• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keywords— Economic Growth; Metrology; Penera Manpower

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Keywords— Economic Growth; Metrology; Penera Manpower"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Agustus 2017 | Vol. 1 | No. 1 | ISSN : 2597-8950 Jurnal Kreatif Industri (JIK)

Analisis Kebutuhan Tenaga Penera Provinsi Kepulauan Riau

Satrio Edi Wibowo

STT Ibnu Sina; Jl.Teuku Umar – Lubuk Baja; telp/fax : 0778-425391/ 0778-458394 Program Studi Teknik Industri, STT Ibnu Sina, Batam

e-mail: satrio@stt-ibnusina.co.id

Abstrak

Saat ini, kesadaran atas kebenaran suatu alat ukur yang digunakan dalam transaksi perdagangan semakin meningkat seiring dengan sikap kritis yang dilakukan baik oleh konsumen ataupun produsen terhadap alat ukur yang digunakan dalam transaksi tersebut. Lalu bagaimana dengan pelayanan kemetrologian yang dilakukan guna menunjang tuntutan dari pasar tersebut, Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh metrologi terhadap perekonomian dan apa saja yang menjadi penghambat dalam peningkatan mutu pelayanan kemetrologian di provinsi Kepulauan Riau. Penelitian ini menggunakan dua analisa dimana analisa pertama dengan simulasi perbandingan dari provinsi di wilayah Sumatera dengan melihat kontribusi metrologi terhadap perekonomian dengan jumlah sumber daya yang dimilikinya dan analisa kedua dengan menggunakan waktu kebutuhan untuk mengetahui jumlah aktual tenaga penera dari data jumlah alat ukur yang dimiliki oleh provinsi Kepulauan Riau, lalu dalam mengetahui kelayakan dari suatu rencana digunakan metode Analisis Manfaat Biaya. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa : (1) peranan metrologi dalam perekonomian sangat besar; (2) jumlah tenaga penera provinsi Kepulauan Riau masih sangat kurang dan perlu dilakukan penambahan guna meningkatkan mutu dari pelayanan yang diberikan; (3) manfaat yang diberikan dari penambahan tenaga penera di provinsi Kepulauan Riau sangat layak untuk dilakukan.

.

Kata kunci

Metrologi; Pertumbuhan Ekonomi; Tenaga Penera

Abstract

Nowadays, awareness of the truth of a measuring instrument used in trade transactions are increasing with the critical stance taken either by the consumer or the manufacturer of the measuring instruments used in the transaction. And what about the metrology services performed to support the demands of the market, the study aims to determine how much influence metrology on the economy and what are the barriers to improving quality of care in the province of Riau Islands metrology. This study used two analyzes where the first analysis by simulation comparison of provinces in Sumatera to view metrology contribution to the economy by the number of available resources and second analysis needs to know the actual penera manpower time requirement in order to figure out the number of ideal penera province Riau Islands, and in knowing the feasibility of a plan to use Cost benefit Analysis method. Based on the survey results revealed that: (1) the role of metrology in the economy is very large, (2) the amount of force applica Riau Islands province is lacking and needs to be added in order to improve the quality of services provided, (3) the benefits provided from the addition of power applica in the province of Riau Islands is very feasible

(2)

1. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sejalan dengan pelaksanaan otonomisasi, urusan kemetrologian ditetapkan menjadi urusan pilihan bagi Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/Kota1 sebagaimana diatur melalui Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Metrologi Legal untuk pelayanan tera/tera ulang dan melalui Unit Kerja untuk pembinaan dan pengawasan kemetrologian.

Namun perlu diakui bahwa kinerja penyelenggaraan kemetrologian secara nasional masih dirasakan belum cukup optimal sehingga dapat mengakibatkan kerugian yang cukup besar tidak hanya bagi pengguna UTTP tetapi juga masyarakat/konsumen. Kementrian Perdagangan telah mengambil langkah-langkah dalam rangka mengoptimalkan kinerja kemetrologian secara nasional baik melalui penyederhanaan dan penyempurnaan kebijakan kemetrologian, penyempurnaan sistem ketertelusuran standar ukuran dan standardisasi UTTP, pengoptimalan peranan Balai Standardisasi Metrologi Legal, Unit Pelaksana Teknis, dan Unit Pelaksana Teknis Daerah dalam rangka meningkatkan pelayanan tera dan tera ulang UTTP, dan peningkatan profesionalisme SDM Metrologi Legal untuk mewujudkan pelayanan publik yang prima dan good governance.

Salah satu institusi Pemerintah yang secara langsung memberikan pelayanan publik yakni Unit Pelaksana Teknis Metrologi Legal yang secara Undang-Undang memiliki kewajiban dalam melakukan pelayanan dalam hal pengesahan alat ukur dan perlindungan terhadap kepentingan umum atau konsumen atas jaminan kebenaran hasil pengukuran yang sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang No.2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal dimana perlu adanya kepastian hukum dalam pemakaian satuan ukuran, standar satuan, metoda pengukuran, dan alat-alat Ukur, Takar, Timbang dan Perlengkapannya (UTTP), yang dituangkan melalui peraturan perundang-undangan di bidang kemetrologian.

Hasil pengawasan dan pembinaan terpadu penggunaan UTTP yang dilakukan Kementrian Perdagangan dan Dinas Perdagangan dan Perindustrian Provinsi tersebut ditemukan bahwa pada 66 pasar tradisional di 33 ibukota Provinsi dan peredaran UTTP asal impor di 6 Kota besar (Medan, Surabaya, Pekanbaru, Tanjungpinang, Pontianak, dan Makassar) yang dilaksanakan pada tahun 2010 ditemukan bahwa masih tingginya persentasi penggunaan dan peredaran UTTP yang tidak sesuai dengan ketentuan :

1. Jumlah UTTP di 66 pasar tradisional objek pengawasan sebanyak 21.814 UTTP, 9.843 UTTP diantaranya (45,1%) tidak bertanda tera sah yang berlaku.

2. Jumlah UTTP asal impor yang disampling di 6 kota besar objek pengawasan sebanyak 607, terdiri dari 109 tipe, 246 UTTP dari 607 TTP tersebut (40,5%) tidak bertanda tera sah yang berlaku dan 82 tipe (75,2%) dari 109 tipe UTTP tersebut tidak memiliki ijin tipe.

Dari 9.843 UTTP atau rata-rata sebanyak 149 UTTP di setiap pasar tidak bertanda tera sah. Saat ini jumlah pasar tradisional di seluruh Indonesia sebanyak 12.473 dan dengan asumsi; (1) rata-rata konsumen yang melakukan transaksi ± 500 orang/hari; (2) harga rata-rata-rata-rata untuk komoditi minyak goreng, daging sapi, daging ayam, telur dan kedelai Rp 29.000/kg; (3) Tingkat kesalahan UTTP yang tidak bertanda tera sah diperkirakan sebesar 6% atau Rp 1.760/kg, maka secara nasional potensi kerugian adalah ± Rp 725,145 triliun/tahun.

Survei yang dilakukan oleh Japan International Cooperation Agency (JICA) tahun 2006, menunjukkan bahwa terjadi perubahan fungsi dari unit pelayanan teknis di daerah sebagai akibat dari otonomi daerah, dimana hal-hal yang menjadi perhatian dari hasil penelitian ini adalah setelah berlakunya otonomi daerah maka dua hal ini membutuhkan perhatian yang lebih yakni keterbatasan sumber daya dan keterbatasan peralatan.

1

(3)

Gambar 1 Hasil survei JICA tahun 2006 Sumber : Direktorat Jenderal Standarisasi dan Perlindungan Konsumen

Berdasarkan hasil kajian diatas maka peranan metrologi dalam upaya menertibkan kebenaran alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya menjadi suatu keharusan dalam transaksi antar pelaku ekonomi.

Perumusan Masalah

Berkaitan dengan hal tersebut diatas, maka beberapa pertanyaan yang muncul adalah :

1. Apakah manfaat penerapan metrologi dalam perekonomian di Provinsi Kepulauan Riau?.

2. Apakah jumlah Penera di UPT Metrologi Provinsi Kepulauan Riau, sudah ideal?. 3. Apakah penambahan tenaga penera di UPT Metrologi Provinsi Kepulauan Riau,

secara ekonomi memang bermanfaat?.

Tujuan Penelitian

Beberapa tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah :

1. Analisis manfaat penerapan metrologi dalam perekonomian di Provinsi Kepulauan Riau.

2. Memperkirakan kebutuhan tenaga penera ideal untuk UPT Metrologi Provinsi Kepulauan Riau.

3. Analisis biaya-manfaat pemenuhan tenaga penera UPT Metrologi Provinsi Kepulauan Riau

2. METODE PENELITIAN

Metrologi dan Perbaikan Tingkat Kesejahteraan: Analisis Ekonomi

Salah satu faktor penting untuk kemajuan suatu negara adalah pertumbuhan ekonominya. Perdagangan internasional amat diperlukan dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Namun terdapat penghambat yang besar untuk peningkatan perdagangan antar negara, salah satunya adalah Technical Barrier to Trade (TBT) atau hambatan teknis perdagangan. Disamping itu persaingan antar negara yang semakin meningkat dalam era perdagangan bebas sekarang ini menuntut kualitas yang tinggi bagi produk-produk yang dipasarkan, artinya kualitas yang dapat diterima oleh pasar yaitu kualitas produk yang memenuhi regulasi dan standar internasional. Kualitas suatu produk dinyatakan dalam sertifikat pengujian produk tersebut. Disini diperlukan data yang valid yang berarti hasil uji di negara pengekspor komparabel (tidak berbeda) dengan di negara pengimpor. Tanpa pengujian yang valid tidak ada jaminan bahwa kualitas produk memenuhi regulasi/standar internasional dan hal ini dapat menghambat ekspor.

