• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Sosial Ekonomi Dan Lingkungan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Analisis Sosial Ekonomi Dan Lingkungan"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

Analisis Sosial Ekonomi

Dan Lingkungan

4.1 Analisis Sosial

Analisis sosial adalah analisa dampak pembangunan infrastruktur Bidang Cipta

Karya, mulai pada tahap perencanaan, pelaksanaan, maupun pasca pelaksanaan

terhadap masyarakat sekitar pelaksanaan kegiatan. Pada Bagian ini beberapa hal

penting untuk di bahas antara lain : pengarusutamaan gender, identifikasi kebutuhan

penanganan sosial pasca pelaksanaan pembangunan infrastruktur Bidang Cipta Karya..

4.1.1 Pengarusutaman Gender

Tingkat responsif gender atau perjuangan kaum perempuan di Kabupaten

Bantaeng sudah menyentuh ke berbagai segala aspek pembangunan, dalam hal ini

Pemerintah Kabupaten Bantaeng selalu bersatu padu dan bersinergi dalam

mengembangkan program yang mengarah pada pembangunan di Kabupaten Bantaeng

khususnya dalam pengarusutamaan gender di Kabupaten Bantaeng.

Adapun bentuk responsif gender yang sudah dilaksanakan di Kabupaten

Bantaeng diantaranya adalah :

1. Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Kabupaten

Bantaeng bekerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)

setempat serta didukung oleh ACCESS-AUSAID telah melaksanakan dan

mengembangkan Program Peningkatan Partisipasi Masyarakat Dalam

Pembangunan Desa dengan mengadopsi pendekatan Community Led

(2)

(CLAPP-Program ini telah diterapkan dikembangkan pada 4 (empat) tahun terakhir

(2006, 2007, 2008 dan 2009) di 46 Desa dan 2 Kelurahan.

2. Adanya Program Pemberdayaan P2KP (PNPM Mandiri Perkotaan), Program

KOTAKU, Program PAMSIMAS, Program PPIP dan PISEW yang telah

banyak melibatkan perempuan dalam setiap kegiatan baik itu kegiatan sosial,

ekonomi dan lingkungan. Utamanya di kegiatan lingkungan seperti kegiatan

pembangunan jalan paving block, pembangunan drainase ataupun

kegiatan-kegiatan fisik lainnya, itu sudah banyak melibatkan orang miskin, kaum

perempuan dan bahkan anak-anak mulai dari perencanaan, pelaksanaan

maupun pasca pelaksanaan kegiatan.

4.1.2 Identifikasi Kebutuhan Penanganan Sosial Pasca Pelaksanaan

Pembangunan Infrastruktur Bidang Cipta Karya

Dasar peraturan perundang-undangan yang menyatakan perlunya

memperhatikan aspek sosial adalah sebagai berikut :

1. UU No. 17/2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang

Nasional :

 Dalam rangka pembangunan berkeadilan, pembangunan sosial juga

dilakukan dengan memberi perhatian yang lebih besar pada kelompok

masyarakat yang kurang beruntung, termasuk masyarakat miskin dan

masyarakat yang tinggal di wilayah terpencil, tertinggal, dan wilayah

bencana.

 Penguatan kelembagaan dan jaringan pengarusutamaan gender dan anak

di tingkat nasional dan daerah, termasuk ketersediaan data dan statistik

gender.

2. UU No. 2/2012 Tentang Pengadaan UU No. 2/2012 tentang Pengadaan

Lahan bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum :

(3)

kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara, dan masyarakat dengan

tetap menjamin kepentingan hukum Pihak yang Berhak.

3. Peraturan Presiden No. 5/2010 Tentang Rencana Pembangunan Jangka

Menengah Nasional Tahun 2010-2014 :

 Perbaikan kesejahteraan rakyat dapat diwujudkan melalui sejumlah

program pembangunan untuk penanggulangan kemiskinan dan

penciptaan kesempatan kerja, termasuk peningkatan program di bidang

pendidikan, kesehatan, dan percepatan pembangunan infrastruktur dasar.

 Untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender, peningkatan akses

dan partisipasi perempuan dalam pembangunan harus dilanjutkan.

4. Peraturan Presiden No. 15/2010 Tentang Percepatan penanggulangan

Kemiskinan :

 Pasal 1: Program penanggulangan kemiskinan adalah kegiatan yang

dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah dunia usaha, serta

masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin melalui

bantuan sosial, pemberdayaan masyarakat, pemberdayaan usaha

ekonomi mikro dan kecil, serta program lain dalam rangka meningkatkan

kegiatan ekonomi.

5. Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 Tentang Pengarusutamaan Gender

dalam Pembangunan Nasional :

 Menginstruksikan kepada Menteri untuk melaksanakan pengarusutamaan

gender guna terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan,

pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan

nasional yang berperspektif gender sesuai dengan bidang tugas dan

fungsi, serta kewenangan masing-masing.

A. Aspek Sosial pada Perencanaan Pembangunan Bidang Cipta Karya

Dalam Standard on Social Responsibility ISO 2006, tanggung jawab sosial

(4)

institusi yang sehat, lingkungan, ketenagakerjaan, hak asasi manusia, dan governance

organisasi.

Meskipun belum ada standar baku tanggung jawab sosial, unsur-unsur tanggung

jawab sosial terus mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan

masyarakat, globalisasi, dan pasar bebas. The World Bank Institute menjabarkan

komponen tanggung jawab sosial sebagai berikut.

a. Proteksi Lingkungan

Tanggung jawab lingkungan ditekankan pada menemukan cara penggunaan

sumber daya alam secara berkelanjutan untuk mengurangi dampak

operasionalisasi terhadap lingkungan.

b. Jaminan Kerja

Terkait dengan kebebasan berserikat bagi pekerja dan pengenalan secara

efektif terhadap hak dan kewajiban pekerja, khususnya hak untuk berunding

secara kolektif.

c. Hak Asasi Manusia

Pengembangan tempat kerja yang bebas dari diskriminasi dengan

mengedepankan etika professional yang memperhatikan kreativitas dan

pembelajaran, dan keseimbangan antara pekerjaan terhadap aspek lain di

luar pekerjaan.

d. Keterlibatan dalam komunitas

Merupakan tindakan untuk mengoptimalkan dampak dari donasi uang, waktu,

produk, jasa,pengaruh, pengetahuan manajemen dan sumber daya lainnya

pada masyarakat di mana infrastruktur tersebut dibangun.

e. Standar bisnis

Standar ini meliputi aktifitas secara luas seperti etika, imbalan keuangan,

perlindungan lingkungan, standar kerja, dan HAM.

f. Pasar

Mencakup aktivitas bisnis secara luas yang menggambarkan hubungan

(5)

pemasaran, penetapan harga, pengenalan produk, kualitas dan keamanan

produk.

g. Pengembangan ekonomi dan badan usaha

Dalam menjalankan usahanya, perusahaan harus memperhatikan daya

saing, pengembangan usaha kecil dan menengah (UKM) lokal,

kewiraswastaan, pemberdayaan ekonomi masyarakat, dan keuangan mikro.

h. Proteksi Kesehatan

Di banyak negara industri, tempat kerja dikenal sebagai tempat penting

untuk melakukan promosi kesehatan, sehingga perusahaan dapat berperan

sebagai mitra pemerintah dalam pengembangan kesehatan.

i. Pengembangan kepemimpinan dan pendidikan

Perusahaan dapat memberikan kontribusi kepada masyarakat sekitar dengan

memberikan akses pendidikan, sehingga perusahaan dapat memberikan

dampak positif pada proses pemberdayaan melalui standar pengembangan

kepemimpinan dan pendidikan dalam perusahaan dan menularkan

praktek-praktek terbaik kepada mitra perusahaan yang masih berada dalam tingkat

perekonomian berkembang atau transional.

j. Bantuan bencana kemanusiaan

Perusahaan bekerjasama dengan pemerintah, masyarakat dan LSM

memegang peran penting dalam mendukung operasi bencana kemanusiaan.

Perusahaan diharapkan dapat menerapkan konsep “respon proaktif” dan

memusatkan pada tindakan pencegahan melalui upaya pemberdayaan.

B. Aspek Sosial pada Pelaksanaan Pembangunan Bidang Cipta Karya

Ketersediaan infrastruktur yang berkualitas merupakan salah satu faktor penentu

daya tarik suatu kawasan/wilayah, di samping faktor kualitas lingkungan hidup, image,

dan masyarakat (budaya). Sementara itu, kinerja infrastruktur merupakan faktor kunci

dalam menentukan daya saing global, selain kinerja ekonomi makro, efisiensi

(6)

Salah satu isu strategis yang dihadapi adalah bagaimana pembangunan

infrastruktur dapat membantu mengatasi besarnya kesenjangan antar-kawasan

nusantara: antara Kawasan Barat Indonesia dengan Kawasan Timur Indonesia, antara

Pulau Jawa dan pulau-pulau lainnya, antara kawasan perkotaan dan kawasan

perdesaan, antara kota Jakarta dan kota-kota lainnya. fenomena yang terkait adalah

urbanisasi yang cukup tinggi dengan laju antara 1% hingga 1,5% per tahun akibat

tingginya mobilitas penduduk. Secara teoritik, kota merupakan mesin pertumbuhan

ekonomi (the engine of economic growth), sehingga proses pengembangan wilayah

terjadi karena adanya perkembangan kota sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, yang

lalu diikuti dengan penyebaran pertumbuhan ekonomi di kawasan sekitarnya.

