• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGANTAR. Jakarta, Juli Deputi Bidang SDA dan LH Endah Murniningtyas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGANTAR. Jakarta, Juli Deputi Bidang SDA dan LH Endah Murniningtyas"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

i

PENGANTAR

Laporan kegiatan koordinasi ini disusun sebagai hasil akhir dari pelaksanaan kegiatan Koordinasi Deputi Bidang Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup tahun 2011. Laporan ini merupakan kumpulan hasil dari berbagai kegiatan koordinasi baik berupa rapat koordinasi dan diskusi dengan para pakar, yang melibatkan praktisi dan lembaga perguruan tinggi di bidang sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Diskusi diarahkan untuk membicarakan mengenai tindak lanjut pemerintah setelah adanya komitmen Bapak Presiden untuk penurunan emisi gas rumah kaca yang diikuti dengan disusunnya rencana aksi penurunan emisi gas rumah kaca (RAN GRK) yang telah diterbitkan dalam bentuk Peraturan Presiden No. 61/2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK). Untuk melaksanakan RAN GRK, Kementerian PPN/Bappenas membentuk Tim Koordinasi Perubahan Iklim yang beranggotakan kementerian/lembaga terkait dengan pelaksanaan RAN GRK. Untuk pelaksanaan di tingkat daerah, sedang disusun RAD GRK oleh Pemda Provinsi sesuai mandat Perpres No. 61/2011 tersebut. Untuk membantu Pemda dalam menyusun RAD GRK, Kementerian PPN/Bappenas mengkoordinasikan penyusunan Pedoman Penyusunan RAD GRK dan melakukan bimbingan dan pelatihan untuk mengawal penyusunan RAD GRK yang dijadualkan selesai pada bulan September 2012. Sejalan dengan akan selesainya kerangka kerja pelaksanaan RAN GRK, Kementerian PPN/Bappenas mulai memikirkan langkah ke depan untuk menyusun konsep Ekonomi Hijau Indonesia. Sehubungan dengan itu, kegiatan koordinasi kedeputian SDA dan LH diarahkan untuk melakukan eksplorasi dan pendalaman mengenai ekonomi hijau dan hubungannya dengan pelaksanaan RAN GRK. Pendalaman berbagai bahan dari lembaga internasional dan bahan pustaka lain memberikan gambaran tersendiri mengenai definisi dan cakupan ekonomi hijau. sementara pengalaman berbagai negara lain menginspirasi untuk memulai langkah menuju ekonomi hijau. Diskusi dengan para pakar memberikan landasan mengenai langkah-langkah yang dapat dilakukan Indonesia, terutama terkait dengan akan selesainya kerangka pelaksaaan RAN GRK. Bahan dari berbagai diskusi tersebut digunakan sebagai masukan untuk mengembangkan pemikiran mengenai langkah ke depan yang dapat dilakukan dalam rangka menyusun konsep ekonomi hijau. Pemikiran ke depan yang dikonsepkan masih membutuhkan diskusi lebih lanjut, terutama apabila akan disusun sebagai suatu roadmap pembangunan ekonomi hijau. Namun demikian, pemikiran dalam laporan ini setidaknya dapat menjadi pijakan untuk menyusun dan merencanakan langkah membentuk ekonomi hijau, yang sekaligus akan menjembatani dengan RAN GRK yang sedang dalam tahap awal pelaksanaan.

Laporan ini dirasakan masih memiliki berbagai keterbatasan dan akan terus dikembangkan dan disempurnakan sejalan dengan perkembangan pelaksanaan RAN GRK dan RAD GRK, serta sejalan dengan dapat terukurnya hasil penurunan emisi dalam beberapa tahun ke depan.

Jakarta, Juli 2012

Deputi Bidang SDA dan LH Endah Murniningtyas

(3)

ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

I. Latar Belakang ... 1

II. Konsep Ekonomi Hijau (Green Economy) ... 3

III. Pengalaman Beberapa Negara Dalam Memulai Ekonomi Hijau ... 9

IV. Upaya Mewujudkan Ekonomi Hijau Indonesia ... 12

4.1 Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia ... 12

4.1.1 Agenda 21 ... 12

4.1.2 Pelayanan Dasar dan Pencapaian Target MDG ... 13

4.1.3 Perkembangan Pengarustamaan Pembangunan Berkelanjutan ke dalam Pembangunan ... 16

4.2 Komitmen Penurunan Emisi GRK- Momentum untuk Pembentukan Ekonomi Rendah Karbon ... 17

4.2.1 Penjabaran Komitmen Penurunan Emisi GRK ... 19

4.2.2 Pelaksanaan dan Penjabaran di Tingkat Sektoral ... 22

4.2.3 Pelaksanaan di Tingkat Daerah ... 24

4.3 Kebijakan dan Langkah Pendukung untuk Efektivitas RAN GRK ... 29

4.3.1 Pengukuran dan Monitoring RAN GRK ... 29

4.3.2 Pembentukan Sistem dan Instrumen Insentif/Disinsentif ... 30

4.3.3 Peningkatan Kapasitas Lembaga dan Sumber Daya Manusia ... 31

V. Ekonomi Rendah Karbon, Ekonomi Hijau dan Pembangunan Berkelanjutan ... 34

5.1 RAN GRK dan Momentum untuk adanya Pengukuran Jasa Lingkungan ... 37

5.2 Ekonomi Rendah Karbon ... 38

5.3 Transisi selanjutnya ke Ekonomi Hijau ... 33

5.4 “Closing The Loop” menuju Pembangunan Berkelanjutan ... 43

(4)
(5)

I. LATAR BELAKANG

Keberhasilan pembangunan Indonesia. Pembangunan Indonesia sudah berlangsung secara terencana sejak tahun 1967 yang dikenal dengan pembangunan terencana. Bappenas atau Dewan Perantjang Pembangunan Nasional pada waktu itu adalah lembaga yang diberi tugas untuk menyusun rancangan pembangunan nasional untuk memenuhi tuntutan Trikora terutama terkait dengan tuntutan penurunan harga. Jalan satu-satunya yang berkelanjutan untuk menurunkan inflasi adalah meningkatkan kapasitas produksi. Pangan sebagai kebutuhan pokok utama kehidupan adalah sasaran utama. Oleh sebab itu, pemerintah berupaya keras untuk melakukan langkah-langkah peningkatan produksi pangan. Beberapa hal yang ditempuh dalam peningkatan produksi pangan adalah mengadopsi teknologi benih unggul dan membawa teknologi benih tersebut ke tingkat petani produsen melalui penyuluh pertanian. Langkah ini didukung dengan pendirian pabrik pupuk untuk menopang upaya peningkatan produksi serta membangun infrastruktur irigasi untuk sawah. Semua langkah tersebut bertujuan untuk meningkatkan produksi beras menuju swasembada beras. Segala langkah tersebut mencapai puncaknya pada saat swasebada beras pertama kali yang terjadi pada tahun 1984/85.

Langkah-langkah untuk mengamankan dan memenuhi kebutuhan pangan atau disebut dengan ketahanan pangan, diiringi pula dengan peningkatan pemanfaatan sumberdaya alam terutama minyak dan gas untuk penyediaan energi bagi pembangunan sekaligus juga sebagai sumber devisa Negara untuk membiayai kelangsungan kehidupan Negara dan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan industri/sektor ekstraksi sumberdaya alam ini telah berhasil menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara pengekspor minyak bumi (anggota OPEC). Selain itu, ekspor pertambangan juga menjadi andalan penghasil devisa Negara. Dalam rangka penciptaan lapangan pekerjaan, selain dikembangkan industri pendukung pertanian, juga dikembangkan industri pengganti barang-barang impor untuk menekan inflasi dan menyediakan kebutuhan barang konsumsi secara berkesinambungan. Pembangunan ekonomi ini diiringi pula dengan pembangunan kualitas sumberdaya manusia, dengan melakukan investasi besar-besaran pada bidang pendidikan, terutama pendidikan dasar dan bidang kesehatan dengan memperluas layanan kesehatan ke seluruh pelosok tanah air.

Pembangunan yang terlalu berorientasi pada bidang ekonomi dan dampaknya terhadap lingkungan dan ekosistem. Keberhasilan pembangunan ekonomi tersebut di atas, pada akhirnya menimbulkan pemanfaatan sumberdaya alam yang melebihi daya reproduksi dan melebihi ambang serap alam terhadap limbah/sampah, baik sampah padat, cair maupun udara. Dalam Country Natural Resources and Environment/CNREA1 (Bappenas, 2007) dinyatakan bahwa apabila pemanfaatan sumberdaya alam masih terus dilakukan secara ekstraktif dan dengan cara-cara lama yang kurang ramah lingkungan dan ekosistem, maka di masa depan Indonesia akan menghadapi 3 (tiga) krisis besar, yaitu (i) krisis air, (ii) krisis pangan, dan (iii) krisis energi. Krisis-krisis sumber daya alam tersebut sebagai akibat terjadinya pemanfaatan sumberdaya alam yang sudah melebihi daya regenerasi dan reproduksi serta daya dukung ekosistemnya.

1

(6)

2 UNEP2 memperkirakan apabila dengan pola pemanfaatan sumberdaya alam untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi manusia tetap mengikuti pola seperti tersebut di atas, maka permintaan energi global pada tahun 2030 akan meningkat sampai dengan 45%. Peningkatan konsumsi energi tersebut akan diperkirakan juga mengakibatkan dampak pada peningkatan harga minyak bumi. Sebagai akibat meningkatnya konsumsi energi tersebut, maka emisi gas rumah kaca diperkirakan akan mencapai 45% dan suhu bumi akan meningkat sampai dengan 6 derajat Celcius. Dampak lain dari peningkatan konsumsi energi juga adalah akan menyebabkan terjadinya peningkatan harga pangan, rusaknya ekosistem sebagai akibat hilangnya keanekaragaman hayati yang diperkirakan senilai EUR 50 miliar. Solusi yang kemudian ditawarkan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca tersebut adalah pembentukan ekonomi hijau.

