• Tidak ada hasil yang ditemukan

ODONTOLOGI FORENSIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ODONTOLOGI FORENSIK"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

ODONTOLOGI FORENSIK 

ODONTOLOGI FORENSIK 

odontologi forensik merupakan cabang ilmu dari kedokteran forensik. dimana mempelajari odontologi forensik merupakan cabang ilmu dari kedokteran forensik. dimana mempelajari tentang identifikasi korban / barang bukti melalui data

tentang identifikasi korban / barang bukti melalui data gigi nya baik itu data ante mortemgigi nya baik itu data ante mortem maupun post mortem.

maupun post mortem.

A. PRINSIP DAN TUJUAN IDENTIFIKASI A. PRINSIP DAN TUJUAN IDENTIFIKASI 1. Tujuan

1. Tujuan

- dasar etika dan HAM - dasar etika dan HAM

- kepentingan formal, hukum, dan hak milik  - kepentingan formal, hukum, dan hak milik  - kepentingan investigasi

- kepentingan investigasi

- tertib administrasi (kematian) - tertib administrasi (kematian) - klaim asuransi, dsb.

- klaim asuransi, dsb. 2. Prinsip

2. Prinsip

ada pula prinsip yang ditegakan dari identifikasi harus memnuh

ada pula prinsip yang ditegakan dari identifikasi harus memnuh i SARS.i SARS. S: Sex --> perkiraan jenis kelamin korban

S: Sex --> perkiraan jenis kelamin korban A : Age --> perkiraan usia korban

A : Age --> perkiraan usia korban

R : Race --> perkiraan ras dan etnis korban R : Race --> perkiraan ras dan etnis korban

S : Stature --> perkiraan tinggi dan panjang tubuh korban S : Stature --> perkiraan tinggi dan panjang tubuh korban

a. membandingkan data ante mortem dengan post mortem --> superimpose a. membandingkan data ante mortem dengan post mortem --> superimpose  b. menggunakan 2 metode :

 b. menggunakan 2 metode : # metode

# metode sederhana sederhana : identif: identifikasi penunjangikasi penunjang

#metode ilmiah : termasuk kedalam pemeriksaan primer yaitu Sidik J

#metode ilmiah : termasuk kedalam pemeriksaan primer yaitu Sidik J ari, DNA, Odontologi,ari, DNA, Odontologi, Serologi, Medis.

Serologi, Medis.

B. SIFAT IDENTIFIKASI B. SIFAT IDENTIFIKASI

Identifikasi ada yang bersifat primer atau mutlak dilakukan karena

Identifikasi ada yang bersifat primer atau mutlak dilakukan karena keakuratan dan spesifikasikeakuratan dan spesifikasi nya tinggi. adapula pemeriksaan

nya tinggi. adapula pemeriksaan yang termasuk kedalam identifikasi primer :yang termasuk kedalam identifikasi primer : - DNA

- DNA - Serologi - Serologi

- Odontologi, yang di identifikasi dari gigi geligi adalah : gigi lengkap, ukuran, bentuk dan - Odontologi, yang di identifikasi dari gigi geligi adalah : gigi lengkap, ukuran, bentuk dan anomali, perkiraan usia dari gigi yg belum tumbuh dan yg telah tumbuh.

anomali, perkiraan usia dari gigi yg belum tumbuh dan yg telah tumbuh. - Sidik Jari

- Sidik Jari - Medis - Medis

Semua orang memiliki spesifikasinya masing-masing. tidak mungkin ada

Semua orang memiliki spesifikasinya masing-masing. tidak mungkin ada 2 individu yang sama2 individu yang sama  persis meskipun itu kembar sekalipun. maka tes ini dianggap primer. ada juga identifikasi yang  persis meskipun itu kembar sekalipun. maka tes ini dianggap primer. ada juga identifikasi yang  bersifat sekunder. adapula pemeriksaan yang termasuk identifikasi sekunder adalah :

 bersifat sekunder. adapula pemeriksaan yang termasuk identifikasi sekunder adalah : - pemeriksaan penunjang

- pemeriksaan penunjang

- metode identifikasi lain : visual, pakaian, property, ekslusi

- metode identifikasi lain : visual, pakaian, property, ekslusi --> pada bencana massal--> pada bencana massal C. IDENTIFIKASI GIGI GELIGI

C. IDENTIFIKASI GIGI GELIGI

1. Ciri spesifik yang dpat didapat dari gigi g

(2)

- jumlah gigi - jumlah gigi

- berbagai jenis tambalan - berbagai jenis tambalan - berbagai jenis protesa - berbagai jenis protesa

- berbagai jenis kehilangan gigi - berbagai jenis kehilangan gigi

- berbagai karies dari 160 permukaan - berbagai karies dari 160 permukaan gigigigi - perawatan sal. akar 

- perawatan sal. akar  - bentuk anatomi gigi - bentuk anatomi gigi - jaringan periodontalnya - jaringan periodontalnya - oklusi gigi geligi

- oklusi gigi geligi - anomali, dsb. - anomali, dsb.

2. Alasan mengapa gigi dipilih sebagai bah

2. Alasan mengapa gigi dipilih sebagai bahan identifikasi :an identifikasi : - gigi melekat erat pada tulang rahang

- gigi melekat erat pada tulang rahang

- gigi terlindungi oleh pipi dan jaringan sekitarnya - gigi terlindungi oleh pipi dan jaringan sekitarnya - gigi bisa tahan pemasana hingga 9

- gigi bisa tahan pemasana hingga 900 derajat C, tahan kimawi, tah00 derajat C, tahan kimawi, tahan abrasi dan atrisi karenaan abrasi dan atrisi karena kandungan non organik didalam gigi tinggi, bahkan lebih tinggi dari tulang

kandungan non organik didalam gigi tinggi, bahkan lebih tinggi dari tulang

- bentuk jelas sehingga mudah di kenali --> setelah manusia meninggal, bentuk gigi tidak akan - bentuk jelas sehingga mudah di kenali --> setelah manusia meninggal, bentuk gigi tidak akan  berubah

 berubah

- tidak mungkin ada 2 individu yang mempunyai cici yg identik  - tidak mungkin ada 2 individu yang mempunyai cici yg identik  3. Kendala identifikasi :

3. Kendala identifikasi :

- pada data ante mortem : banyak masyarakat indonesia yang tidak melakukan perwatan gigi - pada data ante mortem : banyak masyarakat indonesia yang tidak melakukan perwatan gigi dan mempunyai data radiogram gigi nya sebagai RM

dan mempunyai data radiogram gigi nya sebagai RM

- Sebagian besar masyarakat indonesia yang melakukan perawatan berpindahpindah - Sebagian besar masyarakat indonesia yang melakukan perawatan berpindahpindah - pencatatan tidak cukup dna tidak baku

- pencatatan tidak cukup dna tidak baku - memerlukan waktu yg lama

- memerlukan waktu yg lama

D. KONSEP DASAR IDENTIFIKASI GIGI : D. KONSEP DASAR IDENTIFIKASI GIGI : 1. Validitas identifikasi gigi :

1. Validitas identifikasi gigi :

a. ada catatan pra kematian yg akurat a. ada catatan pra kematian yg akurat  b. gigi tahan thd pengerusakan

 b. gigi tahan thd pengerusakan c. bahan yg diteliti bersifat spesifik  c. bahan yg diteliti bersifat spesifik  2. Faktor kerusakan

2. Faktor kerusakan

a. diakibatkan oleh tingginya temperatur pemanasan dan waktu lama nya pemanasan a. diakibatkan oleh tingginya temperatur pemanasan dan waktu lama nya pemanasan  b. bentuk kerusakannya :

 b. bentuk kerusakannya :

- SEGERA --> enamel pecah - SEGERA --> enamel pecah

- BERTAHAP --> mahkota terpisah dengan akar  - BERTAHAP --> mahkota terpisah dengan akar  - BERLANJUT --> struktur gigi menjadi abu - BERLANJUT --> struktur gigi menjadi abu 3. Individualitas gigi

3. Individualitas gigi

- herediter, bawaan, atau perkembangan - herediter, bawaan, atau perkembangan - kombinasi variasi gigi

- kombinasi variasi gigi

- kombinasi konstruksi, morfprologi, keadaan, prosedur restorasi, bahan d

- kombinasi konstruksi, morfprologi, keadaan, prosedur restorasi, bahan d an alat prostetik an alat prostetik  dibidang KG

dibidang KG

- gambaran struktur Rahang dan gigi pd

(3)

E. DATA GIGI POST MORTEM

# Informasi yang dapat di peroleh dari gigi : 1. ciri khas pada gigi

2. jenis kelamin a. Morfologi gigi :

- rahang dan lengkung gigi pada perempuan berbentuk U - rahang dan lemngkung gigi pada laki-laki berbentuk V - gigi C dan M2 bawah laki-laki lebih besar dari perempuan - gigi P dan M1 atas laki-laki lebih besar dari perempuan  b. Kromosom X dan Y

3. usia

- melihat panjang tulang - erupsi gigi geligi

- menggunakan tabel schour and massler  - metode gustaffon

- metode kronfield 1935 4. golongan darah

5. status sosial

6. kebiasaan dan pekerjaan 7. ras / etnis

a. pembagian ras secara umum : - ras kaukasoid

- ras mongoloid : ciri khas dari ras ini adalah bentuk shovel pd insisivus RA yg nyata / strong shovel, kejadian torus mandibula tinggi, dan rendahnya frekuensi tonjol carrabelli bahkan tidak ada.

