• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER PENDIDIKAN ISLAM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER PENDIDIKAN ISLAM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR"

Copied!
175
0
0

Teks penuh

(1)

TERSERTIFIKASI DENGAN YANG BELUM TERSERTIFIKASI (Studi di MTs Pondok Pesantren Al-Urwatul Wutsqaa Benteng

Kecamatan Baranti Kabupaten Sidenreng Rappang) The Performance Of Certfied and Uncertified Islamic Education (PAI)Teachers (Study at MTs Al-Urwatul Wustqaa Islamic Boarding

School Benteng Baranti District, Sidrap Regency)

TESIS

NURZAENAB

NIM: 01.14.388.2013

PROGRAM PASCASARJANA

MAGISTER PENDIDIKAN ISLAM

(2)
(3)
(4)
(5)

Nurzaenab, 2016. Kinerja Guru Pendidikan Agama Islam (PAI) yang telah Tersertifikasi dengan yang Belum Tersertifikasi (Studi di MTs Pondok Pesantren Al-Urwatul Wutsqaa Benteng Kecamatan Baranti Kabupaten Sidereng Rappang). Dibimbing oleh H. Natsir A. Baki, dan H. Moh. Wayong.

Tujuan penelitian ini adalah, 1) Untuk mendeskipsikan kinerja guru PAI yang telah bersertifikat, 2) Untuk menjelaskan secara akurat Kinerja Guru PAI yang belum bersertifikat, dan 3) Untuk merumuskan hasil kinerja guru PAI di MTs Pondok Pesantren Al-Urwatul Wutsqaa Kecamatan Baranti Kabupaten Sidrap

Metodologi penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan paedagogik, teologis normatif, dan manajerial, Sumber data penelitian ini terdiri atas para guru, pegawai, kepala Madrasah, dan pengurus yayasan. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan angket, wawancara, observasi partisipatif, dokumentasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada umumnya guru telah melaksanakan tugas secara profesional sesuai dengan fungsinya. Adapun persamaan profesionalisme guru yang telah lulus sertifikasi dan belum sama-sama memiliki komitmen yang sama-sama untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di Madrasah ini sedangkan yang membedakan keduanya adalah adanya kreativitas para guru yang telah tersertifikasi jauh lebih baik dibandingkan mereka yang belum tersertifikasi. Hasil kinerja guru PAI yang tersertifikasi mampu berperan sebagai sosok inspirator, motivator, dinamisator, fasilitator, dan komunikator dalam menggerakkan, menggali, dan mengembangkan potensi peserta didik.

Implikasi penelitian ini adalah bahwa Kinerja guru PAI yang telah tersertifikasi dengan yang belum di MTs Pondok Pesantren Al-Urwatul Wutsqaa Kecamatan Baranti Kabupaten Sidrap harus mampu menjadi wadah pengembangan kreativitas para guru pendidikan agama Islam sebagai bagian dari profesionalisme mereka. Oleh karena itu, kegiatan sertifikasi guru harus dilakukan secara profesional dengan meminimalisasi berbagai praktik kotor yang bisa menciderai profesionalisme guru sebagai figur yang pantas diteladani.

(6)
(7)

ميحرلا نمحرلا ا مسب

هلآ ىلعو دمحم اندييس ا لوسر ىلع ملسلاو ةلصلا و نيملاعلا بر ل دمحلأ

دعب امأ ، نيعمجأ هباحصأو

Puji syukur ke hadirat Allah Swt. atas rahmat dan hidayah-Nya yang senantiasa diperuntukkan kepada hamba-hamba-Nya. Salawat dan salam kepada Rasulullah saw. dan sahabat-sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti risalahnya. Dalam penyusunan Tesis ini yang berjudul " Kinerja guru PAI yang telah tersertifikasi dengan yang belum tersertifikasi studi di MTs Pondok Pesantren Al-Urwatul Wutsqaa Kecamatan Baranti Kabupaten Sidrap", tesis ini diajukan sebagai tugas akhir pada Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar.

Dalam penyelesaian tesis ini penulis mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. H. Natsir A. Baki, M.A., dan Drs. H. Moh. Wayong, M.Ed., Ph.D., Pembimbing, yang telah tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan sejak awal penulisan tesis ini sehingga bisa di selesaikan dengan baik.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Rektor Universitas Muhammadiyah Makassar dan Direktur Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar, Prof. Dr. H. M. Ide Said D. M, M. Pd., serta para staf administrasi Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar yang senantiasa memberikan pelayanan administratif kepada penulis selama menempuh perkuliahan Program Magister.

(8)

selaku Ketua Prodi Magister Pendidikan Islam Universitas Muhammadiyah Makassar dan seluruh dosen PPS Universitas Muhammadiyah Makassar yang senantiasa membina penulis selama mengikuti perkuliahan. Terima kasi kepada guru-guru sebagai informan dan rekan-rekan mahasiswa yang telah banyak membantu dan saling memotivasi dari awal perkuliahan sampai penulisan tesis ini.

Melalui kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada orangtua tercinta yang telah membesarkan dengan penuh kasi sayangnya sehingga saya bisa mengenyam pendidikan hingga sekarang ini.

Wassalam

Makassar, 25 Maret 2016 Penulis,

(9)

HALAMAN JUDUL... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

PERNYATAAN KEASLIAN... iv

ABSTRAK... v

ABSTRACT... vi

KATA PENGANTAR... vii

DAFTAR ISI... ix DAFTAR TRANSLITERASI... xi BAB I PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang... 1 B. Rumusan Masalah... 17 C. Tujuan Penelitian ... 18 D. Kegunaan Penelitian ... 18

BAB II KAJIAN PUSTAKA…... 20

A. Tinjauan Penelitian Sebelumnya... 20

B. Kajian Teori dan Konsep... 23

1. Kinerja Guru... 23

2. Kompetensi Guru... 29

3. Sertifikasi Guru... 70

B. Kerangka Pikir... 75

BAB III METODE PENELITIAN………….………. 79

A. Jenis dan Lokasi Penelitian... 79

B. Pendekatan Penelitian... 80

C. Sumber Data ... 82

D. Instrumen Penelitian... 83

E. Metode Pengumpulan Data... 84

(10)

BELUM DI PONDOK PESANTREN AL URWATUL WUTSQA

KECAMATAN BARANTI KABUPATEN SIDRAP... 88

A. Profil MTS Pondok Pesantren Al-Urwatul Wutsqaa Kecamata Baranti Kabupaten Sidrap……… 88

B. Kinerja Guru Pendidikan Agama Islam yang telah Bersertifikat Pendidik di Madrasah Tsanawiah Pondok Pesantren Al Urwatul Wutsqaa Kecamatan Baranti Kabupaten Sidrap……… 92

C. Kinerja Guru PAI yang Belum Bersertifikat Pendidik pada Madrasah Tsanawiah Pondok Pesantren Al Urwatul Wutsqaa Kecamatan Baranti Kabupaten Sidrap……… 101

D. Hasil Kinerja Guru PAI pada Madrasah Tsanawiah Pondok Pesantren Al Urwatul Wutsqaa Kecamatan Baranti Kabupaten Sidrap………... 119

E. Pembahasan ………... 131

BAB V SIMPULAN DAN SARAN... 137

A. Simpulan... 137

B. Saran... 138

DAFTAR PUSTAKA... 140

BIODATA DIRI... 146

(11)

A. Transliterasi Arab-Latin

Daftar huruf bahasa Arab dan transliterasinya ke dalam huruf Latin dapat dilihat pada tabel berikut:

1. Konsonan Huruf

Arabا alifNama tidak dilambangkanHuruf Latin tidak dilambangkanNama

ب Ba B Be

ت Ta T Te

ث s\a s\ es (dengan titik di atas)

ج Jim J Je

ح h}a h} ha (dengan titik di bawah)

خ kha Kh ka dan ha

د dal D De

ذ z\al z\ zet (dengan titik di atas)

ر Ra R R

ز zai Z Zet

س Sin S Es

ش syin Sy es dan ye

ص s}ad s} es (dengan titik di bawah)

ض d}ad d} de (dengan titik di bawah)

ط t}a t} te (dengan titik di bawah)

ظ z}a z} zet (dengan titik di bawah)

ع ‘ain ‘ apostrof terbalik

غ gain G Ge ف Fa F Ef ق qaf Q Qi ك kaf K Ka ل lam L El م mim M Em ن nun N En و wau W We ـه Ha H Ha ء hamzah ’ Apostrof ى Ya Y Ye

(12)

apa pun. Jika ia terletak di tengah atau di akhir, maka ditulis dengan tanda (’). 2. Vokal

Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri atas vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.

Vokal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau harakat, transliterasinya sebagai berikut:

Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara harakat dan huruf, transliterasinya berupa gabungan huruf, yaitu:

Contoh: فَـيْـفَ : kaifa فل يْـفه : haula 3. Maddah

Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harakat dan huruf, transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu:

Contoh:

Nama Huruf Latin Nama Tanda fath}ah a a

اا

kasrah i i

اا

d}ammah u u

اا

Nama Huruf Latin Nama Tanda

fath}ah dan

ya>’ ai a dan i

يْفـ

fath}ah dan wau au a dan u

يْفـ

Nama Harakat dan

Huruf Huruf danTanda Nama

fath}ahdan alif atau ya>’ ف ... | ا ف ... ى d}ammahdan wau

ْــــ

a> u>

a dan garis di atas kasrah dan ya>’ i> i dan garis di atas

u dan garis di atas

(13)

ْـفمفر : rama> فَـيْــِ : qi>la ـت يْــمـفَ : yamu>tu 4. Ta>’ marbu>t}ah

Transliterasi untuk ta>’ marbu>t}ah ada dua, yaitu: ta>’ marbu>t}ah yang hidup atau mendapat harakat fath}ah, kasrah, dan d}ammah, transliterasinya adalah [t]. Sedangkan ta>’ marbu>t}ah yang mati atau mendapat harakat sukun, transliterasinya adalah [h].

