• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV HASIL PENELITIAN"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV HASIL PENELITIAN

4.1 Data Demografi Pasien 4.1.1 Jenis Kelamin dan Usia

Dari hasil penelitian yang dilakukan di Ruang Rekam Medik RSU Dr. Saiful Anwar Malang dengan mengambil data dari Dokumen Medik Kesehatan Pasien pada periode Januari 2013 sampai dengan Juni 2013 didapatkan sebanyak 18 data pasien. Dari 18 data pasien tersebut diketahui bahwa pasien dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 11 orang (61,1%) dan pasien dengan jenis kelamin perempuan sebanyak 7 orang (38,9%) yang dapat dilihat pada gambar 4.1.

Distribusi data mengenai usia pasien dapat dilihat dari tabel IV.1. Data dari tabel menunjukkan bahwa insiden stroke iskemik terjadi paling banyak pada rentang usia 55-64 tahun (33,3%).

Tabel IV.1 Distribusi Usia Pasien Stroke Iskemik

No. Klasifikasi Umur Jenis Kelamin Prosentase (%) Jumlah Pasien (n=18) Laki-laki Perempuan 3 45 – 54 Tahun 3 2 27,8% 4 55 – 64 Tahun 4 2 33,3% 5 65 - 74 Tahun 3 2 27,8% 6 75 – 84 Tahun 1 1 11,1% Jumlah 11 7 100%

(2)

38,9%

61,1%

Gambar 4.1 Distribusi Jenis Kelamin Pasien Stroke Iskemik

4.1.2 Status Pasien

Dari ke-18 data pasien, didapatkan data mengenai status pembayaran pasien seperti pada tabel IV.2. Hasil pencatatan diperoleh data pasien MRS termasuk kategori pasien Umum (22,2%), ASKES (72,2%) dan JAMKESMAS (5,6%).

Tabel IV.2 Distribusi Status Pasien Stroke Iskemik

No. Status Pasien Jumlah Pasien Prosentase

- Umum 4 22,2%

- Askes 13 72,2%

- Jamkesmas 1 5,6%

Total 18 100%

4.2 Faktor Risiko Pasien Terdioagnosa Stroke Iskemik

Tabel IV.3 merupakan tabel yang menunjukkan persentase 18 pasien dengan risiko terdiagnosis stroke iskemik dengan terapi ARB pada saat MRS yang dilihat dari data riwayat penyakit pasien dan life style pasien.

(3)

Tabel IV.3 Faktor Risiko Stroke Iskemik

No. Fakto Risiko

Perempuan Laki – Laki

Jumlah Pasien (n=18) Persentase Jumlah Pasien (n=18) Prosentas e

Berdasarkan Riwayat Penyakit

f. Hipertensi 5 27,8% 6 33,3% g. Diabetes Melitus 4 22,2% 7 38,9% h. Stroke sebelumnya 1 5,6% 7 38,9% i. Asam Urat - - 1 5,6% j. Kolesterol tinggi - - 1 5,6% k. Asma Bronkhiale - - 1 5,6% l. Jantung - - 1 5,6% m. Ginjal - - 1 5,6%

Berdasarkan Life Style* n. Konsumsi tinggi garam 4 22,2% 6 33,3% o. Konsumsi tinggi lemak 4 22,2% 6 33,3% p. Kopi - - 3 16,7% q. Merokok - - 3 16,7%

* Seorang pasien dapat menderita lebih dari satu faktor risiko Dalam tabel tersebut dapat diketahui bahwa pasien terdiagnosis stroke iskemik dengan riwayat penyakit hipertensi sebanyak 11 pasien yang meliputi 6 pasien laki-laki (33,3%) dan 5 pasien perempuan (27,8%). Pasien dengan riwayat penyakit diabetes melitus dengan jumlah pasien

(4)

laki-laki sebanyak 7 pasien (38,9%) dan jumlah pasien perempuan sebanyak 4 pasien (22,2%). Selain itu, dari data life style pasien diperoleh konsumsi tinggi garam sebanyak 6 pasien laki-laki (33,3%) dan 4 pasien perempuan (22,2%) serta jumlah pasien konsumsi tinggi lemak sebanyak 10 pasien, meliputi 6 pasien laki-laki (33,3%) dan 4 pasien perempuan (22,2%).

4.3 Klasifikasi Stroke Iskemik

Dari data yang didapat, jenis stroke iskemik yang dialami pasien dapat dilihat pada tabel IV.4, yang menunjukkan bahwa jenis stroke iskemik paling banyak yang dialami oleh pasien adalah stroke trombosis (CVA Thrombosis) sebanyak 16 pasien.

Tabel IV.4 Klasifikasi Stroke Iskemik Pada Pasien No. Jenis Stroke

Iskemik Jumlah Pasien (n=18) Prosentase - CVA Trombosis 17 94,4% - CVA Emboli 1 5,6% Total 18 100%

4.4 Diagnosis Penyerta Pasien Stroke Iskemik

Tabel IV.5 merupakan tabel yang menunjukkan persentase diagnosis penyerta 18 pasien stroke iskemik dengan terapi ARB pada saat MRS di instalasi rawat inap RSU Dr. Saiful Anwar Malang periode Januari 2013 – Juni 2013. Hasil pencatatan diperoleh jumlah pasien dengan diagnosis penyerta stroke iskemik paling banyak, yaitu hipertensi sebanyak 17 pasien (94,4%) dan diikuti dengan diabetes mellitus sebanyak 9 pasien (50%). Hal ini menunjukkan bahwa ke-18 pasien stroke iskemik semuanya terdiagnosis penyakit penyerta hipertensi.

(5)

Tabel IV.5 Diagnosis Penyerta Stroke Iskemik N o. Diagnosis Penyerta Jumlah pasien* (n=18) Prosentase 1. Hipertensi 17 94,4% 2. Diabetes Melitus 9 50%

3. ISK (Infeksi Saluran Kemih) 2 11,1%

4. Pneumonia CAP (Community-Acquired Pneumonia)

1 5,6%

5. Dislokasi mandibula post reposisi

1 5,6%

6. Azotemia 1 5,6%

7. Septic 1 5,6%

8. Transformasi hemoragik 1 5,6%

*satu pasien dapat memiliki lebih dari satu diagnosis penyerta

4.5 Penggunaan ARB (Angiotensin Reseptor Blocker) pada Pasien Stroke Iskemik

Tabel IV.6 menunjukkan persentase terapi ARB Tunggal dan kombinasi dengan antihipertensi lain pada ke-18 pasien stroke iskemik pada saat MRS di Instalasi rawat inap RSU Dr. Saiful Anwar Malang periode Januari 2013 – Juni 2013.

Tabel IV.6 Pola Penggunaan ARB No. Terapi Tunggal dan Kombinasi Jumlah

Pasien

Prosentase

1. Tunggal: (n=2)

Valsartan 1x40mg 1 50%

(6)

Lanjutan No. Terapi Tunggal dan Kombinasi Jumlah

Pasien Prosentase 2. Kombinasi: (n=16) 2 Obat: Valsartan 1x80mg + Amlodipin 1x10mg 2 12,5% Amlodipin 1x10mg + Valsartan 1x160mg 1 6,25% Valsartan 1x80mg + HCT 1X12,5mg 1 6,25% Amlodipin 1x10mg + Valsartan 1x80mg 2 12,5% Furosemid 1x40mg + Valsartan 1x80mg 1 6,25% 3 Obat:

Amlodipin 1x10mg + Inf. Manitol 6x100cc + Valsartan 1x80mg

1 6,25%

Furosemid 2x20mg + Amlodipin 1x10mg + Valsartan 1x80mg

1 6,25%

Amlodipin 1x10mg + Captopril 3x12,5mg + Valsartan 1x80mg

1 6,25%

4 Obat:

Drip Nicardipin 0,5-6µg/kgBB/m + Captopril 3x15mg + Amlodipin 2x10mg + Valsartan 1x80mg

1 6,25%

Drip. Nicardipin 0,5-6µg/kgBB/m + Captopril 3x25mg + Diltiazem 3x30mg + Valsartan 1x80mg

1 6,25%

Captopril 3x25mg + Diltiazem 3x30mg + Valsartan 1x80mg + Amlodipin 1x10mg

1 6,25%

Inf. Manitol 6x100cc + drip diltiazem 5-15 μg/Kg/≥130 + captopril 3x12,5mg + valsartan 1x80mg

1 6,25%

Drip. Nicardipin 0,5-6µg/kgBB/m + Captopril 3x25mg + Amlodipin 2x10mg + Valsartan 1x80mg

1 6,25%

5 Obat:

Amlodipin 1x10mg + Captopril 2x25mg + Valsartan 2x80mg + Diltiazem 3x30mg + Furosemid 1x20mg

1 6,25%

Total 18 100%

Pada data ke-18 pasien didapatkan terjadi penggantian antihipertensi pada pasien stroke iskemik seperti pada tabel IV.7.

