• Tidak ada hasil yang ditemukan

KADAR ASAM URAT SERUM TINGGI MENINGKATKAN RISIKO TERJADINYA NEUROPATI PERIFER PADA PENDERITA PENYAKIT GINJAL KRONIK.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KADAR ASAM URAT SERUM TINGGI MENINGKATKAN RISIKO TERJADINYA NEUROPATI PERIFER PADA PENDERITA PENYAKIT GINJAL KRONIK."

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

ii

TESIS

KADAR ASAM URAT SERUM TINGGI

MENINGKATKAN RISIKO TERJADINYA

NEUROPATI PERIFER PADA PENDERITA

PENYAKIT GINJAL KRONIK

PRISKA WIDIASTUTI

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

(2)

iii

TESIS

KADAR ASAM URAT SERUM TINGGI

MENINGKATKAN RISIKO TERJADINYA

NEUROPATI PERIFER PADA PENDERITA

PENYAKIT GINJAL KRONIK

PRISKA WIDIASTUTI

NIM 1114068103

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(3)

iv

KADAR ASAM URAT SERUM TINGGI

MENINGKATKAN RISIKO TERJADINYA

NEUROPATI PERIFER PADA PENDERITA

PENYAKIT GINJAL KRONIK

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister

pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik

Program Pascasarjana Universitas Udayana

PRISKA WIDIASTUTI

NIM 1114068103

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(4)
(5)

vi

Tesis Ini Telah Diuji pada

Tanggal 1 Juli 2016

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor

Universitas Udayana, No : 2992/UN14.4/HK/2016, Tanggal 24 Juni 2016

Ketua

: Dr. dr. Thomas Eko Purwata Sp.S(K), FAAN

Anggota

:

(6)

vii

(7)

viii

Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kehadapan

Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya atas berkat dan karunia-Nya penulis dapat

menyelesaikan karya akhir ini sebagai prasyarat mendapatkan tanda keahlian di

bidang Neurologi dan Magister Ilmu Biomedik.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada

berbagai pihak yang telah berperan besar sehingga penulis dapat menempuh

Program Pendidikan Dokter Spesialis I Neurologi dan Program Magister Program

Studi Ilmu Biomedik Program Pasca Sarjana Universitas Udayana sampai

tersusunnya karya akhir ini.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Rektor Universitas Udayana Prof.

Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas

Udayana Prof.Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT(K), M.Kes, Direktur Program

Pascasarjana Universitas Udayana Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) dan

Ketua Program Studi Magister Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas

Udayana Dr.dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc,Sp.GK, atas kesempatan

dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan

Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Penyakit Saraf FK UNUD/RSUP Sanglah.

Terima kasih juga kepada dr. Anak Ayu Sri Saraswati, M.Kes., dan dr. I Wayan

Sutarga, MPHM, selaku Direktur Utama RSUP Sanglah Denpasar saat penulis

menjalani pendidikan sebagai peserta PPDS-1 Neurologi.

(8)

ix

Terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada Kepala

Bagian/SMF Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar periode 2006-2014

Dr. dr. D.P.G. Purwa Samatra, Sp.S(K) dan periode 2014-2019 dr. A.A.B.N.

Nuartha, Sp.S(K), Ketua TKP PPDS-1 FK UNUD/RSUP Sanglah saat penulis

diterima sebagai peserta PPDS-1 dr. I Wayan Kondra, Sp.S(K) dan Ketua TKP

PPDS-1 FK UNUD/RSUP Sanglah saat ini dr. I Nyoman Semadi, Sp.B,

Sp.BTKV. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Divisi Ginjal

Hipertensi Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah Prof.

Dr. dr. Ketut Suwitra, SpPD-KGH serta seluruh staf medis Divisi Ginjal Hipetensi

Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP yang tidak dapat penulis

sebutkan satu persatu yang telah memberikan ijin dan kesempatan untuk

dilaksanakannya penelitian ini.

Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada pembimbing

karya akhir ini, Dr. dr. Thomas Eko Purwata Sp.S(K), FAAN dan dr. IGN Purna

Putra Sp.S(K) atas segala bimbingan, saran, waktu, kesabaran, nasehat dan

motivasi yang luar biasa selama pendidikan dan penyusunan karya akhir ini serta

kepada para penguji Dr. dr. DPG Purwa Samatra,Sp.S(K), dr.I Made Oka

Adnyana, Sp.S(K), dan Dr. dr. Anna Marita Gelgel, Sp.S(K) yang telah

membantu, memberi dorongan semangat, saran dan koreksi dari tahap

praproposal, ujian proposal, seminar hasil penelitian, ujian hasil penelitian hingga

ujian akhir tesis.

