• Tidak ada hasil yang ditemukan

Desentralisasi dan Penanggulangan Kemisk (3)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Desentralisasi dan Penanggulangan Kemisk (3)"

Copied!
2
0
0

Teks penuh

(1)

18

FLAMMAEdisi 33, Januari - Maret 2010

Manifesto

Pengantar

Program ”Pengembangan Metodologi Pembelajaran dan Advokasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah” bertujuan mengembangkan metodologi pembelajaran penaggulangan kemiskinan yang didasarkan pengalaman berbagai daerah sebagai bahan advokasi penanggulangan kemiskinan secara

nasional. Dengan

dukungan Ford Foundation, program ini dilaksanakan di Kabupaten Sukabumi, Bandung, Kebumen, Gunungkidul, Jembrana, dan Kota Makassar periode

2009-2010

Kemiskinan

Desentralisasi dan Penanggulangan

F

o

to

:

A

d

ro

ze

n

A

h

m

a

(2)

19

Menuntaskan

Target

Lama

FLAMMAEdisi 33, Januari - Maret 2010

D

dEsEntrALisAsi, dEMiKiAn tulis Turner dan Hulme (1997), adalah so-sok yang baik secara teori namun buruk dalam praktik (good theory, poor practice). Sosok ideal desentralisasi sulit ditemui realitanya. Bahkan dalam titik ekstrim, seperti catatan Diamond (1999:162) me-ngenai pengalaman Amerika Latin dan negara-negera bekas Uni Soviet, desen-tralisasi menimbulkan ekses yang justru berpunggungan dengan demokrasi. Poli-tik yang terpencar menciptakan ruang bagi kekuatan (atau gerakan) otoriter (lo-kal) yang dijiwai predatoryinterest untuk

Namun lambat laun gambaran terse-but memudar. Bahagijo mencatat (The Jakarta Post, 19/06/2007), “sejumlah ke-cil orang baik” yang duduk di pucuk kepemimpinan daerah telah menginisiasi perluasan dan peningkatan aksesibilitas, keterjangkauan, dan kualitas pelayanan publik, serta meninggikan derajat kese-jahteraan masyarakat. Terobosan dan inovasi yang dilakukan Kabupaten Jem-brana, Sragen, Purbalingga, dan yang lainnya seolah menjadi inspirasi daerah lainnya untuk berlomba menjadi pelari cepat best practices di era otonomi daerah.

IRE Yogayakarta didukung oleh FORD Foundation berinisiatif melakukan riset di enam daerah yakni kabupaten Sukabumi, Bandung, Kebumen, Gunung-kidul, Jembrana, dan Kota Makassar.

mendorongnya (Eko, 2009). Pertama, reg-ulasi dari pusat yang “memaksa” daerah untuk melancarkan kebijakan penanggu-langan kemiskinan melalui perencanaan dan penganggaran daerah. Kedua, ad-vokasi organisasi masyarakat sipil, baik melalui engagement dalam proses mus-renbang, tekanan terhadap pemerintah daerah untuk mewujudkan anggaran pro poor, maupun asistensi teknis untuk me-nyiapkan delivery system penanggulangan kemiskinan. Ketiga, kapasitas dan inisia-tif dari dalam, yang diwujudkan dengan kebijakan pro poor dan delivery system yang tertata dengan baik dan operasional (workable). Keempat, pembelajaran melalui pencarian, pertukaran maupun penyebar-luasan pengetahuan yang dilakukan oleh pemerintah maupun institusi non-pe-merintah untuk menyiapkan kebijakan, strategi, rencana aksi dan delivery system penanggulangan kemiskinan. Keempat input di atas saling mengisi.

Temuan awal riset ini menunjukkan beberapa kecenderungan yang umum didalam penanggulangan kemiskinan. Pertama, kelembagaan TKPKD belum efektif. Hampir di semua daerah, lemba-ga ini seolah tidak ada. Bahkan, ada pula SKPD yang belum familiar dengan fungsi TKPKD. Ditambah lagi, perubahan re-gulasi nasional yang mengatur institusi ini mengakibatkan pergantian SKPD yang menjadi leading sector. Kedua, terkait dengan belum efektifnya koordinasi an-tar pihak dan sinergi anan-tar program, ke-cenderungan fragmented program, budget, dan tumpang tindih target menjadi tak ter-elakkan. Ketiga, terkait dengan kelahi-ran kebijakan, ada kecenderungan kebi-jakan lahir pada momen-momen politis teruta-ma pilkada. Tantangannya, pen-guatan aspek teknokrasi dan pelembaga-an rentpelembaga-an tidak digarap. Hal ini memba-wa resiko program populis tidak sustain ketika terjadi pergeseran kepemimpinan daerah. Kelima, aspek monitoring pro-gram kurang mendapat perhatian. Di ti-tik ini, tren umumnya, ruang keterlibatan masyarakat sipil masih terbatas. Konsis-tensi mainstreaming penanggulangan ke-miskinan dalam program-program SKPD menjadi tidak terjamin.

