• Tidak ada hasil yang ditemukan

J01079

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan " J01079"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Kondisi Emosi dan Sosial Individu Dewasa Penderita Tumor Otak Heru Astikasari Setya Murti

Universitas Kristen Satya Wacana

Abstrak

Kondisi emosi dan sosial individu sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik yang dimilikinya. Kondisi fisik yang mengalami kelemahan salah satunya disebabkan oleh adanya penyakit. Salah satu penyakit berbahaya yang memiliki resiko tinggi berakibat pada kematian adalah tumor otak. Artikel ini merupakan studi pustaka yang bertujuan untuk mengetahui kondisi emosi dan sosial individu dewasa penderita tumor otak. Tumor otak adalah suatu lesi ekspansif yang bersifat jinak (benigna) ataupun ganas (maligna) yang membentuk massa dalam ruang tengkorak kepala (intracranial) atau di sumsum tulang belakang (medulla spinalis). Tumor otak merupakan penyebab kematian kedua setelah stroke dalam kelompok penyakit neurologis. Diagnosa tumor otak dapat menyebabkan berbagai reaksi emosional seperti penolakan, kemarahan, kebencian, kecemasan, depresi, pasrah dan penerimaan. Berbagai emosi yang dialami oleh penderita mempengaruhi hubungan mereka dengan orang lain di sekitarnya. Ketika penderita belum mampu untuk menerima kenyataan adanya tumor otak dalam hidup mereka, kemarahan, kecemasan dan depresi yang dialami akan mempengaruhi hubungan dengan pasangan maupun orang-orang lain. Penderita berharap bahwa mereka dapat mandiri dan dapat hidup senormal mungkin, namun merasa dibatasi oleh pasangannya ataupun orang-orang dekat di sekitarnya. Permasalahan terkait dengan tumor yang diderita juga berdampak terhadap fungsi mereka di tempat kerja. Meski demikian, Katz (2010) menyatakan bahwa banyak orang dengan tumor otak dapat kembali bekerja dan melakukan pekerjaannya, baik di tempat yang baru maupun di tempat yang lama, dalam tempat kerja yang cocok (sesuai). Tantangan, aspek-aspek sosialisasi dan insentif secara finansial dari pekerjaan dapat membantu penderita mengarah pada pemulihan.

Kata kunci: Kondisi emosi dan sosial, tumor otak, masa dewasa.

(2)

Latar Belakang

Kondisi emosi dan sosial individu sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik yang dimilikinya. Kondisi fisik yang mengalami kelemahan salah satunya disebabkan oleh adanya penyakit. Salah satu penyakit berbahaya yang memiliki resiko tinggi berakibat pada kematian adalah tumor otak. Tumor otak adalah suatu lesi ekspansif yang bersifat jinak (benigna) ataupun ganas (maligna) yang membentuk massa dalam ruang tengkorak kepala (intracranial) atau di sumsum tulang belakang (medulla spinalis). Tumor otak disebut sebagai tumor otak primer apabila sel-sel tumor berasal dari jaringan otak itu sendiri, dan apabila berasal dari organ-organ lain (metastase) seperti kanker paru, payudara, prostase, ginjal, dan lain-lain, disebut sebagai tumor sekunder (Haut, dkk, 2002).

Tumor otak merupakan penyebab kematian kedua setelah stroke dalam kelompok penyakit neurologis (Mahyuddin, dkk, 2006). Meski demikian, data pasti mengenai insiden tumor otak di Indonesia setiap tahunnya belum ada. Di Amerika Serikat, diperkirakan sekitar 11.000 orang meninggal akibat tumor otak setiap tahunnya. Insidensi kasus baru tumor otak di Amerika Serikat saat ini mencapai 18 kasus dalam 100.000 populasi. Lebih lanjut Spezeski (2009) menyebutkan bahwa setiap tahun kurang lebih 44.000 orang Amerika didiagnosa tumor otak primer dan kurang lebih 150.000 didiagnosa mengalami tumor metastatik. Penderita tumor otak lebih banyak pada laki-laki dibanding perempuan, dengan kelompok usia terbanyak 51 sampai 60 tahun (31,85 %), selebihnya terdiri dari berbagai kelompok usia yang bervariasi dari 3 bulan sampai usia 50 tahun. Pada orang dewasa, tumor otak ada dalam urutan ketiga kanker yang menyebabkan kematian laki-laki di bawah 55 tahun dan urutan keempat pada perempuan di bawah 35 tahun.

