• Tidak ada hasil yang ditemukan

Standar Pelayanan Medik Paru

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Standar Pelayanan Medik Paru"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

STANDAR PELAYANAN MEDIK

SMF ILMU PENYAKIT PARU

RUMAH SAKIT UMUM MATARAM 2006

DAFTAR ISI

BAB. I GAWAT PARU ...3

1. Batuk darah ...3

2. Edema Paru non Kardiogenik ...6

BAB. II INFEKSI...10 3. Tuberkulosis Paru ...10 4. Pneumoni Komuniti ...15 5. Pneumoni imunokompromi...21 6. Pneumoni Atipikal ...25 7. Pneumoni Nosokomial ...27 8. Abses Paru ... .31

BAB. III PARU KERJA...34

9. Penyakit paru kerja...34

10. Asbestosis ...38

11. Silikosis...41

12. Inhalasi akut Gas Toksik...44

13. Asma Kerja...49

BAB. IV PENYAKIT PLEURA...51

14. Efusi pleura...51

15. Pneumotoraks... 55

16. Hemotoraks...58

17. Empiema toraksik...59

BAB. V SALURAN NAPAS...63

18. Asma Bronkial ...63 19. PPOK...69 20. Bronkitis Kronik...76 21. Emfisema...79 22. Bronkiektasis...81 23. Bronkitis Akut...84 BAB. VI TUMOR ...86 24. Karsinoma bronkogenik...86 25. Tumor Mediastinum...90

26. Tumor metastase di Paru...93

27. Mesotelioma...96

SPM PARU 2006 2

1. BATUK DARAH BATASAN

(2)

parenkim paru bukan berasal dari saluran napas atas.

Batuk darah masif bila jumlah darah yang keluar > 600 ml dalam 24 jam.

PENYEBAB

Berubah-ubah sesuai dengan waktu.Di negara berkembang infeksi masih merupakan penyebab tersering,sedang di negara maju penyakit non infeksi yang mendominasi. Batuk darah masif sering disebabkan oleh:

1 Tumor paru 2 Bronkiektasis 3 Tuberkulosis paru 4 Abses paru

Catatan rekam medik SMF Paru RSU Dr Soetomo menyebutkan penyebab batuk darah : 1 Tuberkulosis paru

2 Karsinoma bronkogenik 3 Bronkiektasis

PEMBAGIAN

1 Batuk darah idiopatik atau esensial: penyebab tidak diketahui 2 Batuk darah sekunder:penyebab diketahui

DIAGNOSIS

1 Riwayat penyakit

Dengan anamnesis yang cermat meliputi karakter,jumlah darah yang keluar,lama keluhan dan penyakit paru yang mendasari maka diagnosis banding bisa diperoleh.Contoh : Batuk darah minimal sering dijumpai pada karsinoma bronkogenik.Batuk darah masif sering pada tuberkulosis dan bronkiektasis.Selain jumlah darah,pola batuk darah juga penting.Batuk darah dengan episode singkat yang terjadi beberapa tahun lebih cenderung bronkiektasis.

Batuk darah harus dibedakan dari muntah darah. Batuk darah ( Hemoptysis )

Darah berbusa Warna merah segar Bersifat alkali Disertai batuk

Muntah darah ( Hematemesis ) Darah campur makanan

Warna kehitaman Bersifat asam Didahului mual BAB 1

GAWAT PARU

SPM PARU 2006 3

tambahan seperti wheezing dan ronki dapat timbul akibat penyempitan saluran napas oleh gumpalan darah.

3 Pemeriksaan darah

Pemeriksaan awal meliputi hemogram,jumlah trombosit,protrombin time,partial thromplastin,analisa gas darah,BUN,serum kreatinin dan elektrolit.Juga pemeriksaan sputum BTA dan sitologi.

(3)

Sangat bermanfaat.Dibuat dengan proyeksi PA dan lateral.Dari foto toraks dapat ditemukan lesi seperti: kavitas,massa,fungus ball atau air fluid level.

Sarana diagnostik khusus 5 Bronkoskopi

Sangat bermanfaat untuk diagnosis dan terapi batuk darah.Dengan bronkoskopi dapat diketahui lokasi perdarahan,mengetahui lesi yang menyebabkan perdarahan juga digunakan untuk mengambil material untuk pemeriksaan.Bila dengan pemeriksaan bronkoskopi tidak bisa mengetahui penyebabnya sering dibutuhkan pemeriksaan arteriografi bronkial dan pulmonal serta CT scan dada untuk sampai ke diagnosis. 6 Arteriografi bronkial

Dengan pemeriksaan arteriografi bronkial mungkin dapat melokalisir pembuluh darah yang berkelok-kelok atau dilatasi yang dicurigai sebagai sumber perdarahan.

7 CT scan,aortografi

Bila dicurigai aneurisma aorta pada kasus batuk darah,pemeriksaan aortografi dapat membantu membuat diagnosis aorto-bronchial communication.CT scan dada paling sering dikerjakan pada penderita dengan occult hemoptysis,sebab dapat mendeteksi ca paru yang masih kecil,bronchiolithiasis atau bronkiektasis.Sebagai contoh.Pada evaluasi 40 penderita batuk darah dengan foto toraks normal dan pada bronkoskopi tidak

ditemukan kelainan ternyata 50 % didapatkan kelainan pada parenkim,saluran napas atau vaskuler.

2 Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan saluran napas atas harus dilakukan untuk menentukan sumber perdarahan ditempat tersebut.Selain itu rongga mulut harus diperiksa dengan cermat. Suara napas

SPM PARU 2006 4

DAFTAR PUSTAKA

1 Bone RC.Massive hemoptysis:diagnosis and treatment.Critical care medicine.A concise review.1995:257-261.

2 Murray JF.History and physical examination.In: Textbook of respiratory medicine.Eds :Murray JF and Nadel JA. Philadelphia.WB Saunders Comp.2001:

3 Rekam Medik SMF Paru RSU Dr Soetomo

TERAPI

Terapi hemoptysis tergantung penyebab dan status pasien.Tujuan pengobatan adalah mencegah aspirasi,menghentikan perdarahan dan mengobati penyakit yang menyebabkan perdarahan. Batuk darah masif jarang menimbulkan kematian karena kehilangan darah namun lebih sering karena asfiksi/sufokasi.Sehingga proteksi saluran napas atas adalah sangat vital pada penanganan awal batuk darah.

Jika batuk merupakan problem atau menambah perdarahan maka perlu diberikan antitusif seperti kodein.Hindari manipulasi dada berlebihan seperti perkusi dada dan pemeriksaan faal paru.Usahakan tirah baring.Setelah hemodinamika stabil,asidosis dan hipoksemi dikoreksi bronkoskopi harus dikerjakan untuk menentukan lokasi perdarahan. suction dan lavage harus dikerjakan untuk mengeluarkan bekuan darah. Dan

diupayakan menghentikan perdarahan dengan denga ice saline dan epineprin ( 1:20.000 ) dilution.Sebagai alternatif perdarahan dapat juga dihentikan dengan kateter Forgaty yang mempunyai bola pada ujungnya.

SPM PARU 2006 5

(4)

BATASAN

Edema paru atau sembab paru adalah keadaan di mana terjadi peningkatan jumlah cairan ekstravaskuler pada jaringan paru, baik di dalam jaringan interstisial maupun alveoli.

PATOGENESIS DAN ETIOLOGI

1. Kelompok dengan ketidakseimbangan ‘gaya Starling’ Qf = Kf [(Pmv - Ppmv) – σ (πmv – πpmv)] - Qlymph Qf : net transvascular fluid flow

Kf : filtration coefficient

Pmv : hydrostatic pressure in the lumen of the fluid-exchanging microvessels

Ppmv : peri microvascular hydrostatic pressure σ : osmotic reflection coefficient of the barrier

πmv : microvascular plasma colloid osmotic/oncotic pressure πpmv : peri microvascular plasma colloid osmotic/oncotic pressure Qlymph : lymphatic flow

1.1. Peningkatan tekanan hidrostatik mikrovaskuler paru

Oleh karena peningkatan tekanan darah vena paru, misalnya mitral stenosis, gagal jantung kiri, overload cairan infus.

1.2. Penurunan tekanan hidrostatik perimikrovaskuler

Pengosongan udara secara tiba-tiba dan dalam jumlah yang besar pada pneumotoraks (unilateral) maupun pada efusi pleura.

1.3. Peningkatan negativiti tekanan interstisial

Ekspansi terlalu cepat pada pneumotoraks, tekanan negatip yang besar akibat obstruksi jalan napas akut dengan peningkatan volume endexpiratory (asthma)

1.4. Penurunan tekanan onkotik mikrovaskuler Pada hipoalbuminemia

1.5. Peningkatan tekanan onkotik perimikrovaskuler Belum dijumpai kasus klinik maupun dalam laboratorium 2. Perubahan permeabilitas membran alveolo-kapiler (ARDS)

Infeksi paru, inhalasi gas/uap/asap toksik. Adanya bahan asing racun ular dan endotoksin, aspirasi asam lambung, radiasi, reaksi imunologis, renjatan paru oleh karena trauma di luar toraks.

3. Gangguan sistim saluran limfatik

Dijumpai pada pasca cangkok paru, karsinomatosis limfangitik dan limfangitis fibrosa.

4. Beberapa penyebab yang belum jelas mekanismenya

Edema paru pada ketinggian, edema paru neurogenik, edema paru akibat narkotika, akibat eklamsia, sesudah konversi aritmi ke irama sinus, dan pasca anestesi maupun pasca bedah pintas kardiopulmoner.

SPM PARU 2006 6

PATOFISIOLOGI

Ruang interstisial paru terisi cairan oleh karena beberapa sebab, antara lain kelainan jantung, kelainan ginjal maupun oleh karena perubahan permiabilitas kapiler paru sendiri. Pada kelainan jantung dan ginjal biasanya berupa cairan transudat, sedangkan pada kelainan paru dapat berupa plasma atau cairan koloid.

(5)

Timbulnya cairan di alveoli juga akan mengganggu fungsi surfaktan paru sehingga akan terjadi kolaps pada kantong-kantong udara ini.

Dengan masuknya cairan ke dalam ruang interstisial atau alveoli akan berakibat terjadinya gangguan difusi dan ventilasi oleh karena terjadi perubahan sifat membrana alveolokapiler paru menjadi kaku dan compliance paru menurun.

Pada analisis gas darah didapatkan hipoksemia dan normo atau hipokapnia, pada tingkat lanjut dapat terjadi asidosis metabolik.

Bila keadaan ini berlangsung lama dapat terjadi penyulit berupa endapan jaringan fibrin dan hialin pada permukaan epitel alveoli yang akan memperburuk gangguan faal difusi yang sudah terganggu tersebut.

