• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertanggungjawaban Negara atas Kasus Gen

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pertanggungjawaban Negara atas Kasus Gen"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1 Pertanggungjawaban Negara atas Kasus Genosida dan Kejahatan Kemanusiaan di

Bosnia Herzegovina: Implementasi dari Prinsip Responsibility to Protect

Oleh: Husni Mubarak1 I. Kasus Posisi

Konflik bermula di tanah balkan terjadi ketika negara-negara bekas negara Republik

Federasi Sosialis Yugoslavia mulai memproklamirkan kemerdekaan pada era 1990-an.

Perang, genosida, dan kejahataan kemanusiaan di Bosnia Herzegovina berlangsung dari tahun

1992-1995. Salah satu konflik terbesar di wilayah tersebut adalah kejahataan kemanusiaan

dan genosida terhadap etnis Bosnia oleh etnis Serbia dan Tentara Serbia.

Pada tanggal 3 Maret 1992 melalui sebuah penyelenggaraan referendum, rakyat Bosnia –

Herzegovina menyepakati pemisahan diri mereka dari Yugoslavia dan dalam waktu singkat

mendirikan negara Republik Bosnia – Herzegovina. Pemisahan diri Bosnia ini menjadi titik

awal dari perang etnis terbesar dalam sejarah Eropa kontemporer.

Serbia Montenegro saat itu dipimpin oleh Presiden Slobodan Milosevic lalu Kepala Staf

Kesatuan Angkatan Bersenjata Drina di Republik (Sprska) adalah Jenderal Radislav Kristic –

komandan Tentara Rakyat Serbia. Slobodan Milosevic merupakan pemimpin tertinggi di

Serbia yang diminta pertanggungjawaban di International Criminal Tribunal for The Former

Yugoslavia (IYTC) atau Pengadilan Pidana Internasional di Yugoslavia atas dakwaan

Genosida terhadap penduduk sipil di Bosnia Herzegovina. Sedangkan Jenderal Radislav

Kristic didakwa dalam kasus pembunuhan massal lebih dari 7000 ribu Muslim Bosnia di

camp Srebrenica2 pada tahun 1995.

Semenjak kemerdekaan Bosnia Herzegoniva pada tahun 1992, etnis Bosnia selalu ditekan

oleh penguasa saat itu di Serbia: Slobodan Milosevic. Serbia membombardir ibukota Bosnia,

Sarajevo dan kota lainnya dibombardir habis–habisan, gerilyawan Bosnia ditangkap dan

disiksa dalam kamp–kamp konsentrasi dan puluhan ribu wanita muda Bosnia diperkosa.

1

Husni Mubarak adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Diponegoro dalam konsentrasi Hukum Internasional. Analisa kasus ini merupakan tugas Ujian Akhir Semester mata kuliah Kapita Selekta Hukum Internasional dengan pengampu Prof. Dr. Rahayu, S.H, M.Hum.

2

(2)

2

Serbia terus melakukan berbagai intervensi militer untuk menyatukan seluruh etnis Serbia

yang berada di berbagai wilayah di Kroasia maupun di Bosnia Herzegovina yang telah

dikuasi untuk mewujudkan “Greater Serbia”3.

II. Uraian Fakta

Berikut adalah uraian fakta berdasarkan dakwaan Jaksa Penuntut Umum atas Terdakwa

Radislav Kristic4 yang dirangkum oleh Prof. Dr. Eddy O.S. Hiariej dari Universitas Gadjah Mada:

1. Pada tanggal 13 Juli 1995, Jenderal Mladic mengangkat Jenderal Radislav

Kristic sebagai Komandan Satuan Drina

2. Jenderal Radislav Kristic mengetahui dan menyetujui pembakaran Srebrenica sehingga ribuan penduduk sipil dipindahkan ke Potocari sebagai tempat

perlindungan mereka yang tidak memadai karena di sana tidak terdapat makanan,

minuman, dan obat-obatan yang cukup.

3. Pada tanggal 12 Juli 1995 sekitar 2 jam, Radislav Kristic hadir dan mengawasi

para wanita, anak-anak, dan orangtua Muslim Bosnia untuk dipindahkan ke

Potocari dan selama dalam pengungsian mereka dianiaya.

4. Radislav Kristic pada tanggal 12 Juli 1995 mengetahui bahwa para pria Muslim Bosnia yang menjadi pengungsi setelah pembakaran Srebrenica dipisah secara

paksa dari keluarganya dan ditahan tanpa alasan hukum serta diberlakukan secara

tidak manusiawi.