- ras negroid

 b. berdasarkan letak geografis : - ras kaukasoid - ras mongoloid - ras australoid - ras congoid - ras capoid 8. DNA

F. DATA GIGI POST MORTEM

data gigi pra kematian dapat didapat dalam bentuk catatan RM tertulis, model cetakan gigi, data rontgen gigi, dan keterangan dari keluarga dan kerabat. tetapi catatan gigi sering kali tidak  akurat dan lengkap atau bahkan sering membingungkan. dan kebanyakan masyarakat indonesia melakukan perawatan gigi secara berpindah-pindah yang membuat sulit RM. Data-data gigi ini dapat diperoleh dari :

1. keluarga dan kerabat 2. dokter gigi yg merawat

(4)

PENDAHULUAN

Dalam beberapa saat terakhir, kita banyak dikejutkan oleh terjadinya bencana massal yang menyebabkan kematian banyak orang, seperti jatuhnya pesawat Garuda di Sibolangit, tabrakan massal yang menyebabkan kematian banyak orang, dsb. Selain itu kasus kejahatan yang

memakan banyak korban jiwa juga cenderung tidak berkurang dari waktu ke waktu. Pada kasus-kasus semacam ini, tidak jarang kita jumpai banyak korban tidak dikenal dan karenanya perlu diidentifikasi.

Identifikasi korban pada kasus-kasus ini diperlukan karena status kematian korban memiliki dampak yang cukup besar pada berbagai aspek kehidupan keluarga yang ditinggalkan. Jika diketahui bahwa korban adalah A, maka didapatkan kepastian bahwa si A telah meninggal dan karenanya, maka :

Ø Si A dapat diserahkan kepada keluarganya dan dapat dikuburkan dengan baik (aspek budaya). Ø Terjadinya perubahan status pada setiap anggota keluarganya (istri/suami serta anak-anaknya) dengan dampak hukum dan sosialnya (aspek sosial dan hukum).

Ø Warisan dapat dibagikan kepada ahli warisnya (aspek hukum).

Ø Asuransi, jika ada, dapat diklaim oleh ahli warisnya (aspek hukum dan ekonomi). Ø Ahli warisnya mendapatkan hak atas pensiun (aspek ekonomi).

Ø Pada kasus kriminal, identifikasi korban dapat dijadikan sebagai titik awal untuk   pengungkapan kasus (aspek hukum).

Odontologi forensik adalah salah satu metode penentuan identitas individu yang telah dikenal sejak era Sebelum Masehi. Kehandalan tehnik identifikasi ini bukan saja disebabkan karean ketepatannya yang tinggi sehingga nyaris menyamai ketepatan teknik sidik jari, akan tetapi juga karena kenyataan bahwa gigi (dan tulang) adalah material biologis yang paling tahan terhadap  perubahan lingkungan dan terlindung. Dalam kasus sehari-hari, kita kerapkali mendapatkan  bahwa hanya gigi saja yang tersisa dan dapat digunakan untuk mengidentifikasi individu.  posted by AtmadjaDS,dr.SpF,SH,PhD,DFM @ 4:43 AM 

IDENTIFIKASI DAN ODONTOLOGI FORENSIK 

Pada prinsipnya identifikasi adalah prosedur penentuan identitas individu, baik hidup ataupun mati, yang dilakukan melalui pembandingan berbagai data dari individu yang diperiksa dengan data dari orang yang disangka sebagai individu tersebut. Sebagai prinsip umum dapat dikatakan  bahwa :

1. Pada identifikasi pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan sebanyak mungkin metode identifikasi.

2. Jika ada data yang tidak cocok, maka kemungkinan tersangka sebagai individu tersebut dapat disingkirkan (eksklusi).

3. Setiap kesesuaian data akan menyebabkan ketepatan identifikasi semakin tinggi.

Atas dasar itu, maka dalam identifikasi individu, sebanyak mun gkin metode pemeriksaan perlu diusahakan dilakukan dan satu sama lain saling melengkapi.

(5)

identifikasi. Kita mengenal ada 9 macam metode identifikasi yaitu : 1. Visual:

Identifikasi dilakukan dengan melihat tubuh atau bagian tubuh korban secara visual, misalnya muka, tungkai dsb. Metode ini hanya dapat dilakukan jika tubuh atau bagian tubuh tersebut masih utuh.

2. Perhiasan :

Beberapa perhiasan yang dipakai korban, seperti cincin, gelang, rantai, arloji, liontin, dsb dapat mengarahkan kita kepada identitas korban tersebut. Perhiasan mempunyai nilai yang lebih tinggi  jika ia mempunyai ciri khas, seperti gravir nama, foto dalam liontin, bentuk atau bahan yang

khas dsb. 3. Pakaian:

Pakaian luar dan dalam yang dipakai korban merupakan data yang amat berharga untuk 

menunjukkan identitas si pemakainya, bentuknya yang unik atau yang mempunyai label tertentu (label nama, penjahit, binatu atau merek) memiliki nilai yang lebih karena dapat mempersempit kemungkinan tersangka.

4. Dokumen :

Dokumen seperti SIM, KTP, Pasport dapat menunjukkan identitas orang yang membawa

dokumen tersebut, khususnya jika dokumen tersebut dibawa sendiri oleh pemiliknya dan tidak   palsu.

5. Identifikasi secara medis :

Pemeriksaan medis dilakukan untuk mendapatkan data umum dan data khusus individu

 berdasarkan pemeriksaan atas fisik individu tersebut. Pada pengumpulan data umum dicari data yang umum diketahui dan dimiliki oleh setiap individu dan mudah dikonfirmasi kepada

keluarga, seperti data ras, jenis kelamin, umu, berat badan, warna kulit, rambut, dsb. Data khusus adalah data yang belum tentu dimiliki oleh setiap individu atau data yang tidak dengan mudah dikonfirmasi kepada keluarganya, seperti data foto ronsen, data lab, adanya tattoo, bekas operasi atau jaringan parut, tehnik superimposisi, tehnik rekonstruksi wajah, dsb.

6. Odontologi forensik:

Pemeriksaan atas gigi geligi dan jaringan sekitarnya serta berbagai perubahan akibat perawatan gigi dapat membantu menunjukkan identitas individu yang bersangkutan.

7. Serologi forensik :

Pada awalnya yang termasuk dalam kategori pemeriksaan serologi adalah pemeriksaan terhadap  polimorfisme protein yaitu pemeriksaan golongan darah dan golongan protein serum.

Perkembangan ilmu kedokteran menyebabkan ruang lingkup serologi diperluas dengan  pemeriksaan polimorfisme protein lain yaitu pemeriksaan terhadap enzim eritrosit serta  pemeriksaan antigen Human Lymphocyte Antigen (HLA).

Pada saat ini dengan berkembangnya analisis polimorfisme DNA, bidang ini menjadi lebih luas lagi karena bahan pemeriksaan bukan lagi darah, melainkan hampir seluruh sel tubuh kita. Hal ini memberikan dampak kecenderungan penggantian istilah serologi dengan istilah hemereologi yang mencakup semua hal diatas.

8. Sidik jari :

Telah lama diketahui bahwa sidikjari setiap orang didunia tidak ada yang sama sehingga  pemeriksaan sidikjari dapat digunakan untuk identifikasi individu.

9. Eksklusi :

Dalam kecelakaan massal yang menyebabkan kematian sejumlah individu, yang nama-namanya ada dalam daftar individu (data penumpang, data pegawai dsb), maka jika (n-1) individu telah

(6)

teridentifikasi, maka satu individu terakhir diputuskan tanpa pemeriksaan (per ekslusionam) sebagai individu yang tersisa menurut daftar tersebut.

 posted by AtmadjaDS,dr.SpF,SH,PhD,DFM @ 4:42 AM 

DEFINISI ODONTOLOGI FORENSIK 

Menurut Pederson, odontologi forensik adalah suatu cabang ilmu kedokteran gigi yang mempelajari cara penanganan dan pemeriksaan benda bukti gigi serta cara evaluasi dan  presentasi temuan gigi tersebut untuk kepentingan peradilan.

Sebagai suatu metode identifikasi pemeriksaan gigi memiliki keunggulan sbb :

1. Gigi dan restorasinya merupakan jaringan keras yang resisten terhadap pembusukan dan  pengaruh lingkungan yang ekstrem.

2. Karakteristik individual yang unik dalam hal su sunan gigi geligi dan restorasi gigi menyebabkan dimungkinkannya identifikasi dengan ketepatan yang tinggi (1:1050).

3. Kemungkinan tersedianya data antemortem gigi dalam bentuk catatan medis gigi (dental record) dan data radiologis.

 posted by AtmadjaDS,dr.SpF,SH,PhD,DFM @ 4:41 AM 

SEJARAH ODONTOLOGI FORENSIK 

Sejarah odontologi forensik telah ada sejak jaman prasejarah, akan tetapi baru mulai

mendapatkan perhatian pada akhir abad 19 ketika banyak artikel tentang odontologi forensik  ditulis dalam jurnal kedokteran gigi pada saat itu. Masa setelah itu adalah kekosongan, sampai sekitar tahun 1960 ketika program instruksional formal kedokteran gigi forensik pertama dibuat oleh Armed Force Institute of Pathology. Sejak saat itu banyak kasus penerapan odontologi forensik dilaporkan dalam literatur sehingga nama odontologi forensik mulai banyak dikenal  bukan saja di kalangan dokter gigi, tetapi juga di kalangan penegak hukum dan ahli-ahli forensik.

