• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP IKAN BETOK YANG DIRENDAM HORMON PERTUMBUHAN IKAN KERAPU KERTANG REKOMBINAN DENGAN DOSIS BERBEDA PADA UMUR 12 HARI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP IKAN BETOK YANG DIRENDAM HORMON PERTUMBUHAN IKAN KERAPU KERTANG REKOMBINAN DENGAN DOSIS BERBEDA PADA UMUR 12 HARI"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP

IKAN BETOK YANG DIRENDAM HORMON

PERTUMBUHAN IKAN KERAPU KERTANG REKOMBINAN

DENGAN DOSIS BERBEDA PADA UMUR 12 HARI

RIMA KHASANAWATI SRI POGRAM

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:

PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP IKAN

BETOK YANG DIRENDAM HORMON PERTUMBUHAN

IKAN KERAPU KERTANG REKOMBINAN DENGAN DOSIS

BERBEDA PADA UMUR 12 HARI

adalah benar merupakan hasil karya yang belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juni 2011

RIMA KHASANAWATI SRI POGRAM C14080009

(3)

ABSTRAK

RIMA KHASANAWATI SRI POGRAM. Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Ikan Betok yang Direndam Hormon Pertumbuhan Ikan Kerapu Kertang Rekombinan dengan Dosis Berbeda pada Umur 12 Hari. Dibimbing oleh Dr. Odang Carman dan Dr. Alimuddin.

Penelitian ini dilakukan untuk menguji efektivitas hormon pertumbuhan ikan kerapu kertang rekombinan (rElGH) yang diaplikasikan pada ikan betok berumur 12 hari melalui perendaman dengan dosis berbeda. Uji efektivitas berdasarkan pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup ini dilakukan dengan menggunakan 4 kadar dosis rElGH berbeda, yaitu 0, 3, 6, dan 12 mg/L yang diulang sebanyak 3 kali. Sebelum dilakukan proses perendaman hormon, ikan uji diberi kejut salinitas dengan kadar NaCl 3% selama 2 menit. Selanjutnya dilakukan proses perendaman dalam larutan rElGH selama 2 jam. Larutan perendaman rElGH tersebut dibuat dengan cara melarutkan BSA 0,01% dan rElGH dalam air bersalinitas 0,5%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perendaman dengan dosis rElGH sebesar 12 mg/L dapat meningkatkan biomassa sebesar 4% dibandingkan dengan kontrol.

Kata kunci: hormon pertumbuhan rekombinan, Anabas testudineus, perendaman, dosis

______________________________

ABSTRACT

RIMA KHASANAWATI SRI POGRAM. Growth and Survival of 12-day-old Climbing Perch immersed in Giant Grouper Growth Hormone Solution at Different Doses. Supervised by Dr. Odang Carman, and Dr. Alimuddin.

The study was conducted to determine the effectiveness of recombinant giant grouper growth hormone (rElGH) applied to 12-day-old climbing perch by immersion at different doses. The effectiveness test based on growth and survival rates were performed by four different rElGH doses; 0, 3, 6, and 12 mg/L in triplicates. Before immersion process was conducted, the fish were shocked in 3% saline solution for 2 minutes. Then immersion was conducted for 2 hours in rElGH solution. That solution was made by mixing the BSA 0.01% and rElGH in 0.5% saline water. The result showed that immersed juvenile fish in 12 mg/L rElGH dose increased 4% of biomass than controls.

(4)

PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP

IKAN BETOK YANG DIRENDAM HORMON

PERTUMBUHAN IKAN KERAPU KERTANG REKOMBINAN

DENGAN DOSIS BERBEDA PADA UMUR 12 HARI

RIMA KHASANAWATI SRI POGRAM

SKRIPSI

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Program Studi Teknologi & Manajemen Perikanan Budidaya

Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012

(5)

PENGESAHAN

Judul : Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Ikan Betok yang Direndam Hormon Pertumbuhan Ikan Kerapu Kertang Rekombinan dengan Dosis Berbeda pada Umur 12 Hari.

Nama : Rima Khasanawati Sri Pogram Nrp : C14080009

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Odang Carman Dr. Alimuddin

NIP. 19591222 198601 1001 NIP. 19700103199512 1001

Mengetahui,

Ketua Departemen Budidaya Perairan

Dr. Odang Carman NIP. 19591222 198601 1001

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini. Berkat rahmat dan karunia-Nya penulis telah menyelesaikan penelitian dengan judul “Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Ikan Betok yang Direndam Hormon Pertumbuhan Ikan Kerapu Kertang Rekombinan dengan Dosis Berbeda pada Umur 12 Hari” yang dimulai pada bulan Februari hingga Maret 2012 di Laboratorium Reproduksi dan Genetika Organisme Akuatik Departemen Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Odang Carman sebagai dosen pembimbing I atas waktu, tenaga, pikiran dan perhatiannya dalam penyelesaian skripsi ini.

2. Dr. Alimuddin sebagai dosen pembimbing II atas kuliah tambahan dan masukan-masukkannya selama penelitian hingga saat ini.

3. Dr. Munti Yuhana yang berkenan sebagai dosen penguji pada ujian akhir. 4. Dr. Mia Setiawati selaku Komisi Pendidik

5. Pogram, S.St, Sri Kusnafsiah S.Pd, Dianita F Pogram, Rian J Pogram, Laura A Pogram, dan Mishbahuddin Dhiyaa’ulhaq, yang telah memberi dukungan dan kebahagiaan.