(4)

impor saat ini sudah mengancam kelangsungan hidup sebagian industri dalam negeri. Hal ini terjadi karena SNI (Standar Nasional Indonesia) untuk produk terkait belum tersedia, yang artinya infrastruktur laboratorium pengujian untuk produk tersebut juga belum ada. SNI diperlukan untuk menangkal/membatasi masuknya produk-produk non standar berkualitas rendah yang merugikan konsumen, merusak pasaran dan mematikan industri lokal.

Lembaga Metrologi Nasional, NMI yang kompeten sangat dibutuhkan sebagai landasan terbentuknya infrastruktur metrologi nasional yang kuat dan kokoh. Dengan adanya infrastruktur metrologi yang kuat dan kokoh, maka masalah-masalah nasional yang bermuara dari tidak akuratnya data hasil pengujian dapat diatasi. Selain itu, segala hambatan perdagangan (TBT) dapat ditanggulangi sehingga akan meningkatkan perekonomian nasional.

Proyek MetroTrade telah membuktikan beberapa kasus dimana penerapan metrologi yang tepat dapat memecahkan permasalahan perdagangan yang ada dan mencegah timbulnya masalah perdagangan karena hambatan teknis perdagangan. Satu contoh yang menarik adalah perbedaan regulasi dan persyaratan antara ASTM (American Society for Testing and Materials) dan ISO

(International Standard Organization) tidak memberikan pengaruh pada perdagangan antara dua

negara yang mengaplikasikan metoda tersebut karena hasil pengukuran dari kedua negara tersebut menunjukkan hasil yang sama, sebab masing-masing negara telah menerapkan metrologi dengan benar.

NMI Jerman atau yang dikenal dengan nama PTB (Physikalish-Technische Bundesanstal) telah melakukan penelitian untuk melihat dampak langsung hasil pengukuran laboratorium terhadap ekonomi Jerman. Didapatkan bahwa pada impor gas alam di tahun 1998, kesalahan sebesar 10% dari hasil pengukuran laboratorium (dengan menggunakan alat kromatografi gas) akan memberikan kesalahan jumlah gas alam sebesar 1% dan hal tersebut setara dengan kesalahan 0,1% dari energi yang dihasilkan. Bila harga gas alam adalah 20 miliar DM pertahunnya, maka kesalahan 0,1% ini akan dapat memberikan perbedaan harga sebesar 20 juta DM. Dari penelitian ini juga didapatkan data bahwa pada tahun 1994 duplikasi pengujian yang harus dilakukan karena adanya masalah TBT telah merugikan negara sebesar 3 milyar DM, yang berarti sama dengan 0,1% dari jumlah GNP (Gross National Product) Jerman2.

NMI Korea Selatan yang dikenal dengan nama KRISS (Korean Research Institute of Standards

and Sciences) melaporkan bahwa penerapan metrologi dengan benar di Korea Selatan pada tahun

2003 telah memberikan dampak pada pertumbuhan ekonomi Korea Selatan sebesar 8,1 miliar USD dengan persen BCR (Benefit to Cost Ratio) sebesar 12,76%3.

Beberapa studi yang dilakukan terpisah di beberapa NMI seperti Amerika Serikat (NIST), Inggris (NPL), dan Canada (NRC), semuanya menunjukkan bahwa modal yang dihabiskan pemerintah dari negara-negara tersebut untuk membangun NMI ternyata telah memberikan hasil yang jauh lebih tinggi, atau dapat dikatakan bahwa keuntungan secara ekonomi adalah jauh melebihi modal. Bahkan untuk Uni Eropa, studi terpisah menunjukkan BCR sebesar 3:1 hanya untuk kegiatan pengukuran saja, di mana setiap 1 Eu yang diinvestasikan akan menghasilkan 3 Eu. Keuntungan di bidang sosial seperti kesehatan dan lingkungan masih belum diperhitungkan4.

Jaminan kebenaran dalam hal penggunaan UTTP khususnya dalam transaksi perdagangan menjadi hal yang penting peranannya dalam mendukung pertumbuhan ekonomi secara makro, secara tidak langsung dampak ekonomi dari proses pengukuran khususnya pengukuran yang terkait dalam transaksi perdagangan dapat sangat signifikan mempengaruhi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) masing-masing daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Sebagai

2

Kaarls, R. (2006), Metrology in Chemistry: Rapid Developments in The Global Metrological Infrastructure, the CIPM MRA and its economic and social impact”, Accred Qual Assur 11 3

Kim, J.S. (2008), National Policy and Infrastructure in Korea, presented at APMP Workshop on Metrology in Chemistry for Industrial Competitiveness and High Quality of Life, Jakarta, 30-31 Oktober 2008

4

(5)

contoh studi5 yang dilakukan oleh Australia mengestimasi nilai total transaksi perdagangan yang berhubungan dengan pengukuran untuk periode 1990-1991 adalah sekitar A$ 322 milyar atau 60% dari PDRB. Selanjutnya studi tahun 1996 di Amerika Serikat memperkirakan transaksi perdagangan yang berhubungan dengan pengukuran adalah sebesar US$ 4,13 triliyun atau 54,5% dari PDRB. Sedangkan di Indonesia, perkiraan transaksi perdagangan yang berhubungan dengan pengukuran secara umum ± 52,6% dari PDRB6. lalu ada suatu penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat antara tahun 1969 sampai dengan tahun 1997, menunjukkan bahwa pengeluaran akibat proses pengukuran (yang menggunakan UTTP) adalah sebesar 3,5% GNP negara-negara industri.

Di lain sisi, sumber daya yang dimiliki oleh pemerintah daerah dalam menyelenggarakan kegiatan kemetrologian cukup terbatas. Dari beberapa contoh yang disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa penerapan pengukuran atau metrologi dengan benar akan memberikan dampak yang nyata pada pertumbuhan ekonomi suatu negara.

Teori

Keterbatasan anggaran pemerintah merupakan hal yang umum ditemui. Di sisi lain, pemerintah dihadapkan pada berbagai alternatif program yang akan dilaksanankan. Hal tersebut menyebabkan pemerintah harus jeli dalam menentukan program yang diprioritaskan. Pemilihan prioritas suatu proyek tidaklah mudah, dalam memutuskan kelayakan suatu proyek yang berhubungan dengan sektor publik, pemerintah dihadapkan pada pertimbangan dan permasalahan. Dalam hal ini prioritas yang dipilih harus mempertimbangkan kepentingan publik atau masyarakat umum. Terkait dengan proses pengambilan keputusan mengenai kelayakan suatu proyek atau program, pemerintah memerlukan suatu alat analisis yang mampu digunakan dalam meminimalkan kesalahan dalam pemilihan keputusan. Salah satu analisis yang dapat digunakan sebagai alat untuk memilih program yang layak diprioritaskan adalah dengan menggunakan analisis Cost Benefit atau disebut juga analisis biaya manfaat.

Yang dimaksud dengan analisi biaya manfaat adalah sebuah pendekatan dengan prosedur yang sistematis untuk membandingkan serangkaian biaya dan manfaat yang relevan, dengan sebuah aktivitas atau proyek. Tujuan akhir yang ingin dicapai adalah secara akurat membandingkan kedua nilai manakah yang lebih besar. Selanjutnya dari hasil perbandingan ini, pengambil keputusan dapat mempertimbangkan untuk melanjutkan suatu rencana atau tidak dari sebuah aktivitas, produk atau proyek, atau dalam konteks evaluasi atas sesuatu yang telah berjalan, adalah menentukan keberlanjutannya.

Senada dengan pengertian diatas, William N. Dunn (2000) menyatakan bahwa analisis biaya manfaat adalah suatu pendekatan untuk rekomendasi kebijakan yang memungkinkan analisis membandingkan dan mengajurkan suatu kebijakan dengan cara menghitung total biaya dalam bentuk uang dan total keuntungan dalam bentuk uang. Analisis biaya manfaat selain dapat digunakan untuk merekomendasikan tindakan kebijakan, dapat juga digunakan untuk mengevaluasi kinerja dari suatu kebijakan.