5. Pada tanggal 13 dan 14 Juli 1995 dibawah pengawasan Kristic ribuan pria

Muslim Bosnia yang telah dipisahkan dari keluarganya dieksekusi secara massal

oleh Komando Satuan Drina di Srebrenica. Kristic juga memerintahkan Brigade

Zvornik pada tanggal 14 Juli 1995 untuk membantu melakukan eksekusi terhadap ribuan tahanan muslim Bosnia.

6. Kolonel Deara sebagai eksekutor terhadap ribuan pria Muslim Bosnia pada tanggal 15 Juli 1995 meminta bantuan kepada Jenderal Radislav Kristic

3

Rizki, Rantaperkasa., Memorandum Hukum Kepada Penutut International Criminal Tribunal For The Former Yugoslavia (ICTY) Dalam Kasus No. IT-02-54 Dengan Terdakwa Slobodan Milosevic Mengenai Dakwaan Genosida di Bosnia Herzegovina, Bandung: Jurnal Hukum Tugas Akhir Mahasiswa FH UNPAD,

http://fh.unpad.ac.id/repo/2013/02/memorandum-hukum-kepada-penuntut-international-criminal-tribunal- for-the-former-yugoslavia-icty-dalam-kasus-no-it-02-54-dengan-terdakwa-slobodan-milosevic-mengenai-dakwaan-genosida-di-bosnia-herzeg/ , diakses tanggal 11 Januari 2015.

4

(3)

3

menambah personil yang akan digunakan untuk mengeksekusi secara massal.

Permintaan Deara disetujui oleh Kristic dengan mengirimkan bantuan tenaga

eksekutor dari Brigade Bratunac untuk melakukan eksekusi di lahan pertanian

Branjevo keesokan harinya pada tanggal 16 Juli 1995.

7. Pada tanggal 16 Juli 1995, Kolonel Popovic melaporkan kepada Jenderal Kristic

bahwa telah terjadi eksekusi massal terhadap ribuan Muslim Bosnia oleh

Komando Satuan Drina yang berada di bawah rantai komandonya. Laporan

tersebut ditanggapi oleh Kristic dan Membiarkan eksekusi tetap berlangsung.

III. Permasalahan Hukum

Bahwa eksistensi Responsibility to Protect dalam Hukum Internasional semakin

menguat. Ada upaya masyarakat Internasional dalam perlindungan HAM dikarenakan

sepanjang sejarah abad ke-20 telah terjadi banyak krisis kemanusiaan yang melanda

dunia. Apa yang terjadi di Bosnia, Kosovo, Somalia, Rwanda, dan di Indonesia sendiri

adalah peristiwa Pembantaian Massal terhadap orang-orang yang berafiliasi dengan Partai

Komunis Indonesia di tahun 1965-1966. Apa yang terjadi kepada kemanusiaan kita

merupakan potret buram pelanggaran atas Hak Asasi Manusia. Hal ini menyebabkan

negara-negara di dunia melakukan persamaan persepsi dalam hal perlindungan HAM

dengan prinsip Responsibility to Protect.

Akar intelektual dan kemauan dari politik responsibility to protect ini ditelusuri dari

pemahaman dasar terkait kedaulatan. Hal ini senantiasa bermakna ganda: antara hak dan

tanggung jawab. Thomas Hobbes pernah mengemukakan terkait konsep teori kontrak

sosial antara negara dan rakyat5. Negara yang diperintahkan dan diberi mandat oleh warga-nya harus dapat melindungi dan mewujudkan tanggung jawab dalam hal

pemberian rasa aman. Sejak tahun 2000-an gagagasan kedaulatan menjadi salah satu pilar

politik negara dan dan dunia modern.

Ide kedaulatan merebak ketika terjadinya banyak kasus dalam periode kurun waktu

tahun 1990-an yaitu kasus kejahatan kemanusiaan yang salah satunya terjadi di Bosnia

Herzegovina. Pelanggaran atas prinsip Responsibility to Protect sendiri dalam kasus

5

I.G Wahyu Wicaksana, ASEAN dan The Responsibility To Protect: Agenda Humanitarianisme Untuk Asia Tenggara, Jurnal unair.ac.id,

(4)

4

Bosnia ini memang tidak sepenuhnya merupakan kedaulatan dari Serbia untuk

melindungi rasa aman warga Bosnia, tetapi dalam konteks negara-negara balkan saat itu,

Bosnia dan Serbia merupakan berasal dari negara pecahan yang sama: Yugoslavia.