6. Anna Octavera, M.Si, atas nasihat dan bantuannya

7. Darmawan S, S.Pi; Jasmadi S.Pi; Ika R, S.Pi; Pustika R, S.Pi

8. Rekan-rekan di Laboratorium Reproduksi dan Genetika Organisme Akuatik: Bu Yulintine, Mas Boyun, Bu Eni, Bang Safir, Bang Arsal, Kang Dedi, Pak Aam, Hikma, Ifa, Sri, Ami, Dita, Fajar, Daus, Baehaki dan Yadi atas aliran semangat dan bantuannya selama proses penelitian hingga saat ini.

9. Rekan-rekan BDP 45, FKMC, serta semua pihak yang belum bisa disebutkan satu persatu.

Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat untuk masyarakat secara luas. Bogor, Juni 2012

(7)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sukabumi pada tanggal 28 Februari 1990. Mengawali pendidikan di SD Negeri Gunungjaya pada tahun 1996 dan menyelesaikannya pada tahun 2002. Melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 1 Cisaat (2002-2005) dan SMA Negeri 3 Kota Sukabumi (2005-2008).

Tahun 2008 diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) sebagai mahasiswa Departemen Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama perkuliahan penulis aktif sebagai pengurus Forum Keluarga Mahasiswa Muslim FPIK (FKMC) periode 2009-2011, sebagai anggota Himpunan Mahasiswa Akuakultur (HIMAKUA), sebagai penyelenggara Kongres Nasional Himpunan Mahasiswa Perikanan Indonesia (HIMAPIKANI) X, finalis pada PIMNAS XXIV kategori bidang Penelitian (PKMP), dan termasuk dalam tim asisten praktikum mata kuliah Dasar-dasar Genetika Ikan periode 2012.

Penulis juga pernah melaksanakan magang di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut Lampung dengan komoditas “Pakan Alami Zooplankton” dan praktik kerja lapangan dengan judul “Pembenihan Ikan Nilem (Osteochilus

hasselti) di Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar Sempur, Unit

Lingkungan Budidaya dan Toksikologi, Cibalagung, Bogor”. Tugas akhir dalam pendidikan tinggi diselesaikan dengan menulis skripsi yang berjudul “Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Ikan Betok yang Direndam Hormon Pertumbuhan Ikan Kerapu Kertang Rekombinan dengan Dosis Berbeda pada Umur 12 Hari”.

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... ii

DAFTAR GAMBAR ... iii

DAFTAR LAMPIRAN ... iv

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1.Latar Belakang ... 1

1.2.Tujuan ... 4

II. BAHAN DAN METODE ... 5

2.1.Produksi Hormon Pertumbuhan Ikan Kerapu Kertang (ElGH) ... 5

2.2.Penyediaan Hewan Uji ... 6

2.3.Proses Perendaman dan Pemeliharaan Ikan ... 6

2.4.Parameter yang Diamati dan Analisis Data ... 7

III. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 8

3.1.Hasil 3.1.1.Pertumbuhan Ikan Betok ... 8

3.1.2.Kelangsungan Hidup ... 9 3.2.Pembahasan ... 10 IV. KESIMPULAN ... 13 4.1.Kesimpulan ... 13 DAFTAR PUSTAKA ... 14 LAMPIRAN ... 16

(9)

ix DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Ikan betok hasil perendaman setelah 5 minggu pemeliharaan ... 9 2. Tingkat kelangsungan hidup benih ikan betok hingga akhir pemeliharaan ... 9

(10)

x DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Proses kultur bakteri Escherichia coli BL 21 dengan konstruksi hormon pertumbuhan ikan kerapu kertang rekombinan (rElGH) ... 16 2. Alur kerja selama penelitian ... 17 3. Data sampling akhir ... 18

(11)

1

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ikan betok (Anabas testudineus Bloch.) merupakan ikan yang sangat potensial untuk dikembangkan di Indonesia, khususnya di Kalimantan. Harga ikan betok di Kalimantan relatif tinggi, berkisar antara Rp 20.000 sampai Rp 40.000/kg (Ghufran dan Kordi, 2010), dan bahkan dapat mencapai Rp 100.000 pada hari raya Idul Fitri (Borneonews, 2011). Sebanyak 91 ton ikan ini telah ditangkap pada tahun 2004, dan naik menjadi 1.505 ton pada tahun 2005 (DKP 2008 dalam Sembiring 2011). Peningkatan secara drastis jumlah ikan tangkapan tersebut berpotensi besar menyebabkan stok ikan alam habis. Oleh karena itu, produksi ikan betok melalui kegiatan budidaya menjadi alternatif jalan keluar. Namun demikian, waktu pemeliharaan ikan ini cukup lama, untuk menghasilkan ikan betok dengan bobot berkisar antara 15 g sampai 30 g saja, membutuhkan waktu selama 6 bulan pemeliharaan (Nguyen et al., 2002). Hal tersebut diduga menjadi penyebab rendahnya minat masyarakat untuk membudidayakan ikan ini. Oleh karena itu, peningkatan laju pertumbuhan ikan betok merupakan salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan yang terjadi.

Hormon pertumbuhan (growth hormone/GH) merupakan polipeptida rantai tunggal dengan ukuran sekitar 22 kDa. Secara alami, hormon pertumbuhan dihasilkan di kelenjar pituitari dengan fungsi pleiotropik pada setiap hewan vertebrata (Rousseau & Dufour, 2007 dalam Acosta et al., 2009). Fungsi tersebut di antaranya adalah untuk mengatur pertumbuhan tubuh, reproduksi, imunitas, dan regulasi osmosis di ikan teleost (Rousseau & Dufour, 2007 dalam Acosta et al., 2009). Karena tingkat produktivitas GH secara alami relatif rendah, maka GH telah diproduksi melalui bioreaktor, seperti bakteri dan ragi. Sekuen gen penyandi GH ikan diinsersi ke vektor ekspresi, kemudian ditransformasi ke bioreaktor. Protein yang dihasilkan disebut badan inklusi.