2 John Scanton, UNEP. The Green Economy and International Environmental Governance. Presentation.

(7)

3 II. KONSEP EKONOMI HIJAU (GREEN ECONOMY)

Pada Oktober 2008, UNEP mencetuskan gagasan mengenai “Green Economy” dalam rangka mendukung upaya penurunan emisi gas rumah kaca. Gagasan “green economy” tersebut bertujuan memberikan peluang yang besar bagaimana upaya memanfaatkan konsepsi “green economy” dalam rangka menunjang pelaksanaan pembangunan yang berorientasi pada aspek lingkungan dan ekosistem. Terkait dengan gagasan konsepsi “green economy” tersebut, hal ini terdapat dua hal yang ingin dicapai. Pertama, ekonomi hijau mencoba untuk membuat konsep ekonomi yang bukan hanya sekedar mempertimbangkan masalah makro ekonomi, khususnya investasi di sektor-sektor yang memproduksi produk ramah lingkungan maupun produksi barang dan jasa yang lebih ramah lingkungan (“green investment/investasi hijau”), namun juga difokuskan pada bagaimana kontribusi investasi hijau tersebut terhadap produksi barang dan jasa serta dan pertumbuhan lapangan pekerjaan di bidang yang terkait dengan ramah lingkungan (green job). Kedua, green economy mencoba untuk menyiapkan panduan pro-poor green investment, atau investasi hijau yang mampu mendorong pengentasan masalah kemiskinan. Tujuan utamanya adalah untuk mendorong agar para pembuat kebijakan mampu membuat semua jajaran pemerintahan dan sektor swasta ikut serta untuk mendukung peningkatan investasi hijau.

Dalam beberapa tahun terakhir ini, konsep Green Economy semakin mendapat perhatian karena hal ini sejalan dengan upaya masyarakat dunia dalam rangka mencari solusi terhadap berbagai tantangan global yang terjadi saat ini. Namun demikian, perlu ditandaskan bahwa hubungan antara konsep ekonomi hijau ini dengan konsep yang berkaitan dengan aspek-aspek lainnya, belum dapat diartikulasikan dengan jelas. Oleh karena itu, hal ini membuat banyak orang, bahkan dari pencetus konsep ekonomi hijau itu sendiri terus mempertanyakan apa arti sesungguhnya konsep Green Economy itu. Ketidakjelasan dari konsep tersebut membawa salah pada pertanyaan apakah konsep ekonomi hijau ini sebenarnya hanya sebuah alat untuk membatasi ruang gerak negara-negara berkembang untuk maju dan mengurangi kemiskinan. Ataukah, konsep tersebut hanya merupakan politik ekonomi dalam kaitannya dengan perkembangan perekonomian global yang masing-masing negara mempertahankan kepentingan ekonomi negaranya!

Konsep modern Green Economy merupakan konsep yang dikenalkan untuk melengkapi sekaligus mengembangkan konsep Green Economy yang telah ada dengan aspek pembahasan yang lebih membatasi pada ekonomi untuk hal-hal yang bersifat ramah lingkungan (economy to green requirements). Konsep modern dalam perspektif ini Green Economy tidak hanya memberi penekanan pada berbagai kebijakan standar, seperti bagaimana menilai lingkungan secara ekonomi dan pemberian sanksi terhadap aktivitas-aktivitas yang membahayakan dan berpotensi merusak lingkungan; tetapi yang lebih penting adalah bagaimana konsep ekonomi hijau tersebut mampu mendorong pelaku ekonomi untuk memproduksi barang, perdagangan, dan mengkonsumsi hal-hal yang ramah lingkungan atau produk barang dan jasa yang lebih ramah lingkungan. Pendapatan dan lapangan pekerjaan yang dihasilkan dari Green Economy pada gilirannya diharapkan mampu membuat para

(8)

4 pelaku ekonomi menjadi lebih termotivasi untuk melakukan kegiatan yang ramah lingkungan. Perspektif instrumental dari konsep modern ini mengakui bahwa melalui investasi, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta, dalam hal inovasi, teknologi, infrastruktur, dan kelembagaan, adalah hal-hal yang dapat mengubah perekonomian atau mencapai perubahan struktur yang fundamental.

Dengan pengertian tersebut di atas, konsep Green Economy telah mengalami evolusi dari perpekstif lama yang bersifat regulasi untuk “menghijaukan” kegiatan ekonomi “coklat” menjadi konsep baru yang lebih fokus pada pembangunan ekonomi dan pembukaan lapangan pekerjaan (green jobs) dengan investasi hijau (green investment), produksi, perdagangan, dan konsumsi. Hal tersebut nantinya akan memberikan kontribusi pada peningkatan kesadaran lingkungan dan meningkatnya permintaan pasar untuk produk yang ramah lingkungan serta barang dan jasa yang lebih ramah lingkungan. Adanya potensi permintaan ini mengindikasikan bahwa Green Economy tidak hanya berperan dalam mengatasi masalah-masalah “coklat”, seperti mengurangi emisi karbon, namun juga dapat ditekankan pada isu bagaimana memperoleh penghasilan dan terbukanya lapangan pekerjaan baru. Dengan demikian, Green Economy merupakan suatu alat/sarana yang diharapkan mampu memberikan tiga keluaran, yaitu 1) adanya sumber-sumber penghasilan serta lapangan pekerjaan yang baru; 2) emisi karbon yang rendah, mengurangi penggunaan sumber daya alam, dan mengurangi peningkatan polusi dan limbah; serta 3) memberikan kontribusi untuk tujuan sosial yang lebih luas melalui pelaksanaan pembangunan berkelanjutan, kesetaraan sosial, dan pengurangan kemiskinan, meskipun tujuan sosial tersebut kadang-kadang tidak terjadi secara otomatis. Namun, tujuan sosial tersebut memerlukan kebijakan kelembagaan yang spesifik dan harus melekat pada kegiatan green economy.

Sehubungan dengan itu semua, maka ekonomi hijau secara singkat dicirikan sebagai: (i) peningkatan investasi hijau; (ii) peningkatan kuantitas dan kualitas lapangan pekerjaan pada sektor hijau; (iii) peningkatan pangsa sektor hijau; (iv) penurunan energi/sumberdaya yang digunakan dalam setiap unit produksi; (v) penurunan CO2 dan tingkat polusi per GDP yang dihasilkan; serta (vi) penurunan konsumsi yang menghasilkan sampah (decrease in wasteful consumption).

Selanjutnya, untuk memberikan contoh-contoh riil penerapan konsep ekonomi hijau, dalam berbagai literatur tentang ekonomi hijau disebutkan paling tidak terdapat 11 (sebelas) sektor yang berkaitan dengan ekonomi hijau, yaitu pertanian, bangunan, perkotaan, energi, perikanan, kehutanan, industri pengolahan/manufakturing, pariwisata, transportasi, limbah, dan air. Kesebelas sektor ini sangat penting untuk membentuk atau menentukan terjadinya ekonomi hijau di suatu negara. Kekeliruan dalam pengembangan di dalam sektor-sektor ini dan keterkaitan diantaranya akan berpengaruh besar terhadap proses pembentukan ekonomi hijau di suatu negara.

(9)

5 Pertanian. Pertanian merupakan sektor memegang peranan penting dalam membentuk ekonomi hijau, karena dari sektor inilah sumber pangan diproduksi. Sektor pertanian ini menyerap sebagian besar tenaga kerja dan menjadi sumber pendapatan, baik secara rata-rata di suatu negara maupun secara global. Dengan demikian, pengelolaan pertanian yang berkelanjutan (sustainable farming) akan membentuk atau berperan besar dalam pembentukan ekonomi hijau di suatu negara. Hal lain yang lebih penting lagi, adalah bahwa komposisi kemiskinan dalam sektor pertanian juga sangat besar, sehingga pembentukan sustainable farming akan menjadi peluang baru sebagai sarana menurunkan kemiskinan di sektor pertanian.

Bangunan. Bangunan merupakan bagian penting, karena sektor bangunan (biuildings) mendominasi dalam konsumsi energi, baik bangunan publik, swasta dan perkantoran, maupun rumah tangga. Jumlah bangunan dan industri real estate cenderung tumbuh seiring dengan pertumbuhan populasi dalam suatu negara. Konsumsi lahan dan air yang perlu disediakan menjadi faktor penentu dari pertumbuhan bangunan. Dengan demikian, desain bangunan hijau (green buildings) menjadi bagian penting pula dalam membentuk ekonomi hijau di suatu negara.

Perkotaan. Sejalan dengan pertumbuhan bangunan, maka perkembangan perkotaan merupakan trend yang terus meningkat di berbagai negara. Urbanisasi/perkembangan perkotaan di dunia juga menuntut tidak hanya akan kebutuhan penyediaan lahan, namun juga air dimana apabila tidak direncanakan dengan baik akan mengganggu kualitas hidup dan kelangsungan kehidupan. Perkembangan perkotaan juga menuntut adanya peningkatan transportasi, konsumsi energi, dan infrastruktur lainnya. Selain itu, seiring dengan berkembangnya masyarakat kelas menengah, perkembangan perkotaan terus dituntut untuk misalnya berbagai kebutuhan konsumsi dan fasilitas perkotaan baik dalam aspek kualitas maupun kuantitasnya.

Energi. Seiring dengan berkembangnya jumlah populasi dunia, yang lebih dari 7 miliar penduduk, kebutuhan energi baik untuk komoditas konsumsi maupun fasilitas kehidupan terus semakin bertambah baik dari kuantitas dan kualitasnya. Penyediaan energi yang terus meningkat, hal ini akan mendorong pencarian dan penggunaan sumber energi dari berbagai sumber, baik sumber energi yang terbarukan maupun tidak terbarukan. Dengan demikian, dengan mengetahui jumlah konsumsi energi tersebut hal ini akan dapat memperkirakan adanya sejauhmana peningkatan emisi dari energi dan dampak lingkungan lainnya akibat eksploitasi sumberdaya energi, apabila hal tersebut tidak direncanakan dengan baik.

