Tugas II Hukum Internasional Page 1
Subjek Hukum Internasional : Negara, Terorisme dan
UU Antiterorisme di Indonesia ; Antara Kebebasan dan
Keamanan Rakyat
Tugas ini di susun Untuk Mata Kuliah Hukum Internasional
Dosen Pengampu:
Setyo Widagdo, SH. M.Hum
Di Susun oleh :
Adhitia Pahlawan Putra
NIM. 105120407111010
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Program Studi Hubungan Internasional
Universitas Brawijaya
Malang
Tugas II Hukum Internasional Page 2 BAB I Latar Belakang
Sebagai salah satu bagian dalam Hukum Internasional subjek
negara adalah hal yang utama, sebelum adanya subjek lain bukan negara.
Artinya, negara dipandang sebagai aktor utama dalam hubungan
internasional. Namun, hal tersebut tidak relevan lagi dengan peradaban
masa kini, dimana persoalan tidak lagi hanya pada negara dengan negara.
Akan tetapi juga pada negara dengan subjek lain bukan negara ataupun
subjek bukan negara satu sama lain.1
Sistem modern hukum internasional ini, merupakan hasil
perubahan yang besar di bidang politik yang menandai perpindahan dari
abad-abad pertengahan kekurun sejarah modern. Hal tersebut dapat
dipahami sebagai perubahan sistem feodal menjadi negara teritorial.
Karakter khas yang utama negara teritorial, yang membedakannya
dengan yang terdahulu adalah anggapan pemerintah tentang
kekuasaannya yang tertinggi di dalam wilayah negara. Yang terjadi
kemudian, dunia politik terdiri atas sejumlah negara yang didalam wilayah
masing-masing, secara hukum, mereka sama sekali terpisah satu dengan
lainnya. Dengan kata lain, mereka berdaulat.2
Aturan-aturan hukum internasional yang menentukan hak dan
kewajibaan negara ini dikukuhkan pada tahun 1648, ketika Perjanjian
Westhphalia yaitu perjanjian untuk mengakhiri perang 30 tahun di eropa
dan menjadikan teritorial sebagai dasar negara modern.
Sementara itu, Terorisme sebagai salah satu subjek bukan negara
dalam hukum internasional merupakan fenomena yang sangat kompleks.
Sebagai fenomena politik kekerasan, kaitan antara terorisme dan aksi-aksi
teror tidak dapat mudah dirumuskan dengan mudah. Tindak kekerasan itu
dapat dilakukan oleh individu, kelompok, ataupun negara. Motivasi pelaku
1
Mochtar Kusumaatmadja. Pengantar Hukum Internasional. Buku 1. Hal 3
2
Tugas II Hukum Internasional Page 3
dapat bersumber pada alasan-alasan idiosinkratik, kriminal maupun politik.
Sasaran atau korban bukan merupakan sasaran sesungguhnya, tetapi
hanya bagian dari taktik intimidasi, koersi, ataupun propaganda untuk
mencapai tujuan-tujuan mereka. Kesamaan tindakan terorisme terletak
pada penggunaan kekerasan secara sistemik untuk menimbulkan
ketakutan yang meluas.
Indonesia sebagai negara yang menganut prinsip demokrasi,
menghadapi tantangan dalam mencari keseimbangan di antara security
dan Liberty. Hal ini karena Indonesia telah meratifikasi berbagai konvensi
tentang Hak Asasi Manusia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa juga telah
menetapkan deklarasi mengenai HAM dalam Universal Declaration of
Human Rights 1948. Di dalam deklarasi PBB ini, diakui bahwa Manusia
adalah Individu yang menyandang status sebagai subjek hukum
internasional disamping negara.3
Undang-undang merupakan salah satu dari upaya memberantas
terorisme. Namun, undang-undang itu sendiri harus menjamin
keseimbangan-keseimbangan di antara security dan Liberty.
Dalam konteks itu, maka melawan terorisme membutuhkan sebah
kebijakan penanggulangan terorisme yang bersifat komprehensif baik
dalam tataran anti maupun kontra terorisme.4
3
Indoensia telah meratifikasi konvensi mengenai HAM dalam Deklarasi Vienna 1993 dan
Covenant on Civil and Political Rights dan Covenant on Economics, Social, and Cultural Right (1966)
4
Tugas II Hukum Internasional Page 4 BAB II Permsalahan
Berdasarkan latar belakang, maka permasalahan yang akan
dikemukakan dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Apa saja unsur-unsur dari negara sesuai dengan ketentuan Hukum
Internasional ?
2. Apa yang menjadi hak dan kewajiban negara sesuai dengan Hukum
Internasional ?
3. Bentuk-bentuk terorisme itu seperti apa dan indikator apa saja
kemudian kegiatan terorisme menjadi skala internasional ?
