• Tidak ada hasil yang ditemukan

EVALUASI PROGRAM PENGEMBANGAN KAMPOENG BATIK LAWEYAN DALAM MENUNJANG PARIWISATA KOTA SURAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "EVALUASI PROGRAM PENGEMBANGAN KAMPOENG BATIK LAWEYAN DALAM MENUNJANG PARIWISATA KOTA SURAKARTA"

Copied!
180
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI PROGRAM PENGEMBANGAN

KAMPOENG BATIK LAWEYAN DALAM MENUNJANG PARIWISATA

KOTA SURAKARTA

SKRIPSI

Disusun Oleh :

FITRIA APRILIANI DEWI

D 1110008

Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Mencapai Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Jurusan Ilmu Administrasi

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2012

(2)

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sebelas Maret

Surakarta

Mengetahui, Dosen Pembimbing

Drs. Agung Priyono, M.Si. NIP. 19550423 198103 1 002

(3)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Menurut Undang-undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan Bab I Pasal 1; dinyatakan bahwa Pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasuk pengusahaan obyek dan daya tarik wisata serta usaha-usaha yang terkait di bidang tersebut. Sedangkan pengertian wisata sendiri adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati obyek dan daya tarik wisata. Dan kepariwisataan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan penyelenggaraan pariwisata.

Kepariwisataan mempunyai peranan penting untuk memperluas dan memeratakan kesempatan berusaha dan lapangan kerja, mendorong pembangunan daerah, memperbesar pendapatan nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat serta memupuk rasa cinta tanah air, memperkaya kebudayaan nasional dan memantapkan pembinaannya dalam rangka memperkukuh jati diri bangsa dan mempererat persahabatan antar bangsa.

Keadaan alam, flora dan fauna, peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, serta seni dan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia merupakan sumber daya dan modal yang besar artinya bagi usaha pengembangan dan peningkatan kepariwisataan. Oleh karena itu diperlukanlah langkah-langkah

(4)

pengelolaan dan pengaturan yang tepat yang dapat mewujudkan keterpaduan dalam kegiatan penyelenggaraan kepariwisataan, serta memelihara kelestarian dan mendorong upaya peningkatan mutu lingkungan hidup serta obyek dan daya tarik wisata sehingga dapat membawa banyak keuntungan dan kemajuan bagi pembangunan negara Indonesia.

Melihat potensi wisata yang dimiliki Indonesia dan peranan penting kepariwisataan tersebut, pemerintah terus berupaya untuk mengembangkan sektor pariwisata yang dinilai dapat mendatangkan banyak keuntungan dan kemajuan pembangunan negara. Hal tersebut semakin dikuatkan dengan keluarnya Inpres No.16 Tahun 2005 tentang Kebijakan Pembangunan Kebudayaan dan Pariwisata. Dalam Inpres No.16 Tahun 2005 itu Presiden menginstruksikan langkah keterpaduan dalam pembangunan kebudayaan dan pariwisata kepada 17 menteri, 2Â kepala badan, kapolri serta para gubernur, bupati, dan walikota se-Indonesia.

Seperti halnya dengan daerah-daerah yang menjadi tujuan wisata karena terkenal dengan keindahan alamnya seperti di Bali, Lombok, dan Karimun Jawa yang terkenal dengan keindahan pantainya, Bunaken yang terkenal dengan tempat menyelam, Papua dengan Raja Ampat, dan berbagai taman nasional di Sumatra. Maupun tempat-tempat wisata lain seperti Candi Prambanan dan Borobudur, Toraja, Yogyakarta, Minangkabau, dan Bali yang menjadi tujuan wisata budaya di Indonesia. Kota Surakarta, kota yang terletak di Propinsi Jawa Tengah ini juga memiliki potensi wisata yang tidak kalah

(5)

dengan daerah lain di Indonesia yang menjadikan kota Surakarta sebagai tujuan wisata budaya.

Kota Surakarta atau yang dikenal juga dengan kota Solo mendapat predikat sebagai kota budaya dikarenakan apabila berkunjung ke Solo, kita dapat dengan mudah menjumpai tempat-tempat/bangunan bersejarah, produk kesenian, makanan khas, serta pertunjukan tradisional. Selain itu adaya kegiatan-kegiatan kebudayaan ditambah dengan berbagai ritual upacara yang dilaksanakan di Keraton Kasunanan maupun Mangkunegaran memperkuat julukan Solo sebagai kota budaya. Oleh karena itu Keraton Surakarta dan Puri Mangkunegaran dijadikan perwakilan budaya Jawa untuk terus dilestarikan demi kelangsungan warisan dari masa lalu dan sejarah. Kondisi masyarakat Solo masih banyak berpegang pada nilai-nilai tradisonal meskipun perkembangan teknologi juga pesat, membuktikan bahwa kebudayaan Jawa telah mengakar dengan kehidupan masyarakat Solo dan semakin memperkuat julukan kota Surakarta sebagai Kota Budaya.

Selain adanya Keraton Kasunanan Surakarta dan Keraton Mangkunegaran sebagai pusat kebudayaan di Indonesia, daya tarik wisata tersebut makin menjadi magnet karena keberadaan Pasar Klewer yang terkenal dengan pusat grosir batik terbesar di Indonesia. Selain itu ada Pusat Grosir Solo dan Beteng Trade Center, sebagai alternatif grosir pakaian dan batik dengan gerai yang lebih modern dan lebih nyaman berlokasi tepat di timur bundaran Gladag (Patung Slamet Riyadi). Di utara pasar klewer juga dapat ditemukan perkampungan yang biasa dikenal dengan Kampoeng Batik

(6)

Kauman. Di Kampoeng Batik Kauman kita bisa belajar membantik, ataupun belanja; harganya lebih miring dibandingkan dengan belanja di tempat lain. Selain Kauman, adapula Kampoeng Batik Laweyan yang jaman dulu terkenal sebagai kampung priyayi (orang kaya), juragan batik paling terkenal di Solo. Jika kita melewati dua perkampungan ini, kita seolah-oleh akan dibawa ke masa lampau. Bangunan era kolonial Belanda di kedua perkampungan ini masih dipertahankan hingga sekarang. Dan bagi yang suka dengan benda benda bersejarah, ada Museum Radya Pustaka. Lokasi museum ini ada di tengah kota bersebelahan dengan Taman Hiburan Rakyat (THR) Sriwedari dan Gedung Wayang Orang (GWO) Sriwedari.

Selain tujuan wisata yang telah disebutkan di atas, masih banyak lagi potensi-potensi wisata yang lainnya beserta faktor dan fasilitas-fasilitas pendukung pariwisata di kota Surakarta, antara lain :

1. Kota Surakarta terletak pada jalur strategis yaitu diantara Yogyakarta – Solo/Surakarta – Semarang – Surabaya – Bali.

2. Terdapatnya Bandara Adi Sumarmo, sehingga akses perjalanan wisatawan (wisman) serta wisatawan (wisnus) untuk berkunjung ke kota Surakarta semakin mudah.

3. Banyaknya lembaga atau sanggar seni dan budaya seprti di ISI (institut Seni Indonesia) di kota Surakarta yang menambah daya tarik wisatawan yang ingin belajar seni budaya Indonesia terutama seni budaya Jawa. 4. Tersedianya sarana dan prasarana yang mendukung program

kepariwisataan di kota Surakarta seperti tempat penginapan/hotel,

(7)

tempat hiburan, tempat perbelanjaan, alat transportasi yang lengkap mulai dari tradisional hingga modern (seperti: becak, Bus Solo Trans/BST, sepur Klutuk ‘Jaladara’, bus Tingkat ‘Werkudoro’, kereta uap, dan sebagainya), serta adanya biro perjalanan wisata yang cukup memadai. 5. Kota Surakarta kaya akan kuliner daerah yang memiliki cita rasa khas dan

jarang ditemukan di daerah-daerah lain, seperti : intip, serabi solo, nasi liwet, gudeg ceker, cabuk rambak, dan lain sebagainya.

Melihat banyaknya potensi wisata yang dimiliki, pemerintah daerah kota Surakarta terus berupaya untuk mengingkatkan sektor pariwisata dengan memanfaatkan potensi-potensi yang sudah ada tersebut. Hal tersebut sejalan dengan Peraturan Daerah Kota Madya Tingkat II Surakarta Tahun 1993-2013 Paragraf 7 Pasal 16 tentang Budaya dan Pariwisata yang berbunyi sebagai berikut :

1. Memanfaatkan unsur buatan manusia baik bangunan lama yang penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan maupun bangunan baru (di pusat kota dan sekitarnya) untuk pengembangan budaya, penelitian/ pendidikan dan industri pariwisata sebagai jati diri kota.

2. Memanfaatkan unsur-unsur buatan manusia, unsur alam dan kegiatan tradisional rakyat untuk pengembangan industri pariwisata.

3. Pengembangan wisata terpadu antara wisata dunia usaha, budaya, pendidikan, penelitian, olahraga dan konferensi.

(8)

Dalam rangka meningkatkan potensi wisata yang ada di kota Surakarta, ada beberapa kebijakan dan program yang dilakukan oleh pemerintah kota Surakarta, antara lain :

1. Melakukan kegiatan promosi wisata kota Surakarta.

2. Membenahi pasar tradisional yang ada di kota Surakarta menjadi lebih rapi, bersih, dan tertata; karena pasar tradisional seperti Pasar Klewer dan Pasar Gede merupakan salah satu tujuan wisata belanja.