(7)

Tabel IV.7 Terapi Penggantian ARB Tunggal dan Kombinasi dengan

Antihipertensi lain

No. ARB Jumlah

Pasien (n=5)

%

Terapi Awal Penggantian

Jenis/dosis/rute/frek.  Captopril 3x25mg Valsartan 1x40mg 1 20%  Captopril 3x25mg + HCT 12,5mg-0-0 Valsartan 80mg-0 + HCT 12,5mg-0-0 1 20%  Amlodipin 1x10mg + Captopril 3x12,5mg + Valsartan 1x80mg Amlodipin 2x10mg + Captopril 3x25mg + Valsartan 1x160mg 1 20%  Amlodipin 1x10mg + Valsartan 1x80mg Amlodipin 2x10mg + Valsartan 1x160mg 1 20%  Valsartan 1x80mg + Amlodipin 1x10mg Valsartan 2x80mg + Amlodipin 2x10mg 1 20%

Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa sebanyak 1 pasien mendapatkan terapi tunggal antihipertensi dan 1 pasien mendapatkan terapi kombinasi dengan antihipertensi lain yang mana dilakukan penggantian dengan satu jenis obat antihipertensi lain. Sedangkan sebanyak 4 pasien mendapatkan terapi kombinasi antihipertensi yang mana dilakukan penggantian dosis pada jangka waktu tertentu.

4.6 Terapi Utama Pasien Stroke Iskemik

Tabel IV.8. menunjukkan prosentase terapi utama pada ke-18 pasien stroke iskemik pada saat MRS di Instalasi rawat inap RSU Dr. Saiful

(8)

Anwar Malang periode Januari 2013 – Juni 2013. Terapi utama stroke iskemik terdiri dari antiplatelet, antikoagulan, neuroprotektan, antidislipidemia, dan antihipertensi.

Tabel IV.8 Terapi Utama Pasien Stroke Iskemik

Golongan Terapi Jenis Obat Jumlah persentase

Antiplatelet Aspirin 15 83,3% Antikoagulan - - - Neuroprotektan Citicholin 17 94,4% Antidislipidemia Simvastatin 17 94,4% Antihipertensi Amlodipin 12 66,7% Captopril 7 38,9% Diltiazem 4 22,2% Furosemid 3 16,7% HCT 1 5,6% Manitol 2 11,1% Nicardipin 2 11,1% Valsartan 18 100%

(9)

4.7 Profil Tekanan Darah Pasien Stroke Iskemik

Tabel IV.9 menunjukkan profil tekanan darah pada ke-18 pasien

stroke iskemik saat MRS di Instalasi rawat inap RSU Dr. Saiful Anwar Malang periode Januari 2013 – Juni 2013.

Tabel IV.9 Tekanan Darah Pasien Stroke Iskemik

No. Pasien TD MRS TD KRS Kondisi KRS

1. Ny. N H 180/100 130/80 Perbaikan 2. Ny. C C 160/90 140/80 Perbaikan 3. Tn. M H 190/110 130/90 Perbaikan 4. Tn. M 190/90 130/90 Perbaikan 5. Tn. Y 160/90 130/100 Perbaikan 6. Tn. S P 160/90 140/90 Perbaikan 7. Tn. D 180/100 130/100 Perbaikan 8. Tn. H M 170/90 130/80 Perbaikan 9. Tn. H P 157/84 130/90 Perbaikan 10. Ny. S 160/90 140/80 Perbaikan 11. Tn. I S 160/90 140/90 Perbaikan 12. Ny. M 160/80 130/80 Perbaikan

13. Ny. R 200/120 190/100 Pulang paksa

14. Tn. M 190/90 170/90 Pulang paksa

15. Ny. S 190/100 140/90 Perbaikan

16. Tn. W 190/120 130/80 Perbaikan

17. Ny. M 170/100 140/80 Pulang paksa

(10)

4.8 Data Lama Perawatan Pasien

Dari ke-18 data pasien, didapatkan data mengenai lama perawatan pasien seperti pada tabel IV.10.

Tabel IV.10 Distribusi Lama Perawatan Pasien Stroke Iskemik

Lama Perawatan Jumlah Pasien

(n=18) Persentase (%) 5 hari 1 5,6% 6 – 10 hari 3 16,7% 11 – 15 hari 8 44,4% 16 – 20 hari 5 27,8% 21-25 hari - - 26-30 hari 1 5,6% Total 18 100%

Dari tabel IV.10 dapat diketahui bahwa pasien paling banyak dirawat dalam jangka waktu 11-15 hari sebanyak 8 pasien (44,4%).

4.9 Keadaan Pasien saat Keluar Rumah Sakit (KRS)

Dari ke-18 data pasien, untuk keadaan saat keluar rumah sakit dapat dilihat pada tabel IV.11.

Tabel IV.11 Keadaan Pasien Saat KRS

Kondisi Pasien KRS Jumlah Pasien

(n=18)

Persentase (%)

Perbaikan & di Pulangkan 14 77,8%

Perbaikan & Pulang paksa 3 16,7%

Meninggal 1 5,6%

(11)

Dari tabel IV.11 dapat dilihat bahwa keadaan pasien saat keluar rumah sakit yang paling banyak adalah perbaikan dan dipulangkan sebanyak 14 pasien. Sedangkan 3 orang pulang paksa dan 1 pasien meninggal dunia.

Pasien yang meninggal dunia, penyebab meninggalnya dapat dilihat pada tabel IV.12

Tabel IV.12 Penyebab Meninggal Pada Pasien

Nama Lama

Terapi

Usia Diagnosa Terapi (jenis, dosis, rute, frek. Pemberian)

Penyebab Kematian Terapi ARB Terapi lain Tn. T 18 hari 58 th Stroke trombosis DM Ht st II Valsartan IVFD NaCL 0,9%, Citicholin, Ranitidin, Aspilet, Simvastatin, Insulartad, O2, NGT, Drip. Nicardipin, Actrapid, KCL, Captopril, Amlodipin, Ceftriaxon CVA ICH, Azotemia Renal

Dari tabel IV.12 dapat diketahui terdapat 1 pasien yang meninggal dunia disebabkan karena terjadi CVA ICH dan Azotemia.

(12)

4.10 Pembahasan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola penggunaan Angiotensin Reseptor Bloker pada pasien stroke iskemik. Penelitian dilakukan secara retrospektif dengan mengambil data dari Rekam Medik Kesehatan (RMK) pasien pada periode Januari 2013 sampai dengan Juni 2013 di Ruang Rekam Medik, di mana Data Medik merupakan RMK dari Instalasi Rawat Inap RSU Dr. Saiful Anwar Malang. Data yang diambil dengan diagnosa akhir stroke iskemik, dan didapatkan populasi sebanyak 441 RMK. Dari populasi RMK tersebut terdapat 18 pasien yang memenuhi kriteria inklusi.

Pada Tabel IV.1 didapatkan data distribusi jenis kelamin 18 pasien stroke iskemik dengan terapi ARB yang menunjukkan adanya perbedaan jumlah pasien stroke iskemik pada pria (61,1%) dan wanita (38,9%). Selain itu, usia pasien MRS dengan diagnosis stroke iskemik yang terbanyak adalah pasien dengan rentang usia 55 – 64 tahun sebesar 33,3% (Gambar

4.1). Menurut Survey ASNA (ASEAN Neurological Association) penderita

laki-laki lebih banyak dari perempuan dengan profil usia di bawah 45 tahun cukup banyak yaitu 11,8%, usia 45-64 tahun berjumlah 54,2% dan di atas usia 65 tahun 33,5% (Misbach dkk.,2007). Dalam guidelines yang dilansir oleh AHA pada tahun 2011, dikatakan bahwa stroke lebih umum terjadi pada pria dibandingkan pada wanita, karena hormon estrogen pada wanita memiliki efek positif terhadap sirkulasi serebral sehingga melindungi terjadinya stroke iskemik terutama tipe non kardioemboli. Selain itu angka kejadian hipertensi, infark miokard, penyakit arteri perifer, dan konsumsi rokok pada pria lebih tinggi dibandingkan dengan wanita, di mana beberapa hal tersebut merupakan pemicu terjadinya stroke (Goldstein et al, 2011 ; Appelros et al, 2009).