Berupaya untuk mewujudkan pelayanan publik yang lebih baik maka perlu dilakukan penambahan tenaga penera untuk dijadikan sebuah kebijakan publik dalam melakukan upaya-upaya agar mempertimbangkan dalam hal efisiensi ekonomi dari kebijakan yang akan dilakukan, untuk mewujudkan hal tersebut maka langkah-langkah yang diambil di bidang kemetrologian harus berdasarkan pertimbangan atau analisi manfaat biaya secara ekonomis (economic benefit cost analisys). Dari analisa tersebut maka dapat diketahui prosedur secara sistematik apakah program yang akan dilakukan oleh pemerintah layak untuk dilakukan7, atau dapat dikatakan bahwa manfaat ekonomi yang diperoleh dari pelaksanaan suatu proyek adalah lebih besar dari biaya ekonominya.

Secara teoritis, suatu proyek dikatakan layak secara ekonomis jika nilai sekarang atau present value dari manfaat lebih besar dari biaya. Atau dapat dikatakan nilai sekarang bersih (nett present value) dari

5

John Birch A.M, CIML Honorary Member, Benefit of legal Metrology for the Economy and Society. 6

Data diolah dari data yang bersumber dari BPS 7

(6)

proyek pendidikan dan pelatihan tenaga penera adalah lebih besar dari nol. Penggunaan nilai sekarang dalam analisis proyek pendidikan dan pelatihan tenaga penera, berdasarkan pertimbangan bahwa biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang diperoleh tidak hanya setahun, tetapi bertahun-tahun ke depan. Dengan demikian setiap pengeluaran atau manfaat yang diperoleh harus mempertimbangkan nilai waktu dari uang (time value of money).

Analisis Biaya Manfaat (Benefit Cost Analysis)

Perhitungan metode nilai sekarang bersih atau Nett Present Value (NPV) dalam suatu penilaian investasi merupakan cara yang praktis untuk mengetahui apakah proyek menguntungkan atau tidak. NPV adalah selisih antara Present Value dari arus Benefit dikurangi Present Value PV dari arus biaya. Proyek yang memberikan keuntungan adalah proyek yang memberikan nilai positif atau NPV > 0, artinya manfaat yang diterima proyek lebih besar dari semua biaya total yang dikeluarkan. Jika NPV = 0, berarti manfaat yang diperoleh hanya cukup untuk menutupi biaya total yang dikeluarkan. NPV < 0, berarti rugi, biaya total yang dikeluarkan lebih besar dari manfaat yang diperoleh. Lalu ada metode Internal Rate of Return (IRR) metode ini menggambarkan profitabilitas suatu proyek yang dinyatakan dalam persentase. Kriteria dalam metode IRR adalah jika IRR > bunga modalnya maka proyek layak untuk dilaksanakan dan investasi akan mendapatkan keuntungan, dan apabila IRR < bunga modalnya maka proyek tidak dapat dilaksanakan. Kemudian metode Analisis manfaat biaya adalah analisis yang sangat umum digunakan untuk mengevaluasi proyek-proyek pemerintah. Analisis ini sangat praktis untuk menaksir kemanfaatan proyek, suatu proyek dianggap layak atau bisa dilaksanakan apabila rasio antara manfaat terhadap biaya yang dibutuhkan lebih besar dari satu. Dan yang terakhir adalah metode Pay Back period dimana dalam metode ini menunjukkan terjadinya arus penerimaan yang secara kumulatif sama dengan jumlah investasi dalam bentuk present valure, dengan kata lain dengan metode ini dapat diketahui berapa lama proyek dapat mengembalikan investasi.

Model Location Quotient (LQ)

Model LQ digunakan untuk mengukur konsentrasi suatu industri di suatu daerah secara relatif terhadap daerah yang menjadi acuan. Nilai LQ dihitung dengan membandingkan pangsa dari industri tertentu terhadap perekonomian lokal dengan pangsa dari industri tersebut terhadap perekonomian secara nasional/regional. Dengan menggunakan variable pendapatan yaitu nilai tambah sektoral dan pendapatan total maka dapat dirumuskan sebagai berikut:

dimana :

: jumlah PDRB sektor i pada daerah R

: jumlah total PDRB pada daerah R

: jumlah PDB sektor i pada wilayah nasional

: jumlah total PDB pada wilayah nasional

Nilai LQ yang dihasilkan dapat diintepretasikan sebagai berikut:

(1) Apabila nilai LQ > 1 berarti sektor tersebut menjadi basis atau komoditas di sektor tersebut tidak saja dapat memenuhi kebutuhan di wilayahnya sendiri tetapi juga dapat diekspor ke luar wilayah;

(2) Apabila nilai LQ = 1 berarti sektor tersebut tergolong non-basis karena hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan di wilayahnya sendiri; dan

(7)

Untuk mencapai tujuan studi ini digunakan analisis deskriptif dan kuantitatif. Analisis deskriptif digunakan untuk menguraikan secara verbal perkembangan perekonomian Provinsi Kepulauan Riau untuk memberikan gambaran kontekstual tentang penggunaan UTTP. Selanjutnya analisis deskriptif ini juga digunakan untuk menguraikan tentang masalah kebutuhan tenaga penera. Analisis kuantitatif yang digunakan adalah model proyeksi sederhana dengan perhitungan eksponensial. Model proyeksi eksponensial digunakan untuk menghitung perkembangan jumlah dan jenis UTTP, juga perkembangan kapasitas jam kerja penera. Membandingkan perkembangan dan jumlah UTTP dengan perkembagan jam kapasitas akan diperoleh gambaran tentang kebutuhan tenaga penera.

Untuk analisis deskriptif, data yang dibutuhkan adalah jumlah dan jenis UTTP yang ada serta jumlah tenaga penera yang terlibat langsung secara aktif dalam kegiatan kemetrologian. Agar diperoleh ukuran kebutuhan tenaga penera, maka jumlah dan jenis UTTP dikonversi kedalam bentuk jam kebutuhan, yang menggambarkan berapa waktu yang dibutuhkan untuk menera semua UTTP yang ada. Jika jam kebutuhan meningkat, hal ini menunjukkan jumlah dan atau jenis UTTP yang digunakan makin banyak.

Jam kerja yang dapat disediakan tenaga penera disebut sebagai jam kapasitas. Besarnya jam kapasitas dihitung berdasarkan asumsi dan teori pengalaman bahwa jam kerja seorang penera efektif adalah 8 jam sehari. Jam kapasitas yang mampu disediakan pemerintah Provinsi Kepulauan Riau adalah jam kapasitas seorang penera selama setahun yaitu jam kerja sehari dikalikan dengan jumlah hari kerja dalam setahun, dikalikan dengan jumlah tenaga penera yang ada.

Metode lain yang digunakan dalam menetukan jumlah tenaga penera ideal digunakan simulasi perbandingan jumlah tenaga penera se-Provinsi di Sumatera dengan dasar pertumbuhan ekonomi dan jumlah tenaga penera yang dimiliki oleh masing-masing provinsi tersebut, sehingga dapat diketahui beban tenaga penera yang dimiliki oleh masing-masing provinsi dengan membagi total nilai PDRB dengan jumlah penera yang ada.

Dan untuk mengetahui apakah penambahan jumlah penera layak secara ekonomi maka dilakukan analisa manfaat biaya untuk mengetahui apakah program penambahan jumlah penera di provinsi Kepulauan Riau dapat dikatakan layak secara ekonomi dimana dengan melihat manfaat yang diberikan oleh penambahan jumlah penera baik dalam kaitannya terhadap peningkatan akurasi pengukuran dan peningkatan restribusi pendapatan daerah di provinsi Kepulauan Riau.

Berdasarkan uraian di atas, maka data-data yang dibutuhkan untuk studi ini adalah :  Jumlah dan jenis UTTP yang ada di Provinsi Kepulauan Riau.  Jumlah tenaga penera yang ada di Provinsi Kepulauan Riau.  PDRB Provinsi di Pulau Sumatra.

 Jumlah waktu peneraan tiap-tiap UTTP di Provinsi Kepulauan Riau.

Namun terkait dalam penelitian ini dibutuhkan data sekunder, adapaun sumber data-data sekunder terutama adalah :

 Badan Pusat Statistik (BPS).

 Direktorat Metrologi Republik Indonesia.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Beban Tenaga Penera Provinsi Kepulauan Riau

(8)

Tabel 1

Data Perkembangan Jumlah UTTP, Pemilik UTTP, Restribusi UTTP dan Tenaga Penera Provinsi Kepulauan Riau (Tahun 2003 - 2010)

Sumber : Data olahan UPT Metrologi Legal Provinsi Kepualuan Riau

Dari jumlah pemilik UTTP juga terjadi peningkatan dari 2.023 orang pada tahun 2003 dan menjadi sebanyak 3.957 jiwa pada tahun 2010 hal ini menunjukkan telah terjadinya peningkatan dalam transaksi perekonomian yang menggunakan alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya di provinsi Kepulauan Riau. Namun begitu jika kita lihat tabel 1 diatas, terkesan bahwa selama ini pemerintah provinsi Kepulauan Riau melalu Dinas Perindustrian dan Perdagangan yang membawahi Unit Pelaksana Teknis Metrologi Legal tidak memperhatikan peningkatan jumlah Sumber Daya Manusia Kemetrologian dalam hal ini adalah tenaga penera.