3. Melakukan revitalisasi di sejumlah obyek wisata di kota Surakarta seperti revitalisasi Taman Balekambang, THR Sriwedari, Taman Jurug, dan beberapa obyek wisata lainnya.

4. Melakukan acara atau event-event penting secara rutin seperti Solo Batik Carnival (SBC), SIEM (Solo International Etnik Music), SIPA (Solo International Performing Art), dan event lainnya yang menambah daya tarik wisatawan untuk mengunjungi kota Surakarta.

5. Meningkatkan sarana dan prasarana pendukung pariwisata, seperti hotel, tempat perbelanjaan, perbaikan jalan, akses transportasi, dan sebagainya. Dan beberapa waktu terakhir ini yang paling gencar digalakkan pemerintah kota Surakarta adalah program peningkatan sarana transportasi dalam rangka mendukung pariwisata kota Surakarta seperti diresmikannya Batik Trans Solo (BTS), Seput Kluthuk Jaladara, Kereta Uap, serta Bus Tingkat Werkudoro.

Dari sekian banyak potensi wisata yang ada di kota Surakarta, salah satu potensi warisan budaya yang banyak menarik minat wisatawan baik itu

(9)

wisatawan asing (wisman) maupun wisatawan nusantara (wisnus) untuk mengunjungi kota Surakarta adalah kerajinan “Batik”. Batik merupakan satu dari sekian banyak kekayaan budaya Indonesia. Dulu orang mengenal batik sebagai barang kuno, dan kebanyakan digunakan sebagai kain gendongan oleh ibu-ibu atau bahkan nenek kita. Jarang sekali kaum muda yang mengenakan batik. Bahkan batik hanya digunakan untuk acara-acara resmi atau acara tertentu saja. Tapi kini, sejak tahun 2008 batik mengalami perkembangan. Hal tersebut dapat dilihat dari mulai digunakannya batik oleh banyak kalangan, seolah-olah batik sedang berada dipuncak kejayaannya. Orang berlomba-lomba mengenakan batik, pria, wanita, tua, muda. Tidak hanya masyarakat biasa, batik juga sudah merambah kekalangan artis. Dengan berbagai macam alasan mereka menggunakan batik.

Batik merupakan aset budaya Indonesia yang diakui pula sebagai warisan budaya dunia. Hal tersebut dibuktikan dengan diakui dan disahkannya secara resmi Batik Indonesia sebagai warisan budaya dunia

(World Heritage) pada tanggal 2 Oktober 2009 oleh United Nations

Educational, Scientific, and Culture Organization (UNESCO) yang

kemudian tanggal tersebut dijadikan sebagai Hari Batik.

Kain yang memiliki ragam hias atau corak yang dibuat dengan canting dan cap ini diakui UNESCO sebagai salah satu warisan budaya dunia karena Batik Indonesia memiliki motif yang beragam dan memiliki makna filosofi yang mendalam. Selain itu penghargaan oleh UNESCO menjadikan Batik Indonesia sebagai warisan budaya dunia itu juga didasarkan karena

(10)

pemerintah dan rakyat Indonesia dinilai telah melakukan berbagai langkah nyata untuk melindungi dan melestarikan warisan budaya itu secara turun-temurun. Dan Tentang sejarahnya, batik yang merupakan kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi ini telah menjadi bagian dari budaya Indonesia, khususnya Jawa sejak zaman nenek moyang. Tidak ada catatan sejarah yang pasti dari mana kerajinan batik ini berasal, tetapi teknik membatik sudah dikenal sejak ribuan tahun silam dan berkembang di Jawa. (http://kurniasepta.com/bangga-dengan-batik-sebagai-warisan-budaya)

Kata batik konon berasal mula dari kata 'tik' yang berarti titik. Batik ada hubungannya dengan titik, dikarenakan dalam proses pembuatan batik melalui tahapan penetesan lilin ke kain putih yang akan dijadikan batik nantinya. Saat proses penetesan tersebut maka tetesan lilin itu akan berbunyi tik-tik-tik sehingga akhirnya lahirlah istilah kata batik. Di lain sisi, ada pihak yang berpendapat bahwa kata batik bersumber pada sumber-sumber tulis kuno yang dihubungkan dengan tulisan, atau lukisan . Kedua pendapat ini hingga sekarang masih digunakan untuk menjelaskan asal-usul kata batik, dan hal ini sebenarnya tidak menjadi masalah mendasar dalam upaya pengembangan batik di masa sekarang dan mendatang. Batik merupakan salah satu kekayaan budaya Indonesia, yang juga ditetapkan sebagai warisan dunia. Batik mengakar di kehidupan bangsa, terlihat di setiap jengkal daerah memiliki batik dan menjadikannya identitas. Demikian juga batik Solo yang telah termasyhur bahkan hingga keluar negeri. Selain menjadi busana tradisional khas Solo, batik juga menjadi icon kota Surakarta yang sangat

(11)

tersohor dan terkenal kualitasnya. (http://kulinet.com/baca/batik-sebagai-warisan-budaya-indonesia/29/)

Batik Indonesia sejak dahulu hingga sekarang telah dikenal luas oleh masyarakat, baik dari dalam maupun luar negeri. Batik yang semula hanya ada di Jawa khususnya Jawa Tengah kemudian berkembang ke daerah-daerah lain di Indonesia. Setiap daerah memiliki keberagaman corak batik yang menjadi ciri khas setiap daerah. Antara daerah satu dengan yang lain memiliki corak dan motif yang berbeda. Ada batik Yogyakarta, Solo, Cirebon, Madura, Jepara, Tulungagung, Banyumas, Banten Pekalongan, Tasik, bahkan batik juga ada di luar Jawa seperti di Bali, Aceh, Palembang, Ambon, dan daerah lainnya.

Meskipun di daerah-daerah lain juga mempunyai kerajinan batik, tetapi Batik Solo mempunyai ciri khas tersendiri dibandingkan dengan daerah-daerah lain. Batik Solo terkenal dengan corak dan pola tradisionalnya batik dalam proses cap maupun dalam batik tulisnya. Bahan-bahan yang dipergunakan untuk pewarnaan masih tetap banyak memakai bahan-bahan dalam negeri seperti soga Jawa (kombinasi warna coklat muda, coklat tua, coklat kekuningan, coklat kehitaman, dan coklat kemerahan) yang sudah terkenal sejak dari dahulu. Polanya tetap antara lain terkenal dengan “Sidomukti” dan “Sidoluruh”.Kekhasan batik solo sudah terkenal di seluruh Indonesia dan mancanegara, bahkan sudah menjadi produk eksport andalan.

Batik Solo menguatkan aura megah dan kesan anggun. Tidak semata-mata karena paduan warna dan lekuk motifnya, melainkan makna yang

(12)

terkandung di balik setiap motif itu. Dalam sejarah, hanya di wilayah Jawa tepatnya di Solo dan Jogjakarta, batik masuk ke ranah kekuasaan. Motif-motif batik khusus dibuat untuk raja dan kalangan keraton. Selain motif, warna soga (kecokelatan) yang menjadi ciri khas batik Solo, dan kemudian disebut sebagai batik Sogan ini, memiliki arti “kerendahan hati, bersahaja” menandakan kedekatan dengan bumi, alam, yang secara sosial bermakna dekat dengan rakyat. Di antara beragam motif yang ada, ditemukan lima motif khas batik Solo yang menarik untuk diperhatikan, antara lain :

1. Sido Asih

Motif geometris berpola dasar bentuk-bentuk segi empat yang memiliki arti keluhuran. Saat mengenakan kain Sido Asih, berarti seseorang mengharapkan kebahagiaan hidup. Motif ini dikembangkan setelah masa pemerintahan SISKS PB IV di keraton Surakarta.

2. Ratu Ratih

Nama motif ini diambil dari kata "Ratu Patih" yang berarti seorang raja yang memerintah didampingi oleh perdana menterinya, karena usia yang masih sangat muda. Motif batik yang menggambarkan kemuliaan, dan hubungan penggunanya dengan alam sekitar ini, mulai dibuat pada masa pemerintahan SISKS Pakoeboewono VI di tahun 1824.

3. Parang Kusuma

Parang adalah motif diagonal, berupa garis berlekuk-lekuk dari sisi atas ke sisi bawah kain. Sedangkan Kusuma berarti bunga. Motif Parang Kusuma ini menjelaskan penggunanya memiliki darah raja (keturunan

(13)

raja) atau disebut sebagai darah dalem. Motif batik ini berkembang pada masa pemerintahan Ingkang Panembahan Senopati di Kerajaan Mataram pada abad ke - 16.

4. Bokor Kencana

Sebuah motif geometris berpola dasar berbentuk lung-lungan yang mempunyai makna harapan dan keagungan, kewibawaan. Motif ini untuk pertama kalinya dibuat untuk dikenakan PB XI.

5. Sekar Jagad

Sekar berarti bunga dan jagad adalah dunia. Paduan kata yang tercermin dari nama motif ini adalah “kumpulan bunga sedunia”. Motif ini merupakan perulangan geometris dengan cara ceplok (dipasangkan bersisian), yang mengandung arti keindahan dan keluhuran kehidupan di dunia. Motif ini mulai berkembang sejak abad ke-18.