4. Bagaimana kemudian negara melawan aksi terorisme tetapi tetap
menjaga ruang demokrasi serta HAM sesuai dengan ketentuan
Tugas II Hukum Internasional Page 5 BAB III Pembahasan
Negara menjadi subjek hukum internasional paling utama, karena
dapat mengadakan hubungan-hubungan hukum internasional dalam
segala bidang kehidupan dari masyarakat internasional. Sementara itu,
Unsur-unsur yang membentuk negara sesuai dengan pasal 1 konvensi
Montevideo tahun 1933 menyatakan sebagai berikut :
The state as a person in international law should prosses the following qualifications:
a. A permanent populations;
b. A defined territory;
c. Government;
d. Capacity to enter into the relations with the other states;5
Dari unsur-unsur diatas poin a, b, dan c adalah unsur faktual dari
negara. Sedangkan poin d adalah unsur non faktualnya.
Dengan Hukum Internasional lah kemudian, negara-negara
mengetauhi di mana bata-batas wilayah mereka di darat, laut dan udara.
Mereka pun juga mengetauhi syarat-sayarat yang bagaimana mereka
dapat memperoleh pemilikan sah atas wilayah yang tidak ada pemiliknya
sama sekali (seperti halnya penemuan), atau yang dimiliki negara lain
(seperti halnya penyerahan atau aneksasi).
Negara juga kemudian mengetahui kekuasaan yang bagaimana
yang mereka miliki terhadap warga negara lain yang tinggal diwilayah
mereka dan terhadap warga negara mereka sendiri yang tinggal di negara
asing. Contoh lain adalah misalnya, ada kapal dagang yang membawa
bendera negara A memasuiki suatu pelabuhan negara B, maka hak-hak
apa yang dimiliki negara B terhadap hal tersebut? Dan bagaimana jika
kapal tersebut adalah kapal perang? Bagaimanakah hak-hak wakil
diplomatik yang ditugaskan pada pemerntahan tersebut? Atau apakah
5
Tugas II Hukum Internasional Page 6
suatu negara pada waktu perang dibolehkan dan diwajibkan berbuat
seenaknya terhadap para pejuang, penduduk sipil, tawanan, warga netral,
dilaut maupun didarat? Dengan syarat-syarat yang bagaimana suatu
perjanjian antara dua negara atau lebih mengikat dan syarat-syarat yang
bagaimana membuat perjanjian itu kehilangan kekuatan mengikatnya?
Dan jika suatu perjanjian atau aturan lain dari hukum internasional
dikatakan telah dilanggar, siapa yang berhak memastikan pelanggaran itu
dan siapa yang berhak mengambil langkah-langkah memberlakukan
dengan syarat-syarat yang bagaimana pula? Untuk itu, melalui hukum
internasional kemudian aturan-aturan itu dibuat supaya menentukan
hak-hak dan kewajiban bersama bagi negara-negara sebagai subjek hukum
internasional. Artinya, aturan-aturan yang telah dibuat menuntut kepada
negara-negara untuk meyepakati bersama sehingga terciptalah order.
Terlepas dari pemahaman tentang negara diatas, selanjutnya
adalah mengenai aktor bukan negara, yang dalam hal ini saya
mengangkat terorisme yang erat kaitannya dengan negara dan mencoba
menghubungkan dengan akibat yang ditimbulkan oleh UU antiterorisme di
Indonesia.
Terorisme sendiri terdiri dari dua bentuk. Pertama, state-sponsored
terrorism, yaitu tindakan terorime yang dilakukan oleh suatu negara untuk
mencapai tujuannya. Misalnya Amerika Serikat mengidentifikasikan
beberapa negara untuk hal ini seperti Kuba, Iran, Sirya, Libya, Irak, dan
Korea Utara. Kedua, privately-based terrorism, yaitu tindakan terorisme
yang dilakukan oleh suatu kelompok terorisme privat , seperti Al-Qaeda,
Jamaah Islamiyah, dan sebagainya.6
6
Tugas II Hukum Internasional Page 7
Sementara itu, kegiatan terorisme dapat menjadi berskala
internasional apabila. Pertama, diarahkan kepada warga negara asing atau
target luar negeri. Kedua, dilakukan secara bersama-sama oleh
pemerintah atau faksi dari lebih satu negera. Ketiga, diarahkan untuk
mempengaruhi kebijakan dari pemerintahan asing.7
Adalah kewajiban negara (state duty) untuk mencegah dan
memerangi terorisme. Ini didasarkan pada komitmen nasional dan
internasional. Yang sepakat bahwa terorisme mempunyai jaringan yang
luas sehingga merupakan ancaman perdamaian dan keamanan nasional
maupun internasional. Selain itu, perkembangan teknologi dan globalisasi
telah menjadikan ancaman terorisme semakin serius dan kompleks karena
ketersediaan sumber daya dan atau metoda baru.