Catatan tertulis mengenai sejarah odontologi forensik telah ada sejak Sebelum Masehi (SM). Tidak lama setelah perkawinannya dengan Kaisar Roma Claudius, pada tahun 49 SM, Agrippina ( yang kelak akan menjadi ibu Kaisar Nero) mulai membuat rencana untuk mengamankan

 posisinya. Karena takut janda kaya Lollia Paulina masih merupakan saingannya dalam menarik   perhatian Kaisar, maka ia membujuk Kaisar untuk mengusir wanita tersebut dari Roma. Akan

tetapi hal itu rupanya masih dianggapnya kurang dan ia menginginkan kematian wanita tersebut. Tanpa setahu Kaisar, ia mengirim seorang serdadu untuk membunuh wanita tersebut. Sebagai  bukti telah melaksanakan perintahnya, kepala Lollia dibawa dan ditunjukkan kepada Arippina.

Karena kepala tersebut telah rusak parah mukanya, maka Agrippina tidak dapat mengenalinya lagi dari bentuk mukanya. Untuk mengenalinya Agrippina kemudian menyingkap bibir mayat tersebut dan memeriksa giginya yang mempunyai ciri khas, yaitu gigi depan yang berwarna kehitaman. Adanya ciri tersebut pada gigi mayat membuat Agrippina yakin bahwa kepala tersebut adalah benar kepala Lollia.

Pada tahun 1775 Paul Revere, seorang dokter gigi yang juga perajin perak telah membuat kawat  perak (wire) dan ivory bridge (hippopotomus tusk) untuk mengganti gigi seri dan premolar 

(7)

 pertama atas kiri Dr. Joseph Warren yang tanggal. Di kemudian hari pada masa revolusi, Warren masuk tentara dan telah menjadi Jenderal pada milisia Massachusetts. Dalam peperangan Bunker  Hill di Breed’s Hill, Warren tertembak dan dikuburkan ditempat tersebut tanpa nisan. Hal

tersebut diduga dilakukan untuk melindungi korban dari pencurian gigi mayat yang banyak  terjadi saat itu. (Pada sekitar abad 18 dan awal abad 19, saat gigi porselin belum ditemukan, sering terjadi perampokan gigi jenazah jenazah di kuburan atau di medan peperangan, karean gigi tersebut laku dijual ke dokter gigi untuk bahan pembuatan gigi palsu. Umum pula terjadi orang miskin mencabut giginya yang masih baik atau menggunting rambutnya untuk dijual untuk  sekedar mendapatkan uang). Pada tahun 1776, sekitar 10 bulan setelah kematian Warren, atas  permintaan saudara dan kawan-kawannya, dokter Revere dipanggil ke Breed’s Hill untuk 

mengidentifikasi mayat yang diduga Warren. Berdasarkan adanya bridge dan wire yang

ditemukan pada mayat tersebut yang dikenalinya sebagai buatannya sendiri, Revere menyatakan  bahwa mayat tersebut adalah jendral Warren. Dalam catatan sejarah odontologi forensik, Paul

Revere adalah dokter gigi pertama yang melakukan identifikasi dengan gigi sehingga ia sering disebut sebagai Pelopor Odontologi Forensik.

Antara tahun 1802 sampai 1875 di Inggris terjadi eksploitasi besar-besaran anak-anak untuk  dipekerjakan di berbagai industri. Revolusi industri memerlukan ban yak pekerja yang murah sehingga saat itu semua orang, termasuk anak-anak, banyak dipekerjakan di pabrik-pabrik. Untuk melindungi anak-anak dari eksploitasi, pada tahun 1819 diberlakukan Peel’s act yang melarang mempekerjakan anak dibawah 9 tahun di pabrik kapas. Pada tahun 1836 larangan ini diperluas dan diterapkan juga di pabrik tekstil. Pada waktu itu penentuan usia amat penting sebab hal tersebut juga mempunyai dampak terhadap pengaturan jam kerja. Menurut Undang-undang tersebut, anak-anak yang berusia 9 sampai 13 tahun hanya diizinkan bekerja 48 jam perminggu, sedang anak yang berusia diatas 13 tahun boleh bekerja sampai 69 jam perminggu. Untuk   penentuan umur ketika itu digunakan patokan tinggi badan, dimana anak yang tingginya diatas

51,5 inchi dianggap berumur lebih dari 13 tahun. Pada tahun 1837 mulai dilakukan gerakan  pencatatan kelahiran untuk mendapatkan data umur yang lebih akurat. Pada tahun yang sama

Edwin Saunders melakukan pemeriksaan tinggi badan dan gigi geligi dari 1.046 orang anak dan ia mendapatkan bahwa penentuan umur dengan pemeriksaan gigi lebih akurat dibandingkan dengan pengukuran tinggi badan.

Dalam identifikasi personal dengan menggunakan metode odontologi forensik diperlukan data gigi (dental record) akurat yang dibuat oleh dokter gigi yang merawat gigi korban. Pada tahun 1887 Godon dari Paris merekomendasikan penggunaan gigi untuk identifikasi orang yang hilang. Untuk itu ia menganjurkan agar para dokter gigi menyimpan data gigi para pasiennya, untuk   berjaga-jaga kalau-kalau kelak data tersebut diperlukan sebagai data pembanding.

Kasus identifikasi personal yang terkenal adalah kasus pembu nuhan Dr. George Parkman, seorang dokter dari Aberdeen, oleh Professor JW Webster, seorang dokter yang juga ahli kimia dan mineralogist di Boston, Massachusetts pada tahun 1850. Pada kasus ini korban dibunuh, lalu tubuhnya dipotong-potong lalu dibakar di perapian. Diantara abu perapian, polisi mendapatkan satu blok gigi palsu dari porselin yang melekat pada emas dan potongan tulang. Dr. Nathan Cooley Keep, seorang dokter bedah mulut memberikan kesaksian bahwa gigi palsu itu adalah  bagian dari gigi palsu buatannya pada tahun 1846 untuk Dr. Parkman yang rahang ba wahnya

amat protrusi. Dr. Keep amat yakin akan kesaksiannya karena proses pembuatan gigi palsu itu sulit terlupakan. Pada saat itu ia diminta untuk membuat gigi palsu secara kilat (hanya dalam

(8)

semalam) karena Dr. Parkman ingin memakainya pada acara pembukaan Fakultas Kedokteran yang salah satu penyandang dananya adalah Dr. Parkman. Pencarian lebih lanjut atas abu  perapian dilakukan dan didapatkan potongan-potongan gigi palsu lainnya setelah disatukan

ternyata cocok dan sesuai dengan catatan model gigi Parkman yang masih disimpan oleh Dr. Keep. Pada kasus ini porselin tidak ikut terbakar karena terlindungi dari pembakaran oleh lidah,  bibir dan pipi sehingga masih utuh dan dapat diidentifikasi.

Pada tanggal 4 Mei 1897, sejumlah 126 orang Parisi dibakar sampai meninggal di Bazaar de la Charite. Para korban sulit diidentifikasi secara visual karena umumnya dala m keadaan terbakar  luas dan termutilasi. Identifikasi sebagian besar korban berhasil dilakukan b erdasarkan temuan sisa pakaian dan barang milik pribadi yang masih utuh. Sebanyak 30 mayat tidak berhasil

diidentifikasi dan untuk mengidentifikasikannya seorang konsul Paraguai yang mengenal banyak  korban, meminta bantuan Dr. Oscar Amoedo (dokter gigi Kuba yang berpraktek di Paris) dan dua orang dokter gigi Perancis, Dr. Davenport dan Dr. Braul untuk melakukan pemeriksaan gigi-geligi para korban. Berdasarkan pemeriksaan ini kemudian ternyata mereka berhasil

mengidentifikasi korban-korban ini. Setahun kemudian berdasarkan pengalamannya ini, Dr. Amoedo menulis thesis yang berjudul L’Art Dentaire en Medecine Legale. Buku Dr. Amoedo ini merupakan buku odontologi forensik yang penting dan dianggap tidak kalah penting

dibandingkan buku Gustafson yang berjudul Forensic Odontology yang merupakan ―Kitab Suci‖  para pakar odontologi forensik yang ditulis pada tahun 1966.

Pada tahun 1906 di Carlisle, dua orang buruh dituduh mendobrak toko Koperasi dan mencuri  beberapa barang berharga. Pada penyelidikan, di tempat kejadian perkara (TKP) ditemukan  beberapa potong keju yang menunjukkan adanya bekas gigitan. Kedua orang yang dicurigai

tersebut ditahan dan diminta untuk membuat impresi giginya pada suatu model. Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa pola gigi pada model yang dibuat olah salah seorang tersangka ternyata bersesuaian (cocok) sama sekali dengan jejas pada keju. Atas dasar ini orang tersebut kemudian dinyatakan bersalah dan dihukum.

