Analisis Sosial Ekonomi
Dan Lingkungan
4.1 Analisis Sosial
Analisis sosial adalah analisa dampak pembangunan infrastruktur Bidang Cipta
Karya, mulai pada tahap perencanaan, pelaksanaan, maupun pasca pelaksanaan
terhadap masyarakat sekitar pelaksanaan kegiatan. Pada Bagian ini beberapa hal
penting untuk di bahas antara lain : pengarusutamaan gender, identifikasi kebutuhan
penanganan sosial pasca pelaksanaan pembangunan infrastruktur Bidang Cipta Karya..
4.1.1 Pengarusutaman Gender
Tingkat responsif gender atau perjuangan kaum perempuan di Kabupaten
Bantaeng sudah menyentuh ke berbagai segala aspek pembangunan, dalam hal ini
Pemerintah Kabupaten Bantaeng selalu bersatu padu dan bersinergi dalam
mengembangkan program yang mengarah pada pembangunan di Kabupaten Bantaeng
khususnya dalam pengarusutamaan gender di Kabupaten Bantaeng.
Adapun bentuk responsif gender yang sudah dilaksanakan di Kabupaten
Bantaeng diantaranya adalah :
1. Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Kabupaten
Bantaeng bekerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
setempat serta didukung oleh ACCESS-AUSAID telah melaksanakan dan
mengembangkan Program Peningkatan Partisipasi Masyarakat Dalam
Pembangunan Desa dengan mengadopsi pendekatan Community Led
(CLAPP-Program ini telah diterapkan dikembangkan pada 4 (empat) tahun terakhir
(2006, 2007, 2008 dan 2009) di 46 Desa dan 2 Kelurahan.
2. Adanya Program Pemberdayaan P2KP (PNPM Mandiri Perkotaan), Program
KOTAKU, Program PAMSIMAS, Program PPIP dan PISEW yang telah
banyak melibatkan perempuan dalam setiap kegiatan baik itu kegiatan sosial,
ekonomi dan lingkungan. Utamanya di kegiatan lingkungan seperti kegiatan
pembangunan jalan paving block, pembangunan drainase ataupun
kegiatan-kegiatan fisik lainnya, itu sudah banyak melibatkan orang miskin, kaum
perempuan dan bahkan anak-anak mulai dari perencanaan, pelaksanaan
maupun pasca pelaksanaan kegiatan.
4.1.2 Identifikasi Kebutuhan Penanganan Sosial Pasca Pelaksanaan
Pembangunan Infrastruktur Bidang Cipta Karya
Dasar peraturan perundang-undangan yang menyatakan perlunya
memperhatikan aspek sosial adalah sebagai berikut :
1. UU No. 17/2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional :
Dalam rangka pembangunan berkeadilan, pembangunan sosial juga
dilakukan dengan memberi perhatian yang lebih besar pada kelompok
masyarakat yang kurang beruntung, termasuk masyarakat miskin dan
masyarakat yang tinggal di wilayah terpencil, tertinggal, dan wilayah
bencana.
Penguatan kelembagaan dan jaringan pengarusutamaan gender dan anak
di tingkat nasional dan daerah, termasuk ketersediaan data dan statistik
gender.
2. UU No. 2/2012 Tentang Pengadaan UU No. 2/2012 tentang Pengadaan
Lahan bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum :
kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara, dan masyarakat dengan
tetap menjamin kepentingan hukum Pihak yang Berhak.
3. Peraturan Presiden No. 5/2010 Tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2010-2014 :
Perbaikan kesejahteraan rakyat dapat diwujudkan melalui sejumlah
program pembangunan untuk penanggulangan kemiskinan dan
penciptaan kesempatan kerja, termasuk peningkatan program di bidang
pendidikan, kesehatan, dan percepatan pembangunan infrastruktur dasar.
Untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender, peningkatan akses
dan partisipasi perempuan dalam pembangunan harus dilanjutkan.
4. Peraturan Presiden No. 15/2010 Tentang Percepatan penanggulangan
Kemiskinan :
Pasal 1: Program penanggulangan kemiskinan adalah kegiatan yang
dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah dunia usaha, serta
masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin melalui
bantuan sosial, pemberdayaan masyarakat, pemberdayaan usaha
ekonomi mikro dan kecil, serta program lain dalam rangka meningkatkan
kegiatan ekonomi.
5. Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 Tentang Pengarusutamaan Gender
dalam Pembangunan Nasional :
Menginstruksikan kepada Menteri untuk melaksanakan pengarusutamaan
gender guna terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan,
pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan
nasional yang berperspektif gender sesuai dengan bidang tugas dan
fungsi, serta kewenangan masing-masing.
A. Aspek Sosial pada Perencanaan Pembangunan Bidang Cipta Karya
Dalam Standard on Social Responsibility ISO 2006, tanggung jawab sosial
institusi yang sehat, lingkungan, ketenagakerjaan, hak asasi manusia, dan governance
organisasi.
Meskipun belum ada standar baku tanggung jawab sosial, unsur-unsur tanggung
jawab sosial terus mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan
masyarakat, globalisasi, dan pasar bebas. The World Bank Institute menjabarkan
komponen tanggung jawab sosial sebagai berikut.
a. Proteksi Lingkungan
Tanggung jawab lingkungan ditekankan pada menemukan cara penggunaan
sumber daya alam secara berkelanjutan untuk mengurangi dampak
operasionalisasi terhadap lingkungan.
b. Jaminan Kerja
Terkait dengan kebebasan berserikat bagi pekerja dan pengenalan secara
efektif terhadap hak dan kewajiban pekerja, khususnya hak untuk berunding
secara kolektif.
c. Hak Asasi Manusia
Pengembangan tempat kerja yang bebas dari diskriminasi dengan
mengedepankan etika professional yang memperhatikan kreativitas dan
pembelajaran, dan keseimbangan antara pekerjaan terhadap aspek lain di
luar pekerjaan.
d. Keterlibatan dalam komunitas
Merupakan tindakan untuk mengoptimalkan dampak dari donasi uang, waktu,
produk, jasa,pengaruh, pengetahuan manajemen dan sumber daya lainnya
pada masyarakat di mana infrastruktur tersebut dibangun.
e. Standar bisnis
Standar ini meliputi aktifitas secara luas seperti etika, imbalan keuangan,
perlindungan lingkungan, standar kerja, dan HAM.
f. Pasar
Mencakup aktivitas bisnis secara luas yang menggambarkan hubungan
pemasaran, penetapan harga, pengenalan produk, kualitas dan keamanan
produk.
g. Pengembangan ekonomi dan badan usaha
Dalam menjalankan usahanya, perusahaan harus memperhatikan daya
saing, pengembangan usaha kecil dan menengah (UKM) lokal,
kewiraswastaan, pemberdayaan ekonomi masyarakat, dan keuangan mikro.
h. Proteksi Kesehatan
Di banyak negara industri, tempat kerja dikenal sebagai tempat penting
untuk melakukan promosi kesehatan, sehingga perusahaan dapat berperan
sebagai mitra pemerintah dalam pengembangan kesehatan.
i. Pengembangan kepemimpinan dan pendidikan
Perusahaan dapat memberikan kontribusi kepada masyarakat sekitar dengan
memberikan akses pendidikan, sehingga perusahaan dapat memberikan
dampak positif pada proses pemberdayaan melalui standar pengembangan
kepemimpinan dan pendidikan dalam perusahaan dan menularkan
praktek-praktek terbaik kepada mitra perusahaan yang masih berada dalam tingkat
perekonomian berkembang atau transional.
j. Bantuan bencana kemanusiaan
Perusahaan bekerjasama dengan pemerintah, masyarakat dan LSM
memegang peran penting dalam mendukung operasi bencana kemanusiaan.
Perusahaan diharapkan dapat menerapkan konsep “respon proaktif” dan
memusatkan pada tindakan pencegahan melalui upaya pemberdayaan.
B. Aspek Sosial pada Pelaksanaan Pembangunan Bidang Cipta Karya
Ketersediaan infrastruktur yang berkualitas merupakan salah satu faktor penentu
daya tarik suatu kawasan/wilayah, di samping faktor kualitas lingkungan hidup, image,
dan masyarakat (budaya). Sementara itu, kinerja infrastruktur merupakan faktor kunci
dalam menentukan daya saing global, selain kinerja ekonomi makro, efisiensi
Salah satu isu strategis yang dihadapi adalah bagaimana pembangunan
infrastruktur dapat membantu mengatasi besarnya kesenjangan antar-kawasan
nusantara: antara Kawasan Barat Indonesia dengan Kawasan Timur Indonesia, antara
Pulau Jawa dan pulau-pulau lainnya, antara kawasan perkotaan dan kawasan
perdesaan, antara kota Jakarta dan kota-kota lainnya. fenomena yang terkait adalah
urbanisasi yang cukup tinggi dengan laju antara 1% hingga 1,5% per tahun akibat
tingginya mobilitas penduduk. Secara teoritik, kota merupakan mesin pertumbuhan
ekonomi (the engine of economic growth), sehingga proses pengembangan wilayah
terjadi karena adanya perkembangan kota sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, yang
lalu diikuti dengan penyebaran pertumbuhan ekonomi di kawasan sekitarnya.
