BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengeringan
Rangkaian proses pengeringan secara garis besar merupakan metoda
penguapan yang dapat dilakukan untuk melepas air dalam fasa uapnya dari dalam
objek yang dikeringkan. Penguapan ini dapat dilakukan dengan dua cara yakni:
cara pertama adalah dengan memberikan panas kedalam bahan tersebut sehingga
terjadi kenaikan temperaturnya untuk keperluan memanaskan dan selanjutnya
untuk menguapkan sejumlah air. Ataupun dengan cara menangkap uap air oleh
udara yang telah dikondisikan (dipanaskan atau didinginkan).
Setiap operasi dalam rantai produksi memanfaatkan sumberdaya dan
menigkatkan biaya, maka pemahaman yang tinggi tentang proses pengeringan
dalam kaitannya dengan produk tertentu adalah penting. Proses pengeringan
meliputi perpindahan panas dan massa. Uap air yang dihilangkan dapat berada
dipermukaan dan juga didalam produk; sehingga pengeringan secara normal
mengeluarkan air dari dua level ini. Kandungan air yang lebih rendah pada
permukaan akan memaksa keluar air dari dalam produk. Migrasi kandungan air
keluar diperlambat oleh daya tarik molekul air. Tingkatan daya tarik ini dan
karenanya tahanan internal terhadap kehilangan uap air tergantung pada sifat
higroskopis dan koloid serta ukuran pori yang membangun gerakan kapiler fluida.
Keluar/lepasnya air dari permukaan produk tergantung pada kondisi udara
pengeringan, sementara kondisi uap air di permukaan mempengaruhi perpindahan
massa dari dalam ke permukaan. Pelepasan uap air pada batas antar-muka
produk-udara tergantung pada temperatur produk dan medium pengeringan, humiditas
udara, laju alir udara dan kondisi tekanan volume serta luas permukaan produk
yang dikenai medium pengeringan (Sumber : Menon and Mujumdar, 1987).
Pengaruh temperatur dan humiditas udara pengeringan terhadap pelepasan
uap air adalah saling berhubungan. Semakin tinggi temperatur udara diikuti
dengan humiditas udara yang lebih rendah pada volume udara tertentu akan
tinggi menambah kemungkinan perpindahan panas pada produk. Ketika yang
terakhir ini terjadi, tekanan uap didalam produk meningkat dan evaporasi uap air
dari permukaan menjadi lebih mudah (Sumber : Menon and Mujumdar, 1987).
Ketika penguapan berlangsung dan kandungan uap air pada volume tetap
terus bertambah, kapasitas udara untuk mengakomodir lebih banyak uap semakin
berkurang. Oleh karenanya udara jenuh disekitar produk harus segera digantikan
Dengan menetapkan kondisi tertentu untuk temperatur dan humiditas udara, maka
jumlah uap air yang dihilangkan tergantung pada volume udara yang dibawa pada
kontak dengan produk. Ketika evaporasi uap air tidak terbatas, menjaga atau
meningkatkan laju alir udara dapat menjamin keberlangsungan proses
pengeringan.
2.2 Pengeringan Buatan
Pengeringan dengan menggunakan alat pengering dimana, suhu,
kelembapan udara, kecepatan udara dan waktu dapat diatur dan di awasi.
Keuntungan pengering buatan:
a) Tidak tergantung cuaca
b) Kapasitas pengeringan dapat dipilih sesuai dengan yang diperlukan
c) Tidak memerlukan tempat yang luas
d) Kondisi pengeringan dapat dikontrol
e) Pekerjaan lebih mudah.
2.2.1 Jenis - Jenis Pengeringan Buatan
Berdasarkan media panasnya,
a) Pengeringan adiabatis ; pengeringan dimana panas dibawa ke alat
pengering oleh udara panas, fungsi udara memberi panas dan
membawa air.
b) Pengeringan isotermik; bahan yang dikeringkan berhubungan
langsung dengan alat/ plat logam yang panas.
2.2.2 Proses pengeringan:
b) Dengan cara menurunkan RH dengan mengalirkan udara panas
disekeliling bahan
c) Proses perpindahan panas; proses pemanasan dan terjadi panas
sensible dari medium pemanas ke bahan, dari permukaan bahan
kepusat bahan.
d) Proses perpindahan massa ; proses pengeringan (penguapan), terjadi
panas laten, dari permukaan bahan ke udara
e) Panas sensible ; panas yang dibutuhkan /dilepaskan untuk menaikkan
/menurunkan suhu suatu benda
f) Panas laten ; panas yang diperlukan untuk mengubah wujud zat dari
padat kecair, cair ke gas, dst, tanpa mengubah suhu benda tersebut.