Pada tahun 1911 Elphinstone menulis bahwa pada peperangan tahun 1193, suatu mayat berhasil dikenali sebagai mayat Raja Chei Chandra Rahtor of Cabouj berdasarkan pengenalan atas gigi  palsu yang dipakainya.

Pada tahun 1917 di dermaga Brooklyn ditemukan mayat yang kemudian dipastikan sebagai seorang wanita yang telah menghilang 8 bulan sebelumnya. Identifikasi pada kasus ini

ditegakkan berdasarkan temuan bridge pada gigi geliginya. Jenazah Hitler dan Eva Braun serta Martin Borman berhasil diidentifikasi berdasarkan pembandingan data gigi, foto ronsen serta crown yang ditemukan pada gigi geliginya.

Pada tahun 1925 suatu laboratorium di California meledak dan meninggalkan satu badan hangus diantara puing abu. Istri dan seorang pegawai memberikan kesaksian bahwa badan tersebut adalah Tuan Schwartz, seorang ahli kimia di laboratorium tersebut. Schwartz diketahui memiliki 2 gigi tanggal dan sisa gigi lainnya utuh. Pemeriksaan secara teliti atas mayat hangus tersebut menunjukkan adanya banyak gigi yang mengalami caries dentis dan 2 gigi yang baru saja

dicabut. Berdasarkan hal itu disimpulkan bahwa korban bukanlah Scwartz dan kemudian terbukti Schwartz masih hidup. Scwartz sendiri kemudian mengakui bahwa pria tersebut adalah korban yang dibunuh olehnya, dipotong-potong lalu dibakarnya untuk menghilangkan jejak.

Pada beberapa kasus orang hidup, pemeriksaan gigi juga terbukti berperan untuk menentukan identitas seseorang. Pada tahun 1928 Nyonya Tchaikowskaya menyatakan bahwa ia adalah Grand Duchesss Anastasia, adik bungsu Czar Rusia terakhir yang dibunuh. Di pengadilan,

(9)

dimajukan dokter gigi pengadilan yaitu Dr. Kostritsky sebagai saksi ahli. Dokter ini adalah dokter gigi yang pernah memeriksa gigi Anastasia sewaktu putri itu masih kecil. Pembandingan data gigi ibu tersebut dengan susunan gigi menunjukkan bahwa itu tersebut bukanlah Anastasia. Odontologi forensik berperan pada identifikasi korban peperangan dengan korban meninggal yang banyak. Norstromme dan Strom menyatakan bahwa setelah penggalian jenazah atas korban  peperangan, sebanyak 96 % tentara Norwegia dapat diidentifikasi hanya dengan pemeriksaan

gigi. Pada kasus ini identifikasi dengan metode lainnya sulit dilakukan karena para tentara

tersebut telah dijarah semua pakaian dan harta bendanya oleh musuhnya sebelum dieksekusi. Di AS meskipun sejak tahun 1946 Kongres Kedokteran Forensk dalam bidang Odontologi Forensik  se AS di Havana telah menyadari pentingnya odontologi forensik untuk identifikasi, penggunaan odontologi forensik secara luas pada korban perang baru dilakukan setelah perang Korea. Pada korban perang tersebut disadari betapa besarnya peranan odontologi forensik untuk identifikasi korban yang kondisinya sudah hancur.

Sayangnya sejak tahun 1907, pola dasar odontologi forensik hanya sedikit sekali berubah,

kecuali dalam hal meterial dan tehnik laboratoris serta beberapa perbaikan pada teknolo gi ilmiah dan fotografi.

 posted by AtmadjaDS,dr.SpF,SH,PhD,DFM @ 4:40 AM 

PERANAN DOKTER GIGI FORENSIK 

Sebagaimana telah diterangkan diatas, benda bukti gigi sudah sejak lama disadari mempunyai  peran yang besar dalam identifikasi personal dan pengungkapan kasus kejahatan. Bagi para

aparat penegak hukum dan pengadilan, pembuktian melalui gigi merupakan metode yang valid dan terpercaya (reliable), sebanding dengan nilai pembuktian sidikjari dan penentuan golongan darah.

Seorang dokter gigi forensik harus memiliki beberapa kualifikasi sbb : 1. Kualifikasi sebagai dokter gigi umum.

Kualifikasi terpenting yang harus dimiliki oleh seorang dokter gigi forensik adalah latar belakang kedokteran gigi umum yang luas, meliputi semua spesialisasi kedokteran gigi. Sebagai seorang dokter gigi umum, kadang-kadang ia perlu memanggil dokter gigi spesialis untuk membantun ya memecahkan kasus.

2. Pengetahuan tentang bidang forensik terkait.

Seorang dokter gigi forensik harus mengerti sedikit ban yak tentang kualifikasi dan bidang

keahlian forensik lainnya yang berkaitan dengan tugasnya, seperti penguasaan akan konsep peran dokter spesialis forensik, cara otopsi, dsb.

3. Pengetahuan tentang hukum.Seorang dokter gigi forensik harus memiliki pengetahuan tentang aspek legal dari odontologi forensik, karena ia akan banyak berhubungan dengan para petugas  penegak hukum, dokter forensik dan juga pengadilan. Dalam hal kasus kriminal ia juga harus  paham mengenai tata cara penanganan benda bukti yang merupakan hal yang amat menentukan

untuk dapat diterima atau tidaknya suatu bukti di pengadilan  posted by AtmadjaDS,dr.SpF,SH,PhD,DFM @ 4:39 AM 

(10)

Ruang lingkup odontologi forensik sangat luas meliputi semua bidang keahlian kedokteran gigi. Secara garis besar odontologi forensik membahas beberapa topik sbb:

1. Identifikasi benda bukti manusia. 2. Penentuan umur dari gigi.

3. Penentuan jenis kelamin dari gigi. 4. Penentuan ras dari gigi.

5. Penentuan etnik dari gigi.

6. Analisis jejas gigit (bite marks).

7. Peran dokter gigi forensik dalam kecelanaan massal.

8. Peranan pemeriksaan DNA dari bahan gigi dalam identifikasi personal.  posted by AtmadjaDS,dr.SpF,SH,PhD,DFM @ 4:39 AM  0 comments

ODONTOLOGI FORENSIK DI INDONESIA

Di Indonesia dapat dikatakan saat ini belum ada pakar odontologi forensik yang sesungguhnya, dalam arti yang memang mendapatkan pendidikan khusus tentang itu. Hal ini disebaban karena  bidang ini masih kurang peminatnya dan untuk memperdalamnya diperlukan pendidikan khusus

di luar negeri. Meskipun demikian, hal itu tidak berarti tidak ada dokter gigi yang berperan sebagai dokter gigi forensik dan membantu pengungkapan identitas korban.

Pada banyak kasus kriminal yang memerlukan bantuan identifikasi dokter gigi, tercatat ada  beberapa dokter gigi yang kerap membantu penyidik. Diantara sedikit dokter gigi ini adalah

dokter gigi Alphonsus R. Quendangen, staf pada Dinas Kedokteran dan Kepolisian (Ladokpol), yang paling banyak menangani, menulis dan memperkenalkan odontologi forensik berdasarkan  berbagai kasus gigi forensik yang ditanganinya. Beliau pula dokter gigi yang pertama kali

mengembangkan mata kuliah Kedokteran Gigi Forensik untuk S1 Kedokteran Gigi di FKG Trisakti. Dalam beberapa tahun terakhir ini, FKG-UI, den gan dibantu staf pengajar dari Bagian Kedokteran Forensik FKUI, ternyata telah pula mu lai merintis diberikannya mata kuliah

Odontologi Forensik pada mahasiswa semester 7 di FKGUI. Selain itu secara perlahan telah mulai pula ada mahasiswa S1 maupun S2 yang membuat skripsi serta tesis dengan materi  penelitian odontologi forensik. Hal ini tentu perkembangan yang menggembirakan dan

diharapkan dapat menjadi awal bagi kebangkitan odontologi forensik di Indonesia pada masa-masa yang akan datang.

Berbeda dengan penerapan odontologi forensik di luar negeri, peranan pemeriksaan gigi di Indonesia memiliki banyak keterbatasan. Hal yang menjadi masalah utama adalah masih kurang membudayanya perilaku berobat ke dokter gigi sehingga hanya sedikit masyarakat yang pernah ke dokter gigi. Dari antara yang berobat ke dokter gigipun, hanya sedikit saja yang mempunyai rekam medis yang baik dan lengkap. Hal ini menyebabkan identifikasi personal berdasarkan ciri khas susunan gigi, adanya restorasi gigi dsb sulit dilakukan karena ketiadaan data antemortem. Dengan demikian, sebagai pemecahannya, terhadap material gigi dilakukan pemeriksaan untuk  mendapatkan data lain, antara lain ras, jenis kelamin, umur, golongan darah, profil DNA dsb.  posted by AtmadjaDS,dr.SpF,SH,PhD,DFM @ 4:38 AM 

(11)

PENUTUP

Odontologi forensik sebagai suatu ilmu terapan Kedokteran Gigi telah lama dikenal, meskipun sempat mengalami kevakuman perkembangan untuk waktu yang cukup lama. Saat ini dengan semakin canggihnya ilmu pengetahuan dan teknologi, kasus-kasus kematian massal dengan korban tidak dikenal juga meningkat tajam. Pada kasus kasus ini serta kasus-kasus kriminil,  bantuan dokter gigi dalam melakukan pemeriksaan odontologi forensik merupakan kebutuhan

yang nyata.