(http://www.batikcintaku.com/node/70)

Solo memang terkenal dengan wilayah penghasil batik. Solo juga merupakan tempat wisata berbelanja batik yang cukup terkenal dan sering dikunjungi oleh wisatawan asing dan domestik. Batik sudah seperti identitas dari kota Solo ini. Hasil produksi batik pun sudah diekspor hingga ke luar negeri. Sebagai sebuah kota yang identik dengan batik, Solo memiliki beberapa daerah sentra penghasil batik. Dua daerah yang cukup terkenal di kalangan pecinta batik adalah Kampoeng Batik Laweyan dan Kampoeng Batik Kauman. Masyarakat di dua daerah tersebut sebagian besar menggantungkan hidupnya dari batik.

(14)

Posisi batik menjadi salah satu aset penguat pariwisata dan perekonomian yang mendorong tumbuhnya perdagangan, seni dan budaya di kota Surakarta. Sebagai pendorong perekonomian yang mendorong tumbuhnya perdagangan, batik banyak ditemukan di pusat-pusat perbelanjaan di kota Surakarta dari tradisional hingga modern. Di pusat perbelanjaan tradisional koleksi batik dapat ditemukan di Pasar Klewer (pusat perdagangan batik), PGS, Beteng, Ngarsopuro, dan pasar-pasar tradisional di kota Surakarta dengan harga yang cukup murah serta masih bisa ditawar. Selain itu batik dapat pula ditemukan di tempat-tempat lain seperti di Kauman, Laweyan, Museum Galeri Batik Danar Hadi, dan sebagainya.

Salah satu pusat pedagangan batik terbesar di kota Surakarta adalah Pasar Batik Klewer. Pasar Batik Klewer merupakan salah satu pasar terbesar di kota Solo tempat dipasarkannya berbagai macam barang dagangan yang mayoritas barang dagangannya berupa kain batik maupun kain tenun. Kondisi perdagangan di Pasar Batik Klewer selalu ramai akan pengunjung sehingga mampu memperoleh omzet milyaran rupiah setiap harinya.

Melihat warisan hasil kerajinan Batik yang sangat berarti, bernilai, dan berpotensi dalam perkembangan sektor pariwisata yang dapat menjadi sumber devisa dan alternatif sumber pendapatan yang menguntungkan bagi kemajuan daerah serta kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat kota Surakarta, pemerintah kota Surakarta terus berupaya untuk mengenalkan dan mempromosikan kerajinan Batik Solo. Salah satu langkah pemerintah yang dijalankan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (DISBUDPAR) kota

(15)

Surakarta dalam rangka mengembangkan potensi warisan budaya Batik Solo yaitu dengan mendukung usaha pegembangan wisata Kampoeng Batik yang ada di kota Surakarta.

Kegiatan wisata di Kampoeng Batik tidak hanya dalam hal jual beli batik, tetapi juga komponen atau unsur-unsur penunjang lainnya, seperti museum batik, cara pengenalan dan pembuatan batik, tempat untuk belajar membuat batik, serta sarana dan prasarana penunjang lainnya. Di kota Surakarta terdapat 2 (dua) wisata Kampoeng Batik yang cukup terkenal, yaitu Kampoeng Batik Laweyan dan Kampoeng Batik Kauman.

Dalam hal ini peneliti akan terfokus melakukan penelitian di Laweyan karena daerah tersebut merupakan sentra batik yang pertama kali berdiri di Indonesia yang memiliki banyak sejarah dan telah mengalami pasang surut dalam perkembangannya. Selain itu tujuan lain peneliti lebih memilih memfokuskan penelitian di Laweyan karena telah ditetapkannya Laweyan sebagai “Cagar Budaya” berdasarkan SK Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No.PM3/PW007/MKP/2010 tentang Penetapan kawasan Laweyan sebagai Benda Cagar Budaya, Situs atau Kawasan Cagar Budaya yang dilindungi UU RI No.5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya tahun 2010.

Kampoeng Batik Laweyan merupakan kawasan sentra industri batik yang sudah ada sejak zaman kerajaan Pajang tahun 1546 M dan mencapai kejayaan pada era 1970an. Karya seni tradisional batik terus ditekuni masyarakat Laweyan sampai sekarang. Suasana kegiatan membatik di Laweyan tempo dulu banyak didominasi oleh keberadaan para juragan batik

(16)

sebagai pemilik usaha batik. Jika kita berkunjung kesana, kita dapat melihat sendiri proses pembuatan batik, tentunya ini pengalaman yang tidak akan kita dapatkan di toko atau butik di tempat lain.

Sebagai langkah strategis untuk melestarikan seni batik, Kampoeng Laweyan di desain sebagai sebuah perkampungan batik, bahkan secara resmi telah ditetapkan oleh Pemerintah Kota Solo sebagai salah satu objek wisata belanja yang menjadi salah satu andalan kota Solo. Kawasan terpadu ini memanfaatkan lahan seluas kurang lebih 24 Ha yang terdiri dari 3 blok. Konsep pengembangan terpadu dimaksudkan untuk memunculkan nuansa batik dominan yang secara langsung akan mengantarkan para pengunjung pada keindahan seni batik. Sebagai bukti keseriusan pemerintah dalam hal ini Pemerintah Kota Surakarta untuk mengembangkan kawasan batik di Solo, Pemkot melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (DISBUDPAR) secara rutin menggelar Festival Batik.

Pengelolaan Kampoeng Batik Laweyan diorientasikan untuk menciptakan suasana wisata dengan konsep rumahku adalah galeriku, artinya rumah memiliki fungsi ganda sebagai showroom sekaligus rumah produksi. Tentu ini akan memberikan pengalaman belanja lain dari biasanya. Disepanjang jalan perkampungan ini kita dapat menemukan banyak showroom/galeri batik. Beberapa galeri yang dapat kita temukan diantaranya Batik Merak Manis, Tjokrosumarto, Puspa Kencana, Gress Tenan, Putu Laweyan, Kencana Murni, Cahaya Putra, Marin, Cempaka, Gunawan Design,

(17)

Molina, Tjahaja Baru, Santika, Sidoluhur, Putra Laweyan, Luar Biasa, Mahkota Laweyan, Cempaka, Surya Pelangi, Doyohadi, dan sebagainya.

Bukti pengembangan kampung batik Laweyan dalam rangka menunjang pariwisata di kota Surakarta adalah dengan memperluas wilayah Kampoeng Batik Laweyan. Wilayah Kampoeng Batik Laweyan mulai diperluas menjadi empat kelurahan yakni Laweyan, Bumi, Sondakan dan Pajang. Hal ini ditandai dengan dipasangnya papan nama di simpang empat Purwosari. Ketua Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan (FPKBL), Alpha Febela Priyatmono mengungkapkan, pengembangan ini adalah dampak dari semakin berkembangnya perekonomian batik di Solo. ”Memang secara historis, Laweyan lah sebagai pusatnya. Namun tidak dipungkiri denyut batik Laweyan ikut menggetarkan wilayah di sekitarnya”, kata Alpha. Perkembangan itu, tambahnya, akan semakin membangkitkan usaha batik dan menyerap banyak tenaga kerja. Saat ini, di empat kelurahan itu ada 200-an pengusaha batik. Diperkirakan, jumlah tersebut akan semakin bertambah. Alpha menjelaskan, kawasan itu akan dibagi sesuai keistimewaan dan potensi masing-masing. Setiap kelurahan atau kampung memiliki ciri khas yang berbeda-beda. Hal itu akan diatur agar saling mendukung dan tidak saling menjatuhkan. ”Ini memberikan banyak pilihan bagi pengunjung untuk menikmati wisata batik,” katanya. (http://eka.web.id/wilayah-kampung-batik-laweyan-diperluas.html)

Kampoeng Laweyan merupakan kawasan sentra industri batik yang unik, spesifik dan bersejarah. Pada jaman sebelum kemerdekaan Kampoeng

(18)

Laweyan pernah memegang peranan penting dalam kehidupan politik terutama pada masa pertumbuhan pergerakan nasional. Sekitar tahun 1911 Serikat Dagang Islam (SDI) berdiri di kampung Laweyan dengan Kyai Haji Samanhudi sebagai pendirinya. Dalam bidang ekonomi para saudagar batik Laweyan juga merupakan perintis pergerakan koperasi dengan didirikannya “Persatoean Peroesahaan Batik Boemi Putera Soerakarta” pada tahun 1935. (www.kampoenglaweyan.com)

Soedarmono dalam Argyo yang dikutip oleh Ema (2010: 6) menjelaskan bahwa kultur atau budaya batik sangat mewarnai kehidupan masyarakat Laweyan. Macam pekerjaan yang ada dalam kehidupan masyarakat Laweyan adalah homogen yaitu industri batik. Dalam stratifikasi kelompok masyarakat Laweyan, boleh dikatakan hanya mengenal dua lapisan, yaitu juragan (pengusaha) dan buruh. Kampoeng dagang adalah sebutan yang tepat bagi daerah itu, sedang sebutan “Wong Laweyan” terasa akrab menunjuk individu-individu Laweyan sebagai pengusaha batik.