(9)

x

Ni Putu Witari, Sp.S, dr. Sri Yenni Trisnawati GS, M. Biomed, Sp.S, dr. I Wayan

Widyantara, M. Biomed, Sp.S, dr. A.A.A. Suryapraba Indradewi, M.Sc, Sp.S,

penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga atas segala bimbingan dan

saran selama penulis mengikuti pendidikan.

Terima kasih saya ucapkan kepada dr. Lina Kamelia Sp.S, dr. Deddy Andaka,

M.Biomed, Sp.S, dr. Yoanes Gondowardaja, M.Biomed, Sp.S, dr. I Nyoman

Darsana, M.Biomed, Sp.S, dr. Saktivi Harkitasari, M.Biomed, Sp.S, dr. Hadi

Widjaja, M.Biomed, Sp.S, dr. Ni Putu Sukarini, M.Biomed, Sp.S, dr. Made Rudy,

dr. I Ketut Catur Wipradnyana, dr. Gracia Meliana Tanoyo, dr. Octavianus

Darmawan serta seluruh teman sejawat lainnya, peserta PPDS I Neurologi FK

UNUD/RSUP Sanglah yang telah memberikan inspirasi, dorongan, segala

bantuan dan kebersamaan selama penulis menjalani pendidikan dan

menyelesaikan karya akhir ini. Terima kasih juga kepada dr. Cokorda Agung

Wahyu, dr. Tersila, dr. Setiani, dr. Hesti, dr. Angga, dr. IB Dharma, dr. IB Kade

Satyagraha, dr. Dewi Mahayani, dr. Ayu Trisnadewi, dr. Widyawati, para

perawat, paramedis, dan dokter muda atas bantuannya selama penulis mengikuti

pendidikan dan membantu pelaksanaan penelitian ini, serta tenaga administrasi

Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf FK UNUD/RSUP Sanglah Ni Putu Oka

Swardani, I Wayan Sika Priantha, Kadek Febriyanti, SE, Kadek Arie Ardhiani,

Amd.Akun, dan Ni Wayan Ayu Sukyartini, SE. atas jalinan kerjasama dan

dorongan semangat selama penulis mengikuti pendidikan ini.

Penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada seluruh pasien

penyakit ginjal kronis yang telah berkenan menjadi subyek penelitian serta kepada

anggota keluarga pasien atas bantuan dan kerjasamanya selama pelaksanaan

penelitian ini.

(10)

xi

Saimo dan ibu Theresia Sukiati, serta saudara saudari penulis Yusak Indradi

Priambodo, Etsmi Monika, Krisdiono Nugrahadi yang telah memberikan kasih

sayang, doa, dukungan dan semangat kepada penulis kesempatan untuk

menyelesaikan pendidikan ini.

Terima kasih dari lubuk hati terdalam juga penulis sampaikan kepada suami

tercinta dan anak terkasih, Andreas Didik Setiyawan, ST dan Nathanael Aditya

Setiawan yang dengan penuh pengertian, kerelaan, pengorbanan, cinta dan kasih

mendukung penulis untuk menyelesaikan tesis ini.

Penulis telah berusaha membuat tesis ini dengan sebaik-baiknya namun tetap

menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan baik dari aspek materi dan

penyajiannya. Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif

demi perbaikan tesis ini. Akhirnya penulis tidak lupa mohon maaf

sebesar-besarnya kepada semua pihak, bila dalam proses pendidikan maupun dalam

pergaulan sehari-hari ada tutur kata dan sikap yang kurang berkenan dihati.

Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang selalu melimpahkan berkat

dan karunia-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan

penyelesaian tesis ini. Amin.

Denpasar, Juni 2016

Penulis

(11)

xii

KADAR ASAM URAT SERUM TINGGI MENINGKATKAN RISIKO

TERJADINYA NEUROPATI PERIFER PADA PENDERITA PENYAKIT

GINJAL KRONIK

Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan penyakit yang sering menimbulkan

komplikasi neurologi berupa neuropati perifer. Kadar asam urat serum pada

penderita PGK umumnya meningkat akibat penurunan fungsi ginjal. Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui apakah kadar asam urat serum tinggi meningkatkan

risiko terjadinya neuropati perifer pada penderita PGK.