Perkembangan mutakhir teknologi kedokteran gigi dan kedokteran telah menyebabkan banyak   perubahan dalam metode identifikasi personal. Dari bahan gigi dan tulang misalnya, pada saat ini

kita telah dapat melakukan analisis DNA yang dapat menunjukkan identitas, jenis kelamin dsb secara cepat dan tepat.

Aspek Hukum

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 29 Tahun 2004 tentang praktik  kedokteran, terdapat pasal-pasal berkaitan dengan pelaksanaan praktik seorang dokter yaitu dengan pasiennya (Pasal 39); persetujuan kedokterani dalam menjalankan pra kteknya(Pasal 45); rahasia kedokteran (Pasal 48) dan kewajiban dokter merahasiakan hal pasien (Pasal51); dan hak pasien dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran (Pasal 52)

seperti berikut:Pasal 39Praktik kedokter an dis elenggara kan ber dasarkan pada kesepakata n antara dokter ataudokter gigi dengan pasien dalam upaya untuk pemeliharaan kesehatan,  pe ncegah an pe nyakit , peningkatan kesehatan, pengobatan peyakit dan pemulihan

Pasal 45(1)Setiap tindakan kedokteran at au kedokt eran gigi ya ng akan dilakukan oleh dok ter ata udokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.(2 ) P e r s e t u j u a n

s e b a g a i m a n a d i m a k s u d p a d a a y a t ( 1 ) d i b e r i k a n s e t e l a h p a s i e n

m e n d a p a t penjelasan secara lengkap.(3)Penjelasan sebagaimana dimaksud ayat (2)

sekurang-kurangnya mencakup:(4)Diagnosis dan tata cara tindakan medis; tujuan tindakan medis yang dilakukan; alternatif tindakan lain dan risikonya; risiko dan komplikasi yang mungkin

terjadi; dan prognosisterhadap tindakan yang dilakukan.(5)Persetujuan sebagaimana yang di ma ks ud pa da ay at (2 ) da pa t di be ri ka n ba ik se ca ra bertulis maupun lisan.(6)Setiap tindakan kedokte ran atau kedokteran g igi yang mengandung risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.Pasal 48(1)Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan prakrik kedokteran wajib meny impan rahasia kedokteran.(1)Rahasi a k edok tera n da pat dibuka hanya untuk

kepentin gan kesehatan pasien… .Pasal 51Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajibanc. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahui tentang pasien,

(12)

kedokteran, mempunyai hak:(1)Me ndapat kan penje lasan seca ra lengk ap tent ang tindak an me dis seb aga ima na dim aks ud dalam pasal 45 ayat (3),

(2)Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;(3)Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;(4)Menolak tindakan medis; dan mendapatkan isi rekam medis.Dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 10 tahun 1966 dijelaskan t entang kew ajibansimpan rahasia Kedokteran seperti berikut:Pasal 1:Yan g dim ak su d d en ga n ra ha si a ke do kt e ra n ia la h se ga la se sua tu ya ng dik et ahu i ole horang-orang tersebut dalam pasal 3 pada waktu tertentu ata u sel ama me lak uka n pek er jaa nn yadalam lapangan kedokteran.Pasal 2:Pengetahuan tersebu pasal 1 harus dirahasiakan oleh orang-orang yang tersebut dalam pasal 3, kecuali apabila suatu pera turan lain yang seder ajat atau lebih tingg i dar ipada PP i ni menentukan yang lain.Pasal 3:Yang diwajibkan menyimpan rahasia yang dimaksud dalam pasal 1 ialah:a . Te n a g a k e s e h a t a n menurut pasal 2 UU tentang kesehatan b.Mahasiswa kedokteran, murid yang bertugas dal am lap ang an pem er iksa an, pen gob ata n, dan atau perawatan, dan orang lain yang ditetapkan oleh menteri kesehatan.Pasal 4:Terhadap pelanggaran ketentuan mengenai wajib simpan rahasia kedokteran, yang tidak atau tida k dap at d ipidana menur ut pa sal 3 22 a tau p asal 112 KUHP , me nter i ke se hata n dapatmelakukan tindakan administrative berdasarkan pasal UU tentang tenaga kesehatan.Pasal 5:Apabila pelanggaran yang dimaksud dalam pasal 4 dilakukan oleh mereka disebut dalam p a s a l 3 h u r u f b , m a k a m e n t e r i k e s e h a t a n d a p a t m e n g a m b i l t i n d a k a n - t i n d a k a n be r da sa r k a n wewenag dan kebijaksanaannya.

Pasal 6:Dalam pelaksa naan peratur an ini, m enteri kese hatan dapat mendengar Dewan

PelindingSusila Kedokteran dan atau badan-badan lain bilamana perlu.Seperti dalam pasal 4 PP no 10/1 966, tindak pidana yang diken akan adala h berda sark an pasal 322 yang seperti berikut:Pasal 322 KUHP:(1)Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena  ja ba ta na t a u p e n c a r i a nn y a b a i k y a n g s e k a r a n g m a u p u n y a n g d a h ul u , d i a n c a m

d e n g a n p i d a n a p e n j a r a p a l i n g l a m a s e m b i l a n b u l a n a t a u p i d a n a d e n d a p a l i n g ba ny ak se mb il an ri bu rupiah.(2)Jika kejahatan dilakukan terhadap seseorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapatdituntut atas pengaduan orang itu.Tapi menurut 48 KUHP:Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana.Yait u sini, apabila seor ang dokter itu terpaksa membuka rahsua dokter karena dipaksa denganugutan dan atau diancam nyawa, dokter itu tidak akan dipidana.MA 117/K/Kr/1968 2 Juli 1969D alam “noodtoestand” harus dilihat adanya:1.Pertentangan antara dua kepentingan hukum2.Pertentangan antara

kepentingan hukum dan kewajiban hukum3.Pertentangan antara dua kewajiban hu ku mPasal 49 KUHP:(1)Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pe mbelaan

terpaksa untuk diri sendirimaupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta bnda sendiri maupun orang

lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu

yangmelawan hukum.(2)Pembe laan te rpaksa yang mela mpaui b atas, ya ng langs ung di sebabkan keguncangan jiwayang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.Pasal 50 KUHPBarang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang tidak dipidana.

(13)

Etika Kedokteran Forensik

Dokter spesialis kedokteran forensik atau yang bergerak dalam bidang forensik (pemeriksa korban/dugaan pelaku sekaligus pembuat visum et repertumnya) membangun keyakinan profesinya melalui cara mengedepankan obyektivitas fakta medik. Fakta medik tersebut dibangun atas dasar paradigma/metode biomedik ilmu kedokteran menjadi benda bukti biomedik, misalnya dalam bentuk identitas korban, luka-luka, laboratorium penunjang

terhadap temuan makroskopisj dan benda yang disekitar korban/dugaan pelaku. Obyektivitas ini amat penting karena hingga kini peradilan masih lebih memberi bobot pembuktian pada buLti biomedik sebagai buLti ilmiah (scientifcirooi dibandingLan dengan keterangan saksi (testimonial statements) karena dipandang lebih obyektif, kurang bias kepentingan saksi dan rendahnya kesalahan akibat ingatan pengamatan saksi terhadap p eristiwa/kejadian yang sama 49 Obyektivitas juga berupa keterbukaan setiap peluang penyebab fakta/buLti biomedik

tersebut yang multifaktorial medikolegal (ilmu kedokteran maupun ilmu hukum) oleh mereka yang kompeten dan berwenang yang serta merta menunjuLkan sederet ciri perilaku etisnya. Perilaku dokter spesialis forensik bersandar pada etika kedokteran forensik, suatu kekhususan etika kedokteran yang menitikberatkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut :

a. Imparsialitas (dalam prosedural dan penyajian fakta ilmiahforensik) b. Pengabdian khusus untuk penegakan keadilan

c. Obyektivitas medikolegal (berbasis fakta, keterikatan pada dasar ilmu pengetabuan hukum dan kedokteran).

d. Profesionalitas atau kemampuan dialogis etika interprofesional dengan n orma utama kejujuran ilmiah.

Sikap imparsial (tidak berpihak) dalam bidang forensik merupakan ciri utama yang khas, karena kiprah dekter disini hanyalah demi tegaknya keadilan. Bagi spesialis forensik yang memeriksa korban mati, hal ini nampak lebih jelas karena sebagian besar ia sebelumnya tak mengenal korbannya, sehingga tugasnya mengungkapkan patologi ketika melakukan

pemeriksaan luar atau otopsi, imparsialitas ini mudah dilakukan. Re levansi imparsialitas muncul ketika dokter yang memeriksa kasus forensik hidup seperti perkosaan atau

penganiayaan atau dugaan pelaku yang sedang sakit. Dalam hal ini dokter justru para klinisi dan bukan spesialis forensik, terkena tanggungjawab ganda (dual responsibility), karena ia harus berdiri di tempat yang sesuai secara prima facie (berubah menjadi dan sesuai dengan konteks tugas dan fungsinya yang ada saat itu). Pada saat bertujuan untuk kepentingan penyembuhan atau peredaan sakit si pasien ia berfungsi sebagai dokter pengobat (treating  physician) yang tentu saja posisi ini harus partisan karena membela kesehatan pasiennya.