Tumor otak dapat secara langsung berpengaruh terhadap keberfungsian psikologis penderita. Permasalahan psikososial seperti depresi reaktif, kehilangan pekerjaan, kesulitan keuangan dan percekcokan dalam pernikahan dapat terjadi

(3)

(Pelletier, dkk, 2002). Penderita dihadapkan pada berbagai stressor seperti diagnosa, prosedur medis dan efek samping dari treatmen yang diberikan. Adanya perubahan fisik, stamina dan fungsi-fungsi diri menjadi tekanan tersendiri yang mempengaruhi diri penderita. Banyak dari penderita tumor otak yang menghadapi perubahan dalam ingatan, pemikiran dan emosi. Selain itu, diperkirakan pula bahwa lebih dari separo penderita tumor otak mengalami perubahan perilaku (Portman, 2010). Tumor di berbagai area otak dapat menyebabkan abnormalitas perilaku dan suasana hati. Menurut Portman hal penting yang perlu diperhatikan adalah bahwa penderita tumor otak terkadang mengalami perubahan yang mungkin tidak begitu kentara dan kesulitan yang dialami mungkin hanya disadari oleh penderita itu sendiri daripada orang-orang di sekitarnya. Di lain pihak, tidak jarang juga perubahan yang terjadi tersebut justru tidak disadari oleh penderita namun disadari oleh orang-orang dekat di sekitarnya.

Kondisi Emosi dan Sosial Individu Dewasa Penderita Tumor Otak

Hurlock (1997) menyebutkan bahwa menurunnya kesegaran fisik dan memburuknya kesehatan menandai usia madya. Usia madya merupakan periode yang panjang dalam rentang kehidupan manusia. Usia madya biasanya dibagi dalam dua subbagian, yaitu usia madya dini (40 sampai 50 tahun) dan usia madya lanjut (50 sampai 60 tahun). Dari pemaparan sebelumnya, telah disebutkan bahwa penderita tumor otak lebih banyak pada laki-laki dibanding perempuan, dengan kelompok usia terbanyak 51 sampai 60 tahun (31,85 %). Ini berarti bahwa kelompok usia madya lanjut merupakan kelompok usia dengan penderita tumor otak terbanyak.

Tumor otak merupakan penyakit organik dengan kemungkinan dampak psikologis yang panjang. Penyakit ini merupakan penyakit kronik yang dapat menyebabkan perubahan pada fisik, pekerjaan, maupun aktivitas social (Taylor, 2006). Penderita harus mengintegrasikan diri dengan apa yang dideritanya ke dalam

(4)

kehidupannya secara psikologis apabila mereka ingin beradaptasi dengan penyakit mereka. Segera setelah diagnosa ditegakkan, penderita tumor otak dapat berada dalam kondisi krisis yang ditandai oleh ketidakseimbangan fisik, sosial dan psikologis.

Diagnosa tumor otak dapat menyebabkan berbagai reaksi emosional seperti penolakan, kemarahan, kebencian, kecemasan, depresi, pasrah dan penerimaan (American Brain Tumor Association, 2007). Awalnya, individu mengalami tahapan temporer penolakan. Penolakan merupakan mekanisme pertahanan yang berupa penghindaran penderita terhadap implikasi sakit yang dideritanya (Taylor, 2006). Ini merupakan reaksi yang sangat biasa terjadi pada penderita penyakit kronik, termasuk tumor otak. Penderita merasa trauma atau menjadi numb dan menyembunyikan atau menolak perasaan mereka. Mereka bersikap seolah-olah mereka tidak menderita penyakit tersebut, atau berperilaku seolah apa yang mereka derita bukanlah penyakit berat, yang akan segera berlalu atau hanya memiliki implikasi sementara. Mereka menolak membicarakan atau bahkan mengakui diagnosis mereka. Penolakan dapat berlangsung beberapa hari sampai beberapa bulan atau bahkan beberapa tahun.

Seiring dengan berjalannya waktu, penolakan sering memunculkan perasaan marah. Bagi penderita, pemikiran ‘mengapa saya?’ umum terjadi. Penderita kemudian merasa bahwa hidup menjadi terasa tidak adil. Beberapa penderita mengembangkan perasaan pasrah dengan perubahan fisik dan emosi yang terjadi sejalan dengan diagnose tumor otak tersebut. Penderita yang lain mungkin merasakan kebencian karena dirinya mengalami penyakit tersebut, sementara orang lain tidak. Kondisi ini biasanya terjadi secara temporer.

