• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUKUM HUMANITER DAN KAITANNYA DENGAN HAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "HUKUM HUMANITER DAN KAITANNYA DENGAN HAK"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

HUKUM HUMANITER DAN KAITANNYA DENGAN HAK ASASI MANUSIA DILIHAT DARI PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL

Oleh : Putu Suryani

Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana

ABSTRAK

Makalah ini diberikan judul: “Hukum Humaniter dan Kaitannya dengan Hak Asasi Manusia dilihat dari Perspektif Hukum Internasional”. Latar belakang dari penulisan makalah ini adalah menjelaskan sejarah lahirnya hukum humaniter, mengetahui perbedaan hukum humaniter serta hukum peperangan, serta mengkaitkan hukum humaniter dan hak asasi manusia. Karena hukum humaniter bukanlah untuk melarang perang, melainkan atas dasar alasan perikemanusiaan untuk mengurangi atau membatasi penderitaan individu-individu dan untuk membatasi wilayah dimana kebuasan konfik bersenjata diperbolehkan.

Kata Kunci : Hukum Humaniter, Hukum Perang, Hak Asasi

Manusia

ABSTRACT

(2)

explain the history of the birth of humanitarian law, to know the diference between humanitarian law and war law, and to link humanitarian law and human rights. Because humanitarian law is not forbidding war, but on the basis of humanitarian reasons to reduce or limit the sufering of individuals and to limit the areas where armed confict is permitted.

Keywords: Humanitarian Law, War Law, Human Rights

I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Hukum Humaniter Internasional memiliki sejarah yang singkat namun penuh peristiwa. Untuk menghindari penderitaan akibat perang maka baru pada pertengahan abad ke-19 negara-negara melakukan kesepakatan tentang peraturan-peraturan internasional dalam suatu konvensi yang mereka setujui sendiri (Lembar Fakta HAM, 1998: 172). Sejak saat itu, perubahan sifat pertikaian bersenjata dan daya merusak persenjataan modern menyadarkan perlunya banyak perbaiakan dan perluasan hukum humaniter melalui negosiasi–negosiasi panjang yang membutuhkan kesabaran.

(3)

Manusia (1948), Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia (1950) dan Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (1966) memberikan sumbangan untuk memperkuat pandangan bahwa semua orang berhak menikmati Hak Asasi Manusia, baik dalam pada masa perang maupun damai.

Hukum perang atau yang sering disebut dengan hukum Humaniter internasional, atau hukum sengketa bersenjata memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban manusia, atau sama tuanya dengan perang itu sendiri. Mochtar Kusumaatmadja mengatakan, bahwa adalah suatu kenyataan yang menyedihkan bahwa selama 3400 tahun sejarah yang tertulis, umat manusia hanya mengenal 250 tahun perdamaian. Naluri untuk mempertahankan diri kemudian membawa keinsyarafan bahwa cara berperang yang tidak mengenal batas itu sangat merugikan umat manusia, sehingga kemudian mulailah orang mengadakan pembatasan-pembatasan, menetapkan ketentuan-ketentuan yang mengatur perang antara bangsa bangsa. Selanjutnya Mochtar Kusumaatmadja juga mengatakan bahwa tidaklah mengherankan apabila perkembangan hukum internasional modern sebagai suatu sistem hukum yang berdiri sendiri dimulai dengan tulisantulisan mengenai hukum perang.

(4)

humaniter baru dimulai pada abad ke-19. Sejak itu, negara-negara telah setuju untuk menyusun aturan-aturan praktis, yang berdasarkan pengalaman-pengalaman pahit atas peperangan modern. Hukum humaniter itu mewakili suatu keseimbangan antara kebutuhan kemanusiaan dan kebutuhan militer dari negara-negara. Seiring dengan berkembangnya komunitas internasional, sejumlah negara di Seluruh dunia telah memberikan sumbangan atas perkembangan hukum humaniter internasional. Dewasa ini, hukum humaniter internasional diakui sebagai suatu sistem hukum yang benar-benar universal.

Pada umumnya aturan tentang perang itu termuat dalam aturan tingkah laku, moral dan agama. Hukum untuk perlindungan bagi kelompok orang tertentu selama sengketa bersenjata dapat ditelusuri kembali melalui sejarah di hampir semua negara atau peradaban di dunia. Dalam peradaban bangsa Romawi dikenal konsep perang yang adil (just war). Kelompok orang tertentu itu meliputi penduduk sipil, anakanak, perempuan, kombatan yang meletakkan senjata dan tawanan perang.

