EVALUASI TERAPI KOMBINASI DIHYDROARTEMISININ- PIPERAKUIN DAN PRIMAKUIN PADA PASIEN MALARIA FALCIPARUM TANPA KOMPLIKASI DI KOTA SABANG
PROVINSI ACEH SKRIPSI
OLEH:
JHONI MIKRAD NIM 131524029
PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2018
EVALUASI TERAPI KOMBINASI DIHYDROARTEMISININ- PIPERAKUIN DAN PRIMAKUIN PADA PASIEN MALARIA FALCIPARUM TANPA KOMPLIKASI DI KOTA SABANG
PROVINSI ACEH
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara
OLEH:
JHONI MIKRAD NIM 131524029
PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan karunia yang berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “ Evaluasi Terapi Kombinasi Dihydroartemisinin-Piperakuin dan Primakuin pada Pasien Malaria Falciparum tanpa Komplikasi di Kota Sabang Provinsi Aceh ”. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi di Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Prof. Dr. Masfria, M.S., Apt.,
selaku Dekan Fakultas Farmasi yang telah menyediakan fasilitas kepada penulis
selama perkuliahan di Fakultas Farmasi. Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada Ibu Marianne, S.Si., M.Si., Apt., dan Bapak Hari Ronaldo Tanjung, S.Si.,
M.Sc., Apt., yang telah meluangkan waktu dan tenaga dalam membimbing
penulis dengan penuh kesabaran dan tanggung jawab, memberikan petunjuk dan
saran-saran selama penelitian hingga selesainya skripsi ini. Ucapan terima kasih
juga penulis sampaikan kepada Ibu Prof. Dra. Azizah Nasution, M.Sc., Ph.D.,
Apt., selaku ketua penguji, dan Ibu Khairunnisa, S.Si., M.Pharm., Ph.D., Apt.,
selaku anggota penguji yang telah memberikan saran untuk menyempurnakan
skripsi ini, dan Bapak Prof. Dr. Jansen Silalahi., M.App.Sc., Apt., selaku dosen
pembimbing akademik serta Bapak dan Ibu staf pengajar Fakultas Farmasi USU
yang telah banyak membimbing penulis selama masa perkuliahan hingga selesai.
keluarga, Ayahanda Suryadi Idris. Sp., Ibunda Syamsiar, Spd.SD., istriku tercinta Dr.Faklina, buah hatiku Ahmad Syifa Mikraj, dan Adila Syifa Mikraj, adikku Fera Astryana, S.Kel., Muhammad Iqbal, Farhan dan Daffa Fatin, abang-abang iparku, kakak-kakak iparku, dan keponakan-keponakanku atas cinta, kasih sayang, serta dukungannya.
Terima kasih juga penulis ucapkan kepada teman-teman Farmasi Ekstensi angkatan 2013 untuk kebersamaan dan dorongan semangatnya, serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu hingga selesainya penulisan skripsi ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini masih belum sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya di bidang farmasi.
Medan, Juli 2017 Penulis,
Jhoni Mikrad
NIM 131524029
SURAT PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT
Saya yang bertandatangan di bawah ini:
Nama : Jhoni Mikrad
Nomor Induk Mahasiswa : 131524029
Program Studi : S-1 Ekstensi Farmasi
Judul Skripsi : Evaluasi Terapi Kombinasi Dihydroartemisinin- Piperakuin dan Primakuin pada Pasien Malaria Falciparum tanpa Komplikasi di Kota Sabang Provinsi Aceh
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi ini ditulis berdasarkan data dari hasil pekerjaan yang saya lakukan sendiri, dan belum pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar kesarjanaan diperguruan tinggi lain, dan bukan plagiat karena kutipan yang ditulis telah disebutkan sumbernya di dalam daftar pustaka.
Apabila dikemudian hari ada pengaduan dari pihak lain karena di dalam skripsi ini ditemukan plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia menerima sanksi apapun oleh Program Studi Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, dan bukan menjadi tanggung jawab pembimbing.
Demikianlah surat pernyataan ini saya perbuat dengan sebenarnya untuk dapat digunakan jika diperlukan sebagaimana mestinya.
Medan, Juli 2017
Yang membuat pernyataan,
Jhoni Mikrad
NIM 131524029
EVALUASI TERAPI KOMBINASI DIHYDROARTEMISININ- PIPERAKUIN DAN PRIMAKUIN PADA PASIEN MALARIA FALCIPARUM TANPA KOMPLIKASI DI KOTA SABANG PROVINSI
ACEH
ABSTRAK
Malaria ditemukan hampir di seluruh bagian dunia, terutama di negara- negara beriklim tropis dan subtropis termasuk Indonesia. Pengobatan menggunakan klorokuin telah mengalami resistensi sehingga menyebabkan kegagalan terapi malaria. Pada tahun 2004, WHO mencanangkan program penanganan malaria menggunakan kombinasi dihydroartemisinin-piperakuin dan primakuin. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi keberhasilan terapi kombinasi dihydroartemisinin-piperakuin dan primakuin untuk mengatasi penyakit malaria falciparum di Kota Sabang.
Penelitian ini menggunakan metode observasi retrospektif berdasarkan kartu kontrol malaria yang diambil dari tahun 2013 sampai dengan 2015 sebanyak 21 kartu. Data yang diperoleh dari kartu kontrol dianalisis demografinya mencakup umur, jenis kelamin, dan pekerjaan. Kemudian rasionalitas terapi pengobatan malaria meliputi tepat indikasi, tepat dosis, tepat obat, tepat pasien.
Kepatuhan pasien dievaluasi dengan adanya tanda cek list di kartu kontrol yang dilakukan oleh juru malaria lingkungan (JML). Kemudian dianalisis keberhasilan terapi apabila sejak hari ke-4 tidak timbul gejala klinis dan tidak ditemukan parasit pada hari ke-7, sedangkan analisis resistensi jika gejala klinis memburuk atau membaik, namun parasit positif atau timbul kembali pada apusan darah.
Berdasarkan data demografi pasien kelompok umur terbanyak yang menderita penyakit malaria falciparum berada pada kelompok umur ≥15 tahun sebanyak 90,4% dan yang paling sedikit adalah kelompok umur 5-9 tahun sebanyak 9,5% . Jenis kelamin yang paling banyak adalah laki-laki yaitu sebanyak 95,2%, sedangkan responden berjenis kelamin perempuan sebanyak 4,7 %.
Karakteristik pekerjaan yang paling banyak adalah wiraswasta yaitu sebanyak 33,3%. Keseluruhan pasien diterapi dengan menggunakan dihydroartemisinin- piperakuin selama 3 hari, serta dikombinasikan dengan primakuin selama 1 hari.
Maka analisis dari rasionalitas terapi mencapai 100%, kepatuhan pasien minum obat adalah 100%, dan keberhasilan terapi juga 100%, dan tidak adanya kasus resistensi.
Kombinasi dihydroartemisinin-piperakuin dan primakuin berhasil mengobati penyakit malaria falciparum di Kota Sabang.