Penelitian ini dilakukan di RSUP Sanglah periode Maret hingga Mei 2016,

menggunakan rancangan kasus kontrol pada sebanyak 23 subyek penderita PGK

dengan neuropati perifer dan 23 subyek penderita PGK tanpa neuropati perifer.

Penilaian neuropati perifer menggunakan pemeriksaan

nerve conduction study

.

Dari hasil analisis statistik didapatkan bahwa kadar asam urat serum

kelompok kasus dan kelompok kontrol berbeda secara bermakna dengan nilai

p=0,012 (p<0,05) dan didapatkan OR=2,7 (IK 95%=0,236-30,846).

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kadar asam urat

serum tinggi meningkatkan risiko terjadinya neuropati perifer pada penderita

PGK.

Kata kunci:

penyakit ginjal kronik, neuropati perifer, asam urat,

nerve

conduction study

(12)

xiii

HIGH SERUM URIC ACID LEVEL INCREASING RISKS PERIPHERAL

NEUROPATHY IN PATIENTS WITH CHRONIC KIDNEY DISEASE

Chronic kidney disease (CKD) is a disease that often causes neurological

complication such as peripheral neuropathy. Serum uric acid levels in patients

with CKD generally increased due to decreased kidney function. This study aims

to determine whether high serum uric acid levels increase the risk of peripheral

neuropathy in patients with CKD.

This is a case control study design that was enrolled in Sanglah General

Hospital from March until May 2016, included 23 subjects patients with CKD

with peripheral neuropathy and 23 subjects patients with CKD without peripheral

neuropathy. Peripheral neuropathy was evaluated using nerve conduction study.

The results of statistical analysis showed that serum uric acid levels of case

group and control group differ significantly with p=0,012 (p<0,05) and obtained

OR=2,7 (95% CI=0,236-30,846).

Based on these results it can be concluded that high serum uric acid levels

increase the risk of peripheral neuropathy in patients with CKD.

Key words: chronic kidney disease, peripheral neuropathy, uric acid, nerve

conduction study

(13)

xiv

Halaman

SAMPUL DALAM.

………..………..

i

PRASYARAT GELAR ………..

ii

LEMBAR PENGESAHAN ………...

iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI………...

iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ………..

v

UCAPAN TERIMA KASIH ………..

vi

ABSTRAK ……….

x

ABSTRACT………....

xi

DAFTAR ISI ………..

xii

DAFTAR

TABEL ….……….

xiv

DAFTAR GAMBAR ...

………..

xv

DA

FTAR SINGKATAN ………...

xvi

DAFTAR LAMPIRAN ………..

xviii

BAB I

PENDAHULUAN …………..……...………..

1.1 Latar Belakang ………...………

1.2

Rumusan Masalah ………...………...

1.3 Tujua

n Penelitian ………...

1.4 Manfaat

Penelitian ………

.

1

.4.1 Manfaat Ilmiah ………..………

....

1.4.2 Manfaat

Klinik Praktis ……….………

.

1

1

4

4

5

5

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA ………

.

………..

2.1 Penyakit Ginj

al Kronik ………...………...

2.1.1 Definisi

………...………

2.1.2 Klasifikasi

………...………...

2.1.3 Komplikasi pada Sistem Saraf

………...…

2.2 Neuropati Perifer pada PGK

…………

...

………

2.2.1 Manifestasi Klinis Neuropati Perifer pada PGK

……...

.

2.2.2 Patogenesis Neuropati Perifer pada PGK

………..

2.2.3 Pemeriksaan Penunjang Neuropati Perifer

………

2.3 Asam Urat

………...………

2.3.1 Struktur Asam Urat

………...……….

2.3.2 Sintesis dan Ekskresi Asam Urat

………...

2.3.3 Peran Asam Urat pada Tubuh

………

2.4 Asam Urat dengan Neuropati Perifer

………

...

6

6

6

7

7

9

9

10

15

16

16

17

20

23

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS

PENELITIAN ………

.

……….…

3.1 Kerangka Berpikir ……….

.

3.2 Konsep

Penelitian ………..

3.3 Hipotesi

s Penelitian ………

25

25

28

29

BAB IV

METODE PENELITIAN ………

4.1 Rancangan Penelitian ..

………...

4.2 Lokasi

dan Waktu Penelitian …..………...

(14)

xv

4.3 Ruang Lingkup Penelitian ….………...

.