Artinya, walaupun Bosnia dan Serbia setelah pecahnya Yugoslavia menjadi bagian dari

negara yang berbeda. Namun, bukan menjadi alasan Serbia untuk melakukan

penyerangan kepada warga Bosnia. Prinsip Responsibilty to Protect atas negara-negara

Balkan dan bekas negara Yugoslavia harus dijunjung tinggi.

Menurut Prof. Dr. Rahayu: “Pada hakikatnya „R to P‟ merupakan komitmen politik

dan moral yang disepakati oleh negara-negara berkaitan dengan tanggung ja wab dan

kewajiban setiap negara serta ma syarakat interna sional untuk memberikan perlindungan

kepada setiap individu dari tindak kekejaman massal (ma ss atrocity) yang meliputi

kejahatan genosida (genocide), kejahatan perang (wa r crimes), pembersihan etnis (ethnic

cleansing) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanitiy).”6

Selanjutnya prinsip „R to P‟ juga muncul atas reaksi internasional yang terjadi berkaitan dengan pelanggaran HAM berat. Bahwa „R to P‟ muncul akibat ketika proses

intervensi kemanusiaan juga tidak juga membuat perdamaian di dunia ini. Konflik

kemanusiaan tetap terjadi dan dalam hal intervensi kemanusiaan juga ditandai peristiwa

arogansi dari kekuatan negara-negara besar yang menginjak kedaulatan negara lemah.7

Kemanusiaan akan menjadi sesuatu yang harus dipertahankan dan diperjuangankan

oleh umat manusia di seluruh dunia ini.Proses-proses tindak kekejaman massal yang

sewenang-wenang kepada manusia yang tak bersalah (seperti yang terjadi di Bosnia)

merupakan cermin kebrutalan negara yang lebih kuat kepada negara yang lebih lemah. Hal ini harus kita wujudkan dalam suatu “kewajiban” berupa kedaulatan untuk melindungi kemanusiaan: diwujudkan dalam Responsibility to Protect.

6

Prof. Dr Rahayu, S.H.,M.Hum., Eksistensi Prinsip Responsibility to Protect dalam Hukum Internasional, Disampaikan pada upgrading Dosen Hukum Internasional di Universitas Diponegoro, 20-21 Mei 2011, hlm. 7. 7

(5)

5 IV. Penelusuran Bahan Hukum

4.1Genosida

Istilah Genosida terdiri dari dua kata, yakni geno dan cide. Geno atau genos berasal dari

bahasa Yunani kuno yang berarti ras, bangsa, atau etnis. Sedangkan cide, caedere atau cidium

berasal dari bahasa Latin yang berarti membunuh.8

Secara harafiah genosida dapat diartikan sebagai pembunuhan ras. Istilah ini diperkenalkan

oleh Raphael Lemkin pada tahun 1944 – seorang Yahudi kelahiran Polandia. Lemkin

mencatat bahwa istilah genocide adalah berasal dari kata Yunani: ethochide yang mempunyai

kata dasar ethos yang berarti bangsa dan kata latin cide.9

Dari pengertian diatas secara harafiah dapat disimpulkan bahwa genocide atau genosida

merupakan sebuah kejahataan Hak Asasi Manusia yang merenggut nyawa/membunuh bangsa

atau etnis lain yang berbeda.

Menurut Lemkin, Genosida dibagi kedalam dua fase. Fase pertama adalah menghancurkan

pola kebangsaan kelompok yang ditindas. Fase kedua adalah gangguan pola kebangsaan dari

penindas.10 Penindasan terhadap kelompok lain hingga kelompok lain merasa terganggu dan terancam nyawanya merupakan kejahatan HAM yang berat. Pengaturan dalam Hukum

Internasional terkait Genosida telah diatur dalam Konvensi Genosida.

4.2Kejahatan Kemanusiaan

Definisi Kejahatan Kemanusiaan menurut Statuta Roma pasal 7 adalah sebagai berikut

(terjemahan :

1. Untuk tujuan Statuta ini, “Kejahatan terhadap kemanusiaan” berarti setiap perbuatan

-perbuatan berikut ini apabila dilakukan sebagai bagian dari suatu serangan (me)luas

atau sistemik yang ditujukan kepada suatu kelompok populasi sipil secara disengaja:

(a) Pembunuhan;

8

William, A. Schabas dalam Eddy, OS. Hiariej, ibid, hal. 7.