(5)

Adapun maksud dan tujuan penulisan dalam menyusun makalah ini adalah untuk mengetahui defnisi perang dan hukum humaniter serta hubungan hukum humaniter dan hak asasi manusia.

II. ISI MAKALAH

2.1. Metode Penelitian

Metode adalah cara mendapatkan kebenaran materiil terhadap penelitian yaitu dengan cara penelitian dan pengumpulan data untuk dapat menyusun suatu karangan ilmiah atau laporan sehingga betul-betul akan terarah pada tujuannya dengan melaluii cara tertentu dan teratur.1 Metode penelitian dalam penulisan makalah ini adalah hukum normatif. Objek kajiannya adalah dokumen-dokumen peraturan-peraturan hukum serta bahan-bahan pustaka.

2.2. Hasil dan Pembahasan

2.2.1. Defni Hukum Humaniter

Perang dalam pengertian umum yang telah diterima yaitu suatu pertandingan antara dua negara atau lebih terutama dengan angkatan bersenjata mereka, tujuan terakhir dari setiap kontestan atau masing-masing kelompok kontestan adalah untuk mengalahkan

(6)

kontestan lain dan membebankan syarat-syarat perdamaiannya.

Menurut Karl Von Clausewitz perang adalah perjuangan dalam skala besar yang dimaksudkan oleh salah satu pihak untuk menundukkan lawannyayaguna memenuhi kehendak.

Menurut Mochtar Kusumaatmaja hukum humaniter adalah sebagai dari hukum perang yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang; seperti mengenai senjata-senjata yang dilarang. Konvensi Janewa identik atau sinonim dengan hukum atau konvensi-konvensi humaniter sedangkan hukum perang atau konvensi-konvensi Den Haag mengatur tentang cara melakukan peperangan.

Hukum perang terdiri dari sekumpulan pembatasan oleh hukum internasional dalam mana kekuatan yang diperlukan untuk mengalahkan musuh boleh digunakan pada prinsip-prinsip yang mengatur perlakuan terhadap individu-individu pada saat berlangsungnya konfik-konfik bersenjata.2

2.2.2. Tujuan Hukum Humaniter

Beberapa tujuan hukum humaniter yaitu :

2 J.G. Strike, Pengantar Hukum Internasional edisi ke 2, Sinar Grafka,

(7)

a. Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil dari penderitaan yang tidak perlu;

b. Menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental bagi mereka yang jatuh ke tangan musuh. Kombatan yang jatuh ke tangan musuh berhak diperlakukan sebagai tawanan perang dan harus dilakukan secara manusiawi;

c. Mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas. Di sini yang penting adalah asas perikemanusiaan.

Jadi tujuan dari hukum humaniter internasional adalah untuk memberikan perlindungan kepada korban perang, menjamin Hak Asasi Manusia (HAM) dan mencegah dilakukannya perang secara kejam. Hukum humaniter internasional lebih ditujukan untuk kepentingan kemanusiaan, yaitu:

1. Membatasi kekuasaan pihak-pihak yang berpengalaman dalam menggunakan kekerasan militer dan tindakan yang tidak manusiawi

2. Melindungi kombatan atau non kombatan/penduduk sipil dari penderitaan yang tidak perlu

(8)

resolusi PBB No. 2444 tahun 1968 tentang Respector Human Rights Arned Conficts.

Grotius, yang juga diikuti oleh Prof. Mochtar Kusumaatmaja membagi:

1. Jus ad belum (hukum tentang perang), yaitu hukum yang mengatur dalam hal bagaimana suatu negara dibenarkan menggunakan kekeasan bersenjata.

2. Jus in bellow, yaitu hukum yang berlaku dalam perang, terbagi lagi menjadi dua yaitu:

a. Hukum yang mengatur cara dilakukannya perang, termasuk pembatasan-pembatasannya yang terdapat dalam konvensi Den Haag.

b. Hukum mengenai perlindungan bagi orang-orang yang menjadi korban perang , baik sipil maupun militer. Ini terdapat dalam konvensi-konvensi Janewa. 3

2.2.3. Asas dan Prinsip Hukum Humaniter

Hukum perang yang kini lazimnya disebut hukum humaniter dibuat untuk mengatur penggunaan perang atau kekuatan bersenjata sedemikian rupa, seandainya perang atau konfik bersenjata tidak mungkin lagi bisa dicegah atau