Diperkirakan dalam 20 hingga 25 tahun ke depan jumlah penduduk perkotaan di

Indonesia akan mencapai 65% (Pustra, 2007), dan pada akhir tahun 2014 jumlah

penduduk perkotaan diperkirakan mencapai 53 – 54%.

Tingkat urbanisasi yang relatif tinggi belum disertai oleh kamampuan untuk

memenuhi kebutuhan infrastruktur yang disebabkan oleh pertumbuhan penduduk oleh

urbanisasi tersebut maupun “backlog” yang telah ada sebelumnya. Demikian juga

ketersediaan infrastruktur belum merata ke semua golongan masyarakat, terutama

masyarakat miskin.

Menghadapi tantangan di atas, maka diperlukan pendekatan pembangunan yang

bersifat kewilayahan dan direncanakan dengan matang sesuai dengan tingkat

kebutuhan dan perkembangan ekonomi dan sosial serta ketersedian infrastruktur

suatu wilayah agar infrastruktur pekerjaan umum dan permukiman dapat mendukung

pengembangan ekonomi dan wilayah secara efisien dan efektif.

Tantangan penyelenggaraan infrastruktur pekerjaan umum dan permukiman ke

depan juga erat terkait dengan pembangunan berkelanjutan yang menjadi bagian dari

3 (tiga) pilar pembangunan (ekonomi, sosial, dan lingkungan) yang berprinsip

"memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan

generasi masa depan”. Tantangan pembangunan berkelanjutan di Indonesia ialah

(7)

berkelanjutan tanpa mengakibatkan degradasi lingkungan. Isu ini di Indonesia

semakin penting sejalan dengan meningkatnya kesadaran ekologi yang dipicu oleh

keprihatinan terhadap kerusakan lingkungan yang semakin parah dan serius dan

sudah pasti apabila tidak ditangani dengan baik akan memberikan dampak yang buruk

terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat sekarang dan di masa mendatang.

Pelayanan infrastruktur dasar di Indonesia saat ini kondisinya relatif tertinggal

dibandingkan beberapa negara Asia lainnya. Pembangunan dan pengelolaan

infrastruktur ke-PU-an dan permukiman selama 10 tahun terakhir belum dilakukan

secara baik, sebagaimana ditunjukkan oleh pendanaan infrastruktur yang masih

under-investment (< 2% PDB). Anggaran pemeliharaan terbatas, demand lebih besar dari

supply terutama untuk daerah-daerah cepat tumbuh, dan Standar Pelayanan Minimum

(SPM) belum sepenuhnya terpenuhi.

Sementara di sisi lain kesepakatan MDGs untuk memenuhi sasaran mutu

pelayanan infrastruktur terutama penyediaan air bersih dan sanitasi untuk masyarakat

berpenghasilan rendah sudah tidak bisa ditunda lagi. Selain itu, tidak dapat diabaikan

pula berbagai kesepakatan pembangunan infratruktur bersama, seperti pada

kesepakatan kerjasama ekonomi regional: APEC, AFTA, BIMP-EAGA, IMT-GT,

SIJORI, Program ASEAN Highway, dan Asia Railway yang akan menuntut upaya

sungguh-sungguh dari segenap pelaku pembangunan infrastruktur ke-PU-an. Karena

itu upaya untuk memobilisasi berbagai sumber pembiayaan perlu terus dilakukan dan

ditingkatkan dengan mengembangkan skema pembiayaan melalui kerja sama

pemerintah-swasta (KPS), bank, dan dari lembaga non bank khusus infrastruktur, serta

dana preservasi jalan.

Dari sisi penyelenggaraan, banyaknya daerah pemekaran baru serta delivery

system yang diterapkan, termasuk adanya tugas pembantuan dan dekonsentrasi

menuntut adanya pemantapan tugas umum pemerintahan berupa pengaturan,

pembinanan, pengawasan, dan fasilitasi bantuan teknis dalam dalam penguatan

kapasitas kelembagaan ke-PU-an di daerah. Pelaksanaan pembangunan juga masih

(8)

kebijakan selama ini telah pula dilakukan pembenahan cukup signifikan untuk

menghapus praktik-praktik tersebut.

Isu lainnya yang juga memerlukan perhatian serius untuk lima tahun yang akan

datang adalah pentingnya seluruh jajaran ke-PU-an untuk terus meningkatkan

efisiensi, efektivitas, dan produktivitas yang didukung secara optimal oleh jajaran

birokrasi melalui reformasi birokrasi yang mengedepankan transparansi dan

akuntabilitas birokrasi serta mewujudkan disiplin dan etos kerja yang prima.

Dengan demikian, tantangan pembangunan infrastruktur ke depan adalah

bagaimana untuk terus meningkatkan ketersediaan infrastruktur yang berkualitas

dengan kinerja yang semakin dapat diandalkan agar daya tarik dan daya saing

Indonesia dalam konteks global dapat terus meningkat. Demikian pula dengan

infrastruktur yang berperan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi dan

pengembangan wilayah diharapkan akan dapat terus mendorong percepatan

peningkatan pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan, sekaligus mewujudkan

kesejahteraan sosial dan kenyamanan lingkungan.

Tantangan umum lainnya yang dihadapi dalam pembangunan infrastruktur,

khusunya bidang PU dan permukiman di Indonesia adalah kendala alamiah berupa

struktur wilayah geografis; disparitas dan distribusi penduduk di Jawa dan luar Jawa;

menurunnya kinerja infrastruktur yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah

seperti jalan provinsi/kabupaten/kota; serta sulitnya pembebasan tanah untuk

pembangunan infrastruktur yang menyebabkan terhambatnya kelancaran

pembangunan jalan dan infrastruktur lainnya.

Selanjutnya tantangan dan isu strategis masing-masing sub-sub bidang ke-Cipta

Karya-an diuraikan di bawah ini.

Tantangan pembangunan

 Perlunya menetapkan target-target kinerja yang lebih jelas untuk

meningkatkan kinerja TPA yang berwawasan lingkungan di kota metro/besar

(9)

kesadaran masyarakat terhadap pengelolaan sampah yang masih rendah,

sementara konflik sosial yang berkaitan dengan pengelolaan TPA sampah

sampai saat ini masih sering terjadi di samping ketersediaan sarana dan

prasarana persampahan masih belum memadai.

 Meningkatkan keterpaduan penanganan drainase dari lingkungan terkecil

hingga wilayah yang lebih luas dalam satu wilayah administrasi maupun antar

kabupaten/kota dan provinsi.

 Makin meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap aspek kesehatan akan

menuntut pelayanan sanitasi sesuai dengan kriteria kesehatan dan standar

teknis.

 Memperluas akses pelayanan sanitasi dan peningkatan kualitas fasilitas

sanitasi masyarakat yang akan berpengaruh terhadap kualitas kehidupan dan

daya saing sebuah kota dan sebagai bagian dari jasa layanan publik dan

kesehatan.

 Mendorong dan meningkatkan keterlibatan dunia usaha (swasta) dalam

pendanaan pembangunan prasarana air minum.

 Mengembangkan kemampuan masyarakat dalam penyediaan air minum baik

dalam pengolahan maupun pembiayaan penyediaan air minum.

 Setiap tahun terjadi penambahan kebutuhan rumah akibat penambahan

keluarga baru, rata-rata sekitar 820.000 unit rumah, terdapat backlog

perumahan sebesar 6 juta unit.

 Meningkatkan keandalan bangunan baik terhadap gempa maupun kebakaran

melalui pemenuhan persyaratan teknis dan persyaratan

administrasi/perizinan.

 Meningkatkan kesadaran masyarakat agar dalam membangun bangunan

gedung memperhatikan daya dukung lingkungan sehingga dapat

meminimalkan terjadinya banjir, longsor, kekumuhan, dan rawan kriminalitas.

 Mendorong penerapan konsep gedung ramah lingkungan (green building)

(10)

dan efek rumah kaca dalam kerangka mitigasi dan adaptasi terhadap isu

pemanasan global.

 Meningkatkan pengendalian pemanfaatan ruang khususnya pemanfaatan

ruang bagi permukiman.

 Menyelaraskan pertumbuhan pembangunan kota-kota metropolitan, besar,

menengah, dan kecil mengacu pada sistem pembangunan perkotaan

nasional.

 Melanjutkan program pengembangan kawasan agropolitan.

Isu strategis sub-sub bidang ke-Cipta Karya-an

 Keterlibatan swasta dalam penanganan sampah khususnya untuk kawasan

perkotaan sudah cukup tinggi namun pihak swasta lebih mengutamakan

mengelola persampahan pada kawasan elit dengan kemampuan membayar

dari konsumen yang sudah cukup tinggi. Potensi swasta dan masyarakat

yang sangat besar dalam pengembangan kawasan belum dikelola dengan

optimal.

 Meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dalam pengelolaan

persampahan dengan tujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan

kualitas lingkungan serta menjadikan sampah sebagai sumber daya.