Kondisi emosi lain yang juga dialami oleh penderita tumor otak, seperti halnya penderita penyakit kronis lainnya, adalah kecemasan (Taylor, 2006). Banyak penderita menjadi bersikap negatif secara berlebihan terhadap potensi perubahan yang terjadi dalam hidup mereka, dan dalam beberapa kasus, hal tersebut terkait

(5)

dengan kemungkinan akan mengalami kematian. Mereka menjadi waspada terhadap perubahan kondisi fisik mereka, dan setiap rasa sakit yang mereka alami membawa mereka pada perasaan-perasaan takut atau kecemasan yang berulang.

Selain kecemasan, depresi merupakan kondisi yang umum terjadi pada penderita tumor otak (Tsay, 2010), meskipun tidak semua penderita mengalaminya. Lebih dari 20 % penderita menunjukkan depresi yang berat, kurangnya kontrol diri, perubahan kepribadian, kemarahan dan kecemasan (Ogden, 2000). Depresi ini terjadi karena kondisi psikologis penderita yang dipengaruhi oleh berbagai stress, misalnya diagnosa mengenai adanya tumor otak yang diderita, ketidakpastian perencanaan masa depan dan efek langsung tumor dan atau treatmennya. Dalam kondisi depresi ini, penderita tumor otak mengalami perasaan sedih yang berkepanjangan, penurunan kesenangan dalam aktivitas-aktivitas umum, penurunan konsentrasi, aphaty, withdrawl dan perubahan suasana hati yang tidak menentu (Litofsky, dkk, 2004). Penderita merasa takut menghadapi masa depan, meyakini bahwa tidak ada satupun hal baik yang akan terjadi pada masa depan (Wade, 2007). Perasaan tidak berharga atau merasa bersalah dirasakan, insomnia, mengalami penurunan energi, bahkan mungkin pula muncul pemikiran untuk bunuh diri. Menurut Holmes (dalam Wade, 2007), individu yang depresi memiliki self-esteem yang sangat rendah, yakin bahwa mereka tidak mampu menghadapi kenyataan mereka dan merasa bahwa segala sesuatu akan menjadi semakin buruk, dan dalam diri individu yang mengalami depresi dapat dilihat adanya penurunan motivasi.

Adanya tumor otak menyebabkan berbagai masalah dan kesulitan, seperti bahasa, perhatian, konsentrasi, belajar, ingatan, kemampuan intelektual umum, emosi dan interaksi social. Selain itu, kecemasan yang dialami juga dapat menyebabkan simtom-simtom kognitif menjadi lebih buruk, sehingga berdampak pada buruknya self esteem dan berkurangnya kontrol diri (Portman, 2010). Hal ini juga menimbulkan stress tersendiri bagi penderita. Depresi yang tidak ditangani dapat memperlambat tingkat

(6)

pemulihan dan menyebabkan permasalahan kesehatan lain. Kondisi yang depresif ini selanjutnya dapat menyebabkan penderita tumor otak memiliki kualitas hidup yang rendah dan mempengaruhi hubungan dengan orang lain (Tsay, 2010).

Pada akhirnya, penerimaan akan muncul ketika penderita menyadari bahwa tumor otak yang dialaminya merupakan kenyataan yang harus dijalani. Begitu penderita memahami diagnose tersebut, penderita diharapkan dapat memulai perencanaan hidup secara konstruktif dan bermakna. Mereka dapat melakukan peninjauan kembali terhadap nilai-nilai dirinya, memikirkan apa yang mereka inginkan untuk menjalani hidup selanjutnya dan melihat kembali pilihan-pilihan karir. Penderita juga dapat menemukan cara-cara untuk menjaga hubungan yang positif, dekat dan penuh kasih sayang dengan keluarga maupun orang-orang lain yang penting dalam hidup mereka.

Meskipun diagnosa tumor otak adalah sesuatu yang berat, tetapi beberapa penderita merasa bahwa kehidupan pribadi mereka berubah menjadi lebih baik setelah diagnose. Ini terjadi sebab hal tersebut membuat orang mengevaluasi kembali hidup mereka, seringkali dalam arah yang lebih positif. Tidak cara-cara yang tertentu dan spesifik untuk menghadapi emosi-emosi yang muncul. Terkadang perasaan merasa lebih baik muncul, dan hari berikutnya mungkin merasa kacau. Tidak semua penderita menunjukkan emosi-emosi mereka dan tidak semua orang mengalami perasaan yang sama.