Kata kunci: malaria falciparum, dihyroartemisinin-piperakuin, primakuin, evaluasi terapi
EVALUATION COMBINATION THERAPY DIHYDROARTEMISININ- PIPERAKUIN AND PRIMAKUIN AT MALARIA FALCIPARUM PATIENTS WITHOUT COMPLICATIONS IN SABANG PROVINCE
ACEH
ABSTRACT
Malaria is found in almost all parts of the world, especially in countries of tropical and subtropical climates, including Indonesia. Treatment with chloroquine had drug resistance causing malaria treatment failure. In 2004, WHO launched a program of treatment of malaria using a combination of dihydroartemisinin-piperaquine and primaquine. Therefore, this study aimed to evaluate the success of combination therapy dihydroartemisinin-piperaquine and primaquine to tackle falciparum malaria in the city of Sabang.
This study used retrospective observational method based malaria control cards were taken from 2013 to 2015 as many as 21 cards. Data obtained from the control cards were used to analyzed demographics include age, gender, and occupation. Then rationality of the therapeutic treatment include precise indication, the right dose, right drug, right patient. The patients compliance was analyzed using a check mark in the card list control by malaria interpreter environment (MIE). Then analyzed the success of therapy if since the 4th day no clinical symptoms and parasites are not found on the 7th day, while analysis of resistance if clinical symptoms worsen or improve, but the parasite positive or recur on a blood smear.
Based on demographic data of patients largest age group suffering falciparum malaria were in patients aged ≥15 years by 90.4 percent, and the least is the age group 5-9 years at 9.5 percent. Sex that most of the men is as much as 95.2 percent, while the female respondents as much as 4,7 percent. Characteristics of the work the most are self-employed is 33.3 percent. Overall patients treated with dihydroartemisinin-piperaquine for 3 days, combined with primaquine for 1 day. Then the analysis of rationality therapy reaches 100 percent, patient adherence to medication is 100 percent, and the success of therapy is also 100 percent, and no cases of resistance .
The combination of dihydroartemisinin-piperaquine and primaquine successfully treat falciparum malaria in the city of Sabang.
Keywords: malaria falciparum, dihyroartemisinin-piperaquine, primakuin
therapy evaluation
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL... i
HALAMAN JUDUL... ii
LEMBAR PENGESAHAN... iii
KATA PENGANTAR... iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT... vi
ABSTRAK... vii
ABSTRACT... viii
DAFTAR ISI... ix
DAFTAR TABEL... xii
DAFTAR GAMBAR... xiii
DAFTAR LAMPIRAN... xiv
BAB I PENDAHULUAN... 1
1.1 Latar Belakang... 1
1.2 Perumusan Masalah... 4
1.3 Hipotesis Penelitian... 5
1.4 Tujuan Penelitian... 6
1.5 Manfaat Penelitian... 6
1.6 Kerangka Pikir Penelitian... 7
BAB IITINJAUAN PUSTAKA... 8
2.1 Etiologi dan Patogenesis Malaria... 8
2.2 Faktor Risiko... 12
2.3 Manifestasi Klinis... 14
2.4 Diagnosis Klinik... 16
2.5 Diagnosis Mikroskopik... 17
2.6 Obat Anti Malaria... 19
2.6.1 Dihydroartemisinin... 19
2.6.2 Piperakuin... 22
2.6.3 Primakuin... 23
2.7 Pengobatan Malaria Tanpa Komplikasi Serta Dosis Pemakai- an... 23
BAB III METODE PENELITIAN... 26
3.1 Jenis dan Sumber Data Penelitian... 26
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian... 26
3.3 Populasi dan Subjek Penelitian... 26
3.3.1 Populasi... 26
3.3.2 Subjek penelitian... 27
3.4 Teknik Pengambilan Data... 27
3.5 Penilaian Data... 28
3.5.1Penilaian data demografi pasien... 28
3.5.2 Penilaian rasionalitas terapi... 28
3.5.3 Penilaian kepatuhan pasien... 29
3.5.4 Penilaian data keberhasilan terapi... 29
3.6 Instrumen Penelitian... 30
3.8 Definisi Operasional... 31
3.9 Langkah Penelitian... 32
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 33
4.1 Demografi Pasien... 33
4.1.1 Demografi pasein berdasarkan umur... 33
4.1.2 Demografi pasien berdasarkan jenis kelamin... 34
4.1.3 Demografi pasien berdasarkan pekerjaan... 34
4.2 Rasionalitas Terapi... 35
4.2.1 Tepat pasien... 35
4.2.2 Tepat indikasi... 36
4.2.3 Tepat obat... 37
4.2.4 Tepat dosis... 39
4.3 Tingkat Kepatuhan Pasien... 41
4.4 Keberhasilan Terapi... 42
4.4.1 Gejala klinis... 44
4.4.2 Pemeriksaan laboratorium... 44
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 46
5.1 Kesimpulan... .. 46
5.2 Saran... 46
DAFTAR PUSTAKA... 48
LAMPIRAN... 51
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
2.1 Periode prapaten dan masa inkubasi plasmodium... 14
2.2 Pengobatan lini pertama malaria falciparum dengan artesunat- amodiakuin-primakuin berdasarkan umur... 24
2.3 Pengobatan lini pertama malaria falciparum dengan dihydro- artemisinin- piperakuin- primakuin berdasarkan umur... 25
4.1 Demografi pasien berdasarkan umur... 33
4.2 Demografi pasien berdasarkan jenis kelamin... 34
4.3 Demografi pasien berdasarkan jenis pekerjaan... 34
4.4 Rasionalitas terapi tepat pasien... 36
4.5 Rasionalitas terapi tepat indikasi... 37
4.6 Rasionalitas terapi tepat obat... 38
4.7 Pengobatan lini pertama malaria falciparum dengan artesunat- amodiakuin-primakuin berdasarkan umur... 40
4.8 Pengobatan lini pertama malaria falciparum dengan dihydro- artemisinin– piperakuin- primakuinberdasarkanumur... 40
4.9 Rasionalitas terapi tepat dosis... 41
4.10 Data terapi kepatuhan pasien... 42
4.11 Keberhasilan terapi berdasarkan gejala klinis... 44
4.12 Keberhasilan terapi berdasarkan pemeriksaan laboratorium... 45
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1.1 Diagram kerangka pikir penelitian... 7
2.1 Siklus transmisi malaria... 10
3.1 Data grafik kasus malaria positif... 27
3.2 Stadium gametosit dari Plasmodium falciparum... 29
3.3 Eritrosit muda dari Pasmodium falciparum negatif... 30
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Lembar evaluasi... 51
2. Surat permohonan izin penelitian... 53
3. Surat izin dan telah melakukan penelitian di Kota Sabang... 54
4. Contoh surat cross notifikasi... 55
5. Formulir hasil pemeriksaan laboratorium... 56
6. Kartu kontrol... 92
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LatarBelakang
Malaria ditemukan hampir diseluruh bagian dunia, terutama di negara- negara beriklim tropis dan subtropis. Penduduk yang berisiko terkena malaria berjumlah sekitar 2,3miliar atau 41% dari jumlah penduduk di dunia. Setiap tahun kasus malaria berjumlah sekitar 300-500 juta dan 1,5-2,7 juta diantaranya meninggal, terutama di negara-negara benua Afrika (Depkes RI, 2008). Indonesia merupakan salah satu negara yang masih berisiko terhadap malaria. Pada tahun 2007 terdapat 396 kabupaten endemis malaria dari 495 kabupaten yang ada.