Salah satu konsekuensi dari pesatnya pertumbuhan ekonomi Kepulauan Riau khususnya sektor manufaktur dan perdagangan adalah tingginya pertumbuhan beban para penera. Apalagi selama dalam 10 tahun terakhir jumlah penera hanya bertambah tiga orang. Jumlah tenaga penera yang dimiliki oleh provinsi Kepulauan Riau jelas sangat jauh dari harapan dalam memberikan pelayanan kemetrologian guna menghasilkan tertib ukur di wilayah provinsi Kepulauan Riau.

Apa yang terjadi di Kepulauan Riau adalah hal umum yang terjadi di provinsi-provinsi lain di Indonesia. Menurut Direktur Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen Kementerian Perdagangan Nus Nuzulia Ishak, berdasarkan data evaluasi tahun 2011, tercatat 68,6 juta alat ukur yang harus ditera ulang di seluruh Indonesia. Sementara jumlah tenaga penera, ujar Nus hanya 807 orang yang mampu menera sekitar 6 juta alat ukur di Indonesia. Artinya, masih banyak dibutuhkan tenaga penera baru8.

Untuk lebih menguatkan argumentasi terhadap sektor dominan yang dimiliki oleh provinsi Kepulauan Riau dengan menggunakan model Location Quotient (LQ) diketahui bahwa hanya sektor lapangan usaha industri pengolahan dan perdagangan, hotel dan restoran dari PDRB harga konstan 2000 yang menunjukkan hasil dimana nilai LQ>1, pada sektor industri pengolahan sebesar 2,72 dan sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 1,42 hal ini menunjukkan kedua sektor tersebut dapat menjadi basis atau komoditas di sektor tersebut tidak saja dapat memenuhi kebutuhan di wilayahnya sendiri tetapi juga dapat diekspor ke luar wilayah.

Tabel 2 di bawah ini menunjukkan perkembangan beban penera di provinsi Kepulauan Riau diukur dengan nilai PDRB/penera, selama tahun 2003-2010.

Tabel 2

Perbandingan PDRB Provinsi Kepulauan Riau Dengan Ketersediaan Tenaga Penera Dari Tahun 2003 - 2010 Atas Dasar Harga Konstan 2000

8

(9)

Sumber : BPS dan UPT Metrologi Provinsi Kepulauan Riau

Pada tahun 2003 beban setiap orang penera adalah Rp.5,36 trilliun. Karena sampai tahun 2008 jumlah penera tidak bertambah, maka pertumbuhan beban yang harus ditanggung seorang penera setidak-tidaknya adalah sama dengan laju pertumbuhan ekonomi. Pada tahun 2009-2010 jumlah penera ditambah sebanyak tiga orang, sehingga beban per penera menjadi lebih rendah. Namun demikian angka absolutnya masih sangat besar, misalnya pada tahun 2010 beban per penera adalah Rp.5,14 triliun. Beban tersebut adalah jauh lebih besar dibandingkan dengan misalnya beban penera di Sumatera Utara (Rp.2,56 triliun/penera) dan Riau (Rp.2,03 triliun/penera) pada tahun yang sama. Akibatnya adalah potensi kerugian akibat ketidakakuratan pelaksanaan jasa metrologi adalah sangat besar. Tabel 3

Perbandingan PDRB Provinsi KEPULAUAN RIAU Dengan Ketersediaan Tenaga Penera Tahun 2010 Sektor Industri Pengolahan dan Perdagangan

Sumber : BPS dan UPT Metrologi Provinsi Kepulauan Riau

Tabel 3 di atas menunjukkan bahwa beban tenaga penera untuk mengelola tertib ukur di sektor manufaktur saja (Rp.2,61 triliun) sudah lebih besar dibanding beban penera untuk mengawasi seluruh sektor perekonomian di provinsi Sumatera Utara dan Riau. terhadap dua sektor utama yang dimiliki oleh provinsi Kepulauan Riau yakni sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel dan restoran, dapat dikatakan bahwa beban tenaga penera yang dimiliki oleh provinsi Kepulauan Riau pada tahun 2010 terhadap dua sektor tersebut sebesar 2.61 trilliun rupiah untuk sektor industri pengolahan dan untuk sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 1.18 trilliun rupiah berdasarkan harga konstan 2000. Beban tenaga penera tersebut berdasarkan jumlah tenaga penera yang dimiliki oleh provinsi Kepulauan Riau pada tahun 2010 yakni sebanyak 8 penera.

Untuk melihat perbandingan beban tenaga penera yang dimiliki oleh provinsi lainnya di wilayah pulau Sumatera maka berdasarkan Tabel 4 dibawah dapat dilihat kontribusi provinsi Sumatera Utara dalam hal sektor industri pengolahan tidak berbeda jauh dengan provinsi Kepulauan Riau sedangkan untuk sektor perdagangan, hotel dan restoran dipilih provinsi Riau yang mendekati dengan kontribusi PDRB provinsi Kepulauan Riau terhadap PDRB se-Sumatera. Namun begitu akan digambarkan beban tenaga penera dari dua provinsi tersebut dari total PDRB yang dihasilkan pada tahun 2010 dari harga konstan 2000.

Perdagangan, Hotel & Restoran 9,45 8,00 1,18

(10)

Tabel 4

Gambaran Beban Kerja Tenaga Penera 3 Provinsi Di Pulau Sumatra Per Lapangan Usaha Tahun 2010

Atas Dasar Harga Konstan 2000

Sumber : BPS Provinsi Kepulauan Riau dan Direktorat Metrologi

Berdasarkan lapangan usaha juga dapat terlihat dimana kedua provinsi tersebut yakni provinsi Sumatera Utara dan provinsi Riau berdasarkan harga konstan 2000 memiliki beban tenaga penera yang jauh lebih rendah dari provinsi Kepulauan Riau dimana untuk sektor industri pengolahan beban penera untuk provinsi Sumatra Utara hanya sebesar Rp. 0,57 triliun per penera, sedangkan provinsi Kepulauan Riau sebesar 2,61 triliun rupiah per penera adalah beban tenaga penera provinsi Kepulauan Riau untuk sektor industri pengolahan lebih dari empat kali lipat penera sektor industri pengolahan di provinsi Sumatera Utara.

Untuk sektor perdagangan, hotel dan restoran dimana provinsi Riau memiliki beban tenaga penera berdasarkan data tahun 2010 atas dasar harga konstan 2000 sebesar 0,38 triliun rupiah per penera, apabila kita bandingkan dengan provinsi Kepulauan Riau dimana untuk sektor perdagangan, hotel dan restoran total beban tenaga penera sebesar 1,18 itu berarti lebih dari tiga kali beban yang dimiliki oleh provinsi Riau.

Dari perbandingan beban tenaga penera yang dilakukan terhadap ketiga provinsi diatas maka dapat dikatakan pelayanan kemetrologian di provinsi Kepulauan Riau dapat dikatakan jauh dari harapan dimana beban tenaga penera yang dimiliki sehingga memungkinkan berkurangnya pelayanan yang diberikan terhadap alat ukur yang ada di provinsi Kepulauan Riau yang dapat berdampak pada perekonomian di provinsi Kepulauan Riau.

Kebutuhan Ideal Tenaga Penera Provinsi Kepulauan Riau

Pertumbuhan dan perkembangan perekonomian mengakibatkan penambahan penggunaan alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya (UTTP) di provinsi Kepulauan Riau menjadi meningkat, dari data yang ada pertumbuhan UTTP di provinsi Kepulauan Riau tiap tahunnya mengalami pertumbuhan dengan pesat dan jenis dari UTTP yang mengalami pertumbuhan tersebut dapat dilihat pada Tabel 5 di bawah.

Tabel 5

Pertumbuhan UTTP Berdasarkan Jenis di Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2003 - 2010

Provinsi Sumatra Utara

Sektor Industri Pengolahan 26,11 46,00 0,57 2,61

Provinsi Riau

Sektor Perdagangan, Hotel & Restoran 9,00 24,00 0,38 1,18 Penera per Triliun Rupiah

Provinsi KEPRI Lapangan Usaha Tahun 2010

(Triliun Rupiah)

Penera (jiwa)

(11)

Sumber : UPT Metrologi provinsi Kepulauan Riau

Data di atas didapat berdasarkan hasil pelayanan tera dan tera ulang terhadap UTTP yang berada di provinsi Kepulauan Riau. Namun dapat dipastikan masih banyak lagi UTTP yang belum terdata akibat dari kurangnya tenaga penera dalam memberikan pelayanan kemetrologian di provinsi Kepulauan Riau. Untuk itu perlu diantisipasi kebutuhan tenaga penera di provinsi Kepulauan Riau untuk tahun-tahun berikutnya dimana dengan melihat data yang ada bahwa pertumbuhan ekonomi di provinsi Kepulauan Riau apabila tidak diimbangi dengan penambahan tenaga penera akan mengakibatkan beban tenaga penera akan semakin meningkat, untuk itu perlu dilakukan peramalan kebutuhan tenaga penera dengan menggunakan data total PDRB provinsi Kepulauan Riau berdasarkan harga konstan 2000, periode 2003 - 2010 menurut lapangan usaha yakni sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel dan restoran untuk jangka waktu lima tahun kedepan. Tabel 6 di bawah ini menunjukkan proyeksi nilai output agregat seluruh sektor, sektor manufaktur dan perdagangan. Tabel 6

Peramalan Total Nilai PDRB Prov KEPULAUAN RIAU, Sektor Manfufaktur dan Sektor Perdagangan Atas Dasar Harga Konstan 2000

Asumsi Tahun 2003 - 2015 (Rupiah)

Sumber : BPS Provinsi Kepulauan Riau data diolah

Berdasarkan peramalan pertumbuhan ekonomi di provinsi Kepulauan Riau mulai tahun 2011 sampai 2015 maka dapat diketahui rasio beban tenaga penera yang akan datang apabila tidak dilakukan penambahan terhadap tenaga penera di provinsi Kepulauan Riau.

