• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PEMBERIAN PUPUK N DENGAN BERBAGAI DOSIS TERHADAP PERTUMBUHAN AWAL BIBIT SAGU (Metroxylon spp.) DI PERSEMAIAN DENGAN SISTEM POLIBAG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH PEMBERIAN PUPUK N DENGAN BERBAGAI DOSIS TERHADAP PERTUMBUHAN AWAL BIBIT SAGU (Metroxylon spp.) DI PERSEMAIAN DENGAN SISTEM POLIBAG"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PEMBERIAN PUPUK N DENGAN BERBAGAI

DOSIS TERHADAP PERTUMBUHAN AWAL BIBIT SAGU

(Metroxylon spp.) DI PERSEMAIAN DENGAN SISTEM

POLIBAG

FENDRI AHMAD

A24080138

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012

(2)

RINGKASAN

FENDRI AHMAD. Pengaruh Pemberian Pupuk N Dengan Berbagai Dosis Terhadap Pertumbuhan Awal Bibit Sagu (Metroxylon spp.) di Persemaian Dengan Sistem Polibag. (Dibimbing oleh EKO SULISTYONO dan H. M. H. BINTORO DJOEFRIE).

Percobaan ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh berbagai dosis pupuk N terhadap pertumbuhan awal bibit sagu di persemaian dengan sistem polibag. Percobaan dilaksanakan di PT. National Sago Prima, Selat Panjang Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau pada bulan Februari sampai Juni 2012.

Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok dengan satu faktor yaitu dosis N. Terdapat enam taraf perlakuan dosis N, yaitu 0, 3, 6, 9, 12 dan 15 g N/polibag. Setiap perlakuan diulang sebanyak empat kali, sehingga terdapat 24 sa-tuan percobaan. Masing-masing sasa-tuan percobaan menggunakan 50 bibit, sehing-ga total bibit yang ditanam sebanyak 1200. Setiap satuan percobaan terdapat 24 bibit yang diamati, sehingga total yang diamati adalah 756 bibit. Bibit yang digu-nakan memiliki bobot 0.5-1.0 kg. Sebelum ditanam, bibit dipangkas 20 cm dari pangkal banir dan dibersihkan, kemudian direndam dengan larutan Dithane M-45 selama 10 menit. Bibit yang sudah direndam di tanam ke polibag dengan media tanah gambut. Saat penanaman diberikan furadan dengan dosis 3-5 g/polibag.

Hasil percobaan menunjukkan pupuk N memberikan pengaruh yang nyata saat 7-9 MSP dan sangat nyata pada 10 MSP terhadap persentase hidup. Pupuk N berpengaruh nyata saat 9 dan 10 MSP terhadap pertumbuhan vegetatif yang meli-puti panjang anak daun pangkasan, panjang daun ke-1 (10 MSP), lebar anak daun ke-1, persentase pemekaran daun ke-1 dan jumlah daun. Dosis 3 g N/polibag me-rupakan dosis yang paling baik terhadap panjang anak daun pangkasan. Untuk pe-ubah yang lainnya, secara keseluruhan dosis 3 g N memberikan pertumbuhan ve-getatif yang paling baik, tetapi tidak berbeda nyata dengan dosis 0 g N, dan mem-punyai respon menurun secara linear dengan semakin tingginya dosis N. Pupuk N tidak berpengaruh terhadap panjang daun pangkasan, lebar anak daun pangkasan, persentase pemekaran daun pangkasan, panjang anak daun ke-1, bobot segar tajuk dan akar serta bobot kering tajuk dan akar.

(3)

PENGARUH PEMBERIAN PUPUK N DENGAN BERBAGAI

DOSIS TERHADAP PERTUMBUHAN AWAL BIBIT SAGU

(Metroxylon spp.) DI PERSEMAIAN DENGAN SISTEM

POLIBAG

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

FENDRI AHMAD

A24080138

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012

(4)

JUDUL : PENGARUH PEMBERIAN PUPUK N DENGAN

BERBAGAI DOSIS TERHADAP PERTUMBUH-

AN AWAL BIBIT SAGU (Metroxylon spp.) DI

PER-SEMAIAN DENGAN SISTEM POLIBAG.

NAMA

: FENDRI AHMAD

NIM

: A24080138

Menyetujui,

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Ir. Eko Sulistyono MSi. Prof. Dr. Ir. H. M. H. Bintoro Djoefrie, M.Agr NIP. 19620225 198703 1 001 NIP. 19480801 197403 1 001

Mengetahui, Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura

Dr. Ir. Agus Purwito, MSc. Agr NIP.19611101 198703 1 003

(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir pada tanggal 22 Agustus 1990 di kota Pekanbaru, Propinsi Riau. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Ayah Abdullah dan Ibu Linda Wati.

Penulis memulai pendidikan formal pada tahun 1996 di SDN 15 Andaleh, Kecamatan Matur Kabupaten Agam Sumatra Barat, kemudian dilanjutkan di SDN 003 Sail Pekanbaru. Penulis melanjutkan pendidikan di SLTPN 13 Pekanbaru selama tiga tahun. Setelah itu penulis melanjutkan pendidikan menengah atas di Madrasah Aliyah (MA) Ummatan Wasathon Pesantren Teknologi Riau di Pang-kalan Baru Pekanbaru selama tiga tahun. Selama di MA penulis juga mengambil jurusan teknologi elektro. Pada tahun 2008 penulis diterima sebagai mahasiswa di Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor melalui jalur BUD Kementrian Agama Republik Indonesia dalam program beasiswa santri berprestasi (PBSB).

Penulis bergabung dalam organisasi CSS MoRA (community of santry scholar of ministry of religious affair). Selama di CSS MoRA, penulis mengikuti kegiatan-kegiatan baik di IPB maupun di tingkat nasional. Penulis melakukan pembinaan dan pengabdian di Ponpes Al-Hikmah 2 Brebes (2008), di Ponpes Darun Najah Jakarta (2009), di Ponpes Nurul Ikhlas Bali (2010) dan di Ponpes Nurul Iman Bogor (2011). Tahun 2010 penulis mengikuti program Go Field IPB di Balai Benih Ikan (BBI) Kab. Brebes. Tahun 2011 penulis melakukan kuliah kerja profesi (KKP) yaitu di Desa Linggapura, Kec. Tonjong, Kab. Brebes. Selain itu, penulis pernah menjadi asisten MK. Dasar Agronomi dan menjadi pengajar di bimbingan belajar privat.

(6)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, ber-kat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Pengaruh Pemberian Pupuk N Dengan Berbagai Dosis Terhadap Pertumbuhan Awal Bibit Sagu (Metroxylonspp.) di Persemaian Dengan Sis-tem Polibag”, sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana di DeparSis-temen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Kementrian Agama Republik Indonesia melalui Direktur Diniyah dan Pondok Pesantren yang telah memberikan beasiswa selama kuliah di IPB.

2. Dr. Ir. Eko Sulistyono, M.Si dan Prof. Dr. Ir. H.M.H. Bintoro Djoefrie, M.Agr selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan bimbingan dalam penelitian dan pembuatan skripsi.

3. Dr. Ir. Supijatno, M.Si selaku dosen pembimbing akademik yang telah mem-bimbing dan memberikan saran selama kegiatan akademik.

4. Pak Fahmi, Kak Warno, Mas Andri, Mas Gia, Mas Fajar dan seluruh tim R&D serta PT. National Sago Prima (NSP) yang telah banyak memberikan bantuan, bimbingan dan saran serta fasilitas selama penelitian.

5. Ayah, ibu, Daus dan Novi beserta seluruh keluarga yang telah memberikan se-mangat dan keceriaan.

6. Lidya Oktaviani yang selalu memberikan semangat dan doa selama menyele-saikan penelitian dan pembuatan skripsi.

7. Sahabat sagu 45, Iqbal, Rahmat, Hesti, Ika dan Alma yang telah banyak mem-berikan bantuan selama penelitian.

8. Teman-teman Samefa, ibu kontrakan serta keluarga, seluruh keluarga besar CSS MoRA IPB dan keluarga besar AGH 45.

Bogor, Agustus 2012

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... ix DAFTAR LAMPIRAN ... xi PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Tujuan ... 3 Hipotesis ... 3 TINJAUAN PUSTAKA ... 4 Botani Sagu ... 4

Ekologi dan Penyebaran Sagu ... 5

Persemaian Bibit Sagu ... 6

Pupuk dan Pemupukan ... 7

Nitrogen... 8

Tanah Gambut ... 9

BAHAN DAN METODE ... 11

Tempat dan Waktu ... 11

Bahan dan Alat ... 11

Metode Penelitian... 11

Pelaksanaan ... 12

Pengamatan ... 14

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum ... 16

Hasil ... 18

Pembahasan ... 36

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 41

Saran ... 41

DAFTAR PUSTAKA ... 42

(8)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Rata-Rata Suhu dan Kelembaban dalam Paranet Bulan April-Juni 2012 ... 17

2. Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Peubah-Peubah yang Diamati pada Perlakuan Berbagai Dosis N ... 18

3. Pengaruh Pupuk N Terhadap Persentase Hidup Bibit... 19

4. Pengaruh Pupuk N Terhadap Panjang Daun Pangkasan ... 21

5. Pengaruh Pupuk N Terhadap Panjang Anak Daun Pangkasan ... 22

6. Data Hasil Pengaruh Pupuk N Terhadap Panjang Anak Daun Pangkasan Setelah Transformasi... 23

7. Pengaruh Pupuk N Terhadap Lebar Anak Daun Pangkasan ... 24

8. Data Hasil Pengaruh Pupuk N Terhadap Lebar Anak Daun Pangkasan Setelah Transformasi... 25

9. Pengaruh Pupuk N Terhadap Persentase Pemekaran Daun Pangkasan ... 25

10. Data Hasil Pengaruh Pupuk N Terhadap Persentase Pemekaran Daun Pangkasan Setelah Transformasi... 26

11. Pengaruh Pupuk N Terhadap Panjang Daun ke-1 ... 27

12. Pengaruh Pupuk N Terhadap Panjang Anak Daun ke-1 ... 28

13. Data Hasil Pengaruh Pupuk N Terhadap Panjang Anak Daun ke-1 Setelah Transformasi ... 28

14. Pengaruh Pupuk N Terhadap Lebar Anak Daun ke-1 ... 29

15. Data Hasil Pengaruh Pupuk N Terhadap Lebar Anak Daun ke-1 Setelah Transformasi ... 30

16. Pengaruh Pupuk N Terhadap Jumlah Anak Daun ke-1 ... 31

17. Data Hasil Pengaruh Pupuk N Terhadap Jumlah Anak Daun ke-1 Setelah Transformasi ... 32

(9)