9

Roy Gutman dalam Eddy, OS. Hiariej, ibid, hal 7.

10

(6)

6

(b) Pemusnahan;

(c) Perbudakan;

(d) Deportasi atau pemindahan paksa populasi;

(e) Pemenjaraan atau perampasan berat atas kebebasan fisik yang melanggar

aturan-aturan dasar hukum Internasional;

(f) Penyiksaan

(g) Perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi, penghamilan paksa,

pemaksaan sterilisasi, atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya yang

beratnya sebanding;

(h) Persekusi terhadap suatu kelompok atau perkumpulan yang dapat diidentifikasi

atas dasar-dasar politik, ras, kebangsaan, suku, budaya, agama, jender yang

sebagaimana didefinisikan di dalam ayat 3, atau atas dasar-dasar lain yang secara

universal diakui sebagai tidak diperbolehkan berdasarkan hukum internasional

yang berhubungan dengan setiap tindakan yang diamksud di dalam ayat ini atau

setiap kejahatan yang berada dalam Yuridiksi Mahkamah;

(i) Penghilangan paksa orang-orang;

(j) Kejahatan apherteid;

(k) Perbuatan-perbuatan tidak manusiawi lain dengan sifat sama yang secara sengaja

menyebabkan penderitaan berat, atau luka serius terhadap tubuh atau mental atau

kesehatan fisik.11

Dalam kasus yang terjadi di Bosnia Herzegovina, unsur kejahatan kemanusiaan dapat

diterapkan atas kejahatan pembunuhan massa, perbuatan tidak manusiawi, dan juga

pemerkosaan.

4.3 Responsibility to Protect

Salah satu pilar utama dari „R to P‟ adalah menekankan bahwa setiap negara memiliki

tanggung utama untuk melindungi rakyatnya dari genosida, kejahatan perang, pembersihan

etnis dan kejahatan terhadap kemanusiaan.12

11

Pasal 7 Statuta Roma. Kejahatan kemanusiaan berada diantara kejahatan-kejahatan paling serius yang menjadi perhatian (bagi) masyarakat Internasional secara keseluruhan, memerlukan dan meminta pertanggungjawaban pidana (secara) individual atau perorangan. Lihat: Erikson, Hasiholan Gultom.,

Kompetensi Mahkamah Pidana Internasional dan Peradilan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di Timor Timur, Jakarta: PT. Tatanusa, 2006, hal. 56.

12

(7)

7

Bentuk tanggung jawab dari negara adalah sebagai berikut13:

1. Menjamin adanya mekanisme yang efektif untuk menangani konflik-konflik

domestik.

2. Melindungi hak-hak perempuan, kaum muda dan minoritas di dalam negara.

3. Menerapkan perjanjian-perjanjian hukum internasional yang terkait mengenai hak

asasi manusia, hukum humaniter internasional dan hukum mengenai hak asasi

manusia, hukum humaniter internasional dan hukum mengenai pengungsi, serta

statuta Roma mengenai Pengadilan Hak Asasi Internasional (Rome Statute of the

International Criminal Court)

4. Terlibat di dalam proses untuk memahami bagaimana prinsip-prinsip yang terkandung di dalam “ Responsibility to Protect” dapat diintegrasikan ke dalam negara.

5. Berupaya untuk memperbaiki kondisi-kondisi yang mendukung penegakan tanggung

jawab untuk melindungi, seperti dengan aparat kepolisian, militer, pengadilan dan

penyusun undang-undang, untuk memperbaiki penegakan hukum (rule of la w) dan

perlindungan hak asasi manusia.

6. Bekerja bersama-sama dengan kelompok-kelompok non-pemerintah dan

organisasi-organisasi internasional untuk memfasilitasi kemajuan “Responsibility to Protect”

V. Analisa Hukum

Kasus Kejahatan Kemanusiaan dan Genosida yang terjadi di Bosnia telah diadili melalui

Pengadilan HAM Ad Hoc di Yugoslavia yang berdasarkan ketentuan Hukum Internasional.

Pengadilan tersebut bernama International Criminal Tribunal for The Former Yugoslavia

(ICTY). ICTY ini merupakan pengadilan tribunal setelah Nuremberg dan Tokyo.

ICTY merupakan Mahkamah Pidana Internanasional Ad-Hoc yang sifatnya sementara

sebelum adanya Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) yang

terbentuk dengan dasar hukum Statuta Roma. Dasar hukum pembentukan dari ICTY adalah

Statuta ICTY.