STADIA EDEMA PARU

Stadia edema paru ini merupakan suatu rangkaian proses terjadinya edema paru.

STADIUM 1

Terjadi peningkatan jumlah cairan dan koloid di ruang interstisial yang berasal dari kapiler paru. Walaupun filtrasi meningkat sebenarnya peningkatan cairan di rongga interstisial tidak nampak oleh karena kapasitas limfatik untuk mengabsorbsi cairan juga meningkat.

STADIUM 2

Pada stadium ini filtrasi dari pembuluh kapiler sudah melampaui kemampuan menyerap cairan oleh sistim limfatik. Cairan dan koloid mulai menumpuk di rongga selaput peribronkovaskuler (peribronchovascular sheath).

STADIUM 3a

Peningkatan cairan dan tekanan di ruang interstisial dan selaput peribronkovaskuler semakin meningkat dan menyebabkan adanya tight junction di epitel alveolus mulai melebar dan terjadi edema alveolar. Cairan tertimbun pada daerah sudut membrana alveolokapiler.

STADIUM 3b

Volume udara di alveoli dengan cepat diganti oleh cairan serta koloid.

GEJALA KLINIK

Penderita pada umumnya sesak napas dari yang paling ringan berupa dyspnoe d’effort sampai pada sesak napas pada waktu istirahat. Pada pemeriksaan fisik biasanya tidak dijumpai kelainan pada paru, terutama pada stadium 1 dan stadium 2, selain sesak napas dan adanya peningkatan frekuensi napas.

Batuk-batuk yang refrakter dan sedikit memberi respons pada pengobatan dan kadangkadang

disertai dengan dahak berbusa dan berwarna merah muda.

SPM PARU 2006 7

Tanda-tanda yang lain adalah adanya ronki basah yang halus / kasar dan dijumpai bila edema paru sudah masuk stadium 3.

Penderita dapat jatuh ke dalam hipoksia dengan sianosis sentral, asidosis metabolik dan normo/hipokapnia.

Keadaan umum bisa jelek disertai dengan gaduh gelisah, kesadaran menurun. Tampak juga tanda-tanda klinis lain yang diberikan oleh penyakit dasarnya (jantung, ginjal, gas toksik, infeksi dsb)

GAMBARAN RADIOLOGIS EDEMA PARU

(6)

permeabilitas Besar jantung > > N Pangkal pemb. darah (vasc. pedicle) N/> >> N/<

Distribusi aliran darah paru (corakan

bronkovaskuler)

Inversi ke apices Berimbang (meningkat)

N/berimbang

Volume darah paru N/> > N

Garis-garis septal Jarang Jarang Tidak ada Penebalan peribronkial Sering Sering Jarang Bronkogram udara Jarang Jarang Sering Distribusi edema (sumbu

horizontal)

Merata Sentral Perifer

Efusi pleura Sering Sering Jarang

DIAGNOSIS BANDING

Penyakit-penyakit interstisial paru yang lain.

PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan dibagi dalam 2 kelompok pengobatan edema paru, antara lain: 1. Pengobatan umum

1.1. Penderita dibaringkan dalam posisi Fowler 60-900

1.2. Pemberian O2 konsentrasi dan kecepatan tinggi, dapat dipakai nasal prong

maupun masker. Kalau perlu dengan bantuan pernapasan mekanik 1.3. Perbaikan keseimbangan asam basa

Alkalosis respiratorik tidak memerlukan pengobatan.

Asidosis metabolik perlu diberikan natrium bikarbonat. Namun di sisi lain pemberian garam ini dapat memperburuk retensi cairan.

Asidosis respiratorik dan keadaan tetap tidak membaik, maka perlu dimulai penggunaan alat bantu napas. Ventilasi dan hemodinamik juga perlu

dikendalikan. 1.4. Diuretika

Diberikan furosemide 40 mg, dapat diulang sampai klinis membaik.

SPM PARU 2006 8

2.2. Peningkatan permeabilitas kapiler

Infeksi dapat diberikan antibiotika, kortikosteroid walaupun manfaat obat ini masih dipertentangkan.

Juga dapat diberikan antidotumnya. (vide gas toksik)

Pada kasus edema paru pada ketinggian, dapat dilakukan upaya membawa dengan segera penderita turun ke bawah. Tindakan profilaksis dengan minum asetasolamid maupun deksametason dan mendaki tidak terlalu cepat akan banyak membantu menekan angka kejadian edema paru.

(7)

Evaluasi penyebabnya. Pada keadaan akut dapat diberikan osmotic agent berupa kristaloid baik kristaloid molekul kecil maupun besar, antara lain urea, manitol atau dekstran.

Kristaloid molekul besar bertahan lebih lama, seperti albumin 25%. Pada kelainan ini dapat pula diberikan diuretika.

PROGNOSIS

Tergantung pada penyakit dasar dan derajatnya.

Prognosis jelek biasanya dijumpai apabila sudah disertai renjatan (syok) , termasuk pada renjatan septik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Fraser RG, Pare JAP, Pare PD, Fraser RS, Genereux GP. Pulmonary Hypertension and Edema. In: Synopsis Diseases of the Chest, 2nd

ed.Philadelphia.WB Saunders Co., 1994, pp. 574-621

2. Fraser RG, Pare JAP, Pare PD, Fraser RS, Genereux GP. Specific Form of Permeability Edema. High Altitude Pulmonary Edema. In: Diagnosis of Diseases of the Chest. Vol. III, 3rd ed.Philadelphia.WB Saunders Co. 1990, pp. 1950-52

3. Ingram RH, Braunwald E. Dyspnea and Pulmonary Edema. In : Harrison’s Principles of Internal Medicine. 14th ed. Editors: Fauci AS, Braunwald E,

Isselbacher KJ, et al. McGraw-Hill. 1998, pp.190-4

4. Ingram RH, Braunwald E. Pulmonary Edema-Cardiogenic and Non Cardiogenic. In: Heart Diseases. 3rd ed. Editor: Braunwald E. 1988, p. 544

2. Pengobatan khusus

Pengobatan ini lebih ditujukan pada kelainan yang mendasarinya, seperti : 2.1. Peningkatan tekanan hidrostatik

Pengobatan penyakit jantung. Pada hidrasi berlebih dapat diberikan diuretika.

SPM PARU 2006 9

3. TUBERKULOSIS PARU BATASAN

Infeksi paru yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis.

Pada orang dewasa merupakan tuberkulosis paru pasca primer yang berarti infeksi tuberkulosis pada penderita yang telah mempunyai imunitas spesifik terhadap tuberkulosis.

PATOGENESIS

Proses penularan melalui inhalasi droplet nuclei yang berisi kuman Mycobacterium tuberculosis.

Tuberkulosis paru pasca primer dapat terjadi melalui salah satu dari mekanisme : 1. perkembangan langsung dari penyakit primer

2. reaktivasi penyakit primer yang tenang 3. penyebaran hematogen ke paru

4. reinfeksi eksogen

PATOLOGI

Lesi tuberkulosis dapat dalam bentuk empat lesi dasar : 1. Lesi eksudatif :

merupakan reaksi hipersensitif. 2. Lesi proliferatif :

(8)

dikelilingi oleh jaringan granulasi tuberkulosis. 3. Kavitas :

bila jaringan keju dari proses proliferatif mencair, dan menembus bronkus, maka jaringan keju yang cair akan dikeluarkan, sehingga meninggalkan sisa kavitas. Kavitas ini lebih penting daripada proses tuberkulosisnya sendiri, karena merupakan sumber kuman dan sumber batuk darah profus.

4. Tuberkuloma :

bila lesi proliferatif dibungkus oleh kapsul jaringan ikat, maka proses akan menjadi tidak aktif.

Pada tuberkulosis paru pasca primer selalu terjadi remisi dan eksaserbasi, maka pada tempat proses selalu terdapat campuran lesi dasar ditambah dengan proses fibrotik (penyembuhan).

Lokasi proses tuberkulosis paru pasca primer adalah :

BAB ll

INFEKSI

Apikal atau segmen posterior lobus superior atau segmen superior lobus inferior dan jarang dijumpai di tempat lain.

Pada penderita diabetes melitus sering dijumpai tuberkulosis pada paru lobus inferior (lower lung field).

SPM PARU 2006 10

3. ke saluran napas : menimbulkan endobronkial tuberkulosis

4. melalui pembuluh darah dan saluran limfe : menimbulkan penyebaran hematogen dan limfogen

GEJALA KLINIK

Keluhan :

Umum (sistemik) :

Panas badan (sumer), nafsu makan menurun, berkeringat malam, mual, muntah.

Lokal paru :

Batuk, batuk darah, nyeri dada/nyeri pleuritik, sesak napas bila lesi luas Pemeriksaan fisik :

Pemeriksaan fisik tidak spesifik. Bila kelainan paru minimal atau sedang, pemeriksaan fisik mungkin normal. Bisa dijumpai tanda-tanda konsolidasi, deviasi trakea/mediastinum ke sisi paru dengan kerusakan terberat, efusi pleura (redup, suara napas menurun).

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium :

Darah lengkap : LED meningkat, dapat anemia, lekosit normal atau sedikit meningkat, hitung jenis bergeser ke kanan (peningkatan mononuklear). Sputum :

1. Hapusan basil tahan asam (BTA) dengan pengecatan ZN, atau fluoresens. 2. Kultur : untuk identifikasi basil dan uji resistensi obat anti tuberkulosis. Radiologis :

Gambaran radiologis dapat berupa : - Ill define air space shadowing

(9)

- millet seed like appearance/granuler pada tuberkulosis milier

Lokasi lesi pada umumnya sesuai dengan lokasi lesi tuberkulosis pasca primer. Namun demikian kadang penampakkan lesi pada foto toraks tidak spesifik (seperti tumor), sehingga sering dikatakan bahwa tuberkulosis merupakan great imitator.

Penyebaran / perluasan proses tuberkulosis : 1. ke parenkim paru sekitarnya

2. ke pleura : menyebabkan pleuritis atau efusi pleura dan empiema

SPM PARU 2006 11

DIAGNOSIS

1. Diagnosis klinik, ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik. 2. Diagnosis bakteriologik, ditemukannya basil tahan asam dalam sputum. Dalam kerangka DOTS (directly observed treatment short course) WHO, maka diagnosis bakteriologik merupakan komponen penting dalam diagnosis dan penatalaksanaan tuberkulosis, dengan cara 3 kali pemeriksaan hapusan basil tahan asam dari sputum (SPS = sewaktu, pagi, sewaktu).