……….

4.4 Penentua

n Sumber Data ……….

4.4.1 Populasi Target ………...………..

4.4.2 Popula

si Terjangkau ………..

4.4.3 Kri

teria Sampel ……….

4.4.3.1 Kriteria Inklusi

Kasus …………

.

...………...…

4.4.3.2 Kriter

ia Inklusi Kontrol ……….

4.4.3.3 K

riteria Eksklusi Kasus dan Kontrol …………

4.4.

4 Besar Sampel ………

4.4.5 Teknik

Pengambilan Sampel ………

4.5 Variabel Penelitian ……...………..

4.5

.1 Identifikasi Variabel …………...………...

4.5.2 Definisi Operasional

Variabel ………...

4.6 Instrumen Penelitian ………...………...

4.7 Prosedur

dan Alur Penelitian ………..…………..…….

4.8 Analisis Data ….

...

……….

31

31

31

31

31

31

32

32

33

33

34

34

34

38

38

40

BAB V

HASIL PENELITIAN ……….

5.1

Karakteristik Dasar Subyek Penelitian………...

5.2 Hubungan antara Kadar Asam Urat Serum dan Variabel

Perancu

Lainnya dengan Kejadian Neuropati Perifer……….

41

41

44

BAB VI PEMBAH

ASAN………...

6.1

Karakteristik Demografi Subyek Penelitian………...

6.2 Hubungan antara Kadar Asam Urat Serum dan Variabel

Perancu

Lainnya dengan Kejadian Neuropati Perifer……….

6.3 Kelemahan dan Kekuatan Penelitian...

47

47

49

52

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN………..

7.1 Simpulan……….

7.2 Saran ………...

54

54

54

DAFTAR PUSTAKA……….

55

(15)

xvi

DAFTAR TABEL

Halaman

2.1

Kriteria Definisi Penyakit Ginjal Kronik ……….…..

6

2.2

Klasifikasi Stadium PGK………...………

7

2.3

Komplikasi Neur

ologi Pada Pasien Hemodialisis………….…………..

8

2.4

Hasil Pemeriksaan Motorik atau CMAP ………

15

2.5

Hasil Pemeriksaan Sensorik atau SNAP ………

15

5.1

Karakteristik Dasar Subyek Penelitian ………...

42

5.2

Analisis Bivariat Uji T Berpasangan Usia dan Lama Menderita PGK

Antara Kelompok Kasus dan Kontrol ………

43

5.3

Analisis Bivariat Uji McNemar Indeks Massa Tubuh Antara

Kelompok Kasus dan Kontrol ...

43

5.4

Analisis Bivariat Uji McNemar Kadar Asam Urat Serum Antara

Kelompok Kasus dan Kontrol ………..………...

45

5.5

Analisis Bivariat Uji McNemar Laju Filtrasi Glomerulus Antara

Kelompok Kasus dan Kontrol ...………...

45

5.6

Analisis Bivariat Uji McNemar Anemia Antara Kelompok Kasus dan

(16)

xvii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

2.1

Kerusakan Serabut Saraf pada Neuropati ……….

.. 13

2.2

Stuktur Kimia Asam Urat ………...

... 17

2.3

Pembentuk

an Asam Urat dari Asam Nukleat…….……….

18

2.4

Metabolisme Purin (Adenosin) ………...

18

3.1

Kerangka Berpikir………...

... 27

3.2

Kerangka Konsep ………...

... 28

4.1

Bagan Rancangan Penelitian………...

... 30

(17)

xviii

DAFTAR SINGKATAN

AIDS

:

Acquired Immunodeficiency Syndrome

ATP

:

Adenosin Triphosfate

ATPase

:

Adenosine Triphosphate-ase

AUS

:

Asam Urat Serum

Ca

:

Calsium

CDC

:

Centers for Disease Control and Prevention

CMAP

:

Compound Muscle Action Potential

Cu

:

Cuprum

DM

:

Diabetes Melitus

DNA

:

Deoxyribonuclease acid

ENMG

:

Elektroneuromiografi

Fe

:

Ferrum

g/dL

:

Gram per desiliter

Hb

:

Hemoglobin

HD

:

Hemodialisis

HIV

:

Human Immunodeficiency Virus

IK

: Interval kepercayaan

IMT

:

Indeks Massa Tubuh

K

:

Kalium

KHS

:

Kecepatan Hantar Saraf

KTP

:

Kartu Tanda Penduduk

LFG

:

Laju Filtrasi Glomerulus

m/det

:

Mili per detik

mdet

:

Milidetik

mg

:

Milligram

mg/dL

:

miligram/desiliter

ml/menit

:

Milliliter per menit

MRP4

:

Multidrug Resistance-associated Protein 4

mV

:

Milivolt

Na

:

Natrium

NAD

:

nicotinamide adenine dinucleotide

NCS

:

Nerve Conduction Study

NKF- K/DOQI

:

National Kidney Foundation Kidney Disease

Outcomes Quality Initiative

NO

:

Nitric Oxide

OAT

:

Organic anion transporer

OR

:

Odds Ratio

PERKENI

:

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia

PERNEFRI

:

Persatuan Nefrologi Indonesia

pH

:

Power of Hydrogen

pKa

:

Power of acidity constant

(18)

xix

ROS

:

Reactive Oxigen Species

RSUP

:

Rumah Sakit Umum Pusat

SGOT

:

Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase

SGPT

:

Serum Glutamic Pyruvic Transaminase

SNAP

:

Sensory Nerve Action Potential

SPSS

:

Statistical Product and Service Solutions

TTGO

: Tes Toleransi Glukosa Oral

UNUD

:

Universitas Udayana

URAT1

:

urat transporter 1

WHO

:

World Health Organization

(19)

xx

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1

Keterangan Kelaikan Etik………

61

Lampiran 2

Surat Ijin Penelitian dari RSUP Sanglah……….

62

Lampiran 3 Persetujuan Setelah Penjelasan (

Informed Consent

)

…………..

63

Lampiran 4

Formulir Persetujuan Tertulis ……….

64

Lampiran 5

Lembar Pengumpulan Data ………

65

Lampiran 6 Pemeriksaan Studi Hantaran Saraf/N

erve Conduction Study

.. 67

Lampiran 7 Data Subyek Penelitian………

68

(20)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan penyakit yang cukup banyak terjadi di dunia ini. Jumlah penderita PGK juga semakin meningkat seiring dengan gaya hidup saat ini yang kurang memperhatikan keseimbangan pola makan. PGK ini dapat dijumpai mulai dari stadium awal hingga stadium lanjut. Selain mempengaruhi fungsi ginjal, komplikasi PGK juga bermanifestasi pada organ lain, salah satunya adalah sistem saraf.

Penyakit ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari tiga bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal maka diagnosis PGK ditegakkan bila nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2. Penyakit ginjal kronik ini terdiri dari 5 stadium dan dikatakan stadium akhir atau stadium 5 bila didapatkan fungsi laju filtrasi glomerulus <15 ml/menit/1,73 m2. Pada stadium ini

diperlukan terapi renal replacement baik dengan hemodialisis maupun transplantasi ginjal (Pezarella dan Reilly, 2003; Couser dkk, 2011).

Jumlah penderita PGK semakin meningkat. Di Amerika Serikat, diperkirakan

(21)

2

penduduk Amerika Serikat yang menderita PGK stadium akhir sebesar 113.136 orang (CDC, 2014). World Health Organization (WHO) memperkirakan akan terjadi peningkatan penderita PGK stadium akhir di Indonesia tahun 1995-2025 sebesar 41,4%. Data dari Persatuan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) memperkirakan terdapat 70.000 orang menderita gagal ginjal atau PGK stadium akhir di Indonesia. Angka ini akan terus meningkat sekitar 10% setiap tahunnya (Tandi dkk, 2014). Data tahun 2012, jumlah penderita PGK stadium akhir di Bali sebanyak 1433 orang yang memerlukan terapi hemodialisis (PERNEFRI, 2012). Penderita PGK selain mengalami kelainan pada ginjal, biasanya juga sudah mulai mengalami komplikasi ke organ lain, salah satunya adalah sistem saraf. Sekitar 60 persen penderita PGK akan mengalami komplikasi neurologi berupa kelainan pada susunan saraf pusat, saraf perifer, dan saraf otonom. Kelainan pada susunan saraf pusat berupa gangguan kognitif sampai terjadi perubahan status mental karena ensefalopati uremikum. Gangguan neurologi yang mengenai susunan saraf tepi adalah berupa neuropati perifer (Nolan, 2005; Krishnan dan Kiernan, 2009).