Diperkirakan dalam 20 hingga 25 tahun ke depan jumlah penduduk perkotaan di
Indonesia akan mencapai 65% (Pustra, 2007), dan pada akhir tahun 2014 jumlah
penduduk perkotaan diperkirakan mencapai 53 – 54%.
Tingkat urbanisasi yang relatif tinggi belum disertai oleh kamampuan untuk
memenuhi kebutuhan infrastruktur yang disebabkan oleh pertumbuhan penduduk oleh
urbanisasi tersebut maupun “backlog” yang telah ada sebelumnya. Demikian juga
ketersediaan infrastruktur belum merata ke semua golongan masyarakat, terutama
masyarakat miskin.
Menghadapi tantangan di atas, maka diperlukan pendekatan pembangunan yang
bersifat kewilayahan dan direncanakan dengan matang sesuai dengan tingkat
kebutuhan dan perkembangan ekonomi dan sosial serta ketersedian infrastruktur
suatu wilayah agar infrastruktur pekerjaan umum dan permukiman dapat mendukung
pengembangan ekonomi dan wilayah secara efisien dan efektif.
Tantangan penyelenggaraan infrastruktur pekerjaan umum dan permukiman ke
depan juga erat terkait dengan pembangunan berkelanjutan yang menjadi bagian dari
3 (tiga) pilar pembangunan (ekonomi, sosial, dan lingkungan) yang berprinsip
"memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan
generasi masa depan”. Tantangan pembangunan berkelanjutan di Indonesia ialah
berkelanjutan tanpa mengakibatkan degradasi lingkungan. Isu ini di Indonesia
semakin penting sejalan dengan meningkatnya kesadaran ekologi yang dipicu oleh
keprihatinan terhadap kerusakan lingkungan yang semakin parah dan serius dan
sudah pasti apabila tidak ditangani dengan baik akan memberikan dampak yang buruk
terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat sekarang dan di masa mendatang.
Pelayanan infrastruktur dasar di Indonesia saat ini kondisinya relatif tertinggal
dibandingkan beberapa negara Asia lainnya. Pembangunan dan pengelolaan
infrastruktur ke-PU-an dan permukiman selama 10 tahun terakhir belum dilakukan
secara baik, sebagaimana ditunjukkan oleh pendanaan infrastruktur yang masih
under-investment (< 2% PDB). Anggaran pemeliharaan terbatas, demand lebih besar dari
supply terutama untuk daerah-daerah cepat tumbuh, dan Standar Pelayanan Minimum
(SPM) belum sepenuhnya terpenuhi.
Sementara di sisi lain kesepakatan MDGs untuk memenuhi sasaran mutu
pelayanan infrastruktur terutama penyediaan air bersih dan sanitasi untuk masyarakat
berpenghasilan rendah sudah tidak bisa ditunda lagi. Selain itu, tidak dapat diabaikan
pula berbagai kesepakatan pembangunan infratruktur bersama, seperti pada
kesepakatan kerjasama ekonomi regional: APEC, AFTA, BIMP-EAGA, IMT-GT,
SIJORI, Program ASEAN Highway, dan Asia Railway yang akan menuntut upaya
sungguh-sungguh dari segenap pelaku pembangunan infrastruktur ke-PU-an. Karena
itu upaya untuk memobilisasi berbagai sumber pembiayaan perlu terus dilakukan dan
ditingkatkan dengan mengembangkan skema pembiayaan melalui kerja sama
pemerintah-swasta (KPS), bank, dan dari lembaga non bank khusus infrastruktur, serta
dana preservasi jalan.
Dari sisi penyelenggaraan, banyaknya daerah pemekaran baru serta delivery
system yang diterapkan, termasuk adanya tugas pembantuan dan dekonsentrasi
menuntut adanya pemantapan tugas umum pemerintahan berupa pengaturan,
pembinanan, pengawasan, dan fasilitasi bantuan teknis dalam dalam penguatan
kapasitas kelembagaan ke-PU-an di daerah. Pelaksanaan pembangunan juga masih
kebijakan selama ini telah pula dilakukan pembenahan cukup signifikan untuk
menghapus praktik-praktik tersebut.
Isu lainnya yang juga memerlukan perhatian serius untuk lima tahun yang akan
datang adalah pentingnya seluruh jajaran ke-PU-an untuk terus meningkatkan
efisiensi, efektivitas, dan produktivitas yang didukung secara optimal oleh jajaran
birokrasi melalui reformasi birokrasi yang mengedepankan transparansi dan
akuntabilitas birokrasi serta mewujudkan disiplin dan etos kerja yang prima.
Dengan demikian, tantangan pembangunan infrastruktur ke depan adalah
bagaimana untuk terus meningkatkan ketersediaan infrastruktur yang berkualitas
dengan kinerja yang semakin dapat diandalkan agar daya tarik dan daya saing
Indonesia dalam konteks global dapat terus meningkat. Demikian pula dengan
infrastruktur yang berperan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi dan
pengembangan wilayah diharapkan akan dapat terus mendorong percepatan
peningkatan pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan, sekaligus mewujudkan
kesejahteraan sosial dan kenyamanan lingkungan.
Tantangan umum lainnya yang dihadapi dalam pembangunan infrastruktur,
khusunya bidang PU dan permukiman di Indonesia adalah kendala alamiah berupa
struktur wilayah geografis; disparitas dan distribusi penduduk di Jawa dan luar Jawa;
menurunnya kinerja infrastruktur yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah
seperti jalan provinsi/kabupaten/kota; serta sulitnya pembebasan tanah untuk
pembangunan infrastruktur yang menyebabkan terhambatnya kelancaran
pembangunan jalan dan infrastruktur lainnya.
Selanjutnya tantangan dan isu strategis masing-masing sub-sub bidang ke-Cipta
Karya-an diuraikan di bawah ini.
Tantangan pembangunan
Perlunya menetapkan target-target kinerja yang lebih jelas untuk
meningkatkan kinerja TPA yang berwawasan lingkungan di kota metro/besar
kesadaran masyarakat terhadap pengelolaan sampah yang masih rendah,
sementara konflik sosial yang berkaitan dengan pengelolaan TPA sampah
sampai saat ini masih sering terjadi di samping ketersediaan sarana dan
prasarana persampahan masih belum memadai.
Meningkatkan keterpaduan penanganan drainase dari lingkungan terkecil
hingga wilayah yang lebih luas dalam satu wilayah administrasi maupun antar
kabupaten/kota dan provinsi.
Makin meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap aspek kesehatan akan
menuntut pelayanan sanitasi sesuai dengan kriteria kesehatan dan standar
teknis.
Memperluas akses pelayanan sanitasi dan peningkatan kualitas fasilitas
sanitasi masyarakat yang akan berpengaruh terhadap kualitas kehidupan dan
daya saing sebuah kota dan sebagai bagian dari jasa layanan publik dan
kesehatan.
Mendorong dan meningkatkan keterlibatan dunia usaha (swasta) dalam
pendanaan pembangunan prasarana air minum.
Mengembangkan kemampuan masyarakat dalam penyediaan air minum baik
dalam pengolahan maupun pembiayaan penyediaan air minum.
Setiap tahun terjadi penambahan kebutuhan rumah akibat penambahan
keluarga baru, rata-rata sekitar 820.000 unit rumah, terdapat backlog
perumahan sebesar 6 juta unit.
Meningkatkan keandalan bangunan baik terhadap gempa maupun kebakaran
melalui pemenuhan persyaratan teknis dan persyaratan
administrasi/perizinan.
Meningkatkan kesadaran masyarakat agar dalam membangun bangunan
gedung memperhatikan daya dukung lingkungan sehingga dapat
meminimalkan terjadinya banjir, longsor, kekumuhan, dan rawan kriminalitas.
Mendorong penerapan konsep gedung ramah lingkungan (green building)
dan efek rumah kaca dalam kerangka mitigasi dan adaptasi terhadap isu
pemanasan global.
Meningkatkan pengendalian pemanfaatan ruang khususnya pemanfaatan
ruang bagi permukiman.
Menyelaraskan pertumbuhan pembangunan kota-kota metropolitan, besar,
menengah, dan kecil mengacu pada sistem pembangunan perkotaan
nasional.
Melanjutkan program pengembangan kawasan agropolitan.
Isu strategis sub-sub bidang ke-Cipta Karya-an
Keterlibatan swasta dalam penanganan sampah khususnya untuk kawasan
perkotaan sudah cukup tinggi namun pihak swasta lebih mengutamakan
mengelola persampahan pada kawasan elit dengan kemampuan membayar
dari konsumen yang sudah cukup tinggi. Potensi swasta dan masyarakat
yang sangat besar dalam pengembangan kawasan belum dikelola dengan
optimal.
Meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dalam pengelolaan
persampahan dengan tujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan
kualitas lingkungan serta menjadikan sampah sebagai sumber daya.
Penanganan sistem drainase perkotaan di Indonesia masih bersifat parsial,
sehingga belum dapat menyelesaikan permasalahan banjir dan genangan
secara tuntas.
Melengkapi peraturan perundang-undangan yang lebih operasional sebagai
turunan dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan
Sampah di tingkat pusat dan daerah dan meningkatkan law enforcement-nya.
Masih rendahnya kapasitas SDM maupun kelembagaan penyelenggaraan air
minum di daerah; perlunya perubahan mindset penyelenggaraan, tugas, dan
kewenangan dalam pelayanan air minum; makin sulitnya penyediaan air
baku; serta masih rendahnya cakupan dan kualitas pelayanan
Intervensi swasta yang sulit dibendung kadang berakibat pada tidak
konsistennya pembangunan dengan rencana tata ruang dan tata bangunan
yang ada.
Memperkuat instrumen pengaturan mulai dari perencanaan sampai dengan
pengendalian dalam pembangunan dan pemanfaatan bangunan gedung dan
lingkungan, serta mendorong daerah untuk lebih optimal dalam pengelolaan
gedung dan penataan lingkungan dengan melengkapi Perda tentang
Bangunan Gedung; Ruang Terbuka Hijau; Rencana Induk Sistem Proteksi
Kebakaran (RISPK); Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan; dan
pengelolaan sanitasi.
Meningkatkan jumlah bangunan gedung yang andal (keselamatan,
kesehatan, kenyamanan dan kemudahan) serta meningkatkan kualitas
pengelolaan bangunan gedung dan rumah negara.
Meningkatkan jumlah kawasan/bangunan bersejarah dan tradisional yang
direvitalisasi dan pemenuhan Standar Pelayanan Minimum (SPM) untuk
penataan lingkungan.
Tantangan pembangunan sub bidang jasa konstruksi
Badan Pembinaan Konstruksi dan Sumber Daya Manusia (BPKSDM)
Departemen PU menerima mandat sebagai pembina jasa konstruksi nasional
untuk memenuhi amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang
Jasa Konstruksi. Tantangan ke depan pemerintah perlu lebih serius
melaksanakan pembinaan jasa konstruksi mengingat meningkatnya concern
terhadap jasa konstruksi. Sementara di lain pihak pembinaan jasa konstruksi
yang selama ini berjalan ditengarai dan dipersepsikan lebih menjadi bagian
dari tugas Departemen PU semata dan belum menjadi tanggung jawab
semua pihak.
Meningkatnya perhatian pemerintah daerah terhadap pembinaan jasa
konstruksi sebagai tindak lanjut Surat Edaran Mendagri No. 601/2006 tentang
yang mengkoordinasikan pembinaan jasa konstruksi dan pengalokasian
APBD untuk pembinaan jasa konstruksi perlu mendapat apresiasi yang
positif. Namun unit struktural pembina jasa konstruksi daerah belum jelas
dengan berlakunya PP 41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah karena
tidak secara eksplisit menyebutkan bahwa pembinaan jasa konstruksi masuk
dalam rumpun urusan pekerjaan umum. Selain itu, petunjuk teknis mengenai
pembentukan unit struktural pembina jasa konstruksi di daerah belum
tersedia dan Tim Pembina jasa konstruksi di tingkat pusat sesuai PP 30/2000
yang bertugas untuk mengkoordinasikan pembinaan jasa konstruksi antar
departemen dan LPND terkait dalam rangka pembinaan jasa konstruksi
daerah (provinsi) belum terbentuk.
Asosiasi konstruksi juga masih lebih cenderung mengutamakan
kepentingan-kepentingan politis, sementara forum jasa konstruksi belum intens dan
kurang maksimal melakukan pembinaan.
Memperkuat pasar konstruksi dan meningkatkan profesionalisme industri
konstruksi. Termasuk perlunya memperkuat para pelaku usaha konstruksi
kecil dan menengah antara lain karena lemahnya penguasaan teknologi dan
akses permodalan Badan Usaha Jasa Konstruksi serta masih seringnya
terjadi kegagalan bangunan dan mutu konstruksi yang belum sesuai standar .
Dari sekitar 115 ribu kontraktor di Indonesia hampir semuanya
memperebutkan 40% pangsa pasar jasa konstruksi nasional yang umumnya
disediakan pemerintah (APBN dan APBD). Sedangkan 60% pasar jasa
konstruksi Indonesia lainnya, justru diambil kontraktor luar negeri terutama
sektor migas. Sementara permintaan keterlibatan badan usaha/tenaga kerja
konstruksi di luar negeri terus meningkat.
Isu strategis sub bidang jasa konstruksi
Kompetensi SDM Konstruksi Indonesia masih harus ditingkatkan dalam
kemampuan perguruan tinggi atau lembaga pendidikan agar dapat
menghasilkan keluaran (lulusan) yang memiliki standar internasional.
Meningkatkan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) jasa konstruksi
menuju tenaga ahli bidang konstruksi terampil.
Sumber Daya Manusia (SDM) jasa konstruksi masih menghadapi
permasalahan pada proses sertifikasi yang masih kurang obyektif dan mahal,
sehingga langsung atau tidak langsung menyebabkan tenaga ahli dan tenaga
terampil bidang konstruksi masih jauh dari cukup.
Meningkatkan kualitas prasarana dan sarana pelatihan mengacu pada
kebutuhan pelatihan berbasis kompetensi (kondisi prasarana dan sarana
pelatihan saat ini sangat jauh tertinggal dibandingkan beberapa negara
tetangga).
Meningkatkan kualitas sertifikasi dan pelatihan tenaga kerja konstruksi.
Penerapan konsep green construction yang merupakan proses konstruksi
yang menggunakan bahan bangunan yang tepat, efisien, dan ramah
lingkungan di bidang pembangunan konstruksi dalam rangka merespon
pemanasan global.
Lemahnya penguasaan teknologi dan akses permodalan Badan Usaha Jasa
Konstruksi serta masih seringnya terjadi kegagalan bangunan dan mutu
konstruksi yang belum sesuai standar .
KKN dalam industri konstruksi nasional masih dominan dalam perilaku bisnis
jasa konstruksi. Kondisi ini telah membuat persaingan di industri konstruksi
bukan berdasarkan kompetensi tetapi negoisasi atau lobby (oligopolis).
Pasar jasa konstruksi nasional masih terdistorsi akibat ketidakseimbangan
antara supply dan demand. Oleh karena itu perlu upaya pembinaan
perusahaan jasa konstruksi melalui penerapan kualifikasi atau persyaratan
dalam pendirian badan usaha jasa konstruksi.
Globalisasi bisnis konstruksi merupakan suatu keniscayaan. Liberalisasi
sebagai negara anggota WTO akan dihadapkan pada tekanan untuk
membuka pasar konstruksi domestik.
Otonomi daerah sebagai instrumen desentralisasi akan menjadi pendorong
perdagangan sektor konstruksi nasional menjadi berkembang akibat
kebijakan penanaman modal langsung ke daerah.
Tantangan pembangunan bidang penataan ruang
Melengkapi peraturan perundangan dan Norma, Standar, Prosedur, dan
Kriteria (NSPK) di bidang penataan ruang untuk mendukung implementasi
penataan ruang di lapangan.
Meningkatkan pemanfaatan RTR secara optimal dalam mitigasi dan
penanggulangan bencana, peningkatan daya dukung wilayah, dan
pengembangan kawasan.
Meningkatkan kualitas pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan
ruang terutama melalui dukungan sistem informasi dan monitoring penataan
ruang di daerah untuk mengurangi terjadinya konflik pemanfaatan ruang
antarsektor, antarwilayah, dan antarpelaku.
Meningkatkan kepastian hukum dan koordinasi dalam pengendalian
pemanfaatan ruang.
Meminimalkan potensi terjadinya konflik pemanfaatan ruang laut, pesisir dan
pulau-pulau kecil serta meningkatkan koordinasi dan penyediaan pedoman
penataan ruang laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil agar sumberdaya laut,
pesisir dan pulau-pulau kecil dapt dimanfaatkan secara optimal.
Meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan penataan
ruang.
Isu strategis bidang penataan ruang
Perlu segera menyelesaikan peraturan operasionalisasi Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang mengamanatkan
sementara seluruh Peraturan Menteri yang berbentuk NSPK dan RTRW
Kabupaten/Kota harus diselesaikan/disesuaikan pada tahun 2010.
Pentingnya menyelesaikan penyesuaian/revisi RTRW Kabupaten/Kota.
