh pasien. Makin sering frekuensi pemberian

obat per hari (misalnya 4 kali sehari), semakin rendah tingkat ketaatan minum

obat. Obat yang harus diminum 3 x sehari harus diartikan bahwa obat tersebut

harus diminum dengan interval setiap 8 jam (Kemenkes RI, 2011)

(34)

g. Tepat lama pemberian

Lama pemberian obat harus tepat sesuai penyakitnya masing-masing.

Untuk Tuberkulosis dan Kusta, lama pemberian paling singkat adalah 6 bulan.

Lama pemberian kloramfenikol pada demam tifoid adalah 10-14 hari. Pemberian obat yang terlalu singkat atau terlalu lama dari yang seharusnya akan berpengaruh terhadap hasil pengobatan (Kemenkes RI, 2011)

f. Waspada terhadap efek samping

Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi, karena itu muka merah setelah pemberian atropin bukan alergi, tetapi efek samping sehubungan vasodilatasi pembuluh darah di wajah. Pemberian tetrasiklin tidak boleh dilakukan pada anak kurang dari 12 tahun, karena menimbulkan kelainan pada gigi dan tulang yang sedang tumbuh (Kemenkes RI, 2011)

h. Tepat penilaian kondisi pasien

Respon individu terhadap efek obat sangat beragam. Hal ini lebih jelas terlihat pada beberapa jenis obat seperti teofi lin dan aminoglikosida. Pada penderita dengan kelainan ginjal, pemberian aminoglikosida sebaiknya dihindarkan, karena resiko terjadinya nefrotoksisitas (Kemenkes RI, 2011).

i. Obat harus efektif, aman, bermutu, terjangkau, serta tersedia setiap saat

Untuk efektif dan aman serta terjangkau, digunakan obat-obat dalam daftar

obat esensial. Pemilihan obat didahulukan dengan mempertimbangkan efektivitas,

keamanan dan harganya. Untuk jaminan mutu, obat perlu diproduksi oleh

produsen yang menerapkan CPOB dan dibeli melalui jalur resmi. Semua produsen

obat di Indonesia harus dan telah menerapkan CPOB (Kemenkes RI, 2011)

(35)

j. Tepat informasi

Informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangat penting dalam menunjang keberhasilan terapi, contoh: Peresepan rifampisin akan mengakibatkan urine penderita berwarna merah. Jika hal ini tidak diinformasikan, penderita kemungkinan besar akan menghentikan minum obat karena menduga obat tersebut menyebabkan kencing disertai darah. Padahal untuk penderita tuberkulosis, terapi dengan rifampisin harus diberikan dalam jangka panjang.

Peresepan antibiotik harus disertai informasi bahwa obat tersebut harus diminum sampai habis selama satu kurun waktu pengobatan (1 course of treatment), meskipun gejala-gejala klinik sudah mereda atau hilang sama sekali. Interval waktu minum obat juga harus tepat, bila 4 kali sehari berarti tiap 6 jam. Untuk antibiotik hal ini sangat penting, agar kadar obat dalam darah berada di atas kadar minimal yang dapat membunuh bakteri penyebab penyakit (Kemenkes RI, 2011) k. Tepat tindak lanjut (follow-up)

Pada saat memutuskan pemberian terapi, harus sudah dipertimbangkan

upaya tindak lanjut yang diperlukan, misalnya jika pasien tidak sembuh atau

mengalami efek samping. Sebagai contoh, terapi dengan teofilin sering

memberikan gejala takikardi. Jika hal ini terjadi, maka dosis obat perlu ditinjau

ulang atau bisa saja obatnya diganti. Demikian pula dalam penatalaksanaan syok

anafilaksis, pemberian injeksi adrenalin yang kedua perlu segera dilakukan, jika

pada pemberian pertama respons sirkulasi kardiovaskuler belum seperti yang

diharapkan (Kemenkes RI, 2011).