Tabel 7

(12)

Tahun 2011 - 2015 (Trilliun Rupiah)

Sumber : BPS Provinsi Kepulauan Riau data diolah

Dengan melihat data pada tabel 7 dapat dikatakan apabila tidak adanya upaya dalam penambahan tenaga penera dalam peningkatan pelayanan kemetrologian di provinsi Kepulauan Riau maka dikhawatirkan rasio beban yang ditanggung oleh tenaga penera akan terus meningkat. Sejak tahun 2003 sampai dengan tahun 2010 beban tertinggi dengan kondisi penera sejumlah 8 orang dengan nilai beban hanya sebesar 5.13 trilliun rupiah, namun pada tahun 2015 beban tenaga penera diperkirakan terus meningkat. Pada tahun 2015 beban sebesar 7.17 trilliun rupiah, atau meningkat sebesar 28 persen dari kondisi tahun 2010.

Berdasarkan lapangan usaha dari sektor industri pengolahan maka dapat dilihat bahwa rasio beban yang dimiliki oleh tenaga penera provinsi Kepulauan Riau berdasarkan peramalan dari tahun 2011 sampai tahun 2015 terlihat penambahan rasio beban tenaga penera yang pada tahun 2010 hanya sebesar 2.61 trilliun rupiah menjadi 2.94 trilliun rupiah atau hanya mengalami peningkatan dari tahun 2010 sebesar 11 persen pada tahun 2015. Namun karena peramalan yang dilakukan hanya berdasarkan data dari tahun-tahun sebelumnya dan mengingat kondisi provinsi Kepulauan Riau yang memiliki pertumbuhan sangat cepat dalam hal sektor industri pengolahan seiring dengan ditetapkannya status free trade zone di kota Batam, Bintan dan Karimun maka dimungkinkan bahwa pertumbuhan terhadap sektor industri pengolahan akan berkembang dengan pesat, yang secara otomatis bertambahnya nilai pada sektor industri pengolahan akan mengakibatkan penambahan rasio beban tenaga penera di provinsi Kepulauan Riau dari sektor ini.

Untuk sektor Perdagangan, hotel dan restoran rasio beban tenaga penera di provinsi Kepulauan Riau mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi dengan melihat data pada tahun 2010 dimana nilai dari sektor ini hanya sebesar 1.18 trilliun rupiah berdasarkan harga konstan 2000 maka diperkirakan pada tahun 2015 nilai dari sektor ini akan menjadi 3.88 trilliun rupiah yang membuat rasio beban meningkat lebih dari 3 kali lipat dari tahun 2010, melihat kondisi tenaga penera yang dimiliki oleh provinsi Kepulauan Riau saat ini sudah sangat jelas keterbatasan yang dihadapi dalam memberikan pelayanan dan harus mengantisipasi upaya untuk peningkatan pelayanan kemetrologian dan perlu menjadi perhatian terhadap sektor ini.

Mendesaknya Penambahan Tenaga Penera Provinsi Kepulauan Riau Penambahan Tenaga Penera Berdasarkan Beban Terhadap PDRB

Dari gambaran yang telah diberikan diatas penambahan tenaga penera dalam upaya menjalankan atau melaksanakan kewajiban pemerintah di provinsi Kepulauan Riau dalam melakukan tertib ukur terhadap barang dan jasa di provinsi Kepulauan Riau yang merupakan wujud nyata dari peranan kebijakan publik yang dilakukan oleh pemerintah daerah setempat dalam rangka meningkatkan efisiensi ekonomi dan alokasi sumber daya ekonomi yang langka yang terus mengalami perkembangan seiring dengan berjalannya waktu.

Untuk itu perlunya dilakukan upaya-upaya yang kongkrit guna meningkatkan pelayanan dalam hal kemetrologian, dengan melihat kondisi sumber daya manusia dalam hal ini tenaga penera yang dimiliki di provinsi Kepulauan Riau dibandingkan dengan provinsi lainnya di pulau Sumatera maka jelas terlihat bahwa sangat kurangnya tenaga penera yang dimiliki apabila dibandingkan dengan provinsi lainnya,

2011 43,82 22,24 10,12 8 5,48 2,78 1,26

2012 47,02 21,63 16,26 8 5,88 2,70 2,03

2013 50,23 22,24 20,17 8 6,28 2,78 2,52

2014 53,66 22,87 25,03 8 6,71 2,86 3,13

2015 57,33 23,52 31,06 8 7,17 2,94 3,88

(13)

sehingga mengakibatkan rasio beban yang dipikul oleh tenaga penera di provinsi ini juga sangat besar.

Tabel 8

Rekapitulasi Tenaga Penera Pulau Sumatra Desember Tahun 2010

Sumber : Direktorat Metrologi Bandung

Dari Tabel 8 di atas terlihat bahwa telah terjadi ketimpangan terhadap jumlah tenaga penera di provinsi Kepulauan Riau yang hanya berjumlah 8 penera pada tahun 2010 dibandingkan dengan jumlah tenaga penera yang dimiliki oleh provinsi-provinsi lainnya yang ada di pulau Sumatera.

Dimana dari perbandingan yang dilakukan terhadap jumlah tenaga penera dan total PDRB dari masing-masing provinsi yang ada di pulau Sumatera seperti digambarkan pada Tabel 9 di bawah maka 2 provinsi yang memiliki kontribusi berdasarkan harga konstan 2000 per lapangan usaha yakni sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel dan restoran mendekati dengan provinsi Kepulauan Riau yakni provinsi Sumatera Utara untuk sektor industri pengolahan dan provinsi Riau untuk sektor perdagangan, hotel dan restoran yang masing-masing memiliki jumlah penera sebanyak 46 dan 24 penera. Sehingga rasio beban yang dimiliki oleh kedua provinsi tersebut hanya sebesar 2,56 trilliun rupiah untuk provinsi Sumatera Utara dan 2,03 trilliun rupiah untuk provinsi Riau sedangkan provinsi Kepulauan Riau memiliki rasio beban tenaga penera sebesar 4,92 trilliun rupiah.

Rasio beban tenaga penera yang timbul akibat dari kurangnya tenaga penera di provinsi Kepulauan Riau dikhawatirkan berdampak kepada menurunnya mutu layanan kemetrologian. Apabila melihat provinsi-provinsi seperti Jambi, Bangka Belitung dan Bengkulu dimana mereka memiliki jumlah penera secara berurut berjumlah 11, 10 dan 7 penera namun kontribusi PDRBnya terhadap PDRB se-Sumatra masih jauh dibawah provinsi Kepulauan Riau dimana berdasarkan harga konstan 2000 kontribusi PDRB provinsi Jambi terhadap PDRB se-Sumatera hanya sebesar 4 persen lalu PDRB provinsi Bangka Belitung sebesar 2,73 persen dan provinsi Bengkulu sebesar 2,13 persen (tanpa migas).

Melihat kontribusinya terhadap PDRB se-Sumatera dari ketiga provinsi tersebut dan total tenaga penera yang dimiliki oleh ketiga provinsi tersebut maka dapat dikatakan apabila total kontribusi PDRB dari ketiga provinsi tersebut digabungkan masih belum bisa menyamai total kontribusi PDRB yang diberikan provinsi Kepulauan Riau terhadap PDRB se-Sumatera yang berjumlah 10,04 persen dan untuk tenaga penera apabila tenaga penera dari 3 provinsi tersebut digabungkan memiliki jumlah penera sebanyak 28 penera sedangkan provinsi Kepulauan Riau hanya memiliki 8 penera.