Neuropati perifer pada penderita PGK dapat berupa kelainan motorik maupun sensorik. Neuropati perifer merupakan salah satu komplikasi yang ditemukan pada 2/3 atau sekitar 60% hingga 90% dari keseluruhan penderita PGK dan

(22)

3

dengan pemeriksaan elektrofisiologi sehingga dapat dikatakan bahwa hampir semua penderita PGK stadium lanjut mengalami neuropati (Levey dan Coresh, 2002; Krishnan dan Kiernan, 2009).

Penderita PGK umumnya memiliki kadar asam urat serum yang meningkat. Beberapa studi menunjukkan bahwa peningkatan kadar asam urat serum secara independen dapat memprediksi berkembangnya penyakit PGK. Namun pada beberapa buku lain disebutkan bahwa penyakit Gout atau hiperurisemia dikeluarkan dari faktor penyebab terjadinya PGK. Hubungan yang terjadi antara hiperurisemia dengan PGK adalah sebagai akibat retensi asam urat di dalam tubuh oleh karena penurunan laju filtrasi glomerulus. Asumsi yang menyebutkan bahwa asam urat dapat menyebabkan PGK adalah melalui mekanisme presipitasi asam urat yang membentuk kristal pada ginjal. Tetapi pada studi uji binatang coba dengan PGK dan hiperurisemia, didapatkan bahwa perkembangan penyakit ginjal yang semakin cepat namun tidak disertai dengan adanya kristal asam urat pada ginjal. Sebagai tambahan, pada beberapa penderita dengan penyakit Gout atau hiperurisemia memiliki kondisi lain yang terjadi bersamaan, seperti hipertensi dan

penyakit vaskular sehingga beberapa para ahli menduga bahwa kelainan ginjal yang terjadi adalah akibat sekunder akibat kondisi-kondisi tersebut (Johnson dkk.,2013).

(23)

4

dihubungkan dengan terjadinya neuropati perifer. Neuropati perifer akibat peningkatan asam urat ini terjadi oleh karena kerusakan endotel vaskuler melalui peningkatan reaksi stres oksidasi dan respon inflamasi pada sistem saraf. Pada penderita PGK, fungsi nefron yang terganggu dapat meningkatkan kadar asam urat serum sebagai salah satu toksin uremik dan akumulasi produk racun lain serta defisiensi metabolit esensial, yang diduga sebagai penyebab kematian neuron pada neuropati perifer (Laaksonen dkk., 2002). Beberapa studi telah menunjukkan hubungan antara peningkatan kadar asam urat serum dengan terjadinya neuropati perifer pada penderita diabetes melitus (Papanas, 2011; Darsana 2014), namun hingga saat ini belum ada penelitian yang menghubungkan kadar asam urat serum tinggi dengan terjadinya neuropati perifer pada penderita PGK. Oleh karena itu peneliti ingin mengetahui hubungan kadar asam urat serum dengan terjadinya neuropati perifer pada penderita PGK.

1.2 Rumusan Masalah

Dari uraian di atas, maka didapatkan rumusan masalah yaitu apakah kadar

asam urat serum tinggi meningkatkan risiko terjadinya neuropati perifer pada penderita PGK?

1.3 Tujuan Penelitian

(24)

5

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Ilmiah

Dengan mengetahui kadar asam urat serum tinggi meningkatkan risiko terjadinya neuropati perifer pada penderita PGK maka diharapkan dapat meningkatkan pemahaman mengenai peranan asam urat pada kejadian neuropati perifer dan hasil penelitian ini dapat digunakan untuk mengembangkan penelitian serupa di masa yang akan datang.

1.4.2 Manfaat Klinik Praktis

Dengan mengetahui kadar asam urat serum tinggi dapat meningkatkan risiko terjadinya neuropati perifer pada penderita PGK diharapkan klinisi dapat melakukan deteksi dini terhadap kejadian neuropati perifer dan penatalaksanaan yang lebih adekuat terhadap kadar asam urat serum pada penderita PGK.

(25)

6 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Ginjal Kronik

2.1.1 Definisi

National Kidney Foundation mendefinisikan PGK berdasarkan ada atau

tidaknya kerusakan ginjal dan tingkat fungsi ginjal. Suatu studi patologi

menunjukkan bahwa kerusakan ginjal bisa tidak disertai dengan penurunan laju

filtrasi glomerulus (LFG). Bukti adanya kerusakan ginjal tergantung pada tipe dari

penyakit ginjal itu sendiri dan dapat meliputi abnormalitas pada pemeriksaan

darah, urin seperti adanya proteinuri yang menetap, hematuria serta tes pencitraan

(National Kidney Foundation, 2002).