Berbagai emosi yang dialami oleh penderita mempengaruhi hubungan mereka dengan orang lain di sekitarnya. Ketika penderita belum mampu untuk menerima kenyataan adanya tumor otak dalam hidup mereka, kemarahan, kecemasan dan depresi yang dialami akan mempengaruhi hubungan dengan pasangan maupun orang-orang lain. Penderita dapat mengekspresikan kemarahan yang tidak wajar pada pasangan (istri atau suami) mereka, anak-anak, tetangga, atasan, dokter atau pada setiap orang. Penderita dapat mengatakan sesuatu yang menyakitkan, hal-hal tidak

(7)

menyenangkan yang sebenarnya tidak ingin dikatakan, yang di kemudian hari dapat disesali. Di sisi lain, kemarahan yang disembunyikan dapat menyebabkan irritability, ketidakmampuan untuk tidur, kelelahan yang sangat dan makan minum secara berlebihan. Hubungan yang destruktif dalam keluarga juga diprediksikan terjadi, ketika penderita menyerah terhadap penyakitnya (Kaplan, dkk, 2000). Dengan situasi tersebut ketika hubungan yang overprotektif terjadi dalam keluarga, hal tersebut dapat menjadi stressor. Penderita berharap bahwa mereka dapat mandiri dan dapat hidup senormal mungkin, namun merasa dibatasi oleh pasangannya.

Terkait dengan pekerjaan, penelitian yang telah dilakukan Feurstein, dkk, (2007) menunjukkan adanya keterbatasan yang dilakukan oleh penderita tumor otak di tempat kerja. Permasalahan terkait dengan tumor yang diderita berdampak terhadap fungsi mereka di tempat kerja. Kesulitan tersebut diatribusi sebagai tantangan fisik, kognitif dan emosi yang dialami penderita tumor otak. Kondisi ini secara potensial berdampak dalam kemampuan efisiensi dalam melakukan berbagai tugas di tempat kerja. Kelelahan fisik, simtom-simtom depresif, keterbatasan fisik, kurang tidur dan penyelesaian masalah secara negatif berkontribusi terhadap keterbatasan kerja, yang berakibat pada rendahnya produktivitas kerja penderita. Tugas-tugas yang awalnya dapat dikerjakan dengan mudah menjadi terasa lebih sulit. Terlebih ketika mendapatkan tugas yang baru, tantangan untuk mempelajari ketrampilan baru bukanlah hal yang mudah. Meski demikian, Katz (2010) menyatakan bahwa banyak orang dengan tumor otak dapat kembali bekerja dan melakukan pekerjaannya, baik di tempat yang baru maupun di tempat yang lama, dalam tempat kerja yang cocok (sesuai). Tantangan, aspek-aspek sosialisasi dan insentif secara finansial dari pekerjaan dapat membantu penderita mengarah pada pemulihan.

(8)

Kesimpulan

Tumor otak merupakan salah satu penyakit berbahaya yang memiliki risiko tinggi berakibat pada kematian. Keberadaan tumor otak berpengaruh terhadap kondisi social dan emosi penderitanya. Secara emosi, penderita tumor otak mengalami berbagai reaksi emosional seperti penolakan, kemarahan, kebencian, depresi, pasrah dan penerimaan. Berbagai emosi yang dialami oleh penderita tumor otak mempengaruhi interaksi mereka dengan orang lain di sekitarnya. Hubungan yang tidak menyenangkan akan terjadi ketika penderita belum mampu menerima tumor otak yang dideritanya. Oleh karena itu, keluarga penderita memiliki peran yang penting dalam memberikan dukungan social. Sehubungan dengan kondisi yang dialaminya, penderita tumor otak juga mengalami keterbatasan di tempat kerja yang dapat menyebabkan rendahnya produktivitas. Meskipun demikian, peluang bagi penderita tumor otak untuk kembali bekerja atau menemukan tempat baru untuk bekerja tetap ada.

Terkait dengan kondisi emosi dan sosial penderita tumor otak beberapa hal yang dapat disarankan antara lain ;

1. Mendapatkan informasi yang sebanyak-banyaknya mengenai penyakit yang dideritanya, sehingga penderita dapat melakukan coping secara tepat.

2. Mencari bantuan ahli ketika mengalami depresi, sebab yang tidak segera tertangani dapat memperburuk keadaan.

3. Menemukan support group yang merupakan pertemuan penderita, anggota keluarga, dll, yang sedang menghadapi penyakit atau isu yang sama.

4. Berkomunikasi dengan keluarga sehingga dukungan dari pasangan (istri atau suami) dan anak dapat diperoleh.

5. Berkonsentrasi pada hal-hal yang positif untuk kesejahteraan diri dan mencoba untuk menjalani perasaan-perasaan yang dialami daripada menolaknya, sehingga kualitas hidup penderita dapat ditingkatkan.