Dulu terdapat pengelompokan sosial dalam kehidupan masyarakat Laweyan, yaitu kelompok wong saudagar (pedagang), wong cilik (orang

kebanyakan), wong mutihan (Islam atau alim ulama) dan wong priyayi

(bangsawan atau pejabat). Selain itu dikenal pula golongan saudagar atau juragan batik dengan pihak wanita sebagai pemegang peranan penting dalam menjalankan roda perdagangan batik yang biasa disebut dengan istilah mbok

mase atau nyah nganten. Sedang untuk suami disebut mas nganten sebagai

pelengkap utuhnya keluarga. Sebagian masyarakat Laweyan masih tampak

(19)

aktif nguri – uri (melestarikan) kesenian tradisional seperti musik keroncong dan karawitan yang biasanya ditampilkan (dimainkan) sebagai pengisi acara hajatan seperti mantenan, sunatan, tetakan, dan kelahiran bayi. Dalam bidang keagamaan, sebagian besar penduduk Laweyan beragama Islam terlihat aktif menyelenggarakan kegiatan-kegiatan keagamaan, seperti pengajian, tadarusan, semakan dan aktivitas-aktivitas keagamaan lainnya, baik secara terjadwal maupun insidental. (www.kampoenglaweyan.com)

Di perkampungan ini kita juga dapat menjumpai beberapa situs sejarah masa lalu diantaranya makam Kyai Ageng Anis (tokoh yang menurunkan raja-raja Mataram), bekas rumah Kyai Ageng Anis dan Sutowijoyo (Panembahan Senopati), bekas pasar Laweyan, bekas Bandar Kabanaran, makam Jayengrana (Prajurit Untung Suropati), Langgar Merdeka, Langgar Makmoer dan rumah H. Samanhudi pendiri Serikat Dagang Islam. Keberadaan situs ini semakin menambah kekentalan nuansa sejarah kejayaan masa lalu. Selain itu Laweyan juga terkenal dengan bentuk bangunan khususnya arsitektur rumah para juragan batik yang dipengaruhi arsitektur tradisional Jawa, Eropa, cina dan Islam. Maka tak salah jika Kampoeng Laweyan pada masa lalu mendapatkan julukan sebagai ”Kampoeng Juragan Batik”. Bangunan-bangunan tersebut dilengkapi dengan pagar tinggi atau “beteng” yang menyebabkan terbentuknya gang-gang sempit spesifik seperti kawasan Town Space. Kelengkapan khasanah seni dan budaya Kampoeng Batik Laweyan tersebut menjadi sebab tingginya frekuensi kunjungan wisatawan dari dinas dan institusi pendidikan, swasta, mancanegara.

(20)

(http://suyatno.wordpress.com/2010/05/25/wisata-belanja-dan-sejarah-di-kam pung-batik-laweyan/)

Dari hal tersebut dapat dilihat Laweyan memiliki banyak potensi yang dapat dikembangkan. Namun Laweyan pernah mengalami penurunan industri yaitu kurang berminatnya wisatawan untuk berkunjung ke Laweyan. Hal tersebut terjadi karena kurangnya promosi untuk memperkenalkan potensi yang ada di Kampoeng Batik Laweyan. Selain itu penurunan juga terjadi karena timbulnya kelesuan pasaran batik akibat munculnya pengusaha-pengusaha bermodal besar serta peralatan-peralatan dan teknik-teknik yang lebih maju.

Melihat kemunduran yang terjadi di Kampoeng Batik Laweyan, perlu diadakannya suatu program yang bertujuan untuk menghidupkan kembali potensi-potensi yang ada disana. Untuk itu pada tanggal 25 September 2004 didirikanlah Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan (FPKBL) yang didirikan oleh Alpha Febela Priyatmono beranggotakan seluruh masyarakat Laweyan. Pengurus FPKBL terdiri dari berbagai unsur masyarakat Laweyan baik dari para pengusaha batik, para pemuda dan para wirausaha sektor lainnya. Tujuan dibentuknya FPKBL adalah membangun serta mengoptimalkan seluruh potensi Kampoeng Laweyan untuk bangkit kembali dan menyiapkan diri dalam menghadapi tantangan globalisasi.

Ainun (2011: 3-4) mengatakan bahwa usaha penyelamatan kawasan Laweyan oleh FPKBL tersebut mendapat dukungan dari Pemerintah Kota Surakarta dan membuahkan hasil yang sangat baik. Ekonomi di Laweyan

(21)

mulai meningkat dan jumlah pengusaha batik Laweyan bertambah menjadi 63 pengusaha batik. Selain itu, sejak tahun 2004 secara resmi Laweyan ditetapkan oleh Walikota Solo pada saat itu, yakni Slamet Suryanto, sebagai daerah tujuan wisata dan kawasan urban heritage dengan nama Kampoeng Batik Laweyan.

Ainun (2011: 4) juga menjelaskan bahwa lewat FPKBL, kawasan Laweyan ditata kembali menjadi kawasan yang lebih ‘apik’. Hal ini tentunya membuat warga Laweyan semakin mempunyai rasa memiliki akan kawasan itu, mengingat pentingnya menjaga Laweyan dari kepunahan. Pihak FPKBL sendiri juga membuat semacam grand desain untuk menentukan wilayah

mana yang dapat diubah maupun yang tetap dipertahankan keutuhannya. Semua kegiatan yang dilakukan oleh Forum Pengembangan Kampoeng Batik dalam upaya menghidupkan kembali Laweyan ini mengalir melalui pendekatan partisipatif dan kerelaan warganya. Mereka bergerak dengan hati untuk mengupayakan masyarakat kian berdaya secara ekonomi. Seperti yang kita ketahui bahwa anggota dari FPKBL ini juga berasal dari masyarakat Laweyan baik dari para pengusaha batik, para pemuda dan para wirausaha sektor lainnya. Alpha melibatkan semua elemen dalam hal ini warga Laweyan sendiri untuk menghidupkan kembali kawasan ini.

Melihat kebijakan dalam rangka pengembangan Kampoeng Batik Laweyan, peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Evaluasi Program Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan dalam Menunjang Pariwisata Kota Surakarta”. Subarsono (2006: 119)

(22)

mengungkapkan bahwa evaluasi adalah kegiatan untuk menilai tingkat kinerja suatu kebijakan. Oleh karena itu, penelitian yang berfokus pada evaluasi program ini bertujuan untuk memberikan penilaian tentang keberhasilan program pengembangan Kampoeng Batik Laweyan dalam menunjang Pariwisata kota Surakarta.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dijabarkan di atas, agar dalam pembahasan lebih terarah pada inti penulisan maka Peneliti membuat suatu rumusan masalah, yaitu : “Bagaimanakah Keberhasilan Program Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan Dalam Menunjang Pariwisata Kota

Surakarta?”

C. Tujuan Penelitian

Penulis melakukan penelitian ini dengan beberapa tujuan, antara lain : 1. Untuk mengetahui gambaran rencana program pengembangan Kampoeng

Batik Laweyan dalam menunjang pariwisata kota Surakarta.

2. Untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan program pengembangan Kampoeng Batik Laweyan dalam menunjang pariwisata kota Surakarta. 3. Untuk mengetahui faktor-faktor pendukung dan penghambat serta harapan dari pelaksanaan program pengembangkan Kampoeng Batik Laweyan.

(23)

D. Manfaat Penelitian

1. Mendiskripsikan keberhasilan program pengembangan Kampoeng Batik Laweyan dalam menunjang pariwisata Kota Surakarta yang dilakukan oleh Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan (FPKBL) dengan bantuan Pemerintah kota Surakarta khususnya oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (DISBUDPAR) kota Surakarta sebagai fasilitator.

2. Dari segi pemerintah, dari penelitian ini diharapkan agar Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan (FPKBL) beserta pemerintah kota Surakarta terutama Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (DISBUDPAR) yang berkaitan langsung dengan kegiatan pengembangan Kampoeng Batik Laweyan dapat menganalisis hal-hal apa sajakah yang perlu dilakukan dalam rangka pengembangan Kampoeng Batik Laweyan, serta lebih memaksimalkan kinerjanya agar tujuan dari kegiatan pengembangan tersebut dapat tercapai.

3. Sebagai bentuk tambahan dalam penelitian dari penerapan teori Ilmu Administrasi Negara terhadap permasalahan mengenai evaluasi program, terutama evaluasi program dalam rangka pengembangan wisata, sehingga diharapkan penelitian ini dapat melengkapi dan memperbaiki penelitian yang ada sebelumnya.

(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

I. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kebijakan Program

Dalam penelitian ini kebijakan yang akan diteliti adalah mengenai Kebijakan Program Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan dalam Menunjang Pariwisata Kota Surakarta. Disini, penelitian lebih difokuskan pada evaluasi/penilaian keberhasilan dari program kebijakan tersebut. Di dalam studi evaluasi mencoba menilai sejauh mana suatu kebijakan/program tertentu mencapai keberhasilan dan membuahkan hasil. Kebijakan yang menyangkut rakyat atau masyarakat banyak (publik) sering disebut dengan kebijakan publik atau dapat juga disebut kebijakan program.

Ada banyak variasi definisi kebijakan publik dalam berbagai literatur. Thomas R. Dye dalam Subarsono (2010 : 2) menyatakan, “public

policy is whatever governments choose to do or not to do”. Kebijakan

publik adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan. Dari definisi tersebut mengandung makna bahwa (1) Kebijakan publik dibuat oleh badan pemerintah, bukan organisasi swasta; (2) Kebijakan publik menyangkut pilihan yang harus dilakukan atau tidak dilakukan oleh badan pemerintah.

(25)

Pendapat dari Thomas R. Dye tersebut senada dengan apa yang dikemukakan oleh Edward III dan Sharkansky dalam Joko Widodo (2008: 12) yang mengemukakan bahwa kebijakan publik adalah “what

government say and do, or not to do. It is the goals or purpose or

government programs”. Kebijakan publik adalah apa yang pemerintah

katakan dan dilakukan atau tidak dilakukan. Kebijakan merupakan serangkaian tujuan dan sasaran dari program-program pemerintah.