(10)

6 Perikanan. Sebagai salah satu sumber pangan, peningkatan populasi penduduk akan menuntut eksploitasi sumberdaya perikanan yang terus meningkat. Kelangsungan ketersediaan sumberdaya perikanan perlu dijaga dengan baik, baik melalui eksploitasi yang sesuai pertumbuhan (maximum sustainable yield) maupun menggunakan cara-cara penangkapan yang lestari, seperti adanya upaya restocking, dan pemeliharaan ekosistem laut. Terkait dengan ekosistem laut, pengendalian polusi yang berasal dari sungai menjadi sangat penting untuk menjaga ekosistem laut agar baik kebersihan dan keamanan untuk kehidupan ikan.

Kehutanan. Dalam kaitan dengan ekonomi hijau, jumlah dan kualitas hutan sangat penting untuk dipelihara, dalam rangka menjaga keseimbangan ekosistem dan daya dukung fisik lahan serta menjaga biodiversitas yang ada di dalamnya. Hutan sebagai penjaga sumberdaya air dan juga fungsi konservasi dan jasa lingkungan lainnya menjadi faktor yang sangat penting untuk menentukan terbentuknya ekonomi hijau, termasuk pembentukan komoditas karbon untuk “ditransaksikan” di kemudian hari. Dengan demikian, penggunaan lahan hutan untuk kegiatan pertanian, pertambangan, dan pemanfaatan kegiatan lainnya perlu dijaga melalui tata ruang yang ketat dan konsisten. Potensi hutan selama ini hanya memfokuskan pada hasil produk kayu dan belum memperhatikan akan manfaat nilai jasa lingkungan dan nilai biodiversitas yang ada. Padahal, jasa lingkungan dan nilai biodiversitas dapat dijadikan sebagai salah satu sumber pendapatan baik negara, daerah maupun masyarakat yang sangat strategis dan bahkan dapat dikembangkan sejalan dengan pembentukan ekonomi hijau.

Industri pengolahan/manufakturing. Peningkatan populasi dan kebutuhan hidup baik secara kuantitas maupun kualitas akan mendorong pertumbuhan industri manufakturing. Selain hal itu akan meningkatkan kebutuhan bahan baku untuk industri manufakturing melalui pemanfaatan sumberdaya alam yang ada, pertumbuhan industri manufakturing akan berpotensi menimbulkan polusi apabila tidak dijaga dengan baik melalui prinsip-prinsip keberlanjutan. Pengembangan industri yang menggunakan sumberdaya alam secara lebih efisien, termasuk konsumsi energi dan bahkan energi bersih akan sangat berkontribusi pada pembentukan ekonomi hijau. Dalam kaitan dengan pengembangan industri, potensi yang besar dari kekayaan biodiversitas dapat dimanfaatkan dan dikembangkan sebagai bahan baru dalam pengobatan (bio-farmaka) maupun bahan baru yang lebih mengarah pada produk-produk yang ramah lingkungan (bio-prospecting). Potensi kekayaan biodivesitas itu dapat dijadikan sumber pendapatan baru bagi penerimaan negara dengan syarat bahwa pemanfaatan biodiversitas itu tetap dilandasi dengan prinsip-prinsip keberlanjutan melalui pemeliharaan sumberdaya alam dan lingkungan ke arah yang lebih baik dan ramah lingkungan.

(11)

7 Pariwisata. Pariwisata selama ini masih terbatas pada pemanfaatan sumber daya yang terkait dengan kekayaan sight (pemandangan) keindahan alam. Di masa depan, pariwisata mempunyai banyak peluang untuk dikelola dan ditumbuhkan sebagai komponen ekonomi hijau. Alam dan ekosistemnya merupakan sumber kekayaan yang akan menjadi daya tarik tourism, termasuk di dalamnya kekayaan biodiversitas sebagai kekayaan yang unik dan spesifik lokasi alam. Pola pengelolaan kekayaan alam seperti pariwisata ekologi, wisata keanekaragaman hayati, dan bahkan wisata ilmiah yang terkait dengan upaya mempelajari kekayaan keanekaragaman hayati di tempatnya (in-situ) merupakan potensi yang belum tergali dan dikelola dengan baik.

Transportasi. Transportasi merupakan bidang yang sangat penting untuk dapat dikelola dengan baik. Jumlah populasi penduduk yang terus berkembang dan tingkat mobilitas penduduk dalam frekuensi dan jarak yang semakin meningkat memerlukan layanan transportasi yang besar jumlahnya dan tinggi frekuensinya. Peningkatan kebutuhan konsumsi masyarakat serta berkembangnya sektor yang memerlukan mobilitas, misalnya pariwisata dan sektor produksi lain menuntut sistem transportasi yang efisien dan bersih. Peningkatan frekuensi mobilitas penduduk memerlukan sumberdaya energi yang harus dipersiapkan dalam menunjang transportasi serta jenis transportasi yang ramah lingkungan. Transportasi harus dapat dikelola dengan baik dan sesuai dengan tuntutan kelestarian lingkungan dan ekosistem. Pengembangan sistem transportasi yang ramah lingkungan dapat juga terkait dengan tata kota dan tata ruang secara lebih luas. Oleh karena itu, pengembangan penataan perkotaan dan hubungan urban-rural serta antar wilayah perlu dikembangkan secara terpadu dengan berbagai sektor lain, mengingat transportasi diperlukan hampir di semua sektor penting di dalam ekonomi hijau.

Limbah. Sejalan dengan perkembangan seluruh kegiatan di dalam sektor-sektor di atas, hal ini akan berimplikasi pada meningkatnya produksi limbah, baik jumlah maupun jenis dan kulitas limbah yang dihasilkan. Pengelolaan dan pengaturan pengeluaran limbah perlu ditetapkan sejak awal pada setiap kegiatan baik ekonomi maupun sosial. Penetapan pengelolaan dan pengaturan hasil limbah ini akan sangat membantu tidak saja terkait dengan perhitungan biaya pengelolaannya, namun juga terkait dengan penggunaan sumber alam secara efisien dan hemat, terutama yang terkait dengan sumberdaya alam yang tidak terbarukan. Pemanfaatan sumber daya alam secara hemat perlu terus dilakukan mengingat masa produksi sumber daya alam yang tidak terbarukan memiliki masa yang sangat panjang. Penggunaan sumberdaya alam (ekstraksi) yang terlalu cepat dan tidak efisien, tidak saja akan menghasilkan limbah yang besar dan mungkin tidak ramah lingkungan namun juga hal tersebut akan menghabiskan bahan dalam waktu pendek. Penggunaan sumberdaya alam tersebut tentu saja tidak memperhatikan aspek keberlanjutan dan juga tidak sejalan dengan kaidah pembentukkan ekonomi hijau secara baik.

Air. Alam yang menjadi penghasil sekaligus tempat membuang air perlu dijaga keseimbangannya. Hutan sebagai sumber mata air perlu dijaga agar hutan mampu menghasilkan jumlah air dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia. Perkembangan populasi penduduk dan konsumsi air perlu didukung dengan adanya pemeliharaan sumber/mata air alam yang baik. Sementara itu, kebutuhan akan ruang cenderung

(12)

8 menghilangkan sumber mata air dan daerah resapan air dimana kedua lokasi tersebut yang bisa dianggap sebagai tempat yang mampu menjaga siklus air agar dapat terpelihara secara seimbang sepanjang waktu dan sepanjang tempat (space). Untuk itu, penataan ruang dan penjagaan keseimbangan fisik muka lahan perlu diperhitungkan dan dijaga dengan baik, agar alam tetap menghasilkan air dalam jumlah dan kualitas yang dibutuhkan. Selain itu, alam juga memiliki kemampuan untuk mendaur ulang atau menjaga siklus air sehingga jumlah air yang dihasilkan dapat dijaga secara antar waktu dan antar tempat. Sehubungan dengan itu, keseimbangan keberadaan dan eksistensi kesebelas sektor di atas termasuk air, yang menjadi penyedia air, pengkonsumsi air, dan berpotensi sebagai pencemar air, sangat penting untuk membentuk dan menyambungkan adanya ekonomi hijau yang lestari.

Uraian di atas menggambarkan pentingnya masing-masing sektor untuk pembentukan atau pengembangan ekonomi hijau. Hal yang lebih penting lagi adalah keterpaduan seluruh sektor tersebut untuk membentuk keseimbangan terhadap alam dan ekosistem serta keberlanjutan fungsinya. Selanjutnya untu mengelola dan mengembangkan potensi yang timbul dari semua sektor dibutuhkannya adanya profesi atau keahlian baru profesi hijau (green jobs) di semua sektor tersebut. Dari sisi makro, banyaknya kesempatan baru tersebut juga memungkinkan timbulnya sumber pendapatan baru yang berasal dari perluasan sektor atau kegiatan dalam sektor yang selama ini belum ada, baik bagi masyarakat dan negara.

(13)

9 III. PENGALAMAN BEBERAPA NEGARA DALAM MEMULAI EKONOMI

HIJAU

Dengan masih “kenyalnya” definisi ekonomi hijau, sampai saat ini belum ada satu negarapun yang secara komprehensif telah menerapkan konsep ekonomi hijau. Meskipun demikian, beberapa negara sudah mulai melakukan langkah-langkah untuk “menghijaukan” pembangunan di berbagai bidang, seperti di Cina, Kenya, India dan terakhir adalah Korea Selatan.