Namun di saat untuk kepentingan hukum dalam rangka pengumpulan dan pencatatan bukti-bukti dugaan kejahatan di tubuh korban yang sekaligus juga pasien, ia berfungsi sebagai dokter pemeriksa (assessing physicizan) yang menunjuLkan posisi imparsial.

Imparsialitas sebagai dokter pemeriksa akan memberikan warna tersendiri, yang makin lama makin terbiasa, sehingga dokter yang menekuni bidang ini akan memiliki kemampuan analisis etikolegal kasus, menyelesaikan kasus (resolusi konflik), menyeimbangkan antara kepekaan terhadap Hak Asasi Manusia yang sering mewarnai ketidakadilan kondisi tertentu dengan kemaslahatan tujuan program kesehatan masyarakat. Pengabdian khusus profesi sebagai dokter pemeriksa akan memunculkan daya kritis terhadap masalah kerahasiaan medik (wajib simpan vs wajib buka), kapasitas pelaku kejahatan u ntuk diadili /menjalani sanksi (kompeten atau tidak kompeten) setelah beberapa waktu pasca dugaan kejahatan yang dilakukannya dan kemampuan pembuatan peraturan perundang-undangan (legislasi), khususnya hukum disiplin profesi kedokteran.

Obyektivitas medikolegal mensyaratkan dua hal pokok yakni:

a. Pemerian (deskripsi) gejala dan fakta di tubuh manusia secara apa adanya oleh dokter sebagai subyek yang independen (bebas nilai atau kepentingan selain nilai ilmiah) untuk

(14)

dijadikan sebagai bukti. Dalam pemerian luka misalnya, d okter menempatkannya di "bagian pemberitaan" dari Visum et Repertum secara apa adanya, secara tersendiri. Dalam pemerian ini dokter mengaplikasikan traumatologi, suatu topik yang dipelajari di Departemen Fisika, Anatomi, Fisiologi, Patologi Anatomik, Penyakit Dalam dan Bedah di Fakultas Kedokteran. Nampak disini, untuk satu hal yang sederhana, yakni luka, minimal dokter memerlukan bantuan kombinasi beberapa ilmu-ilmu kedokteran dalam proses membuat ekspertise.

b. Membuat dan melestarikan rantai kebenaran medikolegal dalam bentuk rangkaian hubungan-hubungan sebab akibat, baik secara deduktif (dari hukum ke medik) dan atau induktif (dari medik ke hukum). Sebagai contoh, untuk kasus perkosaan, rantai deduksi untuk melestarikan teori kebenaran mulai dari "batasan hukum perkosaan" (pengertian hukum) ke "perolehan bukti obyektif" (pengertian medik) secara inferensial unik berdasarkan hubungan kausalitas efisien yang linear sebagai berikut: Kitab Undang-undang Hukum Pidana (pasal 285) perkosaan

persetubuhan paksa kekerasan fisik & seksual perlukaan di lokasi predilektif penetrasi penis parsial broken hymen/raginalpenetration cairan mani / DNA pelaku keyakinan dokter untuk menyimpulkan dalam Visum et Repertum. Sedangkan rantai induksi dipergunakan untuk pembuktian dari teori kebenaran tentang perkosaan. Rantai induktif: DNA tersangkaZbroken hymen/vaginal penetrationpenetrasi penis parsial perlukaan dilokasi predilektif kekerasan fisik & seksual persetubuhan paksa perkosaan Z kepastian pada diri dokter pemeriksa

kepastian perkosaan secara universal kondisi beyond reasonable doubt adanya perkosaan keyakinan hakim penjatuhan vonis terhadap pemerkosa.

Sedangkan sikap jujur (termasuk dalam interaksi/dialog dengan pihak/ahli penegak hukum), dan hati-hati (dalam mengutarakan pendapat) kepada rekan profesi penegak hukum yang memiliki logika, tradisi dan metodologi ilmiah tersendiri namun awam medik karena perbedaan metodologis keilmuan cenderung untuk terjadi kesalahpahaman. Adanya

kemampuan komunikasi dan dialog antar profesi memang mempersyaratkan adanya kejujuran antar mereka. Apabila hal ini terjadi, akan memunculkan cinta kebenaran (veracity ) di setiap tahap/langLah pembuktian yang ada di sepanjang proses peradilan. Dengan demikian

peradilan benar-benar akan mencapai tujuannya, yakni menghukum orang yang benar-benar salah secara akurat, dan efisien. Sebaliknya pengadilan akan membebaskan orang yang tidak terbukti kesalahannya.

Visum et Repertum atau surat keterangan medik (medical report) dan ekspertis kesaksian ahli sebagai kombinasi produk keilmuan medikolegal yang positivistik (inderawi) dan sikap etis dokter pembuatnya diharapkan menjamin tegaknya kebenaran ilmiah yan g mendasari

kebenaran material suatu perkara hukum. Dengan kebenaran material tersebut, diharapkan hakim akan tidak ragu-ragu lagi menjatuhkan putusan yang adil.

Bertolak dari dua ciri pokok yang khas tersebut, akhirnya dapat dikemukakan peran ilmu kedokteran forensik sebagai berikut:

1. Sebagai fasilitator sistem etikolegal dalam melestarikan kontinum kebenaran, mulai dari unsur masukan (dokter sebagai aktor utama upaya kesehatan perorangan) - proses dengan huLum sebagai perekayasa masyarakat dan keluaran sebagai keselarasan nilai-nilai kesehatan yakni trias tercapainya tujuan-tujuan kedokteran, keselamatan pasien dan martabat

keluhuran profesi. Perekayasaan masyarakat yang dilakukan bertahap dan menghindari friksi sejalan dengan telah terbiasanya ilmu kedakteran forensik dalam menjembatani

kesinambungan metodologi dari kedokteran ke hukum dan sebaliknya, secara timbal balik, walaupun kenyataannya sering dijumpai ketidakcocokan atau bahkan f riksi antara logika kedokteran dengan logika hukum. Melalui produk Ilmu Kedokteran Forensik seperti Visum et Repertum dan ekspertise yang dibuat oleh dokter spesialis atau yang berkecimpung dalam sertifikasi sebagimana fungsi dokter pemeriksa, terjadilah kesinambungan logika tersebut sebagai suatu kontinum. Selain sebagai penyedia "jembatan berpikir", kebiasaan induksi-deduksi akan mempercepat proses berpikir itu sendiri. Hal ini akan mempermudah sekaligus

(15)

menajamkan komunikasi antar ilmuwan medik hukum (medikolegal) serta ilmuwan sekitarnya yang erat terkait seperti sosiologi-kriminologi, psikologi, antropologi, ilmu-ilmu budaya hingga ke filsafat/etika.

2. Dalam konteks forensik sebagai cabang ilmu yang b erkaitan dengan pembuktian, apalagi

adanya trias tanggungjawab: responsibility accountability dan liabilty , memberi dampak bagi setiap dokter untuk lebih memiliki kesadaran sejati untuk mendahulukan tanggungjawab (altruistik) lebih daripada hak-hak pribadinya. Hal i ni merupakan tujuan moral mereka yang akan menjadi pemimpin. Adanya kesadaran bahwa dokter mungkin d ikenai sanksi hukum (liability ) akan menajamkan proses pembelajaran empati di banyak FK. H al ini akan meredam setiap dokter untuk melakukan professional misconduct.

3. Imparsialitas yang juga terbiasa merasuki gaya kehidupan profesi kedokteran forensik akan menjadikan mereka lebih jernih melihat persoalan yang kompleks, lebih dapat diterima oleh banyak kalangan karena independensinya dan dalam banyak hal dapat meredam arogansi berlebihan dari pelbagai jenis profesi dan mengurangi ekses monopoli profesi. Dengan demikian profesi dapat lebih bersatu sehingga dapat dimanfaatkan untok kelancaran proses legislasi peraturan perundang-undangan, kbususnya di bidang kesehatan dan kedokteran serta untuk menjadi "wasit" bila terdapat dua sejawat bertikai, yang berpotensi atau telah aktual bertikai. Imparsialitas juga akan meredam konflik-etikolegal antar sejawat sehingga mampu mencegah terjadinya deprofesionalism korps kedokteran.

4. Trias tanggungjawab dokter sebagai aktor yang didinamisasikan oleh logika multimetodologis forensik dan imparsialitas akan memberi rasa percaya diri bagi insan profesi untuk lebih

berpikir kontekstual sehingga makin mudah memahami fenomenologi pilihan p asien, fitur kontekstual dan kualitas hidup pasien-pasiennya sehingga muncul sebagai profesional yang dipercaya masyarakatnya karena tak pernah terpikir pun untuk memelintir kepentingan dirinya lebih daripada kepentingan pribadinya.

(16)

PENDAHULUAN

 — - — -Dalam beberapa tahun terakhir, kita banyak dikejutkan oleh terjadinya bencana massal yang menyebabkan kematian banyak orang. Selain itu kasus kejahatan yang memakan banyak korban  jiwa juga cenderung tidak berkurang dari waktu ke waktu. Pada kasus-kasus seperti ini tidak   jarang kita jumpai korban jiwa yang tidak dikenal sehingga perlu diidentifikasi.