 Penanganan sistem drainase perkotaan di Indonesia masih bersifat parsial,

sehingga belum dapat menyelesaikan permasalahan banjir dan genangan

secara tuntas.

 Melengkapi peraturan perundang-undangan yang lebih operasional sebagai

turunan dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan

Sampah di tingkat pusat dan daerah dan meningkatkan law enforcement-nya.

 Masih rendahnya kapasitas SDM maupun kelembagaan penyelenggaraan air

minum di daerah; perlunya perubahan mindset penyelenggaraan, tugas, dan

kewenangan dalam pelayanan air minum; makin sulitnya penyediaan air

baku; serta masih rendahnya cakupan dan kualitas pelayanan

(11)

 Intervensi swasta yang sulit dibendung kadang berakibat pada tidak

konsistennya pembangunan dengan rencana tata ruang dan tata bangunan

yang ada.

 Memperkuat instrumen pengaturan mulai dari perencanaan sampai dengan

pengendalian dalam pembangunan dan pemanfaatan bangunan gedung dan

lingkungan, serta mendorong daerah untuk lebih optimal dalam pengelolaan

gedung dan penataan lingkungan dengan melengkapi Perda tentang

Bangunan Gedung; Ruang Terbuka Hijau; Rencana Induk Sistem Proteksi

Kebakaran (RISPK); Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan; dan

pengelolaan sanitasi.

 Meningkatkan jumlah bangunan gedung yang andal (keselamatan,

kesehatan, kenyamanan dan kemudahan) serta meningkatkan kualitas

pengelolaan bangunan gedung dan rumah negara.

 Meningkatkan jumlah kawasan/bangunan bersejarah dan tradisional yang

direvitalisasi dan pemenuhan Standar Pelayanan Minimum (SPM) untuk

penataan lingkungan.

Tantangan pembangunan sub bidang jasa konstruksi

 Badan Pembinaan Konstruksi dan Sumber Daya Manusia (BPKSDM)

Departemen PU menerima mandat sebagai pembina jasa konstruksi nasional

untuk memenuhi amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang

Jasa Konstruksi. Tantangan ke depan pemerintah perlu lebih serius

melaksanakan pembinaan jasa konstruksi mengingat meningkatnya concern

terhadap jasa konstruksi. Sementara di lain pihak pembinaan jasa konstruksi

yang selama ini berjalan ditengarai dan dipersepsikan lebih menjadi bagian

dari tugas Departemen PU semata dan belum menjadi tanggung jawab

semua pihak.

 Meningkatnya perhatian pemerintah daerah terhadap pembinaan jasa

konstruksi sebagai tindak lanjut Surat Edaran Mendagri No. 601/2006 tentang

(12)

yang mengkoordinasikan pembinaan jasa konstruksi dan pengalokasian

APBD untuk pembinaan jasa konstruksi perlu mendapat apresiasi yang

positif. Namun unit struktural pembina jasa konstruksi daerah belum jelas

dengan berlakunya PP 41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah karena

tidak secara eksplisit menyebutkan bahwa pembinaan jasa konstruksi masuk

dalam rumpun urusan pekerjaan umum. Selain itu, petunjuk teknis mengenai

pembentukan unit struktural pembina jasa konstruksi di daerah belum

tersedia dan Tim Pembina jasa konstruksi di tingkat pusat sesuai PP 30/2000

yang bertugas untuk mengkoordinasikan pembinaan jasa konstruksi antar

departemen dan LPND terkait dalam rangka pembinaan jasa konstruksi

daerah (provinsi) belum terbentuk.

 Asosiasi konstruksi juga masih lebih cenderung mengutamakan

kepentingan-kepentingan politis, sementara forum jasa konstruksi belum intens dan

kurang maksimal melakukan pembinaan.

 Memperkuat pasar konstruksi dan meningkatkan profesionalisme industri

konstruksi. Termasuk perlunya memperkuat para pelaku usaha konstruksi

kecil dan menengah antara lain karena lemahnya penguasaan teknologi dan

akses permodalan Badan Usaha Jasa Konstruksi serta masih seringnya

terjadi kegagalan bangunan dan mutu konstruksi yang belum sesuai standar .

 Dari sekitar 115 ribu kontraktor di Indonesia hampir semuanya

memperebutkan 40% pangsa pasar jasa konstruksi nasional yang umumnya

disediakan pemerintah (APBN dan APBD). Sedangkan 60% pasar jasa

konstruksi Indonesia lainnya, justru diambil kontraktor luar negeri terutama

sektor migas. Sementara permintaan keterlibatan badan usaha/tenaga kerja

konstruksi di luar negeri terus meningkat.

Isu strategis sub bidang jasa konstruksi

 Kompetensi SDM Konstruksi Indonesia masih harus ditingkatkan dalam

(13)

kemampuan perguruan tinggi atau lembaga pendidikan agar dapat

menghasilkan keluaran (lulusan) yang memiliki standar internasional.

 Meningkatkan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) jasa konstruksi

menuju tenaga ahli bidang konstruksi terampil.

 Sumber Daya Manusia (SDM) jasa konstruksi masih menghadapi

permasalahan pada proses sertifikasi yang masih kurang obyektif dan mahal,

sehingga langsung atau tidak langsung menyebabkan tenaga ahli dan tenaga

terampil bidang konstruksi masih jauh dari cukup.

 Meningkatkan kualitas prasarana dan sarana pelatihan mengacu pada

kebutuhan pelatihan berbasis kompetensi (kondisi prasarana dan sarana

pelatihan saat ini sangat jauh tertinggal dibandingkan beberapa negara

tetangga).

 Meningkatkan kualitas sertifikasi dan pelatihan tenaga kerja konstruksi.

 Penerapan konsep green construction yang merupakan proses konstruksi

yang menggunakan bahan bangunan yang tepat, efisien, dan ramah

lingkungan di bidang pembangunan konstruksi dalam rangka merespon

pemanasan global.

 Lemahnya penguasaan teknologi dan akses permodalan Badan Usaha Jasa

Konstruksi serta masih seringnya terjadi kegagalan bangunan dan mutu

konstruksi yang belum sesuai standar .

 KKN dalam industri konstruksi nasional masih dominan dalam perilaku bisnis

jasa konstruksi. Kondisi ini telah membuat persaingan di industri konstruksi

bukan berdasarkan kompetensi tetapi negoisasi atau lobby (oligopolis).

 Pasar jasa konstruksi nasional masih terdistorsi akibat ketidakseimbangan

antara supply dan demand. Oleh karena itu perlu upaya pembinaan

perusahaan jasa konstruksi melalui penerapan kualifikasi atau persyaratan

dalam pendirian badan usaha jasa konstruksi.

 Globalisasi bisnis konstruksi merupakan suatu keniscayaan. Liberalisasi

(14)

sebagai negara anggota WTO akan dihadapkan pada tekanan untuk

membuka pasar konstruksi domestik.

 Otonomi daerah sebagai instrumen desentralisasi akan menjadi pendorong

perdagangan sektor konstruksi nasional menjadi berkembang akibat

kebijakan penanaman modal langsung ke daerah.

Tantangan pembangunan bidang penataan ruang

 Melengkapi peraturan perundangan dan Norma, Standar, Prosedur, dan

Kriteria (NSPK) di bidang penataan ruang untuk mendukung implementasi

penataan ruang di lapangan.

 Meningkatkan pemanfaatan RTR secara optimal dalam mitigasi dan

penanggulangan bencana, peningkatan daya dukung wilayah, dan

pengembangan kawasan.

 Meningkatkan kualitas pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan

ruang terutama melalui dukungan sistem informasi dan monitoring penataan

ruang di daerah untuk mengurangi terjadinya konflik pemanfaatan ruang

antarsektor, antarwilayah, dan antarpelaku.

 Meningkatkan kepastian hukum dan koordinasi dalam pengendalian

pemanfaatan ruang.

 Meminimalkan potensi terjadinya konflik pemanfaatan ruang laut, pesisir dan

pulau-pulau kecil serta meningkatkan koordinasi dan penyediaan pedoman

penataan ruang laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil agar sumberdaya laut,

pesisir dan pulau-pulau kecil dapt dimanfaatkan secara optimal.

 Meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan penataan

ruang.

Isu strategis bidang penataan ruang

 Perlu segera menyelesaikan peraturan operasionalisasi Undang-Undang

Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang mengamanatkan

(15)

sementara seluruh Peraturan Menteri yang berbentuk NSPK dan RTRW

Kabupaten/Kota harus diselesaikan/disesuaikan pada tahun 2010.

 Pentingnya menyelesaikan penyesuaian/revisi RTRW Kabupaten/Kota.

 Perlu segera menyelesaikan RTR Kawasan Strategis Nasional seperti

Kawasan Ekonomi Khusus untuk mengantisipasi fenomena ekonomi global

sebagaimana diamanatkan oleh RTRWN.

 Melaksanakan pengendalian pemanfaatan ruang dengan melengkapi

instrumen hukum sesuai amanat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007

tentang Penataan Ruang.

 Meningkatkan kemampuan aparat perencana maupun pelaksana pengendali

dan pengawas pemanfaatan ruang, baik di tingkat pusat maupun di daerah,

untuk menjamin pelaksanaan RTR yang semakin berkualitas serta dalam

rangka pengendalian dan pengawasan pemanfaatan ruang yang efektif.