Tabel 9

Tenaga Penera Dan Beban Kerja Se-Sumatra

Struktural Fungsional

(14)

Berdasarkan Harga Konstan 2000 Tanpa Migas Tahun 2010

Sumber : BPS provinsi Kepulauan Riau dan Direktorat Metrologi Bandung data olahan

Dengan melihat Tabel 9 di atas maka dapat disimpulkan untuk mengatasi dampak dari rendahnya pelayanan publik dalam hal kemetrologian perlu dilakukan upaya peningkatan jumlah tenaga penera guna menunjang kebijakan dari pemerintah provinsi Kepulauan Riau, dengan melihat data diatas dapat dikatakan bahwa jumlah minimun tenaga penera yang harus dimiliki di provinsi Kepulauan Riau adalah dua kali dari jumlah kondisi saat ini yakni minimal sebanyak 16 penera atau idealnya adalah 18 penera. Dengan dasar data yang ada apabila kita melihat nilai PDRB kebawah maka akan terlihat bahwa provinsi Lampung yang memiliki total tenaga penera sebanyak 18 penera dengan total PDRB dibawah provinsi Kepulauan Riau, Apabila kita melihat ke atas maka provinsi Sumatra Barat yang memiliki total PDRB diatas lebih banyak dengan provinsi Kepulauan Riau memiliki tenaga penera sebanyak 21 penera.

Penambahan Tenaga Penera Berdasarkan Beban Kerja

Indikator yang digunakan untuk mengetahui kelangkaan tenaga penera adalah rasio beban antara jumlah alat UTTP terhadap jumlah tenaga penera. Dasar pertimbangannya adalah bagaimana dapat diperoleh ukuran yang sederhana atau memadai yang dapat memberikan indikasi akan adanya masalah kelangkaan penera. Mengingat alat-alat UTTP yang terdapat dalam perekonomian provinsi Kepulauan Riau beragam jenisnya, sedangkan tiap jenis alat UTTP memerlukan waktu tera/tera ulang yang berbeda-beda berdasarkan tingkat kesulitannya. Untuk itu diperlukan suatu variable yang dapat menjelaskan dan memperkirakan waktu yang dimiliki oleh seorang penera selama setahun dan jumlah UTTP yang dapat dilayani dengan waktu ideal yang dimilikinya.

Umumnya makin besar dan kompleks alatnya, jam kerja yang dibutuhkan semakin banyak. Dalam mengetahui jumlah tenaga ideal yang harus dimiliki oleh provinsi Kepulauan Riau dengan melihat data UTTP tahun 2010 pada tabel 4 maka dengan melakukan pengukuran terhadap waktu yang dibutuhkan untuk peneraan terhadap tiap jenis UTTP di provinsi Kepulauan Riau maka kita memiliki waktu kebutuhan UTTP selama setahun lihat tabel 10 Perbandingan antara jumlah jam kerja yang dibutuhkan untuk menera (waktu kebutuhan) dengan jumlah jam kerja penera merupakan indikator kebutuhan tenaga penera.

Tabel 10

Waktu Kebutuhan Peneraan Berdasarkan UTTP Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2010

1 Unit Pelaksana Teknis Daerah Metrologi Banda Aceh NAD 19 24,27 1,28

2 Unit Pelaksana Teknis Daerah Balai Metrologi Medan 3 Unit Pelaksana Teknis Daerah Balai Metrologi Pematang Siantar 4 Unit Pelaksana Teknis Daerah Balai Metrologi Rantau Prapat 5 Unit Pelaksana Teknis Daerah Balai Metrologi Sibolga

6 Unit Pelaksana Teknis Daerah Balai Kemetrologian Pekanbaru Riau 24 48,64 2,03

7 Unit Pelaksana Teknis Metrologi Tanjung Pinang Kepri 8 39,36 4,92

8 Balai Pengelola Laboratorium Metrologi Padang Sumbar 21 38,86 1,85

9 Balai Pelayanan Kemetrologian Jambi Jambi 11 15,67 1,42

10 UPTD Balai Pelayanan Kemetrologian Palembang Sumsel 21 50,3 2,40

11 Unit Pelaksana Teknis Daerah Balai Metrologi Pangkal Pinang Babel 10 10,69 1,07

12 Balai Metrologi Bengkulu Bengkulu 7 8,33 1,19

13 Unit Pelaksana Teknis Daerah Balai Metrologi Bandar Lampung Lampung 18 37,93 2,11

No Nama Unit Metrologi Provinsi

Sumut 46 117,9 2,56 Jumlah

Penera

Total PDRB (Triliun Rp)

(15)

Catatan : Data total waktu/UTTP lihat pada lampiran

Berdasarkan waktu kebutuhan tersebut akan kita ketahui jumlah tenaga penera ideal pada tahun 2010 di provinsi Kepulauan Riau, dari perhitungan didapat 17 tenaga penera, dengan asumsi jam kerja penera dalam 1 hari adalah 8 jam dan selama 1 bulan seorang penera bekerja selama 21 hari, maka didapat total jam kerja seorang penera pertahun sebesar 120.960 menit.

Kondisi tenaga penera sebanyak 17 pada tahun 2010 bisa dikatakan ideal, namun pertumbuhan alat ukur dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang cukup pesat apabila tidak diimbangi dengan ketersediaan tenaga penera maka akan berdampak terhadap pelayanan yang diberikan. Dari hasil perhitungan dengan meramalkan pertumbuhan UTTP di provinsi Kepulauan Riau dari tahun 2011 - 2015 diketahui jumlah tenaga penera ideal pada tahun 2010 hanya dapat dikatakan ideal sampai tahun 2014 itupun dengan asumsi dilakukan jam kerja tambahan sebesar 20% oleh semua tenaga penera. Namun pada tahun 2015 dibutuhkan tenaga penera sebanyak 22 pegawai agar pelayanan kemetrologian di provinsi Kepulauan Riau dapat berjalan optimal.

Analisis Biaya-Manfaat Penambahan Penera Asumsi-Asumsi Biaya

Faktor utama yang menjadi pertimbangan dalam hal kegiatan pendidikan dan pelatihan tenaga penera adalah biaya ekonominya dimana untuk kegiatan tersebut perlu adanya model perhitungan biaya ekonomi dari penyediaan seorang penera. Dengan melakukan analisa biaya ini akan melihat apakah penambahan jumlah penera akan memiliki nilai manfaat secara ekonomi berdasarkan pada peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari restribusi tera dan tera ulang.

Asumsi - asumsi yang digunakan adalah sebagai berikut :

1. Discount rate (tingkat diskonto) adalah 10% per tahun rekomendasi sementara dari The Office of Management and Budged (OMB)9.

2. Usia seorang pegawai negeri sipil yang di didik untuk menjadi tenaga penera rata-rata berusia 28 tahun dan berdarkan Undang-Undang Kepegawaian Republik Indonesia, akan pensiun pada usia 56 tahun. Dengan demikian setiap orang penera mempunyai waktu bekerja sampai pensiun, selama 28 tahun.

9

William N. Dunn Pengantar Analisis Kebijakan Publik Tahun 2000 hal 485

Total Kebutuhan waktu (menit)

Ukuran Panjang 19,00 32,02 608,30 0,01

TKB 159,00 32,60 5.182,76 0,04

Timbangan 6.839,00 209,38 1.431.949,82 11,84

MAK 125,00 32,60 4.074,50 0,03

SPBU 472,00 87,06 41.091,38 0,34

TUTSIT,TUTSIDA & Tongkang 55,00 651,98 35.858,79 0,30

TUM 133,00 72,04 9.580,79 0,08

Meter Air 4.904,00 51,85 254.282,21 2,10

KWH Meter 2.833,00 69,83 197.834,06 1,64

Meter Taksi 973,00 36,66 35.666,29 0,29

16.512,00 2.016.128,89 16,67

Jenis UTTP Tahun 2010 Total waktu/UTTP (menit)

Total UTTP Total Penera

Ideal

2010 2011

Diklat Penera

Masa Pelayanan Tenaga Penera Sampai Masa Pensiun (28 tahun)

(16)

Gambar 2

Illustrasi Lama Pelayanan Tenaga Penera

3. Biaya finansial dari pendidikan dan pelatihan tenaga penera selama enam bulan, mencakup biaya akomodasi, uang saku, biaya-biaya pelatihan dan biaya-biaya lainnya, dengan asumsi sebesar maksimum 60 juta rupiah.

4. Setelah selesai pendidikan dan pelatihan, maka biaya yang akan dikeluarkan untuk mempekerjakan penera untuk gaji, tunjangan-tunjangan dan hal lainnya sebesar 74,6 juta rupiah setahun. Dimana setiap tahun gaji yang dinaikkan mengimbangi inflasi yang diasumsikan sebesar 6 persen.

Asumsi-Asumsi Manfaat

Komponen manfaat/pengembalian dari penambahan tenaga penera yang dipertimbangkan dalam analisis ini adalah komponen langsung, yakni komponen manfaat adalah peningkatan restribusi (PAD) dari kegiatan kemetrologian, dimana seiring peningkatan jumlah tenaga penera akan memberikan manfaat peningkatan PAD sebesar 36% didapat dari estimasi perhitungan jumlah beban kerja dari tenaga penera ideal yang pada tahun 2010 di asumsikan sudah memiliki tenaga penera sebanyak 17 penera (hasil perhitungan berdasarkan waktu kebutuhan tenaga penera tahun 2010 provinsi Kepulauan Riau) dalam memberikan pelayanan yang optimal, maka pada tahun 2011 berdasarkan peramalan terhadap perkembangan jumlah UTTP di provinsi Kepulauan Riau maka total tenaga penera pada tahun 2011 menjadi 18 tenaga penera maka perlunya dilakukan penambahan. Apabila dilakukan penambahan 1 tenaga penera didapatkan penambahan pelayanan terhadap UTTP sebanyak 1.803 unit yang berdampak terhadap peningkatan pemasukan daerah dari restribusi terhadap pelayanan kemetrologian pada tahun tersebut dan tahun-tahun berikutnya.