Kalau pada kata yang berakhir dengan ta>’ marbu>t}ah diikuti oleh kata yang menggunakan kata sandang al- serta bacaan kedua kata itu terpisah, maka ta>’ marbu>t}ah itu ditransliterasikan dengan ha (h).

Contoh:

ـلافَيطفأا ـُـفَ يو فر : raud}ah al-at}fa>l ـُفَــ ـَافـَـيْفا ـُـفَـيَـِـفمـيْفا : al-madi>nah al-fa>d}ilah ـُــفمـيْـ ـِيـْفا : al-h}ikmah 5. Syaddah (Tasydi>d)

Syaddah atau tasydi>d yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda tasydi>d ( ـــ ), dalam transliterasi ini dilambangkan dengan perulangan huruf (konsonan ganda) yang diberi tanda syaddah.

Contoh: فاَـفــّفر : rabbana> فاَــيْفــّـفَ : najjaina> قّـفِـيـْفا : al-h}aqq فَــــّـَ : nu“ima ووـِـفع : ‘aduwwun

Jika huruf ى ber-tasydid di akhir sebuah kata dan didahului oleh huruf kasrah (ـْــــــ), maka ia ditransliterasi seperti huruf maddah menjadi i>.

Contoh:

وْــَـفع : ‘Ali> (bukan ‘Aliyy atau ‘Aly)

(14)

Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf لا(alif lam ma‘arifah). Dalam pedoman transliterasi ini, kata sandang ditransliterasi seperti biasa, al-, baik ketika ia diikuti oleh huruf syamsiyah maupun huruf qamariyah. Kata sandang tidak mengikuti bunyi huruf langsung yang mengikutinya. Kata sandang ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya dan dihubungkan dengan garis mendatar (-).

Contoh:

ـُـيمـشّْفا : al-syamsu (bukan asy-syamsu) ـُـفـْفَـيـْشَْفا : al-zalzalah (az-zalzalah) ـُفَـفَيَـفَـيـْفا : al-falsafah

ـدفاــــــيـْفا : al-bila>du 7. Hamzah

Aturan transliterasi huruf hamzah menjadi apostrof (’) hanya berlaku bagi hamzah yang terletak di tengah dan akhir kata. Namun, bila hamzah terletak di awal kata, ia tidak dilambangkan, karena dalam tulisan Arab ia berupa alif.

Contoh:

فن يوـرــميْفـت : ta’muru>na ـع يْـشَــْفا : al-nau‘ ءءيْـفَ : syai’un ـت يرــمـُ : umirtu

8. Penulisan Kata Arab yang Lazim Digunakan dalam Bahasa Indonesia

Kata, istilah atau kalimat Arab yang ditransliterasi adalah kata, istilah atau kalimat yang belum dibakukan dalam bahasa Indonesia. Kata, istilah atau kalimat yang sudah lazim dan menjadi bagian dari perbendaharaan bahasa Indonesia, atau sering ditulis dalam tulisan bahasa Indonesia, atau lazim digunakan dalam dunia akademik tertentu, tidak lagi ditulis menurut cara transliterasi di atas. Misalnya, kata al-Qur’an(dari al-Qur’a>n), alhamdulillah, dan munaqasyah. Namun, bila kata-kata tersebut menjadi bagian dari satu rangkaian teks Arab, maka harus ditransliterasi secara utuh. Contoh:

(15)

Kata “Allah”yang didahului partikel seperti huruf jarr dan huruf lainnya atau berkedudukan sebagai mud}a>f ilaih (frasa nominal), ditransliterasi tanpa huruf hamzah.

Contoh:

ـا ـُيـَـد di>nulla>h ـلاـّ billa>h

Adapun ta>’ marbu>t}ah di akhir kata yang disandarkan kepada lafz} al-jala>lah, ditransliterasi dengan huruf [t]. Contoh:

ـا ـُفمـيــح فر يْـِ يَــهhum fi> rah}matilla>h 10. Huruf Kapital

Walau sistem tulisan Arab tidak mengenal huruf kapital (All Caps), dalam transliterasinya huruf-huruf tersebut dikenai ketentuan tentang penggunaan huruf kapital berdasarkan pedoman ejaan Bahasa Indonesia yang berlaku (EYD). Huruf kapital, misalnya, digunakan untuk menuliskan huruf awal nama diri (orang, tempat, bulan) dan huruf pertama pada permulaan kalimat. Bila nama diri didahului oleh kata sandang (al-), maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Jika terletak pada awal kalimat, maka huruf A dari kata sandang tersebut menggunakan huruf kapital (Al-). Ketentuan yang sama juga berlaku untuk huruf awal dari judul referensi yang didahului oleh kata sandang al-, baik ketika ia ditulis dalam teks maupun dalam catatan rujukan (CK, DP, CDK, dan DR). Contoh:

Wa ma> Muh}ammadun illa> rasu>l

Inna awwala baitin wud}i‘a linna>si lallaz\i> bi Bakkata muba>rakan Syahru Ramad}a>n al-laz\i> unzila fi>h al-Qur’a>n

Nas}i>r al-Di>n al-T{u>si> Abu>> Nas}r al-Fara>bi> Al-Gaza>li>

Al-Munqiz\ min al-D}ala>l

Jika nama resmi seseorang menggunakan kata Ibnu (anak dari) dan Abu> (bapak dari) sebagai nama kedua terakhirnya, maka kedua nama terakhir itu harus disebutkan sebagai nama akhir dalam daftar pustaka atau daftar referensi. Contoh:

(16)

B. Daftar Singkatan

Beberapa singkatan yang dibakukan adalah: swt. = subh}a>nahu> wa ta‘a>la> saw. = s}allalla>hu ‘alaihi wa sallam a.s. = ‘alaihi al-sala>m

H = Hijrah

M = Masehi

SM = Sebelum Masehi

l. = Lahir tahun (untuk orang yang masih hidup saja)

w. = Wafat tahun

QS …/…: 4 = QS al-Baqarah/2: 4 atau QS A<li ‘Imra>n/3: 4

HR = Hadis Riwayat

Nas}r H{a>mid Abu> Zai>d, ditulis menjadi: Abu> Zai>d, Nas}r H{a>mid (bukan: Zai>d, Nas}r H{ami>d Abu>)

(17)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Eksistensi pendidikan agama Islam pada satu sisi mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam sistem pendidikan nasional dengan lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Bahkan, dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tersebut pada Bab VI pasal 17 dan 18, disebutkan kedudukan madrasah sama dengan sekolah umum. (Departemen Agama RI, 2007 : 17).

Madrasah sebagai institusi pendidikan tidak dapat mengelak dari kebijaksanaan reformasi pendidikan yang bersifat desentralistik. (Kunandar, 2008 : 104). Kewenangan tugas di bidang pendidikan di lingkungan Kementerian Agama akan dengan sendirinya terlepas dari kewenangan tugas di bidang agama. Manajemen berbasis sekolah dan madrasah di lingkungan madrasah merupakan bentuk pengelolaan pendidikan yang ditandai dengan otonomi yang luas pada tingkat madrasah yang disertai semakin meningkatnya partisipasi masyarakat.

Dewasa ini berbagai cara dilakukan untuk meningkatkan mutu guru yang telah bertugas di sekolah dan madrasah melalui pendidikan dalam jabatan (in-service training). Tujuannya adalah untuk meningkatkan keterampilan mengajar, penguasaan terhadap materi ajar, serta komitmen

(18)

dan motivasi guru dalam melakukan proses pembelajaran. Di antara keseluruhan komponen dalam pembelajaran, guru merupakan komponen organik yang sangat menentukan. Tidak ada kualitas pembelajaran tanpa kualitas guru. Guru merupakan sumber daya manusia yang sangat menentukan keberhasilan pembelajaran.

Guru merupakan unsur pendidikan yang sangat dekat dengan peserta didik dalam upaya pendidikan sehari-hari dan banyak menentukan keberhasilan peserta didik dalam mencapai tujuan. Peranan guru semakin penting dalam era global. Hanya melalui bimbingan yang profesional, setiap peserta didik dapat menjadi sumber daya manusia yang berkualitas, kompetitif, dan produktif sebagai aset nasional dalam menghadapi persaingan yang makin ketat dan berat, sekarang dan di masa yang akan datang. (Ditjen Dikdasmen Depdiknas, 2003 : 7).

Begitu sangat strategisnya kedudukan guru sebagai tenaga profesional, di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, tepatnya Bab III Pasal 7, diamanatkan bahwa profesi guru merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip sebagai berikut: (a) memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme; (b) memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia (c) memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas; (d) memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas; (e) memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan

(19)

tugas keprofesionalan; (f) memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja; (g) memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat; (h) memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan; dan (i) memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru. (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005).

Lebih lanjut di dalam bab dan pasal yang sama juga diamanatkan bahwa pemberdayaan profesi guru diselenggarakan melalui pengembangan diri yang dilakukan secara demokratis, berkeadilan, tidak diskriminatif, dan berkelanjutan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, kemajemukan bangsa, dan kode etik profesi. Pada dasarnya pilihan seseorang untuk menjadi guru adalah “panggilan jiwa” untuk memberikan pengabdian pada sesama manusia dengan mendidik, mengajar, membimbing, dan melatih, yang diwujudkan melalui proses pembelajaran serta pemberian bimbingan dan pengarahan kepada peserta didik agar mencapai kedewasaan masing-masing. (Syaiful Bahri Djamarah, 2002 : 49).