2.2.3 Faktor faktor yang mempengaruhi pengeringan.
Pada pengeringan selalu di inginkan kecepatan pengeringan yang
maksimal. Oleh karena itu perlu dilakukan usaha- usaha untuk
memercepat pindah panas dan pindah massa ( pindah massa dalam hal ini
adalah perpindahan air keluar dari bahan yang dikeringkan dalam proses
pengeringan tersebut.
Ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan untuk memperoleh kecepatan pengeringan maksimum, yaitu :
(a) Luas permukaan
(b) Suhu
(c) Kecepatan udara
(d) Kelembaban udara
(e) Waktu.
Dalam proses pengeringan ini faktor yang perlu diperhatikan untuk
memperoleh kecepatan pengeringan maksimum adalah :
a) Suhu
Semakin besar perbedaan suhu (antara medium pemanas dengan
sehingga mengakibatkan proses penguapan semakin cepat pula. Atau
semkain tinggi suhu udara pengeringan maka akan semakin besar anergi
panas yang dibawa ke udara yang akan menyebabkan proses pindahan
panas semakin cepat sengingga pindah massa akan berlangsung juga
dengan cepat.
b) Kecepatan udara
Umumnya udara yang bergerak akan lebih banyak mengambil uap
air dari permukaan bahan yang dikeringkan. Udara yang bergerak adalah
udara yang mempunyai kecepatan gerak yang tinggi yang berguna untuk
mengambil uap air dan menghilangkan uapa air dari permukaan bahan
yang dikeringkan, sehingga dapat mencegah terjadinya udara jenuh yang
dapat memperlambat penghilangan air.
c) Kelembaban Udara (RH)
Semakin lembab udara di dalam ruang pengering dan sekitarnya
maka akan semakin lama proses pengeringan berlangsung kering, begitu
juga sebaliknya. Karena udara kering dapat mengabsorbsi dan menahan
uap air. Setiap bahan mempunyai keseimbangan kelembaban nisbi (RH
keseimbangan) masing- masing, yaitu kelembapan pada suhu tertentu
dimana bahan tidak akan kehilangan air (pindah) ke atmosfir atau tidak
akan mengambil uap air dari atmosfir.
Jika RH udara < RH keseimbangan maka bahan masih dapat dikeringkan.
Jika RH udara > RH keseimbangan maka bahan malahan akan menarik
uap air dari udara.
d) Waktu
Semakin lama waktu (batas tertentu) pengeringan maka akan
semakin cepat proses pengeringan selesai. Dalam pengeringan diterapkan
konsep HTST (High Temperature Short Time), short time dapat menekan
biayapengeringan.
2.3 Pompa Kalor
Pompa kalor (heat pump) adalah suatu perangkat yang mentransfer panas dari
memindahkan panas dari sumber panas yang be
bertemperatur lebih tinggi. Contoh yang paling umum adalah
Pompa kalor merupakan perangkat yang sama dengan mesin pendingin
(Refrigerator), perbedaannya hanya pada tujuan akhirnya. Mesin pendingin
bertujuan menjaga ruangan pada suhu rendah (dingin) dengan membuang panas
dari ruangan. Sedangkan pompa kalor bertujuan menjaga ruangan berada pada
suhu yang tinggi (panas). Hal ini diilustrasikan seperti pada gambar 2.1.
Gambar 2.1 Refrigerator Dan Pompa Kalor (Heat Pump)
Sumber: (Cengel & Boles Fifth Edition Hal.608
Pompa kalor memanfaatkan sifat fisik dari penguapan dan pengembunan
dari suatu fluida kerja yang disebut dengan refrigeran. Pada aplikasi sistem
pemanas, ventilasi, dan pendingin ruangan, pompa kalor merujuk pada alat
pendinginan kompresi uap yang mencakup saluran pembalik dan penukar panas
sehingga arah aliran panas dapat dibalik. Secara umum, pompa kalor mengambil
panas udara tidak bekerja dengan baik setelah temperatur jatuh di bawah
-5oC/23oF
(sumber :
2.4 Siklus Kompresi Uap (SKU)
Siklus Kompresi Uap (SKU) adalah siklus termodinamika yang digunakan
untuk memindahkan panas dari medium yang bertemperatur rendah ke medium
yang bertemperatur lebih tinggi. Fluida kerja yang mengalir selama siklus disebut
fluida kerja atau refrigeran. Pada SKU, selama siklus, refrigeran mengalami
perubahan fasa, yaitu menjadi uap (evaporation) dan menjadi cair (condensation).