Perlu segera menyelesaikan RTR Kawasan Strategis Nasional seperti
Kawasan Ekonomi Khusus untuk mengantisipasi fenomena ekonomi global
sebagaimana diamanatkan oleh RTRWN.
Melaksanakan pengendalian pemanfaatan ruang dengan melengkapi
instrumen hukum sesuai amanat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang.
Meningkatkan kemampuan aparat perencana maupun pelaksana pengendali
dan pengawas pemanfaatan ruang, baik di tingkat pusat maupun di daerah,
untuk menjamin pelaksanaan RTR yang semakin berkualitas serta dalam
rangka pengendalian dan pengawasan pemanfaatan ruang yang efektif.
Menyelenggarakan upaya-upaya sosialisasi yang lebih memadai guna
meningkatkan dukungan masyarakat terhadap kegiatan penataan ruang, baik
dalam perencanaan, pemanfaatan maupun pengendalian dan pengawasan
pemanfaatan ruang.
Menyelaraskan pola penyusunan RTRW di daerah dalam rangka menjaga
keserasian antardaerah dan antartingkatan RTRW.
C. Aspek Sosial pada Pasca Pelaksanaan Pembangunan Bidang Cipta Karya
Perubahan-perubahan sosial yang terjadi dari sudut ruang perkotaan secara
umum, dan penyediaan ketersediaan infrastruktur bidang ke-Cipta Karya-an adalah
permasalahan sehari-hari, dan kombinasinya pada tingkat analisis lokal, serta
memberikan wawasan segar tentang bagaimana sosialisasi terhadap infrastruktur yang
dibangun.
Aspek Sosial Merupakan aspek akhir dari seluruh hirarki dari kajian seluruh studi
kelayakan. Suatu proyek investasi harus memiliki kohesif dengan masyarakat di
lingkungan sekitarnya dan tidak menimbulkan inklusif. Sehingga investasi tersebut tidak
pembangunan. Dinilai layak investasi dan dapat diambil suatu keputusan investasi
setelah mempertimbangkan seluruh aspek kajian secara hirarki dan proyek dapat
dinyatakan bermanfaat bagi masyarakat.
Pengarusutamaan sosial dalam penyelenggaraan pembangunan bidang Cipta
Karya sangat penting untuk mengurangi kesenjangan sosial di dalam memperoleh
aksesibilitas, kontrol, partisipasi dan manfaat dari penyelenggaraan pembangunan
bidang Cipta Karya.
Aspek sosial pada perencanaan pembangunan bidang Cipta Karya diharapkan
mampu melengkapi kajian perencanaan teknis sektoral. Salah satu aspek yang perlu
ditindaklanjuti adalah isu kemiskinan. Kajian aspek sosial lebih menekankan pada
manusianya sehingga yang disasar adalah kajian mengenai penduduk miskin,
mencakup data eksisting, persebaran, karakteristik, hingga kebutuhan penanganannya.
Selain itu aspek yang perlu diperhatikan adalah responsivitas kegiatan
pembangunan bidang Cipta Karya terhadap gender. Saat ini telah kegiatan responsif
gender bidang Cipta Karya meliputi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
(PNPM) Mandiri Perkotaan, Neighborhood Upgrading and Shelter Sector Project
(NUSSP), Pengembangan Infrasruktur Sosial Ekonomi Wilayah (PISEW), Penyediaan
Air Minum dan Sanitasi Berbasia Masyarakat (PAMSIMAS), Program Pembangunan
Infrastruktur Perdesaan (PPIP), Rural Infrastructure Support (RIS) to PNPM, Sanitasi
Berbasis Masyarakat (SANIMAS), Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL),
dan Studi Evaluasi Kinerja Program Pemberdayaan Masyarakat bidang Cipta Karya.
Menindaklanjuti hal tersebut maka diperlukan suatu pemetaan awal untuk
mengetahui bentuk responsif gender dari masing-masing kegiatan, manfaat, hingga
permasalahan yang timbul sebegai pembelajaran di masa datang di daerah.
Pelaksanaan pembangunan bidang Cipta Karya secara lokasi, besaran kegiatan,
dan durasi berdampak terhadap masyarakat. Untuk meminimalisir terjadinya konflik
dengan masyarakat penerima dampak maka perlu dilakukan beberapa langkah
Permasalahan yang perlu diantisipasi di masa datang :
1. Konsultasi masyarakat Konsultasi masyarakat diperlukan untuk memberikan
informasi kepada masyarakat, terutama kelompok masyarakat yang mungkin
terkena dampak akibat pembangunan bidang Cipta Karya di wilayahnya. Hal
ini sangat penting untuk menampung aspirasi mereka berupa pendapat,
usulan serta saran-saran untuk bahan pertimbangan dalam proses
perencanaan. Konsultasi masyarakat perlu dilakukan pada saat persiapan
program bidang Cipta Karya, persiapan AMDAL dan pembebasan lahan
2. Pengadaan lahan dan pemberian kompensasi untuk tanah dan bangunan.
Kegiatan pengadaan tanah dan kewajiban pemberian kompensasi atas tanah
dan bangunan terjadi jika kegiatan pembangunan bidang cipta karya
berlokasi di atas tanah yang bukan milik pemerintah atau telah ditempati oleh
swasta/masyarakat selama lebih dari satu tahun. Prinsip utama pengadaan
tanah adalah bahwa semua langkah yang diambil harus dilakukan untuk
meningkatkan, atau memperbaiki, pendapatan dan standar kehidupan warga
yang terkena dampak akibat kegiatan pengadaan tanah ini.
3. Permukiman kembali penduduk (resettlement). Seluruh proyek yang
memerlukan pengadaan lahan harus mempertimbangkan adanya
kemungkinan pemukiman kembali penduduk sejak tahap awal proyek.
Bilamana pemindahan penduduk tidak dapat dihindarkan, rencana
pemukiman kembali harus dilaksanakan sedemikian rupa sehingga penduduk
yang terpindahkan mendapat peluang ikut menikmati manfaat proyek. Hal ini
termasuk mendapat kompensasi yang wajar atas kerugiannya, serta bantuan
dalam pemindahan dan pembangunan kembali kehidupannya di lokasi yang
baru. Penyediaan lahan, perumahan, prasarana dan kompensasi lain bagi
penduduk yang dimukimkan jika diperlukan dan sesuai persyaratan.
4. Output kegiatan pembangunan bidang Cipta Karya seharusnya memberi
manfaat bagi masyarakat. Manfaat tersebut diharapkan minimal dapat terlihat
singkat, hingga pengurangan biaya yang harus dikeluarkan oleh penduduk
untuk mendapatkan akses pelayanan tersebut.
4.2 Analisis Ekonomi
Analisis Ekonomi adalah analisa dampak pembangunan infrastruktur Bidang
Cipta Karya, mulai pada tahap perencanaan, pelaksanaan, maupun pasca pelaksanaan
terhadap masyarakat sekitar pelaksanaan kegiatan. Pada Bagian ini hal penting untuk
dibahas antara : Kemiskinan, analisis dampak pembangunan infrastruktur Bidang Cipta
Karya terhadap ekonomi lokal masyarakat.
4.2.1 Kemiskinan
Garis kemiskinan di Kabupaten Bantaeng Tahun 2010 sebesar Rp.161.499 dan
penduduk miskin berjumlah 18,14 dengan persentase 10,24%, tahun 20111 garis
kemiskinan sebesar Rp.177.829 dan penduduk miskin 16,48 dengan persentase
9,21%, tahun 2012 garis kemiskinan Rp.195.810 dan penduduk miskin 15,90 dengan
persentase 8,89%, garis kemiskinan pada tahun 2013 sebesar Rp.200.302 dan
penduduk miskin 18,90 dengan persentase 10,45% dan pada tahun 2014 garis
kemiskinan sebesar Rp. 209.080 dan penduduk miskin 17,66 dengan persentase
9,68%. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 4.1. Garis Kemiskinan dan Penduduk Miskin di Kabupaten Bantaeng,
Tahun 2010-2015
Tahun Garis Kemiskinan Penduduk M iskin
(Rupiah) Jumlah Persentase
2010 161.499 18,14 10,24 2011 177.829 16,48 9,21 2012 195.810 15,90 8,89 2013 200.302 18,90 10,45 2014 209.080 17,66 9,68 2015 ... ... ...
4.2.2 Analisis Dampak Pembangunan Infrastruktur Bidang CIpta Karya terhadap
Ekonomi Lokal Masyarakat
Pelaksanaan usaha dan kegiatan pembangunan di bidang Pekerjaan Umum
adalah beberapa kegiatan yang diwajibkan untuk melakanakan kegiatan kajian dampak
penting yang sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam rangka untuk
menyeimbangkan kegiatan-kegiatan yang dilakukan dengan menitikberatkan pada
keseimbangan antar usaha atau kegiatan dengan lingkungan yang memperoleh
manfaat dari usaha atau kegiatan tersebut.