Analisis

Seperti telah disampaikan sebelumnya bahwa indikator ekonomi yang digunakan adalah NPV (Net Present Value), BCR (Benefit Cost Ratio), IRR (Internal Rate of Return) dan PBP (Pay Back Period). Sehubungan dengan tingkat ketidakpastian ekonomi yang sangat besar di Indonesia saat ini, maka indikator ekonomi IRR akan merupakan indikator yang paling sesuai digunakan, dimana besarnya nilai tingkat diskon yang mampu menyeimbangkan antara benefit versus cost menjadi ukuran kelayakan rencana penambahan tenaga penera ini. Dalam perhitungan menggunakan tingkat diskon 10 persen.

Tabel 11

Indikator Kelayakan Ekonomi Penambahan Tenaga Penera Peningkatan Restribusi PAD Provinsi Kepulauan Riau

(17)

secara otomatis memiliki nilai tambah terhadap perekonomian daerah tersebut.

Pada dasarnya proses analisis kelayakan biaya manfaat ini dilakukan untuk menghitung kelayakan terhadap penambahan tenaga penera dengan membandingkan antara jumlah biaya (cost) terhadap pendapatan/pengembalian (revenue) yang ditimbulkan sepanjang masa pelayanan kemetrologian yang diberikan penera sampai ia pensiun. Dengan kata lain analisis ekonomi ini dilakukan dengan membentuk arus nilai uang (cash flow) dari penambahan tenaga penera tersebut.

Dalam hal indikator ekonomi yang digunakan adalah NPV (Net Present Value), BCR (Benefit Cost Ratio), IRR (Internal Rate of Return) dan PBP (Pay Back period). Penambahan tenaga penera dalam peningkatan pendapatan asli daerah sangat layak untuk dilakukan dimana terlihat dari nilai yang didapat NPV > 0 pada tiap tingkatan diskonto atau pada tingkat diskonto yang disepakati yakni sebesar 10 persen, nilai BCR > 1 juga menandakan tingkat pengembalian dari biaya yang dikeluarkan dengan manfaat yang didapat lebih besar, nilai IRR > dari suku bunga yang ditetapkan sehingga keuntungan dalam pelaksanaan proyek ini sangat mengutungkan dan pengembalian investasi diperkirakan hanya dalam dua tahun sembilan bulan dan delapan hari berdasarkan hasil perhitungan pay back period yang dinyatakan dalan angka sebesar 2,98.

Sehingga penambahan tenaga penera dikatakan sangat layak untuk dilaksanakan dengan melihat nilai indikator yang didapatkan diatas. Namun begitu potensi dari manfaat yang dapat diberikan oleh restribusi dapat dioptimalkan karena nilai dari restribusi yang dibebankan terhadap alat ukur saat ini masih sangat rendah. Dalam perhitungan manfaat yang digunakan dalam perhitungan dimana angka rata-rata restribusi yang digunakan hanyalah Rp. 66.500/UTTP hal ini yang berdampak terhadap sangat minimalnya jumlah penerimaan dari restribusi metrologi, meskipun begitu manfaat dari pelayanan kemetrologian dalam menciptakan keakuratan pengukuran dapat meningkat, dan hal inilah yang menjadi dasar pelaksanaan kegiatan kemetrologian dalam mewujudkan tertib ukur, dampak perwujudan dari pelayanan yang dilakukan akan secara otomatis berpengaruh terhadap penerimaan daerah. Namun begitu biaya restribusi yang apabila dilihat sangat kecil namun nominal yang dibayarkan oleh pemilik UTTP untuk beberapa jenis UTTP justru sangat besar, dalam hal ini biaya yang harus dikeluarkan untuk memanggil tenaga penera untuk melakukan pengujian terhadap UTTP yang dimilikinya, hal ini berlaku terhadap UTTP yang tidak dapat dipindah-pindahkan atau posisinya tetap.

Sebagai contoh untuk jenis UTTP Dispenser pada SPBU dimana biaya restribusi untuk 1 unit dispenser hanya sebesar Rp 15.000 sedangkan biaya yang harus dikeluarkan oleh pemilik SPBU apabila memanggil tenaga penera untuk melakukan peneraan berdasarkan peraturan yang berlaku maka tiap penera yang berangkat tugas untuk melakukan pengujian akan diberikan dana transportasi dan uang harian oleh yang meminta sesuai dengan peraturan yang berlaku10. Apabila posisi SPBU berada di kota Tanjungpinang dan SPBU tersebut memiliki 10 unit dispenser maka total dana yang dikeluarkan oleh pemilik SPBU adalah sebesar Rp 150.000 untuk restribusi dan Rp 1.200.000 untuk dana transportasi dan dana harian 2 orang tenaga penera, sehingga total biaya untuk peneraan menjadi sebesar Rp 1.350.000/tahun. Simulasi ini masih terhadap UTTP yang berada di kota Tanjungpinang dan bagaimana biaya yang timbul terhadap UTTP yang tetap dan berlokasi di luar wilayah kota Tanjungpinang seperti Kota Batam, Kabupaten Karimun, Kabupaten Lingga, Kabupaten Natuna dan Kabupaten Kepulauan Anambas maka biaya yang akan dikeluarkan semakin besar.

Dari ilustrasi diatas apabila biaya yang dikeluarkan oleh pemilik UTTP dalam mendapatkan pelayanan kemetrologian dapat dikatakan merupakan bagian dari pendapatan daerah dan bukan pendapatan individu dalam hal ini tenaga penera, maka akan semakin meningkatnya manfaat yang dapat diberikan terhadap pelayanan kemetrologian yang dilakukan.

Dari hasil pada tabel 11 di atas dapat dikatakan bahwa proyek peningkatan jumlah tenaga penera Unit Pelaksana Teknis Metrologi Legal Provinsi Kepulauan Riau sangat layak untuk dilakukan dan peningkatan tenaga penera ini harus dilakukan secara berkesinambungan dengan melihat dari manfaat secara ekonomi dan peningkatan pelayanan yang akan diberikan oleh tenaga penera provinsi Kepulauan sehingga terwujudnya tertib ukur di wilayah provinsi Kepulaun Riau.

10

(18)

4. SIMPULAN

Berdasarkan pembahasan hasil penelitian, maka penulis membuat beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Berdasarkan perhitungan yang sangat sederhana dapat diketahui kesalahan pengukuran dalam perekonomian akan berdampak terhadap pengeluaran biaya yang besar, misalnya di Indonesia jika terjadi kesalahan dalam pengukuran hanya sebesar 1/1000 saja pada tahun 2010 akan menghasilkan kerugian sebesar Rp. 2,3 trilliun, Sementara untuk provinsi Kepulauan Riau apabila kesalahan pengukuran sebesar 1/1000 akan menimbulkan kerugian sebesar Rp. 4,1 milliar. Besarnya kerugian yang timbul akibat kesalahan pengukuran UTTP tersebut menyebabkan perlunya tertib ukur dalam transaksi perekonomian.

2. Berdasarkan data yang telah disampaikan maka dapat diketahui kondisi tenaga penera provinsi Kepulauan Riau yang masih sangat jauh dari harapan dimana hingga tahun 2010 hanya memiliki 8 tenaga penera sedangkan provinsi lain diwilayah sumatera memiliki jumlah penera rata-rata sebanyak 19,67 penera. Dalam perbandingan yang dilakukan terhadap PDRB provinsi Sumatera Utara dan provinsi Riau maka terlihat beban rasio yang dimiliki oleh kedua provinsi tersebut apabila dibandingkan dengan beban yang dimiliki oleh tenaga penera provinsi Kepulauan Riau sangat besar, dimana provinsi Sumatra Utara berdasarkan PDRB harga konstan 2000 didapat beban tenaga penera sebesar Rp. 2,56 trilliun per penera dari total 46 tenaga penera, untuk provinsi Riau beban tenaga penera sebesar Rp. 2,03 trilliun per penera dari total 24 tenaga penera. Sedangkan provinsi Kepulauan Riau memiliki beban tenaga penera sebesar Rp. 5,14 trilliun per penera. Berdasarkan sektor lapangan usaha dapat diketahui bahwa di provinsi Sumatera Utara beban tenaga penera hanya sebesar Rp. 0,57 trilliun dari total PDRB sektor industri pengolahan yang sebesar Rp. 26,11 trilliun dan provinsi Riau memiliki beban tenaga penera sebesar Rp. 0,38 trilliun dari total PDRB sektor perdagangan, hotel dan restoran yang sebesar Rp. 9 trilliun. Dimana provinsi Kepulauan Riau memiliki beban tenaga penera untuk sektor industri pengolahan sebesar Rp. 2,61 trilliun dari PDRB sektor industri pengolahan sebesar Rp. 20,88 trilliun. Dan untuk sektor perdagangan, hotel dan restoran beban tenaga penera sebesar Rp. 1,18 trilliun dari PDRB sektor perdagangan, hotel dan restoran yang sebesar Rp. 9,45 trilliun.

