• Tidak ada hasil yang ditemukan

POTENSI SUMBERDAYA LAMUN DAN MANGROVE SEBAGAI PENUNJANG EKOWISATA DI PULAU HARAPAN DAN PULAU PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "POTENSI SUMBERDAYA LAMUN DAN MANGROVE SEBAGAI PENUNJANG EKOWISATA DI PULAU HARAPAN DAN PULAU PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

POTENSI SUMBERDAYA LAMUN DAN MANGROVE

SEBAGAI PENUNJANG EKOWISATA

DI PULAU HARAPAN DAN PULAU PANGGANG,

KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU

HELMI WAHYUDI

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :

“POTENSI SUMBERDAYA LAMUN DAN MANGROVE

SEBAGAI PENUNJANG EKOWISATA DI PULAU HARAPAN

DAN PULAU PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF

EPULAUAN SERIBU ”

K

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir tulisan ini.

Bogor, 5 Maret 2008

Helmi Wahyudi

(3)

ABSTRAK

HELMI WAHYUDI (C24103074). Potensi Sumberdaya Lamun dan Mangrove Sebagai Penunjang Ekowisata di Pulau Harapan dan Pulau Panggang, Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu. Di bawah bimbingan FREDINAN YULIANDA dan ACHMAD FAHRUDIN.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi potensi sumberdaya lamun dan mangrove di Pulau Harapan dan Pulau Panggang untuk pengembangan ekowisata di kedua pulau tersebut. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kesesuaian lahan untuk mengetahui jenis wisata yang akan dikembangkan, analisis daya dukung untuk mengetahui jumlah maksimum pengunjung yang secara fisik dapat ditampung di kawasan yang disediakan pada waktu tertentu tanpa menimbulkan gangguan pada alam dan manusia serta analisis SWOT untuk menentukan prioritas strategi alternatif pengembangan yang paling tepat dilaksanakan dengan pertimbangan faktor internal dan eksternal. Secara keseluruhan ekosistem lamun di kedua pulau termasuk kedalam kategori S2 (sesuai) dengan Indeks Kesesuaian Wisata di Pulau Harapan adalah 74,04% dan di Pulau Panggang dari tiga stasiun masing-masing memiliki nilai Indeks Kesesuaian Wisata sebesar 71,15%, 67,31% dan 71,15%. Ekosistem mangrove di Pulau Harapan memiliki nilai Indeks Kesesuaian Wisata sebesar 55,26 % (kategori S3) yaitu sesuai bersyarat. Daya Dukung Kawasan untuk wisata lamun di Pulau Harapan adalah 6 pengunjung dan untuk di Pulau Panggang 135 pengunjung. Daya Dukung Pemanfaatan ekologis pengunjung di Pulau Panggang 13 orang dalam setiap 1 hari dan di Pulau Harapan Daya Dukung Pemanfaatan ekologis belum terpenuhi. Alternatif strategi untuk pengelolaan ekowisata di Pulau Harapan dan Pulau Panggang yaitu: peningkatan sarana dan prasarana penunjang ekowisata, peningkatan partisipasi masyarakat dan pengunjung dalam pengelolaan lingkungan terutama yang berkaitan dengan ekowisata serta peningkatkan jaminan keselamatan transportasi bagi wisatawan.

Kata kunci: Lamun, mangrove, ekowisata, analisis kesesuaian lahan, analisis daya dukung, analisis SWOT, Pulau Harapan, Pulau Panggang, Kepulauan Seribu.

(4)

SEBAGAI PENUNJANG EKOWISATA

DI PULAU HARAPAN DAN PULAU PANGGANG

KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU

Oleh:

HELMI WAHYUDI

C24103074

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008

(5)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi : Potensi Sumberdaya Lamun dan Mangrove Sebagai Penunjang Ekowisata

di Pulau Harapan dan Pulau Panggang, Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu

Nama Mahasiswa : Helmi Wahyudi

Nomor Pokok : C24103074

Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan

Menyetujui:

Komisi Pembimbing Pembimbing I

Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc. NIP 131 788 596

Pembimbing II

Dr. Ir. Achmad Fahrudin, MS NIP 131 841 723

Mengetahui:

Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc. NIP. 131 578 799

(6)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul ”Potensi Sumberdaya Lamun dan Mangrove Sebagai Penunjang Ekowisata di Pulau Harapan dan Pulau Panggang, Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu”, sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana perikanan.

Pada kesempatan ini, penulis sampaikan terima kasih kepada :

1. Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc. dan Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Sc.selaku dosen pembimbing yang telah banyak bersabar dalam membimbing penulis, memberikan banyak masukan, arahan, nasehat dan saran dalam penulisan skripsi ini.

2. Dr. Ir. M Mukhlis Kamal dan Ir Zairion M.Sc. selaku penguji tamu dalam sidang skripsi dan telah memberikan banyak masukan, arahan, nasehat dan saran dalam penulisan skripsi ini.

3. Zulhamsyah Imran, S.Pi., M.Si. selaku dosen pembimbing akademik atas bimbingan yang diberikan kepada penulis baik saran maupun nasehat yang bermanfaat kepada penulis selama mengikuti perkuliahan.

4. Keluarga tercinta (bapak, mamah, teteh, mima) atas doa, semangat, dukungan dan kasih sayang yang tak terhingga kepada penulis.

5. Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu dan Pemerintah Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu atas bantuan yang diberikan dalam proses penelitian dan pengambilan data.

6. Teman-teman MSP angkatan 40 yang telah memberikan semangat dan motivasi, serta bantuannya. Teman-teman MSP angkatan 37, 38, 39, 41 dan 42 atas dukungan selama ini.

Semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat.

Bogor, Maret 2008

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

PRAKATA ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix DAFTAR GAMBAR ... x DAFTAR LAMPIRAN ... xi I. PENDAHULUAN ... 1 A. Latar belakang ... 1 B. Perumusan masalah ... 2 C. Tujuan ... 3 D. Manfaat ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

A. Ekosistem lamun ... 4 1. Deskripsi lamun ... 4 2. Fungsi lamun ... 4 B. Ekosistem mangrove ... 5 1. Deskripsi mangrove ... 5 2. Fungsi mangrove ... 5 C. Ekowisata ... 6

1. Pariwisata dan ekowisata ... 6

2. Definisi dan deskripsi ekowisata bahari ... 7

3. Pengembangan berkelanjutan dan konservasi ... 9

III. METODE PENELITIAN ... 12

A. Waktu dan tempat penelitian ... 12

B. Alat dan bahan ... 12

C. Jenis data dan informasi yang diperlukan ... 12

D. Metode pengambilan data ... 13

1. Wawancara ... 13

2. Observasi langsung ... 16

a. Metode pengamatan ekosistem lamun ... 16

b. Metode pengamatan ekosistem mangrove ... 17

3. Studi pustaka ... 17

E. Analisis data ... 17

1. Analisis persentase total penutupan lamun ... 17

2. Analisis kerapatan mangrove ... 17

3. Analisis kesesuaian lahan ... 18

a. Wisata bahari ... 18

b. Wisata pantai ... 19

4. Analisis daya dukung ... 19

5. Analisis SWOT ... 21

(8)

b. Pembuatan matriks EFE ... 23

c. Pembuatan matriks SWOT ... 24

d. Pembuatan tabel ranking alternatif strategi ... 24

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25

A. Keadaan umum lokasi penelitian ... 26

B. Kondisi ekonomi, sosial dan budaya ... 26

1. Karakteristik masyarakat ... 26

2. Persepsi masyarakat ... 28

3. Keterlibatan masyarakat ... 29

4. Persepsi pengunjung ... 29

C. Potensi sumberdaya lamun dan mangrove ... 30

1. Ekosistem lamun ... 30

2. Ekosistem mangrove ... 34

D. Kesesuaian lahan untuk kegiatan ekowisata ... 35

E. Daya Dukung Kawasan untuk kegiatan ekowisata ... 36

F. Strategi pengelolaan kawasan untuk pengembangan penunjang ekowisata di Pulau Harapan dan Pulau Panggang ... 36

1. Identifikasi faktor-faktor strategis internal ... 36

a. Kekuatan (strengths) ... 37

b. Kelemahan (weakness) ... 37

2. Identifikasi faktor-faktor strategis eksternal ... 38

a. Peluang (opportunities) ... 38

b. Ancaman (threats) ... 39

3. Matriks SWOT ... 39

4. Alternatif strategi ... 41

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 43

A. Kesimpulan ... 43

B. Saran ... 43

DAFTAR PUSTAKA ... 44

LAMPIRAN ... 46

(9)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Kegiatan ekowisata bahari yang dapat dikembangkan ... 8

2. Zonasi di kawasan ekowisata bahari ... 9

3. Komposisi, jenis, sumber dan teknik pengambilan data ... 12

4. Matriks kesesuaian lahan untuk ekowisata bahari kategori wisata lamun ... 18

5. Matriks kesesuaian lahan untuk wisata pantai kategori wisata mangrove ... 19

6. Potensi ekologis pengunjung (K) dan luas area kegiatan (Lt) ... 20

7. Prediksi waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan wisata ... 21

8. Matriks SWOT ... 24

9. Kondisi ekosistem lamun di Pulau Harapan dan Pulau Panggang ... 31

10. Kondisi ekosistem mangrove di Pulau Harapan dan Pulau Panggang ... 34

11. Indeks kesesuaian lahan untuk wisata lamun ... 35

12. Indeks kesesuaian lahan untuk wisata mangrove ... 35

13. Daya Dukung Kawasan di Pulau Harapan dan Pulau Panggang ... 36

14. Skor faktor strategis internal dan eksternal ... 39

15. Matriks SWOT ... 40

(10)