3 T. May Rudy, 2009, Hukum Internasional 2, PT. Reifka Aditama, hlm.

(9)

dihindari. Upaya pengaturan itu dimaksudkan agar tidak mengakibatkan penderitaan yang berlebihan dan sebenarnya tidak perlu, baik masyarakat awam ataupun penduduk yang tidak berdosa (dalam arti penduduk sipil), maupun bagi korban perang dan anggota-anggota “combatant”(pelaku pertempuran) yang terluka. Oleh karena itu ada beberapa asas atau prinsip yang terkandungdalam Hukum Humaniter. Asas hukum atau prinsip hukum merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan (Sudikno Mertokusumo, 2003: 34). HHI disusun dengan berdasarkan asas-asas sebagai berikut:

a. Asas kepentingan militer

Berdasarkan asas ini maka pihak yang bersengketa dibenarkan menggunakan kekerasan untuk menundukkan lawan demi tercapainya tujuan dan keberhasilan perang.

b. Asas Perikemanusiaan

Menurut asas ini pihak yang bersengketa diharuskan untuk memperhatikan perikemanusiaan, di mana mereka dilarang untuk menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu.

(10)

Berdasarkan asas ini bahwa di dalam perang, kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat-alat yang tidak terhormat, berbagai tipu muslihat dan cara-cara yang bersifat khianat dilarang.

Prinsip yang berlaku pada hukum humaniter internasional antara lain:

a. Prinsip keperluan,/kepentingan militer (military necessity)

Yaitu untuk memberikan batasan, landasan atau pedoman bagi pihak angkatan bersenjata yang saling tempur mengenai hal-hal apa yang boleh dilakuakn dan yang tidak boleh dilakukan, mengenai tindakan apa yang melanggar huku (dalam situasi perang), alat/sarana yang boleh digunakan dan yang tidak boleh digunakan.

b. Prinsip kemanusiaan (humanitarian)

(11)

c. Prinsip kesatriaan (chivalry)

Asas ini mengandungarti bahwa didalam suatu peperangan, kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat-alat yang ilegal atau bertentangan dengan hukum humaniter serta cara-cara peperangan yang bersifat khianat dilarang.perang diharapkan hanya dilakukan sebatas mengalahkan atau melumpuhkan kekuatan kekuatan lawan dan bukan untuk menghancurkan personel, keluarga, dan harta benda lawan.oleh karena itu seandainya saja tidak diterapkan asas kesatriandalam pembentukan ketentuan-ketentuan hukum humaniter, maka sudah pasti peperangan akan berlangsung dengan sangat brutal dan dan keji.

d. Prinsip non-diskriminasi (non-discrimination)

Yaitu untuk menghargai persamaan derajat tidak membeda-bedakan,baik para pihak dalam pertempuran maupun korban perang(termasuk lawan perang).4

2.2.4. Jenis-jenis Konfik Bersenjata

Secara garis besar, hanya ada dua bentuk konfik bersenjata saja yang diatur dalam Hukum Humaniter sebagaimana yang dapat dilihat dan mengkaji

konvensi-4 Arlina Permatasari, 1999, Pengantar Hukum Humaniter, ICRC, Jakarta,

(12)

konvensi jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 yaitu : 1). “sengketa atau konfik bersenjata yang bersifat internasional” (international armed confict); serta 2.) “sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional” (non-international armed confict). Pembagian dua bentuk konfik ini adalah juga menurut Haryomataram.

Selain Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahan, para pakar Hukum Humaniter telah mengajukan bentuk konfik bersenjata, antara lain :

1. Starke, membagi konfik bersenjata menjadi dua, yaitu war proper between States, and armed confict which are not of the character of war. Mengenai “armed confict” yang menjadi pihak belum tentu negar, dapat juga bukan negara menjadi pihak dalam konfik tersebut. Ditambahkan pula bahwa “war proper” adalah “declared war”, yaitu perang yang didahului dengan suatu “declaration of war”

2. Shigeki Miyazaki, pakar ini menjabarkan konfik bersenjata sebagai berikut :Konfik bersenjata antara pihak peserta konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977. Konvensi Jenewa, Pasal 2, Paragraf 1 dan Protokol I, Pasal 1, Paragraf 3.