Potensi penggunaan hormon pertumbuhan rekombinan (recombinant growth hormone/rGH) untuk meningkatkan pertumbuhan ikan salmon telah dilaporkan oleh Moriyama dan Kawauchi (1990). Ikan salmon yang direndam dengan rGH bobotnya meningkat sebesar 40% dibandingkan kontrol (Moriyama

(12)

2 dan Kawauchi, 1990). Selanjutnya teknologi produksi hormon pertumbuhan melalui bakteri Escherichia coli telah diteliti oleh Promdonkoy et al. (2004), dan melalui ragi oleh Li et al. (2003). Dengan menggunakan teknologi tersebut, produksi hormon pertumbuhan secara massal, dan efisien dalam segi biaya sangat memungkinkan untuk dilakukan. Pada penelitian ini, produksi hormon pertumbuhan dilakukan menggunakan E. coli, karena sudah tersedia, dan relatif lebih mudah dilakukan. Di Indonesia, penelitian mengenai hormon pertumbuhan rekombinan diawali oleh Lesmana (2010). Lesmana (2010) telah berhasil mentransformasikan gen yang menyandikan GH mature dalam bakteri E.coli DH5α yang masih berfungsi sebagai vektor kloning, ke dalam bakteri E. coli BL21 yang telah berfungsi sebagai vektor ekspresi melalui proses pemotongan dan penyambungan gen ke dalam plasmid tertentu, kultur bakteri, dan seleksi koloni untuk mendapatkan bakteri yang mengeksprsikan hormon pertumbuhan ikan kerapu kertang rekombinan seperti yang diinginkan. Hasil transformasi berupa pCold-mGH dalam bakteri E. coli yang telah diproduksi tersebut, telah dapat digunakan dalam penelitian ini.

Melalui aplikasi hormon pertumbuhan rekombinan, diharapkan benih ikan betok cepat tumbuh, dapat diproduksi dan pada akhirnya minat masyarakat untuk membesarkan ikan betok ini diharapkan meningkat. Hasil penelitian Acosta et al. (2007) melaporkan bahwa penambahan hormon pertumbuhan ikan nila (tiGH) rekombinan yang diberikan untuk ikan nila merah dapat meningkatkan bobotnya sebesar 171%. Acosta et al. (2009) menambahkan bahwa pertumbuhan ikan koki meningkat lebih dari 100% dengan tingkat kelangsungan hidup yang meningkat sebesar 22% dibandingkan kontrol. Selain itu, Putra (2011) juga melaporkan bahwa peningkatan pertumbuhan sebesar 75% dengan tingkat kelangsungan hidup 100% terjadi pada ikan gurame setelah diberi hormon pertumbuhan rekombinan ikan gurame (OgGH) rekombinan.

Penelitian ini menggunakan hormon pertumbuhan ikan kerapu kertang (rElGH). Berdasarkan Handoyo (2012, belum dipublikasikan), produksi rElGH pada E. coli lebih tinggi dibandingkan dengan hormon pertumbuhan yang berasal dari ikan mas, dan ikan gurame. Selain itu juga, Alimuddin et al. (2010) melaporkan bahwa bioaktivitas rElGH pada ikan nila lebih baik dibandingkan

(13)

3 dengan hormon pertumbuhan ikan mas, dan ikan gurame. Oleh karena itu, penggunaan rElGH pada penelitian ini juga diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup ikan betok.

Penerapan hormon pertumbuhan rekombinan untuk ikan dapat dilakukan dengan cara penyuntikan (Alimuddin et al., 2010), pemberian pakan (Peterson et al., 2004), dan perendaman (Ratnawati, 2012). Menurut Moriyama dan Kawauchi (1990) aplikasi hormon rekombinan pertumbuhan melalui pemberian pakan dan perendaman merupakan metode yang paling aplikatif untuk diterapkan dalam skala besar. Aplikasi hormon pertumbuhan melalui pakan dapat menghabiskan hormon pertumbuhan lebih banyak dibandingkan dengan metode perendaman. Selain itu, pemberian hormon pertumbuhan melalui pakan buatan dapat dilakukan setelah ikan berukuran besar, dan dapat mencerna pakan buatan. Oleh karena itu, penerapan hormon pertumbuhan melalui perendaman dipilih sebagai awal dari penelitian aplikasi hormon pertumbuhan rekombinan untuk ikan betok.

Mekanisme masuknya hormon pertumbuhan pada tubuh ikan melalui proses perendaman belum diketahui secara pasti (Acosta et al., 2009). Namun demikian, hormon pertumbuhan yang diberikan pada ikan melalui perendaman diduga dapat masuk melalui insang, dan pori-pori tubuh (Ratnawati, 2012). Terkait dengan hal tersebut, umur ikan diduga dapat mempengaruhi tingkat keberhasilan aplikasi hormon pertumbuhan rekombinan yang diberikan. Pada penelitian ini digunakan ikan betok yang berumur 12 hari. Menurut Morioka (2009) ikan yang berumur antara 10-13 hari, telah memiliki sirip dorsal dan anal yang lengkap, organ labirin yang lengkap, dan beberapa organ yang telah berkembang di antaranya sirip kaudal, sirip pektoral, serta proporsi badannya sudah mulai konstan. Sehingga diduga, dengan perendaman pada umur 12 hari, ikan akan lebih kuat apabila direndam dalam salinitas yang tinggi sebagai perlakuan kejut salinitas, sebelum dilakukan perendaman dengan rGH. Penggunaan dosis yang optimum dalam hal efektivitas dan efisiensi biaya, dalam hal ini perlu diketahui pula. Berdasarkan beberapa hal yang telah disebutkan di atas, sebagai langkah awal dari penggunaan hormon pertumbuhan rekombinan untuk ikan betok, maka pada penelitian ini diujikan hormon pertumbuhan ikan kerapu kertang rekombinan untuk benih ikan betok yang berumur 12 hari.