3. Diagnosis radiologis

Gambaran radiologis konsisten sebagai gambaran TB paru aktif.

DIAGNOSIS BANDING 1. Pneumonia 2. Abses paru 3. Kanker paru 4. Bronkiektasis 5. Pneumonia aspirasi PENATALAKSANAAN

1. Memperbaiki keadaan umum seperti nutrisi, keseimbangan cairan 2. Strategi penatalaksanaan menurut DOTS WHO meliputi :

- komitmen pemerintah dalam mengontrol TB

- deteksi kasus dengan pemeriksaan hapusan BTA sputum

- kemoterapi standar jangka pendek (6-8 bulan) dengan pengawasan minum obat

- kesinambungan ketersediaan obat anti tuberkulosis - sistem pencatatan dan pelaporan standar

Untuk kepentingan klinik maka lesi tuberkulosis berdasarkan foto toraks dibagi menjadi 2 kategori:

1. lesi minimal (minimal lesion):

bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru, dengan luas tidak lebih dari volume paru yang terletak di atas chondrosternal junction dari iga kedua dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis IV atau korpus vertebra torakalis V (sela iga II) dan tidak dijumpai kavitas.

2. lesi luas (far advanced lesion): bila proses lebih luas dari lesi minimal.

SPM PARU 2006 12

* Ethambutol dapat dihilangkan pada fase inisial pada penderita nonkavitas, TB paru BTA negatif dengan HIV negatif, penderita dengan basil suseptibel obat, anak muda dengan TB primer.

(10)

Obat anti tuberkulosis esensial

Obat esensial Rekomendasi Dosis (dose range) mg/kgBB Setiap hari 3 x / minggu

Isoniazid (H) Rifampicin (R) Pyrazinamide (Z) Streptomycin (S) Ethambutol (E) Thioacetazone (T) 5 (4-6) 10 (8-12) 25 (20-30) 15 (12-18) 15 (15-20) 2,5 10 (8-12) 10 (8-12) 35 (30-40) 15 (12-18) 30 (20-35) not applicable

Rekomendasi regimen terapi

Kategori Terapi TB

Penderita TB Alternatif regimen terapi TB Fase inisial

(setiap hari atau 3 x/minggu) Fase lanjutan

(setiap hari atau 3 x/minggu) I -Kasus baru – BTA positip -Kasus baru – BTA negatip dengan lesi paru luas -Konkomintan HIV berat atau

-TB ekstrapulmoner berat 2 RHZE (RHZS) 4 RH 6 HE

II Sputum hapusan positip : -Kambuh -Gagal terapi -Putus berobat 2 RHZES+1 RHZE 2 RHZE* 5 R3H3E3

III -Kasus baru – BTA negatip selain kategori I

(11)

-TB ekstrapulmoner tidak berat

4 RH 6 HE

IV Kasus kronik Merujuk panduan WHO menggunakan second line drug

SPM PARU 2006 13

DAFTAR PUSTAKA

1. Chesnutt MS, Prendergast TJ. Lung. In : Current Medical Diagnosis & Treatment 2003. 42nd ed. Editors: Tierney LM, McPhee SJ, Papadakis MA. McGraw-Hill.

2003, pp. 256-63

2. Fraser RG, Pare JAP, Pare PD, et al. Post Primary Tuberculosis. Diagnosis of Diseases of the Chest. 3rd ed.Philadelphia. WB Saunders. 1989, pp. 897-932

3. Garay SM. Pulmonary Tuberculosis. In : Tuberculosis. Editors: Rom WN, Garay SM. Little, Brown and Company. 1996, pp 373-412

4. WHO. Treatment of Tuberculosis Guidelines for National Programmes. 3rd ed.

2003, pp. 11-60

5. Raviglione MC, O’Brien RJ. Tuberculosis. In : Harrison’s Principles of Internal Medicine. 14th ed. Editors: Fauci AS, Braunwald E, Isselbacher KJ, et al.

McGraw-Hill. 1998, pp.1004-14 KOMPLIKASI 1. Pleuritis sika 2. Efusi pleura 3. Empiema 4. Laringitis tuberkulosis 5. Tuberkulosis pada organ lain 6. Kor pulmonale

PROGNOSIS

Tergantung pada luasnya proses, saat mulainya pengobatan, patuh dan tidaknya penderita mengikuti aturan pemakaian dan cara pengobatan yang dipergunakan.

SPM PARU 2006 14

4. PNEUMONI KOMUNITI BATASAN

Pneumoni adalah suatu keradangan paru yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit).

Pneumoni komuniti adalah pneumoni yang didapat di masyarakat.

KLASIFIKASI PNEUMONI

1. Berdasar klinis dan epidemiologis

a. Pneumoni komuniti (community-acquired pneumonia)

b. Pneumoni nosokomial (hospital-acquired pneumonia/nosocomial pneumonia)

c. Pneumoni aspirasi

d. Pneumoni pada penderita immunocompromised 2. Berdasar kuman penyebab

a. Pneumoni bakterial/tipikal b. Pneumoni atipikal

(12)

c. Pneumoni virus d. Pneumoni jamur

3. Berdasar predileksi infeksi a. Pneumoni lobaris

b. bronkopneumoni c. pneumoni interstisial

ETIOLOGI PNEUMONI KOMUNITI

Agen penyebab dapat diidentifikasi pada 50% kasus. Bakteri lebih sering teridentifikasi daripada virus.

Golongan I :

S. pneumonia, Mycoplasma pneumonia, Chlamidia pneumonia, H. influenza, Virus respirasi, Legionela spp, M. tuberkulosa, Fungi endemik.

Golongan II :

S. pneumonia, Mycoplasma pneumonia, Chlamidia pneumonia, Infeksi campuran, H. influenza, Enterik gram negatif, Virus respirasi, Legionela spp, M. tuberkulosa, M. kataralis, Jamur endemik.

SPM PARU 2006 15

S. pneumonia, H. influenza, Mycoplasma pneumonia, Chlamidia pneumonia, Infeksi campuran, Virus respirasi, Legionela spp, M. tuberkulosa, M. kataralis, Jamur endemik, P. carinii.

Golongan IVA :

S. pneumonia, Legionela spp, H. influenza, Enterik gram negatif, S. aureus, Mycoplasma pneumonia, Virus respirasi, Chlamidia pneumonia, M. tuberkulosa, M kataralis, Jamur endemik.

Golongan IVB :

Semua patogen di atas ditambah P. aeruginosa

PATOGENESIS

Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroorganisme di paru. Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan saluran napas. Apabila terjadi ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dan lingkungan, maka mikroorganisme dapat berkembang biak dan menimbulkan penyakit.

Mekanisme mikroorganisme mencapai permukaan saluran napas melalui cara : 1. inokulasi langsung

2. penyebaran melalui pembuluh darah 3. inhalasi

4. kolonisasi di permukaan mukosa

PATOLOGI

Mikroorganisme yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuk antibodi. Sel-sel PMN mendesak mikroorganisme ke permukaan alveoli dan dengan bantuan leukosit yang lain melalui pseudopodosis sitoplasmik mengelilingi bakteri tersebut kemudian difagosit. Pada waktu terjadi interaksi antara host dan mikroorganisme, maka akan tampak 4 zona yaitu:

Golongan IIIB : Golongan IIIA :

(13)

S. pneumonia, Mycoplasma pneumonia, Chlamidia pneumonia, Infeksi campuran, H. influenza, Enterik gram negatif, Virus respirasi, Legionela spp, M. tuberkulosa, Jamur endemik.

SPM PARU 2006 16

3. Pemeriksaan penunjang a. Foto toraks

- penting untuk menegakkan diagnosis

- gambaran infiltrat sampai konsolidasi dengan air bronchogram, penyebaran bronkogenik, dan interstisial

- tidak khas untuk menentukan etiologi pneumoni - hanya petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya: pneumoni lobaris: S. pneumoni

infiltrat bilateral/bronkopneumoni: P. aeruginosa

konsolidasi lobus kanan atas dengan bulging fisura interlobaris: Klebsiela pneumoni

b. Laboratorium

- leukositosis (10.000-30.000/cmm) - hitung jenis : shift to the left - LED meningkat

c. Pemeriksaan dahak, kultur darah, dan serologi - untuk menentukan diagnosis etiologi

- kultur darah positip pada 20-25% penderita yang tidak diobati d. Analisa gas darah

- hipoksemia dan hipokarbia

- asidosis respiratorik pada stadium lanjut

DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan berdasarkan pada : 1. Gambaran klinis

- suhu tubuh meningkat > 400C

- menggigil

- batuk dengan dahak purulen dapat disertai darah - nyeri dada

2. Pemeriksaan fisik tanda-tanda konsolidasi

1. zona luar: alveoli yang terisi dengan mikroorganisme dan cairan edema

2. zona permulaan konsolidasi: terdiri dari PMN dan beberapa eksudasi sel darah merah.

3. zona konsolidasi yang luas: daerah tempat terjadi fagositosis aktif dengan jumlah PMN yang banyak

4. zona resolusi : daerah tempat terjadi resolusi dengan banyak mikroorganisme yang mati, leukosit, dan makrofag alveolar.

SPM PARU 2006 17

- istirahat di tempat tidur

- minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi - bila panas dikompres atau minum obat antipiretik - bila perlu diberikan mukolitik dan ekspektoran

(14)

b. Pemberian antibiotika 2. Penderita rawat inap biasa a. Pengobatan suportif - pemberian oksigen

- infus rehidrasi dan nutrisi serta elektrolit

- pemberian obat simtomatik antipiretik, mukolitik b. Pemberian antibiotika

3. Penderita rawat inap di ruang intensif

sama seperti penderita di ruang rawat inap biasa, bila diperlukan dipasang ventilator mekanik. PENYULIT - Batuk darah - Efusi pleura - Empiema - Abses paru - Gagal napas - Kor-pulmonal akut - Syok septik PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan meliputi : - antibiotika (secara empirik) - pengobatan suportif

Penatalaksanaan dibagi menjadi : 1. Penderita rawat jalan

DIAGNOSIS BANDING

- Tuberkulosis

- Pneumonitis yang disebabkan oleh bahan kimia, radiasi, aspirasi bahan toksik, obat - Edema paru

- Infark paru

- Bronkiolitis obliterans

SPM PARU 2006 18

Rawat jalan = tanpa penyakit kardiopulmonal dan/atau faktor modifikasi (golongan I)

* golongan beta laktam atau beta laktam + anti beta laktamase

= dengan penyakit kardiopulmonal dan/atau faktor modifikasi (golongan II)

* golongan beta laktam + anti beta laktamase atau

* fluorokuinolon respirasi (levofloksasin, moksifloksasin, gatifloksasin)

= bila dicurigai pneumonia atipik

* + makrolid baru (klaritromisin, azitromisin, roksitromisin)

Rawat inap = tanpa penyakit kardiopulmonal dan/atau faktor modifikasi (golongan IIIB)

* golongan beta laktam + anti beta laktamase iv atau * sefalosporin g2, g3 iv atau

(15)

* flurokuinolon respirasi iv

= dengan penyakit kardiopulmonal dan/atau faktor modifikasi (golongan IIIA)

* sefalosporin g2, g3 iv atau * fluorokuinolon respirasi iv = bila dicurigai pneumonia atipik

* + makrolid baru (klaritromisin, azitromisin, roksitromisin)

Rawat ruang intensif = tidak ada faktor risiko infeksi pseudomonas (golongan IVA) * sefalosporin g3 iv nonpseudomonas + makrolid baru atau

fluorokuinolon respirasi iv

= ada faktor risiko infeksi pseudomonas (golongan IVB) * sefalosporin antipseudomonas atau karbapenem iv + fluorokuinolon antipseudomonas iv atau aminoglikosida iv

= bila dicurigai pneumonia atipik

* + makrolid baru (klaritromisin, azitromisin, roksitromisin)

Bila dengan antibiotika empirik tidak ada perbaikan/memburuk, terapi disesuaikan dengan bakteri penyebab dan uji sensitiviti

Faktor modifikasi, antara lain:

- Pneumokokus resisten terhadap penisilin : umur >65 th, memakai obat beta laktam selama 3 bulan terakhir, pecandu alkohol, kondisi imunosupresi, penyekit penyerta yang multipel.