Dalam kenyataannya menjadi guru tidak cukup sekadar untuk memenuhi panggilan jiwa, tetapi juga memerlukan seperangkat keterampilan dan kemampuan khusus dalam bentuk menguasai kompetensi guru, sesuai dengan kualifikasi jenis dan jenjang

(20)

pendidikannya.

Guru merupakan pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada jalur pendidikan formal. (Departemen Agama RI, 2007 : 73). Tugas utama itu akan efektif jika guru memiliki derajat profesional tertentu yang tercermin dari komitmen terhadap kompetensi, kemahiran, kecakapan, atau keterampilan yang memenuhi standar mutu atau norma etik tertentu.

Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan adalah penjabaran dari Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang merupakan dasar hukum penyelenggaraan dan reformasi sistem pendidikan nasional. Undang Undang tersebut memuat visi, misi, fungsi, dan tujuan pendidikan nasional serta strategi pem-bangunan pendidikan nasional, untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu, relevan dengan kebutuhan masyarakat.

Pembaruan sistem pendidikan nasional dilakukan untuk memperbarui visi, misi, dan strategi pembangunan pendidikan nasional. Pendidikan nasional mempunyai visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia agar berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. (Departemen Agama, 2007 : 48).

(21)

Visi tersebut kemudian dijabarkan dalam sejumlah misi pendidikan nasional, yaitu:

a. mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia,

b. meningkatkan mutu pendidikan yang memiliki daya saing di tingkat nasional, regional, dan internasional,

c. meningkatkan relevansi pendidikan dengan kebutuhan masyarakat dan tantangan global,

d. membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar,

e. meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral, f. meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan

sebagai pusat pemberdayaan pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengala-man, sikap, dan nilai berdasarkan standar yang bersifat nasional dan global; dan

g. mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Departemen Agama, 2007 : 48)

Berdasarkan visi dan misi pendidikan nasional tersebut, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan

(22)

kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Pengembangan pendidikan tetap aktual untuk dibicarakan, karena semakin berkembang masalah ini semakin banyak pula tantangan yang harus dihadapi. Masa-lah pendidikan merupakan suatu masalah yang kompleks, karena sangat terkait dengan semua bidang kehidupan lainnya. Muhaimin dalam Syaefuddin menyatakan bahwa pada saat ini pendidikan nasional masih dihadapkan pada permasalahan yang menonjol, yaitu masih rendahnya mutu dan relevansi pendidikan serta masih lemahnya manajemen pendidikan. (Udin Syaefuddin Saud, 2010 : 17).

Rendahnya mutu pendidikan telah memberikan akibat langsung pada rendah-nya mutu sumber daya manusia bangsa Indonesia. Proses untuk melahirkan sumber daya manusia yang bermutu hanya bisa malalui jalur pendidikan dan proses pem-belajaran yang bermutu pula.

Mutu pendidikan ditentukan oleh sistem pendidikan, baik dari segi pengelo-laan maupun proses pendidikan itu sendiri, di arahkan secara efektif untuk mening-katkan nilai tambah dari faktor-faktor input agar menghasilkan output setinggi-tingginya. Faktor input pendidikan terdiri dari: (1) peserta didik, (2) tenaga kepen-didikan termasuk guru, anggaran, kurikulum, sarana prasarana dan administrasi, (3) lingkungan yang meliputi faktor sosial ekonomi, politik, dan keamanan. (Ace Suryadi & Wiana Mulyana, 1992 : 49).

(23)

Peningkatan mutu pendidikan ditentukan oleh seberapa jauh para pelaku pendidikan melaksanakan tugas dan tanggung jawab mengelola pendidikan. Brandt dalam Supriadi menyatakan, guru merupakan kunci dalam peningkatan mutu pendi-dikan, mereka berada di titik sentral dari setiap usaha reformasi pendidikan yang di-arahkan pada perubahan-perubahan kualitatif. Setiap usaha peningkatan mutu pen-didikan seperti pembaruan kurikulum, pengembangan metode mengajar, penyediaan saran dan prasarana hanya akan berarti apabila melibatkan guru. (Ace Suryadi & Wiana Mulyana, 1992 : 49).

Guru sebagai unsur utama pada keseluruhan proses pendidikan, terutama di tingkat institusional dan instruksional. Keberadaan guru dan kesiapannya menjalankan tugas sebagai pendidik sangat menentukan bagi terselenggaranya suatu proses pendidikan. Dengan kurikulum serta sarana dan prasarana yang baik, tidak mungkin bisa diwujudkan pendidikan yang berkualitas tanpa ditunjang oleh kehadiran guru, dan tentu saja tipe guru yang dimaksudkan di sini, adalah yang profesional, yakni guru yang memiliki profesionalisme tinggi dan dapat diandalkan untuk mengawal kemajuan pendidikan yang berkualitas.

Keberadaan guru profesional memiliki peran yang sangat strategis sehingga setiap guru harus secara terus-menerus meningkatkan profesionalismenya. Dalam pada itu, sesungguhnya banyak hal bisa dan sudah dilakukan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan profesionalisme guru. Upaya strategis yang sudah dan

(24)

sedang dilakukan pemerintah adalah sertifikasi guru, yaitu proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru. Sertifikat pendidik adalah bukti formal pengakuan yang diberikan kepada guru sebagai jabatan profesional.

Sertifikasi guru merupakan langkah utama kebijakan peningkatan kualitas pendidikan, dan program sertifikasi ini sementara berjalan dengan tujuan agar ada peningkatan profesionalisme guru dalam proses pembelajaran dan pendidikan. Namun permasalahannya adalah apakah ada peningkatan yang signifikan terhadap kemampuan profesional guru setelah adanya sertifikasi guru.

Permasalahan selanjutnya adalah patut dipertanyakan adalah apakah sertifikasi akan secara otomatis meningkatkan kualitas kompetensi guru, dan kemudian akan meningkatkan mutu pendidikan, adakah jaminan bahwa dengan memiliki sertifikasi dan dengan tunjangan yang diterimanya, guru akan lebih bermutu. Ini menjadi penting untuk didiskusikan karena bukti-bukti hasil sertifikasi dalam kaitan dengan peningkatan mutu guru bervariasi, sementara ada kebijakan untuk intervensi langsung meningkatkan kualitas kompetensi guru lewat kebijakan keharusan guru memiliki kualifikasi Strata 1 atau D4, dan memiliki sertifikat profesi. Dengan sertifikat profesi ini pula, maka guru bersertifikasi berhak mendapatkan tunjangan profesi sebesar 1 bulan gaji pokok guru, karena undang-undang telah menetapkan berbagai tunjangan yang berhak diterima guru sebagai

(25)

upaya peningkatan kesejahteraan finansial guru bersertifikasi. Tunjangan tersebut pada intinya adalah meningkatkan kualitas kompetensi guru seiring dengan peningkatkan kesejahteraan mereka. (Persatuan Guru Republik Indonesia, 2006 : 10).

Dalam masalah kompetensi guru, juga menimbulkan persoalan mendasar karena sudah menjadi ketetapan bahwa guru yang professional harus memiliki kompetensi, meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial, (Persatuan Guru Republik Indonesia, 2006 : 10). sementara itu dipersepsikan bahwa tidak semua guru yang bersertifikasi memenuhi semua komponen kompetensi tersebut, sehingga menarik dijadikan bahan penelitian. Dalam hal ini, kompetensi pedagogik, adalah kemampuan guru mengelola pembelajaran. Kompetensi kepribadian, adalah kemampuan yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. Kompetensi profesional, adalah kemampuan guru dalam penguasaan materi pembelajaran. Kompetensi sosial, adalah kemampuan guru berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dengan peserta didik. (Departemen Agama RI, 2007 : 121).

Dalam pada itu untuk dapat menetapkan bahwa seorang guru sudah memenuhi standard profesional maka yang bersangkutan harus mengikuti uji sertifikasi. Ada dua macam pelaksanaan uji sertifikasi. Pertama, sebagai bagian dari pendidikan profesi, bagi mereka calon

(26)

pendidik, dan kedua berdiri sendiri untuk mereka yang saat disahkannya Undang-undang RI Nomor 14 Tahun 2005 sudah berstatus pendidik. Bila guru telah dinyatakan lulus dalam ujian ini, yakni pendidikan dan pelatihan profesi guru, maka berhak mendapat sertifikat pendidik. Namun permasalahannya kemudian adalah apa yang harus mereka dilakukan, kerana menyimak dari pengalaman pelaksanaan sertifikasi, akan muncul pertanyaan tentang bagaimana agar sertifikasi bisa meningkatkan kualitas kompetensi guru, dan apabila gagal, mengapa sertifikasi gagal meningkatkan kualitas guru. Pertanyaan seperti ini tentu memerlukan jawaban yang akurat, dan tentu bisa dijawab setelah ditemukan berbagai fakta dan data di lapangan kemudian dianalisis secara akurat. (Departemen Agama RI, 2007 : 123).