20. Data Hasil Pengaruh Pupuk N Terhadap Persentase Pemekaran Daun ke-1 Setelah Transformasi ... 33

21. Pengaruh Pupuk N Terhadap Jumlah daun ... 34

(10)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Lokasi Persemaian Dengan Naungan 75 % ... 11

2. Perendaman Bibit Menggunakan Larutan Dithane M-45 ... 13

3. Penanaman Bibit ke Dalam Polibag ... 13

4. Aplikasi Pupuk Pada Bibit ... 14

5. Kondisi Bibit Saat Setelah Tanam (a) dan Saat 10 MSP (b) ... 16

6. Hama Ulat Sagu (Rynchophorus ferrugineus) (a), Gejala Serangan Ulat Sagu Pada Banir (b) dan Serangan Cendawan Pada Bibit (c) ... 17

7. Pengaruh Pupuk N Terhadap Persentase Hidup Bibit... 20

8. Respon Persentase Hidup Bibit Terhadap Pupuk N Saat 7-10 MSP ... 20

9. Pengaruh Pupuk N Terhadap Panjang Daun Pangkasan ... 21

10. Pengaruh Pupuk N Terhadap Panjang Anak Daun Pangkasan ... 22

11. Respon Panjang Anak Daun Pangkasan Terhadap Pupuk N pada 9 dan 10 MSP ... 23

12. Pengaruh Pupuk N Terhadap Lebar Anak Daun Pangkasan ... 24

13. Pengaruh Pupuk N Terhadap Persentase Pemekaran Daun Pangkasan ... 26

14. Pengaruh Pupuk N Terhadap Panjang Daun ke-1 ... 27

15. Respon Panjang daun ke-1 Terhadap Pupuk N Saat 10 MSP ... 27

16. Pengaruh Pupuk N Terhadap Panjang Anak Daun ke-1 ... 29

17. Pengaruh Pupuk N Terhadap Lebar Anak Daun ke-1 ... 30

18. Respon Lebar Anak daun ke-1 Terhadap Pupuk N Saat 9 dan 10 MSP ... 30

19. Pengaruh Pupuk N Terhadap Jumlah Anak Daun ke-1 ... 31

(11)

21. Respon Persentase Pemekaran daun ke-1 Terhadap Pupuk N Saat 9

dan 10 MSP ... 33

22. Pengaruh Pupuk N Terhadap Jumlah Daun ... 34

23. Respon Jumlah daun Terhadap Pupuk N ... 35

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman 1. Layout Percobaan ... 48

2. Persiapan Abut Sebelum Tanam ... 49

3. Pemeliharaan Pemangkasan Pada Bibit ... 49

4. Keadaan Bibit di Akhir Pengamatan Sebelum Ditimbang Bobot

Segar dan Kering ... 50

5. Hasil Analisis Tanah Sebelum Pemupukan ... 51

6. Data Curah Hujan Maret-November 2011 Camp Tuni, PT. National

Sago Prima, Pulau Tebing Tinggi, Riau... 52

7. Sidik Ragam Panjang Daun Pangkasan ... 53

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sebagai negara yang terletak di daerah tropika basah, Indonesia kaya akan tanaman penghasil karbohidrat dan mampu menjadi sumber karbohidrat terbesar di dunia. Indonesia dalam mencukupi kebutuhan karbohidrat sangat bertumpu pa-da komoditas padi. Renpa-dah pa-dan sulitnya meningkatkan produktivitas padi di-sebabkan oleh banyaknya faktor internal dan eksternal yang mengganggu. Untuk mengatasi kekurangan pangan dan pemenuhan karbohidrat maka perlu peman-faatan tanaman karbohidrat selain dari biji-bijian, salah satunya adalah tanaman sagu (Metroxylon spp.).

Sagu atau Metroxylon spp. merupakan salah satu komoditas pangan dan sumber karbohidrat yang sangat potensial di Indonesia. Produktivitas tanaman sagu mencapai 20-40 ton pati kering /ha/tahun (Bintoro et al., 2010; Haryanto, 1992), tetapi faktanya baru 15 ton/ha/tahun (Jong, 2007). Sejauh ini tanaman sagu kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Padahal apabila tanaman sagu di-budidayakan (dikelola dengan baik), maka tanaman sagu dapat mencukupi kebu-tuhan karbohidrat seluruh bangsa Indonesia (Djoefrie, 1999). Kebukebu-tuhan karbo-hidrat seluruh penduduk Indonesia saat ini sekitar 30,2 juta ton/tahun, hal ini ber-arti tanaman sagu sekitar 1 juta ha dapat memenuhi karbohidrat seluruh bangsa Indonesia (Bintoro et al., 2010).

Luas areal tanaman sagu di dunia diperkirakan lebih dari 2 juta ha (Bintoro et al., 2007) dan 5-6 juta ha (Schuiling, 2009). Potensi sagu di Indonesia menem-pati lebih dari 50% dari sagu dunia. Luasan hutan sagu di Indonesia mencapai 1.1 juta ha dengan 90% diperkirakan terdapat di provinsi Irian Jaya (Flach dalam Rusli, 2007), 2.25 juta ha (Mashud et al., 2008) dan menurut Schuiling (2009) 4-5 juta ha. Tanaman sagu tersebar di wilayah tropika basah Asia Tenggara dan Oseania, terutama tumbuh di lahan rawa dan payau atau yang sering tergenang air (BPBPI, 2007). Jika dilihat dari segi budidaya, sagu memiliki sifat baik yaitu potensi produksinya tinggi, dapat tumbuh, dan berproduksi pada daerah rawa. Tanaman sagu termasuk dalam kelompok tanaman tahunan dan cocok untuk dae-rah basah dataran rendah tropis.

(14)

2

Ada beberapa manfaat sagu antara lain: 1) Sebagai bahan pangan utama, 2) Sebagai bahan baku industri non pangan, misalnya industri tekstil, kosmetik, farmasi, pestisida, plastik, kertas, kayu lapis, makanan dan minuman, 3) Bahan energi, 4) Pati sagu diolah menjadi etanol yang dapat digunakan sebagai bahan pengganti bensin yang ramah lingkungan, 5) Sebagai bahan baku industri pangan: mie, soun, kue, dodol dan kerupuk dan 6) Sebagai pakan ternak (Djoefrie, 1999). Anak daun sagu dapat dijadikan bahan pembuatan atap rumah (Schuiling dan Flach, 1985 ; Lina et al., 2009 ; Schuiling, 2009), tetapi akibat pemotongan anak daun tersebut menyebabkan jumlah daun sagu menjadi lebih sedikit (Josue dan Okazaki, 2002) dan kulit batang dapat dijadikan lantai (Schuiling dan Flach, 1985). Ampas sagu dapat digunakan sebagai campuran media pembibitan cengkeh (Djoefrie dan Soebijandojo, 1993) dan campuran media pada pembibitan kakao (Djoefrie dan Sianipar, 1993).

Kandungan kalori, karbohidrat, protein dan lemak pati sagu setara dengan kandungan pati tanaman penghasil karbohidrat lain (BPBPI, 2007). Menurut Schuiling (2009) pati sagu dari Indonesia mengandung 81-88% karbohidrat (27% amilosa dan 73% amilopektin), 10-17% air, 0.31% protein 0.11-0.25% lemak, 1.35% serat dan 0.15-0.28% abu.

Kegiatan persiapan bahan tanam meliputi kegiatan persiapan bibit dan persemaian. Pada umumnya perbanyakan tanaman sagu dilakukan secara vegetatif melalui anakan, hal ini karena selain mudah diperbanyak, bibit yang diperoleh da-ri anakan lebih cepat dalam pertumbuhan (Jong dan Kueh, 1995 ; Irawan et al., 2009b). Perbanyakan menggunakan benih mempunyai beberapa kelemahan, yaitu benih susah didapat karena biasanya sagu dipanen sebelum pembungaan (Irawan et al., 2009a), biji sagu susah berkecambah (Schuiling dan Flach, 1985) serta san-gat bervariasi dalam morfologi dan daya tumbuh (Jong, 2007). Persemaian bertu-juan untuk mempercepat pertumbuhan vegetatif dan mempunyai daya tahan hidup yang baik sehingga tidak mudah mati saat di lapang (Pinem, 2008). Selain itu, persemaian digunakan untuk menyeleksi bibit yang baik saat tanam ke lapang (Jong, 2007).

Pupuk adalah bahan yang diberikan ke dalam tanah baik yang organik maupun anorganik untuk mengganti kehilangan unsur hara dari dalam tanah dan

(15)

bertujuan untuk meningkatkan produksi tanaman (Sutedjo, 1994). Sangat dianjur-kan meningkatdianjur-kan kesuburan tanah untuk mendapatdianjur-kan hasil yang cukup dari ta-naman sagu di tanah gambut (Ando, et al., 2007). Penambahan pupuk pada sagu di tanah gambut saat fase roset dan awal pembentukan batang dapat mempercepat pertumbuhan dan meningkatkan produktivitas sagu (Purwanto et al., 2002). Pupuk N berfungsi memperbaiki pertumbuhan vegetatif tanaman dan pembentukan pro-tein. Apabila unsur nitrogen kurang maka tanaman menjadi terganggu pertumbuh-an vegetatifnya (Hardjowigeno, 2007). Aplikasi pupuk N dapat meningkatkpertumbuh-an se-cara signifikan jumlah anak daun sagu pada pertumbuhan bibit, tetapi diameter dan jumlah daun tidak berpengaruh (Lina et al., 2009).

Teknik persemaian bibit sagu dapat menggunakan rakit (sistem kanal), kolam lumpur dan polibag (Schuiling, 2009). Pinem (2008) menyatakan bahwa persemaian di media kanal adalah yang paling baik, karena bibit sagu di media kanal selalu mendapatkan air sehingga mendukung penambahan jumlah dan lebar daun. Selain itu menurut Jong (2007) persemaian di kanal memiliki persentase hi-dup bibit yang tinggi yaitu 80%. Wibisono (2011) menyatakan pada persemaian kanal, meskipun mempunyai kemampuan hidup yang tinggi dalam persemaian te-tapi lebih dari 40% bibit mati pada saat dipindahtanamkan. Pinem (2008) menya-takan pada persemaian menggunakan kolam, tinggi air kolam tidak selalu sama, hal tersebut membuat bibit sagu seringkali menjadi stres sehingga pertumbuhan-nya tidak maksimal. Oleh karena itu perlu dikembangkan penelitian persemaian sagu menggunakan sistem polibag dan pemberian pupuk khususnya N untuk me-ningkatkan daya tumbuh bibit dan pertumbuhan vegetatif awal.

Tujuan

Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemupukan nitrogen terhadap pertumbuhan awal bibit sagu di persemaian sistem polibag.

Hipotesis

Terdapat pertumbuhan yang berbeda untuk setiap dosis nitrogen yang di-berikan terhadap bibit sagu di persemaian dengan sistem polibag.