(13)

Sebagai salah satu sarana pelayanan kesehatan yang bergerak di bidang jasa maka perlu memperhatikan kualitas jasa yang dijadikan indikator para pasien, baik pasien yang membayar secara langsung, juga pasien pegawai negeri atau penerima pensiun yang menggunakan asuransi kesehatan, selain itu pasien yang merupakan masyarakat miskin, sehingga pelayanan kesehatan yang terdapat pada rumah sakit tersebut dituntut untuk dapat menciptakan dan memberi pelayanan kesehatan secara maksimal (Pujihastuti, 2008). Berdasarkan status pasien stroke iskemik rawat inap lebih dominan pasien dengan status askes (72,2%), kemudian umum (22,2%), dan jamkesmas (5,6%) (Tabel IV.2). Dari status pasien di atas paling banyak menggunakan Askes (Asuransi Kesehatan). Hal ini berhubungan dengan program pemerintah yang bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan dan menjamin pelayanan kesehatan terhadap masyarakat dengan prinsip asuransi kesehatan sosial. Manfaat dari penggunaan Askes untuk pasien yakni mendapatkan pelayanan kesehatan, akomodasi rawat inap, konsultasi medis, tindakan medis dan rehabilitas medis dengan biaya yang lebih murah. Sedangkan untuk Rumah Sakit sebagai penanggung jawab dana yang telah diserahkan oleh pemerintah, untuk memberikan pelayanan terhadap pasien terutama dalam pengadaan obat (KepMenKes, 2010). Status pasien mempengaruhi pemilihan terapi dan jenis obat yang diberikan dengan mempertimbangkan farmakoekonomi yang lebih menguntungkan bagi pasien. Disinilah peran farmasis bagi pasien, sehingga pasien dapat menerima terapi yang efektif dan efisien. Selain itu, seorang farmasis dapat memberikan informasi kepada dokter mengenai pemilihan obat yang tepat bagi masing-masing pasien.

Pada hasil penelitian terhadap faktor risiko stroke iskemik yang ditinjau dari riwayat penyakit dan life style pasien didapatkan tiga faktor risiko terbanyak yaitu hipertensi (61,1%), diabetes melitus (61,1%) dan

(14)

riwayat stroke sebelumnya (44,5%) (Tabel IV.3). Sesuai dengan penelitian Harmsen et al.,(2006) usia, diabetes melitus, dan tekanan darah tinggi (hipertensi) memiliki hubungan yang independen dengan peningkatan risiko stroke. Hipertensi merupakan faktor risiko terpenting untuk semua tipe stroke, baik stroke perdarahan maupun stroke infark. Peningkatan risiko stroke terjadi seiring dengan peningkatan tekanan darah (Gofir, 2009). Berdasarkan American Heart Associaton Prevention Conference. IV: Prevention and Rehabilitation of Stroke Risk Factors, hipertensi merupakan faktor risiko utama terjadinya stroke yang dapat dimodifikasi. Risiko stroke akan meningkat ketika tekanan darah sistolik >160 mmHg dan tekanan darah diastolik >95 mmHg. Pasien dengan hipertensi memiliki peningkatan risiko terhadap stroke, ini terjadi karena tekanan darah yang meningkat mengakibatkan pembuluh serebral akan berkontriksi. Bila tekanan darah meningkat cukup tinggi akan menyebabkan hialinisasi pada lapisan otot pembuluh serebral. Akibatnya, diameter lumen pembuluh darah tersebut akan menjadi tetap. Hal ini berbahaya karena pembuluh serebral tidak dapat berdilatasi atau berkonstriksi dengan leluasa untuk mengatasi fluktuasi dari tekanan darah sistemik (Hariyono, 2010).

Faktor risiko stroke yang lain adalah diabetes melitus, tingginya faktor risiko stroke pada pasien diabetes melitus terjadi karena kadar lemak dalam darah meningkat yang disebabkan adanya konversi lemak tubuh yang terganggu. Peningkatan kadar lemak dalam darah akan meningkatkan risiko penyakit jantung dan stroke. Diabetes melitus mempercepat terjadinya aterosklerosis baik pada pembuluh darah kecil maupun pembuluh darah besar di seluruh pembuluh darah baik di pembuluh darah otak maupun jantung. Kadar glukosa darah yang tinggi pada pasien stroke akan memperbesar kerusakan daerah infark karena terbentuknya asam laktat

(15)

akibat metabolisme glukosa yang terbentuk secara anaerob yang merusak jaringan otak (Junaidi, 2011).

Selain itu faktor risiko yang menduduki 3 tertinggi lainnya adalah riwayat stroke sebelumnya. Data epidemiologi menyebutkan risiko untuk timbulnya serangan ulang stroke adalah 30% dan populasi yang pernah menderita stroke memiliki kemungkinan serangan ulang stroke adalah 9 kali dibandingkan populasi normal. Upaya untuk mencegah serangan ulang stroke perlu mengenal dan mengontrol faktor risiko dan kalau perlu merubah faktor risiko tersebut (Nafrialdi, 2011).

Faktor risiko berdasarkan life style pasien yang memicu terjadinya stroke iskemik pada penelitian ini adalah merokok pada pasien laki-laki saja (16,7%), konsumsi tinggi garam (55,5%), konsumsi kopi (16,7%), dan juga konsumsi tinggi lemak (55,5%) (Tabel IV.3). Merokok merupakan kebiasaan dan gaya hidup yang berdampak buruk bagi kesehatan. Asap rokok mengandung zat berbahaya yang dapat menimbulkan kerusakan pada dinding arteri. Dinding arteri yang rusak akibat asap rokok akan menjadi lokasi penimbunan lemak, sel trombosit, kolesterol dan terjadi penebalan lapisan otot polos dinding arteri. Kondisi ini disebut aterotrombotik. Aterotrombotik menyebabkan pembuluh darah menyempit. Selain itu, aterotrombotik menyebabkan kerapuhan pada pembuluh darah. Aterotrombotik menyebabkan aliran darah berkurang ke beberapa organ tubuh termasuk otak sehingga berisiko menimbulkan stroke (Wahyu, 2009). Jumlah kematian pertahun yang dikaitkan dengan merokok di Amerika Serikat, diperkirakan antara 21.400 (tanpa penyesuaian untuk faktor perancu) dan 17.800 (setelah penyesuaian), yang menunjukkan bahwa merokok memberikan kontribusi 12% sampai 14% dari semua stroke yang berakhir dengan kematian. Berdasarkan data yang tersedia dari National Health Iterview Survey untuk tahun 2000 sampai 2004, Center for Desease

(16)

Control and Prevention melaporkan bahwa merokok mengakibatkan rata-rata estimasi 61.616 kematian stroke pada pria dan 97.681 kematian stroke pada wanita (Goldstein et al., 2011).

Selain merokok, life style pasien yang lain adalah konsumsi tinggi garam yaitu sebanyak 55,5% (Tabel IV.3). Sehingga dapat dikatakan bahwa sebagian besar pasien dalam penelitian ini mengkonsumsi tinggi garam. Pada sebuah penelitian yang dilakukan oleh Harnugrahanto dan Hidayati terhadap seluruh pasien laki-laki berusia 35-55 tahun di klinik Rusdi Husada Bantul periode Juni – Juli 2010 dengan survey analitik dan menggunakan pendekatan retrospective menyebutkan bahwa asupan garam natrium yang pada laki-laki usia 35-55 tahun memiliki risiko menderita hipertensi sebesar 8,6 kali dibanding laki-laki usia 35-55 tahun yang asupan natriumnya dalam batas normal (Harnugrahanto dan Hidayati, 2012). Hubungan konsumsi natrium terhadap timbulnya hipertensi terjadi karena natrium merupakan ion utama yang ada di dalam cairan ekstraseluler, maka konsumsi natrium yang berlebih akan meningkatkan konsentrasi natrium pada cairan ekstraseluler sekitar 5,3 mEq/L, sehingga hal ini akan menyebabkan terjadinya peningkatan volume plasma, curah jantung dan pada akhirnya menyebabkan kenaikan tekanan darah (Sacks et al., 2001). Sedangkan tekanan darah tinggi merupakan faktor risiko utama terjadinya stroke (Junaidi, 2011). Pembatasan konsumsi garam Na merupakan hal yang harus dilakukan, bila penurunan konsumsi garam dilakukan sampai 2 gram sehari, tekanan diastol dapat diturunkan sampai 5 mmHg (Anna, 2007).