Berdasarkan proses perubahan fasa inilah, maka pada SKU kita kenal beberapa
komponen seperti Evaporator dan Kondensor. Saat ini mesin pendingin yang
menggunakan SKU sangat mudah dijumpai, seperti pada pendingin/pemanas yang
digunakan untuk pengkondisian udara (AC-Split/Heat Pump) di perumahan atau
perkantoran dalam skala kecil.
Sistem kompresi uap mempunyai 4 komponen utama, yaitu kompresor,
kondensor, katup ekspansi (Throttling Device) dan evaporator seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 2.3. Keempat komponen tersebut melakukan proses
yang saling berhubungan dan membentuk siklus refrigerasi kompresi uap.
[Sumber : Buku Kuliah Thermodinamika Teknik II, hal. 54]
Siklus refrigerasi kompresi uap ini dapat digambarkan seperti gambar
Gambar 2.2 Skema siklus refrigerasi kompresi uap (Sumber : Buku Kuliah Thermodinamika Teknik II)
Siklus refrigerasi kompresi uap merupakan siklus yang paling umum
digunakan untuk mesin pendingin dan pompa kalor. Komponen utama dari sebuah
siklus kompresi uap adalah :
1. Kompresor, berfungsi untuk memindahkan uap refrigeran dari
evaporator dan menaikkan tekanan dan temperatur uap refrigeran ke
suatu titik di mana uap tersebut dapat berkondensasi dengan normal
sesuai dengan media pendinginnya.
2. Kondensor, berfungsi melakukan perpindahan kalor melalui
permukaannya dari uap refrigeran ke media pendingin kondensor.
3. Katup Ekspansi, berfungsi untuk mengatur jumlah refrigeran yang
mengalir ke evaporator dan menurunkan tekanan dan temperatur
refrigeran cair yang masuk ke evaporator, sehingga refrigeran cair
akan menguap dalam evaporator pada tekanan rendah.
4. Evaporator, berfungsi melakukan perpindahan kalor dari ruangan yang
didinginkan ke refrigeran yang mengalir di dalamnya melalui
permukaan dindingnya.
Pada gambar dapat dilihat bahwa dengan menggunakan evaporator panas
mekanik. Setelah melalui kompresor, refrigeran masuk ke kondensor. Di sini
refrigeran membuang panas ke lingkungan dan akhirnya mencair. Setelah
mencair, tekanan refrigeran diturunkan sampai tekanan evaporator dengan
menggunakan katup ekspansi.
SKU mempunyai 4 komponen utama, yaitu kompresor, kondensor, katup
expansi, dan evaporator, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.3
Gambar 2.3 Siklus Kompresi Uap sederhana
(Sumber : Buku kuliah Teknik Pendingin & Pengkondisian Udara)
Diagram T-s (T adalah temperatur dan s adalah entropi [kJ/kgK])
ditampilkan pada Gambar 2.2(a). Diagram P-h (P adalah tekanan dan h adalah
entalpi) ditampilkan pada grafik pada Gambar 2.2(b).
Proses-proses termodinamika yang terjadi pada SKU ini dapat dibagi atas
4 proses ideal, yaitu
1. 1-2s: adalah proses kompresi isentropik dari tekanan evaporator ke
tekanan kondensor.
Pada titik 1, idealnya refrigeran berada pada fasa cair jenuh setelah
menyerap panas pada suhu rendah dari evaporator.
2. 2s-3: adalah perpindahan panas yang diikuti kondensasi dari kondensor
pada tekanan konstan. Pada bagian awal sisi masuk kondensor refrigeran
masih dalam kondisi superheat dan akibat pendingin akan turun suhunya
pada sisi keluar kondensor.
3. 3-4: adalah ekspansi adiabatik dari tekanan kondensor ke tekanan
evaporator. Akibat penurunan tekanan, temperatur akan turun. Pada sisi
masuk evaporator sebagian fluida berada pada fasa cair dan sebagian lagi
menjadi uap.