- Bakteri enterik gram negatif : penghuni rumah jompo, mempunyai penyakit dasar kelainan jantung paru, penyakit penyerta multipel, riwayat pengobatan antibiotika. - Pseudomonas aeruginosa : bronkiektasis, pengobatan kortikosteroid >10mg/hari, pengobatan antibiotika spektrum luas >7 hari pada bulan terakhir, malnutrisi. Pemilihan antibiotika empirik : sesuai dengan golongan kuman penyebab

SPM PARU 2006 19

PROGNOSIS

Pada umumnya prognosis baik, tergantung dari faktor penderita, bakteri penyebab, dan penggunaan antibiotika yang tepat serta adekuat.

DAFTAR PUSTAKA

1. ATS. Guideline for the Management of Adults with CAP, Diagnosis, Assessment of Severity and Antimicrobial Therapy and Prevention. Am J Resp Crit Care Med

2001;163:1730-54

2. Bartlett JG et al. Practice Guideline for the Management of CAP in Adults. Clin Infect Dis, 2000;31:347

3. Chesnutt MS, Prendergast TJ. Lung. In : Current Medical Diagnosis & Treatment 2003. 42nd ed. Editors: Tierney LM, McPhee SJ, Papadakis MA. McGraw-Hill. 2003,

pp. 216-311

4. Fishman JA. Approach to the Patient with Pulmonary Infection. In: Fishman’s Manual of Pulmonary Diseases and Disorders. 3rd ed. Editors: Fishman AP, Elias JA, Fishman

JA, et al. McGraw-Hill Companies. 2002, p.676-8

5. Levison ME. Pneumonia, Including Necrotizing Pulmonary Infections (Lung Abscess). In : Harrison’s Principles of Internal Medicine. 14th ed. Editors: Fauci AS, Braunwald

(16)

6. Niederman MS, Sarosi GA. Respiratory Tract Infections. In: George RB, Light RW, Matthay MA, Matthay RA (Eds). Chest Medicine. Essential of Pulmonary and Critical Care Medicine. 4th . Lippincott Williams and Wilkins. 2000:377-429

7. Niederman MS. Guidelines for the Management of Community Acquired Pneumonia Selection Issues. Med Clin North Am. 2001;85:1493-1509

8. PDPI. Pneumonia Komuniti. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. Balai Penerbit FKUI. Jakarta, 2003, pp. 1-28

SPM PARU 2006 20

5. PNEUMONI IMUNOKOMPROMIS BATASAN

Infeksi parenkim paru yang terjadi pada penderita dengan daya tahan tubuh terhadap infeksi menurun, antara lain pada penderita dengan infeksi HIV, transplantasi organ solid maupun sumsum tulang, penyakit jaringan ikat, defisiensi imun primer, kemoterapi kanker.

ETIOLOGI

1. Menurunnya daya tahan tubuh 2. Adanya patogen oportunistik Adanya patogen oportunistik

Penderita ini suseptibel terhadap infeksi dengan organisme yang pada individu normal kurang virulen.

Secara epidemiologis paparan infeksi pada penderita imunokompromis dibagi 2 kategori : 1. paparan di komuniti : dipengaruhi faktor geografis dan status sosioekonomi

2. paparan di rumah sakit : paparan domiciliary (pada unit rumah sakit tempat penderita dirawat) dan nondomiciliary (paparan pada saat transpor antar unit di rumah sakit)

PATOGENESIS

Masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh imunokompromis melalui : 1. Saluran napas, yaitu melalui trakeostomi atau nebuliser

2. Kulit, melalui kateter iv atau suntikan 3. Saluran air seni, melalui kateter

GEJALA KLINIS

Terdiri dari gejala primer yang timbul karena penurunan daya tahan tubuh terhadap infeksi dan gejala yang berasal dari penyakit infeksinya sendiri.

Gejala infeksi dapat berupa batuk, sesak napas, panas badan, dan kelainan paru yang dapat berupa konsolidasi atau bercak infiltrat yang tersebar atau kelainan yang difus.

Pemeriksaan fisik

Tidak semua kelainan ini dapat diketahui dengan pemeriksaan fisik diagnostik, kecuali bila konsolidasi dan infiltrat cukup luas.

Foto toraks

Pemeriksaan foto toraks diperlukan untuk mendiagnosis adanya kelainan paru, terutama bila infiltrat kecil.

SPM PARU 2006 21 Splenektomi Komplemen Anatomik mieloma, ALL

(17)

sabit, sirosis

Defek kongenital / didapat Kateter iv / uretra, insisi, kebocoran anastomosis, ulserasi mukosa, insufisiensi vaskular S. pneumonia, H. influenza, E. coli, Salmonela, Capnocytophaga S. aureus, Neiseria spp, H. influenza, S. pneumonia Kolonisasi organisme,

organisme nosokomial resisten

HSV= Herpes Simplex Virus, VZV= Varicella Zoster Virus, CMV= Citomegalovirus, EBV= Epstein-Barr Virus, ALL= Acute Lymphocytic Leukemia

Infeksi terkait dengan defek imun spesifik Defek Penyebab umumnya Infeksi terkait Granulositopeni Kemotaksis netrofil Neutrophil killing Defek sel T Defek sel B Leukemia, kemoterapi sitotoksik, AIDS, toksisitas obat, sindrom Felty

Diabetes, alkoholism, uremia, penyakit Hodgkin, trauma (luka bakar), lazy leucocyte syndrome.

Penyakit granulomatosis kronik, defisiensi

mieloperoksidase

AIDS, kongenital, limfoma, sarkoidosis, infeksi virus, transplan organ, steroid Agamaglobulinemia didapat / kongenital, luka bakar, enteropati, disfungsi lien, Batang Gram negatif enterik, Pseudomonas, S. aureus, S. epidermidis, Streptokoki, Aspergilus, Candida dan fungi lain.

S. aureus, Candida, Streptokoki S. aureus, E. coli, Candida, Aspergilus, Torulopsis

(18)

Bakteri intraseluler (Legionela, Salmonella, Listeria,

Mikobakteria), HSV, VZV, CMV, EBV, parasit

(Strongiloides, P carinii, Toksoplasma), fungi (Candida, Criptokokus)

S. pneumonia, H. influenza, Salmonela dan Campilobakter spp, Giardia lamblia

ETIOLOGI

1. Menurunnya daya tahan tubuh 2. Adanya patogen oportunistik

SPM PARU 2006 22

4. Infeksi umumnya sudah meluas saat diketahui, oleh karena itu langkah-langkah diagnostik harus dikerjakan seperti kultur darah, cairan serebrospinal, dan lesi di tempat lain perlu dicari.

5. Karena infeksi dapat fatal, maka terapi harus segera diberikan secara empirik, dengan memepertimbangkan kemungkinan etiologinya berdasarkan atas penyakit dasar dan petunjuk lain yang ada.

6. Adanya suatu wabah infeksi di tempat penderita berada, memberi petunjuk kemungkinan etiologinya.

7. Infeksi sering lebih dari satu macam mikroorganisme.

8. Hasil terapi sangat tergantung pada : luas atau berat penyakit dasar, respons terhadap terapi dan derajat serta lamanya netropenia.

Langkah-langkah diagnostik untuk menentukan etiologi harus dilakukan sebelum pemberian antibiotika.

Diagnostik rutin

1. Pemeriksaan bakteriologi dari sputum, cairan pleura, dan darah. 2. Tes serologi untuk jamur, virus, dan bakteri.

3. Bila tindakan rutin belum mendapat hasil, maka dapat dilakukan tindakan diagnostik yang invasif, seperti :

a. Aspirasi transtrakeal (untuk kandida dan aspergilosis hasil aspirasi transtrakeal masih meragukan oleh karena kolonisasi)

b. Bronkoskopi serat optik c. Aspirasi paru transtorakal dan d. terakhir biopsi paru terbuka.

DIAGNOSIS

Untuk menegakkan diagnosis pneumoni pada penderita imunokompromis, maka perlu dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut :

1. Walaupun infeksi merupakan penyulit paru yang paling sering terjadi, tetapi kelainan non infeksi sering juga terjadi di paru yang menimbulkan gambaran klinik yang sama dengan infeksi ( lihat diagnosis banding )

2. Walaupun semua mikroorganisme dapat menyebabkan pneumoni pada penderita immunocompromised, infeksi bakteri merupakan penyebab yang paling sering dan di antara bakteri penyebab maka Pseudomonas, Klebsiela, E. koli, Stafilokokus aureus yang

(19)

paling sering.

3. Walaupun infeksi paru merupakan tempat infeksi primer, tetapi tidaklah selalu demikian pada penderita imunokompromis, oleh karena itu upayakan mencari kemungkinan infeksi primer di tempat lain.

SPM PARU 2006 23

DAFTAR PUSTAKA

1. Chesnutt MS, Prendergast TJ. Lung. In : Current Medical Diagnosis & Treatment 2003. 42nd ed. Editors: Tierney LM, McPhee SJ, Papadakis MA. McGraw-Hill.