Gambar Halaman

1. Pembagian zona dalam kawasan wisata bahari ... 8

2. Peta lokasi penelitian Pulau Harapan ... 14

3. Peta lokasi penelitian Pulau Panggang ... 15

4. Transek kuadrat ... 16

5. Karakteristik usia di Pulau Harapan dan Pulau Panggang ... 26

6. Karakteristik pendidikan di Pulau Harapan dan Pulau Panggang .... 27

7. Karakteristik pekerjaan di Pulau Harapan dan Pulau Panggang ... 27

8. Persepsi masyarakat terhadap kondisi sumberdaya ... 28

9. Persepsi masyarakat terhadap sarana dan prasarana ... 28

10. Keterlibatan dan waktu yang disediakan masyarakat dalam kegiatan ekowisata ... 29

11. Persepsi pengunjung terhadap kondisi sumberdaya ... 29

12. Persepsi pengunjung terhadap sarana dan prasarana ... 30

13. Peta sebaran lamun di Pulau Harapan ... 32

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Kuisioner untuk masyarakat sekitar kawasan penelitian ... 46

2. Kuisioner untuk pengunjung kawasan ekowisata ... 48

3. Kuisioner untuk pemerintah dan instansi terkait ... 50

4. Data hasil pengamatan lamun ... 52

5. Data hasil pengamatan mangrove ... 54

6. Perhitungan nilai Indeks Kesesuaian Wisata lamun ... 55

7. Perhitungan nilai Indeks Kesesuaian Wisata mangrove ... 56

8. Perhitungan Daya Dukung Kawasan (DDK) dan Daya Dukung Pemanfaatan (DDP) ... 57

9. Dokumentasi penelitian ... 58

10. Perhitungan pada penilaian bobot faktor strategis internal dan eksternal ... 60

11. Perhitungan pada penentuan skor matriks IFE dan EFE ... 61

(12)

A. Latar belakang

Lamun (seagrass) adalah satu-satunya kelompok tumbuhan berbunga yang terdapat di laut. Terdapat sekitar 50 jenis lamun di seluruh dunia, dimana di Indonesia ditemukan sekitar 12 jenis, di antaranya Enhalus acoroides dan

Thalassia hemprichii. Lamun di perairan laut memiliki beberapa fungsi yaitu

sebagai produsen primer, sumber makanan bagi beberapa hewan seperti duyung dan penyu (Romimohtarto dan Juwana, 2005). Jenis lamun yang ditemukan di Kepulauan Seribu terdiri dari enam jenis yaitu Thalassia hemprichii, Enhalus

acoroides, Halodule uninervis, Cymodocea rotundata, Halophila ovalis dan Syringodium isoetifolium (www.tnlkepulauanseribu.net).

Hutan mangrove merupakan varietas pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang-surut pantai berlumpur. Hutan mangrove juga memiliki fungsi-fungsi ekologis yang penting antara lain sebagai tempat pemijahan, pengasuhan dan mencari makan bagi biota tertentu, selain itu hutan mangrove juga mampu berperan sebagai penahan abrasi (Nybaken, 1992). Vegetasi hutan mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi, yaitu sekitar 202 jenis (Bengen, 2001).

Distribusi mangrove di wilayah Kepulauan Seribu lebih banyak dijumpai di kawasan selatan seperti di Pulau Rambut dengan kerapatan 43 individu/100 m2 dan Pulau Untung Jawa dengan kerapatan 35 individu/100 m2 dibandingkan di utara seperti Pulau Pramuka dengan kerapatan 6 individu/100 m2, dan Pulau Harapan dengan kerapatan 4 individu/100 m2. Jenis mangrove yang paling banyak di jumpai adalah Rhizophora stylosa selain itu juga di temukan Avicennia marina di Pulau Penjaliran Timur dan Phempis acidula di Pulau Dua Barat, Pulau Dua Timur dan Pulau Penjaliran Barat (CCMRS, 2006).

Wisata merupakan suatu bentuk pemanfaatan sumberdaya alam yang mengutamakan jasa alam untuk kepuasan manusia. Kegiatan manusia untuk kepentingan wisata dikenal juga dengan pariwisata (Yulianda, 2007). Menurut Ceballos-lascurain (1996) ekowisata adalah suatu perjalanan ke tempat-tempat

(13)

2

alami yang belum terganggu dengan bertanggung jawab terhadap lingkungan untuk menikmati dan menghargai alam.

Kepulauan Seribu secara geografis terletak pada 5°24´-5°45´ LS dan 106°25´-106°40´ BT. Kepulauan Seribu ditetapkan menjadi Taman Nasional Laut dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 162/Kpts-II/1995 dan No. 6310/Kpts-II/2002 yang dikelola oleh Balai Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (TNLKS), Departemen Kehutanan. Pulau-pulau yang terdapat di Kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu merupakan tempat ideal untuk snorkeling, berenang, atau menyelam.

Saat ini di Kepulauan Seribu terdapat permasalahan yang dapat merusak komponen sumberdaya dan lingkungan di antaranya pencemaran lingkungan (minyak, bahan organik, logam berat, kekeruhan air dan sampah), abrasi dan sedimentasi, penurunan produksi perikanan serta penurunan keanekaragaman hayati (CCMRS, 2006).

B. Perumusan masalah

Terumbu karang merupakan objek utama dalam kegiatan ekowisata sedangkan lamun dan mangrove merupakan objek penunjang dalam kegiatan ekowisata. Pulau Harapan dan Pulau Panggang memiliki potensi ekowisata, namun terdapat permasalahan yang menyebabkan kerusakan lingkungan sehingga dapat mengurangi potensi ekowisata di kedua pulau tersebut. Ancaman perusakan lingkungan lebih banyak datang dari kegiatan manusia seperti limbah domestik baik yang dibuang oleh masyarakat maupun oleh pengunjung.

Permasalahan lingkungan dan degradasi sumberdaya perlu dicegah serta dilakukan upaya rehabilitasi lebih awal agar kerusakan sumberdaya terumbu karang, lamun dan mangrove yang memiliki potensi ekowisata dapat diminimalkan. Pemanfaatan sumberdaya yang tidak merusak dan sekaligus dapat menjaga kondisi sumberdaya tersebut adalah pemanfaatan ekowisata.

(14)

C. Tujuan

Tujuan penelitian adalah untuk mengidentifikasi potensi sumberdaya lamun dan mangrove di Pulau Harapan dan Pulau Panggang untuk penunjang dalam pengembangan ekowisata di kedua pulau tersebut.

D. Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu pertimbangan bagi pihak pengelola Pulau Harapan dan Pulau Panggang dalam pengembangan ekowisata dengan tetap memperhatikan aspek-aspek pendidikan, pelestarian dan peningkatan nilai estetika.

(15)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Ekosistem lamun 1. Deskripsi lamun

Lamun (seagrass) adalah satu-satunya kelompok tumbuhan berbunga yang terdapat di laut. Lamun hidup di perairan laut yang dangkal, mempunyai tunas berdaun yang tegak, berbunga, berbuah dan menghasilkan biji (Romimohtarto dan Juwana, 2005). Komunitas lamun berada di antara batas terendah daerah pasang surut sampai kedalaman tertentu dimana cahaya matahari masih dapat mencapai dasar laut (Sitania, 1998 dalam Wimbaningrum, 2002).

Hampir semua tipe substrat dapat ditumbuhi lamun, mulai dari substrat berlumpur sampai berbatu. Namun padang lamun yang luas lebih sering ditemukan di substrat lumpur berpasir yang tebal antara hutan rawa mangrove dan terumbu karang (Bengen, 2001). Di seluruh dunia diperkirakan terdapat sebanyak 50 jenis lamun, dimana di Indonesia ditemukan sekitar 12 jenis yaitu Cymnodocea

rotundata, Cymnodocea serrulata, Enhalus acoroides, Halodule pinifolia, Halodule univerves, Halophila decipiens, Halophila minor, Halophila ovalis, Halophila spinulosa, Syringodium isoetifolium, Thalassia hemprichii, Thalassodendron ciliatum (Romimohtarto dan Juwana, 2005). Menurut

www.tnlkepulauanseribu.net jenis lamun yang ditemukan di Kepulauan Seribu terdiri dari enam jenis yaitu Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Halodule

univerves, Cymodocea rotundata, Halophila ovalis dan Syringodium isoetifolium.

2. Fungsi lamun

Menurut Nybaken (1992) lamun mempunyai fungsi penting, yaitu: a. Sebagai produsen primer.

b. Sebagai sumber makanan bagi berbagai jenis hewan, seperti duyung, penyu serta jenis-jenis ikan herbivora dan ikan karang.

c. Sebagai habitat biota laut seperti moluska, crustacea dan cacing.

d. Melindungi pantai dari erosi dan abrasi serta menangkap sedimen yang dibawa oleh air laut.

(16)

e. Sebagai daerah asuhan, perlindungan dan sebagai tempat memijah berbagai jenis ikan.

f. Sebagai tempat pengasuhan dan tempat mencari makan (feeding ground) berbagai jenis ikan.

B. Ekosistem mangrove 1. Deskripsi mangrove

Ekosistem mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang-surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini umumnya tumbuh pada daerah intertidal dan supratidal yang cukup mendapat aliran air dan terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat. Ekosistem mangrove banyak ditemukan di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria, delta dan daerah pantai yang terlindung (Nybaken, 1992).

Vegetasi mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi, dengan jumlah jenis tercatat sebanyak 202 jenis yang 89 di antaranya adalah jenis pohon. Mangrove di Indonesia terbagi ke dalam empat famili yaitu Rhizophoraceae (Rhizophora, Bruguiera dan Ceriops), Soneraticeae (Sonneratia), Aviceniaceae (Avicenia) dan Meliaceae (Xylocarpus) (Bengen, 2001).