4. 4-1: adalah penguapan pada tekanan konstan. Di sini fluida menyerap
panas dari medium agar dapat menguap. Refrigeran akan, seluruhnya
menguap di sisi keluar evaporator dan siklus akan berulang ke langkah 1:
Gambar 2.4 Diagram T-s siklus standar
(Sumber : Buku kuliah Teknik Pendingin & Pengkondisian Udara)
Gambar 2.5 Diagram P-h Siklus ideal
(Sumber : Buku kuliah Teknik Pendingin & Pengkondisian Udara)
2.4.1 Proses Kompresi (1 – 2s)
Proses ini berlangsung di kompresor secara isentropik adiabatik. Tugas
temperaturnya lebih tinggi dari temperatur lingkungan. Tujuannya adalah agar
dapat melepaskan panas pada temperatur tinggi ke lingkungan.
Kondisi awal refrigeran pada saat masuk di kompresor adalah uap jenuh
bertekanan rendah, setelah di kompresi refrigeran menjadi uap bertekanan tinggi.
Oleh karena proses ini dianggap isentropik, maka temperatur keluar kompresor
pun meningkat. Besarnya kerja kompresi per satuan massa refrigeran bisa
dihitung dengan rumus :
Gambar 2.6 Proses kompresi
Wc = 𝑚𝑚̇ 𝑞𝑞𝑤𝑤 = 𝑚𝑚( ̇ ℎ2 − ℎ1) ...(2.1)
Dimana :
𝑞𝑞𝑤𝑤 = besarnya kerja kompresi yang dilakukan (kJ/kg)
ℎ1 = entalpi refrigeran saat masuk kompresor (kJ/kg)
ℎ2 = entalpi refrigeran saat keluar kompresor (kJ/kg)
ṁ = laju aliran refrigeran pada sistem (kg/s)
h1 diperoleh dari tekanan pada evaporator, h2 diperoleh dari tekanan pada
kondensor.
Dalam pengujian besarnya daya kompresor untuk melakukan kerja dapat
juga ditentukan dengan rumus:
Wc =𝑉𝑉×𝐼𝐼×𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐...(2.2)
Dimana :
Wc = daya listrik kompresor (Watt)
𝑉𝑉 = tegangan listrik (Volt)
𝐼𝐼 = kuat arus listrik (Ampere)
2.4.2 Proses Kondensasi (2 – 3)
Proses ini berlangsung di kondensor, refrigeran yang bertekanan dan
temperatur tinggi keluar dari kompresor membuang kalor sehingga fasanya
berubah menjadi cair. Hal ini berarti bahwa di kondensor terjadi penukaran kalor
antara refrigeran dengan udara, sehingga panas berpindah dari refrigeran ke udara
pendingin dan akhirnya refrigeran mengembun menjadi cair.
Besarnya kalor per satuan massa refrigeran yang di lepaskan di kondensor
dinyatakan sebagai:
Gambar 2.7 Proses kondensasi
𝑄𝑄𝑘𝑘 = 𝑚𝑚̇𝑞𝑞𝑐𝑐 = 𝑚𝑚̇ (ℎ2− ℎ3)...(2.3)
Dimana :
𝑞𝑞𝑐𝑐 = besarnya kalor dilepas di kondensor (kJ/kg)
ℎ2 = entalpi refrigeran saat masuk kondensor (kJ/kg)
ℎ3 = entalpi refrigeran saat keluar kondensor (kJ/kg)
ṁ = laju aliran refrigeran pada sistem (kg/s)
2.4.3 Proses Ekspansi (3 – 4)
Proses ini berlangsung secara isoentalpi, hal ini berarti tidak terjadi
penambahan entalpi tetapi terjadi drop tekanan dan penurunan temperatur. Proses
penurunan tekanan terjadi pada katup ekspansi yang berbentuk pipa kapiler atau
orifice yang berfungsi mengatur laju aliran refrigeran dan menurunkan tekanan.
ℎ3 = ℎ4 Dimana :
h3 = entalpi refrigeran saat keluar kondensor (kJ/kg)
h4 = harga entalpi masuk ke evaporator (kJ/kg)
2.4.4 Proses Evaporasi (4 – 1)
Proses ini berlangsung di evaporator secara isobar isotermal. Refrigeran
dalam wujud cair bertekanan rendah menyerap kalor dari lingkungan / media yang
Besarnya kalor yang diserap evaporator adalah :
Gambar 2.8 Proses evaporasi
𝑄𝑄𝑒𝑒 = 𝑚𝑚̇𝑞𝑞𝑒𝑒 = 𝑚𝑚̇ (ℎ1− ℎ4) ...(2.4)
Dimana :
𝑄𝑄𝑒𝑒 = kalor yang di serap di evaporator ( kW )
𝑞𝑞𝑒𝑒 = efek pendinginan (efek refrigerasi) (kJ/kg)
ℎ1= harga entalpi ke luar evaporator (kJ/kg)
ℎ4= harga entalpi masuk ke evaporator (kJ/kg)
ṁ = laju aliran refrigeran pada sistem (kg/s)
Selanjutnya refrigeran kembali masuk ke kompresor dan bersirkulasi
kembali, begitu seterusnya sampai kondisi yang diinginkan tercapai.