Tidak hanya itu saja, komitmen masyarakat internasional dalam
mencegah dan memberantas terorisme sudah diwujudkan dalam berbagai
konvensi internasional yang menegaskan bahwa terorisme merupakan
kejahatan yang bersifat internasional yang mengamcam perdamaian dan
keamanan umat manusia sehingga seluruh anggota Perserikatan
Bangsa-Bangsa termasuk Indonesia wajib mendukung dan melaksanakan resolusi
Dewan Keamanan PBB yang mengutuk dan menyerukan seluruh anggota
PBB untuk mencegah dan memberantas terorisme melalui pembentukan
peraturan perundang-undangan nasional negaranya.8
Namun, disisi lain Indonesia adalah negara demokrasi.
Prinsip-prinsip tatanan demokrasi menuntut mengutamakan cara-cara persuasif,
negosiasi, dan toleransi ketimbang cara-cara koersif, pemaksaan, dan
penggunaan kekerasan. Secara prosedural, kewajiban ini menimbulkan
dilema antara keniscayaan pemberian diskersi kewenangan pada institusi
7
Paul Wilkinson. 1977. Terrorism and the Liberal State. New York: hal. 174 8
Tugas II Hukum Internasional Page 8
negara disatu pihak dan keharusan negara untuk tetap melindungi
kebebasan sipil (civil liberties), terutama yang termasuk ke dalam rumpun
non-derogable rights.9 Oleh karena itu, kebijakan untuk memerangi
terorisme harus senatiasa bertolak dari beberapa prinsip, antara lain:
Perlindungan kebebasan sipil serta penghargaan dan
perlindungan hak-hak individu. Pembatasan terhadap hak-hak
demokratik seperti itu hanya dapat dilakukan terhadap hak yang
TIDAK termasuk dalam non-derogable rights.
Pembatasan dan pencegahan penyalahgunaan kekuasaan oleh
negara. ini dapat dilakukan dengan menerapkan sepenuhnya
prisnip checks and balances dalam proses pengambilan
keputusan.
Selain itu, beberapa LSM juga mengkritik UU Antiterorisme.
Misalnyanya saja, terkait memperlakukan ketentuan pidana terorisme
berlaku surut (retroactive) adalah bertentangan dengan hak sipil.
Retroactive hanya dimungkinkan terhadap kejahatan HAM berat
sebagaimana diatur dalam Konvensi Jenewa 1949.10
Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah wajib
memelihara dan menegakan kedaulatan dan melindungi setiap warga
negaranya dari setiap ancaman atau tindakan destruktif baik dari dalam
negeri maupun dari luar negeri. Namun, harus tetap ada keseimbangan
dalam kewajiban terhadap kebebasan sipil , hak asasi korban dan saksi,
serta hak asasi tersangka yang erat kaitannya dengan nilai-nilai HAM.
9
Misalnya, perlindungan terhadap hak-hak sipil terlihat bahwa UU anti terorisme, mengancam kebebasan pers dan kebebasan mengungkapkan pendapat. Pasal 20 misalnya, digunakan sebagai alasan pembatasan terhadap media massa ataupun mereka yang memberikan komentar atas suatu proses hukum atas tindak pidana terorisme.
10
Tugas II Hukum Internasional Page 9 BAB IV Kesimpulan
Negara sebagai subjek hukum internasional adalah aktor aktor
yang rasional yaitu mengikuti prinsip mengejar, melindungi, dan
mempertahankan kekuasaan sesuai dengan kemampuan dan
keterbatasannya di dunia internasional.11 Kemampuan disini adalah
kemampuannya berhubungan dengan negara lain atau suubjek bukan
negara yang lain, sedangkan keterbatasan adalah karena negara dibatasi
oleh moral dan pengendalian kekuasaan yang berasal hukum
internasional.
Sementara itu, perkembangan teknologi, informasi dan komunikasi
yang dikemas melalui globalisasi maka hal ini dibutuhkan kerjasama
dengan negara lain karena hal ini tidak dapat dilakukan hanya satu negara
saja, melainkan oleh semua negara untuk menjaga kemanan global
(global security).
Dan terakhir adalah, UU antiterorisme di Indonesia sebagai respon
dan komitmen internasional, terjadi dilema antara kebebasan dan
keamanan rakyat. Disatu sisi hal ini adalah untuk menjaga keamanan
tetapi dsisi lain hal ini bisa saja menjadi bumerang karena melanggar
nilai-nilai HAM. Oleh karena itu, hal ini harus senantiasa bertolak pada
beberapa prinsip diatas.
11
Tugas II Hukum Internasional Page 10 Daftar Pusataka
Conway W. Henderson. 1998. International Relations: Terrorism, Conflict and Cooperation at the Turn of 21st Century. New York: McGraw- Hill Internasional.
Hans J. Morgenthau. 1985. Politics among nations. Penerbit: Buku Obor.
Holsti, K.J. 1983. International Politics : a framework for analysis (4th ed). London: Prentice-Hall.
Kusumaatmadja, Mochtar. Pengantar Hukum Internasional. Buku 1. Penerbit: Putra Abardin.
Pasal 1 Konvensi Montevideo. 1993. The state as a person in international law should prosses the following qualifications.
Paul Wilkinson. 1977. Terrorism and the Liberal State. New York: The Macmillian Press.
www.imparsial.org