Komponen sosial ekonomi yang dianggap penting khususnya yang berkaitan
dengan dampak penting sosial dan lingkungan yang perlu untuk diketahui adalah
sebagai berikut :
a. Pola perkembangan penduduk (jumlah, perbandingan kelamin dll) pada masa
yang lalu sampai sekarang perlu untuk diketahui.
b. Pola perpindahan sangat erat hubungannya dengan perkembangan
penduduk, pola perpindahan ke luar dan masuk ke suatu daerah secara
umum serta pola perpindahan musiman dan tetap.
c. Pola perkembangan ekonomi masyarakat ini erat hubungannya dengan pola
perkembangan penduduk perpindahan keadaan sumber daya alam dan
pekerjaan yang tersedia.
d. Penyerapan tenaga kerja : masalah pengangguran merupakan masalah
umum, makin banyak proyek yang akan dibangun dapat menyerap tenaga
kerja setempat semakin besar yang akan membawa dampak positif.
e. Berkembangnya struktur ekonomi : struktur ekonomi ini dimaksudkan dengan
timbulnya aktifitas perekonomian lain akibat adanya suatu kegiatan sehingga
merupakan sumber pekerjaan baru yang dapat menyerap tenaga kerja.
f. Peningkatan pendapatan masyarakat : keadaan umum pada masyarakat
adalah rendahnya pendapatan masyarakat, peningkatan pendapatan baik
secara langsung maupun tidak langsung dari suatu kegiatan akan
g. Perubahan lapangan kerja : dengan timbulnya lapangan pekerjaan baru baik
yang langsung maupun yang tidak langsung karena perkembangan struktur
ekonomi perlu diperhatikan.
h. Kesehatan masyarakat : kesehatan masyarakat selain erat hubungannya
dengan pendapatan masyarakat, juga erat kaitannya dengan kebiasaan
kehidupan masyarakat sehari-hari, misalnya kebiasaan mandi, cuci dan
keperluan lainnya yang masih menggunakan air sungai.
Dalam proses pelaksanaan RPIJM Bidang Cipta Karya, bentuk peran
masyarakat dapat dilakukan melalui pelaksanaan program dan kegiatan yang sesuai
dengan rencana yang sudah ditetapkan, meliputi:
a. Masukan mengenai kebijakan RPIJM;
b. Kerja sama dengan pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau sesama unsur
masyarakat dalam pelaksanaan RPIJM;
c. Kegiatan pelaksanaan RPIJM yang sesuai dengan kearifan lokal dan rencana
tata ruang yang telah ditetapkan;
d. Peningkatan efisiensi, efektivitas, dan keserasian dalam pelaksanaan RPIJM
dengan memperhatikan kearifan lokal serta sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
e. Kegiatan menjaga pelaksanaan RPIJM dan memelihara dan meningkatkan
kelestarian fungsi lingkungan hidup dan sumber daya alam dimana program
tersebut dilaksanakan;
f. Kegiatan investasi dalam pelaksanaan RPIJM sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
4.3 Analisis Lingkungan
Kebijakan nasional penataan ruang secara formal ditetapkan bersamaan dengan
diundangkannya Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (UU
24/1992), yang kemudian diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007
aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan. Namun, setelah lebih dari 25 tahun
diberlakukannya kebijakan tersebut, kualitas tata ruang masih belum memenuhi
harapan. Bahkan cenderung sebaliknya, justru yang belakangan ini sedang
berlangsung adalah indikasi dengan penurunan kualitas dan daya dukung lingkungan.
Pencemaran dan kerusakan lingkungan bahkan makin terlihat secara kasat mata baik
di kawasan perkotaan maupun di kawasan perdesaan.
Isu-isu lingkungan hidup yang semakin menguat dewasa ini, termasuk pada aras
global, secara substantif merupakan suatu wacana korektif terhadap paradigma
pembangunan (developmentalism). Krisis lingkungan hidup yang semakin luas di
Indonesia dewasa ini, ditengarai karena antara lain perencanaan pembangunan yang
bias pertumbuhan ekonomi ketimbang ekologi. Sehingga sebagai akumulasinya dalam
dekade terakhir ini kita seperti menuai bencana lingkungan. Banjir, longsor, kekeringan,
kebakaran hutan dan lahan, degradasi hutan dan keanekaragaman hayati, serta
pencemaran sungai, laut dan udara, datang silih berganti. Sebagai akibatnya, biaya
(cost) dampak lingkungan hidup yang harus ditanggung oleh masyarakat dan
pemerintah jauh lebih besar ketimbang manfaat (benefit) ekonomi yang diperoleh.
Dengan diberlakukannya kebijakan nasional penataan ruang tersebut, maka
tidak ada lagi tata ruang wilayah yang tidak direncanakan. Tata ruang menjadi produk
dari rangkaian proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian
pemanfaatan ruang. Oleh karena itu, penegasan sanksi atas pelanggaran tata ruang
sebagaimana diatur dalam UU 26/2007 menuntut proses perencanaan tata ruang harus
diselenggarakan dengan baik agar penyimpangan pemanfaatan ruang bukan
disebabkan oleh rendahnya kualitas rencana tata ruang wilayah. Guna membantu
mengupayakan perbaikan kualitas rencana tata ruang wilayah maka Kajian Lingkungan
Hidup Strategis [KLHS] atau Strategic Environmental Assessment [SEA] menjadi salah
satu pilihan alat bantu melalui perbaikan kerangka pikir [framework of thinking]
perencanaan tata ruang wilayah untuk mengatasi persoalan lingkungan hidup.
Pengarusutamaan (mainstreaming) pembangunan berkelanjutan telah ditetapkan
RPJP dan RPJM Nasional. Lebih dariitu, selain UUD 45, UU tentang Lingkungan Hidup,
UUtentang Penataan Ruang serta UU Otonomi Daerah telah menegaskan arti
pentingnya lingkungan hidup. Secara filosofis maupun fenomena riel, pendekatan
konsep keruangan sangat identik dengan fenomena lingkungan hidup yang dinamis dan
sistemik.
Fenomena ini menjadi dasar argumentasi perhatian pada lingkungan hidup
dalam konstelasi pelaksanaan pembangunan nasionaldan daerah melalui implementasi
UU Penataan Ruang. Oleh karena itu, setiap proses perumusan visi, misi,tujuan, dan
strategi pembangunan sampai dengan pelaksanaannya yang memerlukan alokasi
kegiatan disuatu lokasi atau kawasan tertentu akan senantiasa mengandung
kepentingan pelestarian lingkungan hidup.
Dalam konteks mekanisme implementasi strategi pembangunan, perhatian
pada lingkunganhidup ini seyogyanya ditempatkan sejak awal proses penetapan
strategi sampai dengan pelaksanaannya. Sejumlah studi dan upaya untuk
mengenalkan serta menerapkan kajian lingkungan hidup strategis telahdilakukan sejak
5 (lima) tahun terakhir atas inisiatifKLH, Bappenas, dan Depdagri. Orientasi kegiatan
tidak saja menyangkut pembangunan regional dan pembangunan daerah tetapi juga
pembangunansektoral, serta pengujian konsep, kebijakan, metode,dan teknis analisis.
Menyadari bahwa instrumen lingkungan hidup yang tersedia saat ini baru pada
tingkat proyek (pelaksanaan AMDAL), maka masih dibutuhkan satu alat kaji pada
tingkat strategis, setara dengan strategi pembangunan nasional maupun daerah.
Bahkan dalam Peraturan Pemerintah tentang AMDAL dinyatakan bahwa salahsatu
instrumennya yaitu AMDAL Regional telah dihapuskan, sehingga sebuah format kajian
mengenai lingkungan hidup pada aras strategis dalam konteks pembangunan semakin
diperlukan.
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) atau yang secara internasional
dikenal sebagai Strategic Environmental Assessment (SEA), dalam satu dekade
(screening) dan pelingkupan (scoping) serta masih dalam bentuk kajian yang belum
diimplementasikan secara riel. Dengan kata lain, KLHS belum menjadi bagian dari
kebijakan pembangunan nasional. Namun dari pengalaman selama ini, dapatditarik
satu kesimpulan bahwa KLHS sudah sampai padataraf sangat dibutuhkan, dan perlu
segera diterapkan secara riel serta diformalkan dalam konteks kebijakan nasional
maupun daerah.
Sebagai satu konsep yang baru tetapi sangat dibutuhkan maka sejumlah
alternatif mekanisme penerapannya dalam konteks substansi, konstitusi, kelembagaan
maupun pendekatan, metode,dan teknis pelaksanaannya telah dicoba untuk
dirumuskan. Tentunya alternatif - alternatif ini perlu di uji coba pula, khususnya dalam
konteks kebijakan penyelenggaraannya.
Memahami permasalahan dan tantangan di atas,maka sasaran pembangunan
lingkungan hidup yang ditetapkan pemerintah dapat dirinci sebagai berikut:
1. Meningkatkan kualitas air permukaan (sungai,danau, dan situ), sekaligus
pengendalian dan pemantauan terpadu antarsektor.