 — -Forensik odontologi adalah salah satu metode penentuan identitas individu yang telah dikenal sejak era sebelum masehi. Kehandalan teknik identifikasi ini bukan saja disebabkan karena ketepatannya yang tinggi sehingga nyaris menyamai ketepatan teknik sidik jari, akan tetapi karena kenyataan bahwa gigi dan tulang adalah material biologis yang paling tahan terhadap  perubahan lingkungan dan terlindung. Gigi merupakan sarana identifikasi yang dapat dipercaya apabila rekaman data dibuat secara baik dan benar. Beberapa alasan dapat dikemukakan mengapa gigi dapat dipakai sebagai sarana identifikasi adalah sebagai berikut, pertama karena gigi bagian terkeras dari tubuh manusia yang komposisi bahan organik dan airnya sedikit sekali dan sebagian besar terdiri atas bahan anorganik sehingga tidak mudah rusak, terletak dalam rongga mulut yang terlindungi. Kedua, manusia memiliki 32 gigi dengan bentuk yang jelas dan masing-masing mempunyai lima permukaan.1,2

 — -Berdasarkan pengalaman di lapangan, identifikasi korban meninggal massal melalui gigi-geligi mempunyai kontribusi yang tinggi dalam menentukan identitas seseorang. Pada kasus Bom Bali I, dimana korban yang teridentifikasi berdasarkan gigi-geligi mencapai 56%, korban kecelakaan lalu lintas di Situbondo mencapai 60%, dan korban jatuhnya Pesawat Garuda di Jogyakarta mencapai 66,7%.1

 — -Identifikasi korban pada kasus-kasus ini diperlukan karena status kematian korban memiliki dampak yang cukup besar pada berbagai aspek yang ditinggalkan. Identifikasi tersebut merupakan perwujudan HAM dan merupakan penghormatan terhadap orang yang sudah meninggal.selain itu juga merupakan menentukan apakah seseorang tersebut secara hukum sudah meninggal atau masih hidup.1

 — -Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia secara geografis terletak pada wilayah yang rawan terhadap bencana alam baik yang berupa tanah longsor, gempa bumi, letusan gunung  berapi, tsunami, banjir dan lain-lain, yang dapat memakan banyak korban, dan salah satu cara mengidentifikasi korban adalah dengan metode forensik odontologi. Oleh karena itu forensik  odontologi sangat penting dipahami peranannya dalam menangani korban bencana massal.3

 — -TINJAUAN PUSTAKA

(17)

 — -Definisi Forensik Odontologi

 — -Ilmu kedokteran gigi forensik memiliki nama lain yaitu  forensic dentistry dan odontology  forensic. Forensik odontologi adalah suatu cabang ilmu kedokteran gigi yang mempelajari cara  penanganan dan pemeriksaan benda bukti gigi serta cara evaluasi dan presentasi temuan gigi

tersebut untuk kepentingan peradilan.4

 — -Sebagai suatu metode identifikasi pemeriksaan gigi memiliki keunggulan sbb:1,4

1. Gigi merupakan jaringan keras yang resisten terhadap pembusukan dan pengaruh lingkungan yang ekstrim.

2. Karakteristik individual yang unik dalam hal susunan gigi geligi dan restorasi gigi menyebabkan identifikasi dengan ketepatan yang tinggi.

3. Kemungkinan tersedianya data antemortem gigi dalam bentuk catatan medis gigi (dental  record ) dan data radiologis.

4. Gigi geligi merupakan lengkungan anatomis, antropologis, dan morfologis, yang mempunyai letak yang terlindung dari otot-otot bibir dan pipi, sehingga apabila terjadi trauma akan mengenai otot-otot tersebut terlebih dahulu.

5. Bentuk gigi geligi di dunia ini tidak sama, karena berdasarkan penelitian bahwa gigi manusia kemungkinan sama satu banding dua miliar.

6. Gigi geligi tahan panas sampai suhu kira-kira 400ºC.

7. Gigi geligi tahan terhadap asam keras, terbukti pada peristiwa Haigh yang terbunuh dan direndam dalam asam pekat, jaringan ikatnya hancur, sedangkan giginya masih utuh.

Gambar 15

Pada gambar 1 menunjukkan bahwa gigi tetap dalam keadaan utuh pada suhu yang tinggi, walaupun tubuh telah rusak, tetapi gigi masih dapat diidentifikasi.  — -Batasan dari forensik odontologi terdiri dari:6,7,8

1. Identifikasi dari mayat yang tidak dikenal melalui gigi, rahang dan kraniofasial. 2. Penentuan umur dari gigi.

3. Pemeriksaan jejas gigit (bite-mark ). 4. Penentuan ras dari gigi.

5. Analisis dari trauma oro-fasial yang berhubungan dengan tindakan kekerasan. 6.  Dental jurisprudence berupa keterangan saksi ahli.

(18)

 — -Sejarah Forensik Odontologi

 — -Forensik odontologi telah ada sejak jaman prasejarah, akan tetapi baru mulai mendapatkan  perhatian pada akhir abad 19 ketika banyak artikel tentang forensik odontologi ditulis dalam  jurnal kedokteran gigi pada saat itu.8

 — -Sejarah forensik odontologi sudah ada sejak sebelum masehi (SM) yaitu pada masa  pemerintahan Kaisar Roma Claudius pada tahun 49 SM, Agrippina ( yang kelak akan menjadi

ibu Kaisar Nero) membuat rencana untuk mengamankan posisinya. Janda kaya Lollia Paulina merupakan saingannya dalam menarik perhatian Kaisar, maka ia membujuk Kaisar untuk  mengusir wanita tersebut dari Roma. Akan tetapi hal itu rupanya masih dianggapnya kurang dan ia menginginkan kematian wanita tersebut. Tanpa setahu Kaisar, ia mengirim seorang serdadu untuk membunuh wanita tersebut. Sebagai bukti telah melaksanakan perintahnya, kepala Lollia dibawa dan ditunjukkan kepada Agrippina. Karena kepala tersebut telah rusak parah mukanya, maka Agrippina tidak dapat mengenalinya lagi dari bentuk mukanya. Untuk mengenalinya Agrippina menyingkap bibir mayat tersebut dan memeriksa giginya yang mempunyai ciri khas, yaitu gigi depan yang berwarna kehitaman. Adanya ciri tersebut pada gigi mayat membuat Agrippina yakin bahwa kepala tersebut adalah benar kepala Lollia.6,7,9

 — -Pada tahun 1776, dalam suatu perang Bukker Hill terdapat korban Jenderal Yoseph Warren, oleh drg. Paul Revere dapat dibuktikan bahwa melalui gigi palsu yang dibuatnya yaitu berupa  Bridge Work gigi depan dari taring kiri ke taring kanan yang ia buat sehingga drg. Paul Revere dapat dikatakan dokter gigi pertama yang menggunakan ilmu kedokteran gigi forensik dalam  pembuktian.4,6

 — -Pada tahun 1887 Godon dari Paris merekomendasikan penggunaan gigi untuk identifikasi orang yang hilang. Untuk itu ia menganjurkan agar para dokter gigi menyimpan data gigi para  pasiennya, untuk berjaga-jaga kalau-kalau kelak data tersebut diperlukan sebagai data  pembanding.9

 — -Kasus identifikasi personal yang terkenal adalah kasus pembunuhan Dr. George Parkman, seorang dokter dari Aberdeen, oleh Professor JW Webster. Pada kasus ini korban dibunuh, lalu tubuhnya dipotong-potong lalu dibakar di perapian. Polisi mendapatkan satu blok gigi palsu dari  porselin yang melekat pada potongan tulang. Dr. Nathan Cooley Keep, seorang dokter bedah

mulut memberikan kesaksian bahwa gigi palsu itu adalah bagian dari gigi palsu buatannya pada tahun 1846 untuk Dr. Parkman yang rahang bawahnya amat protrusi.4,6,9

 — -Pada tanggal 4 Mei 1897, sejumlah 126 orang Farisi dibakar sampai meninggal di Bazaar de la Charite. Para korban sulit diidentifikasi secara visual karena umumnya dalam keadaan terbakar luas dan termutilasi. Berdasarkan pemeriksaan Dr. Oscar Amoedo (dokter gigi Kuba yang berpraktek di Paris) dan dua orang dokter gigi Perancis, Dr. Davenport dan Dr. Braul untuk  melakukan pemeriksaan gigi-geligi para korban kemudian ternyata mereka berhasil mengidentifikasi korban-korban ini.9

(19)

 — -Pada tahun 1917 di dermaga Brooklyn ditemukan mayat yang kemudian dipastikan sebagai seorang wanita yang telah menghilang 8 bulan sebelumnya. Identifikasi pada kasus ini ditegakkan berdasarkan temuan bridge pada gigi geliginya.9

 — -Sekitar tahun 1960 ketika program instruksional formal kedokteran gigi forensik pertama dibuat oleh Armed Force Institute of Pathology, sejak saat itu banyak kasus penerapan forensik  odontologi dilaporkan dalam literatur sehingga forensik odontologi mulai banyak dikenal bukan saja di kalangan dokter gigi, tetapi juga di kalangan penegak hukum dan ahli-ahli forensik.9