(14)

4 1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan pertumbuhan dan kelangsungan hidup benih ikan betok yang telah direndam dalam air yang mengandung hormon pertumbuhan ikan kerapu kertang rekombinan (rElGH) yang diberikan melalui perendaman dengan dosis 0 mg/L, 3 mg/L, 6 mg/L, dan 12 mg/L pada umur 12 hari.

(15)

5

II. BAHAN DAN METODE

2.1 Produksi Hormon Pertumbuhan Ikan Kerapu Kertang Rekombinan (rElGH)

Bakteri Escherichia coli BL21 (DE3) yang mengandung konstruksi pCold-I/ElGH yang dibuat oleh Lesmana (2010) digunakan dalam penelitian ini. Klona bakteri tersebut dikultur awal dalam tabung L yang berisi 3 mL media LB cair, ampisilin, dan NaOH 5M. Selanjutnya diinkubasi menggunakan shaker dengan kecepatan 200 rpm pada suhu 37 oC selama 18 jam. Hasil kultur tersebut kemudian digunakan untuk tahapan selanjutnya adalah subkultur. Subkultur dilakukan dengan cara memindahkan hasil kultur awal pada tabung L sebanyak 1% ke dalam 100 mL media LB+NaOH+ampisilin yang baru ke dalam erlenmeyer dan diinkubasi lagi menggunakan shaker dengan kecepatan 200 rpm pada suhu 37 oC selama 3 jam. Selanjutnya dilakukan induksi produksi ElGH dengan cara memberikan kejutan suhu 15 oC selama 30 menit, ditambahkan Isopropyl-beta-thio galactopyranoside (IPTG) sebanyak 750 µL, dan diinkubasi menggunakan shaker pada suhu 15oC selama 24 jam. Panen bakteri hasil kultur dilakukan dengan cara sentrifugasi pada kecepatan 12.000 rpm selama 1 menit. Endapan bakteri yang dihasilkan kemudian dicuci dengan PBS (phosphate buffer saline) dan selanjutnya disimpan di deep-freezer (-80 oC) hingga dilakukan proses selanjutnya.

Tahapan berikutnya adalah lisis dinding sel bakteri menggunakan lisozim (Ratnawati, 2012). Bakteri hasil sentrifugasi dicuci terlebih dahulu dengan menggunakan 1 mL buffer tris-EDTA (TE) per 200 mg bakteri. Bakteri diendapkan kembali dengan sentrifugasi 12.000 rpm selama 1 menit. Endapan yang terbentuk kemudian ditambahkan dengan 500 µL lisozim (10 mg lisozim dirakutkan dalam 1 mL buffer TE), diinkubasi pada suhu 37oC selama 20 menit, dan disentrifugasi pada 12.000 rpm selama 1 menit. Endapan yang terbentuk merupakan protein ElGH dalam bentuk badan inklusi. Protein tersebut kemudian dicuci dengan PBS sebanyak 1,5 mL per tube (ukuran 2 mL), dipipeting, dan disentrifugasi pada 12.000 rpm selama 2 menit. Supernatan yang terbentuk dari hasil sentrifugasi kemudian dibuang, sedangkan endapan yang terbentuk

(16)

6 disimpan. Sebelum menyimpan dalam deep-freezer -80oC hingga akan digunakan, ditambahkan PBS kembali untuk melindungi protein dari kerusakan akibat suhu yang dingin (Lampiran 1).

2.2 Penyediaan Hewan Uji

Pemijahan dan penetasan telur ikan betok dilakukan dalam akuarium berukuran 50x100x50 cm. Pemijahan dilakukan dengan cara memilih induk betina sebanyak 8 ekor dan jantan sebanyak 14 ekor yang telah matang gonad. Selanjutnya induk disuntik dengan ovaprim sebanyak 0,3 mL/kg induk pada bagian dorsalnya dan dipelihara pada akuarium yang berbeda. Kemudian induk betina dan jantan digabungkan dalam satu wadah pada hari berikutnya. Setelah proses pemijahan dan pembuahan terjadi, induk betina dan jantan ditangkap dan dipisahkan dengan telurnya. Telur diinkubasi selama 24 jam hingga menetas. Larva yang telah berumur 2 hari (setelah kuning telur habis) diberi pakan berupa rotifer hingga berumur 10 hari. Selanjutnya ikan diberi pakan berupa naupli Artemia. Ikan yang berumur 12 hari, siap untuk direndam.

2.3 Proses Perendaman dan Pemeliharaan Ikan

Ikan betok berumur 12 hari setelah menetas direndam dalam larutan rElGH dengan dosis 0 mg/L, 3 mg/L, 6 mg/L, dan 12 mg/L yang masing-masing diulang sebanyak 3 kali. Sebelum ikan direndam dengan rElGH, diberikan perlakuan perendaman shock salinity terlebih dahulu dengan menggunakan air bersalinitas 3% selama 2 menit (Husna, 2012). Selanjutnya ikan uji direndam selama 2 jam dalam larutan ElGH sebanyak 200 mL, yang dibuat dengan cara melarutkan BSA 0,01% dan rElGH sesuai dosis yang ditentukan dalam air bersalinitas 0,5%.