(36)

l. Tepat penyerahan obat (dispensing)

Penggunaan obat rasional melibatkan juga dispenser sebagai penyerah obat dan pasien sendiri sebagai konsumen. Pada saat resep dibawa ke apotek atau tempat penyerahan obat di Puskesmas, apoteker/asisten apoteker menyiapkan obat yang dituliskan peresep pada lembar resep untuk kemudian diberikan kepada pasien. Proses penyiapan dan penyerahan harus dilakukan secara tepat, agar pasien mendapatkan obat sebagaimana harusnya. Dalam menyerahkan obat juga petugas harus memberikan informasi yang tepat kepada pasien (Kemenkes RI, 2011).

m. Pasien patuh terhadap perintah pengobatan yang dibutuhkan Ketidaktaatan minum obat umumnya terjadi pada keadaan berikut:

- Jenis dan/atau jumlah obat yang diberikan terlalu banyak - Frekuensi pemberian obat per hari terlalu sering

- Jenis sediaan obat terlalu beragam

- Pemberian obat dalam jangka panjang (Kemenkes RI, 2011).

(37)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah survey deskriptif dengan metode retrospektif yaitu penelitian yang berusaha melihat kebelakang (backward looking) artinya pengumpulan data dimulai dari efek atau akibat yang telah terjadi (Notoatmodjo, 2012).

3.2 Sumber Data Penelitian

Sumber data penelitian adalah resep Dokter Spesialis Paru yang diperoleh dari Apotek-apotek di Kota Medan.

3.3 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2017 s/d Agustus 2017 yang dilakukan dengan cara mengumpulkan resep dari 6 Apotek di kota Medan. Resep yang dikumpulkan adalah resep pasien sejak Bulan Maret 2017 s/d Mei 2017.

3.4 Populasi dan Sampel 3.4.1 Populasi

Populasi adalah wilayah generalisai yang terdiri atas objek/subyek yang

mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk

dipelajaridan kemudian ditarik kesimpulannya. Populasi bukan hanya orng, tetapi

juga obyek dan benda-benda alam yang lain (Sugiyono 2010). Populasi dalam

(38)

penelitian ini adalah seluruh resep yang dikumpulkan dari 6 Apotek di kota Medan yaitu resep mulai bulan Maret 2017 s/d Mei 2017.

3.4.2 Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Pengambilan sampel secara purposive didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri, berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya ( Notoatmodjo, 2012).

Pada penelitian ini sampel adalah seluruh resep obat Dokter Spesialis Paru periode Maret s/d Mei 2017 yang diperoleh dari 6 Apotek di Kota Medan yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria Inklusi adalah semua resep obat dokter spesialis Paru yang dapat dibaca oleh penulis. Kriteria eksklusi adalah semua resep obat dokter Spesialis Paru yang tidak dapat dibaca oleh penulis.

3.5 Pengumpulan Data

Data diambil dari seluruh resep obat Dokter Spesialis Paru di Apotek Kota Medan periode Maret s/d Mei 2017.

3.6 Pengolahan Data

Adapun pengolahan data dalam penelitian ini adalah:

a. Menghitung rata-rata item obat per pertemuan

b. Menghitung persentase persepan dengan nama generik

c. Menghitung persentase pertemuan dengan antibiotik yang diresepkan

d. Menghitung persentase pertemuan dengan injeksi yang diresepkan

(39)

e. Menghitung persentase peresepan dari daftar obat esensial

3.7 Prosedur Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan dengan langkah-langkah seperti berikut:

1. Meminta Rekomendasi Dekan Fakultas Farmasi USU untuk dapat melakukan penelitiandi di Kota Medan.

2. Mengurus Surat Izin dari Dinas Kesehatan Kota Medan, untuk melakukan penelitian.

3. Menghubungi 6 pemilik apotek di kota Medan untuk mendapatkan izin melakukan penelitian dan pengambilan data, dengan membawa surat rekomendasi dari IAI dan Surat Izin dari Dinas Kesehatan.

4. Mengumpulkan resep obat periode Maret s/d Mei 2017 dari 6 Apotek di Kota Medan, lalu difotokopi.

5. Memisahkan resep- resep obat Dokter Spesialis Paru. Menganalisis data dari resep yang diperoleh sehingga didapatkan kesimpulan dari penelitian.