Distribusi mangrove di wilayah Kepulauan Seribu lebih banyak dijumpai di kawasan selatan seperti di Pulau Rambut dengan kerapatan 43 individu/100 m2 dan Pulau Untung Jawa dengan kerapatan 35 individu/100 m2 bila dibandingkan dengan kawasan Kepulauan Seribu utara seperti Pulau Pramuka dengan kerapatan 6 individu/100 m2 dan Pulau Harapan dengan kerapatan 4 individu/100 m2. Jenis mangrove yang paling banyak di jumpai adalah Rhizophora stylosa selain itu juga di temukan Avicennia marina di Pulau Penjaliran Timur dan Phempis acidula di Pulau Dua Barat, Pulau Dua Timur dan Pulau Penjaliran Barat (CCMRS, 2006).

2. Fungsi mangrove

Menurut Wibisono (2005), secara ekologis ekosistem mangrove mempunyai beberapa fungsi penting bagi wilayah pesisir, di antaranya:

(17)

6

b. Merupakan tempat ideal untuk pengasuhan (nursery ground) dari berbagai jenis larva udang dan ikan.

c. Sebagai cadangan sumber alam (bahan mentah) untuk dapat diolah menjadi komoditi perdagangan.

C. Ekowisata

1. Pariwisata dan ekowisata

Wisata merupakan suatu bentuk pemanfaatan sumberdaya alam yang mengandalkan jasa alam untuk kepuasan manusia. Kegiatan manusia untuk kepentingan wisata dikenal juga dengan pariwisata (Yulianda, 2007). Wisata merupakan perjalanan sementara seseorang ke tempat tertentu selain menuju tempat kerja ataupun tempat tinggal (Mathienson dan Wall, 1982 dalam Gunn, 1994).

Wisata alam merupakan wisata ke tempat sumberdaya alam yang cenderung belum dikembangkan. Wisata berkelanjutan adalah pengembangan dan pengelolaan dari segala kegiatan wisata yang difokuskan pada pelestarian sumberdaya alam (Ceballos-lascurain, 1996).

Menurut Ceballos-lascurain (1996) ekowisata adalah suatu perjalanan ke tempat-tempat alami yang belum terganggu yang bertanggung jawab terhadap lingkungan untuk menikmati dan menghargai alam sedangkan menurut Wallace and Pierce (1996) dalam Björk (2000) ekowisata adalah perjalanan ke tempat-tempat alami yang belum terganggu untuk pendidikan atau sekedar menikmati flora, fauna, geologi dan ekosistem sebagaimana orang yang hidup berdampingan dengan alam sehingga konservasi dan pengembangan berkelanjutan dapat terlaksana.

Sumberdaya ekowisata terdiri dari sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang dapat diintegrasikan menjadi komponen terpadu bagi pemanfaatan wisata. Berdasarkan konsep pemanfaatan, wisata dapat diklasifikasikan (Fandeli, 2000; META, 2002 dalam Yulianda, 2007):

a. Wisata alam (nature tourism), merupakan aktivitas wisata yang ditujukan pada pengalaman terhadap kondisi alam atau daya tarik panoramanya.

(18)

b. Wisata budaya (cultural tourism), merupakan wisata dengan kekayaan budaya sebagai obyek wisata dengan penekanan pada aspek pendidikan.

c. Ekowisata (Ecotourism, green tourism atau alternative tourism), merupakan wisata berorientasi pada lingkungan untuk menjembatani kepentingan perlindungan sumberdaya alam/lingkungan dan industri kepariwisataan.

Bagian penting dari ekowisata adalah untuk merubah budaya dalam kaitannya dengan lingkungan, seperti mempromosikan tentang daur ulang, efisiensi energi dan menciptakan lapangan pekerjaan bagi penduduk lokal. (Srinivas, 2005). Menurut Reynolds dan Braithwaite (1999) tujuan yang harus diperhatikan dalam ekowisata adalah:

a. Agar turis atau pelaku perjalanan memiliki kepuasan dan sikap hidup yang lebih menjaga alam.

b. Agar dapat mengurangi degradasi lingkungan serta memiliki kontribusi dalam pengembangan lingkungan yang sehat.

c. Agar dapat ditentukan seberapa banyak pengunjung yang diperbolehkan dalam waktu tertentu.

2. Definisi dan deskripsi ekowisata bahari

Ekowisata bahari merupakan kegiatan wisata pesisir dan laut yang dikembangkan dengan pendekatan konservasi laut. Pengelolaan ekowisata bahari merupakan suatu konsep pengelolaan yang memprioritaskan kelestarian yang memanfaatkan sumberdaya masyarakat (Yulianda, 2007). Ekowisata bahari adalah perjalanan yang bertanggung jawab ke alam laut dengan tetap memelihara lingkungan dan meningkatkan pendapatan penduduk lokal (The International

Ecotourism Society, 2001). Menurut Cater (2003) dalam Garrod dan Wilson,

(2004) ekowisata bahari adalah suatu komponen dari sektor ekowisata yang lebih luas yang dianggap akan tumbuh dengan cepat baik volume maupun nilainya.

Ekowisata bahari terbagi menjadi 2 yaitu kegiatan di darat (pantai) dan kegiatan di laut (Garrod dan Wilson, 2004). Kegiatan wisata yang dapat dikembangkan dengan konsep ekowisata bahari dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu wisata pantai dan wisata bahari (Tabel 1). Menurut Yulianda (2007) Wisata pantai merupakan kegiatan wisata yang mengutamakan sumberdaya pantai dan

(19)

8

budaya masyarakat pantai seperti rekreasi, olahraga dan menikmati pemandangan, sedangkan wisata bahari merupakan kegiatan wisata yang mengutamakan sumberdaya bawah laut dan dinamika air laut (Tabel 1).

Tabel 1. Kegiatan ekowisata bahari yang dapat dikembangkan

Wisata Pantai Wisata Bahari

1. Rekreasi pantai 2. Panorama

3. Resort/peristirahatan 4. Berenang, berjemur

5. Olahraga pantai (volley pantai, jalan pantai, lempar cakram, dll)

6. Berperahu 7. Memancing 8. Wisata mangrove

1. Rekreasi pantai dan laut 2. Resort/peristirahatan

3. Wisata selam (diving) dan wisata

snorkling

4. Selancar, jet ski, banana boat, perahu kaca, kapal selam

5. Wisata ekosistem lamun, wisata nelayan, wisata pulau, wisata pendidikan, wisata pancing

6. Wisata satwa (penyu, duyung, paus, lumba-lumba, burung, mamalia, buaya) Sumber : Yulianda (2007)

Menurut Yulianda (2007) penataan kawasan ekowisata bahari yang memperhatikan prinsip konservasi ditujukan untuk mempertahankan keseimbangan alam. Sistem zonasi merupakan suatu upaya untuk melindungi sumberdaya alam dan mempermudah pelaksanaan pengelolaan. Zonasi kawasan ekowisata bahari dapat ditentukan sebagai zona inti, zona khusus, zona penyangga, dan zona pemanfaatan (Gambar 1).

Sumber: Yulianda (2007)

Gambar 1. Pembagian zona dalam kawasan wisata bahari Zona Penyangga

Zona Khusus Zona Inti

Zona Pemanfaatan

(20)

Menurut Yulianda (2007) penentuan zonasi dalam dilakukan dengan mempertimbangkan faktor ekologi, sosial dan ekonomi. Faktor ekologi yang dipertimbangkan adalah keberadaan satwa yang dilindungi dan kerentanan habitat/ekosistem serta tingkat ancaman kerusakan, misalnya zona inti berada di tengah kawasan atau jauh dari sumber kegiatan manusia. Faktor sosial mempertimbangkan kegiatan masyarakat dan pengunjung serta gangguan yang ditimbulkannya. Sedangkan faktor ekonomi yang dipertimbangkan nilai manfaat ekowisata yang dapat dikembangkan secara berkelanjutan (Tabel 2).

Tabel 2. Zonasi di kawasan ekowisata bahari

No. Zona Tujuan Keterangan

1. Zona Inti (10%-20%)

Melindungi satwa dan ekosistem yang sangat rentan

Dilarang untuk masuk ke dalam

2. Zona khusus (10%-20%)

Pemanfaatan terbatas dengan tujuan khusus (peneliti, pencinta alam, petualang, penyelam)

Jumlah pengunjung terbatas dengan izin dan aturan-aturan khusus agar tidak menimbulkan gangguan terhadap ekosistem

3. Zona Penyangga (40%-60%)

Sebagai kawasan penyangga yang dibuat untuk perlindungan terhadap zona-zona inti dan khusus

Dapat dimanfaatkan terbatas untuk ekowisata dengan batasan minimal gangguan terhadap zona inti dan khusus

4. Zona Pemanfaatan (10%-20%) Pengembangan kepariwisataan alam, termasuk pengembangan fasilitas-fasilitas wisata alam

Persyaratan: Kestabilan bentang alam dan ekosistem, resisten terhadap berbagai kegiatan manusia yang berlangsung di dalamnya

Sumber: Yulianda (2007)

3. Pengembangan berkelanjutan dan konservasi

Pemerintah Indonesia memfokuskan ekowisata sebagian besar di taman nasional dan derah yang dilindungi, dengan pengembangan ekonomi dan konservasi sumberdaya hayati sebagai prioritas (BAPPENAS/NRMP/USAID, 1993; Caldecott, 1994 dalam Ross dan Wall, 1999).

(21)

10

Pengembangan berkelanjutan adalah strategi pengembangan yang mengelola seluruh asset, sumberdaya alam dan sumberdaya manusia untuk meningkatkan kesejahteraan jangka panjang (Tosun, 2000). Menurut Leuangdee (2001) dalam Ross (2003), dalam konsep pengembangan berkelanjutan kesejahteraan sekarang dan masa yang akan datang datang harus meliputi ketahanan sosial, ketahanan lingkungan dan ketahanan ekonomi.