Sebanyak 200 ikan uji dipelihara dalam 10 L air menggunakan akuarium berukuran 30x20x20 cm (kepadatan 20 ekor/L). Selanjutnya pada minggu ke-3 kepadatan ikan uji dikurangi dengan cara membagi populasi dalam satu akuarium menjadi 2 akuarium menggunakan ukuran akuarium yang sama (kepadatan maksimum 4 ekor/L). Kepadatan ikan dikurangi lagi pada minggu ke-4 dengan cara menggabungkan kembali populasi yang dipisahkan sebelumnya dalam 100 L

(17)

7 air menggunakan akuarium berukuran 50x100x50 cm (kepadatan maksimum 1 ekor/L). Selama pemeliharaan, ikan betok diberi 2 jenis pakan, yaitu pakan alami yang diberikan secara ad-libitum dan pakan buatan secara at-satiation. Ikan diberi pakan berupa naupli Artemia hingga berumur 19 hari, pakan berupa cacing sutera dicacah hingga berumur 24 hari, cacing sutera utuh hingga berumur 47 hari dan diselingi pakan buatan mulai umur 39 hari (Lampiran 2). Untuk menjaga kualitas air media pemeliharaan, dilakukan pergantian air 2 hari sekali sebanyak 50-80%.

2.3 Parameter yang Diamati dan Analisis Data

Pengambilan data awal dilakukan setelah proses perendaman, pengambilan data kedua dilakukan pada 2 minggu setelah perendaman, dan pengambilan data berikutnya dilakukan setiap 1 minggu sekali hingga akhir pemeliharaan. Parameter yang diamati dalam penelitian adalah panjang (rerata panjang baku), biomassa, pertumbuhan harian (growth rate/GR), laju pertumbuhan spesifik (specific growth rate/SGR), rerata bobot per ekor ikan, dan tingkat kelangsungan hidup. Parameter yang diamati dianalisis secara deskriptif.

(18)

8

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil

3.1.1 Pertumbuhan Ikan Betok

Rerata panjang baku (PB), pertumbuhan harian, laju pertumbuhan spesifik, dan bobot per ekor ikan disajikan pada Tabel 1. Rerata panjang baku yang dimaksud merupakan rerata panjang baku pada akhir pemeliharaan. Rerata panjang baku tertinggi dicapai oleh perlakuan 3 mg/L (3,05±0,13 cm). Parameter lainnya berupa pertumbuhan harian, laju pertumbuhan spesifik, dan rerata bobot per ekor tertinggi dicapai oleh perlakuan perendaman 6 mg/L (0,05±0,001 cm; 21,52±0,57 cm; dan 1,84±0,10 cm), sedangkan biomassa tertinggi ditunjukkan oleh perlakuan perendaman rElGH dengan dosis 12 mg/L. Data hasil sampling disajikan pada Lampiran 3.

Tabel 1. Rerata panjang baku (PB), pertumbuhan harian (growth rate/GR), laju pertumbuhan spesifik (specific growth rate/SGR), rerata bobot per ekor ikan, dan biomassa ikan yang direndam dengan rElGH dosis berbeda.

Parameter Dosis rElGH(mg/L)

0 (Kontrol) 3 6 12

PB (cm) 2,92±0,040 3,05±0,13 3,00±0,08 2,96±0,06

Biomassa (g) 103,10±9.59 98,76±15,19 101,44±14,51 107,23±8.70

Rerata bobot (g/ekor) 1,54±0,20 1,80±0,23 1,87±0,29 1,76±0,10

GR (gram/hari) 0,04±0,01 0,05±0,01 0,05±0,01 0,05±0,01

SGR (%) 20,93±0,43 21,45±0,44 21,52±0,57 21,40±0,20

Seperti yang ditunjukkan Tabel 1, nilai biomassa ikan uji cenderung meningkat pada perendaman dengan dosis 0 mg/L, 3 mg/L, 6 mg/L, dan 12 mg/L. Biomassa tertinggi dicapai oleh ikan dengan perlakuan perendaman rElGH sebanyak 12 mg/L, yakni sebesar 107,23 g. Perendaman dengan dosis 0 mg/L sebagai kontrol menunjukkan biomassa yang cukup tinggi (103,10 g) dibandingkan dengan perlakuan perendaman dosis rElGH 6 mg/L (101,44 g) dan 3 mg/L (98,76 g).

Gambar 1 menunjukkan tingkat keragaman ukuran ikan betok pada minggu ke-5. Seperti pada Tabel 1, ikan betok yang direndam dengan dosis 3 mg/L dan 6 mg/L menunjukkan tingkat keragaman ukuran dan biomassa yang

(19)

9 lebih tinggi dibandingkan dengan ikan kontrol dan ikan yang direndam dengan rElGHsebanyak 12 mg/L.

3.1.2 Kelangsungan Hidup

Tingkat kelangsungan hidup ikan betok di antara perlakuan perendaman rElGH dengan dosis 3 mg/L, 6 mg/L, dan 12 mg/L cenderung meningkat seiring dengan kenaikan dosis rElGH melalui perendaman (Gambar 3). Di antara perlakuan perendaman tersebut, dosis perendaman 12 mg/L menunjukkan persentase tingkat kelangsungan hidup tertinggi, yakni sebesar 30,5%. Namun demikian, di antara semua uji dosis yang dilakukan, perendaman dengan dosis rElGH 0 mg/L (kontrol) menunjukkan tingkat kelangsungan hidup tertinggi, yakni sebesar 33,5%. Tingkat kelangsungan hidup ikan terendah ditunjukkan oleh ikan yang direndam rElGH dengan dosis 3 mg/L dan 6 mg/L, yaitu sebesar 28,17% dan 28,33%.