Faktor risiko berdasarkan life style selanjutnya adalah kebiasaan mengkonsumsi kopi yang menduduki urutan ketiga, sebesar 16,7% (Tabel

IV.3). Pada penelitian lain yang berjudul “faktor risiko hipertensi ditinjau

(17)

kebiasaan minum kopi 1-2 cangkir perhari meningkatkan risiko hipertensi sebanyak 4,12 kali lebih tinggi dibandingkan dengan subyek yang tidak memiliki kebiasaan minum kopi (Martiani, 2012). Kebiasaan minum kopi secara berlebihan dapat merugikan kesehatan, karena kandungan terbesar dalam kopi adalah kafein yang memiliki efek terhadap tekanan darah secara akut terutama pada penderita hipertensi. Peningkatan tekanan darah ini terjadi melalui mekanisme biologi antara lain kafein mengikat reseptor adenosin, mengaktifasi sistem saraf simpatik dengan meningkatkan konsentrasi ketokolamin dalam plasma, dan menstimulasi kelenjar adrenalin serta meningkatkan produksi kortisol. Hal ini berdampak pada vasokonstriksi dan meningkatkan total resistensi perifer, yang mengakibatkan peningkatan tekanan darah, di mana hal tersebut merupakan faktor risiko utama terjadinya risiko stroke (Junaidi, 2011 ; Martiani, 2012). Life style terakhir yang dimiliki oleh pasien adalah kebiasaan mengkonsumsi tinggi lemak adalah sebanyak 55,5% (Tabel IV.3). Pada penelitian multi etnis dari Northern Manhattan Studi (NOMAS), yang dilakukan terhadap 3.183 penduduk dengan usia rata-rata 70 tahun, dengan berbagai etnis. Hasilnya menunjukkan bahwa responden yang mengkonsumsi lemak terbanyak setiap harinya (115 gram per hari) berisiko menderita stroke 64% lebih besar dibanding dengan yang mengkonsumsi lemak paling sedikit (24 gram per hari) (Albala et al., 2009). Asupan lemak jenuh dalam jumlah banyak akan meningkatkan kolesterol total darah yang berarti juga meningkatkan kejadian aterosklerosis, di mana infark iskemik serebri sangat erat hubungannya dengan aterosklerosis (Tuminah, 2009 ; Wibowo, 2001).

Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa stroke iskemik akibat dari trombus memiliki jumlah yang jauh lebih besar (94,4%) jika dibandingkan dengan emboli (5,6%) (Tabel IV.4). Hal ini sesuai dengan

(18)

epidemologi dari stroke iskemik di mana kurang lebih 51% stroke iskemik disebabkan oleh trombosis arteri, yaitu pembentukan bekuan darah dalam arteri serebral akibat proses aterosklerosis dan kurang lebih 32% stroke iskemik disebabkan oleh emboli, yaitu tertutupnya arteri oleh bekuan darah yang lepas dari tempat lain di sirkulasi (Goldstein et al., 2006).

Penyakit penyerta pada stroke iskemik (Tabel IV.5) merupakan diagnosis akhir penyakit yang menyertai stroke iskemik. Diagnosis penyerta yang paling banyak pada pasien stroke iskemik di instalasi rawat inap RSU. Dr. Saiful Anwar Malang adalah hipertensi (94,4%), kemudian disusul oleh diabetes melitus (50%).

Hipertensi bertanggung jawab terhadap

munculnya penyakit stroke sebanyak 62% sedangkan 49%

lainnya dapat menyebabkan munculnya serangan jantung.

Untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang munculnya

penyakit perlu dilakukan diagnosis secara menyeluruh tentang

kemungkinan seseorang menderita penyakit darah tinggi

(hipertensi) (Ridwan M., 2002).

Diagnosis penyerta akan mempengaruhi terapi yang diberikan kepada pasien. Semakin kompleks penyakit penyerta, terapi yang diberikan semakin banyak, sehingga perlu pengawasan pada terapi yang diberikan, terutama yang berkaitan dengan interaksi dan efek samping obat.

Terapi ARB yang diberikan kepada 18 pasien stroke iskemik di instalasi rawat inap RSU. Dr. Saiful Anwar Malang terdiri dari terapi tunggal dan kombinasi dengan antihipertensi lain. Terapi tunggal ARB diberikan kepada 2 pasien (11,1%) sedangkan terapi kombinasi dengan antihipertensi lain diberikan pada 16 pasien (88,9%) (Tabel IV.6). ARB bertindak sebagai antagonis reseptor angiotensin II dengan cara memblok

(19)

reseptor angiotensin II tipe 1 (AT1) yang memediasi efek angiotensin II yang sudah diketahui pada manusia: vasokonstriksi, pelepasan aldosteron, aktivasi simpatetik, pelepasan hormon antidiuretik dan konstriksi arteriol efferent dari glomerulus. ARB tidak memblok reseptor angiotensinogen tipe 2 (AT2). Jadi efek yang menguntungkan dari stimulasi AT2 (seperti vasodilatasi, perbaikan jaringan, dan penghambatan pertumbuhan sel) tetap utuh dengan penggunaan ARB. Studi menunjukkan kalau ARB mengurangi berlanjutnya kerusakan organ target jangka panjang pada pasien-pasien dengan hipertensi dan indikasi khusus lainnya (Anonim, 2006). Dari hasil penelitian didapatkan bahwa valsartan memiliki prevalensi penggunaan cukup tinggi yang digunakan pada 18 pasien (100%). Terkait dengan penggunaan obat antihipertensi golongan ARB tunggal, dosis valsartan yang digunakan sebagian besar sudah sesuai dengan literatur yaitu pada hipertensi valsartan diberikan dalam dosis awal 80 mg sekali sehari. Dosis valsartan ditingkatkan, jika perlu, untuk 160 mg sekali sehari, dosis maksimum adalah 320 mg sekali sehari. Dosis awal yang lebih rendah dari 40 mg sekali sehari dapat digunakan pada pasien usia lanjut lebih dari 75 tahun, dan pada mereka dengan penurunan volume intravaskular. Pada gagal jantung, valsartan diberikan dalam dosis awal 40 mg dua kali sehari (Sweetman, 2009). Valsartan mempunyai waktu paruh cukup panjang untuk pemberian satu kali sehari. Tetapi kandesartan, eprosartan, dan losartan mempunyai waktu paruh paling pendek dan diperlukan dosis pemberian dua kali sehari agar efektif menurunkan tekanan darah (Anonim, 2006). Valsartan memiliki afinitas yang lebih tinggi untuk reseptor AT1 dari losartan, semakin kuat afinitas terhadap AT1 maka efek antihipertensi juga akan semakin meningkat (Rossana et al., 2011). Valsartan memberikan efek pengurangan tekanan darah hingga dua angka selama 24 jam dan memberikan efek antihipertensi pada populasi secara luas,

(20)

termasuk pada kasus hipertensi ringan hingga sedang, dan hipertensi sedang hingga berat, dan juga pada orang tua (Sargowo, 2012).

Salah satu pasien yang mendapat terapi ARB tunggal adalah (Pasien

No.5)memiliki riwayat penyakit stroke sebelumnya pada bulan April 2012 dan hipertensi. Pasien juga memiliki riwayat life style merokok. Tekanan darah pasien saat MRS 160/90 mmHg, nadi 64 denyut/menit, RR 16 tarikan/menit dan GCS (456) pasien dalam batas normal. Pasien menerima terapi awal antihipertensi tunggal pada hari ke-9 dari golongan ACEI yaitu captopril 3x25mg secara oral. Terjadi penggantian terapi antihipertensi golongan ACEI pada hari ke-11 dengan antihipertensi golongan ARB yaitu valsartan 1x40mg secara oral. Penggantian golongan obat antihipertensi ini dikarenakan adanya indikasi gagal jantung pada pasien yang dapat dilihat dari pemberian dosis awal valsartan yaitu 1x40mg. Sesuai dengan literatur dari (AHFS, A-Z drug fact) bahwa penggunaan valsartan untuk pasien dengan gagal jantung dapat dimulai dengan dosis awal 40 mg. Selain itu, kemungkinan pasien intoleran terhadap pemberian obat antihipertensi golongan ACEI dan tidak tercapainya penurunan tekanan darah yang adekuat selama terapi. ARB memiliki efek samping paling rendah dibandingkan dengan obat antihipertensi lainnya. Karena tidak mempengaruhi bradikinin, ARB tidak menyebabkan batuk kering seperti ACEI (Anonim, 2006). Selain valsartan, terapi utama yang digunakan adalah citicolin yang digunakan untuk mengurangi kerusakan sel saraf pada pasien. Pasien juga diberikan terapi aspilet. Aspilet diberikan sebagai antiplatelet yang dapat mengencerkan dan memperlancar peredaran darah. Selain terapi utama pasien juga mendapatkan beberapa terapi penunjang, hal ini disesuaikan dengan diagnosis penyerta dan gejala klinis yang dialami oleh pasien. Terapi penunjang yang diberikan adalah terapi cairan berupa IVFD NS 0,9% 20 TPM karena kondisi umum pasien lemah,

(21)

sedangkan ranitidin karena pasien mengeluhkan mual dan muntah.