Menurut Goodwin dan Roe (2001) sekarang ini banyak kegiatan pengembangan wisata alam yang gagal kecuali yang wisata alam yang berbasis konservasi. Untuk mencapai tujuan konservasi sumber daya hayati maka konservasi juga harus dapat meningkatkan pendapatan penduduk setempat. (Bookbinder dkk., 1998)

Menurut Springuel (2000) perencanaan ekowisata yang baik harus meliputi empat hal, yaitu:

a. Kerja sama antara pemerintah dengan lembaga non profit untuk melaksanakan pendidikan bagi masyarakat, pengawasan terhadap lingkungan yang sehat dari pengunjung serta penerapan dari perencanaan perlindungan habitat.

b. Identifikasi daya dukung sosial dan daya dukung ekologi.

c. Penetapan duta lingkungan yang bertujuan untuk mempromosikan sesuatu yang berhubungan dengan menjaga lingkungan seperti: “pergi tanpa sampah”. d. Inovasi dari pengusaha setempat agar pasar ekowisata semakin bertambah.

Wallace and Pierce (1996) dalam Fennell (2001) menyebutkan bahwa ekowisata seharusnya:

a. Meminimalkan efek negatif terhadap sumberdaya hayati.

b. Meningkatkan kesadaran manusia akan pentingnya menjaga lingkungan. c. Memiliki peranan dalam konservasi.

d. Mengajarkan penduduk lokal agar dapat membuat keputusan sendiri. e. Meningkatkan pendapatan penduduk lokal.

f. Memberikan kesempatan penduduk lokal untuk menikmati alam. Menurut English (2005) Ekowisata yang benar harus menjamin:

a. Sebagian besar laba yang didapatkan, dikembalikan terhadap usaha konservasi.

(22)

b. Peranan penduduk lokal dari mulai masukan, dukungan dan keuntungan yang akan didapatkan.

c. Tidak menimbulkan dampak kerusakan ekologis dan sosial yang baru.

d. Pendekatan secara ilmiah dalam pengamatan kehidupan alami agar menjaga keamanan manusia dan hewan.

e. Nilai-nilai budaya penduduk lokal. f. Kepuasan bagi pengunjung.

(23)

III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan tempat penelitian

Penelitian ini di lakukan di Pulau Harapan dan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu (Gambar 2 dan Gambar 3) pada bulan April-September 2007 yang terbagi ke dalam tiga tahap, yaitu penelitian pendahuluan untuk menentukan metode pengumpulan data lalu pengumpulan data tentang kawasan kemudian pengolahan data.

B. Alat dan bahan

Alat yang digunakan yaitu recorder, kamera, alat tulis, alat dasar selam, meteran dan transek berskala sedangkan bahan yang digunakan yaitu peta Pulau Harapan dan Pulau Panggang serta formulir pertanyaan (kuisioner) (Lampiran 1, Lampiran 2 dan Lampiran 3).

C. Jenis data dan informasi yang diperlukan

Data sumberdaya alam, kesesuaian lahan, daya dukung kawasan, sumberdaya manusia, keadaan umum lokasi, isu-isu yang berkembang dan kebijakan pengelolaan di wilayah tersebut (Tabel 3).

Tabel 3. Komposisi, jenis, sumber dan teknik pengambilan data

Jenis Data

No. Komponen data

Primer Sekunder Sumber Data Teknik Pengambilan Data 1. Keadaan Umum

Lokasi

A. Pulau Harapan dan Pulau Panggang

Sejarah √ √ Responden, laporan Wawancara, Studi pustaka

Geografi √ Laporan Studi pustaka

Demografi √ √ Responden, laporan Wawancara, studi pustaka Sarana dan

Prasarana √ √

Responden, lapangan, laporan

Wawancara, observasi, studi pustaka

Pendidikan √ √ Responden, lapangan, laporan Wawancara, observasi, studi pustaka Transportasi dan

Komunikasi √ √ Responden, lapangan, laporan Wawancara, observasi, studi pustaka Agama √ √ Responden, lapangan, laporan Wawancara, observasi, studi pustaka

(24)

Tabel 3. (Lanjutan)

Jenis Data

No. Komponen data

Primer Sekunder Sumber Data Teknik Pengambilan Data 2. Lamun

Tutupan lamun √ √ Laporan, lapangan Studi Pustaka, observasi

Kecerahan perairan √ √ Lapangan Observasi

Jenis ikan Responden,

laporan

Wawancara , Studi Pustaka Jenis lamun √ √ Laporan, lapangan Studi Pustaka, observasi Jenis substrat √ √ Laporan, lapangan Studi Pustaka, observasi Kecepatan arus √ √ Laporan, lapangan Studi Pustaka, observasi

Kedalaman lamun √ √ Lapangan Observasi

4. Mangrove

Ketebalan mangrove √ √ Laporan, lapangan Studi Pustaka, observasi Kerapatan mangrove √ √ Laporan, lapangan Studi Pustaka, observasi Jenis mangrove √ Laporan, lapangan Studi Pustaka, observasi

Pasang surut √ Laporan Studi Pustaka

Objek biota Responden,

laporan Wawancara , Studi Pustaka 3. Sumberdaya Manusia

A. Masyarakat √ Responden, lapangan Wawancara, observasi B. Pengunjung √ Responden, lapangan Wawancara, observasi C. Pemerintah dan Instansi lainnya yang berkaitan dengan survei √ Responden Wawancara 4. Isu-isu yang

berkembang √ Responden, lapangan Wawancara, observasi 5. Kebijakan

Pengelolaan √ Responden, lapangan Wawancara, observasi

D. Metode pengambilan data

Pengambilan data dilakukan melalui beberapa metode, antara lain: 1. Wawancara

Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk memperoleh informasi lebih lanjut mengenai kawasan penelitian. Pencatatan data dilakukan dengan cara wawancara terstruktur (kuisioner) kepada pengunjung, masyarakat, pemerintah serta instansi lainnya yang berkaitan dengan survei sehingga diperoleh data yang mendukung pengamatan di lokasi dengan jumlah responden masing-masing sebanyak 30 orang (Lampiran 1, Lampiran 2 dan Lampiran 3).

(25)

14

0

0,2 0,2 0,4 km PULAU HARAPAN

KELURAHAN PULAU HARAPAN

106º 33,44´ 106º 34,16´ 106º 34,49´ 106º 35,21´

KEC. KEPULAUAN SERIBU UTARA

106º 33,44´ 106º 34,16´ 106º 34,49´ 106º 35,21´ 5º 38 ,3 5´ 5º 39 ,7 0´ 5º 39 ,4 0´ 5º 40 ,1 3´ 5º 38 ,3 5´ 5º 39 ,7 0´ 5º 39 ,4 0´ 5º 40 ,1 3´ Sumber:

1. CITRA SATELIT SPOT 2003

2. PETA RUPA BUMI KEPULAUAN SERIBU BAKOSURTANAL 3. PETA BATHIMETRI DISHIDROS

SUB DINAS PEMBINAAN MASYARAKAT PETERNAKAN, PERIKANAN DAN KELAUTAN DINAS PETERNAKAN, PERIKANAN DAN KELAUTAN PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA

Gambar 2. Peta lokasi penelitian Pulau Harapan

(26)

15

0

0,2 0,2 0,4 km

PULAU PANGGANG

KELURAHAN PULAU PANGGANG KEC. KEPULAUAN SERIBU UTARA

106º 35,21´ 106º 35,54´ 106º 36,26´ 5º 44 ,0 0´ 5º 44 ,3 3´ 5º 44 ,5 0´ Sumber:

1. CITRA SATELIT SPOT 2003

2. PETA RUPA BUMI KEPULAUAN SERIBU BAKOSURTANA 3. PETA BATHIMETRI DISHIDROS

L SUB DINAS PEMBINAAN MASYARAKAT

PETERNAKAN, PERIKANAN DAN KELAUTAN DINAS PETERNAKAN, PERIKANAN DAN KELAU PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA

106º 35,21´ 106º 35,54´ 106º 36,26´ 5º 44 ,0 0´ 5º 44 ,3 3´ 5º 44 ,5 0´ TAN Inset:

(27)

16

2. Observasi langsung

Tujuan kegiatan ini adalah untuk mengumpulkan data primer dengan cara melihat langsung kondisi di lapangan melalui pengamatan lamun dan pengamatan mangrove.

a. Metode pengamatan ekosistem lamun

Dalam pengamatan ekosistem lamun yang pertama dilakukan adalah mentukan posisi garis transek garis yang dimulai dari bagian akhir sisi dalam pantai (inshore end) dan orientasinya tegak lurus terhadap garis pantai. Jarak antar transek garis terpisah antara 50 m-100 m dengan posisi antar transek garis sejajar garis dan tetap tegak lurus terhadap garis pantai. Panjang transek garis bedasarkan pada bentangan ekosistem lamun dan meliputi daerah perbatasan luar dari ekosistem lamun tersebut (saat lamun mulai tak tampak). Pengambilan sampel, menggunakan transek kuadrat (Gambar 4) yang berukuran 1 m x 1 m pada interval/jarak yang sama. Parameter-parameter yang terkait dengan kondisi lingkungan tempat lamun hidup dicatat pada tiap stasiun pengamatan (misalnya kecerahan perairan, kedalaman, kecepatan arus). Nilai persentase tutupan lamun (tiap jenis/populasi) yang terdapat di dalam transek kuadrat dicatat ke dalam data sheet, untuk pendataan jenis ikan yang ada di ekosistem lamun, menggunakan metode sensus visual guna melihat ikan di sekitar ekosistem lamun (English dkk., 1994).

(28)

b. Metode pengamatan ekosistem mangrove

Dalam pengamatan ekosistem lamun yang pertama dilakukan adalah membuat transek kuadrat berukuran 10 m x 10 m. Data yang diambil pada pengamatan ekosistem mangrove yaitu dengan melihat jenis mangrove yang berada di dalam tarnsek kuadrat serta jenis perakarannya, kemudian dilakukan pengukuran diameter setiap pohon yang berada di dalam transek kuadrat tersebut. Untuk pendataan jenis biota yang ada di ekosistem mangrove, menggunakan metode sensus visual dengan melihat biota di sekitar ekosistem mangrove (English dkk., 1994).