Gambar 1. Ikan betok hasil perendaman setelah 5 minggu pemeliharaan.

Gambar 3. Tingkat kelangsungan hidup benih ikan betok hingga akhir pemeliharaan.

(20)

10 3.2 Pembahasan

Berbagai jenis parameter telah diamati pada penelitian ini untuk menjawab tujuan. Salah satu jenis parameter yang diamati adalah tingkat kelangsungan hidup. Hingga akhir masa pemeliharaan, tingkat kelangsungan hidup ikan betok sebesar 28,17%-33,50% (Gambar 3) relatif lebih rendah dibandingkan dengan penelitian Husna (2012) yang menyatakan bahwa tingkat kelangsungan hidup ikan betok hingga berumur 8 minggu mencapai 75%. Namun demikian, tingkat kelangsungan hidup ikan pada penelitian ini relatif lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang dilaporkan oleh Morioka et al. (2009). Morioka et al. (2009) melaporkan bahwa tingkat kelangsungan hidup ikan betok hingga umur 35 hari hanya mencapai 16,7%. Rendahnya tingkat kelangsungan hidup ikan pada penelitian ini diduga dapat terjadi akibat kanibalisme yang tinggi. Hal tersebut seperti yang dikatakan Morioka et al. (2009) bahwa salah satu penyebab rendahnya tingkat kelangsungan hidup ikan betok dapat diakibatkan oleh tingginya tingkat keragaman yang menyebabkan tingginya proses kanibalisme terutama saat ukuran ikan mencapai 0,5 cm. Pada saat pengambilan data awal, diketahui bahwa ikan uji yang digunakan memiliki rerata panjang tubuh sebesar 0,54 cm. Selain itu, ikan betok hasil perendaman pada penelitian ini memiliki tingkat keragaman yang cukup tinggi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1 dan Gambar 1. Sehingga, peluang terjadinya proses kanibalisme pada penelitian sangat mungkin terjadi sejak awal perendaman. Perendaman ikan dengan rElGH sebanyak 12 mg/L diduga dapat memperkecil tingkat keragaman (Putra, 2011). Sehingga apabila dibandingkan dengan perlakuan perendaman dengan dosis 3 mg/L dan 6 mg/L, ikan yang direndam rElGH dosis 12 mg/L menunjukkan tingkat kelangsungan hidup tertinggi, yaitu sebesar 30,5%. Namun demikian, apabila dibandingkan dengan kontrol, tingkat kelangsungan hidup tersebut lebih rendah. Lebih rendahnya tingkat kelangsungan hidup tersebut diduga terjadi akibat tingginya tingkat keragaman ikan yang direndam dengan rElGH dibandingkan dengan ikan yang direndam tanpa rElGH. Perbedaan penyerapan hormon pertumbuhan oleh ikan betok, diduga dapat menyebabkan tingkat keragaman ikan betok yang direndam lebih tinggi. Hal ini terjadi pula pada penelitian Maulana (2012), ikan kontrol tanpa rGH terlihat lebih seragam,

(21)

11 sehingga tingkat kelangsungan hidupnya tinggi, namun semakin sedikit hormon pertumbuhan yang diberikan untuk ikan, semakin besar pula tingkat keragamannya dan menyebabkan tingkat kelangsungan hidupnya lebih rendah dibandingkan ikan kontrol.

Selanjutnya adalah parameter panjang baku, pertumbuhan harian (GR), laju pertumbuhan spesifik (SGR), dan rerata bobot per ekor ikan. Seperti telah dikatakan sebelumnya, rerata panjang baku tertinggi dicapai oleh ikan betok dengan dosis perendaman 3 mg/L. Pada parameter pertumbuhan harian, laju pertumbuhan spesifik, dan rerata bobot per ekor ikan yang tertinggi dicapai oleh ikan dengan perlakuan perendaman sebanyak 6 mg/L. Tingginya nilai pertumbuhan per ekor ikan dibandingkan dengan perlakuan lain diduga dapat terjadi akibat perbedaan tingkat kelangsungan hidup ikan betok yang menyebabkan padat tebar ikan menjadi berbeda. Menurut Effendi (2006) padat penebaran dapat mempengaruhi pertumbuhan ikan, sehingga semakin rendah padat tebar ikan maka semakin besar pertumbuhan ikan per ekornya. Seperti yang ditunjukkan Gambar 3, tingkat kelangsungan hidup ikan betok dengan dosis perendaman 3 mg/L dan 6 mg/L merupakan tingkat kelangsungan hidup ikan terendah yaitu sebesar 28,17% dan 28,33%. Sehingga, pertumbuhan per ekor ikan tertinggi dicapai oleh ikan dengan kedua perlakuan perendaman tersebut.

Parameter lain yang diamati adalah biomassa. Biomassa dapat menunjukkan pengaruh dari perlakuan yang diberikan atau pengaruh dari parameter lain seperti tingkat kelangsungan hidup. Meskipun tingkat kelangsungan hidup ikan yang direndam dalam larutan rElGH dengan dosis 12 mg/L bukan merupakan tingkat kelangsungan hidup tertinggi, namun bobot biomassanya mencapai 107,23 g yang merupakan nilai biomassa tertinggi diantara semua perlakuan yang diujikan termasuk kontrol. Biomassa ikan dengan perlakuan perendaman tersebut berbeda 4% dengan kontrol.