(13)

penguasa de facto), misalnya penguasa yang memimpin kampanye pembebasan nasional yang telah menerima Konvensi Jenewa dan/atau Protokol. Konvensi Jenewa Pasal 2, Paragraf 4, Protokol Tambahan I, Pasal 1, Paragraf 4, Pasal 96, Paragraf 2. b. Konfik bersenjata antar pihak peserta (negara) dan

bukan pihak peserta (negara atau penguasa de facto), yang belum menerima baik Konvensi Jenewa maupun Protokol. Konvensi Jenewa, Pasal 2, Paragraf 4, Marthen Clause, Protokol II (penguasa : authority). c. Konfik bersenjata antara dua bukan pihak peserta

(non-contracting parties). Konvensi Jenewa, Pasal 2, Paragraf 4, Kovensi Jenewa Pasal 3 (penguasa), Marthen Clause, Protokol 2 (penguasa). d. Konfik bersenjata yang serius yang tidak bersifat

internasional (pemberontakan). Konvensi Jenewa, Pasal 3, Protokol 2, Hukum Internasional Publik.

e. Konfik bersenjata yang lain. Kovenan Internasional HAM, Hukum Publik (Hukum Pidana).

2.2.5. Hubungan Hukum Humaniter dan HAM

(14)

berhubungan. Dalam konvensi-konvensi tentang hak asasi manusia terdapat pula berbagai ketentuan yang penerapannya pada situasi perang. Konvensi Eropa tahun 1950, misalnya dalam Pasal 15, menentukan bahwa bila terjadi perang atau bahaya umum lainnya yang mengancam stabilitas nasional, hak-hak yang dijamin dalam konvensi ini tidak boleh dilanggar. Setidaknya terdapat 7 (tujuh) hak yang harus tetap dihormati, karena merupakan intisari dari Konvensi ini, yaitu: hak atas kehidupan, hak kebebasan, integritas fsik, status sebagai subyek hukum, kepribadian, perlakuan tanpa diskriminasi dan hak atas keamanan. Ketentuan ini terdapat juga dalam Pasal 4 Kovenan PBB mengenai hak-hak sipil dan politik dan Pasal 27 Konvensi HAM Amerika.

(15)

dengan dengan penawanan, pengakuan seseorang sebagai subyek hukum, kebebasan berpendapat, keyakinan dan agama, larangan penjatuhan hukum tanpa putusan yang dimumkan lebih dahulu oleh pengadilan yang lazim, larangan menjatuhkan hukuman mati dan melaksanakan eksekusi dalam keadaan yang ditetapkan dalam Pasal 3 ayat (1) huruf (d) yang bersamaan pada keempat Konvensi Jenewa.

Konferensi internasional mengenai hak asasi manusia yang diselenggarakan oleh PBB di Teheran pada tahun 1968 secara resmi menjalin hubungan antara Hak Asasi Manusia (HAM) dan Hukum Humaniter Internasional (HHI). Dalam Resolusi XXIII tanggal 12 Mei 1968 mengenai “penghormatan HAM pada waktu pertikaian bersenjata”, meminta agar konvensi-konvensi tentang pertikaian bersenjata diterapkan secara lebih sempurna dan supaya disepakati perjanjian baru mengenai hal ini. Resolusi ini mendorong PBB untuk menangani pula Hukum Humaniter Internasional.

III. KESIMPULAN

(16)
(17)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Hadi, Soetrisno, 1987, Metodologi Research, UGM, Yogyakarta.

Permatasari, Arlina, 1999, Pengantar Hukum Humaniter, ICRC, Jakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Kehadiran masyarakat muslim dayak ngaju dalam pelaksanan upacara tewah, yaitu Upacara Tiwah adalah upacara terbesar yang hanya dilakukan oleh masyarakat

mencekan dan proses validasi terhadap para campaigner yang ingin melakukan sebuah kampanye donasi, pertama bagian oprasional melihat data yang masuk dalam pendaftar dan

Berdasarkan hasil analisis dari nilai mean rata-rata antara 0.4Ф – 2.2Ф secara horizontal dan secara vertikal 0.4Ф – 2.9Ф terjadi selang seling antara pasir kasar

Hal yang menarik kemudian untuk dicermati dari posisi paradigma pembelajaran bahasa Arab pada kedua metafora integrasi ilmu tersebut adalah ketika bahasa Arab

H0 = menunjukkan bahwa variabel bebas (produksi garam domestik, nilai kurs, harga garam impor, jumlah industri pengguna garam dan pertumbuhan GDP Indonesia per kapita) secara

Uji Pengolahan Validitas Item Penguasaan Keterampilan Attending Instrumen yang disusun untuk mengungkap penguasaan mahasiswa terhadap keterampilan attending dibuat tiga

(3) Evaluator eksternal atau pihak lain yang independen sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 ayat (3) untuk evaluasi akuntabilitas kinerja dilingkungan lembaga yudikatif,

Jadi, hipotesis yang menyatakan bahwa ada pengaruh yang signifikan motivasi belajar siswa terhadap prestasi belajar Matematika pada siswa kelas V SD Negeri 2 Tanduk Ampel