Lebih lanjut Kartasasmitra dalam Joko Widodo (2008: 12-13) mengatakan bahwa kebijakan merupakan upaya untuk memahami dan mengartikan : (1) apa yang dilakukan (atau tidak dilakukan) oleh pemerintah mengenai suatu masalah, (2) apa yang menyebabkan atau yang mempengaruhinya, dan (3) apa pengaruh dan dampak dari kebijakan publik tersebut.

(26)

Menurut Dye 1981 dan Anderson 1979 dalam Subarsono (2010: 4-5), mengatakan bahwa studi kebijakan publik memiliki tiga manfaat penting, yakni untuk pengembangan ilmu pengetahuan, meningkatkan profesionalisme praktisi, dan untuk tujuan politik.

Dengan demikian, Kebijakan publik adalah kebijakan pemerintah untuk melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan suatu tindakan berkenaan dengan publik (masyarakat) dari suatu daerah tertentu dan merupakan kewenangan dari aktor politik. Program pengembangan Kampoeng Batik Laweyan merupakan salah satu kebijakan publik yang bertujuan untuk menunjang atau memajukan potensi pariwisata di kota Surakarta. Hal ini dikarenakan Kampoeng Batik Laweyan merupakan salah satu aset pariwisata budaya yang dimiliki oleh pemerintah kota Surakarta yang perlu dijaga, dilestarikan, dan dikembangkan. Dalam pelaksanaan program kebijakan tersebut perlu adanya kegiatan evaluasi untuk memberikan penilaian mengenai sejauh mana keberhasilan program tersebut dapat dilaksanakan dan dampak dari pelaksanaan program tersebut.

(27)

Gambar 1

Proses Kebijakan Publik menurut William N. Dunn

Penyusunan Agenda

Formulasi Kebijakan

Adopsi Kebijakan

Implementasi Kebijakan

Penilaian Kebijakan

Sumber : Subarsono, 2010: 9

Perumusan Masalah

Forecasting

Rekomendasi Kebijakan

Monitoring Kebijakan

(28)

Gambar 2

Tahapan Kebijakan Publik menurut Ripley

Hasil

Hasil

Sumber : Subarsono, 2010: 11

B. Evaluasi Program

1) Pengertian

Istilah evaluasi mempunyai arti yang berhubungan, masing-masing menunjuk pada aplikasi beberapa skala nilai terhadap hasil kebijakan dan program. Secara umum istilah evaluasi dapat disamakan dengan penaksiran (appraisal), pemberian angka (rating) dan penilaian

(29)

(assessment), kata-kata yang menyatakan usaha untuk menganalisis

hasil program dalam arti satuan nilainya. Dalam arti yang spesifik, evaluasi berkenaan dengan produksi informasi mengenai nilai atau manfaat hasil program. Ketika hasil program pada kenyataannya mempunyai nilai, hal ini karena hasil tersebut memberi sumbangan pada tujuan dan sasaran. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa kebijakan atau program telah mencapai tingkat kinerja yang bermakna, yang berarti bahwa masalah-masalah yang berkaitan dengan program dibuat jelas atau diatasi. (Dunn, 2000: 608)

Lebih lanjut Subarsono (2010: 119) mengungkapkan bahwa evaluasi adalah kegiatan untuk menilai tingkat kinerja suatu kebijakan. Hal tersebut senada dengan pendapat Mustofadijaja dalam Joko Widodo (2008: 111) yang mengatakan bahwa evaluasi merupakan kegiatan pemberian nilai atas sesuatu “fenomena” yang di dalamnya terkandung pertimbangan nilai (value judgment) tertentu.

Muhadjir dalam Joko Widodo (2008: 112) mengatakan bahwa evaluasi kebijakan publik merupakan suatu proses untuk menilai seberapa jauh suatu kebijakan publik dapat “membuahkan hasil”, yaitu dengan membandingkan antara hasil yang diperoleh dengan tujuan dan/atau target kebijakan publik yang ditentukan.

Jones dalam Joko Widodo (2008: 113), mengartikan evaluasi sebagai “... an activity designed to judge the merits of government

(30)

techniques of measurement, and the methods of analysis”. Evaluasi

kebijakan publik merupakan suatu aktivitas yang dirancang untuk menilai hasil-hasil kebijakan pemerintah yang mempunyai perbedaan-perbedaan yang sangat penting dalam spesifikasi objeknya, teknik-teknik pengukurannya, dan metode analisisnya.

Husein Umar merangkum pendapat-pendapat dari beberapa ahli dan kemudian mendefinisikan evaluasi sebagai berikut :

“Suatu proses untuk menyediakan informasi tentang sejauh mana suatu kegiatan tertentu telah dicapai, bagaimana perbedaan pencapaian itu dengan suatu standar tertentu untuk mengetahui apakah seliish diantara keduanya, serta bagaimana manfaat yang telah dikerjakan itu dibandingkan dengan harapan-harapan yang ingin diperoleh.” (Husein, 2002: 36)

Carol Weiss dalam jurnal internasional “What is Program Evaluation” mengatakan bahwa evaluasi program adalah :

“... the systematic assessment of the operation and/or outcomes of a program or policy, compared to a set of explicit or implicit standards as a means of contributing to the improvement of the program or policy ...”

Evaluasi program adalah penilaian sistematis dari operasi dan/atau hasil dari program atau kebijakan, dibandingkan dengan satu set standar eksplisit atau implisit sebagai cara memberikan kontribusi bagi perbaikan program atau kebijakan. (Gene Shackman, 2010: 2)

Dalam jurnal internasional “Basic Guide to Program Evaluation (Including Outcomes Evaluation)” memberikan definisi evaluasi program sebagai berikut :

(31)

necessary decisions about the program. Program evaluation can include any or a variety of at least 35 different types of evaluation, such as for needs assessments, accreditation, cost/benefit analysis, effectiveness, efficiency, formative, summative, goal-based, process, outcomes, etc”.

Evaluasi program secara cermat mengumpulkan informasi tentang program atau beberapa aspek dari sebuah program untuk membuat keputusan yang diperlukan tentang suatu program. Evaluasi program dapat mencakup salah satu atau berbagai setidaknya 35 jenis evaluasi, seperti untuk penilaian kebutuhan, akreditasi, biaya / manfaat analisis, efektivitas, efisiensi, formatif, sumatif, tujuan-based, proses, hasil, dll.

2) Tujuan Evaluasi

Subarsono (2010: 120-121) mengatakan bahwa evaluasi mempunyai beberapa tujuan antara lain sebagai berikut :

a. Menentukan tingkat kinerja suatu kebijakan. b. Mengukur tingkat efisiensi suatu kebijakan.

c. Mengukur tingkat keluaran (outcome) suatu kebijakan.

d. Megukur dampak suatu kebijakan

e. Untuk mengetahui apabila ada penyimpangan.

f. Sebagai bahan masukan (input) untuk kebijakan yang akan datang.

Weiss dalam Joko Widodo (2008: 114) menyatakan “the

purpose of evaluation research is to measure the effects of a program

against the goals it set out to accomplish as a means of contributing to

(32)

programming”. Riset evaluasi bertujuan untuk mengukur dampak dari

suatu program yang mengarah pada pencapaian dari serangkaian tujuan yang telah ditetapkan dan sebagai sarana untuk memberikan kontribusi (rekomendasi) dalam membuat keputusan dan perbaikan program pada masa mendatang.

Berdasarkan apa yang dikatakan oleh Weiss, kemudian Joko Widodo (2008: 115) memberikan suatu kesimpulan bahwa tujuan utama evaluasi kebijakan publik adalah untuk mengetahui tingkat keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan suatu kebijakan publik. Setelah diketahui tingkat keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan suatu kebijakan, tujuan kebijakan berikutnya adalah memberikan rekomendasi kebijakan berupa keputusan tentang masa depan dari kebijakan tadi.

Dalam jurnal internasional “What is Program Evaluation” mengatakan bahwa tujuan utama dari evaluasi program adalah :

“assessment of the operation and/or outcomes of a program or

policy” (Memberikan kontribusi bagi perbaikan program atau

kebijakan).

3) Fungsi Evaluasi

Dunn (1999: 609-611) menyebutkan bahwa evaluasi memainkan sejumlah fungsi utama dalam analisis kebijakan, antara lain :

(33)

hal ini, evaluasi mengungkapkan seberapa jauh tujuan dan target tertentu telah dicapai.

b. Evaluasi memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari pemilihan tujuan dan target.

c. Evaluasi memberi sumbangan pada aplikasi metode-metode analisis kebijakan lainnya, termasuk perumusan masalah dan rekomendasi.

Subarsono (2010: 123-124) juga menyebutkan sejumlah fungsi dari evaluasi, antara lain :

a. Untuk mengetahui tingkat efektivitas suatu kebijakan, yakni seberapa jauh suatu kebijakan mencapai tujuannya.

b. Mengetahui apakah suatu kebijakan berhasil atau gagal. c. Memenuhi aspek akuntabiltas publik.

d. Menunjukkan pada stakeholders manfaat suatu kebijakan.

e. Agar tidak mengulangi kesalahan yang sama.

Dalam jurnal internasional “Basic Guide to Program Evaluation (Including Outcomes Evaluation)” dikatakan bahwa dalam perusahaan nirlaba, evaluasi program mempunyai fungsi sebagai berikut :

“Program evaluation can:

1. Understand, verify or increase the impact of products or

services on customers or clients. These "outcomes" evaluations are increasingly required by nonprofit funders as verification that the nonprofits are indeed helping their constituents.