Cina memulai pembentukan ekonomi hijau melalui pengembangan renewable energy. Pada akhir tahun 2005, Pemerintah Cina mengeluarkan undang-undang renewable energy sebagai kerangka utama untuk pembangunan sektor berkelanjutan. Pemerintah Cina menawarkan insentif keuangan untuk mendukung terbentuknya proyek renewable energy, khususnya energi dari tenaga angin dan tenaga surya/matahari. Dukungan lain yang diberikan oleh Pemerintah Cina adalah melalui pembentukan joint venture dan keharusan menggunakan mesin tenaga angin produksi dalam negeri. Pendanaan khusus disediakan untuk penelitian serta penyediaan dana untuk renewable energy diberikan (renewable energy fund) untuk subsidi bunga dan pengurangan pajak atas pengembangan renewable energy. Selain itu, penyedia energi grid diharuskan membeli dari produsen renewable energy yang sudah terdaftar. Sebagai hasil dari kebijakan ini, Cina telah berhasil mengembangkan industri renewable energy senilai 17 milyar dollar Amerika dan menambah kesempatan kerja sebanyak 1,5 juta orang di industri energi tenaga biomassa dan tenaga angin. Untuk tahun 2009 saja jumlah kesempatan kerja baru dari ketiga industri tersebut adalah sebesar 300 ribu orang.

Kenya. Pemerintah Kenya yang semula sangat tergantung pada sumber energi minyak bumi yang diimpor dan biomasa akhir-akhir ini, berusaha keras untuk mengembangkan renewable energy. Pada tahun 2008, Pemerintah Kenya menerapkan Feed-in Tariff (FIT) yang mengharuskan perusahaan energi yang menyediakan energi dengan sistem grid membeli sumber daya listrik dari produsen renewable energy pada harga yang ditetapkan. Dengan cara ini, produsen listrik akan mendapatkan harga yang pasti dan penyedia untuk produsen renewable energy juga mendapatkan harga yang pasti dan dapat menutupi biaya produksinya. Pengembangan FIT ini bermanfaat untuk: (i) memfasilitasi adanya jaminan investasi dan stabilitas pasar untuk investor; (ii) menurunkan biaya transaksi dan proses tender yang panjang; (iii) mendorong produsen energi untuk merencanakan pengembangan energi secara hati-hati dan efisien. Fasilitas ini disediakan dalam jangka waktu 20 tahun dalam rangka memberikan kelonggaran waktu yang cukup untuk pengembangan renewable energy di Kenya.

Brazil. Kota Curitiba, salah satu ibukota negara bagian di Brazil melakukan pengembangan ekonomi hijau yang dimulai melalui pengelolaan tata kota dan sistem transportasi perkotaan. Penataan kota dimulai dengan kombinasi pengaturan zona pemanfaatan ruang dan pengelolaan transportasi dilaksanakan dengan cara melalui

(14)

10 menjauhkan tempat permukiman dari pusat kota. Selain itu, wilayah-wilayah yang terkena banjir juga dialihkan menjadi daerah hijau, dalam rangka menjaga keseimbangan antara kepadatan dan jasa lingkungan hijau. Prinsip penataan kota yang dituju adalah perencanaan yang “pintar” agar dapat menghemat biaya di kemudian hari, meningkatkan efisiensi, produktivitas dan kualitas hidup masyarakat di perkotaan.

India. India kegiatan ekonomi hijau dimulai dengan melakukan investasi infrastruktur perdesaan secara ekologis. Yang dimaksud dengan ekonomi hijau adalah memperkuat pengelolaan sumberdaya alam di perdesaan, dengan membiayai kegiatan infrastruktur untuk mengatasi masalah kekeringan dan erosi melalui upaya konservasi ekosistem sumberdaya alam yang selama ini menjadi sumber penghidupan masyarakat. Ketersediaan air dan konservasi sumberdaya air sangat penting bagi kehidupan perdesaan dan perkotaan serta mengamankan ketahanan pangan. Dalam kurun waktu tahun 2005-2008 telah dilakukan sebanyak 850 ribu kegiatan infrastruktur sumberdaya air dan diperkirakan dapat melestarikan 5 juta liter air dan meningkatkan 25 persen kesempatan kerja di perdesaan.

Green Growth Korea. Pendekatan yang lebih konkrit dalam menentukan kegiatan ekonomi hijau di Korea pelaksanaannya dilakukan dengan dukungan dari Green Growth Institute. Korea mencanangkan komitmen untuk membentuk green growth melalui Low Carbon, Green Growth sebagaimana telah ditetapkan dalam visi nasional pada Agustus 2008. Melalui low carbon green ini Korea ingin tetap melakukan pertumbuhan ekonomi dan sekaligus menangani perubahan iklim. Langkah yang dilakukan oleh Korea adalah menyusun Basic Act on Green Growth sebagai bagian dari Rencana Pembangunan Lima Tahunan dan akan mengalokasikan 2 (dua) persen dari GDP setiap tahun untuk penerapan green growth. Selain tekad tersebut di atas, Korea Selatan juga melakukan penyadaran (awareness) ke seluruh lapisan masyarakat dan menyediakan insentif dan disinsentif melalui kebijakan carbon pricing dan tax.

Indonesia. Di Indonesia sudah banyak langkah konkrit yang dilakukan oleh berbagai sektor untuk mendukung pelaksanaan ekonomi hijau. Berbagai kegiatan dalam bidang pertanian, misalnya metoda pertanaman hemat air (System Rice Intensification/SRI), pengelolaan limbah ternak untuk biogas dan pupuk organik, pemanfaatan limbah perkebunan untuk pupuk organik serta pemanfaatan minyak sawit untuk biosolar sudah dilakukan. Selain itu, penggunaan energi terbarukan untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakat dan publik melalui pengembangan mikro-hidro skala masyarakat, serta penggunaan listrik tenaga surya untuk rumah tangga maupun lampu jalan sudah diterapkan di berbagai daerah. Penggunaan gas sebagai langkah mendukung gerakan ekonomi hijau untuk kendaraan umum juga sudah dimulai.

(15)

11 Langkah secara terpadu dalam menerapkan ekonomi hijau, mulai dilakukan dengan dikenalkannya Komitmen Presiden dalam rangka menurunkan emisi GRK sebesar 26 persen pada tahun 2020, dari business as usual saat ini. Komitmen tersebut kemudian dijabarkan ke dalam Rencana Aksi Penurunan Emisi GRK sebagaimana telah diterbitkan pada bulan September tahun 2011. Saat ini, Rencana Aksi ini sedang disosialisasikan ke daerah-daerah dalam rangka mendorong tersusunnya Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi GRK. RAD GRK diharapkan akan selesai pada akhir tahun2012, dan diharapkan kerangka pelaksanaan penurunan emisi GRK dari pusat sampai ke daerah juga sudah tersedia. Dengan adanya RAD GRK ini, kegiatan-kegiatan yang sudah dimulai di berbagai sekor tersebut di atas, akan dapat dilakukan secara lebih terstruktur dan terpadu dalam rangka membentuk kegiatan rendah emisi (karbon).

(16)

12 IV. UPAYA MEWUJUDKAN EKONOMI HIJAU INDONESIA

4.1. PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DI INDONESIA

Indonesia telah mempertimbangkan tentang pentingnya pembangunan berkelanjutan sejak diperkenalkannya pembangunan berkelanjutan pada tahun 1972. Sejalan dengan itu dan sejalan dengan dimulainya dengan KTT Bumi di Rio tahun 1992, pada tahun 1997 Indonesia sudah menyusun Dokumen Agenda 21 Indonesia. Penyusunan dokumen ini didasari oleh kesadaran akan pentingnya menyeimbangkan antara pembangunan lingkungan, ekonomi, dan sosial sebagai satu kesatuan. Agenda 21 juga menyusun rencana pelaksanaan untuk menyatukan pembangunan lingkungan, ekonomi, dan sosial dalam satu paket terpadu untuk terwujudnya pembangunan berkelanjutan.

4.1.1. Agenda 21

Agenda 21 Indonesia terdiri atas 4 (empat) bagian, yaitu:

a. Bagian I: Pelayanan masyarakat (community services), yang terdiri dari 6 (enam) Bab, yaitu: Bab 1 tentang Pengentasan Kemiskinan; Bab 2 tentang Perubahan Pola Konsumsi; Bab 3 tentang Dinamika Kependudukan; Bab 4 tentang Pengelolaan dan Peningkatan Kesehatan; Bab 5 tentang Pengembangan Perumahan dan Pemukiman; dan Bab 6 tentang Sistem Perdagangan Global, Instrumen Ekonomi, serta Neraca Ekonomi dan Lingkungan Terpadu.

b. Bagian II adalah: Pengelolaan Limbah, yang terdiri dari 5 (lima) Bab, yaitu: Bab (7) Perlindungan Atmosfir; Bab (8) Pengelolaan Bahan Kimia Beracun; Bab (9) Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun; Bab (10) Pengelolaan Limbah Radioaktif ; dan Bab (11) Pengelolaan Limbah Padat dan Cair.

c. Bagian III tentang Pengelolaan Sumber Daya Tanah, yang terdiri dari 4 (empat) Bab, yaitu: Bab (12) Perencanaan Sumber Daya Tanah; Bab (13) Pengelolaan Hutan; dan Bab (14) Pengembangan Pertanian dan Pedesaan; dan Bab (15) Pengelolaan Sumber Daya air.

d. Bagian IV: Pengelolaan Sumber Daya Alam, dibagi ke dalam 3 (tiga) Bab, yaitu Bab (16) Konservasi Keanekaragaman Hayati; Bab (17) Pengembangan Teknologi; dan Bab (18) Pengelolaan Terpadu Wilayah Pesisir dan Lautan.

Pelayanan Masyarakat pada dasarnya menjabarkan tentang pelayanan dasar kepada masyarakat yang perlu diwujudkan kepada masyarakat sebagai bagian dari hak dasar mereka. Unsur-unsur di dalam pelayanan dasar ini merupakan pencerminan dari prinsip-prinsip sosial ekonomi dalam pembangunan berkelanjutan. Dalam perkembangan

(17)

13 selanjutnya, butir-butir pelayanan dasar ini menjadi indikator dalam Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals).

Bagian kedua dari Agenda 21 adalah Pengelolaan Limbah yang terdiri dari perlindungan atmofir, pengelolaan limbah kimia beracun, pengelolaan limbah padat dan cair. Pengelolaan limbah-limbah yang dilakukan dengan baik akan dapat menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan, dalam rangka lingkungan dengan ekosistemnya dalam mendukung kehidupan kita semua. Pengelolaan limbah ini dalam tataran pelaksanaannya dituangkan ke dalam peraturan lingkungan hidup yang sudah diperbarui beberapa kali dan yang terakhir adalah dengan diterbitkannya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009.