Pilihan terapi obat awal harus spesifik tiap individu, berdasarkan kondisi pasien, keadaan medis terkait, dan tingkat tekanan darah. Umumnya, kebanyakan pasien harus dimulai dengan obat sekali-sehari kerja-lama dosis rendah yang dapat ditingkatkan secara lambat berdasarkan usia dan respons pasien. Sekitar 50% pasien memberikan respon terhadap terapi tunggal. Pada pasien beresiko tinggi (TD ≥180/110 mmHg, penyakit kardiovaskular klinis, kerusakan organ target), interval waktu antara menambahkan obat-obat baru dan merubah regimen yang sudah ada dapat dikurangi. Jika TD ≥20/10 mmHg di atas TD target, dimungkinkan dimulainya terapi menggunakan 2 obat, yang salah satunya biasanya berupa tipe thiazide (JAMA 2003;289:2560-72).

Pola penggunaan ARB kombinasi dengan antihipertensi lain pada pasien stroke iskemik di RSU Dr. Saiful Anwar Malang menunjukkan terapi kombinasi yang diberikan kepada pasien terdiri dari 2 – 3 macam antihipertensi, tetapi penggunaan terapi terbanyak adalah ARB dengan CCB, yaitu Valsartan dengan dosis 80 mg satu kali sehari dengan amlodipin 10 mg satu kali sehari dengan persentase sebesar 25% (Tabel

IV.6). Berdasarkan Effect of valsartan compared to amlodipine on

preventing type 2 diabetes in high-risk hypertensive patients: the VALUE trial, adanya kelebihan terapi yang sudah dilaporkan pada percobaan klinis dari VALUE untuk valsartan dan amlodipin yang memberikan alasan yang kuat untuk mengkombinasi kedua jenis obat ini. Adanya perbedaan pada efek sekunder, dimana pada pasien dengan amlodipin terdapat perkembangan yang lebih sedikit pada efek infark miokardium nonfatal dan terdapat kecenderungan yang lebih rendah untuk terjadi sroke fatal dan nonfatal, sementara valsartan dapat mengurangi kejadian rawat inap untuk komplikasi gagal jantung. Amlodipin + valsartan juga ditemukan memiliki

(22)

tingkat keamanan yang dibutuhkan (Kjeldsen et al., 2006). Sehubungan dengan efektifitasnya yang menguntungkan, mekanisme terapi yang terjadi diharapkan memiliki keuntungan terhadap keamanan dan toleransi terhadap pasien. Cara kerja dari ARB memiliki potensi untuk mengatasi kemungkinan efek samping yang berhubungan dengan penggunaan CCB. Secara umum, kejadian edema perifer yang terjadi berhubungan dengan penggunaan CCB merupakan hasil dari efek vasodilatasi yang bisa diatasi oleh ARB, yang menyebabkan dilatasi vena dan arterial secara bersamaan. Lebih lanjut lagi, semenjak diketahui bahwa pengaturan tekanan darah dapat dicapai tanpa memerlukan peningkatan dosis regimen, maka efek samping yang dengan dosis tinggi CCB dapat dihindari (Sargowo, 2012).

Salah satu pasien yang mendapat terapi kombinasi valsartan dan amlodipin adalah (Pasien No.7). Pada (Pasien No.7) usia 66 tahun dengan jenis kelamin laki-laki MRS dengan keluhan utama pusing berputar dan mendadak 5 jam SMRS dan pasien memiliki riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi dan stroke sebelumnya pada satu tahun yang lalu. Pasien didiagnosis dokter CVA trombosis, DM type II dan HT stage II. Pada data klinik pasien menunjukkan pasien mengalami peningkatan tekanan darah (160/80 mmHg) sehingga di sini pasien diterapi dengan kombinasi CCB dengan ARB yaitu amlodipin dan valsartan. Dosis yang digunakan pasien amlodipin 1x10mg dan valsartan 1x80mg dengan pemberian oral. Setelah penggunaan terapi kombinasi ARB dengan CCB menunjukkan adanya penurunan tekanan darah (130/80 mmHg) yang adekuat dan kardioprotektif sehingga risiko komplikasi kardiovaskuler dapat teratasi. Keadaan ini juga mengakibatkan kondisi pasien saat KRS hari ke-15 mengalami perbaikan.

Penambahan obat kedua dari kelas yang berbeda dimulai apabila pemakaian obat tunggal dengan dosis lazim gagal mencapai target tekanan darah. Apabila tekanan darah melebihi 20/10 mmHg diatas target, dapat

(23)

dipertimbangkan untuk memulai terapi dengan dua obat. Yang harus, diperhatikan adalah risiko untuk hipotensi ortostatik, terutama pada pasien-pasien dengan diabetes, disfungsi autonomik, dan lansia (DepKes, 2006). Pendekatan umum terhadap penanganan awal hipertensi adalah dua obat atau lebih dalam dosis yang lebih kecil, yang telah menggantikan terapi kombinasi dosis-tetap, sekali sehari dalam dosis penuh. Mekanisme kerja yang berbeda dapat menyebabkan efek samping yang lebih sedikit serta pengendalian tekanan darah yang lebih baik, terutama pada hipertensi resisten. Pada 60% pasien dan 75% penderita diabetes yang membutuhkan lebih dari satu obat antihipertensi, terapi kombinasi dosis-tetap, sekali sehari dapat memperbaiki kepatuhan berobat. Kombinasi yang memberikan manfaat bisa berupa diuretik ditambah penyekat-beta, antagonis kalsium, penghambat ACE, atau penyekat reseptor angiotensin II; penghambat ACE ditambah antagonis kalsium; penghambat ACE ditambah eplerenone (penyekat reseptor aldosteron); diuretik ditambah penyekat adrenegik ditambah vasodilator; atau penyekat beta ditambah antagonis kalsium. Kombinasi yang sebaiknya dihindari adalah dua obat dari kelas yang sama (mis. dua penyekat beta); agen yang bekerja sentral dan penyekat beta ditambah baik diltiazem maupun verapamil (Goldszmidt et al., 2003).

Pasien yang mendapatkan terapi kombinasi antihipertensi selanjutnya adalah (Pasien No.15) yaitu captopril + diltiazem + valsartan + amlodipin sebanyak 1 pasien (6,25%), pasien berusia 60 tahun dengan jenis kelamin perempuan dan dirawat selama 16 hari. Pasien datang dengan keluhan utama lemah ½ badan kanan dengan diagnosa akhir CVA trombosis dan hipertensi stadium satu. Pasien diberikan terapi simvastatin karena berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium, didapatkan kadar LDL pasien cukup tinggi yaitu 174 mg/dl. Antihipertensi diberikan pada hari ke 6 pada saat tekanan darah 190/100 mmHg yaitu captopril 3x25mg secara oral.

(24)

Pemberian captopril di sini untuk pemeliharaan tekanan darah pasien, akan tetapi penggunaan captopril belum dapat mengatasi fluktuasi tekanan darah pasien sehingga pada saat tekanan darah mencapai 180/90 mmHg ditambah dengan diltiazem 3x30mg secara oral. Namun, profil penurunan tekanan darah (170/100 mmHg) masih belum menunjukkan perubahan yang signifikan sampai terapi pada hari ke 10, sehingga terapi hari ke 11 dilakukan penambahan kombinasi obat antihipertensi golongan ARB dan CCB yaitu valsartan 1x80mg dan amlodipin 1x10mg yang diberikan secara oral. Terapi kombinasi antihipertensi ini mampu menurunkan tekanan darah (140/90 mmHg) yang cukup signifikan pada hari ke 16 dan menunjukkan adanya perbaikan. Penggunaan 4 jenis antihipertensi diperlukan untuk menurunkan tekanan darah pasien dan mencegah risiko stroke, namun penggunaan antihipertensi yang terlalu banyak dapat memicu terjadinya hipoperfusi. Untuk mengatasi CVA trombosis pasien diterapi dengan pemberian antiplatelet secara oral ASA dengan dosis 1x160mg. Antiplatelet di sini digunakan untuk mencegah arterotrombosis dengan menghambat terbentuknya agregasi platelet di intrakranial yang dapat menyebabkan beberapa penyakit di pembuluh arteri, menginduksi terbentuknya trombus atau emboli di sirkulasi distal (Smit et al., 2008). Pasien di sini juga diterapi dengan neuroprotektan pada saat MRS yaitu sitikolin dengan dosis 3x500mg secara injeksi. Tujuan dari pemberian sitikolin di sini adalah untuk menurunkan angka kecacatan dan kematian karena dengan penggunaan neuroprotektan dapat menurunkan terjadinya perluasan kerusakan sel saraf (McEvoy, 2008). Selain terapi pengatasan CVA pasien, pasien juga diterapi dengan antidislipidemia yaitu simvastatin 0-0-20mg yang digunakan untuk manstabilkan lipid.