Sejarah berdirinya ICTY tidak lepas dari Peran Dewan Keamanan PBB. Dewan Keamanan

PBB membentuk komisi ahli pada tanggal 6 Oktober 1992 untuk meneliti pelanggaran

13

(8)

8

hukum Internasional yang terjadi di sana. Komisi ini kemudian menyimpulkan bahwa telah

terjadi pelanggaran berat terhadap hukum humaniter Internasional dan ancaman bagi

perdamaian Internasional.14

Terjadinya konflik di dua wilayah yakni dibekas negara Yugoslavia dan Rwanda, yang bisa

dikatakan kekejamannya telah mendekati keadaan pada Perang Dunia II mendorong Dewan

Keamanan PBB untuk bertindak dibawah Piagam VII PBB15. Pada tahun 1993 didirikan ICTY.

Hukum Internasional sebagai instrumen politik mempunyai tiga peran: Pertama adalah alat

pengubah konsep, kedua adalah sarana intervensi domestik dan alat penekan/penolak

tekanan. Dalam hal pengadilan ICTY, kejahatan HAM yang terjadi di Bosnia bisa secara

ampuh dalam mengadili aktor intelektual dari kejahatan tersebut: Slobodan Milosevic selaku

Presiden dan juga Jenderal Radislav Kristic. Hal ini merupakan kemajuan luar biasa dalam

Penegakan HAM dan Kemanusiaan di dunia Internasional. ICTY juga memainkan peran

melalui sarana penekan tekanan dalam Hukum Internasional sebagai instrumen politik.

Lebih jauh Christopher K. Lamont menjelaskan terkait kepatuhan dari negara-negara atas

putusan dari Pengadilan Ad-Hoc/ICTY Yugoslavia:

In the cases of Croatia and Serbia coercion and inducements proved effective in bringing

about compliance; however, the level of coercion or inducements required to transform state

behavior varied greatly between the two states.16

Paksaan dan bujukan ini efektif untuk menyeret aktor intelektual pelanggaran HAM berat ke

ICTY. Saya kira, penyelesaian kasus yang terjadi di Bosnia Herzegovina ke dalam Pengadilan HAM berat sebelum adanya Statuta Roma dan rekomendasi „R to P‟ merupakan kemajuan pesat dalam hal kemanusiaan dan tanggung jawab negara dalam perlindungan

HAM.

14

Steven, R. Ratner, dalam Eddy, OS. Hiariej, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2009, hal. 80

15

Jawahir, Thontowi, et al., Hukum Internasional Kontemporer, Bandung: Refika Aditama, 2006, hal. 245. 16

(9)

9 VI. Pendapat Hukum

Kasus pembunuhan massal dan juga genosida yang terjadi di Bosnia Herzegovina dalam

rentang waktu 1992 sampai dengan 1995, merupakan suatu tragedi yang mengerikan dalam

sejarah kemanusiaan dan masyarakat Internasional. Lebih dari 7000 orang meninggal atas

pembunuha massal dan masih banyak korban lainnya.

Penyelesaian kasus Genosida dan Kejahatan Kemanusiaan di Bosnia Herzegovina melalui

Pengadilan Pidana Internasional Ad-Hoc di Yugoslavia (ICTY) dan dilakukan secara efektif

dimana dapat dijerat Presiden Serbia Slobodan Milosevic dan juga Jenderal Radislav Kristic

diputus bersalah dan menjadi terpidana. Bahwa Majelis Hakim yang mengadili Jenderal

Radislav Kristic atas pertimbangan menurut pasal 3b di Statuta ICTY: bahwa Pengadilan

Internasional memiliki kekuasaan untuk mengadili orang-orang yang melanggar hukum atau

kebiasaan perang. Pelanggaran tersebut dapat meliputi, tetapi tidak terbatas pada:

penghancuran dahsyat kota-kota besar, kota-kota kecil atau pedesaan atau perusakan yang

dilakukan oleh keterdesakan militer.

Dasar pembentukan ICTY adalah hukum kebiasaan Internasional melalui Dewan Keamanan

PBB untuk menyelesaikan kejahatan-kejahatan serius terhadap hukum Internasional:

Genosida, Kejahatan Kemanusiaan, dan Kejahatan Perang. Semoga di masa depan berkurang

kejahatan-kejahatan tersebut. Masyarakat Internasional dapat menghormati

ketentuan-ketentuan Hukum Internasional terkait Hak Asasi Manusia. Terahkir, diharapkan pula seluruh

negara di dunia ini tak terkecuali untuk meratifikasi Statuta Roma agar Penegakan HAM

dengan instrumen Hukum Internasional yang telah disepakati dapat berjalan dengan baik.