2.5 Pengering Sistem Pompa Kalor
Pompa kalor merupakan salah satu sistem yang dapat dimanfaatkan pada
teknologi pengeringan. Teknologi ini telah banyak di manfaatkan di Australia dan
Eropa. Pompa kalor sebagai pengering berpotensi menghemat energi.. Pompa
kalor untuk pengeringan pakaian atau Heat Pump Clothes Dryers (HPCDs) dapat
menghemat energi sebesar 50% dibanding sistem pengering pakaian listrik
konvensional, dan karenanya memiliki potensi menyimpan energi yang besar
(Meyers, et al. 2010).
Prinsip kerja pengering pakaian pompa kalor diilustrasikan seperti gambar
2.9. Pompa kalor memberikan panas dengan mengekstraksi energi dari udara
sekitar. Panas kering udara diproses memasuki belakang drum dan berinteraksi
dan melalui evaporator dimana sebagian besar kelembaban akan di hilangkan
sebelum mengalir melalui kondensor dan kembali ke drum.(Meyers, et al. 2010).
Gambar 2.9 Diagram pengering pakaian pompa kalor.
Sumber:(Meyers, et al. 2010)
Melalui skema siklus refrigrasi kompresi uap, panas yang dikeluarkan oleh
kondensor dimanfaatkan untuk mengeringkan pakaian. Udara panas dari
kondensor dialirkan ke ruang pengeringan, selanjutnya udara hasil pengeringan
menjadi lembab (basah). Udara dari ruang pengeringan kemudian dialirkan ke
evaporator untuk didinginkan dan dikeringkan, udara tersebut selanjutnya akan
menuju kondensor untuk dipanaskan. Demikian seteruanya siklus dari udara
pengering tersebut bersikulasi. Skema dari pengering pakaian ini terlihat pada
Gambar 2.10 Skema pengeringan
Kinerja alat pengering salah satunya dapat ditentukan dari efisiensi
pengeringan. Efisiensi pengeringan merupakan perbandingan antara energi yang
digunakan untuk menguapkan kandungan air abahan dengan energi untuk
memanaskan udara pengering. Efisiensi pengeringan biasanya dinyatakan dalam
persen. Semakin tinggi nilai efisiensi pengeringan maka alat pengering tersebut
semakin baik.
Pada penelitian ini, panas buangan kondensor yang akan dimanfaatkan
sebagai sumber energi untuk melakukan pengeringan. Prinsip kerja pengering
pompa kalor diilustrasikan seperti Gambar 2. 11. Pompa kalor melalui kondensor
memberikan panas kepada aliran udara luar. Proses ini akan menghasilkan udara
panas dan kering. Udara ini akan dimasukkan ke dalam ruang pengering dan
berinteraksi dengan bahan yang akan akan dimasukkan ke dalam ruang pengering
dan berinteraksi dengan bahan yang akan dikeringkan. Seperti yang ditunjukkan
gambar, panas yang dikeluarkan oleh kondensor dimanfaatkan untuk menguapkan
air dari suatu bahan. Udara panas dari kondensor dialirkan ke ruang pengeringan,
selanjutnya udara hasil pengeringan menjadi lembab (basah). Udara sisa ini akan
dibuang ke lingkungan. Sementara sisi evaporator tidak akan diganggu atau tetap
Gambar 2.11 Siklus pengering dengan sistem pompa kalor.
Karakteristik penting dari sebuah pompa kalor adalah bahwa jumlah panas
yang dapat ditransfer lebih besar daripada energi yang diperlukan untuk
menggerakkan siklus. Perbandingan antara panas yang dapat diserap dan energi
yang dibutuhkan dikenal dengan Coefficient of Performance (COP). Energi
Listrik yang digunakan untuk menggerakkan pompa kalor yang digunakan untuk
memanaskan lingkungan beriklim sedang biasanya memiliki COP 3,5 pada
kondisi desain. Ini berarti bahwa untuk setiap1 kWh listrik yang digunakan untuk
menggerakkan pompa kalor akan dapat ditarik panas di evaporator sebesar 3,5
kWh (Brown 2009). Kemudian gabungan panas ini, sebesara 4,5 kWh, akan
dibuang di kondensor berupa panas sisa atau buangan.