Tujuan pengobatan stroke adalah membatasi atau mengurangi kerusakan pada otak, serta menghilangkan hambatan sirkulasi oksigen dan

(25)

glukosa pada sel yang merupakan penyebab terjadinya infark (Sweetman, 2009). Strategi pengobatan stroke iskemik terdapat dua langkah, pertama perfusi yaitu, memperbaiki aliran darah ke otak yang bertujuan untuk memperbaiki area iskemik dengan obat – obat antitrombotik. Kedua neuroproteksi yaitu pencegahan kerusakan otak agar tidak berkembang lebih berat akibat adanya daerah iskemik (Fagan and Hess, 2008). Distribusi pola penggunaan terapi utama pada pasien stroke iskemik di RSU Dr. Saiful Anwar Malang dapat terlihat pada (Tabel IV.8), terapi antiplatelet yang paling banyak digunakan adalah aspirin 15 pasien (83,3%). Aspirin bekerja dengan menghambat produksi tromboxan A2, dimana tromboxan A2 merupakan penginduksi agregasi platelet yang tidak stabil dan merupakan vasokonstriktor kuat. Neuroprotektan yang paling banyak digunakan pada pasien stroke iskemik adalah sitikolin 17 pasien (94,4%). Banyaknya penggunaan sitikolin tunggal di sini untuk mengurangi kadar lemak bebas, meningkatkan fosfatidilkolin dinding sel, dan meningkatkan sintesis asetilkolin (Widjaja, 2002). Penggunaan antidislipidemia pada pasien stroke iskemik selain karena adanya hubungan dengan penyakit penyerta dan faktor resiko juga untuk stabilisasi plak. Obat antidislipidemia yang banyak digunakan adalah simvastatin sebanyak 17 pasien (94,4%). Mekanisme kerja dari simvastatin yaitu dengan cara menghambat sintesis kolesterol dalam hati dengan menghambat enzim HMG CoA reduktase. Akibat dari penurunan sintesis kolesterol ini akan terjadi peningkatan jumlah reseptor LDL pada membran sel hepatosit yang akan menurunkan kadar kolesterol darah lebih besar lagi. Selain itu, LDL dan VLDL juga menurun sedangkan HDL akan meningkat (Suyatna, 2007). Antikoagulan yaitu warfarin merupakan pengobatan yang paling efektif untuk pencegahan stroke pada pasien dengan fibrilasi atrial. Pada pasien dengan atrial fibrilasi dan sejarah stroke atau TIA risiko kekambuhan

(26)

pasien merupakan salah satu risiko tertinggi yang diketahui (Fagan and Hess, 2008). Pada penelitian ini, tidak didapatkan data penggunaan obat antikoagulan karena penggunaan terapi tersebut lebih ditujukan untuk pasien dengan diagnosis stroke hemoragik, sedangkan pada penelitian ini keseluruhan pasien terdiagnosis MRS adalah stroke iskemik sehingga terapi antikoagulan dapat diganti dengan penggunaan antiplatelet selain itu pada penelitian ini juga tidak didapatkan diagnosis penyerta pasien berupa atrial fibrilasi.

Data perkembangan tekanan darah pasien stroke iskemik pada awal MRS dan saat KRS tersaji dalam Tabel IV.9. Dari keseluruhan jumlah pasien yang menjalani perawatan di instalasi rawat inap, sebagian besar mengalami penurunan tekanan darah pada saat KRS dibandingkan dengan saat awal MRS. Profil penurunan tekanan darah pasien dilihat dari tanda klinik yang ditunjukkan pasien terutama GCS dan tekanan darah. Bila pasien mengalami penurunan tekanan darah yang drastis dan mengalami penurunan GCS maka penggunaan obat antihipertensi dihentikan, namun bila pasien menunjukkan tanda klinik perbaikan maka penggunaan obat antihipertensi diberikan sebagai maintenance. Penurunan tekanan darah pasien stroke 20%-25% tekanan darah arteri rata-rata satu jam pertama (PERDOSSI, 2007).

Salah satu pasien yang mengalami penurunan tekanan darah saat KRS adalah (Pasien No.8). Pada saat MRS (Pasien No.8) datang dengan keluhan tidak bisa bicara mendadak ± 5 jam SMRS, dan pasien mulai dapat bicara lagi saat datang di rumah sakit sedikit-sedikit sampai lancar kembali. Tekanan darah pasien SMRS 170/90 mmHg, nadi 80 denyut/menit, RR 16 tarikan/menit dan GCS (456) pasien dalam batas normal. Terjadi peningkatan tekanan darah pasien pada hari ke-2 terlihat dari data klinik (180/80 mmHg) dan tekanan darah tetap dipertahankan tinggi tanpa

(27)

pemberian terapi obat antihipertensi. Tekanan darah tetap dipertahankan tinggi pada infark iskemik untuk menjaga perfusi dari kolateral, sumbatan pembuluh darah, dan untuk memberikan aliran darah yang cukup adekuat bagi daerah penumbra yang kritis karena autoregulasi CBF yang terganggu (Misbach dkk., 2007). Pada hari ke tiga pasien diberikan terapi kombinasi obat antihipertensi golongan diuretik dan ARB, yaitu furosemid 1x40mg dan valsartan 1x80mg secara oral. Setelah pemberian terapi antihipertensi tekanan darah pasien mengalami penurunan menjadi 130/70 mmHg dan tekanan darah pasien tetap stabil sampai KRS pada hari ke delapan dengan tekanan darah akhir 130/80 mmHg, nadi 60 denyut/menit, RR 20 tarikan/menit, dan GCS (456) masih dalam batas normal, sehingga kondisi KRS pasien dipulangkan dengan perbaikan.

Pasien berikutnya adalah pasien yang pulang paksa dengan profil tekanan darah MRS 190/90 mmHg, sedangkan tekanan darah KRS 170/90 mmHg. Pada (Pasien No. 14) berumur 79 tahun dan berjenis kelamin laki-laki dengan diagnosa akhir CVA trombosis dan hipertensi stadium 2. Pasien mendapatkan pengobatan drip nicardipin 0,5-6µg/kgBB/m pada perawatan hari ke 2, pada saat tekanan darah 230/100 mmHg.

N

icardipin termasuk golongan dyhidropyridine yang bersifat vaskuloselektif dan nicardipin sama dengan amlodipin memiliki selektifitas yang tinggi. Sifat vaskuloselektif ini memiliki keuntungan karena efek langsung pada nodus AV dan SA minimal, menurunkan resistensi perifer tanpa penurunan fungsi jantung yang berarti, dan relatif aman bila dikombinasi dengan β-blocker. Nicardipin tidak termasuk vasodilator kuat sehingga ini sangat menguntungkan untuk pasien stroke karena mencegah terjadinya hipotensi yang dapat memperparah kerusakan sel saraf pasien (Nafrialdi, 2007). Selain itu karena dari struktur kimia nicardipin cenderung bersifat basa sehingga dapat terion dalam GIT dan langsung terekskresi melalui feses

(28)

maka obat ini diberikan dalam bentuk iv drip. Keuntungan penggunaan iv drip adalah dalam pengaturan dosis cenderung lebih mudah, bila ingin di campur dengan obat – obat yang lain asalkan larut dalam cairan infus mudah, tidak ada fluktuasi sehingga kadar obat yang masuk sama dengan kadar obat yang keluar, dan parameter farmakokinetik dapat dilihat hanya dengan 2 titik saja (Siswandono, 2008). Pada perawatan hari ke 4, ketika tekanan darah pasien 180/100 mmHg, pasien diberikan kombinasi antihipertensi golongan CCB dan ARB yaitu amlodipin 1x10mg dan valsartan 1x80mg yang diberikan secara oral. Namun, penggunaan kombinasi ini tidak dapat dipantau lebih lanjut dikarenakan pasien dipulangkan.