Bagian ketiga adalah Pengelolaan Sumber Daya Tanah yang mengatur tentang Perencanaan Sumber Daya Tanah, pengelolaan hutan, pengembangan pertanian dan perdesaan serta pengelolaan sumber daya air. Bab ini selain berkaitan erat dengan Bab yang kedua, juga pembahasan dalam rangka mengendalikan secara seimbang tentang pengelolaan tanah baik dari sisi kuantitas dan ruang (space) untuk berbagai penggunaan dan sisi kualitas tanah yang terutama dalam kaitannya untuk menjaga sumber mata air dan ruang reasapan air yang sangat menentukan keberlanjutan ketersediaan air bagi kelangusngan kehidupan di muka bumi.

Bagian keempat adalah tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam yang mencakup tentang konservasi keanekaragaman hayati yang merupakan sumber kehidupan penting baik pada saat ini maupun saat mendatang; pengembangan teknologi yang perlu memperhatikan aspek ramah lingkungan dan menjaga efisiensi pemanfaatan sumber daya alam, terutama yang tidak terbarukan; serta arah untuk mengatur pengelolaan pesisir dan lautan secara terpadu. Keempat bagian ini merupakan cikal bakal dan dasar untuk mengarahkan pemanfaatan lingkungan dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya untuk kelangsungan kehidupan saat ini dan keberlanjutan hidup ke depan.

4.1.2. Pelayanan Dasar dan Pencapaian Target MDG

Melihat komponen di dalam Agenda 21, Rencana Pembangunan Nasional yang dituangkan dalam bentuk Rencana Pembangunan Lima Tahunan (Repelita) dan setiap tahunnya dijabarkan dalam Rencana Pembangunan Tahunan dan ke dalam Undang-undang APBN sudah memuat komponen-komponen tersebut. Demikian pula ketiga pilar ekonomi, sosial dan lingkungan hidup juga sudah tercantum di dalamnya. Namun demikian, pelaksanaan ketiga komponen tersebut belum seimbang dan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yang ada belum terinternalisasikan ke dalam setiap pilar dengan baik. Hal ini selanjutnya berpengaruh di dalam hasil dan dampak pembangunan meskipun Indonesia telah berhasil mencapai pertumbuhan ekonomi yang terus terjaga dan meningkat. Pada saat yang bersamaan tersebut hasil pertumbuhan ekonomi juga telah menimbulkan banyak permasalahan lingkungan. Namun demikian, Indonesia juga mencatat perkembangan yang signifikan dalam berbagai komponen yang digariskan di dalam Agenda 21.

(18)

14 Pelayanan Dasar telah tercermin dalam indikator MDG. Indonesia melaksanakan pembangunan sosial khususnya pelayanan dasar dengan sangat serius. Pembangunan sektor pendidikan dan kesehatan serta keluarga berencana, yang telah dimulai sejak Pembangunan secara terencana (dalam era Orde Baru), telah berhasil membangun infrastruktur pendidikan dan kesehatan secara meluas melalui pembangunan SD Inpres dan penempatan Guru Inpres serta pembangunan Puskesmas dan penempatan dokter Inpres di seluruh pelosok tanah air. Demikian pula pembangunan keluarga berencana yang tidak hanya mencanangkan pada pelayanan kesehatan keluarga namun juga mensosialisasikan “2 (dua) anak cukup” dalam setiap keluarga, telah cukup berhasil menempatkan pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan keluarga sebagai prioritas dalam pembangunan keluarga sejahtera. Hasil dari pelaksanaan program yang sudah dimulai dan terus dilaksanakan secara konsisten dalam setiap tahap rencana pembangunan telah mencapai banyak keberhasilan. Dengan langkah konsisten ini, maka Indonesia pada tahun 2000 termasuk salah satu negara yang menyetujui disepakatinya MDG, yang mengglobalkan pembangunan nasional menjadi agenda global.

Sejak deklarasi MDG tersebut, Indonesia telah pula mengarusutamakan indikator MDG ke dalam rencana pembangunan. Hal ini berarti bahwa pelaksanaan pembangunan yang sekaligus menyelesaikan agenda pembangunan MDG dan kemajuan pencapaian MDG adalah bagian dari pencapaian pembangunan nasional, yang kemajuannya dapat dilaporkan setiap tahun. Dalam laporan MDG pada tahun 2010, Indonesia telah mencapai sasaran MDG1 kemiskinan USD1/kapita. MDG3 kesetaraan jender dan MDG 6 prevalensi TB akan dicapai sebelum tahun 2015. Selanjutnya, sasaran MDG yang on track dan akan dapat dicapai pada tahun 2015 adalah MDG 1 prevalensi balita kekurangan gizi, MDG 2 APM pendidikan dasar dan tingkat melek huruf, MDG 3, MDG 4, dan MDG 8. Sementara itu, beberapa sasaran yang akan tercapai namun masih memerlukan kerja keras adalah sasaran MDG 1 - target pengurangan kemiskinan dengan menggunakan ukuran garis kemiskinan nasional; MDG 5 - Angka kematian ibu; MDG 6 - Jumlah penderita HIV/AIDS yang meningkat, khususnya di antara kelompok risiko tinggi pengguna narkoba suntik dan pekerja seks; MDG 7 - Indonesia memiliki tingkat emisi gas rumah kaca yang tinggi (Tabel 1).

Tabel 1. Perkembangan Pencapaian sasaran MDG Tahun 2010

No Target MDG Status 2010

I TELAH TERCAPAI SEBELUM 2015

1

MDG 1 - Proporsi penduduk yang hidup dengan pendapatan per kapita kurang dari USD 1 per hari

Telah menurun dari 20,6 persen pada tahun 1990 menjadi 5,9 persen pada tahun 2008.

(19)

15 2

MDG 3 - Kesetaraan gender dalam semua jenis dan jenjang pendidikan

Telah hampir tercapai, yang ditunjukkan oleh:

 Rasio angka partisipasi murni (APM) perempuan terhadap laki-laki di SD/MI/Paket A dan SMP/MTs/Paket B berturut-turut sebesar 99,73 dan 101,99, dan

 Rasio angka melek huruf perempuan terhadap laki-laki pada kelompok usia 15-24 tahun sebesar 99,85 pada tahun 2009.

3 MDG 6 - Prevalensi tuberkulosis

Menurun dari 443 kasus pada 1990 menjadi 244 kasus per 100.000 penduduk pada tahun tahun 2009. II ON TRACK DAN AKAN TERCAPAI TAHUN 2015

1 MDG 1 - Prevalensi balita kekurangan gizi

Telah berkurang hampir setengahnya, dari 31 persen pada tahun 1989 menjadi 18,4 persen pada tahun 2007. Target 2015 sebesar 15,5 persen diperkirakan akan tercapai. 2 MDG 2 - Angka partisipasi murni untuk pendidikan dasar

Mendekati 100 persen dan tingkat melek huruf penduduk melebihi 99,47 persen pada 2009.

3

MDG 3 - Rasio APM perempuan terhadap laki-laki di

SMA/MA/Paket C dan pendidikan tinggi

Pada tahun 2009 berturut-turut 96,16 dan 102,95. Dengan demikian maka target 2015 sebesar 100 diperkirakan akan tercapai.

4

MDG 4 - Angka kematian balita telah menurun dari 97 per 1.000 kelahiran

Pada tahun 1991 menjadi 44 per 1.000 kelahiran pada tahun 2007 dan diperkirakan target 32 per 1.000 kelahiran pada tahun 2015 dapat tercapai.

5

MDG 8 - Indonesia telah berhasil mengembangkan perdagangan serta sistem keuangan yang terbuka,

Ditunjukkan dengan adanya kecenderungan positif dalam indikator yang berhubungan dengan

perdagangan dan sistem perbankan nasional. Kemajuan signifikan telah dicapai dalam mengurangi rasio pinjaman luar negeri terhadap PDB dari 24,6 persen pada 1996 menjadi 10,9 persen pada 2009. Debt Service Ratio juga telah berkurang dari 51 persen pada tahun 1996 menjadi 22 persen pada tahun 2009. III TERCAPAI TAHUN 2015 DENGAN KERJA KERAS

1 MDG 1 – target pengurangan kemiskinan dengan ukuran garis kemiskinan nasional

Dengan ukuran target pengurangan kemiskinan nasional dari 13,33 persen (2010) menjadi 8-10 persen pada tahun 2014.

(20)

16 2 MDG 5 - Angka

kematian ibu

Menurun dari 390 tahun 1991 menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2007. Diperlukan upaya keras untuk mencapai target pada tahun 2015 sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup.

3 MDG 6 – HIV/AIDS

Jumlah penderita HIV/AIDS meningkat, khususnya di antara kelompok risiko tinggi pengguna narkoba suntik dan pekerja seks.

4 MDG 7 –

Lingkungan Hidup

 Tingkat emisi gas rumah kaca masih tinggi, namun tetap berkomitmen untuk meningkatkan tutupan hutan, memberantas pembalakan liar.

 Dengan adanya RAN GRK ditargetkan untuk mengurangi emisi karbon dioksida paling sedikit 26 persen selama 20 tahun ke depan.

 Saat ini hanya 47,73 persen rumah tangga yang memiliki akses berkelanjutan terhadap air minum layak dan 51,19 persen yang memiliki akses sanitasi yang layak.

 Diperlukan perhatian khusus, untuk mencapai target MDG pada tahun 2015.