2. Terkendalinya pencemaran pesisir dan laut melalui usaha konservasi tanah.
3. Meningkatkan kualitas udara, khususnya di daerah perkotaan, melalui
kebijakan transportasi yang ramah lingkungan.
4. Pengurangan penggunaan bahan perusak ozon (BPO) secara bertahap.
5. Meningkatkan kemampuan adaptasi terhadap perubahan iklim global.
6. Pelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan
sesuai dengan IBSAP (Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan)
2003–2020.
7. Meningkatkan upaya pengelolaan sampah perkotaan dengan menempatkan
faktor lingkungan sebagai penentu kebijakan.
8. Meningkatkan sistem pengelolaan limbah B3.
9. Tersusunnya informasi dan peta wilayah yang rentan terhadap kerusakan
lingkungan dan bencana alam (banjir, kekeringan, gempa bumi,tsunami, dan
10. Tersusunnya aturan pendanaan bagi pelestarian lingkungan hidup yang
inovatif.
11. Meningkatkan diplomasi internasional.
12. Meningkatkan kesadaran rakyat akan pentingnya konservasi lingkungan
hidup dan sumber daya alam.
Sementara itu, pembangunan lingkungan hidup secara khusus diarahkan untuk:
1. Mengarusutamakan (mainstreaming) prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan ke seluruh bidang pembangunan.
2. Meningkatkan koordinasi pengelolaan lingkungan hidup di tingkat nasional
dan daerah.
3. Meningkatkan upaya harmonisasi pengembangan hukum lingkungan dan
penegakannya secara konsisten terhadap pencemaran lingkungan.
4. Meningkatkan upaya pengendalian dampaklingkungan akibat kegiatan
pembangunan.
5. Meningkatkan kapasitas lembaga pengelola lingkungan hidup, baik di tingkat
nasional maupun daerah, terutama dalam menangani permasalahan yang
bersifat akumulatif, fenomena alam yang musiman, dan bencana.
6. Membangun kesadaran rakyat agar peduli pada isu lingkungan hidup dan
berperan aktif sebagai kontrol-sosial dalam memantau kualitas lingkungan
hidup; dan
7. Meningkatkan penyebaran data dan informasi lingkungan, termasuk informasi
wilayah-wilayah rentan dan rawan bencana lingkungan dan informasi
kewaspadaan dini terhadap bencana.
Selanjutnya, arah pembangunan di atas dijabarkan dalam program-program
pembangunan yang langsung terkait dengan urusan lingkungan hidup dan pengelolaan
sumber daya alam, sebagaimana tercantum dalam Peraturan Presiden Republik
Indonesia No. 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional tahun 2004 – 2009. Program ini bertujuan untuk menjamin kualitas ekosistem
Kegiatan pokok yang tercakup antara lain penyusunan tata ruang dan zonasi untuk
perlindungan sumber daya alam, terutama wilayah-wilayah yang rentan terhadap
gempa bumi tektonik dan tsunami, banjir, kekeringan,serta bencana alam lainnya;
4.3.1 Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KHLS)
Mengacu pada UU SPPN, UU Lingkungan Hidup, dan RPJM 2004-2009 serta
UU Otonomi Daerah berikut arahan penyelenggaraan pemerintahan daerah dari Dirjen
PUOD, konsep KLHS secara filosofis dan konseptual sangat relevan menjadi bagian
pokok arah kebijakan pembangunan, dengan mengingat bahwa pembangunan
lingkungan merupakan dasar bagi pembangunan berkelanjutan. Konsep KLHS memiliki
kapasitas untuk menjadi payung yang mengintegrasikan permasalahan riel dan
kebutuhan pembangunan dengan proses pengambilan kebijakan pembangunan yang
lebih bersifat holistik dan sistemik bukan kepentingan pragmatis sektoral semata yang
saratdengan konflik dan perilaku eksploitatif sumber daya alam. Bahkan dari sisi
kepentingan politik, penerapan konsep KLHS memiliki potensi sebagai integrator
kekuatan-kekuatan politik yang berkembang melalui mekanisme dinamika partai politik,
yaitu kampanye politik dan sistem pemilihan umum.
Namun demikian, permasalahan yang muncul dan menjadi perhatian untuk
dicarikan terobosan solusinya dalam kondisi saat ini adalah pada tatanan metode
penerapannya, karena dalam acuan struktur kebijakan khususnya dalam kaitannya
dengan institusionalisasinya masih ditemui inkonsistensi,serta belum terdefinisi secara
operasional dan sistematik. Belum lagi dengan adanya kemungkinan ketidakserasian
antar kebijakan sektoral yang seringkali menimbulkan konflik, dimana masing-masing
kebijakan sektoral dipayungi oleh kekuatan hukum yang setara tingkatannya (antar
Undang-Undang, Peraturan Presiden hingga Peraturan Daerah).
Mengingat kondisi di atas, terlihat perlunya dilakukan terobosan-terobosan kreatif
untuk menghasilkan inovasi dalam merancang kebijakan strategis pembangunan
melalui pemanfaatan instrumen peraturan perundangan yang berlaku serta legitimasi
yang tertuang dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
dan UU Tata Ruang (UU No. 26 tahun 2007), di manapun ada kehidupan atau kegiatan
manusia pasti terkait secarasistem atau fungsional dengan permasalalan lingkungan
hidup. Oleh karena itu menjadi semakin mendesak untuk dilakukan terobosan dalam
merumuskan development administration KLHS (terkait dengansistem politik,
sosial-budaya-ekonomi dan birokrasi) mengikuti konteks perkembangan kepentingan
pembangunan Indonesia masa kini dan mendatang.
Menyadari banyaknya permasalahan lingkungan hidup yang berskala regional
ataupun nasional bahkan lintas negara, dan tidak cukup memadainya instrumen
AMDAL yang hanya berorientasi pada skala proyek, kini telah dikembangkan satu
instrumen yang berskala regional sampai internasional pada tataran strategis.
Instrumen ini kemudian dipopulerkan dengan istilah Strategic Environment Assessment
(SEA), yang kemudian diterjemahkan sebagai Kajian Lingkungan Hidup Strategis
(KLHS). KLHS kini tidak hanya menjadi perhatian, tetapi juga telah ditetapkan sebagai
mandatory atau directive di sejumlah negara di Asiadan Afrika, Australia, dan Selandia
Baru, serta beberapa badan dunia seperti Uni Eropa, World Bank, dan Asian
Development Bank.
Mengikuti perkembangan ini, KLH telah berinisiatif untuk mengembangkannya
sejak lebih dari lima tahun lalu. Sebagaimana tahap inisiasi pada umumnya, kegiatan
yang terkait dengan pemikiran KLHS ini masih lebih dikonsentrasikan pada studi dan
pengenalan. Dengan kata lain, kegiatan-kegiatan tersebut belum dapat dikatakan
sebagai kegiatan KLHS seutuhnya, sehingga dapat dikatakan masih “nearly SEA”.
Namun, sejalan dengan semakin meningkatnya kesadaran dan kebutuhan
penyelesaian masalah lingkungan hidup pada tataran regional dan strategis di
Indonesia, maka instrumen KLHS ini dituntut untuk segera menjadi acuan dasar dalam
mengkaji kebutuhan, perumusan tujuan, dan strategi pembangunan nasional maupun
daerah.
Tuntutan ini semakin kuat sejalan dengan UUSPPN (Sistem Perencanaan
masing-masing, maka KLH, Bappenas, dan Depdagri semakin intensif bekerja untuk
merumuskan KLHS ini sebagai satu instrumen nasional dan regional. Bahkan KLHS ini
telah diupayakan untuk menjadi pegangan utama dalam merumuskan setiap strategi
pembangunan berikut monitoring dan evaluasinya,baik dalam konteks kewilayahan
maupun sektoral.
Ada dua definisi KLHS yang lazim diterapkan, yaitu definisi yang menekankan
pada pendekatan telaah dampak lingkungan (EIA-driven) dan pendekatan
keberlanjutan (sustainability-driven). Pada definisi pertama, KLHS berfungsi untuk
menelaah efek dan/atau dampak lingkungan dari suatu kebijakan, rencana atau
program pembangunan. Sedangkan definisi kedua, menekankan pada keberlanjutan
pembangunan dan pengelolaan sumberdaya.
Definisi KLHS untuk Indonesia kemudian dirumuskan sebagai proses sistematis
untuk mengevaluasi pengaruh lingkungan hidup dari, dan menjamin diintegrasikannya
prinsip-prinsip keberlanjutan dalam, pengambilan keputusan yang bersifat strategis
SEA is a systematic process for evaluating the environmental effect of, and for ensuring
the integration of sustainability principles into, strategic decision-making].