Beberapa peneliti telah melaporkan penelitian yang berhubungan dengan
pompa kalor untuk pengeringan beberapa produk. Hii, dkk (2010) melakukan
pengeringan biji kakao menggunakan sistem pompa kalor yang beroperasi pada
temperatur dan humiditas rendah. Hasil pengeringan ini mampu meningkatkan
mutu (pH, warna dan aroma) dibanding sampel komersial dari negara-negara
produsen kakao.
P. Suntivarakorn dkk (2010) melakukan penelitian kajian pengering
pakaian dengan menggunakan panas sisa dari Air Conditioner (AC) dengan
dilakukan dalam 2 aspek yaitu pengeringan pakaian dengan dan tanpa kipas
tambahan dan hasilnya adalah laju pengeringan 2,26 kg/jam dan 1,1 kg/jam.
2.6 Analisis Performansi Pengering Pompa Kalor
Kajian tentang performansi suatu unit pengering system pompa kalor
dapat dianalisis dengan cara menghitung beberapa parameter performansi, seperti:
efisiensi pengeringan, nilai laju ekstraksi air spesifik, konsumsi energi spesifik,
laju pengeringan kinerja dari pompa kalor (COP) dan kinerja dari sistem kompresi
uap hybrid.
2.6.1 Efisiensi Pengeringan (EP)
EP dihitung dengan cara membandingkan jumlah energi yang digunakan
untuk menguapkan kandungan air bahan dengan jumlah energi yang digunakan
untuk memanaskan udara pengering, dinyatakan dalam persen. Semakin tinggi
nilai efisiensi pengeringan maka performansi alat pengering tersebut semakin
baik.
Perhitungan Efisiensi pengeringan dapat dilakukan dengan mengunakan
persamaan :
………...….. (2.5)
Dimana :
Qp = energi yang digunakan untuk pengeringan (kJ)
Q = energi untuk memanaskan udara pengering (kJ).
2.6.2 Nilai Laju Ekstraksi uap Spesifik atau specific moisture extraction rate (SMER)
Nilai laju ekstraksi air spesifik atau specific moisture extraction rate
(SMER) merupakan perbandingan jumlah air yang dapat diuapkan dari bahan
dengan energi listrik yang digunakan tiap jam atau energi yang dibutuhkan untuk
Perhitungan SMER menggunakan persamaan (Sumber : Mahlia, Hor and
Tout = Temperatur udara keluar evaporator (0C)
Wc = Daya kompressor (kW)
X = Air yang di serap
Perhitungan Specific moisture extraction rate (SMER) didefiniskan
sebagai perbandingan air yang disingkirkan dari bahan dalam kg/jam dengan input
energi dalam kW, dapat juga dicari dengan menggunakan persamaan [13] :
SMER =
𝑚𝑚̇𝑑𝑑2.6.3 Konsumsi Energi Spesifik atau specific energy consumption (SEC)
Energi yang dikonsumsi spesifik atau specific energy consumption (SEC)
adalah perbandingan energi yang dikonsumsi dengan kandungan air yang hilang,
dinyatakan dalam kWh/kg dan dihitung dengan menggunakan persamaan (Sumber
Tin = Temperatur udara masuk evaporator (0C)
Tout = Temperatur udara keluar evaporator (0C)
Wc = Daya kompressor (kW)
X = Air yang di serap
Mahlia dkk [6] melakukan pengujian pengeringan pakaian dengan
menggunakan panas dari pembuangan kondensor satu unit AC tipe split.
Spesifikasi utama AC yang digunakan adalah dengan kapasitas pendinginan
10000 Btu/hr. Lemari pengering yang digunakan dapat bergerak bebas dan
dihubungkan langsung dengan kondensor. Tiga metode pengeringan
dibandingkan, yaitu pengeringan di dalam ruangan (indoor drying), pengeringan
di jemua langsung, dan pengeringan dengan lemari pengering dengan variasi suhu
ruangan (17oC, 19oC, 21oC, 23oC, dan 25oC). Parameter yang digunakan untuk
membandingkan ketiga metode pengeringan adalah SMER. Sebagai catatan dalam
penelitian ini digunakan juga parameter SEC (specific energy consumption).
Hubungan antara SMER dan SEC adalah:
SMER 1
SEC= ... (2.9)
2.6.4 Laju Pengeringan (drying rate)
Laju pengeringan (drying rate; kg/jam) adalah banyaknya air yang
diuapkan tiap satuan waktu atau penurunan kadar air bahan dalam satuan waktu.