2. Improve delivery mechanisms to be more efficient and less

(34)

costly than need be. Evaluations can identify program strengths and weaknesses to improve the program.

3. Evaluations can verify if the program is really running as

originally planned.

4. Facilitate management's really thinking about what their

program is all about, including its goals, how it meets it goals and how it will know if it has met its goals or not.

5. Produce data or verify results that can be used for public

relations and promoting services in the community.

6. Produce valid comparisons between programs to decide which

should be retained, e.g., in the face of pending budget cuts.

7. Fully examine and describe effective programs for duplication

elsewhere.”

Evaluasi program dapat :

1. Memahami, memverifikasi atau meningkatkan dampak dari produk atau jasa pada pelanggan atau klien. “Hasil” evaluasi ini semakin dibutuhkan oleh penyandang dana nirlaba sebagai verifikasi bahwa organisasi nirlaba memang membantu konstituen mereka.

2. Meningkatkan mekanisme pengiriman menjadi lebih efisien dan lebih murah. Seiring waktu, produk atau jasa pengiriman berakhir menjadi koleksi yang tidak efisien dari kegiatan yang kurang efisien dan lebih mahal daripada yang diperlukan. Evaluasi dapat mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan Program untuk meningkatkan program.

3. Evaluasi dapat memverifikasi apakah program ini benar-benar berjalan sesuai rencana.

(35)

ia memenuhi tujuan itu dan bagaimana hal itu akan tahu jika telah mencapai sasaran atau tidak.

5. Menghasilkan data atau memverifikasi hasil yang dapat digunakan untuk hubungan masyarakat dan layanan mempromosikan di masyarakat.

6. Menghasilkan perbandingan antara program untuk memutuskan yang harus dipertahankan, misalnya dalam menghadapi pemotongan anggaran tertunda.

7. Sepenuhnya memeriksa dan menjelaskan program yang efektif untuk duplikasi tempat lain.

Carter McNamara (2)

4) Sifat Evaluasi

Gambaran utama evaluasi adalah bahwa evaluasi menghasilkan tuntutan-tuntutan yang bersifat evaluatif. Karena itu evaluasi mempunyai sejumlah karakteristik yang membedakannya dari metode-metode analisis lainnya (Dunn, 1999: 608), yaitu:

a. Fokus Nilai

(36)

kebijakan yang terantisipasi dan tidak terantisipasi. Karena ketepatan tujuan dan sasaran kebijakan dapat selalu dipertanyakan, evaluasi mencakup prosedur untuk mengevaluasi tujuan-tujuan dan sasaran itu sendiri.

b. Interdependensi Fakta-Nilai

Tuntutan evaluasi tergantung baik “fakta” maupun “nilai”. Untuk menyatakan bahwa kebijakan atau program tertentu telah mencapai tingkat kinerja yang tertinggi (atau rendah) diperlukan tidak hanya bahwa hasil-hasil kebijakan berharga bagi sejumlah individu, kelompok, atau seluruh masyarakat; untuk menyatakan demikian, harus didukung oleh bukti bahwa hasil-hasil kebijakan secara aktual merupakan konsekuensi dari aksi-aksi yang dilakukan untuk memecahkan masalah tertentu. Oleh karena itu, pemantauan merupakan prasyarat bagi evaluasi.

c. Orientasi Masa Kini dan Masa Lampau

Tuntutan evaluatif, berbeda dengan tuntutan-tuntutan advokatif, diarahkan pada hasil sekarang dan masa lalu, ketimbang hasil di masa depan. Evaluasi bersifat retrospektif dan setelah aksi-aksi dilakukan (ex post). Rekomendasi yang juga mencakup

(37)

d. Dualitas Nilai

Nilai-nilai yang mendasari tuntutan evaluasi mempunyai kualitas ganda, karena mereka dipandang sebagai tujuan dan sekaligus cara. Evaluasi sama dengan rekomendasi sejauh berkenaan dengan nilai yang ada (misalnya, kesehatan) dapat dianggap sebagai intrinsik (diperlukan bagi dirinya) atau ekstrinsik (diperlukan karena hal itu mempengaruhi pencapaian tujuan-tujuan lain). Nilai-nilai sering ditata di dalam suatu hirarki yang merefleksikan kepentingan relatif dan saling ketergantungan antar tujuan dan sasaran.

5) Tahapan Evaluasi

Husein (2002: 38-40) memaparkan salah satu tahapan evaluasi yang sifatnya umum digunakan, antara lain sebagai berikut :

1. Menentukan apa yang akan dievaluasi

Mengacu pada program kerja perusahaan, aspek-aspek apa saja yang kiranya dapat dan perlu dievaluasi.

2. Merancang (desain) kegiatan evaluasi

(38)

3. Pengumpulan data

Berdasarkan desain yang telah disiapkan, pengumpulan data dapat dilakukan secara efektif dan efisien, yaitu sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah yang berlaku dan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan.

4. Pengolahan dan analisis data

Setelah data terkumpul, data tersebut diolah untuk dikelompokkan agar mudah dianalisis dengan menggunakan alat-alat analisis yang sesuai, sehingga dapat menghasilkan fakta yang dapat dipercaya. Selanjutnya, dibandingkan antara fakta dan harapan/rencana untuk menghasilkan gap. Besar gap akan disesuaikan dengan tolak ukur

tertentu sebagai hasil evaluasinya. 5. Pelaporan hasil evaluasi

Agar hasil evaluasi dapat dimanfaatkan bagi pihak-pihak yang berkepentingan, hendaknya hasil evaluasi didokumentasikan secara tertulis dan diinformasikan baik secara lisan maupun tulisan.

6. Tindak lanjut hasil evaluasi

(39)

Weiss dalam Joko Widodo (2008: 123-124) mengemukakan tahapan yang harus dilakukan oleh pelaku penelitian evaluasi kebijakan sebagai berikut :

1. Find out the program’s goals. (Cari tahu tujuan program.)

2. Translate the goals into measurable indicators of goal achievement.

(Menerjemahkan tujuan ke dalam indikator yang dapat diukur dari pencapaian tujuan.)

3. Collect data on the indicators for those who participated in the

program and for equivalent control group who did not. (Kumpulkan

data tentang indikator untuk mereka yang berpartisipasi dalam program ini dan untuk kelompok kontrol yang tidak setara.)

4. Compare the data on participants and controls with the goal

criteria. (Bandingkan data pada peserta dan kontrol dengan kriteria

tujuan.)

Tahapan tersebut kemudian oleh Weiss dijabarkan lebih lanjut sehingga dikatakan tahapan yang perlu diikuti untuk melakukan riset evaluasi kebijakan sebagai berikut :

1. Formulating the programs goals that the evaluation will use as

criteria. (Merumuskan tujuan program evaluasi yang akan

digunakan sebagai kriteria.)

2. Choosing among multiple goals. (Memilih di antara beberapa

(40)

3. Investigating unanticipated consequences. (Investigasi konsekuensi

tak terduga.)

4. Specifying what the program is. (Menentukan program apa yang

digunakan.)

5. Measuring program inputs and intervening processes. (Mengukur

input program dan intervensi proses.)

6. Collecting the necessary data. (Mengumpulkan data yang

diperlukan.)

Dengan mengacu pada pendapat dari Weiss, kemudian Joko Widodo (2008: 125) menyimpulkan bahwa untuk melakukan evaluasi kebijakan, program, dan kegiatan setidaknya terdapat beberapa tahapan yang harus dilakukan, antara lain :

1. Mengidentifikasi apa yang menjadi tujuan kebijakan, program, dan kegiatan.

2. Penjabaran tujuan kebijakan, program, dan kegiatan ke dalam kriteria atau indikator pencapaian tujuan.

3. Pengukuran indikator pencapaian tujuan kebijakan program.

4. Berdasarkan indikator pencapaian tujuan kebijakan program tadi, dicarikan datanya di lapangan.

(41)

6) Indikator Evaluasi

Untuk menilai keberhasilan suatu kebijakan perlu dikembangkan beberapa indikator, karena penggunaan indikator yang tunggal akan membahayakan, dalam arti hasil penilaiannya dapat bias dari yang sesungguhnya. Indikator atau kriteria evaluasi yang dikembangkan oleh Dunn dalam Subarsono (2010: 126) mencakup lima indikator sebagai berikut :

Tabel 1

Indikator Evaluasi Kebijakan

No. Kriteria Penjelasan

1. Efektivitas Apakah hasil yang diinginkan telah tercapai? 2. Kecukupan Seberapa jauh hasil yang telah tercapai dapat

memecahkan masalah?