3.8 Defenisi operasional

1. Antibiotik adalah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba, terutama fungi, yang dapat menghambat atau dapat membasmi mikroba jenis lain

2. Obat generik adalah obat dengan nama resmi yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia atau buku standar lainnya untuk zat berkhasiat yang dikandungnya (Kemenkes RI, 2010).

3. Obat paten adalah obat yangmasih memiliki hak paten (Kemenkes RI, 2010 ).

(40)

4. Obat Generik Bermerek adalah obat generik dengan nama dagang yang menggunkan nama milik produsen obat yang bersangkutan (Kemenkes, 2010).

5. Daftar Obat Esensial Nasional ( DOEN) merupakan daftar Obat terpilih yang paling dibutuhkan dan harus tersedia di unit Pelayanan Kesehatan sesuai dengan fungsi dan tingkatnya (Kemenkes RI, 2008)

6. Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi atau suspensi atau serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan lebih dahulu sebelum digunakan, yang disuntikkan dengan merobek jaringan ke dalm kulit atau melalui kulit atau selaput lendir (Anif, 2000)

7. Indikator World Health Organization adalah suatu petunjuk yg dibuat oleh lembaga Kesehatan Dunia yang merupakan suatu standard pelayanan kesehatan .

8. Rata-rata jumlah obat per lembar resep, diperoleh dari total obat yang diresepkan dibagi banyaknya lembar resep yang ada.Nilai standar 1,6-1,8 (Isah, 2004).

9. Persentase peresepan obat dengan nama generik, adalah total obat dengan nama generik yang diresepkan dengan total obat yang diresepkan dikali dengan 100 persen (Isah,2004).

10.Persentase peresepan antibiotik, dihitung dari total resep antibiotik dibagi dengan total obat yang diresepkan dikali 100 persen. Nilai Standar adalah 100% (Isah ,2004).

11.Persentasi peresepan sediaan injeksi, adalah total sediaan injeksi yang diresepkan dibagi dengan total item obat yang diresepkan, dikali 100 persen.

Nilai Standard adalah 13,4%-14,1% (Isah,2004).

(41)

12.Persentase peresepan obat yang sesuai dengan daftar obat esensial atau

formularium adalah obat-obat esensial dengan nama generik dibagi dengan

total item obat yang diresepkan lalu dikali 100 persen .Nilai Standar adalah

100% (Isah, 2004)

(42)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini telah dilakukan pada apotek-potek di kota Medan yang dimulai pada bulan Juli 2017 s/d Agustus 2017. Data resep yang didapat dari 6 Apotek-apotek di Kota Medan adalah sebanyak 905 resep. Jumlah resep yang diresepkan oleh dokter spesialis paru adalah sebanyak 644 resep yang dikumpulkan dari resep bulan Maret s/d Mei 2017.

4.1 Demografi Pasien

Pada penelitian ini diperoleh data pasien dari resep, dengan klasifikasi umur 0-12 tahun 40 orang ( 6,2 %), 13-18 Tahun 12 orang ( 1,9 %) diatas 18 Tahun sebanyak 592 orang (91,93 %). Pasien laki laki sebanyak 327 (50,78 % ) orang dan pasien perempuan sebanyak 317 orang (49,22 %).

4.2 Indikator Peresepan WHO

4.2.1 Rata rata Jumlah Obat yang diresepkan per Pertemuan

Dari hasil penelitian didapat rata-rata jumlah item obat yang diresepkan adalah 3,9 item obat yang diperoleh dari ratio jumlah item obat sebesar 2513 dengan jumlah resep sebesar 644 lembar (dilihat pada tabel 4.1). Hasil ini sangat jauh dari nilai standard yang ditentukan oleh WHO yaitu 1,6-1,8 item per lembar.

Pada penelitian ini, dengan membaca dan menganalisa obat yang dituliskan pada

resep- resep tersebut dapat dilihat bahwa resep terbanyak dari Dokter Spesialis

Paru adalah resep obat TB Paru. Jika hasil penelitian ini dibandingkan dengan

(43)

penelitian pada Rumah Sakit Umum daerah Sleman Yogyakarta didapat rata-rata peresepan adalah 2,16 item per lembar resep (Yuliastuti, 2009).