Tabel 2.1 Kriteria Definisi Penyakit Ginjal Kronik

(National Kidney Foundation, 2002)

1. Kerusakan ginjal selama > 3 bulan, yang disebabkan oleh abnormalitas struktural atau fungsional dari ginjal, dengan atau tanpa penurunan LFG, manifestasi sebagai:

 Abnormalitas patologi

 Bukti kerusakan ginjal, meliputi abnormalitas

komposisi darah atau urin, abnormalitas pada tes pencitraan

2. Laju filtrasi glomerulus <60 ml/menit/1,73m2 selama > 3

bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal

Stadium PGK ditegakkan berdasarkan pada tingkat fungsi ginjal. Identifikasi

stadium pada penderita PGK tidak secara akurat mengetahui penyebab penyakit

(26)

7

glomerulus yang digunakan adalah 60 ml/menit/1,73m2 karena hal itu merupakan

penurunan 50 persen dari fungsi ginjal yang normal (Couser dkk, 2011).

2.1.2 Klasifikasi

Penyakit ginjal kronik dapat diklasifikasikan menjadi stadium 1 hingga 5,

dimana stadium 1 ditandai dengan kerusakan ginjal dengan LFG normal. Stadium

2 ditandai dengan kerusakan ginjal dengan penurunan laju filtrasi glomerulus

ringan. Stadium menengah yang signifikan secara klinis adalah PGK stadium 3

dan 4 sedangkan PGK stadium 5 sudah dikatakan stadium akhir yaitu dengan nilai

laju filtrasi glomerulus yang rendah <15 ml/menit/1,73m2 (MacGregor, 2006;

Couser dkk, 2011).

Tabel 2.2 Klasifikasi Stadium PGK (National Kidney Foundation, 2002)

Stadium Laju Filtrasi Glomerulus

(ml/menit/1,73m2) Deskripsi

1 >90 Kerusakan ginjal dengan

LFG normal

2 60-89 Kerusakan ginjal dengan

penurunan ringan LFG

3 30-59 Penurunan LFG sedang

4 15-29 Penurunan LFG berat

5 <15 Gagal ginjal

2.1.3 Komplikasi pada Sistem Saraf

Penyakit ginjal kronik menyebabkan akumulasi produk sisa organik dari

tubuh yang normalnya dibersihkan oleh ginjal. Pada penderita PGK dengan laju

filtrasi glomerulus dibawah 50% sering mengalami komplikasi dibidang neurologi

(27)

8

penderita PGK stadium lanjut (Brouns dan De Deyn, 2004) dan mempengaruhi

sistem saraf pada semua level baik sentral maupun perifer (Krishnan dan Kiernan,

2009). Komplikasi pada sistem saraf dapat berhubungan langsung diakibatkan

oleh penyakit ginjal itu sendiri dan dapat berhubungan dengan terapi hemodialisis.

Komplikasi neurologi pada sistem saraf pusat antara lain demensia dialisis,

sindrom disekuilibrium dan ensefalopati uremik sedangkan komplikasi neurologi

pada sistem saraf perifer yang paling sering adalah neuropati perifer (Krishnan

dan Kiernan, 2009; Rizzo dkk, 2012). Komplikasi yang berhubungan dengan

terapi hemodialisis tampak pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3 Komplikasi Neurologi Pada Pasien Hemodialisis (Rizzo dkk, 2012)

Sistem Saraf Pusat

Dipicu oleh Dialisis Demensia Dialisis

Ensefalopati Wernicke (defisiensi thiamin)

Central pontine myelinolysis (koreksi cepat

dari hiponatremi)

Dimodifikasi oleh Dialisis Ensefalopati uremik (memperbaiki) Aterosklerosis (memperberat) Stroke perdarahan (memperberat)

Leukoenchephalopathy (reversibel)

Sistem Saraf Perifer

Dipicu oleh Dialisis Mononeuropati

Carpal tunnel syndrome

Berhubungan dengan akses vaskular (ischemic monomelic neuropathy) Anterior ischemic optic neuropathy Dimodifikasi oleh Dialisis Polineuropati (memperbaiki/memperberat)

Subklinis

Gejala ringan dan di daerah distal Gejala berat, neuropati sensorik dan motorik

Kondisi akut, mirip dengan Guillain-Barre

(28)