Pada kenyataannya pula bahwa sertifikasi guru dalam bentuk penilaian dengan menggunakan portofolio, kelihatannya menimbulkan polemik baru. Penulis menyangsikan keefektifan pelaksanaan sertifikasi dalam rangka meningkatkan kinerja guru. Bahkan dalam hipotesis penulis bahwa sertifikasi dalam bentuk penilaian portofolio tidak akan berdampak sama sekali terhadap peningkatan kinerja guru, apalagi dikaitkan dengan peningkatan mutu pendidikan nasional. Ini merupakan problematika tersendiri yang menjadi keprihatinan banyak pihak namun dapat dimaklumi. Hal ini dikarenakan pelaksanaan sertifikasi dalam bentuk penilaian portofolio tidak lebih dari penilaian terhadap tumpukan

(27)

kertas. Kelayakan profesi guru dinilai berdasarkan tumpukan kertas yang mampu dikumpulkan. Padahal untuk membuat tumpukan kertas itu pada zaman sekarang amatlah mudah. Tidak mengherankan jika kemudian ada beberapa kepala sekolah yang menyetting berkas portofolio guru di sekolahnya tidak mencapai batas angka kelulusan. (Muhaimin, 2002 : 35). Mereka berharap guru-guru tersebut dapat mengikuti diklat sertifikasi. Dengan mengikuti diklat sertifikasi, maka akan banyak ilmu baru yang akan didapatkan secara cuma-cuma. Pada gilirannya, ilmu yang mereka dapatkan di diklat sertifikasi akan diterapkan di sekolah atau di kelas.

Berkenaan dengan itulah, penulis merumuskan hipotesis bahwa pelaksanaan sertifikasi dalam bentuk penilaian portofolio tidak selamanya akan berpengaruh terhadap peningkatan mutu pendidikan nasional, dan menjadi kenyataan bila dibandingkan dengan pelaksanaan sertifikasi di beberapa negara maju, khusunya dalam bidang pendidikan. Hasil studi Educational Training Service (ETS) yang dilakukan di delapan negara menunjukkan bahwa pola-pola pembinaan profsesionalisme guru di negara-negara tersebut dilakukan dengan sangat ketat. (Samami dkk, 2006 : 34). Sebagai contoh, Amerika Serikat dan Inggris yang menerapkan sertifikasi secara ketat bagi calon guru yang baru lulus dari perguruan tinggi. Di kedua negara tersebut, setiap orang yang ingin menjadi guru harus mengikuti ujian untuk memperoleh lisensi mengajar. Ujian untuk memperoleh lisensi tersebut

(28)

terdiri dari tiga praksis, yaitu tes keterampilan akademik yang dikenakan pada saat seseorang masuk program penyiapan guru, penilaian terhadap penguasaan materi ajar yang diterapkan pada saat yang bersangkutan mengikuti ujian lisensi, dan penilaian performance di kelas yang diterapkan pada tahun pertama mengajar. Mereka yang memiliki lisensi mengajarlah yang berhak menjadi guru. Dengan demikian yang perlu disadari adalah bahwa guru merupakan subsistem pendidikan yang dengan adanya sertifikasi, diharapkan kinerja guru sebagai agen pembelajaran akan meningkat sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. (Samami dkk, 2006 : 34).

Dengan kompetensi guru yang memenuhi standar minimal dan kesejahteraan yang memadai diharapkan kinerja guru dalam mengelola proses pembelajaran dapat meningkat. Kualitas pembelajaran yang meningkat diharapkan akan bermuara akhir pada terjadinya peningkatan prestasi hasil belajar peserta didik, sehingga kualitas dan mutu pendidikan dapat terwujud. Di sinilah pentingnya kompetensi guru sehingga benar-benar menjadi professional di bidangnya, dan untuk pencapaian itu maka sertifikasi merupakan sarana atau instrumen untuk meningkatkan kualitas profesionalisme guru. Sertifikasi bukan tujuan, melainkan sarana untuk mencapai suatu tujuan, yakni keberadaan profesionalisme guru yang berkualitas. Kegagalan dalam mencapai tujuan ini, terutama dikarenakan menjadikan sertifikasi sebagai tujuan itu sendiri. Dalam pada itu, maka bagi bangsa dan pemerintah

(29)

Indonesia harus senantiasa mewaspadai kecenderungan ini, bahwa jangan sampai sertifikasi menjadi tujuan. Oleh karenanya, semenjak awal harus ditekankan khususnya di kalangan guru bahwa tujuan utama adalah kualitas, sedangkan kualifikasi dan sertifikasi merupakan sarana untuk mencapai kualitas tersebut.

Sejalan dengan pembahasan yang telah dikemukakan, maka penulis belum menemukan pengaruh yang signifikan dalam sertifikasi guru, namun di sisi lain tetap memiliki peran sebagai jembatan untuk menuju pada perwujudan profesionalisme guru. Dikatakan bahwa sertifikasi tidak memiliki pengaruh signifikan, karena di antara sekian guru yang belum bersertifikasi ternyata dianggap memiliki kompetensi, dan dapat dianggap sebagai guru professional. Asumsi ini sebagai hipotesa penulis sesuai hasil survey awal terhadap sejumlah guru pendidikan agama Islam (Guru PAI) di MTs Pondok Pesantren Al-Urwatul Wutsqaa Kecamatan Baranti Kab. Sidrap.

Pada survey itu juga penulis menemukan data bahwa di antara guru yang telah mendapat sertifikat belum memenuhi kriteria sebagai guru yang bersertifikasi, padahal sesuai yang dimanahkan undang-undang bahwa guru bersertifikat harus memiliki mutu dan kualitas yang tinggi dan profesionalisme di bidangnya, terutama terhadap penguasaan mata pelajaran yang diajarkannya. Dengan profesionalisme yang demikian, maka guru tersebut diberi tunjangan fungsional yang tinggi sehingga mampu berkehidupan secara layak,

(30)

serta memiliki kemapanan dari segi ekonomi. Dari segi ini, menimbulkan juga permasalahan karena ditemukan data di lapangan bahwa karena guru yang bersertifikat telah cukup dalam bidang ekonomi, maka sebagian mereka membeli kendaraan berupa mobil dengan cara mencicil (kredit), namun dalam beberapa bulan berikutnya yang bersangkutan tidak mampu membayar cicilan tersebut. Data dan fakta ini, termasuk problematika yang perlu dicermati lebih lanjut di lapangan.

Dengan demikian, menarik untuk dipermasalahkan dan dirumuskan identifikasi masalah penelitian tentang apa yang dimaksud profesionalisme guru, apa yang menjadi kriteria utama bagi profesionalisme guru, upaya apa yang dilakukan telah dan sedang dilakukan pemerintah dalam mewujudkan profesionalisme guru, benarkah bahwa uji sertifikasi merupakan prasyarat yang harus dilalui bagi guru yang profesional.

Oleh karena sebagaimana yang telah diasumsikan bahwa guru PAI di MTs Pondok Pesantren Al-Urwatul Wutsqaa Benteng Kecamatan Baranti Kabupaten Sidenreng Rappang yang belum ber-sertifikasi sebagiannya dianggap memiliki kecakapan profesionalisme dan karena berdasarkan data awal yang ditemukan sebagian mereka masih dianggap belum memiliki profesionalisme, maka sebagai identifikasi masalahnya adalah benarkah bahwa guru PAI tersebut pada MTs Pondok Pesantren Al-Urwatul Wutsqaa Benteng Kecamatan Baranti

(31)

Kabupaten Sidenreng Rappang benar-benar belum memiliki profesionalisme di bidangnya sebelum mengikuti sertifikasi guru sementara secara formal belum mengikuti ujian sertifikasi, apa yang menyebabkan mereka belum mengikuti program sertifikasi, kendala apa yang mereka hadapi dan bagaimana peluangnya untuk bersertifikat. Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah MTs Pondok Pesantren Al-Urwatul Wutsqaa Benteng Kecamatan Baranti Kabupaten Sidenreng Rappang yang telah bersertifikat benar-benar sudah tergolong guru yang profesional, bagaimana perbedaan antara guru yang bersertifikat pendidik dengan guru yang belum bersertifikat pendidik mengikuti program sertifikasi. Pertanyaan ini dan sejumlah persoalan lainnya yang akan dikemukakan, menjadi latar belakang pentingnya mengkaji profesionalisme guru pendidikan agama Islam bersertifikat pendidik dan yang belum bersertifikat pendidik di MTs Pondok Pesantren Al-Urwatul Wutsqaa Benteng Kecamatan Baranti Kabupaten Sidenreng Rappang. B. Rumusan Masalah

Berdasar latar belakang masalah dan identifikasi masalah yang telah dikemukakan, maka lahirlah masalah pokok yang menjadi fokus kajian dalam penelitian ini, yakni bagaimana kinerja guru PAI yang telah lulus sertifikasi dengan yang belum tersertifikasi pada MTs Pondok Pesantren Al-Urwatul Wutsqaa Benteng Kecamatan Baranti Kabupaten Sidenreng Rappang, agar penelitian ini menjadi lebih terarah dan

(32)

tersistematis, maka masalah pokok yang telah dirumuskan dikembangkan menjadi tiga sub masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kinerja guru PAI yang telah bersetifikat pendidik di MTs Pondok Pesantren Al-Urwatul Wutsqaa Benteng Kecamatan Baranti Kabupaten Sidenreng Rappang?

2. Bagaimana kinerja guru PAI yang belum bersertifikat pendidik di MTs Pondok Pesantren Al-Urwatul Wutsqaa Kecamatan Baranti Kabupaten Sidenreng Rappang?

3. Bagaimana Hasil Kinerja guru PAI yang di MTs Pondok Pesantren Al-Urwatul Wutsqaa Kecamatan Baranti Kabupaten Sidenreng Rappang?

C. Tujuan Penelitian 1.Tujuan penelitian

a. Untuk mendeskipsikan kinerja guru PAI yang telah bersertifikat di MTs Pondok Pesantren Al-Urwatul Wutsqaa Benteng Kecamatan Baranti Kabupaten Sidenreng Rappang.

b. Untuk menjelaskan secara akurat Kinerja guru PAI yang belum bersertifikat di MTs Pondok Pesantren Al-Urwatul Wutsqaa Benteng Kecamatan Baranti Kabupaten Sidenreng Rappang. c. Untuk merumuskan hasil kinerja guru PAI di MTs Pondok

Pesantren Al-Urwatul Wutsqaa Benteng Kecamatan Baranti Kabupaten Sidenreng Rappang.