Diperkirakan sekitar 45% penduduk Indonesia berdomisili di daerah yang berisiko tinggi tertular malaria. Jumlah kasus malaria pada tahun 2006 sebanyak 2.000.000 dan pada tahun 2007 mengalami penurunan menjadi 1.774.845 (KementerianKesehatan RI, 2009). Insiden malaria falciparum dari seluruh kasus malaria di Jawa-Bali pada tahun 2000 sebesar 29,7%. Selanjutnya pada tahun 2004 juga menunjukkan keadaan yang hamper sama yaitu sebesar 29,8%.
Sedangkan diluar Jawa-Bali pada tahun 2000 sebesar 19,79% yang kemudian meningkat pada tahun 2004 menjadi 31,15% (Laihad dan Arbani, 2009).
Pengendalian malaria selalu mengalami perkembangan, salah satunya dalam hal
pengobatan. Dulu malaria diobati dengan klorokuin, setelah ada laporan resistensi,
saat ini telah dikembangkan pengobatan baru dengan tidak menggunakan obat
tunggal saja tetapi dengan kombinasi yaitu dengan ACT (Artemisinin-based
Combination Therapy). Sejak tahun 1973 ditemukan pertama kali kasus resisten Plasmodium falciparum terhadap klorokuin di Kalimantan Timur. Sejak itu resistensi terhadap klorokuin semakin meluas, bahkan pada tahun 1990 dilaporkan telah terjadi resistensi parasit falciparum terhadap klorokuin di seluruh Provinsi di Indonesia termasuk Sabang (Depkes RI, 2008). Berdasarkan hasil penelitian secara in-vitro ditemukan resistensi klorokuin di Jawa Tengah (Jepara, 1981), Nusa Tenggara Timur (Robek-Flores, 1983), Sumatera Utara (PulauNias, 1984- 1985), Aceh (Sabang, 1984-1985), Riau, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, dan Daerah Khusus Ibukota Jakarta (Tjitra, dkk, 1991). Selain itu dilaporkan juga adanya kasus resistensi falciparum terhadapsulfadoksin-pirimethamin (SP) di beberapa tempat di Indonesia (Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Depkes RI, 2008). Keadaan seperti ini dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas akibat penyakit malaria. Dalam upaya untuk menanggulangi masalah resistensi tersebut (multiple drug resistance), maka pemerintah merekomendasikan obat pilihan pengganti klorokuin dan sulfadoksin- pirimethamin (SP) terhadap jenis nyamuk malaria P. falciparum dengan terapi kombinasi artemisinin (artemisinin combination therapy) sesuai dengan rekomendasi World Health Organization (WHO) (Depkes RI, 2008).
Pada tahun2004, WHO merekomendasikan penggunaan obat anti malaria
kombinasi berbasis artemisinin (artemisinin combination therapy / ACT) sebagai
terapi lini pertama dalam penanganan malaria tanpa komplikasi di daerah yang
telah dikonfirmasi mengalami multiple drug resistance untuk mencegah
pilihan obat baru karena dapat menurunkan jumlah parasit yang lebih besar, yaitu sekitar 10.000 setiap siklus aseksual dibandingkan dengan obat antimalaria yang ada saat ini yang hanya menurunkan jumlah parasit sekitar 100-1000 per siklus aseksual. Selain itu ACT juga dapat membunuh parasit secara cepat. Beberapa kombinasi ACT yang direkomendasikan oleh WHO untuk pengobatan malaria adalah artemeter-lumefantrin, artesunat-amodiakuin, artesunat-meflokuin, dan artesunat-sulfadoksin-pirimetamin (WHO, 2006). World Health Organization juga merekomendasikan obat baru tanpa komplikasi dengan dihydroartemisinin- piperakuin (WHO, 2010).
Penggunaan artemisinin merupakan kemajuan besar dalam pengobatan malaria meskipun memiliki kekurangan yaitu waktu paruhnya pendek. Aktifitas antimalaria artemisinin dan derivatnya sangat cepat dan kebanyakan pasien menunjukkan perbaikan klinis dalam 1 – 3 hari. Namun rekrudensi cukup tinggi jika: (a) digunakan sebagai pengobatan tunggal, (b) pemberian dengan dosis yang tidak tepat, (c) jangka waktu pemberian yang pendek (WHO, 2000).
Dihidroartemisinin merupakan derivate artemisinin yang merupakan
kelompok seskuiterpenlakton yang bersifat skizontosida darah.Piperakuin
merupakan obat dari kelompok 4-aminoquinoline yang mencakup klorokuin dan
amodiakuin. Primakuin merupakan obat anti malaria kelompok 8 amino kuinolin
yang bersifat skizontosida jaringan, gametosida dan sporontisida untuk
plasmodium manusia. Dihydroartemisinin-piperakuin (DHP) telah dimasukkan
dalam kebijakan nasional sebagai regimen pengobatan malaria di Indonesia. Hasil
uji klinik dihydroartemisinin-piperakuin di Papua tahun 2005-2007, pengobatan
malaria tanpa komplikasi, menunjukan hasil efikasi yang lebih baik dibandingkan dengan obat artemether-lumefantrine (Ratcliff, 2007). Dihydroartemisinin- piperakuin menunjukkan angka kesembuhan lebih dari 95% dan efek samping ringan dibandingkan dengan penggunaan artesunat-amodiakuin (AAQ) (Hasugian, 2007). Kombinasi dihydroartemisinin-piperakuin merupakan salah satu terapi kombinasi yang telah diterapkan di Indonesia khususnya Kota Sabang Provinsi Aceh. Berdasarkan data-data diatas, maka dilakukan evaluasi terapi dihydroartemisinin-piperakuin di Kota Sabang, dikarenakan Kota Sabang merupakan daerah endemik malaria di Indonesia.
Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis terapi ACT dengan regimen dihydroartemisinin-piperakuin dan primakuin pada pasien malaria di Kota Sabang.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
a. Bagaimana demografi pasien rawat jalan penderita malaria falciparum tanpa komplikasi di 6 puskesmas dalam lingkup Dinas Kesehatan Kota Sabang?
b. bagaimana rasionalitas terapi terhadap pasien rawat jalan penderita malaria
falciparum tanpa komplikasi di 6 puskesmas dalam lingkup Dinas
Kesehatan Kota Sabang yang mendapat pengobatan dengan kombinasi
dihydroartemisinin-piperakuin dan primakuin?
c. bagaimana tingkat kepatuhan pasien terhadap terapi kombinasi dihydroartemisinin-piperakuin dan primakuin pada pasien rawat jalan penderita malaria falciparum tanpa komplikasi di 6 puskesmas dalam lingkup Dinas Kesehatan Kota Sabang?
d. bagaimana keberhasilan terapi kombinasi dihydroartemisinin-piperakuin dan primakuin pada pasien rawat jalan penderita malaria falciparum tanpa komplikasi di 6 puskesmas dalam lingkup Dinas Kesehatan Kota Sabang?