2003, pp. 256

2. Fishman JA. Pulmonary Infection in Immunocompromised Hosts. In : Fishman’s Manual of Pulmonary Diseases and Disorders. 3rd ed. Editors: Fishman AP, Elias

JA, Fishman JA, et al. McGraw-Hill Companies. 2002, pp. 941-51

3. Fraser RS, Pare JAP, Fraser RG, Pare PD. Synopsis of Diseases of The Chest. 2nd

ed. WB Saunders. 1994, pp 705-38

4. Fraser RS, Pare JAP, Fraser RG, Pare PD, Genereux GP. The

Immunocompromised Host. In: Diagnosis of Diseases of the Chest. 3rd ed. Book

II.Philadelphia.

WB Saunders. 1989, pp. 806-7

5. Gerberding JL. General Principles and Diagnostic Approach. In: Textbook of Respiratory Medicine. 3rd ed. Editors: Murray JF, Nadel JA. WB Saunders. 2000,

p. 923-6

PENATALAKSANAAN

- Terapi antibiotika empirik sesuai dengan perkiraan penyebab infeksi - Sebaiknya menggunakan antibiotika sinergistik

- Tidak cukup hanya antibiotika, perlu perbaikan respons imun host - menurunkan imunosupresan eksogen

- mengkoreksi netropenia dengan growth factor

- terapi simultan infeksi yang merupakan predisposisi superinfeksi (misal respiratory syncytial virus, CMV)

- Bila mungkin diberikan vaksin (dimatikan/konjugat) sebelum imunosupresi atau splenektomi.

PROGNOSIS

Prognosis tergantung jenis dan berat penyakit dasar, jenis dan berat infeksi paru.

DIAGNOSIS BANDING

Penyakit keganasan paru, infark paru, perdarahan intrapulmoner, penyakit paru akibat obat-obatan, pneumoni radiasi, edema paru kardiogenik maupun non kardiogenik dan pneumonitis interstisial yang tidak spesifik.

SPM PARU 2006 24

6. PNEUMONI ATIPIKAL BATASAN

Pneumoni atipik adalah pnumoni yang disebabkan oleh bakteri atipik.

ETIOLOGI

Mycoplasma pneumonia, chlamidia pneumonia, Legionela spp. (paling sering).

Lainnya : Chlamidia psittasi, Coxiela burnetii, virus Influenza tipe A & B, Adenovirus, Respiratory Syncitial Virus.

(20)

Infeksi menyebar melalui saluran napas. Infeksi ini dapat berjalan asimtomatik.

Timbulnya penyakit perlahan. Kelainan dapat terjadi pada saluran napas atas sampai ke alveoli.

DIAGNOSIS

- Gejala saluran napas: demam, batuk nonproduktif, dan gejala sistemik berupa nyeri kepala, mialgia, dermatitis (ruam makulopapular).

- Pemeriksaan fisik : ronki basah tersebar, jarang terjadi konsolidasi. - Foto toraks: infiltrat interstisial

- Laboratorium: leukositosis ringan, pewarnaan gram, biakan dahak atau darah tidak ditemukan adanya bakteri

Tes diagnostik :

- isolasi biakan sensitivitinya rendah

- deteksi antigen enzyme immunoassays (EIA) - Polymerase Chain Reaction (PCR)

- Uji serologi * cold agglutinin

* uji fiksasi komplemen merupakan standar untuk diagnosis M. peumonia

* micro immunofluoresence (MIF) standar serologi untuk C. pneumonia * antigen dari urin untuk Legionella

SPM PARU 2006 25

- Radiologis - Laboratorium

- Gangguan fungsi hati patchy atau normal leukosit normal / kadang rendah sering konsolidasi lobar lebih tinggi jarang PENATALAKSANAAN

Antibiotika masih tetap merupakan pengobatan utama, selain obat simtomatik. Pilihan antibiotika :

Makrolid : eritromisin, azitromisin, klaritromisin, roksitromisin Fluorokuinolon respirasi

Tetrasiklin, doksisiklin

PROGNOSIS

Pada umumnya baik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Fishman JA. Approach to the Patient with Pulmonary Infection. In: Fishman’s Manual of Pulmonary Diseases and Disorders. 3rd ed. Editors: Fishman AP, Elias JA, Fishman

JA, et al. McGraw-Hill Companies. 2002, p.678-80

2. Goetz MB, Finegold SM. Pyogenic Bacterial Pneumonia, Lung Abscess, and Empyema. In: Textbook of Respiratory Medicine. 3rd ed. Editors: Murray JF, Nadel

(21)

3. Gupta SK, Sadosi GA. The Role of Atypical Pathogens in Community-Acquired Pneumonia. Med Clin North Am 2001;85:1349-65

4. Levison ME. Pneumonia, Including Necrotizing Pulmonary Infections (Lung Abscess). In : Harrison’s Principles of Internal Medicine. 14th ed. Editors: Fauci AS, Braunwald

E, Isselbacher KJ, et al. McGraw-Hill. 1998, pp.1437-45

5. PDPI. Pneumonia Komuniti. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. Balai Penerbit FKUI. Jakarta, 2003, pp. 1-28

Tanda dan gejala Pneumoni atipik Pneumoni tipikal - Onset

- Suhu - Batuk - Dahak - Gejala lain

- Gejala di luar paru - Pewarnaan Gram gradual

kurang tinggi nonproduktif mukoid

nyeri kepala, mialgia, sakit tenggorok, parau, nyeri telinga

sering

flora normal atau spesifik Akut tinggi, menggigil produktif purulen jarang lebih jarang

kokus gram + atau –

Perbedaan gambaran klinik pneumonia atipik dengan pneumonia tipik

SPM PARU 2006 26

7. PNEUMONI NOSOKOMIAL BATASAN

Infeksi pada parenkim paru yang terjadi lebih dari 48 jam setelah rawat inap di rumah sakit dan tidak dijumpai infeksi paru saat penderita masuk rumah sakit.

PATOGENESIS

Bakteri dapat menyerang traktus respiratorius bagian bawah melalui 3 jalan : 1. aspirasi flora orofaringeal

2. inhalasi aerosol terinfeksi

3. penyebaran hematogen dari fokus infeksi di tempat lain

Kemungkinan lain dapat diakibatkan translokasi bakteri dari traktus gastrointestinal.

FAKTOR RISIKO

1. faktor intrinsik host : umur, penyakit dasar, status nutrisi

(22)

perawatan di ICU

3. penggunaan alat : intubasi dengan ventilasi mekanik

4. faktor yang meningkatkan risiko aspirasi : kesadaran menurun

DIAGNOSIS

Biasanya ditandai panas, batuk, sputum purulen. Pemeriksaan fisik dijumpai konsolidasi.

Foto toraks : dapat dijumpai infiltrat baru atau progresif.

Laboratorium : leukositosis, sputum Gram, kultur, kultur darah, aspirat trakea, maupun dengan bronchoalveolar lavage melalui bronkoskopi.

PENATALAKSANAAN

Berat

Faktor risiko Tidak Ya Tidak Ya

Onset kapanpun Onset kapanpun Onset dini Onset lanjut Onset kapanpun

Tabel 1 Tabel 2 Tabel 1 Tabel 3 Tabel 3 Ringan sampai sedang

Faktor risiko

Derajat berat pneumoni

SPM PARU 2006 27

Tabel 1. Etiologi dan terapi pada penderita dengan pneumoni nosokomial ringan sampai sedang, tanpa faktor risiko, onset kapanpun, atau pneumoni nosokomial berat onset dini

Organisme inti Antibiotika inti

-Basil gram negatif (nonpseudomonas) Enterobakter spp., Escherichia coli, Klebsiela spp, Proteus spp, Serratia marcescens, H. influenzae

-Kokus gram positif S. aureus sensitif metisilin Streptokokus pneumonia

Piperasilin-tazobaktam 3,375g iv/4jam atau Piperasilin-tazobaktam 4,5g iv/6 jam atau Sefotaksim 1-2 g iv / 8 jam atau

Seftriakson 1 g iv / 12 jam atau Bila alergi penisilin/sefalosporin : Klindamisin atau Vankomisin + Siprofloksasin iv atau Aztreonam

Tabel 2. Etiologi dan terapi pada penderita dengan pneumoni nosokomial ringan sampai sedang dengan faktor risiko, onset kapanpun

Organisme inti + Antibiotika inti +

Anaerob (baru operasi abdomen, diketahui aspirasi)

S. aureus (koma, trauma kepala, diabetes melitus, gagal ginjal)

Legionela spp

(23)

dosis tinggi, antibiotika, penyakit struktural paru)

Klindamisin 600mg iv/8 jam atau Piperasilin-tazobaktam 3,375g iv/4 jam +/- vankomisin (sampai S aureus resisten metisilin dieksklusi)

Eritromisin 1g/6 jam +/- rifampin Terapi sebagai pneumonia nosokomial berat

Tabel 3. Etiologi dan terapi pada penderita dengan pneumoni nosokomial berat dengan faktor risiko, onset dini, atau pneumoni nosokomial berat onset lanjut

Organisme inti + Antibiotika inti P. aeruginosa

Acinetobacter spp.

Pertimbangkan S. aureus resisten metisilin Aminoglikosida (gentamisin, tobramisin, amikasin) atau

Siprofloksasin 400 mg iv/12 jam + salah satu berikut :

Piperasilin-tazobaktam 3,375g iv/4jam atau Piperasilin-tazobaktam 4,5g iv/6 jam atau Imipenem 500 mg iv/6 jam atau

Meropenem 1 g iv/8 jam atau Seftazidim 2 g iv/8 jam atau Sefepim 1-2 g iv/12 jam atau Sefpirom 2 g/12 jam

+ Vankomisin 1 g iv/12 jam jika curiga MRSA

SPM PARU 2006 28

Onset dini : pneumoni terjadi < 4 hari setelah rawat inap RS Onset lanjut : pneumoni terjadi > 5 hari setelah rawat inap RS Pneumoni nosokomial berat :

- perawatan di ruang rawat intensif (ICU)

- gagal napas, membutuhkan ventilasi mekanik atau membutuhkan O2 >35% untuk memenuhi saturasi >90%

- foto toraks progresif cepat, pneumoni multilobar atau kavitasi pada infiltrat paru - bukti sepsis berat dengan hipotensi dan/atau disfungsi organ:

syok (sistolik <90 mmHg atau diastolik <60 mmHg memerlukan vasopresor untuk > 4 jam

produksi urine <20 mL/jam atau total <80 mL dalam 4 jam gagal ginjal akut memerlukan dialisis

PENCEGAHAN

Pencegahan merupakan upaya penting, antara lain universal precautions, mencuci tangan yang baik, institusi isolasi, desinfeksi dan sterilisasi alat, dan lain-lain.