(33)

D. Kegunaan penelitian 1. Kegunaan ilmiah yaitu:

a. Diharapkan dapat menjadi sumber referensi bagi para guru yang ingin mengetahui pentingnya Kinerja guru dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.

b. Sebagai masukan kepada pemerintah dan kepala sekolah, serta stake holder’s lainnya sehingga guru-guru baik yang telah disertifikasi maupun yang belum dapat selalu kreatif, dan inovatif dalam menjalankan tugas.

2. Kegunaan praktis yaitu;

a. Diharapkan dapat memotivasi dan menjadi masukan bagi para guru bersertifikasi dan yang belum bersertifikasi dalam menjalankan tugasnya sebagai tenaga pendidik yang professional di MTs Pondok Pesantren Al-Urwatul Wutsqaa Benteng Kecamatan Baranti Kabupaten Sidenreng Rappang b. Dapat menjadi masukan bagi pimpinan dan staf dalam

pengelolaan pendidikan di di MTs Pondok Pesantren Al-Urwatul Wutsqaa Benteng Kecamatan Baranti Kabupaten Sidenreng Rappang.

(34)

TINJAUAN TEORETIS

A. Tinjauan Penelitian Sebelumnya

Berdasarkan pengamatan dan penelusuran penulis terhadap berbagai literature pustaka, ditemukan berbagai hasil penelitian lapangan (filed research) dan penelitian pustaka (library research) berupa buku atau karya ilmiah lainnya yang mempunyai relevansi dengan penelitian penulis. Hasil penelitian tersebut minimal lima karya ilmiah yang bisa dijadikan sebagai pembanding sebagai berikut:

1. Hasil penelitian telah dilakukan oleh lembaga United Nation Development Program (UNDP), Pengaruh Sertifikasi Terhadap Kinerja Guru di Indonesia, tahun 2007, yang menyimpulkan bahwa mutu pendidikan di Indonesia masih rendah ketimbang negara-negara tetangga di ASEAN. Ini disebabkan rendahnya profesionalitas guru di Indonesia dapat dilihat dari kelayakan guru mengajar. Guru-guru yang layak mengajar untuk tingkat SD baik negeri maupun swasta ternyata hanya 28,94%. Guru SMP negeri 54,12%, swasta 60,99%, guru SMA negeri 65,29%, swasta 64,73%, guru SMK negeri 55,91 %, swasta 58,26 %. (United Nation Development Programe, 2015 : 12). Kesimpulan tersebut menjadi acuan bagi penulis untuk memberikan informasi dalam mengatasi permasalahan rendahnya kualitas guru ini, adalah dengan mengadakan sertifikasi. Dengan adanya sertifikasi, pemerintah berharap kinerja guru akan meningkat

(35)

dan pada gilirannya mutu pendidikan nasional akan meningkat pula. Untuk itulah maka tesis ini akan membandingkan bagaimana kinerja guru yang bersertifikasi dan yang belum bersertifikasi.

2. Disertasi Hj. Yuspiani, Pengaruh Komitmen Profesi terhadap Kompetensi Profesional Guru pada Madrasah Tsanawiyah di Kota Makassar yang menyimpulkan bahwa profesionalisme guru madrasah di kota Makassar dalam keadaan sedang, ini berarti guru madrasah tsanawiyah dalam mengenali profesi, keterikatan dan keterlibatan, rasa memiliki, kesetiaan, dan kebanggaan terhadap profesi berada pada kategori sedang, kompetensi profisional guru madrasah tsanawiyah di kota Makassar pada umumnya berada pada kategori sedang artinya guru madrasah tsanawiyah dalam hal penguasaan materi, stuktur, konsep dan pola keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu, penguasaan standar kompetensi dan kompetensi dasar pengembangan materi pembelajaran yang diampu secara kreatif.

3. Tesis yang ditulis Fahruddin, Pengaruh Profesionalisme Guru terhadap Peningkatan Prestasi Belajar Peserta didik MAN Suli Kabupaten Luwu, yang menyimpulkan bahwa profesionalisme guru memiliki pengaruh signifikan terhadapat peningkatan kualitas terhadap dirinya, dan terhadap orang lain terutama peserta didik-peserta didik yang diajarnya seperti yang terjadi di MAN Suli Kabupaten Luwu. Indikatornya adalah, sebelum adanya sertifikasi

(36)

angka peserta didik dalam buku rapor masih tergolong rendah, namun setelah adanya sertifikasi maka angka atau nilai-nilai yang diperoleh peserta didik tergolong tinggi, rata-rata angka delapan, dan hal ini telah memenuhi standar kelulusan peserta didik dalam ujian nasional.

4. Tesis yang ditulis Saharuddin berjudul, Konsep Profesionalisme Guru dalam Perspektif Pendidikan Islam: Studi Peningkatan Mutu Guru MTs. Muhammadiyah Tallo Makassar, yang kesimpulannya sama dengan tesis yang disebutkan sebelumnya, yakni bahwa profesionalisme guru memiliki pengaruh signifikan. Tesis ini dan sebelumnya meneliti tentang profesionalisme guru sebagaimana yang penulis teliti, namun skop dan area penelitian tesis tersebut tergolong sempit karena di madrasah. Untuk kelayakan akademik setingkat S3 dengan penelitian berupa tesis maka tentu saja skopnya harus lebih luas, sehingga penulis memilih satu area wilayah kecamatan, yakni Kecamatan Watang Sawitto Kabupaten Sidrap, pada wilayah tersebut terdapat beberapa sekolah dan madrasah yang dijadikan area penelitian.

5. Selain tesis dalam bentuk penelitian lapangan, ditemukan pula tesis yang penelitiannya fokus pada kajian pustaka seperti yang ditulis oleh Ummi Kalsum tahun 2007 berjudul Konsep Profesionalisme Guru Dalam Perspektif Pendidikan Islam. Tesis ini menekankan pada profesionalisme guru yaitu seperangkat kemampuan yang beraneka

(37)

ragam atau kemampuan yang menuntut adanya keterampilan berdasarkan konsep dan teori ilmu pengetahuan yang mendalam dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai guru, profesionalisme menurut Ummi Kalsum harus mempunyai kemampuan yang terlatih dan terdidik yang dibarengi pengalaman yang banyak di bidangnya.

6. Ditemukan beberapa hasil penelitian yang sudah di bukuhkan yang membahas profesionalisme guru yang dapat mendukung penelitian penulis antara lain Moh. Uzer Usman dengan judul Menjadi Guru Profesional. Buku ini membahas tentang tugas guru, peranan dan kompetensi guru dalam proses belajar mengajar. (Muh. Uzer Usman, 2009 : 53).

B. Kajian Teori dan Konsep

Untuk memperoleh pemahaman yang jelas terhadap teori dan konsep pembahasan dalam kajian ini, serta menghindari kesalah pahaman dalam menginterpretasikan judul penelitian yang dilakukan, maka yang perlu dikemukakan definisi operasional judul dan ruang lingkup penelitiannya.

1. Kinerja Guru

Kinerja Guru menurut Abd Rahman Getteng yaitu prilaku rasional guna mencapai tujuan yang dipersyaratkan sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Dengan demikian, profesional dan kompetensi ditujukan oleh penampilan atau unjuk kerja yang dapat

(38)

dipertanggungjawabkan secara rasional dalam upaya mencapai tujuan. (Abd. Rahman Getteng, 2011 : 29).

Menurut Spencer and Spencer bahwa kinerja adalah kemampuan sebagai karakteristik yang menonjol dari seorang individu yang berhubungan dengan kerja efektif atau superior dalam suatu pekerjaan atau situasi. Ia menambahkan bahwa profesionalisme merupakan hal yang menonjol bagi seseorang dalam mengindikasikan cara-cara dan prilaku atau berpikir, dalam segala situasi dan berlangsung terus dalam periode waktu yang lama. Dari pendapat tersebut dapat dipahami bahwa profesionalisme merujuk pada kerja seseorang dalam suatu pekerjaan yang bisa dilihat dari pikiran, sikap, dan prilakunya. Kinerja Guru adalah pendidik yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang pendidikan sehingga ia mampu melakukan tugas, peran dan fungsinya sebagai pendidik dengan kemampuan yang maksimal. (Mukhtar, 2003: 86).

Kinerja guru adalah orang yang mampu melaksanakan tugas jabatannya secara maksimal, baik secara konseptual maupun aplikatif. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa guru yang profesional adalah guru yang memiliki kemampuan yang maksimal dalam melaksanakan tugas jabatan guru. Adapun profesional pada umumnya adalah orang yang mendapat upah atau gaji dari apa yang dikerjakan, baik dikerjakan secara sempurna maupun tidak. Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan profesional adalah guru. Pekerjaan profesional ditunjang oleh

(39)

penguasaan suatu ilmu tertentu secara mendalam yang hanya mungkin diperoleh dari lembaga-lembaga pendidikan yang sesuai sehingga kinerjanya didasarkan kepada keilmuan yang dimilikinya yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Seorang guru perlu memiliki kemampuan khusus, kemampuan yang tidak mungkin dimiliki oleh orang yang bukan guru dan tidak melalui pendidikan keguruan.