1.3 HipotesisPenelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka hipotesis pada penelitian ini adalah:
a. demografi pasien rawat jalan penderita malaria falciparum tanpa komplikasi di 6 puskesmas dalam lingkup Dinas Kesehatan Kota Sabang dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin dan pekerjaan;
b. rasionalitas terapi terhadap terapi kombinasi dihydroartemisinin- piperakuin dan primakuin pada pasien rawat jalan penderita malaria falciparum tanpa komplikasi di 6 puskesmas dalam lingkup Dinas Kesehatan Kota Sabang 100% rasional;
c. tingkat kepatuhan pasien terhadap terapi kombinasi dihydroartemisinin- piperakuin dan primakuin pada pasien rawat jalan penderita malaria falciparum tanpa komplikasi di 6 puskesmas dalam lingkup Dinas Kesehatan Kota Sabang 100% patuh;
d. tingkat keberhasilan terapi kombinasi dihydroartemisinin-piperakuin dan
primakuin pada pasien rawat jalan penderita malaria falciparum tanpa
komplikasi di 6 puskesmas dalam lingkupDinasKesehatan Kota Sabang 100% berhasil.
1.4 Tujuan Penelitian
Berdasarkan hipotesis di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:
a. untuk mengetahui demografi pasien rawat jalan penderita malaria falciparum tanpa komplikasi di 6 puskesmas dalam lingkup Dinas Kesehatan Kota Sabang berdasarkan umur, jenis kelamin dan pekerjaan.
b. untuk melihat rasionalitas terapi terhadap terapi kombinasi dihydroartemisinin-piperakuin dan primakuin pada pasien rawat jalan penderita malaria falciparum tanpa komplikasi di 6 puskesmas dalam lingkup Dinas Kesehatan Kota Sabang.
c. Untuk mengetahui tingkat kepatuhan pasien terhadap terapi kombinasi dihydroartemisinin-piperakuin dan primakuin pada pasien rawat jalan malaria falciparum tanpa komplikasi di Kota Sabang Provinsi Aceh.
d. Untuk mengetahui bahwa terapi kombinasi dihydroartemisinin-piperakuin dan primakuin merupakan regimen anti malaria alternatif yang efektif sebagai terapi malaria falciparum tanpa komplikasi di 6 puskesmas dalam lingkup Dinas Kesehatan Kota Sabang.
1.5 ManfaatPenelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pemerintah
tentang tingkat keberhasilan terapi malaria falciparum di Kota Sabang dengan
menggunakan kombinasi dihydroartemisinin-piperakuin dan primakuin sebagai
regimen antimalaria alternatif yang efektif untuk pasien malaria falciparum tanpa komplikasi
1.6 Kerangka Pikir Penelitian
Variabel bebas adalah terapi malaria falciparum dengan dihydroartemisinin- piperakuin dan primakuin. Variabelterikat adalah demografi, rasionalitasterapi, kepatuhan pasien dan keberhasilan terapi. Parameter yang diamati adalah range umur, jenis kelamin, pekerjaan, tepat indikasi, dosis, obat, pasien dan tanda checklist di kartu kontrol yang dilakukan oleh Juru Malaria Lingkungan, serta ada tidaknya gejala klinis (demam,telapak tangan pucat, splenomegali, hepatomegali) dan pemeriksaan laboratorium (apusan darah). Selengkapnya mengenai gambaran kerangka pikir penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 1.1.
Variabel bebas Variabel terikat Parameter
Gambar1.1Kerangkapikir penelitian
a. Adatidaknya gejala klinis (demam,telapak tanganpucat,splenome gali,hepatomegali) b. Pemeriksaan
laboratorium : apusan darah
Demografi a. Umur
b. Jenis kelamin c. Pekerjaan
a. <20 thn, 20-40 thn,
>40 thn.
b. Pria dan wanita c. Buruh, nelayan,dll Terapi malaria
falciparum dengan dihydroartemisinin -piperakuin (DHP) dan primakuin
Rasionalitas terapi
Kepatuhan pasien
Keberhasilan terapi
Tanda check list di
kartu kontrol yang
dilakukan oleh JML
a. Tepatindikasi
b. Tepatdosis
c. Tepatobat
d. Tepatpasien
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Etiologi dan Patogenesis Malaria
Malaria adalah infeksi yang disebabkan oleh parasit(protozoa) dari genus plasmodium, yang dapat ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles.Penyebab malaria adalah plasmodium; termasuk dalam famili plasmodiae. Parasit ini menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual di dalam darah. Pembiakan seksual plasmodium terjadi dalam tubuh nyamuk,yaitu anopheles betina. Selain menginfeksi manusia plasmodium juga menginfeksi binatang seperti golongan burung, reptil dan mamalia. Pada manusia, plasmodium menginfeksi sel darah merah dan mengalami pembiakan aseksual di jaringan hati dan eritrosit (Depkes RI, 2008).
Di seluruh dunia terdapat sekitar 2.000 spesies anopheles, 60 spesies
diantaranya diketahui sebagai penular malaria. Di Indonesia ada sekitar 80 jenis
anopheles, 24 spesies di antaranya telah terbukti penular malaria. Sifat masing-
masing spesies berbeda-beda tergantung banyak faktor, seperti penyebaran
geografis, iklim, dan tempat perindukannya. Semua nyamuk malaria hidup sesuai
dengan kondisi ekologi setempat, contohnya nyamuk malaria yang hidup di air
payau (Anopheles sundaicus dan Anopheles subpictus), di sawah (Anopheles
aconitus), atau air bersih di pegunungan (Anopheles maculatus) (Depkes
RI,2008).
Nyamuk anopheles hidup di daerah iklim tropis dan subtropis, tetapi juga bisa hidup di daerah yang beriklim sedang. Nyamuk ini jarang ditemukan pada daerah dengan ketinggian lebih dari 2.000 – 2.500 meter. Tempat perindukannya bervariasi tergantung spesies, dan dapat dibagi menjadi tiga kawasan, yaitu pantai, pedalaman dan kaki gunung. Biasanya, nyamuk anopheles betina menggigit manusia pada malam hari atau sejak senja hingga subuh. Jarak terbangnya tidak lebih dari 0,5 – 3 km dari tempat perindukannya, kecuali jika ada tiupan angin kencang bisa terbawa sejauh 20 – 30 km. Nyamuk anopheles juga dapat terbawa mobil, pesawat terbang atau kapal laut, dan menyebarkan malaria ke daerah non- endemis. Umur nyamuk anopheles dewasa di alam bebas belum banyak diketahui, tetapi di laboratorium dapat mencapai 3 – 5 minggu (Depkes RI, 2008).
Ada empat spesies plasmodium penyebab malaria pada manusia, yaitu:
-Plasmodium vivax menyebabkan malaria vivax/tertiana,
-Plasmodium falciparum menyebabkan malaria falciparum/tropika, -Plasmodium malariae menyebabkan malaria malariae/quartanadan -Plasmodium ovale menyebabkan malaria ovale (Depkes RI, 2008).