(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Botani sagu

Sagu dari genus Metroxylon, secara garis besar digolongkan menjadi dua yaitu pleonanthic dan hepaxanthic. Pleonanthic adalah tanaman sagu yang ber-bunga atau berbuah dua kali dengan kandungan pati rendah. Hepaxanthic adalah tanaman sagu yang berbunga atau berbuah satu kali dan mengandung pati lebih banyak (Bintoro et al., 2010).

Batang sagu merupakan bagian yang sangat penting karena mengandung pati yang diambil untuk berbagai keperluan. Pada umur 3-11 tahun tinggi batang bebas daun sekitar 3-16 m, bahkan dapat mencapai 20 m. Sagu memiliki batang tertinggi pada umur panen yakni 11 tahun keatas (Haryanto dan Pangloli, 1992). Sagu dapat mencapai tinggi 25 m dan 8-16 m batang dapat menghasilkan pati (Atmawidjaja, 1992). Lapisan kulit paling luar berupa lapisan sisa-sisa pelepah daun sagu yang terlepas, sehingga yang terlihat hanya lapisan kulit tipis pembung-kus kulit dalam yang keras. Pada tanaman sagu yang masih muda, kulit dalam ter-sebut tipis dan tidak begitu keras. Serat dan empulur pada sagu muda masih muda dan banyak mengandung air, sedangkan pada sagu dewasa sampai umur panen empulur dan serat sudah mulai kering dan mengeras (Bintoro et al., 2010). Menurut Rumalatu (1981) kandungan pati dalam empulur batang sagu berbeda-beda, tergantung dari umur, jenis dan lingkungan tempat sagu itu tumbuh.

Sagu mempunyai daun sirip menyerupai daun kelapa yang tumbuh pada tangkai daun. Daun sagu memiliki anak daun dengan panjang 1,5 m, bertangkai dan berpelepah. Panjang daun sagu dapat mencapai 7 m. Setiap bulan sagu mem-bentuk satu tangkai daun dan diperkirakan berumur rata-rata sekitar 18 bulan, kemudian akan gugur setelah tua (Flach, 1983).

Bunga sagu merupakan bunga majemuk yang keluar dari ujung atau pun-cak batang sagu, berwarna merah kecoklat-coklatan seperti karat (Bintoro et al., 2010). Menurut Haryanto dan Pangloli (1992), penurunan kandungan pati dalam batang sagu biasanya ditandai dengan mulai terbentuknya primordia bunga.

(17)

Ekologi dan Penyebaran Sagu

Secara alami tanaman sagu tersebar dari Melanesia di Pasifik Selatan di sebelah Timur sampai ke India sebelah Barat (90°-180° BT) dan dari Mindanau di sebelah Utara sampai di pulau Jawa di sebelah Selatan (10° LU-10° LS) (Johson dalam Djoefrie, 1999). Hutan sagu ditemukan di lahan-lahan sepanjang dataran rendah tepi pantai hingga ketinggian 1000 m dpl, sepanjang tepi sungai dan di sekitar danau ataupun rawa. Ketinggian tempat yang terbaik sampai 400 m dpl, lebih dari itu pertumbuhan sagu terhambat dan produksinya rendah (Djoefrie, 1999). Suhu udara terendah bagi pertumbuhan tanaman sagu adalah 15°C, dengan kelembaban udara sekitar 90% dan intensitas cahaya sekurang-kurangnya 900 joule/cm2/hari. Apabila suhu udara rata-rata kurang dari 20°C atau kelembaban kurang dari 70% maka pembentukan pati berkurang 25% (Bintoro et al., 2010 ; Notohadiprawiro dan Louhenapessy, 1993). Umumnya di Serawak sagu tumbuh di tanah gambut, tetapi pertumbuhannya lambat, jumlah daun lebih sedikit (17-19 daun dibandingkan di tanah mineral 20-24 daun) dan hasil per batang lebih rendah dibandingkan di tanah mineral (Flach dan Schuiling, 1991). Pada tanah gambut masa tebang 12.7 tahun sedangkan di tanah mineral 9.8 tahun (Kueh et al., 1991), rata-rata pati keringnya lebih sedikit yaitu 88-179 kg/tanaman dibandingkan di tanah mineral 123-189 kg/tanaman (Sim dan Ahmad, 1991) dan produksi per satuan waktu 25% lebih rendah dari sagu yang tumbuh pada tanah mineral (Kueh, 1995).

Sagu dapat tumbuh dengan baik pada tanah vulkanik, podzolik merah ku-ning, grumosol, alluvial dan hidromofik (Djoefrie, 1999). Menurut Haryanto dan Pangloli (1992), pada tanah yang tidak cukup tersedia mikroorganisme penyubur tanah, pertumbuhan sagu menjadi kurang baik. Selain itu, pertumbuhan tanaman sagu juga dipengaruhi oleh adanya unsur hara yang disuplai dari air tawar terutma unsur P, K dan Mg. Akar nafas tanaterutman sagu yang terendam terus menerus a-kan menghambat pertumbuhan sagu sehingga pembentua-kan pati dalam batang ju-ga terhambat.

Menurut Djoefrie (1999), satu hal yang menarik dari tanaman sagu yaitu tanaman tersebut dapat tumbuh pada suatu kawasan yang tanaman lain tidak dapat tumbuh dan apabila tanaman pangan lainnya seperti padi, jagung, umbi-umbian

(18)

6

dan palawija hasilnya akan membusuk bila terendam ≥ 1 m, tetapi pati yang masih terdapat di batang sagu tidak akan rusak bila tanaman sagu terendam ≥ 1 m sela-ma beberapa hari.

Sagu tumbuh tersebar di Kepulauan Nusantara. Lebih dari 95 % tanaman sagu terdapat di Indonesia, Malaysia dan Papua New Guinea, sisanya terdapat di pulau-pulau di Pasifik, Filipina dan Thailand bahkan sampai India (Flach, 1983). Lebih dari 50 % sagu Indonesia tumbuh di Papua. Provinsi lainnya yang memiliki sagu yang agak luas yaitu Maluku, Maluku Utara, Aceh, Riau, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Utara (Bintoro, 2008).

Persemaian Bibit Sagu

Kegiatan persemaian merupakan kegiatan lanjutan dari penyeleksian abut (anakan sagu). Persemaian bertujuan memberikan kondisi yang sesuai atau akli-matisasi untuk abut-abut yang akan di tanam di lapangan. Akliakli-matisasi bertujuan agar abut tersebut tidak stres, sehingga selama proses persemaian kondisi abut ba-ik dan sehat untuk ditanam di lapangan. Lama bibit di persemaian yaitu selama ti-ga bulan, bibit memiliki rata-rata jumlah daun 2-3 helai dan perakaran yang baik sehingga bibit sudah siap dipindah ke lapang (Bintoro et al., 2010).

Bibit yang digunakan dapat berasal dari biji (generatif) dan dari tunas atau anakan sagu (vegetatif). Perbanyakan tanaman secara generatif belum optimal keberhasilannya, terutama dalam perkecambahan biji (Flach dalam Haryanto dan Pangloli, 1992). Bibit yang diambil sebagai bahan tanaman adalah bibit yang telah matang atau tua. Bibit sagu umumnya dapat ditemukan pada kebun yang pohon induknya sudah dipanen 3-4 kali. Bibit yang baik dengan bobot 2-5 kg dan bong-gol berbentuk “L” (Wibisono, 2011).

Sebelum penyemaian bibit terlebih dahulu dilakukan pemotongan pelepah dan tunas kurang lebih 20-30 cm dari banir, terutama untuk tunas-tunas yang telah mengering akibat terlalu lama di tempat persiapan bahan tanam. Tujuan pemo-tongan untuk mempercepat pemunculan calon tunas pertama yang selanjutnya menjadi daun (Asmara, 2005).

Teknik pembibitan yang dilaksanakan pada bibit sagu adalah persemaian rakit. Persemaian rakit dilaksanakan pada parit atau kanal dengan air mengalir.

(19)

Rakit bisa terbuat dari bambu atau pelepah tua tanaman sagu. Keuntungan meng-gunakan persemaian rakit adalah kemampuan tumbuh bibit tinggi serta peme-liharaan sangat sedikit. Selain menggunakan rakit, persemaian juga bisa dilakukan dengan menggunakan teknik kolam dan polibag. Pada persemaian menggunakan polibag digunakan tanah gambut ke dalam polibag tersebut (Bintoro, 2008). Me-nurut Pinem (2008), perlakuan persemaian dengan polibag menghasilkan nilai ra-ta-rata panjang tunas yang rendah jika dibandingkan dengan sistem rakit dan ko-lam. Hal ini karena kadar air polibag cukup rendah, sedangkan bibit sagu membu-tuhkan kadar air yang tinggi untuk pertumbuhannya.

Pupuk dan Pemupukan

Pupuk adalah setiap bahan yang diberikan ke dalam tanah atau di-semprotkan pada tanaman dengan maksud menambah unsur hara yang diperlukan tanaman. Pemupukan adalah setiap usaha pemberian pupuk yang bertujuan nambah persediaan unsur-unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman untuk me-ningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman (Sarief, 1985).

Menurut Hardjowigeno (2007), agar pemupukan efisien maka dalam pe-mupukan harus diketahui beberapa hal, yaitu tanaman yang akan dipupuk, jenis tanah, jenis pupuk, dosis pupuk, waktu dan cara pemupukan. Dosis pupuk yang diberikan berhubungan dengan kebutuhan tanaman akan unsur hara, kandungan unsur hara yang ada dalam tanah dan kadar unsur hara yang terdapat dalam pu-puk. Menurut Harjadi (1996), pada banyak tanaman, N diberikan beberapa kali se-lama musim tanam karena N mudah tercuci dan mudah berubah ke bentuk gas yang tidak tersedia bagi tanaman.

Pupuk terbagi menjadi pupuk alami dan buatan. Pupuk alami adalah pupuk yang telah tersedia di alam dan dapat diserap tanaman, sedangkan pupuk buatan adalah pupuk yang sengaja dibuat dengan menambahkan unsur hara tertentu. Selain itu pupuk buatan terdiri atas pupuk tunggal dan pupuk majemuk. Pupuk tunggal adalah pupuk yang hanya mengandung satu unsur hara saja, sedangkan pupuk majemuk mengandung lebih dari satu unsur hara.