 Menyelenggarakan upaya-upaya sosialisasi yang lebih memadai guna

meningkatkan dukungan masyarakat terhadap kegiatan penataan ruang, baik

dalam perencanaan, pemanfaatan maupun pengendalian dan pengawasan

pemanfaatan ruang.

 Menyelaraskan pola penyusunan RTRW di daerah dalam rangka menjaga

keserasian antardaerah dan antartingkatan RTRW.

C. Aspek Sosial pada Pasca Pelaksanaan Pembangunan Bidang Cipta Karya

Perubahan-perubahan sosial yang terjadi dari sudut ruang perkotaan secara

umum, dan penyediaan ketersediaan infrastruktur bidang ke-Cipta Karya-an adalah

permasalahan sehari-hari, dan kombinasinya pada tingkat analisis lokal, serta

memberikan wawasan segar tentang bagaimana sosialisasi terhadap infrastruktur yang

dibangun.

Aspek Sosial Merupakan aspek akhir dari seluruh hirarki dari kajian seluruh studi

kelayakan. Suatu proyek investasi harus memiliki kohesif dengan masyarakat di

lingkungan sekitarnya dan tidak menimbulkan inklusif. Sehingga investasi tersebut tidak

(16)

pembangunan. Dinilai layak investasi dan dapat diambil suatu keputusan investasi

setelah mempertimbangkan seluruh aspek kajian secara hirarki dan proyek dapat

dinyatakan bermanfaat bagi masyarakat.

Pengarusutamaan sosial dalam penyelenggaraan pembangunan bidang Cipta

Karya sangat penting untuk mengurangi kesenjangan sosial di dalam memperoleh

aksesibilitas, kontrol, partisipasi dan manfaat dari penyelenggaraan pembangunan

bidang Cipta Karya.

Aspek sosial pada perencanaan pembangunan bidang Cipta Karya diharapkan

mampu melengkapi kajian perencanaan teknis sektoral. Salah satu aspek yang perlu

ditindaklanjuti adalah isu kemiskinan. Kajian aspek sosial lebih menekankan pada

manusianya sehingga yang disasar adalah kajian mengenai penduduk miskin,

mencakup data eksisting, persebaran, karakteristik, hingga kebutuhan penanganannya.

Selain itu aspek yang perlu diperhatikan adalah responsivitas kegiatan

pembangunan bidang Cipta Karya terhadap gender. Saat ini telah kegiatan responsif

gender bidang Cipta Karya meliputi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat

(PNPM) Mandiri Perkotaan, Neighborhood Upgrading and Shelter Sector Project

(NUSSP), Pengembangan Infrasruktur Sosial Ekonomi Wilayah (PISEW), Penyediaan

Air Minum dan Sanitasi Berbasia Masyarakat (PAMSIMAS), Program Pembangunan

Infrastruktur Perdesaan (PPIP), Rural Infrastructure Support (RIS) to PNPM, Sanitasi

Berbasis Masyarakat (SANIMAS), Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL),

dan Studi Evaluasi Kinerja Program Pemberdayaan Masyarakat bidang Cipta Karya.

Menindaklanjuti hal tersebut maka diperlukan suatu pemetaan awal untuk

mengetahui bentuk responsif gender dari masing-masing kegiatan, manfaat, hingga

permasalahan yang timbul sebegai pembelajaran di masa datang di daerah.

Pelaksanaan pembangunan bidang Cipta Karya secara lokasi, besaran kegiatan,

dan durasi berdampak terhadap masyarakat. Untuk meminimalisir terjadinya konflik

dengan masyarakat penerima dampak maka perlu dilakukan beberapa langkah

(17)

Permasalahan yang perlu diantisipasi di masa datang :

1. Konsultasi masyarakat Konsultasi masyarakat diperlukan untuk memberikan

informasi kepada masyarakat, terutama kelompok masyarakat yang mungkin

terkena dampak akibat pembangunan bidang Cipta Karya di wilayahnya. Hal

ini sangat penting untuk menampung aspirasi mereka berupa pendapat,

usulan serta saran-saran untuk bahan pertimbangan dalam proses

perencanaan. Konsultasi masyarakat perlu dilakukan pada saat persiapan

program bidang Cipta Karya, persiapan AMDAL dan pembebasan lahan

2. Pengadaan lahan dan pemberian kompensasi untuk tanah dan bangunan.

Kegiatan pengadaan tanah dan kewajiban pemberian kompensasi atas tanah

dan bangunan terjadi jika kegiatan pembangunan bidang cipta karya

berlokasi di atas tanah yang bukan milik pemerintah atau telah ditempati oleh

swasta/masyarakat selama lebih dari satu tahun. Prinsip utama pengadaan

tanah adalah bahwa semua langkah yang diambil harus dilakukan untuk

meningkatkan, atau memperbaiki, pendapatan dan standar kehidupan warga

yang terkena dampak akibat kegiatan pengadaan tanah ini.

3. Permukiman kembali penduduk (resettlement). Seluruh proyek yang

memerlukan pengadaan lahan harus mempertimbangkan adanya

kemungkinan pemukiman kembali penduduk sejak tahap awal proyek.

Bilamana pemindahan penduduk tidak dapat dihindarkan, rencana

pemukiman kembali harus dilaksanakan sedemikian rupa sehingga penduduk

yang terpindahkan mendapat peluang ikut menikmati manfaat proyek. Hal ini

termasuk mendapat kompensasi yang wajar atas kerugiannya, serta bantuan

dalam pemindahan dan pembangunan kembali kehidupannya di lokasi yang

baru. Penyediaan lahan, perumahan, prasarana dan kompensasi lain bagi

penduduk yang dimukimkan jika diperlukan dan sesuai persyaratan.

4. Output kegiatan pembangunan bidang Cipta Karya seharusnya memberi

manfaat bagi masyarakat. Manfaat tersebut diharapkan minimal dapat terlihat

(18)

singkat, hingga pengurangan biaya yang harus dikeluarkan oleh penduduk

untuk mendapatkan akses pelayanan tersebut.

4.2 Analisis Ekonomi

Analisis Ekonomi adalah analisa dampak pembangunan infrastruktur Bidang

Cipta Karya, mulai pada tahap perencanaan, pelaksanaan, maupun pasca pelaksanaan

terhadap masyarakat sekitar pelaksanaan kegiatan. Pada Bagian ini hal penting untuk

dibahas antara : Kemiskinan, analisis dampak pembangunan infrastruktur Bidang Cipta

Karya terhadap ekonomi lokal masyarakat.

4.2.1 Kemiskinan

Garis kemiskinan di Kabupaten Bantaeng Tahun 2010 sebesar Rp.161.499 dan

penduduk miskin berjumlah 18,14 dengan persentase 10,24%, tahun 20111 garis

kemiskinan sebesar Rp.177.829 dan penduduk miskin 16,48 dengan persentase

9,21%, tahun 2012 garis kemiskinan Rp.195.810 dan penduduk miskin 15,90 dengan

persentase 8,89%, garis kemiskinan pada tahun 2013 sebesar Rp.200.302 dan

penduduk miskin 18,90 dengan persentase 10,45% dan pada tahun 2014 garis

kemiskinan sebesar Rp. 209.080 dan penduduk miskin 17,66 dengan persentase

9,68%. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 4.1. Garis Kemiskinan dan Penduduk Miskin di Kabupaten Bantaeng,

Tahun 2010-2015

Tahun Garis Kemiskinan Penduduk M iskin

(Rupiah) Jumlah Persentase

2010 161.499 18,14 10,24 2011 177.829 16,48 9,21 2012 195.810 15,90 8,89 2013 200.302 18,90 10,45 2014 209.080 17,66 9,68 2015 ... ... ...

(19)

4.2.2 Analisis Dampak Pembangunan Infrastruktur Bidang CIpta Karya terhadap

Ekonomi Lokal Masyarakat

Pelaksanaan usaha dan kegiatan pembangunan di bidang Pekerjaan Umum

adalah beberapa kegiatan yang diwajibkan untuk melakanakan kegiatan kajian dampak

penting yang sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam rangka untuk

menyeimbangkan kegiatan-kegiatan yang dilakukan dengan menitikberatkan pada

keseimbangan antar usaha atau kegiatan dengan lingkungan yang memperoleh

manfaat dari usaha atau kegiatan tersebut.