Abuddin Nata mengemukakan kinerja guru adalah istilah-istilah yang berkaitan dengan penamaan atas aktivitas mendidik dan mengajar. Ia lalu menyimpulkan bahwa keseluruhan istilah-istilah tersebut terhimpun dalam kata pendidik.( Abuddin Nata, 2007 : 61) Hal ini disebabkan karena keseluruh istilah itu mengacu kepada seseorang yang memberikan pengetahuan, keterampilan, atau pengalaman kepada orang lain.

Sedangkan istilah guru dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar. Pengertian ini memberi kesan bahwa guru adalah orang yang melakukan kegiatan dalam bidang mengajar. Istilah guru sinonim dengan kata pengajar dan sering dibedakan dengan istilah pendidik. Perbedaan ini dalam pandangan Muh. Said dalam Abidin Ibnu Rusn dipengaruhi oleh kebiasaan berpikir orang Barat, khususnya orang Belanda yang membedakan kata onderwijs (pengajaran) dengan kata opveoding (pendidikan). Pandangan ini diikuti oleh tokoh-tokoh pendidikan di dunia Timur, termasuk tokoh-tokoh pendidikan di kalangan muslim. Adapun

(40)

guru PAI di maksudkan adalah pendidik yang melakukan pembelajaran pendidikan agama Islam baik pada tingkat dasar maupun menengah. Dalam pengertian lain, kinerja guru PAI adalah suatu pekerjaan tertentu yang memerlukan pendidikan, keahlian, keterampilan, kejujuran dan memiliki kepandaian untuk melaksanakan pendidikan agama Islam, yang dapat dipertanggungjawabkan baik secara akademik, profesi dan pedagogik. Guru yang memikili kinerja adalah guru yang memiliki profesi, yang mampu menjelaskan sesuatu secara rinci dan tuntas. (Ahmad Tafsir, 2005 : 207).

Selanjutnya, guru menurut Zahara Idris dan Lisma Jamal dalam Muhamad Idris adalah orang dewasa yang bertanggung jawab memberikan bimbingan kepada peserta didik dalam hal perkembangan jasmani dan ruhaniah untuk mencapai tingkat kedewasaan, memenuhi tugasnya sebagai makhluk Tuhan, makhluk individu yang mandiri, dan makhluk sosial. (Muhamad Idris, 2008 : 49)

Guru adalah suatu sebutan bagi jabatan, posisi, dan profesi bagi seseorang yang mengabdikan dirinya dalam bidang pendidikan melalui interaksi edukatif secara terpola, formal, dan sistematis. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen pada bab I pasal 1 dinyatakan bahwa:

Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. (Redaksi Sinar Grafika, Undang-undang Guru dan Dosen , 2009 : 3)

(41)

Guru yang profesional akan tercermin dalam penampilan dan pelaksanaan pengabdian tugas-tugasnya yang ditandai dengan keahlian, baik dalam penguasaan materi maupun metode. Di samping keahliannya, sosok guru profesional ditunjukkan melalui tanggung jawabnya dalam melaksanakan seluruh pengabdiannya. Guru profe-sional hendaknya mampu memikul dan melaksanakan tanggung jawabnya sebagai guru kepada peserta didik, orang tua, masyarakat, bangsa, negara, dan agamanya.

Sebagai pengajar atau pendidik, guru merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan setiap upaya pendidikan. Itulah sebabnya setiap adanya inovasi pendidikan, khususnya dalam kurikulum dan peningkatan sumber daya manusia yang dihasilkan dari upaya pendidikan, selalu bermuara pada faktor guru. Hal ini menunjukkan bahwa betapa eksisnya peran guru dalam dunia pendidikan. Guru menjadi faktor yang menentukan mutu pendidikan karena guru berhadapan langsung dengan para peserta didik dalam proses pembelajaran di kelas. Di tangan guru, mutu dan kepribadian peserta didik dibentuk. Karena itu, perlu sosok guru kompeten, bertanggung jawab, terampil, dan berdedikasi tinggi dalam mengimplementasikan kurikulum sehingga guru dapat diilustrasikan sebagai kurikulum berjalan. Bagaimanapun baiknya kurikulum dan sistem pendidikan yang ada tanpa didukung oleh kemampuan guru, semuanya akan sia-sia. Guru berkompeten dan bertanggung jawab, utamanya dalam mengawal perkembangan peserta didik sampai ke suatu titik maksimal.

(42)

Tujuan akhir seluruh proses pendampingan guru adalah tumbuhnya pribadi dewasa yang utuh.

Seiring dengan kemajuan teknologi informasi yang begitu pesat, guru tidak lagi sekedar bertindak sebagai penyaji informasi. Guru juga harus mampu bertindak sebagai fasilitator, motivator, dan pembimbing yang lebih banyak memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mencari dan mengolah sendiri informasi. Dengan demikian, guru juga harus senantiasa meningkatkan keahliannya dan senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga ia mampu menghadapi berbagai tantangan.

Perkembangan dunia pendidikan yang sejalan dengan kemajuan teknologi dan globalisasi yang begitu cepat perlu diimbangi oleh kemampuan pelaku utama pendidikan, dalam hal ini guru. Sebagian guru dalam menghadapi perubahan yang cepat dalam pendidikan dapat membawa dampak kecemasan dan ketakutan bagi mereka. Perubahan dan pembaruan pada umumnya membawa banyak kecemasan dan ketidaknyamanan. Implikasi perubahan dalam dunia pendidikan, bukan perkara mudah, karena mengandung konsekwensi teknis dan praksis, serta psikologis bagi guru. Misalnya, perubahan kurikulum atau perubahan kebijakan pendidikan. Perubahan itu tidak sekedar perubahan struktur dan isi kurikulum. Atau sekedar perubahan isi pembelajaran, tetapi perubahan yang menuntut perubahan sikap dan perilaku dari para guru. Misalnya, perubahan karakter, mental, metode, dan strategi dalam pembelajaran.

(43)

2. Kompetensi Guru

Guru dalam menjalankan tugas profesionalnya mempunyai tugas dan tanggung jawab yang tidak ringan. Untuk itu, guru harus memiliki dan menguasai kompetensinya dan sekaligus mengetahui hak dan kewajibannya sehingga ia menjadi sosok guru yang betul-betul profesional. Profesionalisme guru adalah kemampuan guru untuk melakukan tugas pokoknya sebagai pendidik dan pengajar meliputi kemampuan merencanakan, melakukan, dan melaksanakan evaluasi pembelajaran. Pada prinsipnya setiap guru harus disupervisi secara periodik dalam melaksanakan tugasnya. Jika jumlah guru cukup banyak, maka kepala sekolah dapat meminta bantuan wakilnya atau guru senior untuk melakukan supervisi. Keberhasilan kepala sekolah sebagai supervisor antara lain dapat ditunjukkan oleh meningkatnya kinerja guru yang ditandai dengan kesadaran dan keterampilan melaksanakan tugas secara bertanggung jawab.( J. Milten Cowan, 2011: 21).

Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan dalam menunjang kebutuhan hidupnya. Pekerjaan tersebut memerlukan keahlian, kemahiran atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi. Dari pengertian di atas, seorang guru yang profesional harus memenuhi empat kompetensi guru yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yaitu:

(44)

a. Kompetensi pedagogik, yaitu kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang meliputi:

1) Konsep, struktur, dan metoda keilmuan/teknologi/seni yang menaungi/koheren dengan materi ajar;

2) Materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah; 3) Hubungan konsep antar mata pelajaran terkait;

4) Penerapan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari; dan

5) Kompetisi secara profesional dalam konteks global dengan tetap melestarikan nilai dan budaya nasional.

b. Kompetensi kepribadian, yaitu kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, bijaksana, berwibawa, berakhlak mulia, dan menjadi teladan bagi peserta didik serta masyarakat.

c. Kompetensi profesional, yaitu kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang meliputi:

1) Konsep, struktur, dan metoda keilmuan/teknologi/seni yang menaungi/koheren dengan materi ajar;

2) Materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah; 3) Hubungan konsep antarmata pelajaran terkait;

4) Penerapan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari; dan

5) Kompetisi secara profesional dalam konteks global dengan tetap melestarikan nilai dan budaya nasional.

(45)

d. Kompetensi sosial yaitu kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk:

1) Berkomunikasi lisan dan tulisan;

2) Menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional; 3) Bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik,

tenaga kependidikan, dan orangtua/wali peserta didik;

4) Bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar. (M. Ngalim Purwanto, 2004 : 16)

Tugas guru dalam proses pembelajaran dapat dikelompokkan ke dalam tiga kegiatan yaitu, pertama, menyusun program pengajaran seperti program tahunan pelaksanaan kurikulum, program semester/catur wulan, program satuan pengajaran, kedua, menyajikan/melaksanakan pengajaran seperti menyampaikan materi, menggunakan metode mengajar, menggunakan media/sumber, mengelola kelas/ mengelola interaksi belajar mengajar, ketiga, melaksanakan evaluasi belajar: menganalisis hasil evaluasi belajar, melaporkan hasil evaluasi belajar, dan melaksanakan program perbaikan dan pengayaan. (Muchtar Effendi, 2006 : 75.)

Secara umum, baik sebagai pekerjaan maupun sebagai profesi guru selalu disebut sebagai salah satu komponen utama pendidikan yang amat penting. Guru, peserta didik, dan kurikulum merupakan tiga komponen utama dalam sistem pendidikan nasional. Ketiga komponen pendidikan itu merupakan condition sine quanon atau syarat mutlak dalam

(46)

proses pendidikan di sekolah.