Penurunan kadar air produk selama proses pengeringan dihitung dengan
menggunakan persamaan 2.8 (Sumber : Suntivarakorn, Satmarong ,
Benjapiyaporn, & Theerakulpisut, 2010). [11].
𝑚𝑚̇
𝑑𝑑=
𝑊𝑊𝑐𝑐−𝑊𝑊𝑡𝑡 𝑓𝑓 ………...…. (2.10)Dimana :
Wo = Berat pakaian sebelum pengeringan (kg)
Wf = Berat pakaian setelah pengeringan (kg)
Laju pengeringan biasanya meningkat di awal pengeringan kemudian
konstan dan selanjutnya semakin menurun seiring berjalannya waktu dan
berkurangnya kandungan air pada bahan yang dikeringkan.Laju pengeringan
merupakan jumlah kandungan air bahan yang diuapkan tiap satuan berat kering
bahan dan tiap satuan waktu.
2.6.5 Kinerja dari Pompa Kalor
Kinerja dari suatu pompa kalor dapat dinyatakan dalam coefficient of
performance (COP), yang didefinisikan sebagai perbandingan antara kalor yang
dilepaskan oleh kondensor dengan kerja yang dibutuhkan untuk menggerakkan
kompresor (Oktay and Hepbasli 2003):
𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶
ℎ𝑝𝑝,ℎ=
𝑄𝑄̇𝑊𝑊̇𝑐𝑐𝑑𝑑𝑐𝑐 ………..………. (2.11)
Dimana :
𝑄𝑄̇𝑐𝑐𝑑𝑑 = Kalor yang dilepaskan oleh kondensor
𝑊𝑊̇𝑐𝑐 = Kerja yang masuk dalam kompresor
Kalor yang dilepaskan oleh kondensor dihitung dengan persamaan:
𝑄𝑄̇
𝑐𝑐𝑑𝑑=
𝑚𝑚̇
𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝐶𝐶
𝑝𝑝,𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎�𝑇𝑇
𝑐𝑐,𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎− 𝑇𝑇
𝑎𝑎,𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎�
……….... (2.12)Dimana:
𝑚𝑚̇𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎 = laju aliran massa udara (kg/s)
𝐶𝐶𝑝𝑝,𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎 = panas spesifik udara (kJ/kg)
𝑇𝑇𝑐𝑐,𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎= suhu rata-rata udara keluar kondensor (
0
C)
𝑇𝑇𝑎𝑎,𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎 = suhu rata-rata udara keluar kondensor (
0
C)
Kerja yang masuk ke dalam sistem (kerja kompresor) di hitung dengan
persamaan:
Dimana :
Wc = kerja yang masuk dalam kompresor (kJ),
h1, h2 = entalpi pada tekanan evaporator dan kondensor (kJ/s)
2.6.6 Total Performance (TP)
Sebuah Sistem kompresi uap dengan memanfaatkan evaporator dan
kondensor sekaligus disebut dengan sistem kompresi uap hibrid. Kinerja dari
sebuah sistem kompresi uap hibrid dinyatakan dengan Total Performance (TP),
yang dirumuskan dengan:
……… (2.14)
Dimana :
Qe = kalor yang diserap oleh evaporator (kW),
Qc = kalor yang dilepaskan oleh kondensor(kW),
Wc = kerja Kompresor(kW).
Kalor yang diserap oleh evaporator dihitung dengan menggunakan
persamaan berikut:
……… (2.15)
2.6.7 Faktor Prestasi (PF)
Sebuah Sistem Kompresi Uap (SKU) dapat dimanfaatkan sebagai sumber
panas, dengan memanfaatkan panas buangan kondensornya. Jika hal ini yang
terjadi, maka performansinya dinyatakan dengan Faktor Prestasi (FP), yang
didefinisikan sebagai laju pelepasan kalor di kondensor dibagi dengan kerja
kompresor.
𝐹𝐹𝐶𝐶
=
𝑄𝑄𝑘𝑘 𝑊𝑊𝑐𝑐=
ℎ2−ℎ3 ℎ2−ℎ1
……….. (2.16)
𝑄𝑄̇𝐾𝐾 = Kalor yang dilepas oleh kondensor (kW)
𝑊𝑊̇𝑐𝑐 = Kerja yang masuk dalam kompresor (kW)
2.7 Periode Laju Pengeringan
Menurut Henderson dan Perry (1955), proses pengeringan memiliki 2 (dua)
periode utama yaitu periode pengeringan dengan laju pengeringan tetap dan
periode laju pengeringan menurun. Kedua periode utama ini dibatasi oleh kadar
air kritis (critical moisture content).