Terkait dengan hal tersebut, Husna (2012) menguji perendaman ikan betok menggunakan rElGH dengan dosis berbeda seperti pada penelitian ini, namun menggunakan ikan betok yang berumur 6 hari. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa ikan yang direndam rElGH sebanyak 12 mg/L, merupakan perlakuan yang menunjukkan hasil terbaik dengan tingkat kelangsungan hidup

(22)

12 tertinggi yaitu lebih dari 70% (24,11% lebih tinggi dari kontrol) dan biomassa tertinggi yaitu 529 g yang berbeda 27,11% dibandingkan kontrol. Perbedaan antara hasil penelitian Husna (2012) dengan hasil penelitian ini diduga terjadi karena perbedaan umur ikan yang digunakan. Menurut Ratnawati (2012) hormon pertumbuhan yang diberikan melalui perendaman dapat masuk melalui pori-pori tubuh dan insang melalui proses osmoregulasi akibat perlakuan shock salinity. Diduga, ikan yang berumur lebih muda pori-pori tubuh dan insangnya memiliki sifat permeabilitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan ikan yang berumur lebih tua. Sehingga hasil yang lebih baik, ditunjukkan oleh ikan betok yang direndam pada umur 6 hari.

Untuk menerapkan teknologi hormon pertumbuhan rekombinan melalui perendaman yang efektif di lapangan, perlu dilakukan uji efektivitas dosis (seperti yang dilakukan pada penelitian ini), umur, frekuensi perendaman, dan jenis hormon yang digunakan. Frekuensi perendaman yang efektif untuk ikan gurame telah diteliti oleh Ratnawati (2012). Melalui penelitian tersebut dapat diketahui bahwa, frekuensi pemberian yang paling efektif untuk ikan gurame adalah sebanyak 1 kali perendaman. Acosta et al. (2007) melakukan perendaman untuk ikan nila sebanyak 5 kali dan hasilnya cukup signifikan. Untuk ikan betok, hingga saat ini belum diteliti frekuensi perendaman yang terbaik. Sehingga kemungkinan penambahan frekuensi perendaman hormon pertumbuhan rekombinan dapat dikatakan berpeluang dalam meningkatkan pertumbuhan ikan betok secara signifikan. Keefektifan jenis hormon pertumbuhan rekombinan, telah dilaporkan oleh Putra (2011). Putra (2011) melaporkan bahwa bobot ikan gurame yang direndam dengan hormon pertumbuhan ikan gurame (OgGH) rekombinan menunjukkan peningkatan pertumbuhan 70% lebih tinggi dibandingkan dengan kontrolnya. Mekanisme penyerapan hormon pertumbuhan rekombinan ke dalam tubuh ikan yang diberikan diduga dipengaruhi oleh jenis reseptor pada tubuh ikan, sehingga dengan jenis hormon yang sesuai dengan reseptor pada tubuh ikan diduga dapat memberikan pengaruh yang lebih signifikan terhadap pertumbuhan ikan.

(23)

13

V.

KESIMPULAN

5.1. Kesimpulan

Pemberian hormon pertumbuhan ikan kerapu kertang rekombinan (rElGH) untuk benih ikan betok yang berumur 12 hari melalui perendaman sebanyak 12 mg/L dapat menaikkan biomassa sebesar 4% dibandingkan dengan kontrol dengan tingkat kelangsungan hidup relatif cukup tinggi, yakni sebesar 30,5%.

(24)

14 DAFTAR PUSTAKA

Acosta J, Morales R, Morales A, Alonso M, Estrada MP. 2007. Pichia pastoris expressing recombinant tilapia growth hormone accelerates the growth of tilapia. Biotechnol Lett 29:1671–1676.

Acosta J, Estrada MP, Carpio Y, Ruiz O, Morales R, Martinez E, Valdes J, Borroto C, Besada V, Sanchez A, Herrera F. 2009. Tilapia somatotropin polypeptides: potent enhancers of fish growth and innate immunity. Biotecnologia Aplicada 26: 267-272.

Borneonews. 2011. Harga ikan papuyu 2011. http://www.borneonews.co.id/ news/palangkaraya/11palangkaraya/1389/harga-papuyu-rp100-ribu-per-kg. html. [10 Maret 2012]

Alimuddin, LesmanaI, SudrajatAO, Carman O, Faizal I. 2010. Production and bioactivity potential of three recombinant growth hormones of farmed fish. Indonesian Aquaculture Journal 5(1): 11-17.

Effendi I, Bugri HJ, Widanarni. 2006. Pengaruh padat penebaran terhadap kelangsungan hidup dan pertumbuhan benih ikan gurami Osphronemus gouramy Lac. ukuran 2 cm. Jurnal Akuakultur Indonesia, 5(2)-127-135.

Ghufran M, Kordi K. 2010. Panduan lengkap memelihara ikan air tawar di kolam terpal. Lily publisher. Yogyakarta.

Husna HN. 2012. Pertumbuhan dan kelangsungan hidup benih ikan betok yang direndam dengan hormon pertumbuhan rekombinan ikan kerapu kertang pada dosis berbeda. [Skripsi]. Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Lesmana I. 2010. Produksi dan bioaktivitas protein rekombinan hormon pertumbuhan dari tiga jenis ikan budidaya. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

Li Y, Bai J, Jian Q, Ye X, Lao H, Li X, Luo J, Liang X. 2003. Expression of common carp growth hormone in the yeast Pichia pastoris and growth stimulation of juvenile tilapia Oreochromis niloticus. Aquaculture 216: 329-341

.