Melalui mediator guru atau pendidik, peserta didik dapat memperoleh menu sajian bahan ajar yang diolah dalam kurikulum nasional ataupun dalam kurikulum muatan lokal. Guru adalah seseorang yang memiliki tugas sebagai fasilitator agar peserta didik dapat belajar atau mengembangkan potensi dasar dan kemampuannya secara optimal, melalui lembaga pendidikan di sekolah, baik yang didirikan oleh pemerintah maupun masyarakat atau swasta. (Suyanto, 2009 :13) Dengan demikian, dalam pandangan umum pendidik tidak hanya dikenal sebagai guru, pengajar, pelatih, dan pembimbing.

Tuntutan meningkatkan kualitas guru yang profesional sedang hangat dibicarakan dan diupayakan oleh pemerintah sekarang ini. Tugas seorang guru profesional meliputi tiga bidang utama, yaitu:

1) dalam bidang profesi;

2) dalam bidang kemanusiaan; dan

3) dalam bidang kemasyarakatan.(Suyanto, 2009 :13)

Guru profesional bukan lagi merupakan sosok yang berfungsi sebagai robot, melainkan dinamisator yang mengantar potensi-potensi peserta didik ke arah kreativitas.

Secara lebih detail, ada beberapa ciri-ciri profesionalisme guru. Rebore dalam Kunandar mengemukakan bahwa karakteristik profesionalisme guru bisa ditinjau dari enam komponen, yaitu: (1) pemahaman dan penerimaan dalam melaksanakan tugas, (2) kemauan

(47)

melakukan kerjasama secara efektif dengan peserta didik, guru, orang tua peserta didik, dan masyarakat, (3) kemampuan mengembangkan visi dan pertumbuhan jabatan secara terus menerus, (4) mengutamakan pelayanan dalam tugas, (5) mengarahkan, menekan, dan menumbuhkan pola perilaku peserta didik, serta (6) melaksanakan kode etik jabatan. (Asrorun Ni’am Sholeh, 2006 : 59).

Di sisi lain, Glickman dalam Bafadal memberikan ciri profesionalisme guru dari dua sisi, yaitu kemampuan berpikir abstrak (abstraction) dan komitmen (commitment) guru. Guru yang profesional memiliki tingkat berpikir abstrak yang tinggi, yaitu mampu merumuskan konsep, menangkap, mengidentifikasi, dan memecahkan berbagai macam persoalan yang dihadapi dalam tugas, dan juga memiliki komitmen yang tinggi dalam melaksanakan tugas. Dengan kata lain bahwa komitmen adalah kemauan kuat untuk melaksanakan tugas yang didasari dengan rasa penuh tanggung jawab.

Lebih lanjut, Welker dalam Saud mengemukakan bahwa profesionalisme guru dapat dicapai bila guru ahli (expert) dalam melaksanakan tugas dan selalu mengembangkan diri (growth). Demikian pula Glatthorm mengemukakan bahwa dalam melihat profesionalisme guru, di samping kemampuan dalam melaksanakan tugas, juga perlu mempertimbangkan aspek komitmen dan tanggung jawab (responsibility), serta kemandirian (autonomy). Bila ditelaah dari unsur-unsurnya, pada dasarnya ada dua aspek yang menentukan tingkat profesionalisme guru

(48)

dalam melaksanakan tugas, yaitu aspek kemampuan dan komitmen. Guru yang profesional adalah guru yang memiliki kemampuan dan komitmen dalam melaksanakan tugas-tugas jabatan. (Udin Syaefuddin Saud, 2010 : 85). Dengan kata lain, memiliki komitmen dan semangat kerja yang baik dalam melaksanakan tugas. Untuk itu, dalam meningkatkan profesionalisme guru, perlu didukung dengan kemampuan yang baik dan semangat kerja yang tinggi.

Kinerja guru menurut pakar pendidikan Soedijarto menyatakan, bahwa seorang guru harus mampu menganalisis, mendiagnosis, dan memprognosis situasi pendidikan. Lebih lanjut Soedijarto mengemukakan bahwa guru yang memiliki kompetensi profesional perlu menguasai antara lain: (a) disiplin ilmu pengetahuan, (b) bahan ajar yang diajarkan, (c) pengetahuan tentang karakteristik peserta didik, (d) pengetahuan tentang filsafat dan tujuan pendidikan, (e) pengetahuan serta penguasaan metode dan model pembelajaran, (f) penguasaan terhadap prinsip-prinsip teknologi pembelajaran, (g) pengetahuan terhadap penilaian, dan mampu merencanakan guna kelancaran proses pendidikan. (Soedijarto, 2003 : 60). Tuntutan atas berbagai kompetensi ini mendorong guru untuk memperoleh informasi yang dapat memperkaya kemampuan agar tidak mengalami ketinggalan dalam kompetensi profesionalnya. Kompetensi guru merupakan gambaran hakikat kualitatif dari perilaku guru atau tenaga kependidikan yang tampak sangat berarti. Dengan demikian, kompetensi guru merupakan kapasitas yang dimiliki guru dalam melaksanakan tugas

(49)

profesinya. Tugas profesional guru bisa diukur dari seberapa jauh guru mendorong proses pembelajaran yang efektif dan efisien. (Soedijarto, 2003 : 61)

Cooper dalam Sudjana, mengemukakan empat kompetensi guru, yakni (1) mempunyai pengetahuan tentang belajar dan tingkah laku manusia, (2) mempunyai pengetahuan dan menguasai bidang studi yang dibinanya, (3) mempunyai sikap yang tepat tentang diri sendiri, sekolah, dan teman sejawat, serta (4) mempunyai keterampilan teknik pembelajaran. (Oemar Hamalik, 2006 : 94). Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Grasser dalam Sudjana bahwa ada empat hal yang harus dikuasai guru, yakni: menguasai bahan pelajaran, kemampuan mendiagnosis tingkah laku peserta didik, kemampuan melaksanakan proses pembelajaran, dan kemampuan mengukur hasil belajar peserta didik. (Oemar Hamalik, 2005 : 94). Sementara itu, Sudjana membagi kompetensi guru dalam tiga bagian, yaitu sebagai berikut:

a. Kompetensi bidang kognitif, artinya kemampuan intelektual, seperti penguasaan mata pelajaran, pengetahuan mengenai mengajar, pengetahuan tentang belajar dan tingkah laku individu, pengetahuan tentang bimbingan penyuluhan, pengetahuan tentang adminsitrasi kelas, pengetahuan tenatang cara menilai hasil belajar peserta didik, pengetahuan tentang kemasyarakatan, serta pengetahuan umum lainnya.

(50)

terhadap berbagai hal berkenaan dengan tugas dan profesinya. Misalnya, sikap menghargai pekerjaan-nya, mencintai dan memiliki perasaan senang terhadap mata pelajaran yang dibinanya, sikap toleransi terhadap sesama teman profesinya, memiliki kemauan yang keras untuk meningkatkan hasil pekerjaannya.

c. Kompetensi prilaku/performance, artinya kemampuan guru dalam berbagai keterampilan/berprilaku, seperti keterampilan dalam membimbing, menilai, menggunakan alat bantu pembelajaran, bergaul atau berkomunikasi dengan peserta didik, keterampilan menumbuhkan semangat belajar peserta didik, keterampilan menyusun persiapan perencanaan pembelajaran, keterampilan melaksanakan administrasi kelas, dan lain-lain. (Sudjana, 2004 : 92)

Ketiga bidang kompetensi di atas tidak berdiri sendiri, tetapi saling berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama lain karena ketiga bidang tersebut (kognitif, sikap, dan perilaku) mempunyai hubungan hirarkis. Artinya antara ketiga kompetensi tersebut saling mendasari satu sama lain, kompetensi yang satu mendasari kompetensi lainnya.

Terkait dengan itu, Rusyan mengemukakan macam-macam kompetensi yang harus dimiliki oleh guru yaitu:

a. Kompetensi profesional, artinya guru harus memiliki pengetahuan yang luas dari subject matter (bidang studi) yang akan diajarkan serta penguasaan metodologi dalam arti memiliki konsep teoretis dalam memilih metode dalam proses pembelajaran.

(51)

b. Kompetensi personal, artinya sikap pribadi yang mantap sehingga mampu menjadi sumber intensifikasi bagi subjek. Dalam hal ini berarti memiliki kepribadian yang pantas diteladani, mampu melaksanakan kepemimpinan seperti yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara, yaitu “Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani”.

c. Kompetensi sosial, artinya guru harus menunjukkan atau mampu berinteraksi sosial, baik dengan peserta didiknya maupun dengan sesama guru dan kepala sekolah, bahkan dengan masyarakat luas. d. Kompetensi untuk melakukan pembelajaran yang sebaik-baiknya yang

berarti mengutamakan nilai-nilai sosial dari nilai material. (Tabrani Rusyan, 2008 : 21).

Dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dikemukakan bahwa pendidikan harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Selanjutnya, dalam penjelasannya dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan sebagai agen pembelajaran (learning agent) adalah peran pendidik antara lain sebagai fasilitator, pemacu, dan pemberi inspirasi belajar bagi peserta didik.

Sehubungan dengan pernyataan di atas, guru atau pendidik sebagai agen pembelajaran maka guru harus memiliki empat jenis kompetensi, yakni kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan

(52)

sosial. Dalam konteks itu kompetensi guru dapat diartikan sebagai kebulatan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diwujudkan dalam bentuk perangkat tindakan cerdas dan penuh tanggung jawab. Keempat jenis kompetensi guru yang dipersyaratkan beserta subkompetensi dan indikator essensialnya diuraikan sebagai berikut.

Pertama kompetensi pedagogik. Dalam penjelasan Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dikemukakan bahwa kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.