Sumber: LAPORAN PENCAPAIAN TUJUAN PEMBANGUNAN MILENIUM INDONESIA 2010, Kementerian PPN/Bappenas, 2010

4.1.3. Perkembangan Pengarusutamaan Pembangunan Berkelanjutan ke Dalam Pembangunan

Upaya untuk menginternalisasikan prinsip pembangunan berkelanjutan masih terus dilakukan. Setelah era desentralisasi, pembangunan berkelanjutan secara konkrit dicantumkan dalam RPJPN 2005-2025 sebagai salah satu misi pembangunan jangka panjang. Rencana pembangunan jangka panjang nasional (RPJPN) 2005-2025 menggariskan visi pembangunan Indonesia adalah Indonesia mandiri, maju, adil, dan makmur. Kondisi yang digambarkan dalam visi ini dicirikan oleh tingkat kemandirian, kemajuan, keadilan, dan kemakmuran yang ingin dicapai. Pembangunan sebagai usaha untuk mengisi kemerdekaan haruslah merupakan upaya membangun kemandirian. Dalam satu dari 8 (delapan) misi pembangunan untuk mencapai kondisi yang digambarkan dalam visi tersebut terutama terkait dengan pembangunan berkelanjutan adalah visi ke-6 yaitu: Indonesia Asri dan Lestari. Misi ini akan ditempuh dengan:

Mewujudkan Indonesia asri dan lestari, yaitu: (i) memperbaiki pengelolaan pelaksanaan pembangunan yang dapat menjaga keseimbangan antara pemanfaatan, keberlanjutan; (ii) keberadaan dan kegunaan sumber daya alam dan lingkungan hidup dengan tetap menjaga fungsi, daya dukung dan kenyamanan dalam kehidupan pada masa kini dan masa depan melalui pemanfaatan ruang yang

(21)

17 serasi antara penggunaan untuk permukiman, kegiatan sosial ekonomi dan upaya konservasi, meningkatkan pemanfaatan ekonomi sumber daya alam dan Iingkungan yang berkesinambungan; (iii) memperbaiki pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup untuk mendukung kualitas kehidupan, memberikan keindahan dan kenyamanan kehidupan, serta meningkatkan pemeliharaan dan pemanfaatan keanekaragaman hayati sebagai modal dasar pembangunan”.

Misi “Mewujudkan Indonesia asri dan lestari” tersebut selanjutnya secara bertahap dijabarkan ke dalam RPJPM 2010-2014 dalam bentuk program pengarustamaan (mainstreaming) pembangunan berkelanjutan. Yang dimaksudkan dengan Mainstreaming pembangunan berkelanjutan dimaksudkan bahwa rencana pemabngunan di setiap bidang harus menganut prinsip-prinsip berkelanjutan. Pada saat ini belum dikembangkan outcome yang dihasilkan dalam mainstreaming pembangunan berkelanjutan tersebut dan perlu terus diupayakan agar dapat diketahui dan diukur sejauh mana mainstreaming tersebut sudah diterapkan dalam bidang-bidang pembangunan yang ada. Penuangan lebih konkrit lagi adalah melalui program lintas bidang perubahan iklim. Perubahan iklim dinilai merupakan tantangan besar dalam pelaksanaan pembangunan nasional, dan setiap bidang pembangunan diharapkan memiliki program-program yang mendukung dan melaksanakan pengendalian dampak perubahan iklim tersebut. Oleh sebab itu, agar dapat dilakukan koordinasi yang jelas dan konkrit, maka dalam RPJPM 2010-2014 perubahan iklim ditetapkan sebagai program lintas bidang. Hal ini berarti setiap bidang yang terkait dengan kegiatan mitigasi dan adaptasi wajib mencantumkan kegiatan yang terkait dengan pelaksanaan perubahan iklim.

4.2. KOMITMEN PENURUNAN EMISI GRK – MOMENTUM UNTUK PEMBENTUKAN EKONOMI RENDAH KARBON

Sejalan dengan pertemuan UNFCC COP 13 tahun 2007 di Bali, Indonesia sebagai tuan rumah pertemuan tersebut, telah berhasil memfasilitasi tersusunnya Bali Roadmap, sebagai komitmen pemimpin negara dalam mengatasi perubahan iklim. Di dalam pertemuan UNFCC COP tersebut, Indonesia sudah menyusun suatu country natural resources and environment assessment (CNREA) sebagai langkah awal untuk mendeteksi kondisi sumber daya alam dan lingkungan hidup terkait dengan upaya menyongsong meningkatnya isu perubahan iklim.

Sesuai hasil pertemuan UNFCC COP tersebut dan menyadari pentingnya suatu negara melakukan langkah-langkah konkrit dalam mengatasi masalah dan mengendalikan dampak perubahan iklim, maka Indonesia menyatakan komitmen untuk menurunkan emisi GRK yang menjadi penyebab pemanasan global dan yang mengakibatkan adanya perubahan iklim. Terkait dengan hal tersebut di atas, dalam pertemuan G-20 di Pitsburg tahun 2009, Indonesia mengumumkan target penurunan emisi GRK sebesar 26% dengan upaya sendiri dan 41% dengan dukungan masyarakat internasional. Target ini disampaikan untuk

(22)

18 menunjukkan bahwa secara sukarela Indonesia melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas pembangunan nasional dan sekaligus berkontribusi terhadap penurunan emisi gas yang menjadi penyebab pemanasan global.

Indonesia Climate Change Sektoral Roadmap (ICCSR). ICCSR dipublikasikan oleh Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional pada Maret 2010. Dokumen ICCSR diharapkan dapat memberikan panduan pedoman yang detail dan sebagai alat untuk mengarusutamakan perubahan iklim di dalam setiap sektor ataupun lintas sektor pembangunan. Dokumen ICCSR bertujuan untuk menjabarkan dan menjaga keterkaitan antara ta rget nasional, target sektoral, capaian dan prioritas aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Ruang lingkup ICCSR merupakan kombinasi roadmap untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Beberapa pedoman pokok terkait mitigasi emisi gas rumah kaca yang disediakan di dalam ICCSR setidaknya meliputi 5 (lima) hal:(i) Inventori emisi CO2 yang akan direvisi serta penyesuaiannya pada 2015; (ii) Penyediaan panduan kebijakan u ntuk pengurangan emisi gas rumah kaca dari proyeksi skenario business as usual sebesar 26% pada tahun 2020 yang menggunakan sumber daya nasional serta 41% dengan dukungan internasional; (iii) Implementasi mitigasi yang mendukung pencapaian agenda pembangunan nasional 2025; (iv) Peningkatan energi alternatif; dan (v) Adopsi low-carbon development bagi seluruh sektor yang berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca. Secara konsepsual peta jalan untuk mengadopsi usaha mitigasi terhadap sistem pembangunan yang disediakan oleh dokumen ICCSR meliputi: (i) Penentuan sektor mitigasi; (ii) Penguatan basis ilmiah; (iii) Status emisi (inventory); (iv) Penentuan potensi reduksi emisi gas rumah kaca; (v) Rekomendasi strategi mitigasi; dan (vi) Integrasi ke dalam sistem pembangunan nasional.

Penyusunan prioritas mitigasi diharapkan berasal dari studi terkini mengenai inventori emisi. Selain itu, ICCSR juga memberi catatan bahwa hal ini sangat mungkin untuk diperbaharui sesuai perkembangan lebih lanjut pada konteks nasional maupun internasional. Adapun pada dokumen ICCSR, sektor mitigasi emisi gas rumah kaca dibagi atas sektor transportasi, kehutanan, industri, energi, dan pengelolaan persampahan. Dalam pengaturan aktivitas mitigasi pada setiap sektor, dokumen ICCSR mengklasifikasikannya ke dalam tiga kategori sebagai berikut: (i) Dalam pengaturan aktivitas mitigasi pada setiap sektor, dokumen ICCSR mengklasifikasikannya ke dalam 3 ( tiga) kategori: (i) Kategori 1 Manajemen Data, Informasi, dan Pengetahuan; (ii) Kategori 2 Perencanaan dan Kebijakan, Peraturan, dan Pengembangan Institusi; dan (iii) Kategori 3 Implementasi, Kontrol, dan Evaluasi. Penyusunan strategi dan aktivitias mitigasi pada setiap sektor di dalam ICCSR setidaknya meliputi penjelasan mengenai kegiatan, instansi terkait, lokasi kegiatan, serta waktu pelaksanaan. Kerangka waktu pelaksanaan yang disusun terbagi ke dalam kurun waktu 2010 – 2029.

“Yellow Book” National Development Planning: Indonesia’s Response to Climate Change. Dokumen Yellow Book dipublikasikan oleh Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional. Dokumen ini dimaksudkan untuk menjembatani isu sektoral dan lintas sektoral yang sensitif terhadap perubahan iklim dan juga hubungannya dengan dokumen

(23)

19 perencanaan pembangunan nasional. Dokumen ini juga bertindak untuk mempertajam dan melengkapi susbtansi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010 – 2014. Secara umum maksud penyusunan dokumen ini meliputi : 1) integrasi program adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dengan sistem perencanaan pembangunan, 2) menyajikan prioritas sektoral dan lintas sektoral atas perubahan iklim di dalam kerangka pembangunan berkelanjutan, 3) memberikan gambaran mekanisme pembiayaan dan institusi untuk mengimplementasikan kegiatan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, dan 4) memberikan gambaran kerjasama di dalam kerangka perubahan iklim.

4.2.1. Penjabaran komitmen penurunan emisi GRK.

Rencana Aksi Nasional Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK). RAN GRK adalah dokumen kerja yang menjadi pedoman Pemerintah, Pemerintah Daerah, masyarakat serta pelaku ekonomi untuk pelaksanaan berbagai kegiatan yang secara langsung dan tidak langsung menurunkan emisi Gas Rumah Kaca dalam periode 2010-2020 sesuai dengan komitmen Bapak Presiden (Gambar 1). RAN GRK merupakan acuan utama bagi aktor pembangunan di tingkat nasional, provinsi, dan kota/kabupaten dalam perencanaan, implementasi, monitor, dan evaluasi pengurangan emisi gas rumah kaca. Prinsip Dasar pelaksanaan RAN GRK adalah bahwa penurunan emisi GRK; (i) Tidak menghambat pertumbuhan ekonomi; (ii) Meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui pembangunan yang berkelanjutan; dan (iii) Perlindungan terhadap masyarakat miskin dan rentan. Isi pokok dari RAN GRK adalah: (i) membagi target sasaran penurunan emisi sebesar 26% dan 41% ke dalam 5 (lima) sektor utama; (ii) mengidentifikasi strategi dan program dan kegiatan pemerintah yang dapat digunakan untuk menurunkan emisi GRK. Program dan kegiatan ini ada di dalam RPJM dan perlu dituangkan ke dalam RKP termasuk penganggarannya setiap tahunnya, yang akan dilaksanakan oleh K/L.