P.falciparum dan P.malariae umumnya terdapat pada hampir semua
negara dengan malaria; P.falciparum terdapat di Afrika, Haiti, dan Papua Nugini,
sedangkan P.vivaxbanyak terdapat di Amerika Latin. Pada daerah Amerika
Selatan, Asia Tenggara, negara Oceania dan India umumnya P.falciparum dan
P.vivax. Sdangkan P.ovale biasanya hanya terdapat di Afrika. Pada daerah
Indonesia timur : Kalimantan, Sulawesi Tengah sampai Utara, Maluku, Papua dan
Lombok sampai Nusa Tenggara Timur merupakan daerah endemis malaria
dengan P.falciparum dan P.vivax. Seorang penderita dapat dihinggapi lebih dari satu jenis plasmodium. Infeksi demikian disebut infeksi campuran (mixed infection). Biasanya, penderita paling banyak dihinggapi dua jenis parasit malaria, yakni campuran antara P.falciparum dan P.vivax atau P. ovale. Ciri utama genus plasmodium adalah adanya dua siklus hidup, yaitu siklus hidup aseksual dan siklus seksual (Depkes RI, 2008).
Gambar 2. 1 Siklus transmisi malaria (Depkes RI, 2008).
a. Fase aseksual
Fase aseksual dimulai ketika anopheles betina menggigit manusia dan memasukkan sporozoit yang terdapat dalam air liurnya ke dalam sirkulasi darah manusia. Dalam waktu 30 menit – 1 jam, sporozoit masuk ke dalam sel parenkim hati dan berkembang biak membentuk skizon hati yang mengandung ribuan merozoit. Proses ini disebut intrahepatic schizogony atau pre- erythrocyteschizogonyatau skizogoni eksoeritrosit, karena parasit belum masuk kedalam eritrosit (sel darah merah).Lamanya fase ini berbeda-beda untuk tiap spesies plasmodium; butuh waktu 5,5 hari untuk P.falciparumdan 15 hari untuk P.malariae. Pada akhir fase terjadi sporulasi, dimana skizon hati pecah dan banyak mengeluarkan merozoit ke dalam sirkulasi darah. Pada P.vivax dan P.ovale, sebagian sporozoit membentuk hipnozoit dalam hati yang dapat bertahan sampai bertahun-tahun, atau dikenal sebagai sporozoit “tidur” yang dapat mengakibatkan relapspada malaria, yaitu kambuhnya penyakit setelah tampak mereda selama periode tertentu. Fase eritrosit dimulai saat merozoit dalam sirkulasi menyerang sel darah merah melalui reseptor permukaan eritrosit dan membentuk trofozoit (Depkes RI, 2008).
Reseptor pada P.vivax berhubungan dengan faktor antigen duffy fya dan
fyb. Oleh karena itu individu dengan golongan darah duffy negatif tidak terinfeksi
malaria vivax. Reseptor P.falciparum diduga merupakan suatu glikoforin,
sedangkan pada P.malariae dan P.ovale belum diketahui. Dalam kurang dari 12
jam parasit berubah menjadi bentuk cincin; pada P.falciparum berubah menjadi
bentuk stereo-headphones didalam sitoplasma yang intinya mengandung
kromatin. Parasit malaria tumbuh dengan mengonsumsi hemoglobin (Depkes RI, 2008) .
Bentuk eritrosit yang mengandung parasit menjadi lebih elastis dan berbentuk lonjong. Setelah 36 jam menginvasi eritrosit, parasit berubah menjadi skizon. Setiap skizon yang pecah akan mengeluarkan 6-36 merozoit yang siap menginfeksi eritrosit lain. Siklus aseksual P.falciparum, P.vivax, dan P.ovale adalah 48 jam dan P.malariae adalah 72 jam. Dengan kata lain, proses menjadi trofozoit – skizon – merozoit. Setelah dua sampai tiga generasi merozoit terbentuk, sebagian berubah menjadi bentuk seksual, gamet jantan dan gamet betina (Depkes RI, 2008).
b. Fase seksual
Fase seksual, yaitu jika nyamuk anopheles betina mengisap darah manusia yang mengandungparasit malaria, parasit bentuk seksual masuk ke dalam perut nyamuk. Bentuk ini mengalami pematangan menjadi mikrogametosit dan makrogametosit, yang kemudian terjadi pembuahan membentuk zygote(ookinet).
Selanjutnya, ookinet menembus dinding lambung nyamuk dan menjadi ookista.
Jika ookista pecah, ribuan sporozoit dilepaskan dan bermigrasi mencapai kelenjar air liur nyamuk. Pada saat itu sporozoit siap menginfeksi jika nyamuk menggigit manusia (Depkes RI, 2008).
2.2 Faktor Risiko
Secara umum, setiap orang dapat terinfeksi malaria, tetapi ada juga orang
yang memiliki kekebalan terhadap parasit malaria, baik yang bersifat
adalah anak balita, wanita hamil serta penduduk non-imun yang mengunjungi daerah endemis malaria, seperti para pengungsi, transmigran dan wisatawan.
Perpindahan penduduk dari dan ke daerah endemis malaria hingga kini masih menimbulkan masalah. Sejak dulu telah diketahui bahwa wabah penyakit ini sering terjadi di daerah-daerah pemukiman baru, seperti daerah perkebunan dan transmigrasi. Hal ini terjadi karena pekerja yang datang dari daerah lain belummempunyai kekebalan sehingga rentan terinfeksi (Depkes RI, 2008).
Keadaan lingkungan berpengaruh besar terhadap ada tidaknya malaria di suatu daerah. Adanya danau air payau, genangan air di hutan, persawahan, pembukaan hutan, tambak ikan, dan pertambangan di suatu daerah akan meningkatkan kemungkinan timbulnya penyakit malaria, karena tempat-tempat tersebut merupakan tempat perindukan nyamuk malaria (Depkes RI, 2008).
Suhu dan curah hujan juga berperan penting dalam penularan penyakit malaria. Biasanya, penularan malaria lebih tinggi pada musim hujan dibandingkan kemarau. Air hujan yang menimbulkan genangan air, merupakan tempat yang ideal untuk perindukannyamuk malaria. Dengan bertambahnya tempat perindukan, populasi nyamuk malaria juga bertambah sehingga bertambah pula jumlah penularannya (Depkes RI, 2008).
Selain penularan secara alamiah melalui gigitan nyamuk anopheles yang mengandung parasit malaria, penularan juga bisa terjadi secara non alamiah dengan cara:
Malaria bawaan (kongenital)
Penularan malaria pada bayi baru lahir dari ibu penderita malaria. Terjadi karena adanya kelainan pada sawar plasenta sehingga memungkinkan terjadinya infeksi dari ibu kepada janinnya. Penularan juga dapat terjadi melalui tali pusat.
Penularanmekanik (tranfusion malaria)
Transfusion malaria adalah infeksi malaria yang ditularkan melalui transfusi darah dari donor yang terinfeksi malaria, pemakaian jarum suntik secara bersama- sama, atau melalui transplantasi organ. Parasit malaria dapat hidup selama tujuh hari dalam darah donor. Biasanya, masa inkubasi transfusion malarialebih singkat dibandingkan infeksi malaria secara alamiah (Depkes RI, 2008).