Pada (Tabel IV.10) menunjukkan lama perawatan 18 pasien stroke iskemik, lama perawatan pasien 5 hari sebanyak 1 pasien (5,6%), 6-10 hari sebanyak 3 pasien (16,7%), 11-15 hari sebanyak 8 pasien (44,4%), 16-20 hari sebanyak 5 pasien (27,8%), 21-25 hari sebanyak 0 pasien (0%), dan perawatan 26-30 hari sebanyak 1 pasien (5,6%). Lamanya perawatan tergantung perkembangan kondisi pasien yang mengalami perbaikan baik dari tekanan darah, kondisi umum, dan peningkatan kesadaran. Hal ini menunjukkan bahwa untuk memutuskan berapa lama obat sebaiknya diberikan sebetulnya tidak ada standar yang pasti. Namun perlu digaris bawahi, bahwa riwayat perjalanan penyakit akan menentukan berapa lama obat harus diminum. Untuk penyakit-penyakit yang berlangsung kronis dapat sampai 6 bulan. Sementara untuk penyakit-penyakit yang sifatnya akut dan dapat sembuh sendiri (self limiting diseases) dapat diberikan obat simptomatis sampai gejala klinisnya menghilang. Berdasarkan Randomized controlled trial of home rehabilitation for patients with ischemic stroke impact upon disability and elderly depression disimpulkan bahwa adanya rehabilitasi pasca stroke selama 6 bulan dapat meningkatkan fungsional

(29)

fisik dan mengurangi tingkat depresi pada pasien, namun tidak untuk mengatasi dimentia pada pasien (Chaiyawat et al., 2012).

Salah satu pasien yang mendapatkan terapi singkat adalah (Pasien

No.16) dengan lama terapi 5 hari. (Pasien No.16) MRS dengan keluhan

lemas ½ badan kiri mendadak saat olah raga tersebut tanpa diikuti adanya penurunan GCS (456). Pasien mendapatkan terapi kombinasi golongan ARB dan CCB yaitu valsartan 1x80mg dan amlodipin 1x10mg secara oral. Namun, pada terapi hari ke dua terdapat pergantian dosis pada ke dua golongan antihipertensi ARB dan CCB yaitu Valsartan 2x80mg dan Amlodipin 2x10mg. Adanya pergantian dosis tersebut dikarenakan tidak tercapainya penurunan tekanan darah yang adekuat (170/90 mmHg) sehingga perlu untuk meningkatkan dosis dari ke dua obat antihipertensi tersebut. Penggunaan kombinasi antihipertensi ini juga memberikan efek kardioprotektif sehingga mampu mengurangi risiko komplikasi kardiovaskuler pada pasien.

Pasien dengan perawatan paling lama sebanyak 1 orang yaitu selama 29 hari (Pasien No.12). Pasien datang dengan keluhan utama penurunan kesadaran yang ditunjukkan dari nilai GCS pasien (345), dan tekanan darah SMRS 160/80 mmHg. Pasien memiliki riwayat life style konsumsi tinggi lemak dan konsumsi tinggi garam dan diagnosis akhir CVA trombosis 2nd attack, hipertensi stadium dua, pneumonia, ISK dan septik. Pada awal terapi, pasien diberikan neuroprotektan sitikolin dengan dosis 2x1000mg secara i.v untuk mencegah perluasan kerusakan sel saraf pasien, pasien juga mendapat terapi simvastatin 1x20mg secara oral yang ditujukan untuk stabilisasi plak pada pembuluh darah pasien, dan aspilet 1x160 mg secara oral untuk mengatasi stroke trombosis pasien. Terjadi peningkatan tekanan darah pasien pada hari ke 2 terlihat dari data klinik (188/83 mmHg) dan tekanan darah tetap dipertahankan tinggi tanpa

(30)

pemberian terapi obat antihipertensi. Tekanan darah tetap dipertahankan tinggi pada infark iskemik untuk menjaga perfusi dari kolateral, sumbatan pembuluh darah, dan untuk memberikan aliran darah yang cukup adekuat bagi daerah penumbra yang kritis karena autoregulasi CBF yang terganggu (Misbach dkk., 2007). Selain itu tujuan tekanan darah tetap dipertahankan tinggi adalah untuk meningkatkan efek kerja obat dari neuroprotektan dan antiplatelet. Pasien mendapat terapi antibiotik golongan quinolon yaitu ciprofloxacin 2x400mg secara i.v pada hari ke empat. Adanya penggunaan antibiotik menunjukkan bahwa pasien mengalami infeksi yang ditandai dengan adanya peningkatan suhu menjadi 37°C. Pemberian antibiotik tersebut bertujuan untuk mengatasi ISK pada pasien. Infeksi nosokomial (INOK) atau nosocomial infection (NI) merupakan suatu “jenis” infeksi di lingkungan rumah sakit yang diperoleh ketika pasien dirawat di rumah sakit tersebut. Kehadiran INOK baik berupa infeksi pada vena yang umumnya terjadi akibat pemasangan infus, infeksi saluran kemih yang umumnya terjadi akibat pemasangan kateter, infeksi pada luka operasi, infeksi pada saluran pernapasan maupun infeksi umbilicus pada neonates bermuara pada memperparah kondisi penyakit yang sudah ada. Gejala yang muncul dapat berupa gejala lokal seperti phlebitis, radang lokal pada tempat operasi, radang kandung kemih dan saluran kemih pada pemasangan kateter, maupun gejala sistemik berupa sepsis yang dapat menyebabkan pada kematian. Di samping itu, kehadiran INOK juga memperpanjang masa perawatan. Ini berarti, INOK memperburuk penyakit yang telah ada dan mengurangi efisiensi perawatan (Djunaedi, 2006). Terapi antihipertensi diberikan pada hari ke 8 pada saat tekanan darah pasien mencapai 183/78 mmHg. Antihipertensi yang digunakan yaitu kombinasi golongan CCB (amlodipin 1x10mg) dan ACEI (captopril 2x25mg) peroral. Penggunaan terapi kombinasi antihipertensi tersebut

(31)

dapat menurunkan tekanan darah menjadi 142/66 mmHg, namun terjadi peningkatan tekanan darah kembali pada hari ke 14 menjadi 180/100 mmHg sehingga pasien mendapat terapi antihipertensi tambahan dari golongan ARB yaitu valsartan 2x80mg secara oral pada hari ke 15. Pemberian antihipertensi tambahan juga diberikan pada terapi hari ke 17 dari golongan CCB yaitu diltiazem 3x30mg peroral. Pemberian antihipertensi tersebut dikarenakan tekanan darah pasien masih tinggi yaitu 170/100 mmHg. Pada hari ke 19 terjadi penambahan terapi antihipertensi yaitu furosemid 20-0-0mg. Penggunaan furosemid di sini selain untuk menurunkan tekanan darah juga diindikasikan untuk mengatasi CKD pasien dengan adanya peningkatan ureum dan kreatinin pasien yang menunjukkan adanya gangguan filtrasi glomerulus (Nafrialdi, 2007). Selain adanya ISK, lama perawatan pada pasien terkait dengan adanya penyakit penyerta yaitu pneumonia dan septik. Syok sepsis dan septik merupakan komplikasi potensial dari pneumonia. Sepsis terjadi karena mikrorganisme masuk ke aliran darah dan respon sistem imun melalui sekresi sitokin. Sepsis seringkali terjadi pada pneumonia yang disebabkan oleh bakteri, salah satu contoh bakteri penyebabnya adalah streptococus pneumonia. (Fransisca S.K., 2000). Stroke juga bisa terjadi pada kategori penyakit infection seperti sepsis candidiasis, karena infeksi dapat mengakibatkan suatu peradangan atau infeksi yang menyebabkan menyempitnya pembuluh darah yang menuju ke otak. Selain peradangan umum oleh bakteri, peradangan juga bisa dipicu oleh asam urat yang berlebihan dalam darah (Junaidi, 2011).

Pada Tabel IV.11 menunjukkan kondisi KRS 18 pasien stroke iskemik di instalasi rawat inap RSU Dr. Saiful Anwar Malang, kondisi KRS meliputi pasien meninggal (5,6%), pasien perbaikan dengan pulang paksa (16,7%), dan pasien yang dipulangkan dengan perbaikan (77,8%).