3. Pemerataan Apakah biaya dan manfaat didistribusikan merata kepada kelompok masyarakat yang berbeda?

(42)

7) Model Evaluasi

Gambar 3

Model Evaluasi

B D G I

A gap F

C E H

Sumber : Husein Umar, (2002: 37-38)

Penjelasan Gambar :

A = faktor yang akan dievaluasi AB = apa yang diharapkan dari faktor A

BD = rentetan mengenai harapan-harapan atas faktor A, jika ada AC = fakta-fakta mengenai A

CE = proses analisis data AC sehingga menghasilkan nilai E DE = adalah gap, yaitu besaran perbedaan antara harapan (D) dan

kenyataan (E)

F = suatu tolak ukur untuk menilai gap

(43)

H = adalah hasil evaluasi menggunakan tolak ukur F, bahwa fak-tor A tidak bermasalah

GI = tindak lanjut hasil evaluasi

8) Kendala Evaluasi

Berbeda dengan tahapan proses kebijakan publik yang lain yang relatif mendapat banyak perhatian, maka tahap evaluasi kebijakan sering kurang mendapat perhatian, baik dari kalangan implementor maupun stakeholders yang lain. Suatu program sering hanya berhenti

pada tahap implementasi, tanpa diikuti tahap evaluasi. Berikut ini diidentifikasi berbagai kendala dalam melakukan evaluasi kebijakan : (Subarsono, 2010: 130-131)

a. Kendala Psikologis

Banyak aparat pemerintah masih alergi terhadap kegiatan evaluasi, karena dipandang berkaitan dengan prestasi dirinya. Apabila hasil evaluasi menunjukkan kurang baik, bisa jadi akan menghambat karir mereka. Sehingga banyak aparat memandang kegiatan evaluasi bukan merupakan bagian penting dari proses kebijakan publik. Evaluasi hanya dipahami sebagai kegiatan tambahan, yang boleh dilakukan atau tidak.

b. Kendala Ekonomis

(44)

para staff administrasi, dan biaya untuk para evaluator. Proses evaluasi akan mengalami hambatan apabila tanpa dukungan finansial.

c. Kendala Teknis

Evaluator sering dihadapkan pada masalah tidak tersedianya cukup data dan informasi yang up to date. Di samping itu, data yang

ada kualitasnya kurang baik, karena supply data kepada suatu

instansi yang lebih tinggi dari instansi yang lebih rendah hanya dipandang sebagai pekerjaan rutin dan formalitas tanpa memperhitungkan substansinya.

d. Kendala Politis

Evaluasi sering terbentur dan bahkan gagal karena alasan politis. Masing-masing kelompok bisa jadi saling menutupi kelemahan dari implementasi suatu program dikarenakan ada deal

atau bargaining politik tertentu.

e. Kurang Tersedianya Evaluator

(45)

pemerintah lebih terfokus pada peningkatan kompetensi di bidang tertentu.

C. Pengembangan

Pengertian pengembangan menurut Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah proses, cara, perbuatan mengembangkan. Sedangkan mengembangkan berarti membuka, menjadikan maju, baik, sempurna, dsb. (1989: 414)

Berdasarkan pengertian di atas, penulis memberikan definisi pengembangan pariwisata yaitu proses, cara, perbuatan, dan usaha untuk memajukan bidang pariwisata.

Dalam rangka pengembangan pariwisata diperlukan suatu perencanaan terlebih dahulu. Oka A Yoeti dalam Satria Lutvi yang disalin oleh Ema (2010: 32-33) memberikan penjelasan mengenai beberapa prinsip pengembangan pariwisata, antara lain :

1. Perencanaan pengembangan kepariwisataan haruslah merupakan satu kesatuan dengan pembangunan regional atau nasional dari pembangunan perekonomian suatu negara, karena itu perencanaan pengembangan kepariwisataan hendaknya termasuk dalam kerangka kerja dari pembangunan nasional.

(46)

dengan sektor-sektor lainnya yang banyak berkaitan dengan sektor kepariwisataan.

3. Perencanaan pengembangan kepariwisataan pada suatu daerah haruslah di bawah koordinasi perencanaan fisik daerah tersebut secara keseluruhan.

4. Perencanaan suatu daerah untuk keperluan pariwisata harus pula berdasarkan suatu studi yang khusus dibuat untuk itu dengan memperhatikan perlindungan terhadap lingkungan alam dan budaya di daerah sekitar.

5. Perencanaan fisik suatu daerah untuk tujuan pariwisata harus didasarkan atas penelitian yang sesuai dengan lingkungan alam sekitar dengan memperhatikan faktor geografis yang lebih luas dan tidak meninjau dari segi administrasi saja.

6. Rencana dan penelitian yang berhubungan dengan pengembangan kepariwisataan pada suatu daerah harus memperhatikan faktor ekologi daerah yang bersangkutan.

7. Perencanaan pengembangan kepariwisataan tidak hanya memperhatikan masalah dari sektor ekonomi saja, tetapi tidak kalah pentingnya memperhatikan masalah sosial yang mungkin ditimbulkan. 8. Pada masa-masa yang akan datang jam kerja para buruh dan karyawan

(47)

dekat dengan industri perlu diperhatikan pengadaan fasilitas rekereasi dan hiburan di sekitar daerah yang disebut sebagai pre-urban.

9. Pariwisata walaupun bagaimana bentuknya, tujuan pembangunan tidak lain untuk meningkatkan kesejahteraan orang banyak tanpa membedakan ras, agama, dan bahasa, karena itu pengembangan pariwisata perlu pula memperhatikan kemungkinan peningkatan kerjasama dengan bangsa-bangsa lain yang menguntungkan.

D. Kampoeng Batik

Pengertian kampoeng yang ejaan barunya adalah kampung menurut Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kelompok rumah, desa, dusun yang merupakan bagian kota yang biasanya keadaannya kurang bagus. Definisi lain kampung adalah kesatuan administrasi terkecil yang menempati wilayah tertentu yang terletak di bawah kecamatan. (1989: 383)

Sedangkan pengertian batik menurut Tim Penyusun Kamus Pusat Pambinaan dan Pengembangan Bahasa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah corak atau gambar pada kain yang pembuatannya secara khusus dengan menerakan malam kemudian pengolahannya diproses dengan cara tertentu. (1989: 84)

(48)

jual beli batik, museum batik, tempat untuk belajar membuat batik, serta sarana dan prasarana penunjang lainnya.

E. Menunjang

Pengertian menunjang menurut Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah menopang, menahan, dsb supaya tidak roboh untuk membantu/menyokong kelancaran usaha dsb dengan uang atau dengan penyokong lainnya. (1989: 974)

Berdasarkan pengertian di atas, penulis memberikan definisi menunjang pariwisata yaitu kegiatan menopang, menahan, dsb untuk membantu kelancaran usaha dalam memajukan bidang pariwisata.

F. Pariwisata

1) Pengertian Pariwisata

Pariwisata berasal dari kata “wisata”. Jadi sebelum lebih jauh membahas tentang pengertian pariwisata, ada baiknya mengetahui terlebih dahulu pengertian dari wisata. M.A. Desky (2001: 5-6),

mengemukakan beberapa pengertian wisata sebagai berikut :

(49)

Wisata adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati objek dan daya tarik wisata.

b. Menurut World Association of Travel Agents (WATA)

Wisata adalah perlawatan keliling yang memakan waktu lebih dari tiga hari, yang diselenggarakan oleh suatu agen perjalanan (travel agent) di suatu kota dengan acara antara lain mengunjungi beberapa tempat atau beberapa kota baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

c. Menurut H. Kodhyat

Wisata adalah perjalanan dan persinggahan yang dilakukan oleh manusia di luar tempat tinggalnya untuk berbagai maksud dan tujuan, tetapi bukan untuk tinggal menetap di tempat yang dikunjungi atau disinggahi atau untuk melakukan pekerjaan dengan mendapatkan upah.

Sedangkan beberapa pengertian mengenai pariwisata, antara lain sebagai berikut :

a. Menurut Undang-undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan Bab I Pasal 1

(50)

b. Institute of Tourism in Britain (sekarang Tourism Society in Britain) di tahun 1976 merumuskan :

Pariwisata adalah kepergian orang-orang sementara dalam jangka waktu pendek ke tempat-tempat tujuan di luar tempat tinggal dan pekerjaan sehari-harinya serta kegiatan-kegiatan mereka selama berada di tempat-tempat tujuan tersebut; ini mencakup kepergian untuk berbagai, termasuk kunjungan seharian atau darmawisata/ekskursi. Bergeraknya (kepergian) orang-orang tersebut dapat dilukiskan dengan banyak orang yang meninggalkan tempat kediaman atau rumah mereka untuk pergi sementara waktu ke tempat lain dengan tujuan benar-benar sebagai seorang konsumen biasa dan sama sekali tanpa tujuan mencari nafkah atau pekerjaan di tempat yang dikunjungi sementara itu. (Nyoman, 2002: 33-34)

c. Menurut Robert McIntosh dan Shashikant Gupta

Pariwisata adalah gabungan gejala dan hubungan yang timbul dari interaksi wisatawan, bisnis, pemerintah tuan rumah serta masyarakat tuan rumah dalam proses menarik dan melayani wisatawan-wisatawan serta para pengunjung lainnya. (Nyoman, 2002: 34)

d. E. Guyer-Freuler di dalam bukunya yang berjudul Handbuch des

Schweizerischen Volkswitschaft merumuskan pariwisata sebagai

(51)

Pariwisata dalam arti modern adalah merupakan gejala zaman sekarang yang didasarkan atas kebutuhan akan kesehatan dan pergantian hawa, penilaian yang sadar dan menumbuh terhadap keindahan alam, kesenangan dan kenikmatan alam semesta, dan pada khususnya disebabkan oleh bertambahnya pergaulan berbagai bangsa dan kelas dalam masyarakat sebagai hasil perkembangan perniagaan, industri dan perdagangan serta penyempurnaan alat-alat pengangkutan. (Nyoman, 2002: 34-35)

e. A. Hari Karyono (1997: 15), mengemukakan definisi pariwisata

yang bersifat umum dan yang lebih teknis sebagai berikut : a) Definisi Pariwisata yang Bersifat Umum

Pariwisata adalah keseluruhan kegiatan pemerintah, dunia usaha dan masyarakat untuk mengatur, mengurus, dan melayani kebutuhan wisatawan.

b) Definisi Pariwisata yang Lebih Teknis

Pariwisata merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh manusia secara perorangan maupun kelompok di dalam wilayah negara sendiri atau di negara lain. Kegiatan tersebut dengan menggunakan kemudahan, jasa, dan faktor penunjang lainnya yang diadakan oleh pemerintah dan atau masyarakat, agar dapat mewujudkan keinginan wisatawan.