Komponen sosial ekonomi yang dianggap penting khususnya yang berkaitan

dengan dampak penting sosial dan lingkungan yang perlu untuk diketahui adalah

sebagai berikut :

a. Pola perkembangan penduduk (jumlah, perbandingan kelamin dll) pada masa

yang lalu sampai sekarang perlu untuk diketahui.

b. Pola perpindahan sangat erat hubungannya dengan perkembangan

penduduk, pola perpindahan ke luar dan masuk ke suatu daerah secara

umum serta pola perpindahan musiman dan tetap.

c. Pola perkembangan ekonomi masyarakat ini erat hubungannya dengan pola

perkembangan penduduk perpindahan keadaan sumber daya alam dan

pekerjaan yang tersedia.

d. Penyerapan tenaga kerja : masalah pengangguran merupakan masalah

umum, makin banyak proyek yang akan dibangun dapat menyerap tenaga

kerja setempat semakin besar yang akan membawa dampak positif.

e. Berkembangnya struktur ekonomi : struktur ekonomi ini dimaksudkan dengan

timbulnya aktifitas perekonomian lain akibat adanya suatu kegiatan sehingga

merupakan sumber pekerjaan baru yang dapat menyerap tenaga kerja.

f. Peningkatan pendapatan masyarakat : keadaan umum pada masyarakat

adalah rendahnya pendapatan masyarakat, peningkatan pendapatan baik

secara langsung maupun tidak langsung dari suatu kegiatan akan

(20)

g. Perubahan lapangan kerja : dengan timbulnya lapangan pekerjaan baru baik

yang langsung maupun yang tidak langsung karena perkembangan struktur

ekonomi perlu diperhatikan.

h. Kesehatan masyarakat : kesehatan masyarakat selain erat hubungannya

dengan pendapatan masyarakat, juga erat kaitannya dengan kebiasaan

kehidupan masyarakat sehari-hari, misalnya kebiasaan mandi, cuci dan

keperluan lainnya yang masih menggunakan air sungai.

Dalam proses pelaksanaan RPIJM Bidang Cipta Karya, bentuk peran

masyarakat dapat dilakukan melalui pelaksanaan program dan kegiatan yang sesuai

dengan rencana yang sudah ditetapkan, meliputi:

a. Masukan mengenai kebijakan RPIJM;

b. Kerja sama dengan pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau sesama unsur

masyarakat dalam pelaksanaan RPIJM;

c. Kegiatan pelaksanaan RPIJM yang sesuai dengan kearifan lokal dan rencana

tata ruang yang telah ditetapkan;

d. Peningkatan efisiensi, efektivitas, dan keserasian dalam pelaksanaan RPIJM

dengan memperhatikan kearifan lokal serta sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan;

e. Kegiatan menjaga pelaksanaan RPIJM dan memelihara dan meningkatkan

kelestarian fungsi lingkungan hidup dan sumber daya alam dimana program

tersebut dilaksanakan;

f. Kegiatan investasi dalam pelaksanaan RPIJM sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

4.3 Analisis Lingkungan

Kebijakan nasional penataan ruang secara formal ditetapkan bersamaan dengan

diundangkannya Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (UU

24/1992), yang kemudian diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007

(21)

aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan. Namun, setelah lebih dari 25 tahun

diberlakukannya kebijakan tersebut, kualitas tata ruang masih belum memenuhi

harapan. Bahkan cenderung sebaliknya, justru yang belakangan ini sedang

berlangsung adalah indikasi dengan penurunan kualitas dan daya dukung lingkungan.

Pencemaran dan kerusakan lingkungan bahkan makin terlihat secara kasat mata baik

di kawasan perkotaan maupun di kawasan perdesaan.

Isu-isu lingkungan hidup yang semakin menguat dewasa ini, termasuk pada aras

global, secara substantif merupakan suatu wacana korektif terhadap paradigma

pembangunan (developmentalism). Krisis lingkungan hidup yang semakin luas di

Indonesia dewasa ini, ditengarai karena antara lain perencanaan pembangunan yang

bias pertumbuhan ekonomi ketimbang ekologi. Sehingga sebagai akumulasinya dalam

dekade terakhir ini kita seperti menuai bencana lingkungan. Banjir, longsor, kekeringan,

kebakaran hutan dan lahan, degradasi hutan dan keanekaragaman hayati, serta

pencemaran sungai, laut dan udara, datang silih berganti. Sebagai akibatnya, biaya

(cost) dampak lingkungan hidup yang harus ditanggung oleh masyarakat dan

pemerintah jauh lebih besar ketimbang manfaat (benefit) ekonomi yang diperoleh.

Dengan diberlakukannya kebijakan nasional penataan ruang tersebut, maka

tidak ada lagi tata ruang wilayah yang tidak direncanakan. Tata ruang menjadi produk

dari rangkaian proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian

pemanfaatan ruang. Oleh karena itu, penegasan sanksi atas pelanggaran tata ruang

sebagaimana diatur dalam UU 26/2007 menuntut proses perencanaan tata ruang harus

diselenggarakan dengan baik agar penyimpangan pemanfaatan ruang bukan

disebabkan oleh rendahnya kualitas rencana tata ruang wilayah. Guna membantu

mengupayakan perbaikan kualitas rencana tata ruang wilayah maka Kajian Lingkungan

Hidup Strategis [KLHS] atau Strategic Environmental Assessment [SEA] menjadi salah

satu pilihan alat bantu melalui perbaikan kerangka pikir [framework of thinking]

perencanaan tata ruang wilayah untuk mengatasi persoalan lingkungan hidup.

Pengarusutamaan (mainstreaming) pembangunan berkelanjutan telah ditetapkan

(22)

RPJP dan RPJM Nasional. Lebih dariitu, selain UUD 45, UU tentang Lingkungan Hidup,

UUtentang Penataan Ruang serta UU Otonomi Daerah telah menegaskan arti

pentingnya lingkungan hidup. Secara filosofis maupun fenomena riel, pendekatan

konsep keruangan sangat identik dengan fenomena lingkungan hidup yang dinamis dan

sistemik.

Fenomena ini menjadi dasar argumentasi perhatian pada lingkungan hidup

dalam konstelasi pelaksanaan pembangunan nasionaldan daerah melalui implementasi

UU Penataan Ruang. Oleh karena itu, setiap proses perumusan visi, misi,tujuan, dan

strategi pembangunan sampai dengan pelaksanaannya yang memerlukan alokasi

kegiatan disuatu lokasi atau kawasan tertentu akan senantiasa mengandung

kepentingan pelestarian lingkungan hidup.

Dalam konteks mekanisme implementasi strategi pembangunan, perhatian

pada lingkunganhidup ini seyogyanya ditempatkan sejak awal proses penetapan

strategi sampai dengan pelaksanaannya. Sejumlah studi dan upaya untuk

mengenalkan serta menerapkan kajian lingkungan hidup strategis telahdilakukan sejak

5 (lima) tahun terakhir atas inisiatifKLH, Bappenas, dan Depdagri. Orientasi kegiatan

tidak saja menyangkut pembangunan regional dan pembangunan daerah tetapi juga

pembangunansektoral, serta pengujian konsep, kebijakan, metode,dan teknis analisis.

Menyadari bahwa instrumen lingkungan hidup yang tersedia saat ini baru pada

tingkat proyek (pelaksanaan AMDAL), maka masih dibutuhkan satu alat kaji pada

tingkat strategis, setara dengan strategi pembangunan nasional maupun daerah.

Bahkan dalam Peraturan Pemerintah tentang AMDAL dinyatakan bahwa salahsatu

instrumennya yaitu AMDAL Regional telah dihapuskan, sehingga sebuah format kajian

mengenai lingkungan hidup pada aras strategis dalam konteks pembangunan semakin

diperlukan.

Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) atau yang secara internasional

dikenal sebagai Strategic Environmental Assessment (SEA), dalam satu dekade

(23)

(screening) dan pelingkupan (scoping) serta masih dalam bentuk kajian yang belum

diimplementasikan secara riel. Dengan kata lain, KLHS belum menjadi bagian dari

kebijakan pembangunan nasional. Namun dari pengalaman selama ini, dapatditarik

satu kesimpulan bahwa KLHS sudah sampai padataraf sangat dibutuhkan, dan perlu

segera diterapkan secara riel serta diformalkan dalam konteks kebijakan nasional

maupun daerah.

Sebagai satu konsep yang baru tetapi sangat dibutuhkan maka sejumlah

alternatif mekanisme penerapannya dalam konteks substansi, konstitusi, kelembagaan

maupun pendekatan, metode,dan teknis pelaksanaannya telah dicoba untuk

dirumuskan. Tentunya alternatif - alternatif ini perlu di uji coba pula, khususnya dalam

konteks kebijakan penyelenggaraannya.

Memahami permasalahan dan tantangan di atas,maka sasaran pembangunan

lingkungan hidup yang ditetapkan pemerintah dapat dirinci sebagai berikut:

1. Meningkatkan kualitas air permukaan (sungai,danau, dan situ), sekaligus

pengendalian dan pemantauan terpadu antarsektor.

2. Terkendalinya pencemaran pesisir dan laut melalui usaha konservasi tanah.

3. Meningkatkan kualitas udara, khususnya di daerah perkotaan, melalui

kebijakan transportasi yang ramah lingkungan.

4. Pengurangan penggunaan bahan perusak ozon (BPO) secara bertahap.

5. Meningkatkan kemampuan adaptasi terhadap perubahan iklim global.

6. Pelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan

sesuai dengan IBSAP (Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan)

2003–2020.

7. Meningkatkan upaya pengelolaan sampah perkotaan dengan menempatkan

faktor lingkungan sebagai penentu kebijakan.

8. Meningkatkan sistem pengelolaan limbah B3.

9. Tersusunnya informasi dan peta wilayah yang rentan terhadap kerusakan

lingkungan dan bencana alam (banjir, kekeringan, gempa bumi,tsunami, dan

(24)

10. Tersusunnya aturan pendanaan bagi pelestarian lingkungan hidup yang

inovatif.

11. Meningkatkan diplomasi internasional.

12. Meningkatkan kesadaran rakyat akan pentingnya konservasi lingkungan

hidup dan sumber daya alam.