Urea adalah salah satu bentuk pupuk N buatan dan tergolong pupuk tung-gal. Rumus kimianya adalah CO(NH2)2. Pupuk urea mengandung 45% N dan

(20)

ter-8

masuk golongan pupuk yang higroskopis. Pada kelembaban nisbi 73% sudah mu-lai menarik air dari udara. Reaksi fisiologisnya agak masam dengan ekivalen ke-masaman 80 tetapi tidak terlalu mengasamkan tanah. Pupuk urea dibuat dari amo-niak dan gas asam arang, berbentuk kristal berwarna putih atau butir-butir bulat berdiameter kurang lebih 1 mm. Pupuk urea sering dilapisi suatu bahan pelapis untuk mengurangi sifat higroskopisnya. Untuk dapat diserap tanaman, nitrogen dalam urea diubah dahulu menjadi ammonium dengan bantuan enzim tanah urea-se melalui prourea-ses hidrolisis. Apabila diberikan ke tanah prourea-ses hidrolisis terurea-sebut cepat sekali terjadi sehingga mudah menguap menjadi amonia. Amonia mudah bereaksi dengan air dan akan membentuk hidroksi amonium, sehingga untuk se-mentara tidak akan hilang dari tanah (Sarief, 1985 ; Hardjowigeno, 2007).

Nitrogen

Nitrogen merupakan unsur yang termasuk ke dalam salah satu unsur esensial bagi tanaman. Menurut Miftahudin et al., (2010) unsur esensial diartikan sebagai hara mineral yang sangat dibutuhkan oleh tanaman. Bila salah satu dian-taranya tidak tercukupi dalam tanah maka pertumbuhan dan perkembangan tana-man tidak dapat optimal.

Senyawa nitrogen sebagai sumber nitrogen yang dapat diasimilasikan oleh tanaman dan dapat dibagi menjadi empat golongan besar, yaitu: nitrogen nitrat (NO3-), nitrogen ammonia, nitrogen organik dan nitrogen molekul lain (N2).

Sum-ber utama unsur nitrogen bagi tanaman diantaranya atau yang terpenting adalah ion nitrat (NO3-) dalam larutan tanah. Ion nitrat diserap oleh bulu-bulu akar

melalui proses respirasi anion dan diakumulasikan dalam vakuola. Sumber lain dari nitrogen anorganik adalah dalam bentuk ion ammonium (NH4+). Masuknya

ion ammonium ke dalam sel karena adanya gradien listrik akibat pengambilan ion secara aktif (Suseno, 1974).

Kandungan nitrogen di udara sekitar 79%. Nitrogen tersebut tidak lang-sung dapat dimanfaatkan oleh tanaman sebelum mengalami perombakan menjadi senyawa nitrat (NO3-) dan ammonium (NH4+). Sumber nitrogen udara berasal dari

vulkan, pembakaran, denitrifikasi dan pelapukan sedimen. Nitrogen udara diok-sidasi oleh cahaya kilat dan bereaksi dengan air hujan membentuk nitrat. Fiksasi

(21)

biologi dapat dilakukan oleh mikroorganisme seperti bakteri, aktinomisetes dan ganggang hijau biru. Molekul nitrogen (N2) akan bereaksi dengan oksigen (O2)

membentuk ammonium (NH4+) yang tersedia bagi tanaman.

Menurut Hardjowigeno (2007), perubahan-perubahan bentuk nitrogen da-lam tanah dari bahan organik melalui beberapa macam proses, yaitu aminisasi, amonifikasi, nitrifikasi dan denitrifikasi. Aminisasi adalah pembentukan senyawa amino dari bahan organik (protein) oleh berbagai mikroorganisme. Amonifikasi adalah pembentukan ammonium dari senyawa-senyawa amino oleh mikroorganis-me. Nitrifikasi adalah perubahan dari ammonium (NH4+) menjadi nitrit (NO2-)

oleh bakteri Nitrosomonas, kemudian menjadi nitrat oleh bakteri Nitrobacter. Faktor-faktor yang mempengaruhi nitrifikasi adalah tata udara (nitrifikasi berjalan baik jika tata udara tanah baik), pH tanah (baik pada pH sekitar 7.0) dan suhu. Denitrifikasi adalah proses reduksi nitrat (NO3-) menjadi bentuk N2 oleh

mikroorganisme dan proses reduksi kimia (terjadi setelah terbentuk nitrit). Syarat terjadinya denitrifikasi adalah di tempat yang tergenang, drainase buruk dan tata udara tidak baik.

Nitrogen merupakan penyusun semua protein dan asam nukleat, sehingga merupakan penyusun protoplasma (Sarief, 1985). Menurut Hardjowigeno (2007) N berfungsi memperbaiki pertumbuhan vegetatif tanaman. Apabila tanaman keku-rangan nitrogen maka terlihat gejala seperti tanaman menjadi kerdil, pertumbuhan akar terbatas dan daun - daun kuning dan gugur. Menurut Sarief (1985), jumlah N yang terlalu banyak mengakibatkan menipisnya bahan dinding sel sehingga mu-dah diserang oleh hama dan penyakit, serta mumu-dah terpengaruh oleh keadaan bu-ruk seperti kekeringan dan kelebihan air.

Tanah Gambut

Tanah gambut merupakan material atau bahan organik yang tertimbun se-cara alami dalam keadaan basah berlebihan, bersifat tidak mampat dan tidak atau hanya sedikit mengalami perombakan. Berdasarkan klasifikasi tanah, tanah gam-but dikelompokkan ke dalam ordo histosol (histos dari bahasa Yunani yang arti-nya jaringan) atau sebelumarti-nya dinamakan organosol yang mempuarti-nyai ciri dan si-fat yang berbeda dengan jenis tanah mineral umumnya (Noor, 2001).

(22)

10

Kesuburan tanah gambut sangat beragam tergantung ketebalan lapisan gambut, tingkat dekomposisi, komposisi tanaman penyusun gambut dan tanah mi-neral yang berada di bawah lapisan tanah gambut (Barchia, 2006). Tanah gambut di PT. National Sago Prima memiliki pH berkisar antara 3.30-3.70 (sangat ma-sam), kapasitas tukar kation (KTK) tergolong tinggi (46.59-74.22 me/100 g), se-dangkan kejenuhan basanya termasuk rendah (5,75-7.69 %) (Bintoro et al., 2010). Tanah yang sangat masam menyebabkan kekahatan N, P, K, Ca, Mg, Bo dan Mo. KTK tanah yang tinggi dan kejenuhan basa yang rendah menyebabkan penyedia-an hara ypenyedia-ang baik bagi tpenyedia-anampenyedia-an terhambat terutama K, Mg dpenyedia-an Ca (Noor, 2001).

Bobot isi (bulk density) tanah gambut berkisar antara 0.01-0.20 g/cm3, tergantung

pada tingkat kematangannya. Rendahnya bobot isi tanah gambut mencirikan ren-dahnya daya dukung tanah tersebut (Bintoro et al., 2010).

Nisbah C/N tanah gambut berkisar antara 31-49. Apabila nilai rasio C/N lebih besar dari 30, mikroorganisme tanah akan memobilisasi N untuk metabolis-menya. Jadi meskipun kadar N total tinggi, tetapi tidak tersedia bagi tanaman. Se-lain itu, N total di tanah gambut dalam bentuk N-organik yang sedikit diserap ta-naman. Agar tersedia bagi tanaman, bentuk organik harus diubah menjadi N-anorganik melalui proses asimilasi, amonifikasi dan nitrifikasi. Seperti halnya un-sur N, unun-sur P di tanah gambut dalam bentuk P organik yang sulit tersedia untuk tanaman (Barchia, 2006).

Hara mikro tanah gambut tergolong rendah. Hal tersebut terjadi karena se-nyawa organometal mengikat unsur mikro. Keadaan tersebut menyebabkan unsur mikro tidak tersedia bagi tanaman. Selain itu, dalam kondisi reduksi, unsur mikro diubah ke dalam bentuk yang sulit diserap tanaman (Noor, 2001). Barchia (2006) menyatakan kandungan unsur hara mikro tanah gambut pada lapisan bawah u-mumnya lebih rendah dibandingkan pada lapisan atas.

(23)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Percobaan dilaksanakan di perkebunan sagu PT. National Sago Prima, Selat Panjang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau. Waktu percobaan pada bulan Februari 2012 sampai bulan Juni 2012.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan pupuk Urea (46 % N), TSP, KCl, Dolomit, Dithane M-45, Furadan, media tanah gambut dan bibit sagu yang mempunyai kriteria se-hat, bebas dari hama penyakit dan mempunyai perakaran yang cukup dengan bo-bot 500-1000 g. Polibag yang digunakan berukuran 30 x 35 cm. Alat yang diguna-kan adalah paranet 75% (Gambar 1), ember, angkong, skop, cangkul, meteran, pH meter, termometer bola basah bola kering, pompa air, timbangan, parang dan la-bel.

Gambar 1. Lokasi Persemaian Dengan Naungan 75 %

Metode Penelitian

Percobaan terdiri atas satu faktor yaitu dosis pupuk N. Perlakuan yang di-berikan yaitu:

P0: Perlakuan kontrol (tanpa pupuk N) P1: Perlakuan dosis 3 g N/polibag P2: Perlakuan dosis 6 g N/polibag P3: Perlakuan dosis 9 g N/polibag P4: Perlakuan dosis 12 g N/polibag P5: Perlakuan dosis 15 g N/polibag

(24)

12

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Kelompok Leng-kap Teracak (RKLT) dengan empat ulangan. Perlakuan terdiri atas enam perlaku-an yperlaku-ang diulperlaku-ang empat kali sehingga percobaperlaku-an terdiri atas 24 satuperlaku-an percobaperlaku-an. Model aditif linier yang digunakan adalah:

Yij = µ + αi + βj + εij

Keterangan:

Yij = Pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

µ = Rataan umum

αi = Pengaruh perlakuan ke-i (i:1, 2, 3, 4, 5, 6)

βj = Pengaruh ulangan ke-j (j:1, 2, 3, 4)

εij =Pengaruh acak pada perlakuan ke-i pada ulangan ke-j

Percobaan diasumsikan memiliki pengaruh perlakuan yang bersifat aditif, data menyebar normal, galat percobaan saling bebas dan menyebar normal serta ragam galat percobaan bersifat homogen.

Dalam percobaan, jumlah bibit yang digunakan sebanyak 50 bibit untuk setiap satuan percobaan dan 24 bibit yang digunakan atau diambil sebagai contoh dalam setiap satuan percobaan. Jadi total bibit yang digunakan semuanya adalah sebanyak 1 200 bibit, sedangkan jumlah bibit yang diambil sebagai contoh untuk pengamatan sebanyak 576 bibit.

Data yang diperoleh diuji dengan sidik ragam atau uji F dan apabila me-nunjukkan pengaruh nyata maka dilanjutkan dengan pengujian DMRT (duncan multiple range test) pada taraf 5 %. Untuk mengetahui dosis pemupukan nitrogen optimum dan respon pemupukan N dilakukan uji kontras orthogonal polinomial.