Salah satu tanggung jawab dalam konsep „R to P‟adalah meratifikasi Statuta Roma terkait Pengadilan Hak Asasi Internasional, alangkah lebih indahnya jika negara kita sendiri,

Indonesia dapat meratifikasi seluruhnya Statuta Roma dan kasus kejahatan terhadap

kemanusiaan di Indonesia – seperti pembantaian massal Eks-PKI pada kurun waktu

1965-1966 – dapat diusut dan diungkap melalui pengadilan HAM berat. Sama halnya seperti

Pengadilan yang dilakukan untuk menuntaskan kasus kejahatan kemanusiaan di Bosnia

(10)

10 VII. DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Gultom, Erikson Hasiholan., Kompetensi Mahkamah Pidana Internasional dan Peradilan

Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di Timor Timur, Jakarta: PT Tatanusa, 2006.

Hiariej, Eddy. OS., Pengantar Hukum Pidana Internasional, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2009

______________., Pengadilan atas Beberapa Kejahatan Serius Terhadap HAM, Jakarta:

Penerbit Erlangga, 2010.

Lamont, Cristopher K., International Criminal Justice and The Politics of Compliance,

Burlington: Ashgate Publishing Company, 2010.

Rahayu., Hukum Hak Asasi Manusia, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro,

2012.

Rahayu, Hukum Hak Asasi Manusia Di Era Global: Tantangan Implementasinya di

Indonesia, Pidato Pengukuhan Guru Besar, Universitas Diponegoro, 2013.

Ratner, Steven R, et al., Melampaui Warisan Nuremberg: Pertanggungja waban Untuk

Kejahatan Terhadap Hak Asasi Manusia dalam Hukum Internasional, Jakarta: ELSAM,

2008.

Samekto, Adjie., Negara dalam Dimensi Hukum Internasional, Bandung: Citra Aditya Bakti,

2009.

Thontowi, Jawahir, et al., Hukum Internasional Kontemporer, Bandung: Refika Aditama,

2006.

JURNAL DAN MAKALAH

Rahayu, Eksistensi Prinsip Responsibility to Protect dalam Hukum Internasional,

Disampaikan pada upgrading Dosen Hukum Internasional di Universitas Diponegoro, 20-21

Mei 2011.

Rizki, Rantaperkasa., Memorandum Hukum Kepada Penutut International Criminal Tribunal

For The Former Yugosla via (ICTY) Dalam Kasus No. IT-02-54 Dengan Terdakwa Slobodan

(11)

11

Tugas Akhir Mahasiswa FH UNPAD,

http://fh.unpad.ac.id/repo/2013/02/memorandum-

hukum-kepada-penuntut-international-criminal-tribunal-for-the-former-yugoslavia-icty-

Referensi

Dokumen terkait

Evaluasi Kualitas Lingkungan Permukiman di Kecamatan Cimahi Tengah Kota Cimahi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu.. DAFT AR

Hasil Rancangan Bentuk dan Ruang Bangunan Bentuk bangunan Perancangan Rest Area Tol Surabaya Malang di Kecamatan Purwodadi Kabupaten Pasuruan dibagi menjadi dua bagian, satu area

Secara garis besar, adapun luaran yang telah dicapai dalam kegiatan ini adalah: (1) Melalui kegiatan ini, pelaku UMKM di Desa Sangsit dapat memahami pentingnya

Status Desa Menjadi Kelurahan yang telah ditetapkan oleh Bupati. sebagaimana dimaksud pada huruf k,

1) Ciri Fisik dan Bahasa.. Ciri lain dari Asimilasi tersebut adalah ciri biologis yang khas misalnya bentuk wajah, hidung, warna kulit yang membedakan dengan

KODE PROGRAM UNTUK

Pada umumnya logam tidak berdiri sendiri atau keadaan murni, Pada umumnya logam tidak berdiri sendiri atau keadaan murni, Pada umumnya logam tidak berdiri sendiri

Istri Ning Mundul tidak menyadari adanya keributan di rumah warga kampung lain dan tidak mengetahui kedatangan kawanan perompak di kampung mereka?. Kapten perompak tertarik dengan