Pada penelitian lain yang dilakukan di Hawasa University Teaching and Referral Hospital, South Ethiopia, didapat hasil 1,9 yang mana mendekati nilai standard yang ditetapkan WHO (Asefah, 2013).

Tabel 4.1 Rata-rata jumlah obat yg diresepkan per pertemuan (nxb)/b = 3,9 item

No Jumlah obat diresepkan (n)

Jumlah

(b) Nxb Persentase (%)

1 1 57 57 8.9

2 2 63 126 9.8

3 3 123 369 19.1

4 4 182 728 28.1

5 5 128 640 20.1

6 6 51 306 7.9

7 7 33 231 5.1

8 8 6 48 0.9

9 9 1 9 0.2

Total 644 2513 100

4.2.2 Persentase Peresepan Obat dengan nama Generik

Persentase penggunaan Obat dengan Nama Generik yang diresepkan Dokter

Spesialis Paru pada Apotek-apotek di kota Medan didapat hasil sebesar 15,4

persen. Sangat jauh dari nilai standard WHO yaitu 100 %. Hal ini terjadi

dikarenakan bahwa dokter spesialis paru adalah salah satu dokter mandiri,

membuka praktek sendiri. Jika dibandingkan hasil ini dengan hasil beberapa

penelitian sangatlah rendah penggunaan Obat dengan Nama Generik. Pada

penelitian yang dilakukan di RSUD Sleman 68,58 % (Yuliastuti,2009). Penelitian

di Hawasa University Teaching and Referral Hospital, South Ethiopia, didapat

hasil 98,7 % yang mana sangat mendekati nilai rujukan yang ditetapkan WHO

(Asefah, 2013)

(44)

Berdasarkan hasil penelitian dari kedua rumah sakit tersebut penulis melihat bahwa pemakaian obat generik lebih diterapkan di rumah sakit pemerintah.

Dalam Permenkes No 085 Menkes/Per/I/1989 tentang kewajiban menuliskan resep dan /atau menggunakan obat generik di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah. Obat generik adalah obat dengan nama resmi yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia untuk zat berkhasiat yang dikandungnya. Obat paten adalah Obat dengan nama dagang yang menggunakan nama yang merupakan milik produsen obat yang bersangkutan.

4.2.3 Persentase Pertemuan dengan Antibiotik yang diresepkan

Persentase pertemuan dengan obat antibiotik yang diresepkan oleh Dokter Spesialis Paru di apotek-apotek kota Medan periode maret s/d mei 2017 sebesar 31,99%. Hasil ini tinggi jika dibandingkan dengan nilai standar WHO yaitu 20,0- 26,8. Dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit X pada pasien Rawat jalan Jamkesmas, peresepan antibiotik adalah sebesar 23,3% dan hasil dari penelitian di salah satu RS di Ethiopia sbeesar 58,%. Hasil ini berbeda–

beda, hal ini dipengaruhi beberapa hal yaitu keinginan khusus dokter yang meresepkan, pasiennya apakah mereka sendiri menginginkan agar diberi Antibiotik dan juga tergantung dari penyakitnya. Namun demikian Dokter harus tetap mengacu pada indikator WHO agar peresepan obat tepat ( WHO, 1993).

Tabel 4.2. Persentase Pertemuan dengan antibiotik yg diresepkan

No Resep Jumlah

Pertemuan

Persentase (%)

1 Antibiotik 206 31,99

2 Antituberkulosis (Antibiotik Lain)

182 28,26

3 Tanpa Antibiotik 256 39,75

Total 644 100,00

(45)