KLHS adalah sebuah bentuk tindakan stratejik dalam menuntun, mengarahkan,
dan menjamin tidak terjadinya efek negatif terhadap lingkungan dan keberlanjutan
dipertimbangkan secara inheren dalam kebijakan, rencana dan program [KRP].
Posisinya berada pada relung pengambilan keputusan. Oleh karena tidak ada
mekanisme baku dalam siklus dan bentuk pengambilan keputusan dalam perencanaan
tata ruang, maka manfaat KLHS bersifat khusus bagi masing-masing hirarki rencana
tata ruang wilayah [RTRW]. KLHS bisa menentukan substansi RTRW, bisa
memperkaya proses penyusunan dan evaluasi keputusan, bisa dimanfaatkan sebagai
instrumen metodologis pelengkap (komplementer) atau tambahan (suplementer) dari
penjabaran RTRW, atau kombinasi dari beberapa atau semua fungsi-fungsi diatas.
Penerapan KLHS dalam penataan ruang juga bermanfaat untuk meningkatkan
lebih baik melalui pembangunan keterlibatan para pemangku kepentingan yang
strategis dan partisipatif, kerjasama lintas batas wilayah administrasi, serta memperkuat
pendekatan kesatuan ekosistem dalam satuan wilayah (kerap juga disebut “bio-region”
dan/atau “bio-geo-region”). Sifat pengaruh KLHS dapat dibedakan dalam tiga kategori,
yaitu KLHS yang bersifat instrumental, transformatif, dan substantif. Tipologi ini
membantu membedakan pengaruh yang diharapkan dari tiap jenis KLHS terhadap
berbagai ragam RTRW, termasuk bentuk aplikasinya, baik dari sudut langkah-langkah
prosedural maupun teknik dan metodologinya.
Pendekatan KLHS dalam penataan ruang didasarkan pada kerangka bekerja
dan metodologi berpikirnya. Berdasarkan literatur terkait, sampai saat ini ada 4 (empat)
model pendekatan KLHS untuk penataan ruang, yaitu :
1. KLHS dengan Kerangka Dasar Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup/AMDAL (EIA-Mainframe)
KLHS dilaksanakan menyerupai AMDAL yaitu mendasarkan telaah pada efek
dan dampak yang ditimbulkan RTRW terhadap lingkungan hidup.
Perbedaannya adalah pada ruang lingkup dan tekanan analisis telaahannya
pada tiap hirarhi KRP RTRW.
2. KLHS sebagai Kajian Penilaian Keberlanjutan Lingkungan
Hidup(Environmental Appraisal)
KLHS ditempatkan sebagai environmental appraisal untuk memastikan KRP
RTRW menjamin pelestarian fungsi lingkungan hidup, sehingga bisa
diterapkan sebagai sebuah telaah khusus yang berpijak dari sudut pandang
aspek lingkungan hidup.
3. KLHS sebagai Kajian Terpadu/Penilaian Keberlanjutan (Integrated
AssessmentSustainability Appraisal)
KLHS diterapkan sebagai bagian dari uji KRP untuk menjamin keberlanjutan
secara holistik, sehingga sudut pandangnya merupakan paduan kepentingan
kemudian lebih ditempatkan sebagai bagian dari kajian yang lebih luas yang
menilai atau menganalisis dampak sosial, ekonomi dan lingkungan hidup
secara terpadu.
4. KLHS sebagai pendekatan Pengelolaan Berkelanjutan Sumberdaya
Alam(Sustainable Natural Resource Management) atau Pengelolaan
Berkelanjutan Sumberdaya (Sustainable Resource Management) KLHS
diaplikasikan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan, dan a)
dilaksanakan sebagai bagian yang tidak terlepas dari hirarki sistem
perencanaan penggunaan lahan dan sumberdaya alam, atau b) sebagai
bagian dari strategi spesifik pengelolaan sumberdaya alam. Model a)
menekankan pertimbanganpertimbangan kondisi sumberdaya alam sebagai
dasar dari substansi RTRW, sementara model b) menekankan penegasan
fungsi RTRW sebagai acuan aturan pemanfaatan dan perlindungan
cadangan sumberdaya alam.
Aplikasi-aplikasi pendekatan di atas dapat diterapkan dalam bentuk kombinasi,
sesuai dengan : hirarki dan jenis RTRW yang akan dihasilkan/ditelaah, lingkup isu
mengenai sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang menjadi fokus, konteks
kerangka hukum RTRW yang dihasilkan/ditelaah, kapasitas institusi dan sumberdaya
manusia aparatur pemerintah selaku pelaksana dan pengguna KLHS, serta tingkat
Tabel 4.2 Pengaruh KLHS dalam RTRW
Prosedur penyelenggaraan KLHS untuk setiap pendekatan berbeda, namun
secara generik hubungan antara komponen-komponen kerja KLHS dapat dijelaskan
sebagai berikut :
Kegiatan penapisan menentukan perlu atau tidaknya dilakukan KLHS terhadap
sebuah konsep/muatan rencana tata ruang. Langkah ini diperlukan atas alasan-alasan:
a) memfokuskan telaah pada KRP yang memiliki nilai strategik, b) memfokuskan telaah
pada KRP yang diindikasikan akan memberikan konsekuensi penting pada kondisi
lingkungan hidup, dan c) memberikan gambaran umum metodologi pendekatan yang
akan digunakan. Karena penyusunan RTRW wajib dilakukan maka tahap penapisan
tidak diperlukan, sementara penyusunan RTR dengan tingkat kerincian Kawasan bisa
ditapis terlebih dulu dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut :
Apakah rancangan RTR berpotensi mendorong timbulnya percepatan
kerusakan sumber daya alam (hutan, tanah, air atau pesisir) dan pencemaran
lingkungan yang kini tengah berlangsung di suatu wilayah atau DAS
dan/atau
Apakah rancangan RTR berpotensi meningkatkan intensitas bencana banjir,
longsor, atau kekeringan di wilayah-wilayah yang saat ini tengah mengalami
krisis ekologi? dan/atau
Apakah rancangan RTR berpotensi menurunkan mutu air dan udara
termasuk ketersediaan air bersih yang dibutuhkan oleh suatu wilayah yang
berpenduduk padat? dan/atau
Apakah rancangan RTR akan menyebabkan meningkatnya jumlah penduduk
golongan miskin sebagai akibat adanya pembatasan baru atas akses dan
kontrol terhadap sumber-sumber alam yang semula dapat mereka akses?
dan/atau
Apakah rancangan RTR berpotensi mengancam keberlanjutan penghidupan
(livelihood sustainability) suatu komunitas atau kelompok masyarakat tertentu
di masa mendatang?
Jawaban positif bagi salah satu pertanyaan diatas sudah cukup untuk
memberikan alasan bahwa rancangan RTR tersebut memiliki potensi efek penting dan
Pelingkupan merupakan proses yang sistematis dan terbuka untuk
mengidentifikasi isu-isu penting atau konsekuensi lingkungan hidup yang akan timbul
berkenaan dengan rencana KRP RTR Wilayah dan Kawasan. Berkat adanya
pelingkupan ini, pokok bahasan dokumen KLHS akan lebih difokuskan pada isu-isu
atau konsekuensi lingkungan dimaksud.
Telaah dan analisis teknis adalah proses identifikasi, deskripsi, dan evaluasi
mengenai konsekuensi dan efek lingkungan akibat diterapkannya RTRW; serta
pengujian efektivitas RTRW dalam menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan. Telaah
dan analisis teknis mencakup : a) pemilihan dan penerapan metoda, serta teknik
analisis yang sesuai dan terkini, b) penentuan dan penerapan aras rinci (level of detail)
analisis agar sesuai dengan kebutuhan rekomendasi, dan c) sistematisasi proses
pertimbangan seluruh informasi, kepentingan dan aspirasi yang dijaring. Jenis-jenis
kerangka telaah yang lazim dibutuhkan, antara lain:
Telaah daya dukung dan daya tampung lingkungan,
Telaah hubungan timbal balik kegiatan manusia dan fungsi ekosistem.
Telaah kerentanan masyarakat dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan
iklim dan bencana lingkungan.
Telaah ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati.
Alternatif yang dikembangkan dapat mencakup : a) substansi pokok/dasar
RTRW (misalnya: pilihan struktur dan pola ruang), b) program atau kegiatan penerapan
muatan RTRW (misalnya: pilihan intensitas pemanfaatan ruang), dan/atau c)
kegiatan-kegiatan operasional pengelolaan efek lingkungan hidup (misalnya: penerapan kode
bangunan yang hemat energi).
Pengambilan keputusan dilakukan untuk memilih alternatif terbaik yang bisa
dilaksanakan yang dipercaya dapat mewujudkan tujuan penataan ruang dalam kurun
waktu yang ditetapkan. Alternatif terpilih tidak hanya dapat mendorong pertumbuhan
ekonomi dan keadilan sosial akan tetapi juga dapat menjamin terpeliharanya fungsi
benefit-cost ratio, analisis skenario dan multikriteria, analisis risiko, survai opini untuk
menentukan prioritas, dll.