Henderson dan Perry (1955) menyatakan bahwa pada periode pengeringan
dengan laju tetap, bahan mengendung air yang cukup banyak, dimana pada
permukaan bahan berlangsung penguapan yang lajunya dapat disamakan dengan
laju penguapan pada permukaan air bebas. Laju penguapan sebagian besar
tergantung pada keadaan sekeliling bahan, sedangkan pengaruh bahannya sendiri
relative kecil.
Laju pengeringan akan menurun seiring dengan penurunan kadar air selama
pengeringan. Jumlah air terikat makin lama semakin berkurang. Perubahan dari
laju pengeringan tetap menjadi laju pengeringan menurun untuk bahan yang
berbeda akan terjadi pada kadar air yang berbeda pula.
Pada periode laju pengeringan menurun permukaan partikel bahan yang
dikeringkan tidak lagi ditutupi oleh lapisan air. Selama periode laju pengeringan
menurun, energi panas yang diperoleh bahan digunakan untuk menguapkan sisa
air bebas yang sedikit sekali jumlahnya.
Laju pengeringan menurun terjadi setelah laju pengeringan konstan dimana
kadar air bahan lebih kecil daripada kadar air kritis (Gambar 2.12).
Periode laju pengeringan menurun meliputi dua proses, yaitu : perpindahan
dari dalam ke permukaan dan permindahan uap air dari permukaan bahan ke
Gambar 2.12 Grafik Hubungan Kadar Air Dengan Waktu.
Keterangan :
AB = Periode pemanasan
BC = Periode laju pengeringan menurun pertama
CD = Periode laju pengeringan menurun pertama
DE = Periode laju pengeringan menurun kedua
2.8 Kadar Air
Kadar air merupakan salah satu sifat fisik dari bahan yang menunjukan
banyaknya air yang terkandung di dalam bahan. Kadar air biasanya dinyatakan
dengan persentase berat air terhadap bahan basah atau dalam gram air untuk setiap
100 gram bahan yang disebut dengan kadar air basis basah (bb). Berat bahan
kering atau padatan adalah berat bahan setelah mengalami pemanasan beberapa
waktu tertentu sehingga beratnya tetap atau konstan.
Kadar air bahan menunjukkan banyaknya kandungan air persatuan bobot
bahan. Dalam hal ini terdapat dua metode untuk menentukan kadar air bahan
tersebut yaitu berdasarkan bobot kering (dry basis) dan berdasarkan bobot basah
(wet basis) [4].
Kadar air basis basah dapat ditentukan dengan persamaan berikut:
Kabb= Wa
Wt x 100%= Wt-Wk
Dimana:
Kabb = Kadar air basis basah (%)
Wa = Berat air dalam bahan (gram)
Wk = Berat kering mutlak bahan (gram)
Wt = Berat total (gram) = Wa + Wk
Kadar air basis kering adalah perbandingan antara berat air yang ada dalam
bahan dengan berat padatan yang ada dalam bahan. Kadar air berat kering dapat
ditentukan dengan persamaan berikut:
Kabk= Wa
Kadar air basis kering adalah berat bahan setelah mengalami pengeringan
dalam waktu tertentu sehingga beratnya konstan. Pada proses pengeringan, air
yang terkandung dalam bahan tidak dapat seluruhnya diuapkan meskipun
demikian yang diperoleh disebut juga sebagai berat bahan kering [4].
2.9 Moisture Ratio (Rasio Kelembaban)
Sama halnya dengan laju kadar air, rasio kelembaban juga mengalami
penurunan selama proses pengeringan. kenaikan suhu udara pengeringan
mengurangi waktu yang diperlukan untuk mencapai setiap tingkat rasio
kelembaban sejak proses transfer panas dalam ruang pengeringan meningkat.
Sedangkan, pada suhu tinggi, perpindahan panas dan massa juga meningkat dan
kadar air bahan akan semakin berkurang [7].
Rasio kelembaban (moisture ratio) pada pakaian selama pengeringan dihitung
MR= Mt - Me
Mo - Me
…..………..….(2.19)
Dimana MR merupakan moisture ratio (rasio kelembaban), Mt merupakan
kadar air pada saat t (waktu selama pengeringan, menit), Mo merupakan kadar air
awal bahan, dan Me merupakan kadar air yang diperoleh setelah berat bahan
konstan. Nilai satuan Mt, Mo dan Me merupakan persentase dari kadar air basis