2.3 Manifestasi Klinis
Gejala-gejala penyakit malaria dipengaruhi oleh daya tahan tubuh penderita, jenis plasmodium malaria, serta jumlah parasit yang menginfeksinya.Waktu terjadinya infeksi pertama kali sampai timbulnya gejala penyakit disebut masa inkubasi, sedangkan waktu antara terjadinya infeksi sampai ditemukannya parasit malaria di dalam darah disebut periode prapaten. Masa inkubasi maupun periode prapaten ditentukan oleh jenis plasmodiumnya.
Tabel 2.1 Periode prapaten dan masa inkubasi plasmodium
Jenis plasmodium Periode Prepaten Masa Inkubasi
P. vivax 12,2 hari 12-17 hari
P. falciparum 11 hari 9-14 hari
P. malariae 32,7 hari 18-40 hari
P. ovale 12 hari 16-18 hari
Umumnya manifestasi klinis yang disebabkan P.falciparum lebih berat dan lebih
khas dari penyakit malaria ialah adanya demam yang periodik, pembesaran limpa (splenomegali), dan anemia (turunnya kadar hemoglobin dalam darah)( Depkes RI, 2008).
a. Demam
Sebelum timbul demam biasanya penderita malaria akan mengeluh lesu, sakit kepala, nyeri tulang dan otot, kurang nafsu makan, rasa tidak enak di bagian perut,diare ringan, dan kadang-kadang merasa dingin di punggung. Umumnya keluhan seperti ini timbul pada malaria yang disebabkan P.vivax dan P.ovale, sedangkan pada malaria karena P.falciparum dan P.malariae, keluhan-keluhan tersebut tidak jelas. Demam pada malaria bersifat periodik dan berbeda waktunya, tergantung dari plasmodium penyebabnya. P.vivax menyebabkan malaria tertiana yang timbul teratur tiap tiga hari. P.malariae menyebabkan malaria quartana yang timbul teratur tiap empat hari dan P.falciparum menyebabkan malaria tropika dengan demam yang timbul secara tidak teratur tiap 24 – 48 jam (Depkes RI, 2008).
Serangan demam yang khas pada malaria terdiri dari tiga stadium, yaitu :
Stadium menggigil
Dimulai dengan perasaan kedinginan hingga menggigil. Penderita sering membungkus badannya dengan selimut atau sarung. Pada saat menggigil seluruh tubuhnya bergetar, denyut nadi cepat tetapi lemah, bibir dan jari-jari tangan biru, serta kulit pucat. Pada anak-anak sering disertai kejang-kejang. Stadium ini berlangsung 15 menit – 1 jam dan dengan meningkatnya suhu badan.
Stadium puncakdemam
Penderita berubah menjadi panas tinggi. Wajah memerah, kulit kering dan terasa panas seperti terbakar, frekuensi napas meningkat, nadi penuh dan berdenyut keras, sakit kepala semakin hebat, muntah-muntah, kesadaran menurun, sampai timbul kejang (pada anak-anak). Suhu badan bisa mencapai . Stadium ini berlangsung selama 2 jam atau lebih diikuti dengan keadaan berkeringat.
Stadium berkeringat
Seluruh tubuhnya berkeringat banyak, sehingga tempat tidurnya basah.
Suhu badan turun dengan cepat, penderita merasa sangat lelah, dan sering tertidur.
Setelah bangun dari tidur, penderita akan merasa sehat dan dapat melakukan tugas seperti biasa. Padahal, sebenarnya penyakit ini masih bersarang dalam tubuhnya.
Stadium ini berlangsung 2-4 jam.
Catatan : Serangan demam yang khas ini sering dimulai pada siang hari dan berlangsung selama 8 – 12 jam. Lamanya serangan demam berbeda untuk tiap spesies malaria.
b. Pembesaran limpa
Pembesaran limpa merupakan gejala khas pada malaria kronis. Limpa menjadi bengkak dan terasa nyeri. Pembengkakan tersebut diakibatkan oleh adanya penyumbatan sel-sel darah merah yang mengandung parasit malaria.
Lama-lama konsistensi limpa menjadi keras karena bertambahnya jaringan ikat.
Dengan pengobatan yang baik, limpa dapat berangsur normal kembali.
c. Anemia
Anemia atau penurunan kadar hemoglobin darah sampai di bawah normal
Selain itu, anemia timbul akibat gangguan pembentukan sel darah merah di sumsum tulang. Gejala anemia berupa badan lemas, pusing, pucat, penglihatan kabur, jantung berdebar-debar, dan kurang nafsu makan.
2.4 Diagnosis Klinik
Diagnosis klinik didasarkan dari gejala pasien dan pemeriksaan fisik.
Gejala awal malaria seperti demam, menggigil, berkeringat, sakit kepala, sakit otot, mual dan muntah tidak spesifik dan ditemukan juga pada penyakit lain seperti flu dan inveksi virus lain. Pemeriksaan fisik juga sering tidak spesifik misalnya peningkatan suhu tubuh, berkeringat, dan merasa lelah (Depkes RI, 2008).
Pemeriksaan fisik, ini dapat dilakukan untuk:
a. Malaria tanpa komplikasi
- demam dengan pengukuran dengan thermometer suhu menunjukkan
≥ .
- konjungtiva atau telapak tangan pucat - pembesaran limpha (splenomegali) - pembesaran hati (hepatomegali) b. Malaria dengan komplikasi
- gangguan kesadaran
- keadaan umum yang lemah (tidak bisa duduk maupun berdiri)
- kejang-kejang
- panas sangat tinggi - mata atau tubuh kuning 2.5. Diagnosis Mikroskopik
Parasit malaria dapat diidentifikasi dengan menggunakan mikroskop dari setetes darah pasien yang disebar rata di atas gelas obyek. Sebelumnya spesimen diberi pewarnaan giemsa agar parasit terlihat. Teknik ini merupakan standar untuk konfirmasi laboratorium malaria. Tetapi, hal ini tergantung kualitas reagen, mikroskop dan kemampuan petugas laboratorium( Depkes RI, 2008).
a. Pemeriksaan dengan mikroskop
Pemeriksaan sediaan darah (SD) tebal dan tipis di Puskesmas /RS / lapangan.
Yang diperhatikan adalah ;
- ada tidaknya parasit malaria (positif atau negatif) - species dan stadium plasmodium
- kepadatan parasit
b. Pemeriksaan dengan Rapid Diagnostic Test (Tes Diagnostik Cepat)
Mekanisme kerja tes ini berdasarkan deteksi antigen parasit malaria, dengan menggunakan metoda imunokromatografi,dalam bentuk dipstik. Tes ini sangat berguna pada unit gawat darurat, pada saat terjadi KLB dan di daerah terpencil yang tidak tersedia fasilitas laboratorium serta untuk survei terbatas.
Penyimpanan RDT sebaiknya di lemari es, tidak disimpan di dalam freezer.