 — -Definisi Bencana

 — -Bencana adalah suatu peristiwa yang terjadi secara mendadak dan tidak terencana atau secara  perlahan tetapi berlanjut yang menimbulkan dampak terhadap pola kehidupan normal atau kerusakan ekosistem sehingga diperlukan tindakan darurat dan menyelamatkan korban yaitu manusia beserta lingkungannya.3

 — -Bencana yang terjadi secara akut atau mendadak dapat berupa rusaknya rumah serta  bangunan, rusaknya saluran air, terputusnya aliran listrik, jalan raya, bencana akibat tindakan

manusia, dan lain sebagainya. Sedangkan bencana yang terjadi secara perlahan-lahan atau slow onset disaster , misalnya perubahan kehidupan masyarakat akibat menurunnya kemampuan memperoleh kebutuhan pokok, atau akibat dari kekeringan yang berkepanjangan, kebakaran hutan dengan akibat asap atau (haze) yang menimbulkan masalah kesehatan.3

 — -Bencana yang terjadi dapat menimbulkan korban massal yang perlu mendapatkan  pertolongan kesehatan segera, dengan menggunakan sarana, fasilitas dan tenaga yang lebih dari

yang tersedia sehari-hari.3

 — -Bencana Masssal di Indonesia

 — -Adapun bencana massal di Indonesia dapat berupa:10 1. Bom Bali I (2002)

2. Peledakan hotel JW Marriott (2003) 3. Tsunami Aceh dan Nias (2004)

4. Bom di depan kedubes Australia (2004) 5. Bom Bali II (2005)

6. Kecelakaan pesawat adam air, lion air, kecelakaan kapal. 7. Gempa bumi di Bantul Yogyakarta

(20)

 — - Kematian yang tidak wajar atau tidak terduga, atau dalam kondisi bencana massal, kerusakan fisik yang direncanakan, dan keterlambatan dalam penemuan jenazah, bisa mengganggu identifikasi. Dalam kondisi inilah forensik odontologi diperlukan walaupun tubuh korban sudah tidak dikenali lagi.6

 — -Identifikasi dalam kematian penting dilakukan, karena menyangkut masalah kemanusiaan dan hukum. Masalah kemanusian menyangkut hak bagi yang meninggal, dan adanya kepentingan untuk menentukan pemakaman berdasarkan agama dan permintaan keluarga. Mengenai masalah hukum, seseorang yang tidak teridentifiksi karena hilang, tidak dipersoalkan lagi apabila telah mencapai 7 tahun atau lebih. Dengan demikian surat wasiat, asuransi, masalah pekerjaan dan hukum yang perlu diselesaikan, serta masalah status pernikahan menjadi tidak berlaku lagi. Sebelum sebab kematian ditemukan atau pemeriksa medis berhasil menentukan jenazah yang sulit diidentifikasi, harus diingat bahwa kegagalan menemukan rekaman gigi dapat mengakibatkan hambatan dalam identifikasi dan menghilangkan semua harapan keluarga, sehingga sangat diperlukan rekaman gigi setiap orang sebelum dia meninggal.6

 — -Identifikasi Forensik Odontologi

 — -Ketika tidak ada yang dapat diidentifikasi, gigi dapat membantu untuk membedakan usia seseorang, jenis kelamin,dan ras. Hal ini dapat membantu untuk membatasi korban yang sedang dicari atau untuk membenarkan/memperkuat identitas korban.6

 — -Penentuan Usia

 — -Perkembangan gigi secara regular terjadi sampai usia 15 tahun. Identifikasi melalui  pertumbuhan gigi ini memberikan hasil yang yang lebih baik daripada pemeriksaan antropologi

lainnya pada masa pertumbuhan. Pertumbuhan gigi desidua diawali pada minggu ke 6 intra uteri. Mineralisasi gigi dimulai saat 12 – 16 minggu dan berlanjut setelah bayi lahir. Trauma pada bayi dapat merangsang stress metabolik yang mempengaruhi pembentukan sel gigi. Kelainan sel ini akan mengakibatkan garis tipis yang memisahkan enamel dan dentin di sebut sebagai neonatal line. Neonatal line ini akan tetap ada walaupun seluruh enamel dan dentin telah dibentuk. Ketika ditemukan mayat bayi, dan ditemukan garis ini menunjukkan bahwa mayat sudah pernah dilahirkan sebelumnya. Pembentukan enamel dan dentin ini umumnya secara kasar berdasarkan teori dapat digunakan dengan melihat ketebalan dari struktur di atas neonatal line. Pertumbuhan gigi permanen diikuti dengan penyerapan kalsium, dimulai dari gigi molar pertama dan dilanjutkan sampai akar dan gigi molar kedua yang menjadi lengkap pada usia 14 – 16 tahun. Ini  bukan referensi standar yang dapat digunakan untuk menentukan umur, penentuan secara klinis

(21)

Gambar 26

Gambar 2 memperlihatkan gambaran panoramic X ray pada anak-anak (a) gambaran yang menunjukkan suatu pola pertumbuhan gigi dan perkembangan pada usia 9 tahun (pada usia 6 tahun terjadi erupsi dari akar gigi molar atau gigi 6 tapi belum tumbuh secara utuh). Dibandingkan dengan diagram yang diambil dari Schour dan Massler (b) menunjukkan  pertumbuhan gigi pada anak usia 9 tahun.6

 — -Penentuan usia antara 15 dan 22 tahun tergantung dari perkembangan gigi molar tiga yang  pertumbuhannya bervariasi. Setelah melebihi usia 22 tahun, terjadi degenerasi dan perubahan  pada gigi melalui terjadinya proses patologis yang lambat dan hal seperti ini dapat digunakan

untuk aplikasi forensik.6

 — -Penentuan Jenis Kelamin

 — -Ukuran dan bentuk gigi juga digunakan untuk penentuan jenis kelamin. Gigi geligi menunjukkan jenis kelamin berdasarkan kaninus mandibulanya. Anderson mencatat bahwa pada

(22)

75% kasus, mesio distal pada wanita berdiameter kurang dari 6,7 mm, sedangkan pada pria lebih dari 7 mm. Saat ini sering dilakukan pemeriksaan DNA dari gigi untuk membedakan jenis kelamin.6

 — -Penentuan Ras

 — -Gambaran gigi untuk ras mongoloid adalah sebagai berikut:6

1. Insisivus berbentuk sekop. Insisivus pada maksila menunjukkan nyata berbentuk sekop  pada 85-99% ras mongoloid. 2 sampai 9 % ras kaukasoid dan 12 % ras negroid

memperlihatkan adanya bentuk seperti sekop walaupun tidak terlalu jelas.

2.  Dens evaginatus. Aksesoris berbentuk tuberkel pada permukaan oklusal premolar bawah  pada 1-4% ras mongoloid.

3. Akar distal tambahan pada molar 1 mandibula ditemukan pada 20% mongoloid. 4. Lengkungan palatum berbentuk elips.

5. Batas bagian bawah mandibula berbentuk lurus.

Gambar 36

Gambaran gigi untuk Ras kaukasoid adalah sebagai berikut:6 1. Cusp carabelli, yakni berupa tonjolan pada molar 1.

2. Pendataran daerah sisi bucco-lingual pada gigi premolar kedua dari mandibula. 3. Maloklusi pada gigi anterior.

4. Palatum sempit, mengalami elongasi, berbentuk lengkungan parabola. 5. Dagu menonjol.

(23)

Gambar 46

Gambaran gigi untuk ras negroid adalah sebagai berikut:6

1. Pada gigi premolar 1 dari mandibula terdapat dua sampai tiga tonjolan. 2. Sering terdapat open bite.

3. Palatum berbentuk lebar. 4. Protrusi bimaksila.

Di bawah ini merupakan contoh gambar open bite:

Referensi

Dokumen terkait

50 menit Mahasiswa memahami tentang faktor yang mempengaruhi penentuan lokasi pabrik, Tahapan dalam memilih lokasi pabrik, Pembandingan dalam berbagai alternatif lokasi,

Secara jasmani, kaum muda adalah manusia yang sedang mencari identitas diri. Dalam masa ini mereka dihadappkan dengan berbagai macam permasalahan hidup baik dari dalam maupun

Setiap individu yaitu dapat memiliki identitas yang baik dan sehat, indikator yang harus dimiliki oleh individu dengan identitas yang baik antara lain : mengenal diri sendiri

titik dimana individu yang hidup diberi perawatan yang cocok bagi orang mati perawatan yang cocok bagi orang mati..

Prosedur simpanan Suka Rela Lancar (Tabungan) yaitu mengisi formulir sesuai Kartu Identitas (KTP), kemudian menandatanganinya. Setelah itu formulir akan diperiksa dan jika

Secara jasmani, kaum muda adalah manusia yang sedang mencari identitas diri. Dalam masa ini mereka dihadappkan dengan berbagai macam permasalahan hidup baik dari dalam maupun

Identifikasi Prosedur Praktikum dan Lembar Kerja Siswa (LKS) Penentuan Massa Atom Relatif dan Penentuan Massa Molekul Relatif di Sekolaha. Penyusunan Instrumen Penelitian:

Koloni lebah madu yang sangat terorganisasi dengan baik tidak akan pernah mati walaupun komponen individu lebah madu yang menyusunnya telah mati dan digantikan dengan individu