Maulana F. 2012. Pertumbuhan dan kelangsungan hidup benih ikan betok Anabas testudineus Bloch. dengan pemberian hormon pertumbuhan rekombinan (rhp) melalui pakan alami Rotifer (Branchionus). [Skripsi]. Departemen Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

(25)

15 McCormick,S.D. 2001. Endocrine control of osmoregulation in teleost fish. Amer

Zool 41: 781-794.

Morioka S, Ito S, Kitamura S, Vongvichith B. 2009. Growth and morphological development of laboratory-reared larval and juvenile climbing perch Anabas testudineus. Ichtyol Res 56: 162-171.

Moriyama S, Kawauchi H. 1990. Growth stimulation of juvenile salmonids by immersion in recombinant salmon growth hormone. Nippon Suisan Gakkaishi 56: 31-34.

Nguyen PT, Thanh LP, Toan VT, Thanh HTT, Van TL. 2002. Study on the effect of feeding diets on growth of climbing perch (Anabas testudineus) cultured in garden ditches. College of Aquaculture and Fisheries, Can Tho University, Vietnam.

Peterson B C, Small B C, Bosworth B G. 2004. Effect of bovine growth hormon (Posilac®) on growth performance, body composition, and IGFBPs in two strain of channel catfish. Aquaculture 232: 651-663.

Promdonkoy B, Warit S, Panyim S. 2004. Production of a biologically active growth hormone from giant catfish (Pangasianodon gigas) in Escherichia coli. Biotechnology Lett 26: 649-653.

Putra H G P. 2011. Pertumbuhan dan kelangsungan hidup benih ikan gurame yang diberi protein rekombinan gh melalui perendaman dengan dosis berbeda. [Skripsi]. Departemen Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Ratnawati P. 2012. Pertumbuhan dan kelangsungan hidup benih ikan gurame yang diberi hormon pertumbuhan rekombinan dengan lama perendaman yang berbeda.[skripsi]. Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Sembiring A P V. 2011. Pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva ikan betok (Anabas testudineus) pada ph 4, 5, 6, dan 7. [Skripsi]. Departemen Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut

(26)
(27)

16 Lampiran 1. Proses kultur bakteri Escherichia Colli BL 21 dengan konstruksi hormon pertumbuhan ikan kerapu kertang (rElGH)

(28)

17 Lampiran 2. Alur kerja selama penelitian

(29)

18 Lampiran 3. Data Sampling Akhir

Perlakuan

(ulangan) Biomassa (g) ∑ ikan (ekor) SR (%)

Bobot per ekor (g) Rerata Panjang Baku (cm) Kontrol (1) 103,340 69,000 34,500 1,498 2,880 Kontrol (2) 112.560 64,000 32,000 1,759 2,910 Kontrol (3) 93,390 68,000 34,000 1,373 2,960 rata-rata 103,10±9,587 67±2,646 33,5±1,323 1,543±0,197 2,917±0,40 3 mg/L (1) 98,220 56,000 28,000 1,754 3,077 3 mg/L (2) 114,220 72,000 36,000 1,586 2,903 3 mg/L (3) 83,850 41,000 20,500 2,045 3,163 rata-rata 98,766±15,192 56,333±15,503 28,166±7,751 1,795±0,232 3,047±0,132 6 mg/L (1) 106,060 70,000 35,000 1,515 2,913 6 mg/L (2) 113,080 59,000 29,500 1,917 3,073 6 mg/L (3) 85,180 41,000 20,500 2,078 2,983 rata-rata 101,44±14,512 56,666±14,640 28,333±7,320 1,836±0,290 2,989±0,80 12mg/L (1) 115,700 65,000 32,500 1,780 2,930 12 mg/L (2) 98,320 53,000 26,500 1,855 3,023 12 mg/L (3) 107,670 65,000 32,500 1,656 2,917 rata-rata 107,23±8,698 61,00±6,928 30,5±3,464 1,763±0,101 2,956±0,058

Gambar

Gambar 1. Ikan betok hasil perendaman setelah 5 minggu pemeliharaan.

Referensi

Dokumen terkait

Bila bank sentral menetapkan tujuan jangka panjangnya adalah tingkat inflasi yang rendah, dan bank sentral menggunakan suku bunga sebagai variabel operasionalnya, maka kondisi

If evidence of rodents (live or dead animals, droppings, urine or nesting material) is found inside the building, then entry and use should be prohibited until rodent contamination

Sedangkan wilayah Musi Rawas Utara, Empat Lawang, Lahat bagian selatan, Pagar Alam bagian timur, Muara Enim bagian selatan dan OKU Selatan bagian barat mengalami curah

Implementasi sistem senayan untuk menggantikan sistem RBTC dan DIGILIB dengan cara migrasi data, migrasi proses bisnis dan penambahan modul dapat dilakukan dengan

Kebijakan atau program apakah yang akan dilakukan oleh Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bantul dalam mempertahankan ketaatan Wajib Pajak yang telah mengikuti program

Perekonomian Keluarga Ibu Ni Wayan Rempiyeg tergolong dalam keluarga dengan kategori ekonomi rendah. Ibu Ni Wayan Rempiyeg bekerja sebagai buruh tani. Gaji yang diperoleh

Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian Tuberkulosis pada anak di Kota Denpasar. Untuk mengetahui pengaruh tingkat pendidikan ibu terhadap kejadian

Dalam penelitian ini menjelaskan/ mendeskripsikan Prosedur Pengurangan dan Penghapusan Sanksi Administrasi di PT X Denpasar dengan sumber data dari dokumen PT X yang dimiliki