Malaria dengan komplikasi digolongkan sebagai malaria berat yang mana menurut WHO didefinisikan sebagai infeksi Plasmodium falciparum dengan satu atau lebih komplikasi sebagai berikut:
koma (malaria serebral)
anemia
hipoglikemia
syok
gagal ginjal akut
demam kencing hitam (malaria haemoglobinuria)
ikterus (malariabilliosa).
Pada malaria berat seperti yang disebabkan oleh P.falciparum, tanda-tanda klinik (kebingungan, koma, tanda-tanda fokal neurologis, anemia berat, sulit bernapas) lebih jelas dan meningkatkan indeks kecurigaan terhadap malaria.
Umumnya pada kebanyakan kasus tanda-tanda klinik awal malaria tidak khas dan perlu dikonfirmasi dengan tes laboratorium.
Penderita tersangka malaria berat harus segera dirujuk untuk mendapat kepastian diagnosis secara mikroskopik dan diperlukan penanganan lebih lanjut.
Untuk penderita yang tersangka malaria berat, bila pemeriksaan sediaan darah pertama negatif, perlu diperiksa ulang setiap 6 jam sampai tiga hari berturut-turut.
Bila hasil pemeriksaan sediaan darah tebal selama 3 hari berturut-turut tidak ditemukan parasit maka diagnosis malaria dihentikan (Depkes RI, 2008).
2.6 Obat Anti Malaria
Obat anti malaria yang ideal adalah obat yang efektif terhadap semua jenis dan stadium parasit, menyembuhkan infeksi akut maupun laten, cara pemakaian Yang mudah, harga terjangkau dan mudah diperoleh serta memiliki efek samping dan toksisitas yang rendah (Tjitra, 2000).
Efektivitas obat dinilai dari sensitivitas atau resistensi terhadap obat tersebut. Resistensi parasit malaria terhadap obat anti malaria adalah kemampuan parasit untuk terus hidup dalam tubuh manusia, berkembang biak dan menimbulkan gejala penyakit walaupun telah diberikan pengobatan secara teratur baik dengan dosis standar maupun dosis yang lebih tinggi, yang masih bisa ditoleransi oleh pemakai obat. Batasan ini umumnya untuk P.falciparum terhadap obat anti malaria yang bersifat skizontosida darah (Tjitra, 2000).
Obat anti malaria yang dievaluasi dalam penelitian ini adalah dihydroartemisinin-piperakuin dan piperakuin.
2.6.1 Dihydroartemisinin
Dihidroartemisinin merupakan derivat artemisinin yang merupakan kelompok seskuiterpen lakton yang bersifat skizontosida darah.
Dihidroartemisinin adalah metabolit aktif utama derivat artemisinin, tetapi dihidroartemisinin dapat juga diberikan langsung secara oral atau melalui rektal.
Dihidroartemisinin relatif tidak larut dalam air dan membutuhkan bahan tambahan
lain untuk menjamin absorpsinya. Efektifitas pengobatannya sebanding dengan
artesunat oral. Saat ini, kombinasi fixed-dose dihidroartemisinin dengan
piperakuin sedang dievaluasi sebagai kombinasi berbasis artemisinin (ACT) baru
Artemisinin dan turunannya aman digunakan dan dapat ditolerir dengan baik. Efek samping yang pernah ditemukan meliputi gangguan ringan pada saluran cerna, pusing, tinitus, retikulositopenia, neutropenia, meningkatnya aktivitas enzim hati, abnormalitas elektrokardiograf yang meliputi bradikardia dan perpanjangan interval QT, walaupun kebanyakan studi tidak menemukan abnormalitas elektrokardiograf di manusia. Satu-satunya efek samping yang parah adalah reaksi hipersentivitas tipe 1 yang ditemukan pada 1 dari 3000 penderita.
Toksisitas pada saraf ditemukan pada hewan percobaan, terutama pada dosis
intramuskular artemotil dan artemether yang sangat tinggi, tetapi belum ada data
efek tersebut pada manusia. Kematian embrio dan abnormalitas morfologi pada
kehamilan dini, juga ditemukan pada hewan. Efek artemisinin pada trimester
pertama kehamilan, belum dipelajari, dengan demikian harus dihindari
penggunaannya pada trimester pertama pada penderita malaria yang tidak
mengalami komplikasi sampai diperoleh informasi lebih lanjut.Pada dosis terapi
dapat terjadi blok jantung sementara/ringan, penurunan jumlah neutrofil, dan
demam singkat. Pada hewan, artemisinin menyebabkan injuri inti batang
otak,terutama yang terlibat pada fungsi auditori. Akan tetapi, belum ada laporan
neorotoksisitas pada manusia. Sampai saat ini juga tidak ada data resistensi
plasmodium terhadap artemisin (Depkes RI, 2008). Interaksi Obat dari artemisinin
dan derivatnya ( DHP) belum ada data. Studi pada rodent menemukan artemisinin
mempotensiasi efek meflokuin, primakuin, dan tetrasiklin, aditif dengan klorokuin
dan antagonis terhadap sulfonamida dan antagonis folat. Oleh karena itu, derivat
artemisinin sering dikombinasi penggunaannya dengan antimalaria lain (Depkes RI, 2008).
Artemisinin dan derivatnya efektif terhadap P. falciparum resisten multi- obat di sub-sahara Afrika dan kombinasinya dengan meflokuin efektif terhadap P.
falciparum resisten multi obat di Asia. Saat ini data preklinis dan klinis belum memadai untuk membuat aturan yang memuaskan tentang penggunaan qinghaosu di banyak negara.
Artemisinin dapat diberikan secara oral, intramuskular atau dalam bentuk supositoria; artemether diberikan secara oral atau intramuskular, dan artesunat secara intramuskular atau intravena. Obat-obat ini mudah diabsorpsi dan terdistribusi luas, di dalam tubuh diubah di hati menjadi metabolit aktif - dihidroatemisinin. Konsentrasi puncak dalam plasma dicapai dalam waktu 3 jam (oral) dan 11 jam (supositoria). Artemisinin diubah menjadi metabolit tidak aktif oleh enzim sitokhrom P450 CYP2B6 dan enzim lainnya. Artemisinin adalah induser potensial (Pengimbas potensial) untuk dirinya sendiri. Waktu paruhartemisinin kira-kira 4 jam, artesunat 45 menit, dan artemether 4-11 jam (Depkes RI, 2008).
2.6.2 Piperakuin
Piperakuine merupakan obat dari kelompok 4-aminoquinolin yang
mencakup klorokuin dan amodiakuin. Piperaquin terbukti efektif dan ditoleransi
klorokuin. Sejak tahun 2008 kombinasi dihydroartemisinin-piperakuin (DHP) digunakan di provinsi Papua dan secara bertahap diharapkan dapat digunakan di seluruh Indonesia (Depkes RI, 2008). Dari beberapa hasil penelitian dilaporkan bahwa angka kesembuhan setelah minum obat artesunat-amodiakuin (AAQ) pada hari ke-42 adalah 80% dengan gejala sampingan mual dan muntah serta tingkat kepatuhan penderita kurang berkaitan dengan jumlah tablet yang harus diminum (Hasugian, 2007).