Pelaksanaan

Tahap awal yang dilakukan adalah pengadaan bibit (abut). Bibit berasal dari pembelian melalui kontraktor penyedia abut. Sebelum dilakukan penyemaian, dilakukan pemangkasan pada bagian pelepah dan pucuk ± 20 cm di atas banir. Pemangkasan pelepah dan pucuk dilakukan agar mempercepat pemunculan tunas dan mengurangi evaporasi. Bibit direndam dalam larutan fungisida Dithane M-45 dengan konsentrasi 2 g/l selama 10 menit dan dikering anginkan selama 10-15

(25)

menit (Gambar 2). Hal tersebut bertujuan untuk menghindari dan mencegah cen-dawan dan jamur pada bibit. Polibag diisi dengan tanah di sekitar areal percobaan (tanah gambut) setelah dicampur dolomit dengan dosis 40 g/polibag. Sebelum bi-bit ditanam diberikan furadan dengan dosis 2-3 g/polibag. Setelah itu bibi-bit dita-nam atau dimasukkan ke dalam polibag dan tanah dipadatkan (Gambar 3). Polibag disusun rapi dan dikelompokkan sesuai rancangan acak yang digunakan. Semua bibit diletakkan di dalam rumah paranet dengan naungan 75%.

Gambar 2. Perendaman Bibit Menggunakan Larutan Dithane M-45

Gambar 3. Penanaman Bibit ke Dalam Polibag

Selain pupuk N (urea) sebagai perlakuan, semua bibit diberikan pupuk da-sar P (TSP) dan K (KCl) dengan dosis 3 g dan 2.5 g/polibag dan diaplikasikan sa-at setelah tanam. Pemberian pupuk nitrogen diaplikasikan dua kali yaitu sasa-at sete-lah tanam dan empat minggu setesete-lah tanam dengan dosis masing-masing aplikasi setengah dari dosis perlakuan pupuk N. Cara aplikasi langsung ditebar di sekitar bibit (Gambar 4). Untuk mengetahui kandungan N dalam media tanam, dilakukan pengujian dan analisis pada media tanam yang digunakan.

(26)

14

Gambar 4. Aplikasi Pupuk Pada Bibit

Pemeliharaan yang dilakukan meliputi pengairan, pengendalian gulma dan pemotongan (pemangkasan) petiol yang busuk. Pengairan menggunakan air tanah gambut yang dilakukan secara manual saat pagi dan sore hari. Pengendalian gul-ma dilakukan secara gul-manual dengan cara mencabut gulgul-ma-gulgul-ma yang tumbuh di polibag.

Pengamatan

Pengamatan dilakukan setelah dua minggu dari pengaplikasian perlakuan pupuk N awal dan dilakukan pengamatan terus setiap seminggu sekali selama 2.5 bulan. Adapun beberapa peubah yang diamati adalah:

1. Persentase bibit hidup, dibandingkan antara total bibit yang hidup dan total bibit yang ditanam.

2. Panjang daun pangkasan, diukur mulai dari pangkal pangkasan sampai ti-tik teratas daun yang terpangkas, baik keti-tika masih tunas maupun sudah menjadi daun.

3. Panjang daun ke-1, diukur mulai dari titik tumbuh bibit baik ketika masih berupa tunas maupun setelah berubah menjadi daun mekar sempurna. 4. Panjang anak daun pangkasan, diukur pada anak daun yang terpanjang dari

daun pangkasan yang sudah mekar.

5. Lebar anak daun pangkasan, diukur pada anak daun yang paling lebar dari daun pangkasan yang sudah mekar.

6. Persentase pemekaran daun pangkasan, dihitung antara total daun pang-kasan yang sudah mekar dengan total bibit yang diamati.

7. Panjang dan lebar anak daun ke-1, diukur pada anak daun yang tengah dari daun ke-1 yang telah membuka.

(27)

8. Jumlah anak daun ke-1, dihitung dari total anak daun pada daun ke-1 yang telah membuka sempurna.

9. Persentase pemekaran daun ke-1, dihitung dari total daun ke-1 yang sudah mekar sempurna.

10. Jumlah daun, dihitung dari total jumlah daun pada bibit di akhir pengama-tan (10 MSP), yaitu daun pangkasan dan daun baru yang muncul setelah daun pangkasan.

11. Bobot kering tajuk dan akar. Bibit dicabut kemudian dipisahkan antara akar dan tajuk, kemudian masing-masing ditimbang bobot segarnya. Sete-lah itu dikeringkan dengan suhu 80 °C selama 48 jam, dan ditimbang seba-gai bobot kering.

(28)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum

Persemaian bibit sagu sampai saat ini masih banyak terdapat kendala-ken-dala khususnya kendala-ken-dalam mempertahankan tingkat hidup bibit selama di persemaian dan ketika pindah ke lapang. PT. National Sago Prima melakukan persemaian sa-gu di media rakit atau sistem kanal. Cara persemaian tersebut sangat baik karena persentase hidup bibit dapat mencapai 80 %, tetapi ketika dipindah ke lapang per-sentase hidupnya kecil. Hal tersebut karena bibit kurang beradaptasi di lapang karena selama di persemaian di kanal air selalu tersedia. Oleh karena itu perlu diu-ji metode persemaian bibit sagu yang diharapkan mampu meningkatkan persenta-se hidup bibit. Salah satu metodenya adalah perpersenta-semaian dengan menggunakan sis-tem polibag.

Gambar 5. Kondisi Bibit Saat Setelah Tanam (a) dan Saat 10 MSP (b).

Secara umum kondisi bibit saat setelah tanam dan di akhir pengamatan (10 MSP) dapat dilihat di Gambar 5. Persentase hidup bibit yang paling rendah yaitu sebesar 45 % dan paling banyak masih mencapai 77.50 %. Faktor lingkungan se-perti suhu dan kelembaban dalam paranet mempengaruhi tingkat kematian bibit. Suhu siang yang tinggi yaitu mencapai 32.31-34.67 °C dan kelembabannya 75.38-58.33 % (Tabel 1) banyak mengakibatkan persentase hidup menurun.

Selama percobaan hama dan penyakit juga ditemukan pada bibit. Pada bi-bit yang sudah mati, ketika banirnya dibelah ditemukan adanya serangan ulat sagu (Rynchophorus ferrugineus) yang melobangi banir serta merusak titik tumbuh

bi-b a

(29)

bit sehingga menjadi mati (Gambar 6). Flach (1997) menyatakan Rynchoporus spp. sangat berbahaya bagi tanaman sagu, hama tersebut masuk ke dalam tanaman muda dan merusak jaringan tanaman. Serangan ulat sagu tersebut pada bibit sela-ma percobaan sebesar 20 %. Selain itu banyaknya serangan cendawan pada petiol dan daun bibit terutama saat musim hujan. Serangan cendawan tersebut ditandai dengan adanya benang-benang putih dan serbuk yang menempel pada bibit, ke-mudian akan menyebabkan bibit menjadi kering dan mati. Pencegahan cendawan tersebut menggunakan fungisida Dithane M-45 dengan konsentrasi 1 % dengan cara mengoleskan langsung ke bagian bibit.

Tabel 1. Rata-Rata Suhu dan Kelembaban dalam Paranet Bulan April-Juni 2012

Bulan Suhu (°C) RH (%)

Pagi Siang Pagi Siang

April 26.38 32.31 88.15 75.38

Mei 25.52 33.55 88.45 59.19

Juni 25.78 34.67 78.00 58.33

Gambar 6. Hama Ulat Sagu (Rynchophorus ferrugineus) (a), Gejala Serangan Ulat Sagu Pada Banir (b) dan Serangan Cendawan Pada Bibit (c).

Daun pangkasan pada bibit menunjukkan baru mekar mulai minggu ke-4 MSP. Pertumbuhan bibit tidak seragam, sehingga masih ada bibit yang daun pangkasannya belum mekar. Pada 4 MSP daun ke-1 juga sudah muncul pada be-berapa bibit, sedangkan kebanyakan bibit belum muncul. Daun ke-1 mengalami pemekaran mulai dari 7 MSP ditandai anak daun sudah membuka sempurna dan dihitung panjang, lebar dan jumlah anak daunnya. Secara keseluruhan, perlakuan

(30)

18

N dengan dosis rendah memperlihatkan kondisi yang lebih bagus dari perlakuan N dosis yang lebih tinggi. Hal ini diduga bibit yang diberikan pupuk N dengan do-sis lebih tinggi mengalami keracunan N dan pertumbuhan bibit menjadi terham-bat.

Hasil

Pada Tabel 2 terlihat pengaruh pupuk N terhadap semua peubah - peubah yang diamati. Pupuk N berpengaruh nyata terhadap Persentase hidup bibit baru pada minggu ke-7 setelah perlakuan. Pupuk N tidak berpengaruh nyata terhadap panjang daun pangkasan, lebar anak daun pangkasan dan persentase pemekaran daun pangkasan, panjang anak daun ke-1, jumlah anak daun ke-1, bobot segar ta-juk dan akar serta bobot kering tata-juk dan akar.

Tabel 2. Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Peubah - Peubah yang Diamati pada Perlakuan Berbagai Dosis N

No. Peubah Umur

(MSP)

Pengaruh Perlakuan

1 Persentase Hidup Bibit 2 – 6

7 – 9 10

tn * **

2 Panjang Daun Pangkasan 2 - 8 tn

3 Panjang Anak Daun Pangkasan 4 – 8

9 - 10

tn *

4 Lebar Anak Daun Pangkasan 4 – 10 tn

5 Persentase Pemekaran Daun Pangkasan 4 – 10 tn

6 Panjang Daun ke-1 4 – 9

10

tn *

7 Panjang Anak Daun ke-1 7 – 10 tn

8 Lebar Anak Daun ke-1 7 – 8

9 - 10

tn *

9 Jumlah Anak Daun ke-1 7 - 10 tn

10 Persentase Pemekaran Daun ke-1 7 – 8 9 - 10

tn *

11 Jumlah Daun 10 *

12 Bobot Segar Tajuk 10 tn

13 Bobot Segar Akar 10 tn

14 Bobot Kering Akar 10 tn

15 Bobot Kering Tajuk 10 tn

Keterangan : *= berbeda nyata pada taraf 5%, ** = berbeda sangat nyata pada taraf 5%, tn= tidak berbeda nyata, MSP= Minggu Setelah Perlakuan

(31)

Persentase Hidup Bibit

Persentase hidup bibit merupakan salah satu peubah yang digunakan untuk melihat kemampuan tumbuh bibit selama di persemaian. Dari Tabel 3 dapat dili-hat pengaruh perlakuan pupuk N terhadap persentase hidup bibit dari 2 sampai 10 MSP (minggu setelah perlakuan). Hasil menunjukkan bahwa tidak adanya penga-ruh pupuk N terhadap persentase hidup bibit pada 2 sampai 6 MSP diantara semua perlakuan. Pengaruh pupuk N berpengaruh nyata saat 7, 8 dan 9 MSP, dan ber-pengaruh sangat nyata pada mingu ke 10.