Sementara itu, pembangunan lingkungan hidup secara khusus diarahkan untuk:

1. Mengarusutamakan (mainstreaming) prinsip-prinsip pembangunan

berkelanjutan ke seluruh bidang pembangunan.

2. Meningkatkan koordinasi pengelolaan lingkungan hidup di tingkat nasional

dan daerah.

3. Meningkatkan upaya harmonisasi pengembangan hukum lingkungan dan

penegakannya secara konsisten terhadap pencemaran lingkungan.

4. Meningkatkan upaya pengendalian dampaklingkungan akibat kegiatan

pembangunan.

5. Meningkatkan kapasitas lembaga pengelola lingkungan hidup, baik di tingkat

nasional maupun daerah, terutama dalam menangani permasalahan yang

bersifat akumulatif, fenomena alam yang musiman, dan bencana.

6. Membangun kesadaran rakyat agar peduli pada isu lingkungan hidup dan

berperan aktif sebagai kontrol-sosial dalam memantau kualitas lingkungan

hidup; dan

7. Meningkatkan penyebaran data dan informasi lingkungan, termasuk informasi

wilayah-wilayah rentan dan rawan bencana lingkungan dan informasi

kewaspadaan dini terhadap bencana.

Selanjutnya, arah pembangunan di atas dijabarkan dalam program-program

pembangunan yang langsung terkait dengan urusan lingkungan hidup dan pengelolaan

sumber daya alam, sebagaimana tercantum dalam Peraturan Presiden Republik

Indonesia No. 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah

Nasional tahun 2004 – 2009. Program ini bertujuan untuk menjamin kualitas ekosistem

(25)

Kegiatan pokok yang tercakup antara lain penyusunan tata ruang dan zonasi untuk

perlindungan sumber daya alam, terutama wilayah-wilayah yang rentan terhadap

gempa bumi tektonik dan tsunami, banjir, kekeringan,serta bencana alam lainnya;

4.3.1 Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KHLS)

Mengacu pada UU SPPN, UU Lingkungan Hidup, dan RPJM 2004-2009 serta

UU Otonomi Daerah berikut arahan penyelenggaraan pemerintahan daerah dari Dirjen

PUOD, konsep KLHS secara filosofis dan konseptual sangat relevan menjadi bagian

pokok arah kebijakan pembangunan, dengan mengingat bahwa pembangunan

lingkungan merupakan dasar bagi pembangunan berkelanjutan. Konsep KLHS memiliki

kapasitas untuk menjadi payung yang mengintegrasikan permasalahan riel dan

kebutuhan pembangunan dengan proses pengambilan kebijakan pembangunan yang

lebih bersifat holistik dan sistemik bukan kepentingan pragmatis sektoral semata yang

saratdengan konflik dan perilaku eksploitatif sumber daya alam. Bahkan dari sisi

kepentingan politik, penerapan konsep KLHS memiliki potensi sebagai integrator

kekuatan-kekuatan politik yang berkembang melalui mekanisme dinamika partai politik,

yaitu kampanye politik dan sistem pemilihan umum.

Namun demikian, permasalahan yang muncul dan menjadi perhatian untuk

dicarikan terobosan solusinya dalam kondisi saat ini adalah pada tatanan metode

penerapannya, karena dalam acuan struktur kebijakan khususnya dalam kaitannya

dengan institusionalisasinya masih ditemui inkonsistensi,serta belum terdefinisi secara

operasional dan sistematik. Belum lagi dengan adanya kemungkinan ketidakserasian

antar kebijakan sektoral yang seringkali menimbulkan konflik, dimana masing-masing

kebijakan sektoral dipayungi oleh kekuatan hukum yang setara tingkatannya (antar

Undang-Undang, Peraturan Presiden hingga Peraturan Daerah).

Mengingat kondisi di atas, terlihat perlunya dilakukan terobosan-terobosan kreatif

untuk menghasilkan inovasi dalam merancang kebijakan strategis pembangunan

melalui pemanfaatan instrumen peraturan perundangan yang berlaku serta legitimasi

(26)

yang tertuang dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

dan UU Tata Ruang (UU No. 26 tahun 2007), di manapun ada kehidupan atau kegiatan

manusia pasti terkait secarasistem atau fungsional dengan permasalalan lingkungan

hidup. Oleh karena itu menjadi semakin mendesak untuk dilakukan terobosan dalam

merumuskan development administration KLHS (terkait dengansistem politik,

sosial-budaya-ekonomi dan birokrasi) mengikuti konteks perkembangan kepentingan

pembangunan Indonesia masa kini dan mendatang.

Menyadari banyaknya permasalahan lingkungan hidup yang berskala regional

ataupun nasional bahkan lintas negara, dan tidak cukup memadainya instrumen

AMDAL yang hanya berorientasi pada skala proyek, kini telah dikembangkan satu

instrumen yang berskala regional sampai internasional pada tataran strategis.

Instrumen ini kemudian dipopulerkan dengan istilah Strategic Environment Assessment

(SEA), yang kemudian diterjemahkan sebagai Kajian Lingkungan Hidup Strategis

(KLHS). KLHS kini tidak hanya menjadi perhatian, tetapi juga telah ditetapkan sebagai

mandatory atau directive di sejumlah negara di Asiadan Afrika, Australia, dan Selandia

Baru, serta beberapa badan dunia seperti Uni Eropa, World Bank, dan Asian

Development Bank.

Mengikuti perkembangan ini, KLH telah berinisiatif untuk mengembangkannya

sejak lebih dari lima tahun lalu. Sebagaimana tahap inisiasi pada umumnya, kegiatan

yang terkait dengan pemikiran KLHS ini masih lebih dikonsentrasikan pada studi dan

pengenalan. Dengan kata lain, kegiatan-kegiatan tersebut belum dapat dikatakan

sebagai kegiatan KLHS seutuhnya, sehingga dapat dikatakan masih “nearly SEA”.

Namun, sejalan dengan semakin meningkatnya kesadaran dan kebutuhan

penyelesaian masalah lingkungan hidup pada tataran regional dan strategis di

Indonesia, maka instrumen KLHS ini dituntut untuk segera menjadi acuan dasar dalam

mengkaji kebutuhan, perumusan tujuan, dan strategi pembangunan nasional maupun

daerah.

Tuntutan ini semakin kuat sejalan dengan UUSPPN (Sistem Perencanaan

(27)

masing-masing, maka KLH, Bappenas, dan Depdagri semakin intensif bekerja untuk

merumuskan KLHS ini sebagai satu instrumen nasional dan regional. Bahkan KLHS ini

telah diupayakan untuk menjadi pegangan utama dalam merumuskan setiap strategi

pembangunan berikut monitoring dan evaluasinya,baik dalam konteks kewilayahan

maupun sektoral.

Ada dua definisi KLHS yang lazim diterapkan, yaitu definisi yang menekankan

pada pendekatan telaah dampak lingkungan (EIA-driven) dan pendekatan

keberlanjutan (sustainability-driven). Pada definisi pertama, KLHS berfungsi untuk

menelaah efek dan/atau dampak lingkungan dari suatu kebijakan, rencana atau

program pembangunan. Sedangkan definisi kedua, menekankan pada keberlanjutan

pembangunan dan pengelolaan sumberdaya.

Definisi KLHS untuk Indonesia kemudian dirumuskan sebagai proses sistematis

untuk mengevaluasi pengaruh lingkungan hidup dari, dan menjamin diintegrasikannya

prinsip-prinsip keberlanjutan dalam, pengambilan keputusan yang bersifat strategis

SEA is a systematic process for evaluating the environmental effect of, and for ensuring

the integration of sustainability principles into, strategic decision-making].

KLHS adalah sebuah bentuk tindakan stratejik dalam menuntun, mengarahkan,

dan menjamin tidak terjadinya efek negatif terhadap lingkungan dan keberlanjutan

dipertimbangkan secara inheren dalam kebijakan, rencana dan program [KRP].

Posisinya berada pada relung pengambilan keputusan. Oleh karena tidak ada

mekanisme baku dalam siklus dan bentuk pengambilan keputusan dalam perencanaan

tata ruang, maka manfaat KLHS bersifat khusus bagi masing-masing hirarki rencana

tata ruang wilayah [RTRW]. KLHS bisa menentukan substansi RTRW, bisa

memperkaya proses penyusunan dan evaluasi keputusan, bisa dimanfaatkan sebagai

instrumen metodologis pelengkap (komplementer) atau tambahan (suplementer) dari

penjabaran RTRW, atau kombinasi dari beberapa atau semua fungsi-fungsi diatas.

Penerapan KLHS dalam penataan ruang juga bermanfaat untuk meningkatkan

(28)

lebih baik melalui pembangunan keterlibatan para pemangku kepentingan yang

strategis dan partisipatif, kerjasama lintas batas wilayah administrasi, serta memperkuat

pendekatan kesatuan ekosistem dalam satuan wilayah (kerap juga disebut “bio-region”

dan/atau “bio-geo-region”). Sifat pengaruh KLHS dapat dibedakan dalam tiga kategori,

yaitu KLHS yang bersifat instrumental, transformatif, dan substantif. Tipologi ini

membantu membedakan pengaruh yang diharapkan dari tiap jenis KLHS terhadap

berbagai ragam RTRW, termasuk bentuk aplikasinya, baik dari sudut langkah-langkah

prosedural maupun teknik dan metodologinya.