(32)

Kondisi KRS pasien meninggal 1 pasien (10%). Dalam hal ini kondisi pasien yang meninggal disebabkan karena CVA ICH dan Azotemia Renal. Kondisi pasien yang meninggal menunjukkan

data klinik dan data

laboratorium yang memburuk.

Pada (Pasien No.18) usia 58 tahun dengan jenis kelamin laki-laki, pasien MRS dengan keluhan utama lemah ½ badan kiri dan memiliki riwayat lemah ½ badan kiri mendadak 11 jam SMRS, merot dan pelo. Pasien juga memiliki riwayat penyakit diabetes melitus dan hipertensi yang tidak terkontrol terlihat dari life style pasien yaitu pasien sering konsumsi kopi, lemak, garam, dan pasien juga merokok. Dari data laboratorium dan data klinik pasien ini menunjukkan adanya peningkatan tekanan darah, dan adanya penurunan RR 16 tarikan/menit. Penurunan RR pasien menunjukkan adanya gangguan pada paru pasien. Pada MRS pasien juga menunjukkan penurunan kesadaran yang terlihat pada GCS pasien yaitu (445) yang menunjukkan adanya gangguan verbal dan motorik. Ureum dan kreatinin pasien mengalami peningkatan yang menunjukkan adanya gangguan pada filtrasi glomerulus. Dari data laboratorium pasien juga menunjukkan adanya infeksi di mana ditunjukkan dengan adanya peningkatan kadar leukosit pasien yaitu 18800/µl (Susialine, 2011). Dari hasil CT scan dokter mendiagnosa pasien suspect stroke trombosis, sehingga pasien diterapi dengan antiplatelet yaitu aspilet dengan dosis 1x320 mg secara oral. Selain itu pasien juga diterapi dengan sitikolin dengan dosis 2x1000 mg i.v dimana ini berfungsi sebagai neuroprotektan. Pasien juga diterapi dengan simvastatin secara peroral dengan dosis 1x20 mg untuk menstabilkan plak pada pembuluh darah pasien. Pasien menunjukkan adanya peningkatan kesadaran pada hari ke-2 yang terlihat dari GCS pasien meningkat (456). Selain itu, pasien juga mengalami peningkatan RR 24 tarikan/menit dimana

(33)

ini menunjukkan kondisi pasien menjadi sesak sehingga di sini pasien diterapi dengan pemberian O2. Pasien mengalami peningkatan GDP 176

mg/dl dan GDPP 256 mg/dl peningkatan ini merupakan parameter pasien mengalami hiperglikemia, sehingga pasien di sini di diagnosis diabetes melitus. Pada pasien dengan diabetes, 30% sampai 75% dari komplikasi dapat dikaitkan dengan hipertensi. Diabetes dan hipertensi menyebabkan risiko yang sangat tinggi untuk pengembangan komplikasi makrovaskuler dan mikrovaskuler. Pasien diabetes memiliki insiden yang lebih tinggi dari penyakit arteri koroner, gagal jantung kongestif, dan hipertrofi ventrikel kiri saat hipertensi juga diderita. Insiden komplikasi makrovaskular lainnya, seperti stroke dan penyakit pembuluh darah perifer juga meningkat secara signifikan. Disamping komplikasi makrovaskular, hipertensi mempercepat risiko komplikasi mikrovaskuler seperti nefropati, retinopati , dan neuropati jauh lebih mudah ditemui ketika hipertensi diderita dengan diabetes (Ecler et all, 2002). Untuk mengatasi hiperglikemia pasien diterapi dengan insulartad 0-10 IU subkutan. Kolesterol total pasien mengalami peningkatan yaitu 203 mg/dl di sini menunjukkan adanya gangguan lipid pada pasien. Kadar HDL pasien di sini mengalami penurunan 44 mg/dl di mana penurunan HDL di sini karena pasien mengalami DM. Tekanan darah pasien mengalami peningkatan cukup tinggi yaitu 230/110 mmHg sehingga pasien diterapi dengan penggunaan antihipertensi kombinasi. Kondisi pasien belum menunjukkan adanya perbaikan, di mana kondisi pasien masih mengalami penurunan kesadaran dan kondisi umum pasien masih melemah sampai akhir terapi diberikan. Pada hari ke-11 pasien menunjukkan adanya infeksi yang terlihat dari peningkatan leukosit pasien 19.100 g/dl, sehingga pasien diterapi dengan ceftriaxon dengan dosis 1x1 g i.v. Kondisi pasien semakin memburuk sehingga pada hari ke-18 pasien meninggal dengan penyebab kematian CVA ICH dan azotemia renal. Meninggalnya pasien di

(34)

sini karena keadaan tekanan darah pasien yang terus menerus mengalami penurunan sedangkan 3 kombinasi obat antihipertensi masih digunakan. Selain itu juga pasien mengalami penurunan kesadaran yang terus menerus sehingga memperburuk keadaan pasien yang ditandai dengan semakin menurunnya GCS pasien hingga (111). Adanya diagnosis penyebab kematian azotemia renal pada pasien karena pada pemeriksaan laboratorium terakhir pasien menunjukkan adanya peningkatan kadar ureum kreatinin, yang mana dapat menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerular dan akan berpengaruh pada fungsi ginjal. Gangguan pada fungsi ginjal ini juga bisa disebabkan oleh komplikasi dari diabetes melitus yang diderita oleh pasien.

Mengingat pasien komplikasi rentan dengan sepsis dan infeksi nosokomial maka pemilihan antibiotik dilakukan dengan bijak. Menurut Pedoman Diagnosis penatalaksanaan sepsis dimulai dengan kontrol infeksi dengan konsep baru optimalisasi pemberian antibiotik dalam upaya mematikan kuman patogen, maka antimikroba di sini dibagi menjadi dua golongan yaitu concentration dependent seperti aminoglikosida dan floroquinolon dan time dependent yang terdiri dari makrolida, clindamycin, dan β-laktam. Panduan pemilihan antibiotik berdasakan keadaan imunokompeten adalah ceftriaxon 1g setiap 12 jam atau meropenem 1g setiap 8 jam. Dapat ditambahkan dengan gentamicin atau tobramycin 5mg/kgBB setiap 12 jam. Bila alergi terhadap β-laktam dapat diberi dengan ciprofloxacin 400mg setiap 12 jam ditambah clindamycin 600mg setiap 8 jam (Tjokroprawiro, 2008).

Dari pembahasan di atas terlihat bahwa manajemen terapi stroke begitu kompleks, banyak hal yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan terapi. Disinilah peran farmasis untuk bekerja sama dengan tenaga kesehatan lain dalam perencanaan, pemberian dan pemantauan terapi obat yang diperoleh pasien. Sehingga dapat dicapai tujuan yang diharapkan

(35)

pasien, yaitu terapi yang aman, rasional, dan ekonomis guna meningkatkan mutu pelayanan kepada pasien.

Gambar

Tabel IV.1 Distribusi Usia Pasien Stroke Iskemik
Tabel IV.2 Distribusi Status Pasien Stroke Iskemik  No.  Status Pasien  Jumlah Pasien  Prosentase
Tabel IV.3 Faktor Risiko Stroke Iskemik
Tabel IV.4 Klasifikasi Stroke Iskemik Pada Pasien  No.  Jenis Stroke
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada anak yang lebih besar, gejalanya dapat dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu massa pada perut kanan atas dengan jaundice intermittent karena obstruksi biliaris,

rib stitch yaitu elastis dan timbul atau berbukit (tidak tampak kencang) secara bergantian pada kedua sisinya dan semakin besar jumlah rasio pergantian antara knit

Kinerja pada dasarnya merupakan hasil yang diperoleh seseorang atau lembaga dalam melaksanakan pekerjaan tertentu. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

Konsep Buku Bahan Ajar MK : Rekayasa Lalu Lintas, Oleh : Theo K.. 2) Pada kasus yang lain (jumlah volume lalin yang berbeda) penambahan jumlah fase mungkin bisa meningkatkan

Sebagai tindak lanjut amanat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Peraturan Pemerintah (PP) RI Nomor 8

Setelah dilakukan pelapisan, sifat hidrofilik pada permukaan semakin baik yang ditunjukkan dengan berkurangnya nilai sudut kontak dari ubin. Pengaruh jenis basa

Perseroan menyatakan telah menyampaikan rencana penambahan lahan yang akan diakuisisi tersebut kepada Bapepam-LK dan akan meminta persetujuan pemegang saham dalam RUPS.

terlihat bahwa penggunaan deflektor pada berbagai sudut variasi selalu menghasilkan daya listrik yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa menggunakan deflektor,