Tabel 3. Pengaruh Pupuk N Terhadap Persentase Hidup Bibit. N

(g/polibag)

MSP Ke-

2 3 4 5 6 7 8 9 10

...%... 0 97.50 93.50 92.50 87.50 82.00 78.00ab 74.50ab 70.00ab 68.50ab 3 98.50 93.50 93.00 89.50 85.00 85.00a 82.50a 79.00a 77.50a 6 97.50 89.50 88.50 86.00 82.00 76.00ab 74.00ab 71.00ab 67.50ab 9 98.50 92.00 89.50 84.50 77.00 71.50abc 68.00abc 62.5abc 58.50bc 12 99.00 91.50 90.00 85.00 77.00 65.50bc 62.50bc 56.00bc 52.50bc 15 98.50 87.50 84.50 78.50 69.00 57.50bc 53.00c 48.50c 45.00c KK (%) 2.77 5.23 5.11 7.84 10.97 14.04 15.04 16.14 17.47 Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan

tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5 %.

Persentase hidup terus mengalami penurunan hingga 10 MSP (Gambar 7). Perlakuan yang terbaik adalah perlakuan dosis 3 g N /polibag dengan persentase hidup masih mencapai 77.50 % saat 10 MSP. Perlakuan 3 g N memiliki rata-rata persentase hidup yang paling tinggi diantara semua perlakuan dari 2-10 MSP, walaupun dari 2-6 MSP tidak berbeda secara nyata dari perlakuan lainnya. Perlakuan 3 g N menunjukkan tidak berbeda secara nyata dengan perlakuan kontrol dan perlakuan 6 g N. Penurunan persentase hidup perlakuan 3 g N setiap minggunya hampir sama, yaitu rata-rata 2.8 %. Perlakuan dosis N tinggi (15 g N) menunjukkan rata-rata penurunan persentase hidup sebesar 5.55 % setiap ming-gunya dan penurunan paling besar yaitu pada minggu ke 7 MSP (11.5 %). Sampai 6 MSP pengaruh pupuk N tidak nyata, hal ini karena akar pada bibit belum

(32)

terben-20

tuk dan energi untuk pertumbuhan berasal dari cadangan makanan dalam banir. Saat 7-10 MSP perlakuan 3 g N merupakan yang terbaik, karena dosis N yang le-bih tinggi menyebabkan kematian bibit yang lele-bih banyak. Untuk percobaan se-lanjutnya, pemupukan N di persemaian polibag sebaiknya diberikan setelah tujuh minggu dari saat penanaman.

Gambar 7. Pengaruh Pupuk N Terhadap Persentase Hidup Bibit

Berdasarkan Gambar 8 pupuk N memberikan respon yang linear terhadap persentase hidup bibit dari 7 sampai 10 MSP. Terjadi penurunan persentase hidup bibit dengan semakin tingginya dosis N yang diberikan. Bibit dipindah ke lapang apabila telah memiliki tiga daun. Setiap bulannya bibit sagu akan membentuk satu daun baru, sehingga dibutuhkan waktu tiga bulan sampai bibit dipindah tanam ke lapang. Untuk perlakuan 3 g N, pada saat tiga bulan (12 MSP) persentase hidup masih mencapai 73.23 % (rata-rata penurunan persentase hidup setiap minggu 2.8 %), sedangkan pada perlakuan 15 g N persentase hidup hanya tinggal 40.16 % (rata-rata penurunan persentase hidup setiap minggunya 5.55 %).

Gambar 8. Respon Persentase Hidup Bibit Terhadap Pupuk N Saat 7-10 MSP

0 20 40 60 80 100 120 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Pers en ta se H id u p (% ) MSP Ke- 0 g N 3 g N 6 g N 9 g N 12 g N 15 g N 7 MSP(y = -1,5048x + 83,119) R² = 0,8597 8 MSP(y = -1,6524x + 81,476) R² = 0,8012 9 MSP(y = -1,7619x + 77,714) R² = 0,795 10 MSP(y = -1,9248x + 76,052) R² = 0,8223 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 0 3 6 9 12 15 Pers en ta se H id u p Bibit (% ) g N/polibag 7 MSP 8 MSP 9 MSP 10 MSP

(33)

Panjang Daun Pangkasan

Salah satu peubah pertumbuhan vegetatif bibit sagu adalah panjang daun. Daun sangat berperan dalam menghasilkan energi untuk pertumbuhan melalui proses fotosintesis. Panjang daun pangkasan adalah panjang daun yang mengala-mi pemangkasan saat penanaman awal. Berdasarkan hasil rata-rata panjang daun pangkasan dari 2-8 MSP, menunjukkan tidak adanya pengaruh yang nyata dari aplikasi pupuk N (Tabel 4). Walaupun tidak berbeda nyata secara statistik, perla-kuan 3 g N/polibag memberikan nilai rata-rata panjang daun pangkasan yang ting-gi di setiap pengamatan (7.59-16.00 cm). Secara umum laju pertambahan panjang daun pangkasan hampir sama diantara semua perlakuan dari 2-8 MSP (Gambar 9).

Tabel 4. Pengaruh Pupuk N Terhadap Panjang Daun Pangkasan

N (g/polibag) MSP Ke- 2 3 4 5 6 7 8 ...cm... 0 6.13 7.79 9.20 10.79 11.26 12.61 13.90 3 7.59 9.70 11.09 12.28 13.51 14.78 16.00 6 6.00 7.75 9.53 10.74 11.83 12.89 14.05 9 7.07 8.49 9.98 10.95 12.42 11.82 12.47 12 7.29 8.60 9.22 9.60 10.65 11.79 12.51 15 5.66 7.18 9.37 10.27 10.61 11.56 12.54 KK (%) 30.61 27.29 28.12 23.59 24.40 22.60 23.24 Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan

tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%. tn: tidak berbeda nyata

Gambar 9. Pengaruh Pupuk N Terhadap Panjang Daun Pangkasan

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 2 3 4 5 6 7 8 Pan jan g D au n Pan gkasan ( cm ) MSP Ke- 0 g N 3 g N 6 g N 9 g N 12 g N 15 g N

(34)

22

Panjang Anak Daun Pangkasan

Panjang anak daun pangkasan diukur dari anak daun yang paling panjang pada daun pangkasan. Perlakuan pupuk N tidak berpengaruh nyata terhadap pan-jang anak daun pangkasan pada 4 sampai 8 MSP, tetapi pada 9 dan 10 MSP ter-lihat pengaruh yang nyata pada panjang anak daun pangkasan (Tabel 5).

Tabel 5. Pengaruh Pupuk N Terhadap Panjang Anak Daun Pangkasan N (g/polibag) MSP Ke- 4 5 6 7 8 9 10 ...cm... 0 0.29 0.32 0.86 1.51 1.56 1.65b 1.85b 3 0.48 0.84 1.43 2.57 3.05 5.84a 6.23a 6 0.39 0.56 0.65 1.07 1.21 1.61b 2.48b 9 0.45 0.71 0.85 0.99 1.41 1.74b 2.21b 12 0.35 0.36 0.49 0.55 0.64 1.50b 1.58b 15 0.39 0.42 0.51 0.71 1.24 2.31b 2.37b

Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5 %.

Gambar 10. Pengaruh Pupuk N terhadap Panjang Anak Daun Pangkasan

Perlakuan dosis 3 g N memberikan rata-rata panjang anak daun pangkasan yang paling tinggi dibandingkan semua perlakuan lainnya (Gambar 10). Secara umum perlakuan dosis 12 g N memberikan nilai yang paling rendah diantara se-mua perlakuan. Pada saat 4 dan 5 MSP perlakuan tanpa aplikasi N memberikan rata-rata panjang anak daun pangkasan lebih rendah dari perlakuan 12 g N, tetapi saat 6 MSP perlakuan tanpa N meningkat lebih tinggi dari pada perlakuan 12 g N (Tabel 6). Pada 4 sampai 6 MSP rata-rata penambahan panjang anak daun

pang-0 1 2 3 4 5 6 7 4 5 6 7 8 9 10 Pan jan g A n ak D au n Pan gkasan (c m ) MSP Ke- 0 g N 3 g N 6 g N 9 g N 12 g N 15 g N

(35)

kasan hampir sama di setiap perlakuan, tetapi pada 5-10 MSP perlakuan 3 g N menunjukkan pertambahan yang lebih tinggi di setiap minggunya dibandingkan dengan semua perlakuan lain, yaitu sebesar 1.11 cm. Panjang anak daun pangkas-an mulai nyata saat 9 MSP, hal ini karena bibit sudah berakar dpangkas-an menyerap unsur hara untuk pertumbuhannya.

Tabel 6. Data Hasil Pengaruh Pupuk N Terhadap Panjang Anak Daun Pangkasan Setelah Transformasi N (g/polibag) MSP Ke- 4 5 6 7 8 9 10 ...cm... 0 0.87 0.88 1.11 1.35 1.37 1.44b 1.50b 3 0.97 1.14 1.38 1.69 1.84 2.49a 2.57a 6 0.91 0.99 1.02 1.20 1.25 1.36b 1.62b 9 0.94 1.08 1.13 1.20 1.36 1.46b 1.60b 12 0.90 0.91 0.96 0.99 1.02 1.34b 1.50b 15 0.93 0.94 0.98 1.07 1.25 1.54b 1.55b KK(%) 26.17 24.76 26.23 31.37 31.22 30.73 30.60 Keterangan: data merupakan hasil dari transformasi √y+0.5.

angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5 %.

Gambar 11. Respon Panjang Anak Daun Pangkasan Terhadap Pupuk N pada 9 dan 10 MSP

Berdasarkan uji kontras orthogonal polinomial, pemberian pupuk N mem-berikan respon yang linear saat 9 dan 10 MSP pada panjang anak daun pangkasan (Gambar 11). Panjang anak daun pangkasan menurun secara linear dengan sema-kin tingginya dosis N. Nilai R2 (koefisien determinasi) sangat kecil (0.13 dan

9 MSP(y = -0,0913x + 3,1267) R² = 0,0921 10 MSP(y = -0,1107x + 3,6167) R² = 0,1304 0 1 2 3 4 5 6 7 0 3 6 9 12 15 Pan jan g A n ak D au n Pan gkasan (c m ) g N/Polibag 9 MSP 10 MSP

(36)

24

0.09), hal ini berarti persamaan dari pupuk N (peubah bebas) kurang mampu men-jelaskan dengan kuat peubah panjang anak daun pangkasan (peubah terikat).