(24)

20 Untuk memberikan landasan hukum yang kuat bagi pelaksanaan RAN GRK, Pemerintah menerbitkan dalam Peraturan Presiden dan telah ditandatangani pada tanggal 20 September 2011 menjadi Perpres No.61 tahun 2011, tentang Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca telah. Upaya penetapan landasan hukum ini menunjukkan bahwa komitmen pemerintah tersebut secara serius dijabarkan dalam aksi nyata. Substansi dan kriteria kegiatan yang ada di dalam RAN GRK adalah: (i) Terintegrasi dengan Rencana Pembangunan Nasional dan ter-update secara rutin; (ii) Kegiatan Inti yang mencakup 5 (lima) bidang untuk penurunan emisi. Kegiatan tersebut menghasilkan penurunan emisi GRK dengan biaya satuan termurah dan terintegrasi dalam rangka mencapai sasaran prioritas pembangunan (co-benefit); (iii) Kegiatan pendukung dilakukan untuk mendukung kegiatan inti (secara tidak langsung menurunkan emisi) melalui penguatan kerangka kebijakan, peningkatan kapasitas manusia dan kelembagaan, sosialisasi, penelitian, dan kegiatan lain yang mempunyai andil menurunkan emisi; (iv) Disusun berdasarkan kegiatan yang sudah ada, dan memiliki manfaat tambahan dalam penurunan emisi gas rumah kaca (kegiatan-kegiatan pembangunan yang rendah karbon); dan (v) Dalam bidang kehutanan dan lahan gambut ditempuh melalui kegiatan pencegahan deforestasi, degradasi hutan, konservasi, serta kegiatan-kegiatan lainnya.

Gambar 2: Target Penurunan Tingkat Emisi Sektoral

Kebijakan dan strategi yang tertuang di dalam RAN GRK untuk kelima sektor utama dapat dijabarkan sebagai berikut. Sektor Kehutanan dan Lahan Gambut. Langkah kebijakan sektor kehutanan dan lahan gambut terkait penurunan emisi gas rumah kaca dapat ditempuh melalui: (i) Penurunan emisi GRK sekaligus meningkatkan kenyamanan

(25)

21 lingkungan, mencegah bencana, menyerap tenaga kerja, dan menambah pendapatan masyarakat serta negara; (ii) Pengelolaan sistem jaringan dan tata air pada rawa; (iii) Pemeliharaan jaringan reklamasi rawa (termasuk lahan gambut yang sudah ada); (iv) Peningkatan produktivitas dan efisiensi produksi pertanian pada lahan gambut dengan emisi serendah mungkin dan mengabsorbsi CO2 secara optimal.

Strategi yang dilakukan sektor kehutanan dan lahan gambut melalui: (i) menekan laju deforestasi dan degradasi hutan untuk menurunkan emisi GRK; (ii) Meningkatkan penanaman hutan dan tumbuhan untuk meningkatkan penyerapan GRK; (iii) Meningkatkan upaya pengamanan kawasan hutan dari kebakaran dan pembalakan liar dan penerapan Sustainable Forest Management; (iv)Melakukan perbaikan tata air (jaringan) dan blok-blok pembagi, serta menstabilkan elevasi muka air pada jaringan tata air rawa; (v) Mengoptimalisasikan sumber daya lahan dan air tanpa melakukan deforestasi; (vi) Menerapkan teknologi pengelolaan lahan dan budidaya pertanian dengan emisi GRK serendah mungkin dan mengabsorbsi CO2 secara optimal.

Sektor Pertanian. Langkah kebijakan sektor pertanian dapat ditempuh melalui: (i) Pemantapan Ketahanan Pangan Nasional dan Peningkatan Produksi Pertanian dengan emisi GRK yang rendah; dan (ii) Peningkatan fungsi dan pemeliharaan sistem irigasi. Strategi dalam rangka penurunan emisi gas rumah kaca di sektor pertanian dilakukan dengan: (i) Mengoptimalisasikan sumber daya lahan dan air; (ii) Menerapkan teknologi pengelolaan lahan dan budidaya pertanian dengan emisi GRK serendah mungkin dan mengabsorbsi CO2

secara optimal; dan (iii) Menstabilkan elevasi muka air dan memperlancar sirkulasi air pada jaringan irigasi.

Sektor Energi dan Transportasi. Langkah kebijakan sektor energi dan transportasi dapat ditempuh melalui: (i) Peningkatan penghematan energi; (ii) Penggunaan bahan bakar yang lebih bersih (fuel switching); (iii) Peningkatan penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT); (iv) Pemanfaatan teknologi bersih baik untuk pembangkit listrik dan sarana transportasi; dan (iv) Pengembangan transportasi massal nasional yang rendah emisi, berkelanjutan, dan ramah lingkungan. Strategi dalam penurunan emisi gas rumah kaca di sektor energi dan transportasi dilakukan dengan: (i) Menghemat penggunaan energi final baik melalui penggunaan teknologi yang lebih bersih dan efisien maupun pengurangan konsumsi energi tak terbarukan (fosil); (ii) Mendorong pemanfaatan energi baru tak terbarukan skala kecil dan menengah; (iii) (Avoid) – mengurangi kebutuhan akan perjalanan terutama daerah perkotaan (trip demand management) melalui penata-gunaan lahan dan mengurangi perjalanan dan jarak perjalanan yang tidak perlu; (ii) (Shift) – menggeser pola penggunaan kendaraan pribadi (sarana transportasi dengan konsumsi energi yang tinggi) ke pola transportasi rendah karbon seperti sarana transportasi tidak bermotor, transportasi publik, dan transportasi air; (iii) (Improve) – meningkatkan efisiensi energi dan pengurangan pengeluaran karbon pada kendaraan bermotor pada sarana transportasi.

Sektor Industri. Langkah kebijakan sektor industri ditempuh dengan upaya peningkatan pertumbuhan industri dengan mengoptimalkan pemakaian energi. Strategi dalam

(26)

22 rangka penurunan emisi gas rumah kaca sektor industri ini dilakukan dengan: Melaksanakan audit energi khususnya pada industri-industri yang padat energi dan Memberikan insentif pada program efisiensi energi.

Sektor Limbah. Langkah kebijakan yang diambil dalam rangka penurunan emisi gas rumah kaca adalah dengan peningkatan pengelolaan sampah dan air limbah domestik. Strategi yang akan dilakukan di sektor limbah ini mencakup: (i) Meningkatkan kapasitas kelembagaan dan peraturan di daerah; (ii) Meningkatkan pengelolaan air limbah di perkotaan; (iii) Mengurangi timbulan sampah melalui 3R (reduce, reuse, recycle); (iv) Memperbaiki proses pengelolaan sampah di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA); (v) Meningkatkan pembangunan/ rehabilitasi TPA; dan (vi) Memanfaatkan limbah/sampah menjadi produksi energi yang ramah lingkungan.

Penentuan program sektoral dan anggaran untuk mencapai sasaran skenario (BAU atau dengan kerjasama). Secara lengkap deskripsi dari langkah-langkah kebijakan, strategi, anggaran, dan kerjasama dengan berbagai pihak tertuang di dalam Perpres No. 61/2011 tentang RAN GRK.

4.2.2. Pelaksanaan dan penjabaran di tingkat sektoral.

Dengan adanya penjabaran alokasi target ke setiap 5 (lima) sektor utama dan identifikasi program dan kegiatan yang berkontribusi dalam menurunkan emisi GRK, maka pelaksanaan di masing-masing sektor memiliki tujuan sasaran serta peran pemerintah yang jelas untuk mendorong pelaku usaha dan masyarakat di sektor masing-masing. Untuk itu, di setiap sektor perlu disusun kebijakan lebih lanjut tentang bagaimana masing-masing K/L sektor menyediakan fasilitasi baik berupa regulasi (standar, ukuran, dan kriteria) dan juga berupa insentif dan disinsentif serta mekanisme apabila diperlukanpenanggung jawab untuk masayarakat dan swasta (Gambar 3).

(27)

23 Sebagai contoh, untuk sektor kehutanan dan lahan gambut, telah disusun Strategi Nasional REDD+ dimana penyusunan draft awalnya dilakukan oleh Kementerian PPN/Bappenas bersama-sama dengan K/L terkait. Strategi nasional tersebut pada saat ini sedang dalam tahap finalisasi oleh Satgas REDD+ yang nantinya akan dijadikan sebagai landasan untuk pelaksanaan REDD+ dan pembentukan Lembaga REDD+ Nasional (Gambar 4).

Gambar 4: Implementasi Nasional

Sejalan dengan penyusunan strategi nasional REDD+ tersebut, juga sedang dikembangkan berbagai persiapan pelaksanaan REDD+ antara lain: (i) penyiapan basis data (peta) dan check kondisi hutan dan lahan gambut sesuai dengan peta tersebut dan pada keadaan nyata di lapangan; (ii) penyiapan landasan hukum dan penegakannya, dan terutama apabila terdapat konflik/perbedaan di lapangan; (iii) menyiapkan ukuran yang dapat digunakan untuk mengukur hasil penurunan emisi sesuai dengan MRV yang distandarkan secara internasional; (iv) menyiapkan instrumen pendanaan untuk insentif, baik yang bersifat investasi maupun payment for performance; (v) monitoring serta pendampingan di lapangan, mengingat hal ini merupakan langkah baru untuk melakukan kuantitifikasi dan valuasi jasa lingkungan (baca penurunan emisi/penyerapan karbon). Dengan kelengkapan itu maka untuk sektor kehutanan dan lahan gambut, sektor yang terbesar dapat menyumbang penurunan emisi akan dapat memfasilitasi terbentuknya kegiatan konkrit yang dapat menurunkan emisi, menyiapkan dan menumbuhkan berbagai kegiatan yang sejalan dengan rehabilitasi degradasi dan deforestasi hutan dan sekaligus menciptakan kegiatan ekonomi dan pendapatan alternatif serta kesempatan kerja.