4.2.4 Persentase Pertemuan dengan sediaan Injeksi yg diresepkan

Persentase peresepan Obat dengan sediaan Injeksi yang diresepkan oleh Dokter Spesialis Paru di Apotek-apotek kota Medan pada Maret s/d Mei 2017 adalah sebesar 0,62 % jauh lebih rendah dari standar WHO yaitu 13,4% -24,1 % Pemakaian injeksi harus dibatasi untuk mengurangi penyebaran penyakit infeksi melalui jarum suntik. Penggunaan injeksi harus steril untuk menghindari infeksi sistemik yang dapat terjadi, karena dapat menyebabkan iritasi lokal ditempat obat disuntikkan. Pada penelitian sebelumnya di salah satu fasilitas kesehatan dikota Bandung , hasil yang didapat adalah 0,41 % (Destiani, 2016). Kedua hasil penelitian ini menunjukkan nilai yang rendah dibanding dengan nilai rujukan WHO, karena penelitian inidilakukan di Apotek, yangmana pasien- pasienadalah rawat jalan.Pengunaan injeksi akanlebih tinggi jika pemantauan dilakukan di rumah sakit, sebagai contoh penelitian di Hawasa University Teaching and Referral Hospital, South Ethiopia, didapat hasil 38,1 % sangat tinggi peresepan injeksi (Asefah, 2013). Injeksi dari penelitian ini antara lain injeksi Kortidex, (25%), Seftriakson injeksi (25%) dan Streptomycin injeksi (50 %). Data penelitian lain, didapat hasil penggunaan injeksi sebesar 6 peresepan dari 317 total pertemuanatau sekitar 1,89 % (Kolasani, 2016).

Tabel 4.3 Persentase Pertemuan dengan injeksi yang diresepkan No Resep Jumlah Resep Persentase(%)

1 Injeksi 4 0,62

2 Non Injeksi 640 99,38

Total 644 100,00

(46)

4.2.5 Persentase peresepan obat dari daftar obat esensial atau formularium Obat Esensial adalah obat terpilih yang paling dibutuhkan untuk pelayanan kesehatan, mencakup upaya diagnosis, profilaksis, terapi dan rehabilitasi, yang diupayakan tersedia di fasilitas kesehatan sesuai dengan fungsi dan tingkatnya (Kemenkes RI, 2013).

Persentase peresepan Obat yang sesuai dengan Daftar Obat Esensial Nasional yang diresepkan oleh Dokter Spesialis Paru di Apotek-apotek kota Medan selama Maret s/d Mei 2017 adalah 10,19 %. Nilai rujukan yang ditetapkan WHO yaitu 100 %. Dari hasil ini dilihat bahwa penggunaan obat masih banyak yang kombinasi dan yang tidak dicantumkan dalam Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN). Di rumah sakit diwajibkan ada Formularium Rumah Sakit yang pembuatannya merujuk kepada Daftar Obat Esensial. Pada penelitian yang dilakukan yuliastuti dkk di RSUD Sleman Yogyakarta didapat hasil penggunaan obat DOEN sebesar 99,81 %. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Asefah A.D 2013 di Hawasa University Teaching and Referral Hospital, South Ethiopia dengan hasil 96,6 %.

Seluruh hasil Penilaian Peresepan Obat dokter Spesialis Paru dengan indikator WHO di Apotek Kota Medan dapat dilihat pada Tabel 4.4

Tabel 4.4 Rekapitulasi penilaian peresepan Obat Dokter Spesialis Paru

No Indikator Peresepan WHO

Total

peresepan Persentase Nilai standar 1 Rata-rata item obat per

lembar resep 2513 3,9 1,6-1,8

2 Persentase peresepan Obat

dengan nama Generik 387 15,40 % 100.0

3 Persentase pertemuan

dengan resep antibiotik 206 31,99% 20,0-26-8

Persentase pertemuan

(47)

5

Persentase peresepan obat dari daftar obat esensial atau formularium

256 10,19% 100,0

4.3 Penggolongan obat yang diresepkan

Di Indonesia umumnya penggolongan obat ada 5 :

a. Obat bebas adalah obat yangdapat dibeli dengan bebas, dan tidak berbahaya bagi si pemakai dalam batas dosis yang dianjurkan, diberi tanda lingkaran bulat berwarna hijau dengan garis tepi hitam.

b. Obat bebas terbatas (daftar W= waarschuwing ,artinya peringatan), adalah obat keras yang dapat diserahkan tanpa resep dokter dalam bungkus aslinyadari pabrik diberi tanda lingkaran biru dengan garis tepi hitam serta diberikan tanda peringatan (P. No 1 s/d 6,misal P No. 1 Awas obat keras, baca aturan pakai).

c. Obat Keras (daftar G= Geverlijk= berbahaya), adalah obat yang

- mempunyai dosis maksimum, atau yang tercantum dalam daftar obat keras yang ditetapkan pemerintah.