PROGNOSIS

(24)

- patogen gram negatif aerob, terutama P. aeruginosa - beratnya penyakit dasar

- terapi antibiotika yang tidak tepat - usia lanjut

- syok

- infiltrat bilateral

- terapi antibiotika sebelumnya - neoplasma

- durasi rawat inap sebelumnya

- posisi berbaring pada penderita dengan ventilasi mekanik

DAFTAR PUSTAKA

1. Chesnutt MS, Prendergast TJ. Lung. In : Current Medical Diagnosis & Treatment 2003. 42nd ed. Editors: Tierney LM, McPhee SJ, Papadakis MA. McGraw-Hill.

2003, pp. 295-7

2. Fishman JA, Weber DJ, Rutala WA, Mayhall CG. Nosocomial Respiratory Tract Infections and Gram-Negative Pneumonia. In : Fishman’s Manual of Pulmonary Diseases and Disorders. 3rd ed. Editors: Fishman AP, Elias JA, Fishman JA, et al.

McGraw-Hill Companies. 2002, pp.734-62

3. Zaleznik DF. Hospital-Acquired and Intravascular Device-Related Infections. In : Harrison’s Principles of Internal Medicine. 14th ed. Editors: Fauci AS, Braunwald

E, Isselbacher KJ, et al. McGraw-Hill. pp.846-9

SPM PARU 2006 29

PENCEGAHAN

Pencegahan merupakan upaya penting, antara lain universal precautions, mencuci tangan yang baik, institusi isolasi, desinfeksi dan sterilisasi alat, dan lain-lain.

PROGNOSIS

Faktor risiko mortalitas penderita pneumoni nosokomial : - patogen gram negatif aerob, terutama P. aeruginosa - beratnya penyakit dasar

- terapi antibiotika yang tidak tepat - usia lanjut

- syok

- infiltrat bilateral

- terapi antibiotika sebelumnya - neoplasma

- durasi rawat inap sebelumnya

- posisi berbaring pada penderita dengan ventilasi mekanik

DAFTAR PUSTAKA

1. Chesnutt MS, Prendergast TJ. Lung. In : Current Medical Diagnosis & Treatment 2003. 42nd ed. Editors: Tierney LM, McPhee SJ, Papadakis MA. McGraw-Hill.

2003, pp. 295-7

2. Fishman JA, Weber DJ, Rutala WA, Mayhall CG. Nosocomial Respiratory Tract Infections and Gram-Negative Pneumonia. In : Fishman’s Manual of Pulmonary Diseases and Disorders. 3rd ed. Editors: Fishman AP, Elias JA, Fishman JA, et al.

McGraw-Hill Companies. 2002, pp.734-62

(25)

Harrison’s Principles of Internal Medicine. 14th ed. Editors: Fauci AS, Braunwald

E, Isselbacher KJ, et al. McGraw-Hill. pp.846-9

SPM PARU 2006 30

8. ABSES PARU BATASAN

Abses paru adalah lesi paru supuratif yang disertai dengan nekrosis jaringan di dalamnya. Dikenal pula dengan istilah necrotizing pneumonia bila lesi supuratif nekrosis (kavitas) multipel.

ETIOLOGI

Kuman penyebab biasanya terdiri dari campuran kuman aerob dan anaerob (Peptokokus, Peptostreptokokus, Fusobakterium spp., Bakteroides spp.) yang merupakan flora normal di orofaring. Penyebab paling sering bakteri piogenik terutama mikroba anaerob.

Abses dapat terjadi karena : 1. aspirasi

2. penyulit pneumonia

3. trauma paru yang terinfeksi

4. infark paru yang terinfeksi atau berasal dari empiema

Dalam pembicaraan selanjutnya hanya abses paru yang disebabkan oleh aspirasi yang akan diuraikan lebih lanjut.

PATOGENESIS

Infeksi akan mudah timbul bila ada faktor predisposisi, seperti:

1. Ada sumber infeksi dari saluran napas yaitu infeksi mulut, tumor laring yang terinfeksi, bronkiektasis yang terinfeksi, dan tumor paru yang terinfeksi

2. Daya tahan saluran napas yang menurun, karena ada gangguan seperti paralisis laring, kesadaran menurun, akalasia, karsinoma esofagus, dan gangguan ekspektorasi.

3. Obstruksi mekanik saluran napas oleh karena aspirasi bekuan darah, pus, gigi, muntahan, tumor bronkus.

Bahan yang terhisap akan masuk ke dalam paru yang letaknya lebih rendah (gravity dependent segment). Pada posisi tegak aspirat akan menuju segmen basal dari lobus inferior, terutama paru kanan, tetapi bila aspirasi terjadi pada waktu tidur terlentang, aspiratnya akan menuju ke segmen posterior lobus superior dan segmen superior lobus inferior.

Proses dimulai sebagai suatu pneumonia dan bila tidak mendapat terapi yang adekuat, maka proses akan berkembang manjadi necrotizing pneumonia atau abses paru.

PATOLOGI

Kavitas yang terjadi akibat nekrosis jaringan, dikelilingi dinding tebal dan radang paru sekitarnya. Biasanya kavitas mempunyai hubungan dengan bronkus.

SPM PARU 2006 31

DIAGNOSIS

Diagnosis abses paru akibat aspirasi ditegakkan dengan :

1. Adanya riwayat aspirasi terutama pada penderita-penderita dengan gangguan kesadaran, gangguan menelan. Pada keadaan tidur sering terjadi aspirasi yang tidak disadari. Keadaan predisposisi lain untuk infeksi anaerob.

2. Gejala klinik yang khas: perjalanan penyakit yang kronis dan indolen. Batuk dengan dahak purulen berbau busuk.

(26)

aspirasi.

Pemeriksaan penunjang

Laboratorium

- darah tepi : lekosit meningkat sedang 12.000-20.000/ml, LED meningkat, anemia - dahak : Pengecatan gram, didapatkan banyak PMN, serta bakteri dari berbagai jenis.

Foto toraks

Rongga soliter berdinding tebal yang dikelilingi konsolidasi biasanya disertai air fluid level.

Diagnosis biasanya didasarkan pada radiologi toraks.

DIAGNOSIS BANDING

1. Tuberkulosis paru : biasanya tidak disertai air fluid level

2. Karsinoma bronkogenik yang mengalami nekrosis. Dinding kavitas tebal, tidak rata 3. Bula atau kista yang terinfeksi dengan dinding tipis, di sekitarnya tidak ada reaksi radang.

4. Hematom paru ditandai dengan riwayat trauma, tidak ada gejala infeksi. 5. Sekuester paru yang mengalami abses. Tidak ada hubungan dengan bronkus (bronkografi).

6. Pneumokoniosis yang mengalami kavitasi dan ditandai ada simple pneumoconiosis di sekitarnya

PENYULIT

1. Batuk darah profus

2. Empiema atau piopneumotoraks 3. Abses otak

4. Anemia, kakeksi dan amiloidosis dapat timbul pada penyakit yang kronik

GEJALA KLINIS

Batuk, dahak berbau busuk (foetor ex ore), panas badan, nyeri pleuritik, badan tambah kurus, berkeringat malam. Perjalanan penyakit yang khas adalah kronik dan lamban (chronic and indolent) yang berpotensi untuk terjadinya penyulit yang mendadak dan gawat seperti abses otak, batuk darah profus, piopneumotoraks.

SPM PARU 2006 32

- amoxicilin 500 mg/8jam atau penisilin G 1-2juta unit iv/4-6 jam, ditambah metronidazol 500 mg po/iv tiap 8-12 jam

- penisilin G 1,2 juta unit im/12 jam + kloramfenikol 500 mg/6jam Antibiotika sebaiknya diberikan sampai foto toraks membaik. b. Drainase postural dan fisioterapi

Posisi tubuh diatur sedemikian rupa sehingga pus dapat keluar dengan sendirinya (akibat gaya berat) atau dengan bantuan fisioterapis.

2. Penatalaksanaan khusus

a. Bronkoskopi

Bila pus sukar keluar, maka perlu dilakukan bronkoskopi untuk membersihkan jalan napas dan menghisap pus.

b. Pembedahan

Bila antibiotika gagal. Abses menjadi kronik, kavitas tetap ada dan produksi dahak tetap ada sedangkan gejala klinis masih ada setelah terapi yang memadai selama 6 minggu atau adanya sisa jaringan parut yang luas sehingga dapat

(27)

mengganggu faal paru. Hal ini semuanya merupakan indikasi tindakan bedah.

PROGNOSIS

Bila pengobatan tepat, tidak terlambat maka prognosisnya baik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Chesnutt MS, Prendergast TJ. Lung. In : Current Medical Diagnosis & Treatment 2003. 42nd ed. Editors: Tierney LM, McPhee SJ, Papadakis MA. McGraw-Hill. 2003,

pp. 216-311

2. Fishman JA. Approach to the Patient with Pulmonary Infection. In: Fishman’s Manual of Pulmonary Diseases and Disorders. 3rd ed. Editors: Fishman AP, Elias JA, Fishman

JA, et al. McGraw-Hill Companies. 2002, p.672

3. Fraser RG, et al. Pneumonia. In: Diagnosis of Diseases of the Chest. Book II. 3rd ed.

Philadelphia.WB Saunders. 1989, pp 807-27

4. Gerberding JL. General Principles and Diagnostic Approach. In: Textbook of Respiratory Medicine. 3rd ed. Editors: Murray JF, Nadel JA. WB Saunders. USA,

2000, p. 921

5. Goetz MB, Finegold SM. Pyogenic Bacterial Pneumonia, Lung Abscess, and Empyema. In: Textbook of Respiratory Medicine. 3rd ed. Editors: Murray JF, Nadel

JA. WB Saunders. USA, 2000, pp. 1030-1

PENATALAKSANAAN 1. Penatalaksanaan umum

Memperbaiki keadaan umum penderita dengan diit TKTP dan minum banyak. a. Antibiotika

- klindamisin 600 mg iv/8 jam, membaik dilanjutkan 300 mg po/6jam - amoxicilin-clavulanate 875 mg po/12 jam

SPM PARU 2006 33

9 PENYAKIT PARU KERJA BATASAN

Penyakit paru kerja adalah semua kelainan atau penyakit paru yang disebabkan oleh pekerjaan dan atau lingkungan kerja. Penyakit paru kerja dapat berupa peradangan, penimbunan debu, fibrosis, tumor dan sebagainya.

Noksa adalah bahan yang bisa merusak struktur anatomis organ tubuh dan sekaligus menimbulkan perubahan fungsi.