3. Studi pustaka

Studi pustaka merupakan suatu kegiatan pengumpulan data sekunder dengan cara mempelajari buku-buku laporan, penelitian-penelitian sebelumnya, peraturan-peraturan, peta dan bentuk publikasi lainnya. Data yang dikumpulkan melalui studi pustaka meliputi keadaan umum kawasan, potensi sumberdaya lamun dan mangrove untuk kegiatan ekowisata serta keadaan sosial masyarakat.

E. Analisis data

1. Analisis persentase total penutupan lamun

Untuk mengetahui luas area penutupan jenis lamun tertentu dibandingkan dengan luas total area penutupan untuk seluruh jenis lamun, Adapun metode penghitungannya adalah sebagai berikut (English dkk., 1994):

Ketrangan:

= = = n i n i fi Ci Ca 1 1

Ca = persentase penutupan jenis lamun i. Ci = persentase kehadiran jenis lamun i.

fi = banyaknya sub petak dimana kelas kehadiran jenis lamun i sama.

2. Analisis kerapatan mangrove

Untuk analisa kerapatan mangrove, digunakan rumus (English dkk., 1994):

transek Luas transek dalam individu Jumlah mangrove Kerapatan =

(29)

18

3. Analisis kesesuaian lahan

Kegiatan wisata yang akan dikembangkan hendaknya disesuaikan dengan potensi sumberdaya dan peruntukannya. Setiap kegiatan wisata mempunyai persyaratan sumberdaya dan lingkungan yang sesuai objek wisata yang akan dikembangkan. Rumus yang digunakan untuk kesesuaian wisata pantai dan wisata bahari adalah (Yulianda, 2007):

% 100 max⎟⎠× ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ =

N Ni IKW Keterangan:

IKW = Indeks Kesesuaian Wisata.

Ni = Nilai parameter ke-i (Bobot x Skor).

Nmaks = Nilai maksimum dari suatu kategori wisata.

Penentuan kesesuaian berdasarkan perkalian skor dan bobot yang diperoleh dari setiap parameter. Kesesuaian kawasan dilihat dari tingkat persentase kesesuaian yang diperoleh penjumlah nilai dari seluruh parameter.

a. Wisata bahari

Kesesuaian wisata bahari kategori wisata lamun mempertimbangkan 7 parameter dengan 4 klasifikasi penilaian. Parameter kesesuaian wisata bahari kategori wisata lamun antara lain tutupan lamun, kecerahan perairan, jenis ikan, jenis lamun, jenis substrat, kecepatan arus dan kedalaman lamun (Tabel 4).

Tabel 4. Matriks kesesuaian lahan untuk ekowisata bahari kategori wisata lamun

No. Parameter Bobot Kategori S1 Skor Kategori S2 Skor Kategori S3 Skor Kategori N Skor 1. Tutupan lamun (%) 5 >75 4 >50-75 3 25-50 2 <25 1 2. Kecerahan perairan (%) 4 >75 4 >50-75 3 25-50 2 <25 1 3. Jenis ikan 4 >10 4 6-10 3 3-5 2 <3 1 4. Jenis lamun 4 Cymodocea, Halodule, Halophila 4 Syringodium,

Thalassodendron 3 Thalassia 2 Enhalus 1

5. Jenis substrat 3 Pasir berkarang 4 Pasir 3 Pasir berlumpur 2 Lumpur 1 6. Kecepatan arus (cm/dt) 3 0-15 4 >15-30 3 >30-50 2 >50 1 7. Kedalaman lamun (m) 3 1-3 4 >3-6 3 >6-10 2 >10 1 Sumber : Yulianda (2007)

(30)

Keterangan:

Nilai maksimum = 104

S1 = Sangat sesuai, dengan nilai 80%-100% S2 = Sesuai, dengan nilai 60%-<80%

S3 = Sesuai bersyarat, dengan nilai 35%-<60% N = Tidak sesuai, dengan nilai <35%

b. Wisata pantai

Kesesuaian wisata pantai kategori wisata mangrove mempertimbangkan 5 parameter dengan 4 klasifikasi penilaian. Parameter kesesuaian wisata pantai kategori wisata mangrove antara lain ketebalan mangrove, kerapatan mangrove, jenis mangrove, pasang surut dan objek biota (Tabel 5).

Tabel 5. Matriks kesesuaian lahan untuk wisata pantai kategori wisata mangrove

No. Parameter Bobot Kategori S1 Skor Kategori S2 Skor Kategori S3 Skor Kategori N Skor 1. Ketebalan mangrove (m) 5 >500 4 >200-500 3 50-200 2 <50 1 2. Kerapatan mangrove (100 m2) 4 >15-25 4 >10-15 3 5-10 2 <5 1 3. mangrove Jenis 4 >5 4 3-5 3 1-2 2 0 1 4. Pasang surut 3 0-1 4 >1-2 3 >2-5 2 >5 1 5. Objek biota 3 Ikan, udang, kepiting, moluska, reptil, burung 4 Ikan, udang, kepiting, moluska

3 moluska Ikan, 2 Salah satu biota air 1

Sumber : Yulianda (2007) Keterangan:

Nilai maksimum = 76

S1 = Sangat sesuai, dengan nilai 80%-100% S2 = Sesuai, dengan nilai 60%-<80%

S3 = Sesuai bersyarat, dengan nilai 35%-<60% N = Tidak sesuai, dengan nilai <35%

4. Analisis daya dukung

Analisa daya dukung ditujukan pada pengembangan wisata bahari dengan memanfaatkan potensi sumberdaya pesisir, pantai dan pulau-pulau kecil secara lestari. Mengingat pengembangan wisata bahari yang mudah rusak, ruang untuk pengunjung sangat terbatas dan tidak bersifat mass tourism, maka perlu penentuan Daya Dukung Kawasan. Metode yang diperkenalkan untuk menghitung daya

(31)

20

dukung pengembangan ekowisata alam adalah dengan menggunakan konsep Daya Dukung Kawasan (DDK). DDK adalah jumlah maksimum pengunjung yang secara fisik dapat ditampung di kawasan yang disediakan pada waktu tertentu tanpa menimbulkan gangguan pada alam dan manusia. Perhitungan DDK dalam bentuk rumus adalah sebagai berikut (Yulianda, 2007):

Wp Wt Lt Lp DDK =Κ× × Keterangan:

DDK = Daya Dukung Kawasan.

K = Potensi ekologis pengunjung per satuan unit area. Lp = Luas area atau panjang area yang dapat dimanfaatkan. Lt = Unit area untuk kategori tertentu.

Wt = Waktu yang disediakan oleh kawasan untuk kegiatan wisata dalam satu hari.

Wp = Waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk setiap kegiatan tertentu.

Menurut Yulianda (2007) Daya Dukung Kawasan disesuaikan karakteristik sumberdaya dan peruntukan. Misalnya, daya dukung wisata selam ditentukan sebaran dan kondisi terumbu karang, daya dukung wisata pantai ditentukan panjang/luas dan kondisi pantai. Kebutuhan manusia akan ruang diasumsikan dengan keperluan ruang horizontal untuk dapat bergerak bebas dan tidak merasa terganggu oleh pengunjung lainnya (Tabel 6).

Tabel 6. Potensi ekologis pengunjung (K) dan luas area kegiatan (Lt) Jenis

Kegiatan (Σ Pengunjung) K Unit Area (Lt) Keterangan

Selam 2 1000 m2 Setiap 2 orang dalam 100 m x 10 m Snorkling 1 250 m2 Setiap 1 orang dalam 50 m x 5 m Wisata

Lamun 1 250 m2 Setiap 1 orang dalam 50 m x 5 m Wisata

Mangrove 1 50 m Dihitung panjang track, setiap orang sepanjang 50 m Rekreasi

Pantai 1 50 m

1 orang setiap 50 m panjang pantai Wisata

Olahraga 1 50 m

1 orang setiap 50 m panjang pantai Sumber : Yulianda (2007)

(32)

Menurut Yulianda (2007) waktu kegiatan pengunjung (Wp) dihitung berdasarkan lamanya waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk melakukan kegiatan wisata. Waktu pengunjung diperhitungkan dengan waktu yang disediakan untuk kawasan (Wt). Waktu kawasan adalah lama waktu areal dibuka dalam satu hari dan rata-rata waktu kerja sekitar 8 jam (Tabel 7).

Tabel 7. Prediksi waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan wisata No. Kegiatan Waktu yang dibutuhkan (Wp) (jam) Total waktu 1 hari (Wt) (jam) 1. Selam 2 8 2. Snorkling 3 6 3. Berenang 2 4 4. Berperahu 1 8 5. Berjemur 2 4 6. Rekreasi Pantai 3 6 7. Olahraga Air 2 4 8. Memancing 3 6 9. Wisata mangrove 2 8

10. Wisata lamun dan ekosistem lainnya 2 4

11. Wisata satwa 2 4

Sumber : Yulianda (2007)

Pengusahaan kegiatan wisata dalam kawasan konservasi diatur oleh PP No. 18/1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional dan Taman Wisata Alam, maka areal yang diizinkan untuk dikembangkan adalah 10% dari luas zona pemanfaatan. Dengan demikian daya dukung kawasan dalam kawasan konservasi perlu dibatasi dengan Daya Dukung Pemanfaatan (DDP) dengan rumus (Yulianda, 2007):

DDP = 0,1 x DDK Keterangan:

DDP = Daya Dukung Pemanfaatan. DDK = Daya Dukung Kawasan. 5. Analisis SWOT

Analisis yang dipergunakan untuk menentukan prioritas strategi alternatif pengembangan yang paling tepat dilaksanakan dengan pertimbangan faktor internal dan eksternal adalah analisis SWOT (strength, weakness, opportunity,

(33)

22

threat). Kekuatan dan kelemahan merupakan faktor internal, sedangkan faktor

eksternal meliputi peluang dan ancaman. Keterkaitan antara faktor internal dan faktor eksternal tersebut digambarkan dalam matriks SWOT. Alternatif strategi yang diperoleh adalah SO, ST, WO, dan WT.