- diberi tanda khusus lingkaran bulat berwarna merah dengan garis tepi hitam dan huruf “ K” yang menyentuh garis tepinya.

- semua obat baru, kecuali dinyatakan oleh pemerintah membahayakan - semua sediaan parenteral/injeksi/infusintravena

d. Narkotika(Obat bius daftar O= opium adalah obat-obat yang dapat menyebabkan ketagihan

e Psikotropika (Obat berbahaya) adalah obat yang merangsang atau

menenangkan, mengubah pikiran atauperasaan seseorang (Syamsuni,

(48)

Pada penilaian peresepan ini antituberkulosis tidak diikutsertakan dalam penghitungan persentaseantibiotik, karena dari data WHO antituberkulosis ini digolongkan antibiotika lain, yang mana pemakaiannya adalah kombinasi antibiotik tertentu. Yang dimaksud dengan antibiotik dalam indikator peresepan tersebut adalah antibiotik yang cukup sensitif bukan yang kombinasi ( WHO, 1993). Data menunjukkan bahwa resep terbanyak dari dokter spesialis paru ini adalah resep Antibiotik, yaitu sebanyak 684 peresepan. Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan di salah satu rumah sakit, obat yang paling banyak diresepkan adalah antioksidan, vitamin dan mineral yaitu 116 peresepaan dari total 317 resep sekitar 32,40 % (Kolasani, 2016)

Selain antibiotik, dokter juga meresepkan beberapa golongan obat lainnya.dapat dilihat pada Tabel 4.5 berikut.

Tabel 4.5 Obat yang diresepkan Dokter Spesialis Paru

No Golongan Jumlah Resep Persentase %)

1 Antibiotik 684 27,22

2 Vitamin 303 12,1

3 Antitusif/Eks 264 10,5

4 Antiasma 244 9,7

5 Antasida/Ulkus 205 8,2

6 Antihistamin 200 8,0

7 Kortikosteroid 180 7,16

8 Topikal 109 4,3

9 Analgetik/Antipiretik 104 4,14

10 Antiemetik 66 2,6

11 Diuretik 30 1,2

12 Antiansietas 26 1,0

13 Antidiabetik 26 1,0

14 Antihipertensi 21 0,8

15 Antivertigo 8 0,3

16 Kolesterol 6 0,2

17 Relaksan Otot 4 0.2

18 Probiotik 4 0,2

19 Antispasmodik 2 0,1

(49)

21 Antiepilepsi 2 0,1

22 Antiplatelet 2 0,1

Total 2513 100

Antibiotik terbanyak adalah antibiotik Rifampisin (120), Isoniazid (91), Ethambutol (67) dan Pirazinamid (57), dapat dilihat pada tabel 3.3. Keempat antibiotik ini adalah digunakan untuk obat TB Paru. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis. Dari data ini dapat pahami bahwa pasien dokter spesialis paru di apotek- apotek kota Medan adalah pasien TB paru. Obat obat Tuberkulosis digolongkan atas dua kelompok yaitu kelompokok obat lini pertama dan obat lini kedua. Kelompok Obat lini pertama adalah isoniazid, rifampisin, ethambutol, streptomisin dan pirazinamid. Anti tuberkulosis lini kedua adalah antibiotik golongan fluorokuinolon (siprofloxasin, ofloxasin, levofloxasin) sikloserin, etionamid, amikasin, kanamisin, kapreomisin, dan paraaminosalisilat (Istiantoro, 2012).

Pada penelitian sebelumnya di salah satu fasilitas kesehatan di Bandung, antibiotik yang sering digunakan adalah Amoksisillin dengan jumlah pengguna 121 orang, Klindamisin 104 orang dan Sefadroksil 60 orang (Destiani, 2016).