Lebar Anak Daun Pangkasan

Perlakuan pupuk N tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap lebar anak daun pangkasan dari 4-10 MSP (Tabel 7). Hal tersebut karena daun pangkas-an merupakpangkas-an daun ypangkas-ang pertama kali tumbuh dpangkas-an pertumbuhpangkas-annya berasal dari cadangan makanan dalam banir. Perlakuan yang memberikan nilai lebar anak da-un pangkasan dari paling tinggi sampai yang rendah secara berturut-turut adalah perlakuan 3 g N (0.78-1.03 cm), 6 g N (0.76-0.89 cm), 9 g N (0.77-0.90 cm), 15 g N (0.77-0.89 cm), 0 g N (0.74-0.87 cm) dan 12 g N (0.76-0.84 cm) (Tabel 8). Walaupun tidak berbeda nyata, perlakuan 3 g N memberikan nilai lebar anak daun pangkasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lain (Gambar 12).

Tabel 7. Pengaruh Pupuk N Terhadap Lebar Anak Daun Pangkasan

N (g/polibag) MSP Ke- 4 5 6 7 8 9 10 ...cm... 0 0.05 0.06 0.14 0.20 0.21 0.22 0.27 3 0.12 0.21 0.29 0.40 0.45 0.47 0.59 6 0.09 0.10 0.13 0.19 0.19 0.25 0.32 9 0.10 0.17 0.20 0.26 0.28 0.30 0.32 12 0.09 0.09 0.12 0.14 0.16 0.21 0.23 15 0.10 0.11 0.14 0.18 0.27 0.28 0.31

Gambar 12. Pengaruh Pupuk N Terhadap Lebar Anak Daun Pangkasan

0,0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 4 5 6 7 8 9 10 Lear An ak D au n Pan gkasan (c m ) MSP Ke- 0 g N 3 g N 6 g N 9 g N 12 g N 15 g N

(37)

Tabel 8. Data Hasil Pengaruh Pupuk N Terhadap Lebar Anak Daun Pangkasan Setelah Transformasi N (g/polibag) MSP Ke- 4 5 6 7 8 9 10 ...cm... 0 0.74 0.75 0.79 0.83 0.84 0.85 0.87 3 0.78 0.84 0.88 0.94 0.96 0.97 1.03 6 0.76 0.77 0.79 0.82 0.83 0.85 0.89 9 0.77 0.81 0.83 0.86 0.87 0.88 0.90 12 0.76 0.77 0.78 0.79 0.80 0.83 0.84 15 0.77 0.78 0.79 0.82 0.83 0.87 0.89 KK(%) 8.66 8.76 10.38 13.19 13.89 14.96 15.51 Keterangan: data merupakan hasil dari transformasi √y+0.5.

Persentase Pemekaran Daun Pangkasan

Suatu daun optimal dalam melakukan proses fotosintesis apabila daun sudah mekar sempurna. Dari hasil Tabel 9, terlihat bahwa pupuk N tidak mem-berikan pengaruh yang nyata terhadap persentase pemekaran daun pangkasan dari 4-10 MSP. Perlakuan 3 g N memberikan rata-rata persentase pemekaran daun pangkasan yang tinggi saat 4-10 MSP dari semua perlakuan lain (9.37-28.12 %) (Gambar 13). Perlakuan yang memberikan nilai panjang daun pangkasan paling rendah adalah perlakuan 12 g N (5.21-11.46 %). Walaupun tidak berbeda nyata, perlakuan 3 g N memberikan nilai yang paling tinggi untuk persentase pemekaran daun pangkasan (Tabel 10). Penambahan persentase pemekaran daun pangkasan setiap minggunya kecil, bahkan banyak yang tidak bertambah, kecuali untuk per-lakuan 3 g N (terus bertambah setiap minggu).

Tabel 9. Pengaruh Pupuk N Terhadap Persentase Pemekaran Daun Pangkasan N (g/ polibag) MSP Ke- 4 5 6 7 8 9 10 ...%... 0 4.17 4.17 7.29 9.37 9.37 9.37 11.46 3 9.37 13.54 16.67 19.79 22.91 26.04 28.12 6 5.21 6.25 7.29 8.33 9.37 13.54 15.62 9 6.25 9.37 10.41 10.41 12.50 13.54 14.58 12 5.21 5.21 6.25 6.25 6.25 11.46 11.46 15 6.25 6.69 8.33 8.33 9.37 11.46 11.46

(38)

26

Tabel 10. Data Hasil Pengaruh Pupuk N Terhadap Persentase Pemekaran Daun Pangkasan Setelah Transformasi

N (g/polibag) MSP Ke- 4 5 6 7 8 9 10 ...%... 0 2.55 2.55 3.10 3.46 3.46 3.51 3.77 3 3.31 3.95 4.37 4.63 4.94 5.25 5.47 6 2.69 2.81 2.95 3.19 3.31 3.81 4.00 9 2.81 3.43 3.54 3.54 3.74 3.91 4.03 12 2.78 2.78 2.93 2.93 2.93 3.58 3.58 15 2.93 2.98 3.16 3.16 3.30 3.54 3.54 KK (%) 40.96 34.65 35.26 33.71 35.89 36.21 36.54 Keterangan: data merupakan hasil dari transformasi √y+4.0

Gambar 13. Pengaruh Pupuk N Terhadap Persentase Pemekaran Daun Pangkasan

Panjang Daun ke-1

Daun ke-1 merupakan daun yang pertama keluar setelah daun pangkasan. Panjang daun diukur dari pangkal banir sampai titik tertinggi dari daun. Perlakuan pupuk N tidak berpengaruh nyata terhadap panjang daun ke-1 saat 4-9 MSP dan baru berpengaruh nyata saat 10 MSP (Tabel 11). Saat 10 MSP, perlakuan 3 g N memberikan nilai panjang daun ke-1 yang paling tinggi (17.74 cm), tetapi tidak berbeda secara nyata dengan perlakuan lainnya (kecuali perlakuan 15 g N). Saat 4 MSP, perlakuan 3 g N memberikan nilai rata-rata panjang daun ke-1 yang paling rendah diantara semua perlakuan. Rata-rata pertambahan panjang daun ke-1

ham-0 5 10 15 20 25 30 4 5 6 7 8 9 10 Per sen tase Pe m e kar an D au n Pan gkak asan (% ) MSP Ke- 0 g N 3 g N 6 g N 9 g N 12 g N 15 g N

(39)

pir sama pada semua perlakuan di setiap minggunya (Gambar 14). Penambahan panjang yang paling besar yaitu perlakuan 3 g N saat 9 MSP yaitu sebesar 3.70 cm.

Gambar 14. Pengaruh Pupuk N Terhadap Panjang Daun ke1

Tabel 11. Pengaruh Pupuk N Terhadap Panjang Daun ke-1 N (g/polibag) MSP Ke- 4 5 6 7 8 9 10 ...cm... 0 3.79 4.25 6.04 6.59 9.20 12.45 14.48a 3 3.25 4.59 5.61 7.64 10.56 14.26 17.74a 6 3.94 4.47 5.70 7.06 9.21 12.22 14.60a 9 3.62 4.76 6.00 7.33 10.04 11.87 13.15ab 12 4.40 5.46 5.78 7.63 10.14 12.16 14.34a 15 3.31 3.68 4.60 6.12 7.32 8.73 8.67b KK(%) 59.58 59.29 50.84 45.88 32.49 26.66 23.72 Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan

tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5 %.

Gambar 15. Respon Panjang Daun ke-1 Terhadap Pupuk N Saat 10 MSP

0 5 10 15 20 4 5 6 7 8 9 10 Pan jan g D au n Ke -1 (c m ) MSP Ke- 0 g N 3 g N 6 g N 9 g N 12 g N 15 g N y = -0,3876x + 16,737 R² = 0,5421 0 5 10 15 20 25 0 3 6 9 12 15 18 Pan jan g D au n 1 (c m ) g N/polibag

(40)

28

Pupuk N memberikan pengaruh yang nyata pada tingkat linear terhadap panjang daun ke-1 saat 10 MSP (Gambar 15). Panjang daun ke-1 terus menurun sampai dengan dosis N tertinggi dengan persamaan y = 16.737-0.387x dan R2 0.542.

Panjang Anak Daun ke-1

Daun ke-1 mulai mengalami pemekaran pada saat 7 MSP. Panjang anak daun diukur pada anak daun yang tengah dari daun ke-1. Dari Tabel 12 dan Tabel 13 dilihat bahwa pemberian pupuk N dengan berbagai dosis tidak berpengaruh nyata terhadap panjang anak daun ke-1 selama 7, 8, 9, dan 10 MSP. Walaupun ti-dak berbeda nyata, perlakuan 3 g N memberikan nilai rata-rata panjang anak daun ke-1 lebih tinggi diantara semua perlakuan lainnya (1.27-2.47cm) dan yang paling rendah adalah perlakuan 15 g N (1.32-1.61) (Gambar 16).

Tabel 12. Pengaruh Pupuk N Terhadap Panjang Anak Daun ke-1

N (g/polibag) MSP Ke- 7 8 9 10 ...cm... 0 0.42 0.97 2.90 3.23 3 0.14 1.19 2.89 4.63 6 0.26 0.66 1.25 1.51 9 0.51 1.23 1.40 2.12 12 0.39 0.45 1.13 2.02 15 0.28 0.30 1.19 1.41

Tabel 13. Data Hasil Pengaruh Pupuk N Terhadap Panjang Anak Daun ke-1 Sete-lah Transformasi N (g/polibag) MSP Ke- 7 8 9 10 ...cm... 0 1.37 1.55 2.04 2.13 3 1.27 1.63 2.08 2.47 6 1.31 1.42 1.55 1.63 9 1.38 1.63 1.67 1.85 12 1.35 1.36 1.58 1.76 15 1.32 1.32 1.54 1.61 KK(%) 17.81 19.93 29.49 30.43

Keterangan: data merupakan hasil dari transformasi √y+1.5.

(41)

Gambar 16. Pengaruh Pupuk N Terhadap Panjang Anak Daun ke-1

Lebar Anak Daun ke-1

Pemberian pupuk N dengan berbagai dosis tidak berpengaruh nyata pada 7 dan 8 MSP terhadap lebar anak daun ke-1 (Tabel 14). Pemberian pupuk N ber-pengaruh nyata terhadap lebar anak daun ke-1 pada 9 dan 10 MSP. Pada 9 MSP, dosis pupuk 0 g N, 3 g N, dan 9 g N tidak berbeda nyata (Tabel 15). Pada pembe-rian pupuk dengan dosis terbanyak yaitu 15 g N tidak memberikan hasil yang ber-beda nyata dengan pemberian pupuk N pada dosis 6, 9, dan 12 g N (Gambar 17). Pada saat 9 MSP lebar anak daun ke-1 berkisar dari 0.04-0.35 helai dan pada 10 MSP berkisar dari 0.07 sampai 0.54 helai.