Secara subtantif kompetensi ini mencakup hal-hal berikut: (1) memahami peserta didik dengan memanfaatkan prinsip-prinsip perkembangan kognitif, prinsip kepribadian, dan mengidentifikasikan pemahaman awal peserta didik. (2) merancang pembelajaran; menerapkan teori belajar dan pembelajaran, menentukan strategi pembelajaran berdasarkan karakteristik peserta didik, kompetensi yang ingin dicapai, dan materi ajar serta menyusun rancangan pembelajaran berdasarkan startegi yang dipilih, (3) melaksanakan pembelajaran yang kondusif. (4) merancang dan melaksanakan evaluasi (assesement) proses dan hasil belajar secara berkesinambungan dengan berbagai metode; menganalisis hasil belajar untuk menentukan tingkat ketuntasan belajar

(53)

(mastery level), memanfaatkan hasil penilaian pembelajaran untuk perbaikan kualitas program pembelajaran secara umum. (5) mengembangkan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi; memfasilitasi peserta didik untuk pengembangan berbagai potensi akademik dan memfasilitasi peserta didik untuk mengembangkan berbagai potensi non akademiknya.( Omar Hamalik, 2008 : 62).

Kedua kompetensi kepribadian. Kompetensi kepribadian merupakan kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik dan berakhlak mulia. ( Omar Hamalik, 2008 : 62) Pribadi guru memiliki andil yang sangat besar terhadap keberhasilan pendidikan, khususnya dalam kegiatan pembelajaran. Pribadi guru juga berperan dalam membentuk pribadi peserta didik, karena manusia merupakan mahluk yang suka mencontoh termasuk mencontoh pribadi gurunya dalam membentuk pribadi peserta didik.

Secara rinci, setiap elemen kepribadian tersebut dapat dijabarkan menjadi sub-kompetensi dan indikator esensialnya sebagai berikut: (1) memiliki kepribadian yang mantap dan stabil dengan bertindak sesuai dengan norma hukum, norma sosial, bangga sebagai pendidik, dan memiliki konsistensi dalam bertindak sesuai dengan norma, (2) memiliki kepribadian yang dewasa dengan menampilkan kemandirian dalam bertindak sebagai pendidik dan memiliki etos kerja yang tinggi sebagai pendidik, (3) memiliki kepribadian yang arif dengan menampilkan tindakan

(54)

yang berdasarkan pada kemanfaatan peserta didik, sekolah, dan masyarakat serta menunjukkan keterbukaan dalam berpikir dan bertindak, (4) memiliki kepribadian yang berwibawa dengan memiliki prilaku yang berpengaruh positif terhadap peserta didik dan memiliki perilaku yang disegani, (5) memiliki akhlak mulia dan dapat menjadi teladan dengan bertindak sesuai dengan norma religius (imtaq, jujur, ikhlas, suka menolong), dan memiliki perilaku yang dapat diteladani oleh peserta didik. ( Omar Hamalik, 2008 : 108)

Dalam rangka menumbuhkan kompetensi kepribadian ini, E. Mulyasa merancang sebuah konsep budaya pendidikan yang diharapkan akan menjadi ajang pembangunan karakter bangsa (nation building). Budaya pendidikan yang sedang dirancang tersebut adalah budaya malu, budaya mutu, budaya kerja, budaya disiplin, dan budaya ibadah. (E. Mulyasa, 2009 :131) Kinerja guru yang ditunjukkan dapat diamati dari kemampuan guru dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab yang tentunya sudah dapat mencerminkan suatu pola kerja yang dapat meningkatkan mutu pendidikan ke arah yang lebih baik. Seseorang akan bekerja secara profesional bilamana memiliki kemampuan kerja yang tinggi dan kesungguhan hati untuk mengerjakan dengan sebaik-baiknya. Jadi, betapapun tingginya kemampuan seseorang, ia tidak akan bekerja secara profesional apabila tidak memiliki kepribadian dan dedikasi dalam bekerja yang tinggi.

(55)

yang tinggi dalam pribadinya, artinya tercermin suatu kepribadian dan dedikasi yang paripurna. Guru yang memiliki komitmen yang rendah biasanya kurang memberikan perhatian kepada peserta didik, demikian pula waktu dan tenaga yang dikeluarkan untuk meningkatkan mutu pembelajaran yang sangat sedikit. Sebaliknya, seorang guru yang memiliki komitmen yang tinggi biasanya tinggi sekali perhatiannya dalam bekerja. Demikian pula waktu yang disediakan untuk peningkatan mutu pendidikan sangat banyak.

Ketiga kompetensi sosial. Kompetensi sosial berkenaan dengan kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. (E. Mulyasa, 2009 :132) Kompetensi ini memiliki subkompetensi dengan indikator esensial yaitu: (1) mampu berkomunikasi dan bergaul sesama secara efektif dengan peserta didik, (2) mampu berkomunkasi dan bergaul sesama pendidik dan tenaga kependidikan, dan (3) mampu berkomunkasi dan bergaul secara efektif dengan orang tua/wali peserta didik dan masyarakat sekitar. (E. Mulyasa, 2009 :133).

Guru adalah makhluk sosial yang dalam kehidupannya tidak bisa terlepas dari kehidupan sosial masyarakat dan lingkungannya. Guru dalam menjalani kehidupan seringkali menjadi tokoh panutan dan identifikasi bagi peserta didik dan lingkungannya. Ashraf mengungkapkan bahwa Imam Al-Gazali menempatkan profesi guru pada posisi yang paling

(56)

tinggi dan paling mulia dalam berbagai tingkat pekerjaan masyarakat. Keempat kompetensi profesional. Dalam penjelasan Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkannya membim-bing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan. (E. Mulyasa, 2009 :134)

Secara umum kompetensi guru dapat diidentifikasi pada ruang lingkup kompetensi profesional guru sebagai berikut: (1) mengerti dan dapat menerapkan landasan kependidikan baik filosofis, psikologis, sosiologis maupun sebagainya, (2) mengerti dan dapat menerapkan teori belajar sesuai taraf perkembangan peserta didik, (3) mampu menangani dan mengembangkan bidang studi yang menjadi tanggung jawabnya, (4) mengerti dan dapat menerapkan metode pembelajaran yang bervariasi, (5) mampu mengembangkan dan menggunakan berbagai alat, media, dan sumber belajar yang relevan, (6) mampu mengorganisasikan dan melaksanakan program pembelajaran, (7) mampu melaksanakan evaluasi hasil belajar peserta didik, dan (8) mampu menumbuhkan kepribadian peserta didik.

Crow dan Crow dalam Hamalik menyatakan bahwa kompetensi guru dalam melaksanakan pembelajaran meliputi penguasaan subjectmatter yang akan diajarkan, keadaan fisik dan kesehatannya,

(57)

sifat-sifat pribadi dan kontrol emosinya. Demikian juga memahami sifat-sifat hakikat dan perkembangan manusia, pengetahuan dan kemampuannya untuk menerapkan prinsip-prinsip belajar, kepekaan dan aspirasinya terhadap perbedaan-perbedaan kebudayaan, agama, dan etnis, minatnya terhadap perbaikan profesional dan pengayaan kultural yang terus-menerus dilakukan. (Hamalik, 2006 : 21).

Dalam kegiatan profesionalnya, guru harus memiliki kemampuan untuk merencanakan program pembelajaran dan kemampuan untuk melaksanakan pem-belajaran. Kemampuan ini diperoleh melalui latihan yang berkesinambungan, baik pada masa pendidikan perajabatan maupun pada masa pendidikan dalam jabatan. Untuk itu, perlu disusun Alat Penilai Kemampuan Guru (APKG). Alat ini berfungsi untuk mengukur kemampuan guru.

Adapun penyusunan alat penilaian kemampuan guru, yaitu;

1) Kemampuan membuat perencanaan pembelajaran yang meliputi; Perencana-an pengorganisasian bahan pembelajaran, pengelolahan kegiatan pembelaja-ran, pengelolaan kelas, penggunaan media dan sumber belajar, dan penilaian hasil pembelajaran.

2) Untuk kemampuan pembelajaran dalam kelas meliputi: Penggunaan metode, media, dan bahan latihan, berinteraksi dengan peserta didik, mendemons-trasikan khazanah metode pembelajaran, mendorong dan mengarahkan ketertiban peserta didik dalam kelas, mendemonstrasikan penguasaan materi, mengorganisasikan waktu,

Referensi

Dokumen terkait

Zami 12506194002 09.30-10.00 WIB Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Pondok Pesantren dalam Meniingkatkan Kecerdasan Spiritual Peserta Didik (Studi

Internalisasi Nilai-Nilai Aswaja An-Nahdliyah Melalui Pendidikan Berbasis Pesantren dalam Membentuk Sikap Moderat (Studi Multi Situs di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadien

dengan pendidikan karakter yang telah diterapkan, baik secara formal maupun non formal. Di samping itu, Pondok pesantren Raudlatul Ulum I merupakan pesantren terbesar di Desa

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa peningkatan motivasi belajar siswa pada bidang studi Pendidikan Agama Islam di Madrasah Tsanawiyah Muhammadiyah Benteng

Kelas memiliki fungsi yang dapat menunjang keberhasilan proses pembelajaran serta interaksi agar memberikan rangsangan terhadap murid untuk selalu belajar, sehingga

Data yang didapatkan peneliti dilapangan sebelum melaksanakan penelitian yaitu dari 37 orang murid kelas V terdapat 27 atau 72,9% orang tidak mampu menentukan

dalam Pengajaran Bidang Studi Al quran Hadist di Madrasah Tsanawiyah Muhammadiyah Benteng Kabupaten Kepulauan Selayar...43 Tabel 8: Pendapat responden tentang efektifitas Media

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan pembelajaran tahfizul qur’an di Pondok Pesantren Syifa’ul Janan Muara Beliti berjalan dengan efektif, hal tersebut berdasarkan