Noksa di lingkungan kerja : 1. debu organik : nabati, hewani

debu kapas (byssinosis), debu padi-padian (grain disease), debu kayu

2. debu inorganik : pertambangan, industri logam, keramik silikosis, asbestosis

3. gas iritan : industri petrokimia, farmasi SO2, NO2

Pneumokoniosis adalah kelainan paru akibat inhalasi debu partikel inorganik dengan manifestasi patologisnya.

MEKANISME PENIMBUNAN NOKSA DI PARU

1. Impaksi inertia (kelambanan): - partikel ukuran 2 – 100 um

(28)

sehingga mudah membentur selaput lendir dan terperangkap percabangan bronkus besar

2. Sedimentasi (gravitasi) : - partikel ukuran 0,5 – 2 um

- mengendap di percabangan bronkus kecil & bronkioli. Gravitasi pengendapan dimungkinkan karena aliran udara lamban

3. Gerakan Brown (difusi): - partikel ukuran + 1 um

- akibat gerakan Brown maka partikel akan membentur permukaan alveoli dan mengendap BAB lll

PENYAKIT PARU

BA

KERJA

SPM PARU 2006 34

MEKANISME PERTAHANAN PARU TERHADAP NOKSA

1. arsitektur saluran napas

2. lapisan cairan dan silia (mucociliary escalator)

3. mekanisme pertahanan spesifiik (humoral dan seluler)

KELAINAN ANATOMIS PARU AKIBAT NOKSA

1. iritasi mukosa saluran napas berakibat sembab mukosa, hipersekresi lendir 2. hipereaktiviti bronkus

3. bronkospasme

4. radang granuler yang biasanya difus pada parenkim paru 5. pembentukan jaringan fibrosis

6. terjadi neoplasma pada paru maupun pleura

PERUBAHAN FAAL PARU

1. kelainan ventilasi : restriksi, obstruksi, campuran 2. kelainan difusi

3. kelainan perfusi 4. gabungan ketiganya

Kelainan anatomis maupun faal paru yang terjadi dapat reversibel atau menetap. 4. Intersepsi :

- partikel berbentuk serat (fiber), dengan perbandingan panjang : diameter = 3 : 1

- karena bentuknya, mudah tersangkut mukosa saluran napas 5. Elektrostatik

- daya tarik elektrostatik antara partikel – mukosa saluran napas, berperan pula dalam pengendapan noksa

Debu respirable ukuran 1-3 um tertahan dan tertimbun di saluran napas kecil yaitu bronkiolus terminalis hingga alveoli.

SPM PARU 2006 35

ABNORMALITAS FOTO TORAKS

Klasifikasi kelainan parenkim paru didasarkan pada klasifikasi ILO sbb : Klasifikasi Diameter & Deskripsi

(29)

Opasitas kecil -Opasitas bulat p q r -Opasitas ireguler s t u Diameter < 1,5 mm Diameter 1,5-3,0 mm Diameter 3,0-10,0 mm Diameter < 1,5 mm Diameter 1,5-3,0 mm Diameter 3,0-10,0 mm Opasitas besar A B C

Diameter 10-50 mm atau opasitas multipel, masing-masing diameter > 10 mm dengan diameter gabungan < 50 mm Diameter > 50 mm atau opasitas multipel dengan diameter gabungan < area lobus atas kanan

Opasitas tunggal atau beberapa opasitas besar > area lobus atas kanan

Profusi opasitas kecil Kategori :

0 1 2

Opasitas kecil tidak ada atau kurang profus dibandingkan kategori 1

Opasitas kecil ada tapi sedikit, lung marking normal tidak tertutup

3

Skala profusi : 12

Opasitas kecil banyak, lung marking normal biasanya sebagian tertutup

Opasitas kecil sangat banyak, lung marking normal lebih tertutup 0/-, 0/0, 0/1, 1/0, 1/1, 1/2, 2/1, 2/2, 2/3, 3/2, 3/3, 3/+

angka I : menunjukkan kategori terpilih

angka II : menunjukkan kategori alternatif yang perlu dipertimbangkan secara serius

SPM PARU 2006 36

DAFTAR PUSTAKA

(30)

Environmental Respiratory Disease. Editors: Harber P, Schenker MB, Balmes JR. Mosby. 1996, pp.12-139

2. Chesnutt MS, Prendergast TJ. Lung. In : Current Medical Diagnosis & Treatment 2003. 42nd ed. Editors: Tierney LM, McPhee SJ, Papadakis MA. McGraw-Hill.

2003, pp. 295-7

3. Fraser RS, Pare JAP, Fraser RG, Pare PD. Synopsis of Diseases of The Chest. 2nd

ed. WB Saunders. 1994, pp 705-38

4. Speizer FE. Environmental Lung Disease. In : Harrison’s Principles of Internal Medicine. 14th ed. Editors: Fauci AS, Braunwald E, Isselbacher KJ, et al.

McGraw-Hill. pp.1429-31

5. Tanoue LT. Occupational Lung Disorders: General Principles and Approaches. In : Fishman’s Manual of Pulmonary Diseases and Disorders. 3rd ed. Editors:

Fishman AP, Elias JA, Fishman JA, et al. McGraw-Hill Companies. 2002, pp.217-29

SPM PARU 2006 37

10 ASBESTOSIS BATASAN

Asbestosis adalah pneumonitis interstisial dan fibrosis difus yang disebabkan oleh paparan debu/serat asbestos.

Asbestos adalah serat (fibrus) terhidrasi magnesium silikat yang tidak terhancurkan oleh alam, tahan api, dapat dipintal.

Asbestos dibagi 2 kelompok : kelompok serpentine (chrysotile) & kelompok amphibole (crocidolite, amosite, anthophyllite, tremolite, actinolite)

EPIDEMIOLOGI

Asbestosis dapat mengenai karyawan yang bekerja di lingkungan terpapar asbestos dan juga keluarganya, oleh karena debu asbestos dapat terbawa pulang lewat baju

terkontaminasi. Konsumsi asbestos dunia mencapai puncaknya tahun 1973. Konsumsi menurun kurang lebih 50% sejak 1990-an. Risiko untuk mengalami gangguan fungsional dan radiologis abnormal sekitar 1% pada paparan 200 serat-tahun/cc.

Asbestosis banyak dialami pada pekerja tambang asbestos, pekerja industri yang banyak menggunakan bahan asbestos, industri pipa, penduduk sekitar tambang/industri,

penduduk urban di mana bahan rumah mengandung asbestos.

PATOFISIOLOGI

Serat asbestos terdeposit di bronkiolus respiratorius dan alveoli dengan impaksi, sedimentasi, intersepsi. Klirens inkomplit serat oleh makrofag dapat berakibat fibrosis paru. Derajat fibrosis pada asbestosis terkait muatan debu asbestos. Bila muatan debu sedikit, reaksi jaringan mungkin terbatas, penyakit dapat ringan dan tidak berkembang. Bila muatan debu besar, reaksi jaringan dan alveolitis lebih intens, terjadi jejas yang lebih berat, kronik dan dapat berkembang progresif. Terbukti adanya hubungan dose-response pada pekerja asbestos. Prevalensi asbestosis meningkat dengan meningkatnya intensitas dan durasi paparan.

Awalnya paparan serat asbestos akan menimbulkan fibrosis pada dinding bronkiolus respiratorius utamanya cabang pertama, berlanjut mengenai cabang kedua, ketiga. Pada peribronkiolus dapat timbul reaksi seluler yang mengakibatkan penyempitan dan obstruksi lumen jalan napas. Perjalanan penyakit, fibrosis menjadi difus, arsitektur paru mengalami remodeling ekstensif, dan berbentuk sarang tawon.

(31)

SPM PARU 2006 38

GEJALA KLINIS

Keluhan yang timbul adalah sesak napas pada waktu latihan dan keluhan ini baru timbul setelah fibrosis yang progresif dalam beberapa tahun. Sesak napas bersifat progresif. Keluhan ini akan terus berlanjut meskipun penderita dikeluarkan dari paparan asbestos, sampai penderita meninggal 15 tahun kemudian.

Asbestosis biasanya akan timbul setelah terkena paparan selama 15-20 tahun, namun demikian juga tergantung dari tingginya kadar asbes. Apabila kadarnya tinggi bisa timbul dalam waktu hanya 3 tahun setelah mulai terkena paparan.

Sesak napas dapat disertai batuk persisten, produksi sputum, dada sesak, dan wheezing.

PEMERIKSAAN FISIK

Tidak spesifik.

Yang pertama kali didapatkan suara napas seperti ronki basah pada akhir inspirasi di daerah bagian bawah paru, sebagai tanda mulai adanya fibrosis di daerah tersebut. Apabila penyakit berlanjut akan timbul takipnea, sianosis, dan clubbing finger. Gerakan dinding dada akan berkurang dan timbul tanda-tanda adanya kor pulmonal berupa gelombang a yang tinggi pada arteri jugularis, ventrikel kanan prominen, dan didapat suara jantung III dan IV di daerah epigastrium.

FOTO TORAKS

Asbestosis dapat terjadi di paru mapun pleura. Paru :

Pada tahap awal akan tampak kesuraman yang berbentuk garis dengan ketebalan antara 1 sampai 3 mm, terutama di bagaian bawah. Dengan bertambahnya kesuraman tersebut akan timbul kekaburan vascular pattern dan batas antara diafragma dan jantung. Meski jarang bisa tampak gambaran noduler.

Volume paru akan berkurang disertai dengan timbulnya kista dan gambaran honey comb, pembesaran jantung dan arteri pulmonalis sebagai tanda adanya kor

pulmonal. Jarang sekali didapatkan massa. Pleura :

Timbul penebalan dan kalsifikasi, seringkali berupa obliterasi pada kedua sinus disertai dengan kalsifikasi di daerah diafragma dan plak yang menutup kosta bagian posterior.

Tes faal paru

Penurunan kapasitas vital yang progresif, penurunan volume total paru, volume residu normal atau sedikit meningkat, dan penurunan kapasitas difusi terhadap CO, peningkatan tekanan statik recoil serta penurunan compliance paru.

SPM PARU 2006 39

DIAGNOSIS

Anamnesis : lingkungan yang terkena paparan debu asbes.

Didapatkan opasitas kecil ireguler, dengan atau tanpa penebalan pleura, biasanya terkait dispnea, ronki, perubahan faal paru.

PA dari biopsi jaringan: didapatkan asbestos body atau uncoated asbestos

PENATALAKSANAAN

Tidak ada obat yang dapat mempengaruhi perjalanan klinik asbestosis. Pengobatan hanya bersifat simtomatis.

(32)

1. Kanker paru dan mesotelioma maligna

2. Kor pulmonal kronik kompensata/dekompensata

PROGNOSIS

Jelek.