(9)

6. Terkait dengan pekerjaan, individu dapat kembali bekerja secara pelan-pelan dan mengembangkan strategi untuk menyelesaikan tugas dalam pekerjaan. 7. Mendapatkan pelatihan kembali sebelum kembali bekerja. Pelatihan dapat

meningkatkan kemampuan konsentrasi dan ketrampilan komunikasi yang dapat membantu dalam memproses dan mengorganisasi informasi. Dalam beberapa kasus, penderita dapat mempelajari teknik kompensasi yang spesifik untuk mengganti kurangnya fungsi-fungsi atau kemampuan tertentu.

8. Pusat rehabilitasi pekerjaan dapat menjadi sarana yang bermanfaat untuk membantu transisi kembali bekerja.

Daftar Pustaka

American Brain Tumor Association. (2007). Living with a brain tumor: A guide for newly diagnosed patients and their families. Illinois: American Brain Tumor Association.

Feurstein, M., Hansen, J. A., Calvio, L. C., Johnson, L., & Ronquillo, J. G. (2007). Work productivity in brain tumor survivor. Journal of Occupation, Environment and Medication. 2007; 49; 803-811.

Haut M. W., Bloomfield, S. M., Kashden. J, & Haut, J. S. (2002). Brain tumors. Handbook of Rehabilitation Psychology. Washington D. C. : American Psychological Association.

Hurlock, E. B. (1997). Psikologi perkembangan. Alih Bahasa: Istiwidayanti & Ridwan Max Sijabat. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Katz, J. (2010). Returning to work: Is it right for you? A guide for brain tumor patients. San Fransisco: National Brain Tumor Society.

Kaplan, C. P., & Miner, M. E. (2000). Relationships: Importance for patients with cerebral tumors. Brain Injury, Vol. 14, No. 3, 251-259.

(10)

Litofsky, N., Farace, E., Anderson, F., Meyers, C., Huang, W., & Laws, E. (2004). Deppression in patients with high-grade glioma; Results of the glioma outcomes project. Neurosurgery, 54:358-367.

Mahyuddin, H., & Setiawan, A. B. (2006). Karakteristik tumor infratentorial dan tatalaksana operasi di departemen bedah saraf fakultas kedokteran UI/ RSUPN Cipto Mangunkusumo Tahun 2001 – 2005. Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39. No 4.

Spezeski, J. (2008). A need assessment of brain tumor patients, survivors and loved ones. San Fransisco: National Brain Tumor Society.

Ogden, J. (2000). Health psychology: A textbook. USA: Open University Press. Pelletier, G., Verhoef, M. J., Khatri, N., & Hagen Neil. (2002). Quality of life in brain

tumor patients: The relative contributions of depression, fatigue, emotional distress, and existential issues. Journal of Neuro-Oncology 57: 41-49. Portman, S. M. (2010). How tumors affect the mind, emotion and personality.

http://braintumor.org/956-tumor-affects-on-mind-emotion-and-personality.pdf.

Taylor, S. E. (2006). Health psychology. New York: Mc.Graw Hill.

Tsay, S. L., Chang J. Y., Yates, P., Lin, K. C., & Liang S. Y. (2010). Factors influencing quality of life in patients with primary brain tumors: Prior to and following surgery. Support Care Cancer. DOI 10. 1007/ s00520-010-1053-0.

Wade, C., & Tavris, C. (2007). Psikologi. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Abstrak: Berbagai macam aplikasi open source menjadi peluang untuk dapat menciptakan aplikasi permainan yang bernilai positif bagi perkembangan kecerdasan anak

A.. Mengulek adalah salah satu kegiatan yang berat dilakukan. Meskipun terjadi peningkatan angka penderita arthritis dan CTS, hingga saat ini belum ada pengembangan

Pengaruh Model Pembelajaran Scramble Berbantuan Media Semi Kongkret Terhadap Hasil Belajar IPS Siswa Kelas V SD Gugus Kapten Kompiang Sujana. Singaraja: E-Juornal PGSD

Dengan perluasan pengenaan sampai dengan tingkat Pedagang Eceran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 maka sesuai dengan mekanisme pengkreditan Pajak Masukan dalam Undang-undang Nomor

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Magister Pendidikan Pada. Program Studi

Cara lain tersebut adalah dengan mengingatkan kembali secara terus menerus adanya sisi lain dari keberagamaan yang relatif tersebut yaitu, adanya pola-pola umum, mendasar

Setelah saya membaca buku Mas Ippho yang berjudul 7 Keajaiban Rezeki, saya dapat menyimpulkan bahwasanya rezeki bisa datang ketika kita mengubah penggunaan bagian otak saat

Metode triangulasi merupakan metode yang dilakukan peneliti pada saat mengumpulkan dan menganalisis data dengan memanfaatkan pihak lain untuk memperjelas data atau