(52)

kunjungan wisatawan. Misalnya dengan memberikan bebas visa, prosedur pelayanan yang cepat di pintu-pintu masuk dan keluar, tersedianya transportasi dan akomodasi yang cukup. Faktor penunjangnya adalah prasarana dan fasilitas umum seperti jalan raya, penyediaan air minum, listrik, tempat penukaran uang, pos dan telekomunikasi, dan sebagainya.

2) Syarat Pariwisata

Hendry (2009) menyebutkan bahwa hal-hal yang berhubungan dengan pariwisata hendaknya memenuhi syarat sapta pesona pariwisata, yaitu :

1. Aman

Wisatawan akan senang berkunjung ke suatu tempat apabila merasa aman, tenteram, tidak takut, terlindungi dan bebas dari :

a. Tindak kejahatan, kekerasan, ancaman, seperti kecopetan,

pemerasan, penodongan, penipuan dan lain sebagainya.

b. Terserang penyakit menular dan penyakit berbahaya lainnya. c. Kecelakaan yang disebabkan oleh alat perlengkapan dan

(53)

d. Gangguan oleh masyarakat, antara lain berupa pemaksaan oleh

pedagang asongan tangan jail, ucapan dan tindakan serta perilaku yang tidak bersahabat dan lain sebagainya.

Jadi, aman berarti tejamin keselamatan jiwa dan fisik, termasuk milik (barang) wisatawan

2. Tertib

Kondisi yang tertib merupakan sesuatu yang sangat didambakan oleh setiap orang termasuk wisatawan. Kondisi tersebut tercermin dari suasana yang teratur, rapi dan lancar serta menunjukkan disiplin yang tinggi dalam semua segi kehidupan masyarakat, misalnya :

a. Lalu lintas tertib, teratur dan lancar, alat angkutan datang dan berangkat tepat pada waktunya.

b. Tidak nampak orang yang berdesakan atau berebutan untuk mendapatkan atau membeli sesuatu yang diperlukan.

c. Bangunan dan lingkungan ditata teratur dan rapi. d. Pelayanan dilakukan secara baik dan tepat. e. Informasi yang benar dan tidak membingungkan

3. Bersih

(54)

a. Lingkungan yang bersih baik di rumah sendiri maupun di tempat-tempat umum, seperti di hotel, restoran, angkutan umum, tempat rekreasi, tempat buang air kecil/besar dan lain sebagainya. Bersih dari sampah, kotoran, corat-coret dan lain sebagainya.

b. Sajian makanan dan minuman bersih dan sehat.

c. Penggunaan dan penyajian alat perlengkapan yang bersih seperti sendok, piring, tempat tidur, alat olah raga dan lain sebagainya. d. Pakaian dan penampilan petugas bersih, rapi dan tidak

mengeluarkan bau tidak sedap dan lain sebagainya

4. Sejuk

Lingkungan yang serba hijau, segar, rapi memberi suasana atau keadaan sejuk, nyaman dan tenteram. Kesejukan yang dikehendaki tidak saja harus berada di luar ruangan atau bangunan, akan tetapi juga di dalam ruangan, misalnya ruangan kerja/belajar, ruangan makan, ruangan tidur dan lain sebagainya. Untuk itu hendaklah kita semua :

a. Turut serta aktif memelihara kelestarian lingkungan dan hasil penghijauan yang telah dilakukan masyarakat maupun pemerintah.

(55)

rumah masing-masing baik untuk hiasan maupun tanaman yang bermanfaat bagi rumah tangga, melakukan penanaman pohon/tanaman rindang di sepanjang jalan di lingkungan masing-masing di halaman sekolah dan lain sebagainya.

c. Membentuk perkumpulan yang tujuannya memelihara kelestarian lingkungan.

d. Menghiasi ruang belajar/ kerja, ruang tamu, ruang tidur dan tempat lainnya dengan aneka tanaman penghias atau penyejuk. e. Memprakarsai berbagai kegiatan dan upaya lain yang dapat

membuat lingkungan hidup kita menjadi sejuk, bersih, segar dan nyaman.

5. Indah

(56)

6. Ramah Tamah

Ramah tamah merupakan suatu sikap dan perilaku seseorang yang menunjukkan keakraban, sopan, suka membantu, suka tersenyum dan menarik hati. Ramah tamah tidaklah berarti bahwa kita harus kehilangan kepribadian kita ataupun tidak tegas dalam menentukan sesuatu keputusan atau sikap. Ramah, merupakan watak dan budaya bangsa Indonesia pada umumnya, yang selalu menghormati tamunya dan dapat menjadi tuan rumah yang baik. Sikap ramah tamah ini merupakan satu daya tarik bagi wisatawan, oleh karena itu harus kita pelihara terus.

7. Kenangan

Kenangan adalah kesan yang melekat dengan kuat pada ingatan dan perasaan seseorang yang disebabkan oleh pengalaman yang diperolehnya. Kenangan dapat berupa yang indah dan menyenangkan, akan tetapi dapat pula yang tidak menyenangkan. Kenangan yang ingin diwujudkan dalam ingatan dan perasaan wisatawan dari pengalaman berpariwisata di Indonesia, dengan sendirinya adalah yang indah dan menyenangkan. Kenangan yang indah ini dapat pula diciptakan dengan antara lain :

(57)

b. Atraksi seni budaya daerah yang khas dan mempesona baik itu berupa seni tari, seni suara dan berbagai macam upacara.

c. Makanan dan minuman khas daerah yang lezat, dengan penampilan dan penyajian yang menarik. Makanan dan minuman ini merupakan salah satu daya tarik yang kuat dan dapat dijadikan jati diri (identitas daerah).

d. Cinderamata yang mungil yang mencerminkan ciri-ciri khas daerah bermutu tinggi, mudah dibawa dan dengan harga yang terjangkau mempunyai arti tersendiri dan dijadikan bukti atau kenangan dari kunjungan seseorang ke suatu tempat/daerah/ Negara.

3) Bentuk Pariwisata

Nyoman S. Pendit (2002: 37), menjabarkan bentuk pariwisata dalam beberapa kategori sebagai berikut :

a. Menurut Asal Wisatawan

Bentuk pariwisata dilihat dari asal wisatawan dapat dibagi menjadi 2, yaitu :

(58)

2. Pariwisata internasional, yaitu pariwisata yang wisatawannya berasal dari luar negeri.

b. Menurut Akibatnya terhadap Neraca Pembayaran

Bentuk pariwisata dilihat dari akibatnya terhadap neraca pembayaran dapat dibagi menjadi 2, yaitu :

1. Pariwisata aktif, yaitu bentuk pariwisata dimana kedatangan wisatawan dari luar negeri yang membawa mata uang asing membuat terjadinya pemasukan valuta asing yang membawa dampak positif terhadap neraca pembayaran luar negeri suatu negara yang dikunjunginya.

2. Pariwisata pasif, yaitu bentuk pariwisata dimana kepergian seorang warga negara ke luar negeri memberikan dampak negatif terhadap neraca pembayaran luar negerinya.

c. Menurut Jangka Waktu

Gambar

Gambar 1
Gambar 2
Tabel 1 Indikator Evaluasi Kebijakan
 Gambar 3
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari 9 data gairaigo yang terbentuk dari proses pemendekan ellipsis tersebut, penghilangan leksem terakhir dari kata majemuk (back-truncation ellipsis) adalah yang paling

Beberapa pertimbangan penting untuk memberikan kepuasan kepada konsumen dan memperoleh keunggulan bersaing adalah: prosesnya harus terfokus pada konsumen, analisis kebutuhan/

Transparan, kegiatan harus diinformasikan secara transparan kepada pihak yang terkena dampak, mencakup: daftar warga, aset (tanah, bangunan, tanaman, dll).

Hal ini disebabkan karena semakin lama guru mengajar pada umumnya guru memiliki kemampuan lebih dalam mengenali emosi diri, mengelola emosinya, memotivasi diri sendiri, terampil

EFFISIENSI PRODUKSI INDUSTRI SKALA KECIL BATIK SEMARANG: PENDEKATAN FUNGSI PRODUKSI FRONTIER STOKASTIK.. Ngatindriatun (atinudinus@yahoo.com) Hertiana Ikasari (ihertiana@yahoo.co.id

selaku Dosen Pembimbing 2 yang telah menyediakan waktu, tenaga, pikiran dan pengetahuan untuk membimbing penulis dari awal hingga akhir pengerjaan Laporan Tugas Akhir dengan topik

Puji syukur yang teramat dalam saya haturkan ke hadirat ALLAH SWT, atas kasih dan limpahan rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya sehingga proses penyusunan skripsi yang berjudul

Pupuk organik LCPKS yang diberikan pada bibit kakao secara statistik belum memperlihatkan pengaruh yang nyata terhadap bobot kering akar, bobot kering tajuk