Matriks SWOT adalah alat yang dapat menggambarkan bagaimana kekuatan dan kelemahan yang merupakan faktor internal dipadukan dengan peluang dan ancaman yang merupakan faktor eksternal untuk menghasilkan empat golongan alternatif strategi yang dapat diterapkan bagi kelangsungan suatu kegiatan. Golongan strategi alternatif tersebut adalah sebagai berikut:

a. S-O (strength-opportunity), yaitu menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengambil peluang yang ada.

b. S-T (strength-threat), yaitu menggunakan peluang yang dimiliki untuk mengatasi ancaman yang dihadapi.

c. W-O (weakness-opportunity), yaitu berusaha mendapatkan keuntungan dari peluang yang ada dengan mengatasi kelemahan.

d. W-T (weakness-threat), yaitu berusaha meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman yang ada.

Strategi yang efektif adalah memaksimalkan kekuatan dan kesempatan yang dimiliki serta meminimalkan kelemahan dan ancaman yang dihadapi. Dalam memilih alternatif strategi yang terbaik untuk diterapkan, maka setiap alternatif strategi yang ada diberi nilai sesuai dengan tingkat kepentingannya, kemudian diberi rangking yang dilakukan secara subjektif. Pemberian nilai dilakukan kepada setiap unsur SWOT dengan nilai sebagai berikut (Rangkuti, 2003):

4 = sangat penting 3 = penting 2 = cukup penting 1 = kurang penting

Kerangka kerja dengan menggunakan pendekatan analisa SWOT adalah sebagai berikut:

a. Pembuatan matriks IFE (Internal Factor Evaluation)

Dalam membuat matriks IFE yang pertama dilakukan adalah membuat daftar critical success factors (faktor-faktor utama yang mempunyai dampak

(34)

penting pada kesuksesan/kegagalan usaha) yang menjadi kekuatan (strengths) dan kelemahan (weakness). Kemudian menenentukan bobot dari critical success

factors sesuai dengan tingkat kepentingannya. Jumlah seluruh bobot harus sebesar

1,0. setelah itu memberikan rating untuk masing-masing faktor berdasarkan pengaruh/respon faktor-faktor tersebut terhadap pengelolaan ekosistem di Pulau Harapan dan Pulau Panggang (nilai : 4 = sangat penting, 3 = penting, 2 = cukup penting, 1 = kurang penting). Kemudian mengalikan antara bobot dengan nilai peringkat dari masing-masing faktor untuk menentukan nilai skornya lalu menjumlahkan semua skor untuk mendapatkan skor total.

b. Pembuatan matriks EFE (External Factor Evaluation)

Dalam membuat matriks EFE yang pertama dilakukan adalah membuat daftar critical success factors (faktor-faktor utama yang mempunyai dampak penting pada kesuksesan/kegagalan usaha) yang menjadi peluang (opportunities) dan ancaman (threats). Kemudian menenentukan bobot dari critical success

factors sesuai dengan tingkat kepentingannya. Jumlah seluruh bobot harus sebesar

1,0. setelah itu memberikan rating untuk masing-masing faktor berdasarkan pengaruh/respon faktor-faktor tersebut terhadap pengelolaan ekosistem di Pulau Harapan dan Pulau Panggang (nilai : 4 = sangat penting, 3 = penting, 2 = cukup penting, 1 = kurang penting). Kemudian mengalikan antara bobot dengan nilai peringkat dari masing-masing faktor untuk menentukan nilai skornya lalu menjumlahkan semua skor untuk mendapatkan skor total.

Bobot yang diberikan pada tiap faktor disesuaikan dengan skala kepentingannya terhadap pengelolaan ekosistem lamun dan mangrove untuk pengembangan kawasan ekowisata di Pulau Harapan dan Pulau Panggang. Skala yang digunakan untuk mengisi kolom dalam menentukan bobot setiap faktor adalah:

1. Bobot 1, jika indikator faktor horizontal kurang penting dibandingkan indikator faktor vertikal.

2. Bobot 2, jika indikator faktor horizontal sama penting dengan indikator faktor vertikal.

(35)

24

3. Bobot 3, jika indikator faktor horizontal lebih penting dibandingkan indikator faktor vertikal.

4. Bobot 4, jika indikator faktor horizontal sangat penting dibandingkan indikator faktor vertikal.

c. Pembuatan matriks SWOT

Setelah selesai menyusun matriks IFE dan EFE, langkah selanjutnya adalah membuat matriks SWOT, dimana setiap unsur SWOT yang ada dihubungkan untuk memperoleh alternatif strategi (Tabel 8).

Tabel 8. Matriks SWOT IFE EFE S S1 S2 dst W W1 W2 Dst O O1 O2 Dst Strategi S-O (Strategi menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang) Strategi W-O (Strategi meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang) T T1 T2 Dst Strategi S-T (Strategi menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman) Strategi W-T (Strategi meminimalkan kelemahan untuk menghindari ancaman)

d. Pembuatan tabel ranking alternatif strategi

Penentuan prioritas dari strategi yang dihasilkan dilakukan dengan memperhatikan faktor-faktor yang saling terkait. Jumlah dari skor pembobotan menentukan ranking prioritas strategi dalam pengelolaan ekosistem untuk pengembangan kawasan ekowisata di Pulau Harapan dan Pulau Panggang. Jumlah skor diperoleh dari penjumlahan semua skor di setiap faktor-faktor strategis yang terkait. Ranking akan ditentukan berdasarkan urutan jumlah skor terbesar sampai yang terkecil dari semua strategi yang ada.

(36)

A. Keadaan umum lokasi penelitian

Kepulauan Seribu secara geografis terletak pada 5°24´-5°45´ LS dan 106°25´-106°40´ BT dengan luas 107.489 hektar. Kepulauan Seribu merupakan sebuah kabupaten administratif yang terletak 45 km di sebelah utara kota Jakarta yang dibagi menjadi dua wilayah, yakni Kepulauan Seribu Utara dan Kepulauan Seribu Selatan. Pulau Pramuka merupakan Ibukota Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu (www.tnlkepulauanseribu.net).

Transportasi menuju Kepulauan Seribu dapat melalui dermaga wisata Marina Ancol, pelabuhan Muara Baru, pelabuhan Muara Angke dan pelabuhan Tanjung Pasir. Transportasi dari dermaga wisata Marina Ancol dilayani oleh

speedboat dengan biaya Rp 100.000,00 per orang. Transportasi dari pelabuhan

Muara Angke di layani dengan kapal ojek dengan biaya Rp 25.000,00 per orang. Pulau-pulau yang dituju oleh kapal ojek adalah Pulau Tidung, Pulau Panggang dan Pulau Harapan. Setiap hari pemberangkatan kapal dari Marina Ancol ke pulau-pulau resor umumnya pada pagi hari pukul 08.00 atau pukul 09.00 dan kembali dari pulau-pulau resor menuju Marina Ancol pada pukul 13.30 atau pukul 14.00 sedangkan dari Pelabuhan Muara Angke kapal pergi menuju pulau yang dituju pada pukul 07.00 dan kembali ke pulau pada pukul 11.00.

Kondisi persentase penutupan karang hidup di Kelurahan Panggang tergolong sedang, kedalaman 3 m persentase penutupan masuk dalam kategori buruk hingga baik, yang masuk kategori baik yaitu utara Gosong Pramuka, utara Semak Daun, dan utara Karang Lebar. Kedalaman 10 m masuk dalam kategori buruk sampai sedang, yang masuk kategori sedang yaitu utara dan selatan Gosong Pramuka, barat dan selatan Panggang, selatan dan timur Pramuka, selatan dan tenggara Sekati, utara, dan barat Semak Daun dan utara Karang Lebar (Purwita, 2008).

Pasang surut di perairan Kepulauan Seribu bukan pasang surut yang secara langsung dibangkitkan oleh gaya gravitasi bulan dan bumi, akan tetapi dominan dipengaruhi oleh pasang surut di perairan Laut Cina Selatan yang merambat ke selatan memasuki Laut Jawa (Pariwono, 1985 dalam CCMRS, 2006). Kisaran

(37)

26

pasang surut di perairan Kepulauan Seribu adalah sebesar 1,20 m pada pasang purnama dan 0,10 m pada saat pasang perbani. Arus di suatu perairan dibangkitkan oleh berbagai gaya pembangkit arus seperti angin, pasang surut, perbedaan densitas air dan tekanan hidrostatis perairan. Di perairan Kepulauan Seribu arus yang terjadi didominasi oleh arus yang dibangkitkan oleh angin. Kisaran kecepatan arusnya berkisar antara 0,05 cm/det hingga 0,28 cm/det. Arus permukaan pada musim barat cenderung searah dengan pola angin yakni bergerak dari perairan Laut China Selatan menuju ke Laut Jawa. Pada musim timur pola arus bergerak berlawanan arah, yaitu dari perairan Laut Jawa keluar menuju ke perairan Laut China Selatan (CCMRS, 2006).

B. Kondisi ekonomi, sosial dan budaya 1. Karakteristik masyarakat

Responden merupakan masyarakat di Pulau Harapan dan Pulau Panggang. Responden terdiri dari 29 laki-laki dan 1 orang perempuan. Sebagian besar responden berusia antara 40-49 tahun dengan persentase sebesar 53%. Untuk usia antara 20-29 tahun berjumlah 17%, kisaran usia 30-39 tahun berjumlah 20% kemudian masyarakat yang berusia di antara 50-59 dan di atas 59 tahun berjumlah 7% dan 3% namun tidak terdapat responden yang berusia kurang dari 20 tahun (Gambar 5). 0% 17% 20% 53% 7% 3% < 20 20 - 29 30 - 39 40 - 49 50 - 59 > 59

Gambar 5. Karakteristik usia di Pulau Harapan dan Pulau Panggang

(38)

Secara umum pendidikan masyarakat di Pulau Harapan dan Pulau Panggang masih rendah. Masyarakat di kedua pulau tersebut sejumlah 70% berpendidikan SD, 20% berpendidikan SMP, sedangkan 10% lainnya berpendidikan SMU 10% (Gambar 6).