Dihydroartemisinin-piperakuin merupakan kombinasi yang terdiri atas 40 mg dihydroartemisinin dan 320 mg piperakuin pospat dalam bentuk fixed dose (dosis tunggal) dan diminum satu kali sehari selama tiga hari. Obat ini merupakan metabolit aktif dari artemisinin yang bekerja cepat mengeliminasi parasit dalam tubuh, sedangkan piperakuin memiliki waktu paruh yang panjang selama 23 hari (19-28hari) (Hung TY DT, 2004). Hasil uji klinik DHP di Papua tahun 2005- 2007, pengobatan malaria tanpa komplikasi, menunjukan hasil efikasi yang lebih baik dibandingkan dengan obat artemether-lumefantrine (Ratcliff, 2007).
Dihydroartemisinin-piperakuin menunjukkan angka kesembuhan lebih dari 95%
dan efek samping ringan dibandingkan dengan penggunaan artesunat-amodiakuin (AAQ) (Hasugian, 2007).
2.6.3 Primakuin
Primakuin merupakan obat anti malaria kelompok 8 amino kuinolin yang
bersifat skizontosida jaringan, gametosida dan sporontisida untuk plasmodium
manusia. Obat ini merupakan obat malaria pelengkap atau tambahan pada pengobatan malaria klinis, pengobatan radikal dan pengobatan malaria berat dengan komplikasi. Primakuin mempunyai efek dengan menghambat proses respirasi mitokhondrial didalam parasit malaria melalui metabolitnya yang bersifat sebagai oksidan.
2.7 Pengobatan Malaria Tanpa Komplikasi Serta Dosis Pemakaian
Pengobatan yang diberikan adalah pengobatan radikal malaria dengan membunuh semua stadium parasit yang ada di dalam tubuh manusia. Tujuan dari pengobatan radikal adalah untuk mendapat kesembuhan klinis dan parasitologik serta memutuskan rantai penularan. Semua obat antimalaria tidak boleh diberikan dalam keadaan perut kosong karena menyebabkan iritasi lambung (Depkes RI, 2008).
Di Indonesia, pengobatan lini pertama malaria falciparum saat ini terdapat 2 regimen ACT yang digunakan, yaitu:
1. Artesunate- amodiakuin dan primakuin
2. Dihydroartemisinin- piperakuin dan primakuin (Depkes RI, 2008).
Pemakaian artemisinin dan turunannya bertujuan untuk membunuh parasit stadium aseksual, sedangkan primakuin bertujuan membunuh gametosit yang berada di dalam darah.Obat kombinasi (ACT) di berikan per oral selama tiga hari dengan dosis tunggal harian, sedangkan primakuin di berikan per oral selama satu hari (Depkes RI, 2008).
Dosis umum ACT (dosis tunggal harian) dihydroartemisin 2-4 mg/kgBB
berupa fixed drug mengandung 40 mg dihydroartemisinin dan 320 mg piperakuin per tablet. Satu blister terdiri dari 8 atau 9 tablet (Depkes RI, 2008). Primakuin diberikan per oral dengan dosis tunggal 0,75 mg/kg bb yang diberikan pada hari pertama. Apabila pemberian dosis obat tidak memungkinkan berdasarkan berat badan penderita, pemberian obat dapat diberikan berdasarkan golongan umur (Pionas, BPOM RI, 2015).Dosis dewasa maksimal dihydroartemisinin-piperakuin masing-masing 4 tablet, primakuin 3 tablet dalam 1 (satu) hari (Depkes RI, 2008).
Pengobatan efektif apabila sampai dengan hari ke-28 setelah pemberian obat, ditemukan keadaan sebagai berikut: klinis sembuh (sejak hari ke-4) dan tidak ditemukan parasit stadium aseksual sejak hari ke-7. Pengobatan tidak efektif apabila dalam 28 hari setelah pemberian obat, gejala klinis memburuk dan parasit aseksual positif atau gejala klinis memburuk tetapi parasit aseksual tidak
berkurang (persisten) atau timbul kembali (rekrudesensi) (Depkes RI, 2008).
Tabel 2.2 Pengobatan lini pertama malaria falciparum dengan artesunat- amodiakuin-primakuin berdasarkan umur (Badan POM RI, 2015).
Bila berdasarkan umur maka dosisnya dapat dilihat seperti dalam Tabel 2.2 Hari Jenis obat Jumlah tablet per hari berdasarkan kelompok umur
0-1 bulan
2-11 bulan
1-4 tahun
5-9 tahun
10-14 tahun
≥ tahun
1 Artesunat ¼ ½ 1 2 3 4
Amodiakuin ¼ ½ 1 2 3 4
Primakuin - - ¾ 1 ½ 2 2-3
2 Artesunat ¼ ½ 1 2 3 4
Amodiakuin ¼ ½ 1 2 3 4
3 Artesunat ¼ ½ 1 2 3 4
Amodiakuin ¼ ½ 1 2 3 4
Tabel 2.3 Pengobatan lini pertama malaria falciparum dengan hydroartemisinin–
piperakuin- primakuin berdasarkan umur(Depkes RI, 2008).
Hari Jenis obat Jumlah tablet perhari menurut kelompok umur 0-1
bulan
2-11 bulan
1-4 tahun
5-9 tahun
10-14 tahun
≥ tahun 1 Dihydroartemisinin-
piperakuin
¼ 1/2 1 1,5 2 3-4
Primakuin - - 3/4 1,5 2 2-3
2-3 Dihydroartemisinin- piperakuin
¼ ½ 1 1,5 2 3-4
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Sumber Data Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan retrospektif yaitu suatu penelitian yang dilakukan dengan cara pendekatan observasi, pengumpulan data sekaligus pada satu waktu dan menggunakan data yang lalu (Notoatmodjo, 2010).
Bahan dan sumber data dari penelitian ini diperoleh dari kartu kontrol malaria, dan formulir hasil pemeriksaan laboratorium di 6 puskesmas dalam lingkup Dinas Kesehatan Kota Sabang dari periode Februari 2013 sampai dengan Juli 2015.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan mulai tanggal 01 November sampai dengan 30 November 2015 di 6 puskesmas dalam lingkup Dinas Kesehatan Kota Sabang.
3.3 Populasi dan Subjek Penelitian 3.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien rawat jalan penderita
malaria falciparum yang berobat ke 6 puskesmas dalam lingkup Dinas Kesehatan
Kota Sabang periode Februari 2013 sampai dengan Juli 2015. Jumlah keseluruhan
populasi Periode Februari sampai dengan Juli 2015 di Kota Sabang yang
teridentifikasi positif malaria falciparum sebanyak 23 data pasien.
0 500 1000 1500 2000 2500
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
A P I ( P e r 1 0 0 0 P e n d u d u k )
A n g k a Kas u s M a la ria P o s it if y a n g T e rk o n fir m a s i M ik ro s k o p
Number of Positif Malaria Cases API
KASUS MALARIA POSITIF DI SABANG TAHUN 2004 – 13 April 2015
87,80
27,13
14,66
4,03 3,83 3,50
0,90 0,15 2368
819 462
144 137 98
34 5 0,124 4 0,12
18 0,56
1 0,05