Tabel 4.6. Antibiotik yang diresepkan Dokter Spesialis Paru No Nama Antibiotik Jumlah Persentasi(%)

Antibiotik lain(anti TBC) 460 peresepan

1 Rifampisin 153 22,5

2 Isoniazid 120 17,5

3 Ethambutol 91 13,4

4 Pirazinamid 67 9,8

5 Rifampicin+INH 1 0,1

6 Ethambutol+INH 21 3,1

7 Obat TBC kombinasi 7 1,0

Antibiotik (indikator)

224 peresepan

(50)

2 Sefadroxil 41 6,0

3 Sefixim 40 5,9

4 Siprofloxacin 38 5,6

5 Roxytromisin 12 1.8

6 Amoxicillin 8 1,2

7 Azytromisin 5 0,7

8 Ofloxacin 4 0,6

9 Ketokonazole 4 0,6

10 Streptomycin 2 0,3

11 Neomycin +Fluocinolon 1 0.1

12 Seftriaxon 1 0,1

13 Kloramfenicol 1 0,1

14 Fladiomisin+Gramisidin 1 0,1

15 Gentamisin 1 0,1

16 Oksitetrasiklin 1 0,1

17 Metronidazol 1 0,1

18 Asam Fusidic 1 0,1

19 Klindamisin 1 0,1

Total 684 100

4.4 Bentuk Sediaan yang diresepkan

Bentuk Sediaan yang paling banyak digunakan paling adalah tablet yaitu 1439 resep dari total 2513 dilihat pada tabel 4.5

Tabel 4.5 Obat dalam bentuk sediaan

No Bentuk Sediaan Jumlah resep Persentasi (%)

1 Tablet 1439 57,26

2 Kapsul 440 17,51

3 Syrup 352 14,01

4 Injeksi 4 0,16

5 Salep/Krim 118 4,7

6 Inhaler 134 5,3

7 Kumur 3 0,1

8 Pulvis 23 0,92

Total 2513 100

Sediaan tablet paling banyak diresepkan adalah berdasarkan data, pasien

Dokter spesialis Paru adalah dominan orang dewasa. Penggunaan tablet sangat

praktis dapat dengan mudah dibawa kemana-mana, penyimpanannya lebih mudah.

Gambar

Gambar 1. 1   Skema Kerangka Pikir Penelitian
Tabel 4.1  Rata-rata jumlah obat yg diresepkan per pertemuan (nxb)/b = 3,9 item
Tabel 4.3 Persentase Pertemuan dengan injeksi yang diresepkan  No  Resep  Jumlah Resep  Persentase(%)
Tabel 4.4 Rekapitulasi penilaian peresepan Obat Dokter Spesialis Paru

Referensi

Dokumen terkait

Dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat pengguna akan jasa angkutan udara, maka beberapa pengkalan udara termasuk Pangkalan Udara Husein Sastranegara

Terminal juga merupakan prasarana yang memerlukan biaya besar dan merupakan tempat kemungkinan terjadinya kongesti (kemacetan). Fungsi utama terminal transportasi adalah

bagaimana rasionalitas terapi terhadap pasien rawat jalan penderita malaria falciparum tanpa komplikasi di 6 puskesmas dalam lingkup Dinas Kesehatan Kota Sabang yang

Uji mikrobiologi aktivitas antibakteri sediaan gel ekstrak daun belimbing wuluh dilakukan dengan metode difusi agar yang menggunakan pencadang kertas dengan cara mengukur

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif yang bertujuan menggambarkan sifat dari suatu keadaan secara sistematis yaitu untuk melihat

Manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan informasi tentang formulasi yang tepat dengan metode granulasi basah untuk membuat sediaan tablet effervescent dari

Berdasarkan penjelasan di atas penulis melakukan penelitian tentang penetapan kadar kalium, kalsium, natrium dan magnesium yang terdapat pada bunga nangka betina dan jantan

Penelitian ini menggunakan metode ekstraksi secara maserasi dan metode kromatografi lapis tipis preparatif dengan fase gerak kloroform-metanol-amonia (90:10:1) untuk