Pengalaman yang baik maupun buruk dari riset nantinya dirumuskan dan dira-jut sebagai model penanggulangan ke-miskinan daerah. Untuk memperkaya perspektif dan gagasan dalam formulasi model ini, IRE juga menempuh dua ke-giatan, yaitu Lokakarya Model Peng-embangan Metodologi Pembelajaran dan Advokasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah serta Penyusunan Model (MAN-UAL).

Ashari Cahyo Edi

..“sejumlah kecil orang baik” yang duduk

di pucuk kepemimpinan daerah telah

menginisiasi perluasan dan peningkatan

aksesibilitas, keterjangkauan, dan kualitas

pelayanan publik, serta meninggikan

derajat kesejahteraan masyarakat.

mengonsolidasikan kekuatan mereka, aman dari campur tangan pemerintah pusat.

Sementara itu, di beberapa negara Asia Tenggara seperti Thailand dan Fili-pina (Nordholt, 2005), para bos-bos lokal membajak proses desentralisasi dan de-mokratisasi di level lokal dengan meng-gunakan kekerasan dan politik uang untuk menduduki jabatan publik yang berujung terciptanya pemerintahan “sen-tralistis” dan tidak demokratis.

Bagaimana dengan Indonesia? Ketika kebijakan desentralisasi resmi bergulir 2001 silam, wajah politik lokal disesaki berbagai kasus korupsi anggota legislatif. Modusnya beragam: dari manipulasi ke-bijakan, tender projek yang penuh kolusi, dan hingga penyelewengan APBD, yang intinya merugikan negara. Banyak orang lantas berpendapat, dalam desentralisasi elitlah yang sibuk menikmati kue kekua-saan. Elit politisi maupun birokrasi tidak peduli dengan kinerja kebijakan, pem-bangunan dan pelayanan publik. Nyaris di berbagai tempat orang menggerutu puskesmas mahal, sementara pemerintah daerah miskin berinovasi dalam mencip-takan skema asuransi kesehatan publik.

Riset ini dipayungi Program bernama ”Pengembangan Metodologi Pembelaja-ran dan Advokasi Penanggulangan Ke-miskinan Daerah”.

Program ini bertujuan membuat ru-musan metodologi replikasi berbasis best practises dari daerah-daerah untuk dikembangkan di daerah-daerah lain. Program ini juga berupaya membuat ru-musan kebijakan yang relevan sebagai strategi scalling up untuk memastikan agar pemerintah pusat mendorong dan mensupervisi daerah-daerah membuat kebijakan penanggulangan kemiskinan.

Ada beberapa isu utama yang dijadi-kan sebagai bahan pembelajaran dalam program ini, diantaranya mencakup: (i) kebijakan penanggulangan kemiskinan daerah; (ii) peran dan fungsi SPKD dalam penanggulangan kemiskinan daerah; (iii) sistem perencanaan dan penganggaran daerah, (iv) kelembagaan TKPKD; (v) bi-rokrasi dan pelayanan publik; (vi) parti-sipasi masyarakat; (vi) peran perempuan dan grass roots.

Referensi

Dokumen terkait

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder mengenai laporan keuangan yang dimiliki oleh bank yang terdaftar pada Bursa Efek

Penyusunan Laporan BMN BPKP Tahun Anggaran 2013, sudah menerapkan penyusutan Barang Milik Negara berupa Aset Tetap dengan berpedoman pada Peraturan Menteri

MA'HADUT THOLABAH Sejarah Kebudayaan Islam KAB.. LEBAKSIU Sejarah Kebudayaan

syeikh Ahmad bin Yusuf bin Muhammad al Ahdal dalam kitab al Ahlak. az Zakiyyah fi Adabit Tholib

Temuan ini tidak sesuai dengan pernyataan Patnoad, (2001) bahwa paparan dapat mencakup iklan baik di koran, televisi, radio, internet atau saluran komunikasi lainnya, dapat

dan Implikasinya Dalam Perspektif dan Masyarakat , Refika Aditama, Bandung, hlm. 10 Barda Nawaw Aref,2008, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana

Kesabaran sangat baik menjadi obat dari penyakit yang diderita karena dengan sabar maka apa yang Allah berikan akan terasa nyaman, karena bimbingan rohani islam adalah

Tujuannya agar pegawai menyadari bahwa disiplin kerja berlaku untuk semua pegawai dengan sanksi pelanggaran yang sesuai dengan peraturan yang berlaku.. Menurut Hasibuan