Pendekatan KLHS dalam penataan ruang didasarkan pada kerangka bekerja

dan metodologi berpikirnya. Berdasarkan literatur terkait, sampai saat ini ada 4 (empat)

model pendekatan KLHS untuk penataan ruang, yaitu :

1. KLHS dengan Kerangka Dasar Analisis Mengenai Dampak Lingkungan

Hidup/AMDAL (EIA-Mainframe)

KLHS dilaksanakan menyerupai AMDAL yaitu mendasarkan telaah pada efek

dan dampak yang ditimbulkan RTRW terhadap lingkungan hidup.

Perbedaannya adalah pada ruang lingkup dan tekanan analisis telaahannya

pada tiap hirarhi KRP RTRW.

2. KLHS sebagai Kajian Penilaian Keberlanjutan Lingkungan

Hidup(Environmental Appraisal)

KLHS ditempatkan sebagai environmental appraisal untuk memastikan KRP

RTRW menjamin pelestarian fungsi lingkungan hidup, sehingga bisa

diterapkan sebagai sebuah telaah khusus yang berpijak dari sudut pandang

aspek lingkungan hidup.

3. KLHS sebagai Kajian Terpadu/Penilaian Keberlanjutan (Integrated

AssessmentSustainability Appraisal)

KLHS diterapkan sebagai bagian dari uji KRP untuk menjamin keberlanjutan

secara holistik, sehingga sudut pandangnya merupakan paduan kepentingan

(29)

kemudian lebih ditempatkan sebagai bagian dari kajian yang lebih luas yang

menilai atau menganalisis dampak sosial, ekonomi dan lingkungan hidup

secara terpadu.

4. KLHS sebagai pendekatan Pengelolaan Berkelanjutan Sumberdaya

Alam(Sustainable Natural Resource Management) atau Pengelolaan

Berkelanjutan Sumberdaya (Sustainable Resource Management) KLHS

diaplikasikan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan, dan a)

dilaksanakan sebagai bagian yang tidak terlepas dari hirarki sistem

perencanaan penggunaan lahan dan sumberdaya alam, atau b) sebagai

bagian dari strategi spesifik pengelolaan sumberdaya alam. Model a)

menekankan pertimbanganpertimbangan kondisi sumberdaya alam sebagai

dasar dari substansi RTRW, sementara model b) menekankan penegasan

fungsi RTRW sebagai acuan aturan pemanfaatan dan perlindungan

cadangan sumberdaya alam.

Aplikasi-aplikasi pendekatan di atas dapat diterapkan dalam bentuk kombinasi,

sesuai dengan : hirarki dan jenis RTRW yang akan dihasilkan/ditelaah, lingkup isu

mengenai sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang menjadi fokus, konteks

kerangka hukum RTRW yang dihasilkan/ditelaah, kapasitas institusi dan sumberdaya

manusia aparatur pemerintah selaku pelaksana dan pengguna KLHS, serta tingkat

(30)

Tabel 4.2 Pengaruh KLHS dalam RTRW

Prosedur penyelenggaraan KLHS untuk setiap pendekatan berbeda, namun

secara generik hubungan antara komponen-komponen kerja KLHS dapat dijelaskan

sebagai berikut :

(31)

Kegiatan penapisan menentukan perlu atau tidaknya dilakukan KLHS terhadap

sebuah konsep/muatan rencana tata ruang. Langkah ini diperlukan atas alasan-alasan:

a) memfokuskan telaah pada KRP yang memiliki nilai strategik, b) memfokuskan telaah

pada KRP yang diindikasikan akan memberikan konsekuensi penting pada kondisi

lingkungan hidup, dan c) memberikan gambaran umum metodologi pendekatan yang

akan digunakan. Karena penyusunan RTRW wajib dilakukan maka tahap penapisan

tidak diperlukan, sementara penyusunan RTR dengan tingkat kerincian Kawasan bisa

ditapis terlebih dulu dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut :

 Apakah rancangan RTR berpotensi mendorong timbulnya percepatan

kerusakan sumber daya alam (hutan, tanah, air atau pesisir) dan pencemaran

lingkungan yang kini tengah berlangsung di suatu wilayah atau DAS

dan/atau

 Apakah rancangan RTR berpotensi meningkatkan intensitas bencana banjir,

longsor, atau kekeringan di wilayah-wilayah yang saat ini tengah mengalami

krisis ekologi? dan/atau

 Apakah rancangan RTR berpotensi menurunkan mutu air dan udara

termasuk ketersediaan air bersih yang dibutuhkan oleh suatu wilayah yang

berpenduduk padat? dan/atau

 Apakah rancangan RTR akan menyebabkan meningkatnya jumlah penduduk

golongan miskin sebagai akibat adanya pembatasan baru atas akses dan

kontrol terhadap sumber-sumber alam yang semula dapat mereka akses?

dan/atau

 Apakah rancangan RTR berpotensi mengancam keberlanjutan penghidupan

(livelihood sustainability) suatu komunitas atau kelompok masyarakat tertentu

di masa mendatang?

Jawaban positif bagi salah satu pertanyaan diatas sudah cukup untuk

memberikan alasan bahwa rancangan RTR tersebut memiliki potensi efek penting dan

(32)

Pelingkupan merupakan proses yang sistematis dan terbuka untuk

mengidentifikasi isu-isu penting atau konsekuensi lingkungan hidup yang akan timbul

berkenaan dengan rencana KRP RTR Wilayah dan Kawasan. Berkat adanya

pelingkupan ini, pokok bahasan dokumen KLHS akan lebih difokuskan pada isu-isu

atau konsekuensi lingkungan dimaksud.

Telaah dan analisis teknis adalah proses identifikasi, deskripsi, dan evaluasi

mengenai konsekuensi dan efek lingkungan akibat diterapkannya RTRW; serta

pengujian efektivitas RTRW dalam menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan. Telaah

dan analisis teknis mencakup : a) pemilihan dan penerapan metoda, serta teknik

analisis yang sesuai dan terkini, b) penentuan dan penerapan aras rinci (level of detail)

analisis agar sesuai dengan kebutuhan rekomendasi, dan c) sistematisasi proses

pertimbangan seluruh informasi, kepentingan dan aspirasi yang dijaring. Jenis-jenis

kerangka telaah yang lazim dibutuhkan, antara lain:

 Telaah daya dukung dan daya tampung lingkungan,

 Telaah hubungan timbal balik kegiatan manusia dan fungsi ekosistem.

 Telaah kerentanan masyarakat dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan

iklim dan bencana lingkungan.

 Telaah ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati.

Alternatif yang dikembangkan dapat mencakup : a) substansi pokok/dasar

RTRW (misalnya: pilihan struktur dan pola ruang), b) program atau kegiatan penerapan

muatan RTRW (misalnya: pilihan intensitas pemanfaatan ruang), dan/atau c)

kegiatan-kegiatan operasional pengelolaan efek lingkungan hidup (misalnya: penerapan kode

bangunan yang hemat energi).

Pengambilan keputusan dilakukan untuk memilih alternatif terbaik yang bisa

dilaksanakan yang dipercaya dapat mewujudkan tujuan penataan ruang dalam kurun

waktu yang ditetapkan. Alternatif terpilih tidak hanya dapat mendorong pertumbuhan

ekonomi dan keadilan sosial akan tetapi juga dapat menjamin terpeliharanya fungsi

(33)

benefit-cost ratio, analisis skenario dan multikriteria, analisis risiko, survai opini untuk

menentukan prioritas, dll.

Sesuai dengan kebutuhannya, kegiatan pemantauan dan tindak lanjut dapat

diatur berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Pada dasarnya efektivitas

penerapan rekomendasi KLHS berkaitan langsung dengan efektivitas RTRW bagi

wilayah rencananya, sehingga tata laksananya bisa mengikuti aturan pemantauan

efektivitas RTRW.

Seluruh rangkaian KLHS bersifat partisipatif. Semua komponen kegiatan

diwarnai berbagai bentuk partisipasi dan konsultasi masyarakat. Namun demikian,

tingkat keterlibatan atau partisipasi masyarakat sangat bervariasi bergantung pada aras

(level of detail) RTRW, peraturan perundangan yang mengatur keterlibatan

masyarakat, serta komitmen dan keterbukaan dari pimpinan organisasi pemerintahan

baik di tingkat pusat maupun daerah. Secara umum boleh dikatakan bila KLHS

diaplikasikan pada tingkat nasional atau provinsi, maka keterlibatan atau partisipasi

masyarakat harus lebih luas dan intens dibanding KLHS pada tingkat kabupaten atau

kota. Bila KLHS diaplikasikan untuk tingkat kabupaten, kota, atau kawasan, maka

proses pelibatan masyarakat atau konsultasi publik harus dilakukan sedini mungkin dan

efektif. Hal ini disebabkan cakupan muatan RTRW yang bersifat operasional memiliki

ragam penerapan yang variatif dan bersinggungan langsung dengan kegiatan

masyarakat.