0% 0% 70% 20% 10% 0%0%0%0% TS TK SD SMP SMA D3 S1 S2 S3

Gambar 6. Karakteristik pendidikan di Pulau Harapan dan Pulau Panggang

Masyarakat di Pulau Harapan dan Pulau Panggang sebagian besar memiliki mata pencaharian sebagai nelayan dengan persentase sebesar 94%. Masyarakat yang memiliki pekerjaan sebagai buruh dan wiraswasta masing-masing sebesar 3% (Gambar 7).

94% 3% 3%

Nelayan Wiraswasta Buruh

(39)

28

2. Persepsi masyarakat

Kondisi lingkungan pesisir yang baik, sarana, dan prasarana sangat mendukung keberlangsungan kegiatan wisata di suatu daerah. Masyarakat di Pulau Harapan dan Pulau Panggang secara umum mengatakan bahwa ekosistem mangrove dan lamun yang ada di kedua pulau tersebut dalam kondisi sedang dan tidak tahu (Gambar 8). Hal ini dapat disebabkan oleh minimnya pengetahuan masyarakat tentang kedua ekosistem tersebut.

0 20 40 60 80 100 Lamun Mangrove K om pos is i J um la h O ra ng ( % ) Sedang Buruk Sangat buruk Tidak tahu

Gambar 8. Persepsi masyarakat terhadap kondisi sumberdaya

Lebih dari 50% responden mengungkapkan bahwa sarana dan prasarana yang mencakup listrik, air bersih, penginapan, transportasi dan warung makan di Pulau Harapan dan Pulau Panggang sudah memadai dengan kualitas sedang (Gambar 9). Hal tersebut dapat menunjukan sudah ada usaha dari masyarakat untuk menunjang kegiatan ekowisata di kedua pulau tersebut.

0 20 40 60 80 100 Listr ik Air Pen ginap an Trans porta si War ung Mak an K om pos is i J um la h O ra ng ( % ) Baik Sedang Buruk Tidak tahu

(40)

3. Keterlibatan masyarakat

Masyarakat di Pulau Harapan dan Pulau Panggang sebagian besar mengatakan bahwa mereka ingin terlibat dalam kegiatan ekowisata di kedua pulau tersebut namun demikian tidak menjadikannya sumber penghasilan yang utama, melainkan hanya sebagai tambahan dari pekerjaan utama mereka yang pada umumnya bermatapencaharian sebagai nelayan (Gambar 10).

87% 13% Terlibat Tidak terlibat 17% 83% Utama Tambahan

Gambar 10. Keterlibatan dan waktu yang disediakan masyarakat dalam kegiatan ekowisata

4. Persepsi pengunjung

Pengunjung Pulau Harapan dan Pulau Panggang sebagian besar mengatakan bahwa ekosistem lamun dan mangrove di kedua pulau tersebut dalam keadaan buruk (Gambar 11). Kesadaran pengunjung akan pentingnya menjaga kedua ekosistem tersebut masih kurang, karena masih terdapat kegiatan dari pengunjung yang dapat menyebabkan kerusakan ekosistem seperti membuang sampah ke laut. 0 20 40 60 80 100 Lamun Mangrove K om pos is i J um la h O ra ng ( % ) Baik Sedang Buruk Tidak tahu

(41)

30

Pengunjung Pulau Harapan dan Pulau Panggang mengungkapkan bahwa secara umum sarana dan prasarana seperti listrik, air bersih, penginapan, dan warung makan yang menunjang kegiatan ekowisata di kedua pulau tersebut cukup memadai, kecuali untuk transportasi yang dinilai buruk oleh sebagian besar pengunjung (Gambar 12). 0 20 40 60 80 100 List rik Air Pen ginap an Tran spor tasi Wa rung M akan K om pos is i J um la h O ra ng ( % ) Baik Sedang Buruk Tidak tahu

Gambar 12. Persepsi pengunjung terhadap sarana dan prasarana

Listrik di Pulau Harapan dan Pulau Panggang menggunakan tenaga diesel yang dikelola oleh masyarakat secara gotong royong dan memperoleh subsidi dari pemerintah. Listrik di Pulau Harapan dan Pulau Panggang mulai beroperasi pada pukul 13.00 sampai pukul 6.00. Air bersih yang di gunakan masyarakat berasal dari air hujan yang di tampung masing-masing rumah.

C. Potensi sumberdaya lamun dan mangrove 1. Ekosistem lamun

Jenis lamun yang terdapat di Pulau Harapan hanya lamun jenis Thalassia

hemprichii sedangkan di Pulau Panggang selain terdapat jenis Thalassia hemprichii juga terdapat jenis Enhalus acoroides (Tabel 9 dan Lampiran 4).

Kedua jenis lamun tersebut termasuk dalam famili Hydrocharitaceae. Thalassia

hemprichii merupakan jenis lamun yang menjadi makanan bagi duyung atau

penyu. Enhalus acoroides yang berdaun panjang seperti pita akan menyembul

apabila air sedang surut yang akan memancing burung-burung pantai untuk datang mencari makan. Enhalus acoroides atau lamun tropik oleh masyarakat

(42)

pulau seribu disebut juga samo-samo yang bijinya dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan.

Tabel 9. Kondisi ekosistem lamun di Pulau Harapan dan Pulau Panggang

Lokasi Jenis lamun Tutupan lamun (%) Kecerahan perairan (%) Jenis ikan Jenis substrat Kecepatan arus (cm/dt) Kedalaman lamun (cm) Pulau Harapan Stasiun I Thalassia hemprichii 2,21 100 >10 Pasir Berkarang 0,05-0,28* 63,46 Stasiun I Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides 7,03 100 >10 Pasir 0,05-0,28* 47,13 Stasiun II Enhalus acoroides 8,93 100 >10 Pasir 0,05-0,28* 59,67 Pulau Panggang Stasiun III Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides 15,47 100 >10 Pasir 0,05-0,28* 71,38 * CCMRS, 2006

Kecerahan perairan di seluruh stasiun pengamatan lamun 100% (Tabel 9) yang berarti baik bagi lamun karena cahaya merupakan faktor utama yang menentukan pertumbuhan dan penyebaran lamun pada lingkungan perairan (Erftemeijer, 1993 dalam Hamid, 1996). Ikan yang terdapat di sekitar ekosistem lamun di pulau Harapan dan Pulau Panggang diantaranya ikan kepe coklat strip, ikan keling batu, ikan keling dappe, ikan kepe spot, ikan bajulan putih, ikan bunglon kuning, ikan betok putih, ikan keling hijau, ikan keling putih, ikan kepe-kepe garis enam coklat dan ikan buarmata strip.

Tutupan lamun di Pulau Harapan dan Pulau Panggang rendah, yaitu antara 2,21%-15,47%. Tutupan lamun termasuk rendah apabila kurang dari 25%. Luas ekosistem lamun yang terdapat di Pulau Harapan adalah 810 m2 dan di Pulau Panggang adalah 16.951 m2 dengan sebagian besar tumbuh pada substrat pasir (Gambar 13 dan Gambar 14). Secara umum lamun dapat hidup pada substrat pasir berkarang, pasir, pasir berlumpur dan lumpur. Enhalus acoroides yang tumbuh pada substrat pasir berlumpur memiliki daun yang lebih lebar dan lebih panjang jika dibandingkan dengan Enhalus acoroides yang tumbuh pada substrat berpasir (Erftemeijer, 1993 dalam Hamid, 1996).

(43)

32 5 º 39 ,7 0´ 5 º 39 ,2 4´ 5 º 39 ,4 0´ 5 º 39 ,5 6´ 106º 34,16´ 106º 34,33´ 106º 34,49´ 106º 35,40´ 106º 35,21´ 106º 35,38´ 106º 34,16´ 106º 34,33´ 106º 34,49´ 106º 35,40´ 106º 35,21´ 106º 35,38´ 5 º 39 ,7 0´ 5 º 39 ,2 4´ 5 º 39 ,4 0´

PETA SEBARAN LAMUN PULAU HARAPAN KEPULAUAN SERIBU Lamun Darat Lokasi Pengamatan Legenda : 0,2 0,2 0 Sumber: Citra Landsat 2003 Dibuat oleh : Helmi Wahyudi C24103074 5 º 39 ,5 6´ 0,4 km Inset:

(44)

33 Dibuat oleh : Helmi Wahyudi C24103074 Sumber: Citra Landsat 2003 Lamun Darat Lokasi Pengamatan Legenda : Inset: 0,2 0,2 0 0,4 km

PETA SEBARAN LAMUN PULAU PANGGANG KEPULAUAN SERIBU

Gambar 12. Peta sebaran lamun di Pulau Panggang

5 º 44 ,1 7´ 5 º 44 ,3 3´ 5 º 44 ,4 9´ 106º 35,50´ 106º 35,21´ 106º 35,38´ 106º 35,54´ 5 º 44 ,4 9´ 5 º 44 ,3 3´ 5 º 44 ,1 7´ 106º 36,26´ 106º 35,38´ 106º 35,54´ 106º 36,10´ 106º 35,50´ 106º 35,21´ 106º 36,26´ 106º 36,10´

(45)

34

2. Ekosistem mangrove

Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang-surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini umumnya tumbuh pada daerah intertidal dan supratidal yang cukup mendapat aliran air dan terlindung dari gelombang besar serta arus pasang surut yang kuat., karena itu hutan mangrove banyak ditemukan di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria, delta dan daerah pantai yang terlindung (Nybaken, 1992).