DAFTAR PUSTAKA

1. Begin R, Samet JM, Shaikh RA. Asbestos. In : Occupational and Environmental Respiratory Disease. Editors: Harber P, Schenker MB, Balmes JR. Mosby. 1996, pp.293-21

2. Chesnutt MS, Prendergast TJ. Lung. In : Current Medical Diagnosis & Treatment 2003. 42nd ed. Editors: Tierney LM, McPhee SJ, Papadakis MA. McGraw-Hill.

2003, pp. 295-7

3. Pare & Fraser. Synopsis of Diseases of The Chest. 2nd ed. WB Saunders. 1994,

pp 705-38

4. Seaton A. Asbestosis. In : Occupational Lung Diseases. 2nd ed. Editors: Morgan

WKC, Seaton A. Philadelphia.WB Saunders. 1984, pp 323-76

5. Speizer FE. Environmental Lung Disease. In : Harrison’s Principles of Internal Medicine. 14th ed. Editors: Fauci AS, Braunwald E, Isselbacher KJ, et al.

McGraw-Hill. pp.1429-31

6. Tanoue LT. Asbestos-Related Lung Disease. In : Fishman’s Manual of Pulmonary Diseases and Disorders. 3rd ed. Editors: Fishman AP, Elias JA, Fishman JA, et al.

McGraw-Hill Companies. 2002, pp.217-29

SPM PARU 2006 40

11 SILIKOSIS BATASAN

Penyakit paru akibat inhalasi jangka panjang debu silika kristalin bebas (silikon dioksid=SiO2).

BENTUK SILIKA

Silika kristalin (quartz, cristobalite, trydamite, stishovite, coesite), mikrokristalin, dan amorf (nonkristalin).

FAKTOR RISIKO

Pekerja tambang batubara/ batu mineral, pengecoran besi, kerajinan tanah liat, sandblasting, tungku pengecoran dengan bata tahan api, dan lain-lain.

Silikosis tergantung : diameter & bentuk partikel bebas, konsentrasi dalam udara, lama paparan, efek tambahan debu, adanya penyakit lain, kerentanan individu.

PATOFISIOLOGI DAN ETIOLOGI

Silika akan difagosit oleh makrofag, dengan akibat timbulnya kematian sel dan disertai dengan keluarnya enzim yang akan merangsang timbulnya fibrosis. Silika dengan

struktur tetrahedral (quartz, cristobalite, trydamite, coesite) merupakan bahan fibrogenik, sedang silika dengan struktur oktahedral (stishovite, amorf) tidak fibrogenik.

Diperkirakan ada faktor autoimun (artritis rematoid) seperti pada Caplan’s syndrome.

GEJALA KLINIS

Bentuk silikosis :

- silikosis kronik (klasik)

- silikosis terakselerasi (accelerated silicosis) - silikosis akut

(33)

dan keluhan berupa sesak napas yang progresif disertai panas badan, batuk, dan penurunan berat badan yang timbul beberapa bulan sampai 5 tahun setelah terkena paparan silika.

Kematian akan timbul pada penderita ini oleh karena hypoxic respiratory failure, dan perjalanan klinis ini tidak respons dengan pemberian steroid atau pengobatan lain. Sering terjadi infeksi oleh mikobakterium, nokardia, dan jamur.

Pemeriksaan patologi pada silikosis akut akan didapatkan paru yang mengeras dan membengkak serta rongga pleura terisi jaringan fibrin. Mikroskopis didapatkan infiltrasi sel plasma, limfosit serta fibroblas dengan kolagen pada dinding alveoli. Sedang alveoli terisi dengan endapan eosinofil yang bisa dicat dengan pengecatan Schiff.

SPM PARU 2006 41

massive fibrosis atau silkosis konglomerat terjadi bila satu atau lebih gabungan nodul kecil pada paru penderita dengan silikosis kronik menyatu membentuk gambaran lebih besar (>10 mm) pada foto toraks.

Pada pekerja dengan paparan silika yang tinggi (sandblasting, produksi tepung silika) perjalanan penyakit lebih progresif dan akan timbul fibrosis yang lebih hebat. Keadaan ini disebut accelerated silicosis dan timbul setelah paparan paling sedikit 10 tahun. Kondisi penderita bertambah buruk yang akhirnya jatuh dalam hypoxic respiratory failure. Pemeriksaan patologi pada silikosis kronik dan terakselerasi didapatkan nodul di daerah bronkus respiratorius sekitar arterioles dan di paraseptal serta jaringan subpleura. Struktur nodul ini konsentris dengan pusatnya merupakan jaringan kolagen yang

mengalami hialinisasi yang di pinggirnya terdapat jaringan retikulin. Sedangkan pada nodul yang baru terdapat fibroblas di pinggirnya.

DIAGNOSIS

Anamnesis : lingkungan yang tercemar dengan silika Radiologis : kelainan foto toraks sesuai dengan kriteria ILO

Pada silikosis terakselerasi kelainan radiologis sama dengan silikosis kronik,

namun timbulnya lebih cepat, dan ada tendensi kelainan timbul di lapangan paru atas dengan komplikasi infeksi atau pneumotoraks.

Pada silikosis akut tidak didapatkan kelainan noduler, tetapi berupa ground glass appearance seperti pada edema paru. Kelainan radiologis ini tidak khas untuk silikosis, tetapi sama dengan pneumokoniosis yang lain dan kadang mirip dengan tuberkulosis, tumor paru, edema paru atau penyakit paru kronis yang lain.

Tes faal paru : pada silikosis terakselerasi akan menimbulkan kelainan restriksi dan obstruks, sedang pada silikosis akut akan timbul restriksi yang progresif. Kelainan faal paru ini juga tidak khas untuk silikosis.

Bila ada riwayat paparan dan perubahan radiologis, diagnosis tidak sulit. Pada kasus dengan riwayat paparan tidak jelas, radiologis tidak khas, perlu BAL, biopsi paru (transbronkial, transtorakal, atau terbuka).

DIAGNOSIS BANDING

Kelainan paru yang menimbulkan kelainan paru difus serta kelainan faal paru restriksi dan gangguan difusi seperti sarkoidosis, cryptogenic fibrosing alveolitis, rhematoid lung, karsinomatus limfangitis, edema paru, tuberkulosis.

Pada silikosis kronik keluhan penderita biasanya berupa batuk produktif disertai

sesak napas yang progresif sesuai dengan luasnya fibrosis yang timbul serta didapatkan distorsi bronkus dan timbulnya emfisema. Pada tahap akhir penderita akan mengalami

(34)

gagal napas. Apabila kelainan utamanya restriktif penderita akan jatuh dalam korpulmonal. Pada pemeriksaan fisik biasanya tak dijumpai kelainan. Progressive

SPM PARU 2006 42

PROGNOSIS

Jelek

DAFTAR PUSTAKA

1. Chesnutt MS, Prendergast TJ. Lung. In : Current Medical Diagnosis & Treatment 2003. 42nd ed. Editors: Tierney LM, McPhee SJ, Papadakis MA. McGraw-Hill.

2003, pp. 295-7

2. Davis GS. Silica. In : Occupational and Environmental Respiratory Disease. Editors: Harber P, Schenker MB, Balmes JR. Mosby. 1996, pp.373-99

3. Pare & Fraser. Synopsis of Diseases of The Chest. 2nd ed. WB Saunders. 1994, pp

705-38

4. Seaton A. Silicosis. In : Occupational Lung Diseases. 2nd ed. Editors: Morgan

WKC, Seaton A. Philadelphia.WB Saunders. 1984, pp. 250-94

5. Speizer FE. Environmental Lung Disease. In : Harrison’s Principles of Internal Medicine. 14th ed. Editors: Fauci AS, Braunwald E, Isselbacher KJ, et al.

McGraw-Hill. pp.1429-31

6. Tanoue LT. Coal Worker’s Lung Disease and Silicosis. In : Fishman’s Manual of Pulmonary Diseases and Disorders. 3rd ed. Editors: Fishman AP, Elias JA,

Fishman JA, et al. McGraw-Hill Companies. 2002, pp.238-49

PENATALAKSANAAN

Tidak ada terapi khusus untuk silikosis. Terapi hanya ditujukan pada simtomatis dan penyulitnya.

Yang penting adalah pencegahan dengan jalan mengurangi atau kalau mungkin menghilangkan debu silika.

PENYULIT

- infeksi oportunistik , tuberkulosis - pneumotoraks

- rematoid atau penyakit kolagen lain - kor pulmonale

SPM PARU 2006 43

12 INHALASI AKUT GAS TOKSIK BATASAN

Gas toksik atau gas beracun merupakan suatu noksa bagi paru, karena merupakan bahan yang dapat menyebabkan perubahan struktural, fungsional, maupun gabungan keduanya secara bersama-sama.

Selain mengenai paru dapat pula mengenai organ lain sekaligus. Tetapi dapat juga hanya mengenai organ di luar paru, sedangkan paru tetap normal.

PATOFISIOLOGI

Reaksi paru terhadap paparan gas toksik dipengaruhi oleh : - faktor toksikan

sifat fisik dan kimia gas : bau gas, kelarutan dalam air intensitas ( konsentrasi / durasi ) paparan

- faktor host

Referensi

Dokumen terkait

- Penderita tidak demam atau tanpa gejala klinis lainnya,tapi - Penderita tidak demam atau tanpa gejala klinis lainnya,tapi.. Pengobatan malaria vivaks/ovale resisten

1) Penentuan tingkat kesesuaian agroklimat pengembangan tanaman nilam di Provinsi Lampung berdasarkan analisis curah hujan wilayah. 2) Penentuan peluang hujan bulanan yang

Setelah mencari dan mengolah informasi dari internet, siswa mampu menuliskankan informasi tentang peran Indonesia dalam berbagai bentuk kerja sama di bidang

Pada penelitian ini menggunakan PUFA (Polyunsaturated Fatty acid) dalam minyak jagung sebagai perlakuan kultur prea- diposit kelinci untuk mengamati kadar protein

Melihat perbedaan individual para wajib belajar tersebut penyelenggara program kejar Paket B harus dapat menyajikan materi pelajaran dengan suatu system penyampaian

Pengelolaan hutan kota merupakan faktor yang paling penting, Situ Cangkuang dan Situ Bagendit yang dikelola dengan baik memiliki kesehatan tegakan yang baik pula,

Tujuan penelitian untuk: (1) Mengetahui proses penerapan sebagai gambaran umum pemberian kredit pola Grameen Bank oleh Koperasi LEPP-M3 Tuban; (2)

Setelah mengikuti uraian di at as, maka kini timbul pertanyaan pada kita : dapatkah kita dewasa ini membentuk sebuah Undang-undang khusus yang memuat ketentuan