Secara spesifik, harus ada ketersediaan waktu yang cukup bagi masyarakat

untuk menelaah, memberikan masukan, dan mendapatkan tanggapan dalam proses

KLHS. Kegiatan ini juga mensyaratkan adanya tata laksana penyaluran aspirasi

masyarakat, termasuk pada tahap pengambilan keputusan.

Komponen-komponen kerja KLHS dilaksanakan dengan memperhatikan proses

formal yang berjalan. Kombinasi berbagai alternatif pelaksanaannya sangat ditentukan

oleh kekhususan proses pengambilan keputusan yang sedang terjadi pada

(34)

terpisahkan dari langkah-langkah pekerjaan penyusunan RTRW. Pada situasi dimana

KLHS hadir sebagai kebutuhan untuk mendukung proses pengambilan keputusan di

tahap akhir proses perencanaan, proses kerjanya bisa terpisah (stand alone). Banyak

kondisi dimana kombinasi antara kedua hal diatas akan terjadi, misalnya

pengintegrasian beberapa komponen kerja di tahap-tahap tertentu dan memisahkannya

pada tahap yang lain. Dapat pula terjadi situasi dimana tidak semua komponen kerja

perlu dilaksanakan atas alasan-alasan tertentu tanpa mengurangi nilai penting dari

pelaksanaan KLHS itu sendiri.

Kecenderungan penurunan kualitas lingkungan terkait dengan tata ruang wilayah

sebagai produk dari rangkaian proses penataan ruang, yang diawali tahapan

perencanaan tata ruang, oleh karena itu, perbaikan kuaitas rencana tata ruang wilayah

menjadi mutlak dan sangat strategis untuk segera direalisasikan guna menghambat laju

penurunan kualitas lingkungan dan daya dukung lingkungan. KLHS bisa menjadi pilihan

alat bantu untuk memperbaiki kualitas rencana tata ruang wilayah melalui perbaikan

kerangka berfikir perencanaan tata ruang, yang berimplikasi pada perbaikan

prosedur/proses dan metodologi/muatan perencanaan.

4.3.2 AMDAL, UKL-UPL dan SPPLH

Merujuk pada definisi KLHS dan makna strategik yang telah diutarakan, maka

terdapat relung aplikasi yang berbeda antara KLHS dan AMDAL sebagaimana

dipaparkan pada gambar berikut. Bila AMDAL diaplikasikan di tingkat proyek, maka

KLHS - dengan berbagai variannya - diaplikasikan di sepanjang kontinum

kebijakan, rencana dan program.

Pada arah kebijakan dapat diaplikasikan KLHS kebijakan. Sementara pada arah

rencana dan program secara berturut-turut dapat diaplikasikan KLHS Regional

(termasuk disini kebijakan keruangan), KLHS Program, atau KLHS Sektor (misalnya

Sektor Cipta Karya). Perbedaan relung aktivitas KLHS dan AMDAL ini membawa

implikasi adanya perbedaan mendasar antara kedua instrumen ini sebagaimana dapat

(35)

Gambar 4.2 : Relung KLHS pada Aras Kebijakan, Rencana dan Program

(Partidario 2000:656, dengan modifikasi pada beberapa istilah)

Tabel 4.3. Perbedaan AMDAL dan KLHS (UNEP 2002)

Atribut AMDAL KLHS

Posisi Tahap studi kelayakan dari

Proyek

Dampak Kumulatif dampak dianalisis terbatas Peringatan dini akan fenomena kumulatif dampak

Alternatif Terbatasnya jumlah

alternatif kegiatan proyek

Mempertimbangkan banyak alternatif pilihan

Kedalaman

Kajian Sempit, dalam, dan rinci

(36)

Kerangka dampak penting sesungguhnya merupakan salah satu alat untuk

tujuan pengelolaan lingkungan hidup yang berperan untuk memasukkan

pertimbangan-pertimbangan lingkungan ke dalam proses perencanaan pembangunan. Menurut

PP/51/1993, pasal 6 menegaskan bahwa dampak penting merupakan bagian kegiatan

studi kelayakan rencana usaha atau kegiatan. Ini berarti alternatif yang berkembang

dalam studi kelayakan juga perlu dipertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan

hidup sebelum dipilih alternatif yang layak secara teknis, ekonomis dan lingkungan

(termasuk sosial), dengan demikian hasil kajian dampak penting akan berperan untuk

meningkatkan kegunaan proyek dengan mengurangi dampak negatif dan memperbesar

dampak positif.

Kerangka penyusunan kajian dampak penting lingkungan dan sosial atau

kerangka acuan pendugaan lingkungan dan sosial secara sistematis adalah sebagai

berikut :

a. Penyusunan Kajian Informasi Lingkungan (PIL)

b. Penerbitan SPPL ( Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan )

c. Penyusunan UKL/UPL ( Upaya Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan )

d. Melakukan penyusunan dokumen AMDAL yang terdiri dari :

 KA-ANDAL ( Kerangka Acuan Andal )

 ANDAL (Analisa Dampak Lingkungan )

 RKL (Rencana Pengelolaan Lingkungan )

 RPL ( Rencana Pemantauan Lingkungan )

Sumber pembiayaan untuk kajian dampak penting ini bersumber dari Pemerintah

Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota melalui dana APBD dan juga bersumber dari

dana pusat dan masyarakat serta kalangan swasta.

Pendugaan dampak lingkungan merupakan langkah yang tersulit dalam proses

analisis dampak lingkungan karena teknik atau metode pelaksanaannya tergantung

pada kemajuan dan panguasaan ilmu, komponen lingkungan merupakan indikator dari

(37)

pada indikator lingkungan. Untuk mengetahui atau menetapkan suatu dampak

diperlukan tiga tahapan sebagai berikut :

1. Tahap Pertama : melakukan identifikasi dampak yang terjadi pada komponen

lingkungan, berbagai metode telah dikembangkan untuk memudahkan

identifikasi atau penyaringan komponen mana yang akan terkena dampak

dan mana yang tidak.

2. Tahap Kedua : melakukan pengukuran atau perhitungan dampak yang akan

terjadi pada komponen lingkungan tersebut.

3. Tahap Ketiga : penggabungan beberapa komponen lingkungan yang sangat

berkaitan dan kemudian dianalisa.

Untuk mengetahui seberapa besar dampak yang terjadi akibat aktifitas suatu

kegiatan atau proyek maka perlu ditentukan metode pendugaan dampak yang akan

digunakan, ada beberapa metode yang dapat digunakan dalam melakukan pendugaan

dampak, yaitu :

1. Metode Ad Hoc

Merupakan metode yang sangat sedikit memberikan pedoman cara

melakukan pendugaan bagi anggota timnya. Tiap sub-tim atau tiap anggota

tim dapat lebih bebas menggunakan keahliannya dalam melakukan

pendugaan, komponen lingkungan yang digunakan biasanya bukan

komponen yang detail.

2. Metode Overlays

Merupakan metode proyek yang menggunakan sejumlah peta ditempat

proyek yang dibangun dan daerah sekitarnya yang tiap peta menggambarkan

komponen-komponen lingkungan yang lengkap, yang meliputi aspek

fisik-kimia, biologi, sosial-ekonomi dan sosial budaya. Penggabungan dalam

bentuk penampilan akan menunjukan kumpulan susunan dari keadaan

lingkuangan daerah tersebut.

Gambar

Tabel 4.1. Garis Kemiskinan dan Penduduk Miskin di Kabupaten Bantaeng, Tahun 2010-2015
Tabel 4.2 Pengaruh KLHS dalam RTRW
Gambar 4.2 : Relung KLHS pada Aras Kebijakan, Rencana dan Program (Partidario 2000:656, dengan modifikasi pada beberapa istilah)
Tabel 4.4. Penapisan Rencana Kegiatan Wajib AMDAL
+2

Referensi

Dokumen terkait

Kepada seluruh teman teman mahasiswa Stambuk 2010 di Program Studi Sastra Cina Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Devi Achen, Sindy, Angel, Monic, Jeje, Zura, Jems

Kinerja jaringan umumnya ditentukan dari berapa rata-rata dan persentase terjadinya tundaan (delay) terhadap aplikasi, jenis pembawa (carriers), laju bit

Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Penjaskes merupakan wadah para guru penjaskes tingkat SLTP dan SMU, yang eksistensinya di akui oleh Pemerintah, yang diharapkan dapat

Dari tabel 12 terlihat bahwa faktor dominan yang mendorong migran melakukan migrasi masuk di Kecamatan Driyorejo adalah lapangan pekerjaan yang sempit dan penghasilan

Hasil penelitian ini sangat diharapkan bisa memberikan kontribusi yang baik dalam rangka pengembangan ilmu komunikasi, khususnya mengenai peranan komunikasi organisasi melalui

Siswa diminta untuk menyimpulkan tentang bagaimana konsep persamaan kuadrat dengan faktorisasi dan guru memberikan penguatan/penegasan dari kesimpulan yang telah

a) Pemasaran, merupakan ujung tombak yang mewakili perusahaan di masyarakat, dimana tugasnya adalah menjual produk perusahaan, memberikan pelayanan dalam hal penyerahan

kelainan kelamin pada pasien penderita kerancuan jenis kelamin (khuntha&gt;) melalui foto setelah dilakukan pemeriksaan oleh dokter, gambar yang ada. dalam buku-buku