3. Dengan melihat beban tenaga penera berdasarkan simulasi perbandigan dengan provinsi lain di Sumatera maka dapat dikatakan perlunya upaya penambahan jumlah tenaga penera untuk meningkatkan pelayanan kemetrologian di provinsi Kepulauan Riau. Adapun jumlah minimun tenaga penera yang harus dimiliki di provinsi Kepulauan Riau adalah dua kali dari jumlah kondisi saat ini yakni minimal sebanyak 16 penera atau idealnya adalah 18 penera dari simulasi PDRB provinsi se-Sumatera.

4. Berdasarkan waktu kebutuhan pelayanan UTTP pada tahun 2010, dapat diketahui jumlah tenaga penera ideal di provinsi Kepulauan Riau adalah 17 tenaga penera dengan total waktu kebutuhan terhadap UTTP sebesar 2.016.128,89 menit.

(19)

5. SARAN

Berdasarkan simpulan diatas, penulis menyampaikan beberapa saran yang dapat dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau dalam upaya memperbaiki dan meningkatkatan pelayanan kemetrologian di provinsi Kepulauan Riau, sebagai berikut :

1. Secara empiris, untuk mencapai harapan peningkatan pelayanan kemetrologian di provinsi Kepulauan Riau, maka harus dilakukan peningkatan baik dari sisi Sumber Daya Manusia dalam hal ini peningkatan jumlah tenaga penera dan peningkatan sarana dan prasarana pendukung kemetrologian. Adapun upaya-upaya yang dapat dilakukan guna terwujudnya peningkatan kemetrologian di provinsi Kepulauan Riau antara lain :

 Melakukan penambahan jumlah SDM tenaga penera dengan mengajukan permintaan kebutuhan penambahan pns untuk formasi tenaga penera kepada Badan Kepegawaian Daerah dengan melihat potensi yang dimiliki oleh provinsi Kepulauan Riau.

 Mengirimkan tenaga penera yang ada untuk selalu update terhadap perkembangan kemetrologian di Indonesia dengan mengikutsertakan untuk pendidikan dan pelatihan kemetrologian.

 Melanjutkan proses pembangunan gedung dan laboratorium metrologi legal provinsi Kepulauan Riau agar proses pelayanan kemetrologian dapat dilakukan secara langsung ditempat, sehingga dapat mengurangi waktu pengujian yang selama ini dilakukan di luar kantor.

 Revisi terhadap Peraturan Gubernur provinsi Kepulauan Riau terkait dengan restribusi yang dikenakan terhadap alat ukur yang berada di provinsi Kepulauan Riau, dimana peraturan gubernur yang berlaku saat ini masih merupakan peninggalan dari provinsi induk yakni provinsi Riau sedangkan saat ini provinsi Riau sudah memiliki PERGUB yang baru terkait restribusi dari alat ukur.

2. Secara normatif, peningkatan dan/atau perbaikan pelayanan dilakukan dengan dasar Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia NO. 50/M-DAG/PER/10/2009 tentang unit kerja dan unit pelaksana teknis metrologi legal dan No. 51/M-DAG/PER/10/2009 tentang penilaian terhadap unit pelaksana teknis dan unit pelaksana teknis daerah metrologi legal. Maka perlunya Unit Pelaksana Teknis Metrologi Legal provinsi Kepulauan Riau untuk segera melakukan pembenahan guna peningkatan pelayanan kemetrologian.

Menyadari adanya keterbatasan penelitian sebagaimana telah disampaikan dimana perhatian masyarakat dan pemerintah terhadap kemetrologian masih sangat memprihatinkan, maka secara akademis penelitian ini menyarankan untuk dapat dilakukan penelitian sejenis dengan mengambil topik penelitian terhadap pelayanan kemetrologian, dengan pendekatan metodologi yang berbeda, sehingga diharapkan akan semakin memperkaya khazanah literatur dan referensi tentang kemetrologian khususnya masalah pelayanan kemetrologian di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Publikasi buku

Dunn, William N. (2003). Pengantar Analisis Kebijakan Publik (Edisi Kedua)-terjemahan Samodra Wibawa. dkk. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Iftikar Z. Sutalaksana, Ruhana Anggawisastra dan John H. Tjakraatmadja. Teknik Tata Cara Kerja, Institut Teknologi Bandung, Bandung 1979.

(20)

Artikel online

J.A. Birch A.M., Benefit of Legal Metrology for the Economy and Society. A study for the International Committe of Legal Metrology, 2002.

J.A. Birch A.M., Importance of Legal Metrology for the Economy of the Country and Foreseen Development into 21st Century. 1999.

Kaarls, Robert. Metrology in Chemistry: Rapid Developments in the Global Metrological Infrastructure, the CIPM MRA and its Economic and Social Impact. Spinger-Verlag 2006.

Kaarls, Robert. Metrology, Essential to Trade, Industry and Society. Spinger-Verlag. 2007.

Makalah yang dipresentasikan

Gunaryo, Direktur Metrologi Kementrian Perdagangan Republik Indonesia. Metrologi Melindungi Kepentingan Umum dalam Hal Jaminan Kebenaran dan Kepastian Hukum. Makalah pada seminar II Konsepsi Penyempurnaan UURI No.2 Tentang Metrologi Legal. J.A. Birch A.M., Legal Metrology in Support of Economic and Social Development. Makalah

pada konferensi APEC di Manila, 1996.

J.A. Birch A.M., The Scope of Legal Metrology and Its Role in Economic and Social Development. Makalah pada Workshop on Legal Metrology ASEAN, Surabaya, 1997. Kim, J.S. (2008), National Policy and Infrastructure in Korea, presented at APMP Workshop

on Metrology in Chemistry for Industrial Competitiveness and High Quality of Life, Jakarta, 30-31 Oktober 2008.

Dokumen lembaga

Badan Pusat Statistik, PDRB Provinsi-provinsi di Pulau Sumatra menurut Lapangan Usaha (berbagai tahun terbit). Jakarta.

Badan Pusat Statistik, Pendapatan Regional Provinsi Kepulauan Riau, berbagai tahun terbit. Kantor BPS provinsi Kepulauan Riau.

Direktorat Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen, Membangun Budaya Jujur dan Meningkatkan Citra Daerah Melalui Tertib Ukur. 2012.

Republik Indonesia. 2000. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.25 Tahun 2000, Tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom. Jakarta.

Republik Indonesia. 2012. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.45 Tahun 2012, Tentang Jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada kementrian perdagangan. Jakarta.

Artikel di koran, majalah, dan periodik sejenis

Gambar

Gambar 1 Hasil survei JICA tahun 2006 Sumber : Direktorat Jenderal Standarisasi dan Perlindungan Konsumen
Tabel 3 di atas menunjukkan bahwa beban tenaga penera untuk mengelola tertib ukur di sektor manufaktur saja (Rp.2,61 triliun) sudah lebih besar dibanding beban penera untuk mengawasi seluruh sektor perekonomian di provinsi Sumatera Utara dan Riau
Tabel 6 Peramalan Total Nilai PDRB Prov KEPULAUAN RIAU, Sektor Manfufaktur dan Sektor
Tabel 8 Rekapitulasi Tenaga Penera Pulau Sumatra
+3

Referensi

Dokumen terkait

Om Swastyastu. Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Mahaesa karena atas limpahan karunia-Nya skripsi yang berjudul &#34;Teks Tutur Jong Manten&#34;: Analisis

Dengan menentukan sudut kemiringan dari pemasangan cermin bagian luar ini maka akan mempengaruhi besarnya sinar pantul yang akan dipantulkan ke bagian dalam perangkat dan

Ekspresi Boolean yang menspesifikan suatu fungsi disajikan dalam dua bentuk yaitu fungsi Boolean yang merupakan jumlah dari hasil kali atau dikenal dengan

Ketiga, Yesus Kristus mati bagi semua orang berdosa, dengan demikian keselamatan yang diperoleh melalui kematian dapat diperoleh oleh siapapun asal mereka

Hisyam Sibarani, 2014, Perubahan Serapan Air dan Kuat Kejut Beton Menggunakan Agregat Kasar Pecahan Genteng Berserat Aluminium Pasca Bakar dengan Variasi Waktu

Dapat dilihat bahwa data dari BPPKLN Provinsi Papua mengenai ancaman- ancaman ini diakibatkan kurangnya pengawasan dalam pelaksanaan perjanjian “Special Arrangements

Tujuan penelitian ini Untuk membantu pihak sekolah dalam melakukan proses pengolahan data, membantu pihak sekolah dalam melakukan proses pengolahan nilai,

Observasi yang ditemukan pada klien dengan perilaku menarik diri akan ditemukan (data objektif), yaitu apatis, ekspresi sedih, afeks tumpul, menghindari dari orang