Tabel 14. Pengaruh Pupuk N Terhadap Lebar Anak Daun ke-1

N (g/polibag) MSP Ke- 7 8 9 10 ...cm... 0 0.03 0.08 0.31ab 0.39ab 3 0.03 0.10 0.35a 0.54a 6 0.01 0.04 0.11bc 0.16b 9 0.04 0.10 0.14abc 0.18b 12 0.01 0.02 0.11bc 0.20b 15 0.02 0.02 0.04c 0.07b

Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5 %.

0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 2,5 3,0 3,5 4,0 4,5 5,0 7 8 9 10 Pan jn ag A n ak D au n Ke -1 (c m ) MSP Ke- 0 g N 3 g N 6 g N 9 g N 12 g N 15 g N

(42)

30

Tabel 15. Data Hasil Pengaruh Pupuk N Terhadap Lebar Anak Daun ke-1 Setelah Transformasi N (g/polibag) MSP Ke- 7 8 9 10 ...cm... 0 0.72 0.76 0.89ab 0.94ab 3 0.73 0.77 0.92a 1.01a 6 0.71 0.73 0.77bc 0.796bc 9 0.73 0.77 0.79abc 0.82bc 12 0.71 0.72 0.77bc 0.82bc 15 0.72 0.73 0.74c 0.75c KK(%) 4.30 5.90 10.14 12.70

Keterangan: data merupakan hasil dari transformasi √y+0.5.

angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5 %.

Gambar 17. Pengaruh Pupuk N Terhadap Lebar Anak Daun ke-1

Gambar 18. Respon Lebar Anak daun ke-1 Terhadap Pupuk N Saat 9 dan 10 MSP

0,0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 7 8 9 10 Leb ar A n ak D au n Ke -1 (c m ) MSP Ke- 0 g N 3 g N 6 g N 9 g N 12 g N 15 g N 9 MSP(y = -0,0194x + 0,3224) R² = 0,7748 10 MSP(y = -0,0248x + 0,4424) R² = 0,6381 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0 3 6 9 12 15 Leb ar A n ak D au n 1 (c m ) g N/polibag 9 MSP 10 MSP

(43)

Pada 10 MSP, perlakuan paling baik adalah dosis 3 g N , tetapi tidak ber-beda nyata dengan perlakuan 0 g N. Pemberian pupuk dengan dosis 6, 9, 12, dan 15 juga tidak berbeda nyata dengan tanaman yang tidak dipupuk (perlakuan 0 g N) terhadap lebar anak daun ke-1. Gambar 18 menunjukkan bahwa pupuk N memberikan respon yang linear terhadap lebar anak daun ke-1 saat 9 dan 10 MSP.

Jumlah Anak Daun ke-1

Pada Tabel 16 dan Tabel 17 terlihat pemberian pupuk N tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah anak daun ke-1. Pada saat 7 dan 8 MSP perlakuan 9 g N memberikan nilai jumlah anak daun ke-1 paling banyak sedangkan pada 9 dan 10 MSP perlakuan 3 g N yang paling tinggi (Gambar 19). Jumlah anak daun ke-1 pa-da 10 MSP berkisar pa-dari 0.67-4.32 helai.

Tabel 16. Pengaruh Pupuk N Terhadap Jumlah Anak Daun ke-1

N (g/polibag) MSP Ke- 7 8 9 10 ...helai... 0 0.14 0.50 2.27 3.20 3 0.06 0.52 2.54 4.32 6 0.07 0.28 1.04 1.14 9 0.27 0.67 1.26 1.36 12 0.06 0.05 1.18 1.92 15 0.08 0.10 0.31 0.67

Gambar 19. Pengaruh Pupuk N Terhadap Jumlah Anak Daun ke-1

0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 2,5 3,0 3,5 4,0 4,5 5,0 7 8 9 10 Ju m lah An ak D au n Ke -1 (h e lai ) MSP Ke- 0 g N 3 g N 6 g N 9 g N 12 g N 15 g N

(44)

32

Tabel 17. Data Hasil Pengaruh Pupuk N Terhadap Jumlah Anak Daun ke-1 Sete-lah Transformasi N (g/polibag) MSP Ke- 7 8 9 10 ...helai... 0 1.27 1.41 1.92 2.13 3 1.24 1.42 2.00 2.41 6 1.25 1.31 1.51 1.55 9 1.31 1.45 1.64 1.66 12 1.24 1.24 1.61 1.78 15 1.25 1.25 1.33 1.45 KK(%) 7.90 11.83 21.11 24.55

Keterangan: data merupakan hasil dari transformasi √y+1.5.

Persentase Pemekaran Daun ke-1

Daun ke-1 sudah mekar sempurna ditandai dengan sudah membukanya a-nak daun. Pada Tabel 18 terlihat bahwa pada 7 dan 8 MSP, pemberian pupuk N ti-dak berpengaruh nyata terhadap persentase pemekaran daun ke-1. Pada 9 dan 10 MSP pemberian pupuk N berpengaruh nyata terhadap persentase pemekaran daun ke-1. Perlakuan yang paling baik adalah perlakuan 3 g N (6.35 %), tetapi tidak berbeda secara nyata dengan perlakuan tanpa N (Tabel 19). Perlakuan dengan N dosis tinggi (15 g) memberikan nilai persentase pemekaran daun ke-1 yang paling sedikit (2.85 %) (Gambar 20).

Tabel 18. Pengaruh Pupuk N Terhadap Persentase Pemekaran Daun ke-1

N (g/polibag) MSP Ke- 7 8 9 10 ...cm... 0 3.33 6.66 25.00ab 28.33ab 3 1.67 10.00 26.66a 36.66a 6 1.67 3.33 8.33abc 10.00bc 9 5.00 10.00 10.00abc 13.33bc 12 1.67 1.67 6.66bc 10.00bc 15 1.67 1.67 3.33c 5.00c

Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5 %.

(45)

Gambar 20. Pengaruh Pupuk N Terhadap Persentase Pemekaran Daun ke-1

Tabel 19. Data Hasil Pengaruh Pupuk N Terhadap Persentase Pemekaran Daun ke-1 Setelah Transformasi

N (g/polibag) MSP Ke- 7 8 9 10 ...%... 0 2.63 3.17 5.25ab 5.52ab 3 2.31 3.71 5.48a 6.35a 6 2.31 2.54 3.02bc 3.34bc 9 2.72 3.58 3.58abc 3.96bc 12 2.31 2.31 3.17bc 3.51bc 15 2.31 2.31 2.54c 2.85c KK(%) 36.64 31.05 36.42 33.94

Keterangan: data merupakan hasil dari transformasi √y+4.0.

angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5 %.

Gambar 21. Respon Persentase Pemekaran Daun ke-1 Terhadap Pupuk N Saat 9 dan 10 MSP 0 1 2 3 4 5 6 7 7 8 9 10 Per sen tase Pe m e kar an D au n ke -1 (% ) MSP Ke- 0 g N 3 g N 6 g N 9 g N 12 g N 15 g N 9 MSP(y = -1,5874x + 25,236) R² = 0,8027 10 MSP(y = -1,841x + 31,027) R² = 0,6932 0 5 10 15 20 25 30 35 40 0 3 6 9 12 15 Per sen tase Pe m e kar an D au n 1 ( % ) g N/polibag 9 MSP 10 MSP

(46)

34

Pupuk N memberikan respon yang linear terhadap persentase pemekaran daun ke-1 saat 9 dan 10 MSP (Gambar 21). Saat 10 MSP, terjadi penurunan persentase pemekaran daun ke-1 secara linear sampai dengan dosis 15 g N dengan persamaan y = 31.027 – 1.841x.

Jumlah Daun

Pada saat 10 MSP, terlihat bahwa pupuk N memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah daun pada bibit (Tabel 20). Perlakuan yang memberikan ra-ta-rata jumlah daun paling banyak adalah perlakuan 3 g N, tetapi tidak berbeda se-cara nyata dengan kontrol (0 g N). Perlakuan yang jumlah daunnya paling sedikit adalah perlakuan dengan dosis N paling tinggi (1.28 helai) (Gambar 22).

Tabel 20. Pengaruh Pupuk N Terhadap Jumlah Daun Saat 10 MSP

N (g/polibag) Jumlah Daun (helai)

0 1.44a 3 1.48a 6 1.45a 9 1.30bc 12 1.42ab 15 1.28c KK(%) 5.76

Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5 %.

Gambar 22. Pengaruh Pupuk N Terhadap Jumlah Daun Saat 10 MSP

Gambar 23 menunjukkan bahwa pupuk N memberikan respon yang linear terhadap jumlah daun. Perlakuan yang memberikan jumlah daun paling banyak adalah perlakuan 3 g N dan terus mengalami penurunan jumlah daun sampai per-lakuan 15 g N dengan persamaan y = 1.475 – 0.0108x dan R2 = 0.519.

1,10 1,20 1,30 1,40 1,50 0 g N 3 g N 6 g N 9 g N 12 g N 15 g N Ju m lah Dau n ( h e lai )

Gambar

Gambar 1. Lokasi Persemaian Dengan Naungan 75 %  Metode  Penelitian
Gambar 4. Aplikasi Pupuk Pada Bibit
Tabel 1. Rata-Rata Suhu dan Kelembaban dalam Paranet Bulan April-Juni 2012
Tabel  2.  Rekapitulasi  Hasil  Sidik  Ragam  Peubah  -  Peubah  yang  Diamati  pada  Perlakuan Berbagai Dosis N
+7

Referensi

Dokumen terkait

Patogenesis penyakit malaria yang pertama adala masa tunas intrinsik yaitu waktu antara sporozoit masuk dalam badan hospes sampai timbulnya gejala demam, biasanya

Begitu pula yang telah diatur dalam Pasal 2 UU TPPU, bahwa tindak pidana pencucian uang merupakan hasil dari tindak pidana asal, tidak hanya tindak pidana

Pendidikan Islam adalah usaha bimbingan jasmani dan rohani pada tingkat kehidupan individu dan sosial untuk mengembangkan fitrah manusia berdasarkan hukum-hukum

Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan UmumNomor 9 Tahun 2015 Tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil

Seperti halnya dengan penelitian Lestari (2016) yang menjelaskan bahwa jika Pendapatan perkapita meningkat maka perubahan dalam pola konsumsi pun akan meningkat

2. Dengan kata lain, sampel merupakan bagian dari populasi yang akan diteliti dan dianggap menggambarkan populasinya. Teknik sampeling yang digunakan dalam penelitian ini

Saat ini terdapat dua buah dermaga di kawasan Danau Buatan. Secara umum, dermaga berfungsi sebagai tempat berlabuh kendaraan air, tempat menaikkan dan menurunkan

Selain itu, pengaturan tentang pengadaan barang dan jasa dalam rangka mengisi kekosongan hukum dalam beberapa hal terkait dengan pengadaan barang dan jasa