Sesuai dengan kebutuhannya, kegiatan pemantauan dan tindak lanjut dapat
diatur berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Pada dasarnya efektivitas
penerapan rekomendasi KLHS berkaitan langsung dengan efektivitas RTRW bagi
wilayah rencananya, sehingga tata laksananya bisa mengikuti aturan pemantauan
efektivitas RTRW.
Seluruh rangkaian KLHS bersifat partisipatif. Semua komponen kegiatan
diwarnai berbagai bentuk partisipasi dan konsultasi masyarakat. Namun demikian,
tingkat keterlibatan atau partisipasi masyarakat sangat bervariasi bergantung pada aras
(level of detail) RTRW, peraturan perundangan yang mengatur keterlibatan
masyarakat, serta komitmen dan keterbukaan dari pimpinan organisasi pemerintahan
baik di tingkat pusat maupun daerah. Secara umum boleh dikatakan bila KLHS
diaplikasikan pada tingkat nasional atau provinsi, maka keterlibatan atau partisipasi
masyarakat harus lebih luas dan intens dibanding KLHS pada tingkat kabupaten atau
kota. Bila KLHS diaplikasikan untuk tingkat kabupaten, kota, atau kawasan, maka
proses pelibatan masyarakat atau konsultasi publik harus dilakukan sedini mungkin dan
efektif. Hal ini disebabkan cakupan muatan RTRW yang bersifat operasional memiliki
ragam penerapan yang variatif dan bersinggungan langsung dengan kegiatan
masyarakat.
Secara spesifik, harus ada ketersediaan waktu yang cukup bagi masyarakat
untuk menelaah, memberikan masukan, dan mendapatkan tanggapan dalam proses
KLHS. Kegiatan ini juga mensyaratkan adanya tata laksana penyaluran aspirasi
masyarakat, termasuk pada tahap pengambilan keputusan.
Komponen-komponen kerja KLHS dilaksanakan dengan memperhatikan proses
formal yang berjalan. Kombinasi berbagai alternatif pelaksanaannya sangat ditentukan
oleh kekhususan proses pengambilan keputusan yang sedang terjadi pada
terpisahkan dari langkah-langkah pekerjaan penyusunan RTRW. Pada situasi dimana
KLHS hadir sebagai kebutuhan untuk mendukung proses pengambilan keputusan di
tahap akhir proses perencanaan, proses kerjanya bisa terpisah (stand alone). Banyak
kondisi dimana kombinasi antara kedua hal diatas akan terjadi, misalnya
pengintegrasian beberapa komponen kerja di tahap-tahap tertentu dan memisahkannya
pada tahap yang lain. Dapat pula terjadi situasi dimana tidak semua komponen kerja
perlu dilaksanakan atas alasan-alasan tertentu tanpa mengurangi nilai penting dari
pelaksanaan KLHS itu sendiri.
Kecenderungan penurunan kualitas lingkungan terkait dengan tata ruang wilayah
sebagai produk dari rangkaian proses penataan ruang, yang diawali tahapan
perencanaan tata ruang, oleh karena itu, perbaikan kuaitas rencana tata ruang wilayah
menjadi mutlak dan sangat strategis untuk segera direalisasikan guna menghambat laju
penurunan kualitas lingkungan dan daya dukung lingkungan. KLHS bisa menjadi pilihan
alat bantu untuk memperbaiki kualitas rencana tata ruang wilayah melalui perbaikan
kerangka berfikir perencanaan tata ruang, yang berimplikasi pada perbaikan
prosedur/proses dan metodologi/muatan perencanaan.
4.3.2 AMDAL, UKL-UPL dan SPPLH
Merujuk pada definisi KLHS dan makna strategik yang telah diutarakan, maka
terdapat relung aplikasi yang berbeda antara KLHS dan AMDAL sebagaimana
dipaparkan pada gambar berikut. Bila AMDAL diaplikasikan di tingkat proyek, maka
KLHS - dengan berbagai variannya - diaplikasikan di sepanjang kontinum
kebijakan, rencana dan program.
Pada arah kebijakan dapat diaplikasikan KLHS kebijakan. Sementara pada arah
rencana dan program secara berturut-turut dapat diaplikasikan KLHS Regional
(termasuk disini kebijakan keruangan), KLHS Program, atau KLHS Sektor (misalnya
Sektor Cipta Karya). Perbedaan relung aktivitas KLHS dan AMDAL ini membawa
implikasi adanya perbedaan mendasar antara kedua instrumen ini sebagaimana dapat
Gambar 4.2 : Relung KLHS pada Aras Kebijakan, Rencana dan Program
(Partidario 2000:656, dengan modifikasi pada beberapa istilah)
Tabel 4.3. Perbedaan AMDAL dan KLHS (UNEP 2002)
Atribut AMDAL KLHS
Posisi Tahap studi kelayakan dari
Proyek
Dampak Kumulatif dampak dianalisis terbatas Peringatan dini akan fenomena kumulatif dampak
Alternatif Terbatasnya jumlah
alternatif kegiatan proyek
Mempertimbangkan banyak alternatif pilihan
Kedalaman
Kajian Sempit, dalam, dan rinci
Kerangka dampak penting sesungguhnya merupakan salah satu alat untuk
tujuan pengelolaan lingkungan hidup yang berperan untuk memasukkan
pertimbangan-pertimbangan lingkungan ke dalam proses perencanaan pembangunan. Menurut
PP/51/1993, pasal 6 menegaskan bahwa dampak penting merupakan bagian kegiatan
studi kelayakan rencana usaha atau kegiatan. Ini berarti alternatif yang berkembang
dalam studi kelayakan juga perlu dipertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan
hidup sebelum dipilih alternatif yang layak secara teknis, ekonomis dan lingkungan
(termasuk sosial), dengan demikian hasil kajian dampak penting akan berperan untuk
meningkatkan kegunaan proyek dengan mengurangi dampak negatif dan memperbesar
dampak positif.
Kerangka penyusunan kajian dampak penting lingkungan dan sosial atau
kerangka acuan pendugaan lingkungan dan sosial secara sistematis adalah sebagai
berikut :
a. Penyusunan Kajian Informasi Lingkungan (PIL)
b. Penerbitan SPPL ( Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan )
c. Penyusunan UKL/UPL ( Upaya Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan )
d. Melakukan penyusunan dokumen AMDAL yang terdiri dari :
KA-ANDAL ( Kerangka Acuan Andal )
ANDAL (Analisa Dampak Lingkungan )
RKL (Rencana Pengelolaan Lingkungan )
RPL ( Rencana Pemantauan Lingkungan )
Sumber pembiayaan untuk kajian dampak penting ini bersumber dari Pemerintah
Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota melalui dana APBD dan juga bersumber dari
dana pusat dan masyarakat serta kalangan swasta.
Pendugaan dampak lingkungan merupakan langkah yang tersulit dalam proses
analisis dampak lingkungan karena teknik atau metode pelaksanaannya tergantung
pada kemajuan dan panguasaan ilmu, komponen lingkungan merupakan indikator dari
pada indikator lingkungan. Untuk mengetahui atau menetapkan suatu dampak
diperlukan tiga tahapan sebagai berikut :
1. Tahap Pertama : melakukan identifikasi dampak yang terjadi pada komponen
lingkungan, berbagai metode telah dikembangkan untuk memudahkan
identifikasi atau penyaringan komponen mana yang akan terkena dampak
dan mana yang tidak.
2. Tahap Kedua : melakukan pengukuran atau perhitungan dampak yang akan
terjadi pada komponen lingkungan tersebut.
3. Tahap Ketiga : penggabungan beberapa komponen lingkungan yang sangat
berkaitan dan kemudian dianalisa.
Untuk mengetahui seberapa besar dampak yang terjadi akibat aktifitas suatu
kegiatan atau proyek maka perlu ditentukan metode pendugaan dampak yang akan
digunakan, ada beberapa metode yang dapat digunakan dalam melakukan pendugaan
dampak, yaitu :
1. Metode Ad Hoc
Merupakan metode yang sangat sedikit memberikan pedoman cara
melakukan pendugaan bagi anggota timnya. Tiap sub-tim atau tiap anggota
tim dapat lebih bebas menggunakan keahliannya dalam melakukan
pendugaan, komponen lingkungan yang digunakan biasanya bukan
komponen yang detail.
2. Metode Overlays
Merupakan metode proyek yang menggunakan sejumlah peta ditempat
proyek yang dibangun dan daerah sekitarnya yang tiap peta menggambarkan
komponen-komponen lingkungan yang lengkap, yang meliputi aspek
fisik-kimia, biologi, sosial-ekonomi dan sosial budaya. Penggabungan dalam
bentuk penampilan akan menunjukan kumpulan susunan dari keadaan
lingkuangan daerah tersebut.