Ekosistem mangrove hanya terdapat di Pulau Harapan dengan kerapatan 7 individu dalam 100 m2 (Tabel 10 dan Lampiran 5). Tumbuhan mangrove jenis

Rhizophora stylosa atau biasa disebut bakau merah memiliki ciri-ciri berdaun

lebar dengan panjang daun mencapai 10 cm dan terdapat bintik-bintik berwarna coklat pada bagian sisi bawah permukaan daun serta memiliki akar berbentuk tongkat (Bengen, 2001). Di pulau Panggang tidak di temukan adanya mangrove namun telah dilakukan penanaman bibit mangrove oleh masyarakat sekitar pulau tersebut.

Tabel 10. Kondisi ekosistem mangrove di Pulau Harapan dan Pulau Panggang

Lokasi Kerapatan mangrove (100 m2) Ketebalan mangrove (m) Jenis mangrove Pasang surut (m) Obyek biota Pulau Harapan 7 10 Rhizophora stylosa. 0,10-1,20* Ikan, udang, kepiting, moluska * CCMRS, 2006

Ekosistem mangrove akan berkembang dan tumbuh dengan baik di daerah yang senantiasa mendapat nutrien (biasanya lewat sungai), karakter hidrodinamika yang minimal (gelombang kecil dan air tenang) dan adanya sedimen yang membawa bahan organik. Kepulauan Seribu yang secara umum bersubstrat pasir dan kurang mendapatkan nutrien menyebabkan pertumbuhan mangrove tidak optimal.

(46)

D. Kesesuaian lahan untuk kegiatan ekowisata

Luas ekosistem lamun yang terdapat di Pulau Harapan adalah 810 m2 dan di Pulau Panggang adalah 16.951 m2. Luas ekosistem lamun yang di butuhkan bagi setiap 1 orang dalam kegiatan ekowisata adalah 50 m x 5 m atau seluas 250 m2. Ekosistem lamun di Pulau Harapan dan Pulau Panggang termasuk kedalam kategori S2 yaitu sesuai (Tabel 11 dan Lampiran 6) dengan nilai Indeks Kesesuaian Wisata masing-masing sebesar 74,04% di Pulau Harapan dan di Pulau Panggang stasiun 1 sebesar 71,15%, di stasiun 2 sebesar 67,31% serta di stasiun 3 sebesar 71,15% (Lampiran 9). Suatu kawasan termasuk ke dalam kategori sesuai (S2) apabila nilai Indeks Kesesuaian Wisata kawasan tersebut berada di antara 60%-<80% (Yulianda 2007).

Tabel 11. Indeks kesesuaian lahan untuk wisata lamun

Lokasi Pengamatan Total Skor Indeks Kesesuaian Wisata (%) Tingkat Kesesuaian

Pulau Harapan Stasiun 1 77 74,04 S2

Stasiun 1 74 71,15 S2

Stasiun 2 70 67,31 S2

Pulau Panggang

Stasiun 3 74 71,15 S2

Wisata mangrove di Pulau Harapan memiliki nilai Indeks Kesesuaian Wisata sebesar 55,26% yang berarti termasuk kedalam kategori S3 yaitu sesuai bersyarat (Tabel 12 dan Lampiran 7). Untuk menjadikan lokasi ini sebagai lokasi wisata, maka perlu dilakukan rehabilitasi terlebih dahulu sebelum dijadikan sebagai tempat wisata. Indeks Kesesuaian Wisata di Pulau Panggang tidak dihitung karena tidak terdapat ekosistem mangrove di pulau tersebut.

Tabel 12. Indeks kesesuaian lahan untuk wisata mangrove

Lokasi Pengamatan Total Skor Indeks Kesesuaian Wisata (%) Tingkat Kesesuaian Pulau Harapan 42 55,26 S3

(47)

36

E. Daya Dukung Kawasan untuk kegiatan ekowisata

Daya Dukung Kawasan untuk wisata lamun di Pulau Harapan adalah 6 pengunjung dan untuk di Pulau Panggang 135 pengunjung (Tabel 13 dan Lampiran 8). Berdasarkan PP No.18/1994 tentang pengusahaan pariwisata alam di zona pemanfaatan taman nasional dan taman wisata alam, maka luas areal yang diizinkan untuk di kembangkan adalah 10% dari luas zona pemanfaatan (Yulianda 2007).

Tabel 13. Daya Dukung Kawasan di Pulau Harapan dan Pulau Panggang Pulau Harapan Pulau Panggang No. Kegiatan

DDK DDP DDK DDP

1 Wisata lamun 6 - 135 13

Daya Dukung Pemanfaatan ekologis pengunjung di Pulau Panggang 13 orang dalam setiap 1 hari sedangkan di Pulau Harapan belum dapat dilakukan pemanfaatan lamun untuk wisata karena Daya Dukung Pemanfaatan ekologis di pulau tersebut belum terpenuhi (Tabel 13 dan Lampiran 8). Wisata mangrove di Pulau Harapan dan Pulau Panggang belum dapat dilakukan, hal ini dikarenakan Daya Dukung Pemanfaatan ekologis di kedua pulau tersebut tidak mentolelir pengunjung untuk memasuki kawasan ekosistem mangrove.

F. Strategi pengelolaan kawasan untuk pengembangan penunjang ekowisata di Pulau Harapan dan Pulau Panggang

Rencana strategi pengelolaan kawasan ekowisata, ditentukan berdasarkan analisis SWOT yang digunakan untuk mengidentifikasi hubungan sumberdaya ekowisata dengan sumberdaya yang lain. Oleh sebab itu, semua pihak khususnya masyarakat perlu mengetahui apa kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh kawasan dan objek ekowisata tersebut (Damanik dan Weber, 2006).

1. Identifikasi faktor-faktor strategis internal

Identifikasi faktor-faktor strategis internal didapatkan dari hasil wawancara dengan masyarakat, pengunjung dan pengelola Pulau Harapan dan Pulau Panggang serta observasi lapangan di kedua pulau tersebut.

(48)

a. Kekuatan (strengths)

1. Visi-misi kabupaten yang sejalan dengan pembangunan pulau yang berkelanjutan, salah salah satunya pengembangan ekowisata.

Visi pemerintah Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu adalah menjadikan Kepulauan Seribu sebagai ladang dan taman kehidupan bahari yang berkelanjutan, sedangkan misinya yaitu mewujdkan wilayah Kepulauan Seribu sebagai kawasan wisata yang lestari, menegakan hukum yang terkait dengan pelestarian lingkungan kebaharian dan segala aspek kehidupan serta meningkatkan kesejahteraan melalui pemberdayaan masyarakat Kepulauan Seribu dengan perekonomian berbasis kelautan.

2. Masyarakat sudah dikenalkan dengan berbagai teknik rehabilitasi ekosistem seperti penanaman mangrove dan transplantasi karang.

Usaha budidaya karang melalui transplantasi karang sudah di lakukan Kelurahan Pulau Panggang dengan jumlah nelayan pembudidaya sebanyak 17 orang (Rani, 2007) sedangkan untuk penanaman mangrove sudah dilakukan di Pulau Harapan dan Pulau Panggang (Lampiran 9).

3. Keberadaan sumberdaya lamun yang dapat dimanfaatkan untuk ekowisata. Indeks Kesesuaian Wisata ekosistem lamun di Pulau Harapan adalah 74,04% dan Pulau Panggang dari tiga stasiun masing-masing memiliki nilai Indeks Kesesuaian Wisata sebesar 71,15%, 67,31% dan 71,15% yang secara keseluruhan termasuk kedalam kategori S2 yaitu sesuai (Tabel 11).

b. Kelemahan (weakness)

1. Pengetahuan masyarakat tentang fungsi ekosistem lamun dan mangrove masih kurang.

Masyarakat Pulau Harapan dan Pulau Panggang masih memiliki pengetahuan yang minim tentang fungsi ekosistem, sehingga kesadaran masyarakat untuk menjaga lingkungan masih kurang, hal tersebut dapat terlihat dari masyarakat yang masih membuang sampah ke laut (Lampiran 9). 2. Sumberdaya Mangrove tidak mendukung untuk dilakukannya kegiatan

ekowisata.

Wisata mangrove di Pulau Harapan memiliki nilai Indeks Kesesuaian Wisata sebesar 55,26% yang berarti termasuk kedalam kategori S3 yaitu

Gambar

Tabel 1.  Kegiatan ekowisata bahari yang dapat dikembangkan
Tabel 2.  Zonasi di kawasan ekowisata bahari
Tabel 3. Komposisi, jenis, sumber dan teknik pengambilan data
Gambar 2. Peta lokasi penelitian Pulau Harapan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil peer assessment dapat dilihat pada Gambar 1 bahwa 37,5% siswa yang mem- punyai rangking sama antara rangking diskusi kelompok dan berpikir aplikatif dan

Makanan yang harus dikurangi adalah jenis makanan yang mengandung kalsium oksalat seperti: bayam, daun sledri, kacang-kacangngan, kopi, coklat; sedangkan untuk kalsium

Kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan ini adalah bahwa penggunaan model pembelajaran inkuiri terbimbing berbasis konstruktivis cocok digunakan sebagai

[r]

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh metode struktural sintesis analisis (SAS) terhadap peningkatan keterampilan membaca permulaan pada siswa kelas II SDN

(21) Beberapa saran yang dapat disampaikan untuk penyempuranaan program Prima Tani dan kegiatan supervisi di tahun-tahun berikut adalah perlunya ‘penyeragaman’ dan

Jelaskan pengaruh ketiga aspek (budaya, subbudaya dan kelas sosial) terhadap perilaku serta kaitannya dengan strategi pemasaran yang dapat dilakukan3. Tujuan

Sarana atau akses jalan menuju desa Karangsari merupakan jalan aspal yang kondisinya baik dengan keadaan tanah yang naik turun/ berbukit, sedangkan jalan lmenuju