Demikian pula untuk sektor lainnya perlu disusun langkah-langkah konkrit untuk memfasilitasi pelaku usaha/swasta yang pada akhirnya akan memerlukan regulasi dan mekanisme insentif/disinsentif atas capaian penurunan emisi yang dapat dilakukan. Dengan demikian, keseluruhan rencana program dan kegiatan penurunan emisi di setiap sektor pada

(28)

24 akhirnya dapat ditunjukkan yang merupakan bagian tidak terpisahkan dalam menjalankan pembangunan nasional.

4.2.3. Pelaksanaan di Tingkat Daerah

Perpres No. 61/2011 tentang RAN GRK mengamanatkan kepada Pemerintah Provinsi untuk menyusun rencana aksi pengurangan emisi untuk tingkat provinsi, yang selanjutnya disebut RAD GRK. Isi dari RAN GRK menjadi dasar bagi setiap provinsi dalam menyusun RAD GRK sesuai dengan kondisi daerah dan kemampuan seluruh komponen masyarakat di masing-masing provinsi. Sesuai dengan Perpres tersebut, RAD GRK harus diselesaikan dalam waktu 1 (satu) tahun setelah terbitnya Perpres itu dan ditetapkan melalui Peraturan Gubernur. Penyusunan RAD GRK diharapkan merupakan proses bottom-up yang menggambarkan bagaimana langkah yang akan ditempuh setiap provinsi dalam mengurangi emisi gas rumah kaca, sesuai dengan kapasitas masing-masing.

Untuk memfasilitasi penyusunan RAD GRK tersebut, Kementerian PPN/Bappenas dalam waktu 3 (tiga) bulan sudah menyelesaikan Pedoman Penyusunan RAD GRK. Pedoman ditetapkan melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Menteri Lingkungan Hidup dan Menteri Dalam Negeri. Pedoma n Penyusunan RAD GRK sudah diluncurkan dan disosialisasikan di tingkat nasional pada tanggl 12 Januari 2012. Selanjutnya untuk melakukan fasilitasi ke daerah, Kementerian PPN/Bappenas menyusun Tim Sosialisasi dan Fasilitasi Penyusunan RAD GRK melalui SK Menteri PPN/Kepala Bappenas tahun 2012. Sosialisasi Tahap I telah dilakukan di 5 (lima) wilayah yang dilaksanakan di Pelembang, Semarang, Denpasar, Makasar dan terakhir di Balikpapan. Proses selanjutnya adalah fasilitasi dan monitoring penyusunan RAD GRK yang dilakukan oleh Sekretariat Penyusunan RAD GRK yang berada di Kementerian PPN/Bappenas. Dengan adanya RAD GRK untuk 33 provinsi tersebut, maka pencapaian target penurunan emisi sebesar 26% dan 41% akan memiliki kerangka pelaksanaan, rencana pelaksanaa n dan sehingga dapat dilakukan secara kosisten dan kontinyu sampai dengan tahun 2020. Selanjutnya, kedudukan RAD GRK diantara dokumen rencana pembangunan yang sudah ada baik di tingkat pusat maupun daerah dapat dilihat pada Gambar 5. Demikian pula keterkaitan RAN GRK dan RAD GRK dengan beberapa proses komunikasi tentang perubahan iklim juga dapat dilihat pada Gambar 5 tersebut.

Institusi Terkait dan Kewenangannya. Sejalan dengan desentralisasi, berbagai K/L telah melakukan pembagian kewenangannya ke daerah. Dalam Tabel 1, 2, dan 3 dijelaskan secara singkat hasil inventarisasi kewenangan pada setiap sektor yang terkait dengan emisi gas rumah kaca. Tabel tersebut memberikan gambaran kewenangan yang dapat dan tidak dapat dilakukan lembaga di tingkat provinsi berdasarkan kerangka kelembagaan yang ada (UU 32/2004, dan PP 38/2007). Dengan adanya pembagian dan batasan

(29)

25 kewenangan tersebut maka akan jelas batasan tanggung jawab dalam melaksanakan program dan kegiatan-kegiatan yang terkait dengan upaya penurunan emisi.

Gambar 5. Kerangka Keterkaitan Dokumen/Kebijakan Nasional-Daerah dengan RAD GRK

Selanjutnya, untuk melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan RAD GRK, Pemda Provinsi juga diminta untuk membentuk Tim Koordinasi yang sekretariatnya bertempat di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), dan beranggotakan berbagai dinas terkait sesuai dengan pembagian sektor dan identifikasi kegiatan-kegiatan daerah yang akan digunakan untuk mendukung penurunan emisi. Agak berbeda dengan struktur RAN GRK yang berisi tentang program dan kegiatan yang akan dilakukan oleh dan/atau melalui K/L untuk menurunkan emisi GRK, maka RAD GRK akan berisi kegiatan-kegiatan di lapangan yang akan berkontribusi menurunkan emisi GRK. Contoh-contoh kegiatan ini sudah disebutkan di dalam Buku Pedoman Penyusunan RAD GRK. Dengan penentuan penurunan emisi berbasis kegiatan maka: (i) akan sangat aplikatif di lapangan karena sudah berupa kegiatan nyata; (ii) mudah diidentifikasi dinas penanggungjawab utama dan dinas pendukung; (iii) mudah untuk dikaitkan dengan kegiatan yang selama ini sudah dilakukan dan hanya memerlukan penyempurnaan dalam melakukan RAD GRK sesuai dengan prinsip-prinsip penurunan emisi. Dengan langkah ini maka kegiatan penurunan emisi GRK merupakan bagian dari kegiatan pembangunan daerah dan juga mengatasi masalah-masalah pembangunan seperti peningkatan akses terhadap energi dan air, penurunan kemiskinan, perluasan kesempatan kerja dan penumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan bagi masyarakat.

(30)

26 Tabel 1

Kewenangan Pemerintah Tingkat Provinsi dalam Pelaksanaan Penurunan Emisi GRK Bidang Kehutuanan dan Pertanian (Land based activity)

SEKTOR KEHUTANAN

Kewenangan Terkait Kewenangan Tingkat Pemerintah Provinsi Dapat Dilakukan Tidak Dapat

Dilakukan Jenis tanaman pada

hutan konservasi dan produksi

Peraturan jenis tanaman yang ditanami pada suatu luasan tertentu di dalam area provinsi.

Area hutan di dalam kewenangan Pemerintah Pusat. Community forestry (SFM) Pendampingan terhadap community forestry. - Hutan Rakyat

Pengelolaan tipe tanaman, rehabilitasi, waktu panen, dan pengedalian.

-

Manajemen kebakaran Koordinasi dengan Pemerintah

Pusat -

Pengendalian, evaluasi, dan rehabilitasi

Perlindungan terhadap hutan di dalam kewenangan Pemerintah Provinsi.

-

Produksi di Hutan Privat

Koordinasi dengan pihak swasta yang memiliki konsesi. SEKTOR PERTANIAN

Kewenangan Terkait Kewenangan Tingkat Pemerintah Provinsi Dapat Dilakukan Tidak Dapat

Dilakukan Perencanaan,

Kebijakan, dan Peraturan

Perencanaan ketersediaan lahan

untuk kegiatan pertanian -

Penerbitan Izin

Penerbitan izin dan perubahan guna lahan untuk kegiatan pertanian

- Pertanian berbasis

perusahaan (corporate farming)

Pemerintah Provinsi hanya dapat mengeluarkan peraturan.

Kewenangan perusahaan. Teknologi pertanian

Penelitian atau proyek

percontohan untuk pengurangan emisi di kegiatan pertanian.

Sepenuhnya terkait kapasitas petani.

Gambar

Tabel 1.  Perkembangan Pencapaian sasaran MDG Tahun 2010
Gambar 1. Komitmen Presiden mengenai RAN GRK
Gambar 2: Target Penurunan Tingkat Emisi Sektoral
Gambar 4: Implementasi Nasional
+5

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini dapat dimengerti kompetensi auditor adalah faktor yang diperhatikan oleh setiap kantor akuntan publik karena dari seorang pekerja mencakup pengetahuan, keterampilan

Pada wilayah UPT PSDA Malang dimana curah hujan sangat minim atau hampir tidak ada selama musim kemarau (dalam hal ini diambil bulan paling kering antara Juli sd

Mahasiswa yang memiliki motivasi bermainnya lebih tinggi dari pada keinginannya untuk mengerjakan tugas akademik menyebabkan tugas akademik menjadi hal yang ditunda

Dengan menggunakan alat analisa berupa rasio ini akan dapat menjelaskan atau memberi gambaran kepada penganalisa tentang baik atau buruknya keadaan atau posisi keuangan suatu

• Jika satu bulan kerja setara dengan 25 hari kerja, maka jika ada usahatani yang menggunakan tenaga wanita sebanyak 100HKW, berarti setara dengan 4 BKW(bulan kerja wanita) • Satuan

Menurut Solomon dan Rothblum (1984) beberapa kerugian akibat kemunculan prokrastinasi adalah tugas tidak terselesaikan, terselesaikan tetapi hasilnya tidak memuaskan disebabkan

Pada dasarnya pengunjung Restoran Karimata terdiri dari berbagai golongan usia. Namun, responden yang dipilih dalam penelitian ini adalah responden yang berusia lebih dari 16

Dileep Srivastava, Direktur dan Sekretaris Perusahaan BUMI, mengemukakan, pada tahun 2016, volume penjualan batubara gabungan meningkat 10,6% year-on-year (yoy) menjadi 87,7 juta