9

2.2 Neuropati Perifer pada PGK

Neuropati perifer diartikan sebagai suatu proses menyeluruh yang

memberikan efek yang bersifat menyebar, simetris bilateral dan bersifat motorik,

sensorik, atau otonom (Herskovitz, 2010). Neuropati uremik terjadi pada dua per

tiga pasien PGK stadium akhir. Proses dialisis biasanya akan memperbaiki kondisi

neuropati ini (Weisberg, 1996). Ada pendapat lain yang menyebutkan bahwa

dengan hemodialisis, gejala neuropati perifer akan semakin bertambah oleh

karena hilangnya tiamin saat proses dialisis. Hal ini belum diketahui secara pasti

(Rizzo dkk, 2012). Neuropati perifer pada penderita PGK memiliki prevalensi

bervariasi sekitar 60%-90% dan dua kali lebih sering terjadi pada laki-laki

(Wijdicks, 2002; Krishnan dan Kiernan, 2009).

2.2.1 Manifestasi Klinis Neuropati Perifer pada PGK

Neuropati perifer pada penderita PGK merupakan suatu neuropati

length-dependent, memiliki karakteristik degenerasi aksonal dengan demielinisasi

sekunder dan kondisi tersebut dapat mempengaruhi saraf motorik, sensorik dan

saraf kranialis. Neuropati yang terjadi ditandai dengan kelainan pada daerah

distal, bersifat simetris dengan predominan neuropati aksonal, campuran neuropati

motorik dan sensorik. Biasanya lebih banyak mengenai tungkai kaki dibandingkan

lengan tangan (Rizzo dkk, 2012).

Neuropati ini biasanya terjadi subklinis dan didiagnosis berdasarkan

pemeriksaan elektrofisiologi. Pada kondisi ringan, gejala yang paling sering

(29)

10

dengan hilangnya rasa getar atau vibrasi (Rizzo dkk, 2012). Gejala klinis yang

muncul dapat berupa kram otot yang biasanya dikeluhkan pada malam hari,

biasanya berlokasi pada satu atau lebih otot yang lebih sering mengenai

ekstremitas bawah, selain itu dapat juga terjadi restless leg syndrome, parestesi,

disestesi atau sensasi abnormal yang mengenai jari-jari kaki dan tangan dan

biasanya terjadi pada stadium lanjut PGK, nyeri pada kedua ektremitas bawah

terutama pada daerah yang dipersarafi nervus peroneus dan sensasi terbakar pada

kedua kaki (Mustofa dan El Tayeb, 2004).

Pada pemeriksaan fisik bisa didapatkan hilangya refleks tendon Achiles pada

kasus yang lebih lanjut. Gangguan vibrasi pada ekstremitas bagian distal dialami

selanjutnya. Namun terdapat penelitian lain yang menyebutkan bahwa gangguan

vibrasi lebih terganggu terlebih dahulu dibandingkan modalitas lainnya.

Kelemahan motorik tersering adalah kelemahan dorsofleksi kaki hingga atrofi otot

terutama di bagian distal. Gejala sensoris dominan yang muncul dengan distribusi

seperti kaos kaki. Gangguan motorik dan sensorik lebih ke proksimal dan pada

ekstremitas superior menunjukkan bahwa kerusakan saraf telah lanjut (Latov,

2007; Palmer, 2007; Krishnan dan Kiernan, 2009; Pan, 2009; Herskovitz, 2010).

2.2.2 Patogenesis Neuropati Perifer pada PGK

Patogenesis neuropati perifer pada penderita PGK diawali dengan kondisi

uremia. Pada kondisi uremia banyak bahan toksin uremik yang dapat memicu

munculnya neuropati uremik. Bahan toksin uremik adalah suatu substrat atau

(30)

11

negatif pada fungsi biologis tubuh (Duranton, 2012). Meskipun beberapa atau

semua bahan toksin ini berperan dalam terjadinya neuropati uremik, faktanya

bahwa beberapa dari bahan tersebut bersifat neurotoksin masih belum pasti,

contohnya molekul berukuran sedang dengan berat molekul 300 hingga 2500

Dalton dapat bersifat neurotoksin. Suatu bahan disebut toksin uremik biasanya

memiliki syarat-syarat sebagai berikut (Arminoff, 2008; Krishnan dan Kiernan,

2009) :

1. Bahan diidentifikasi secara kimia dan ditemukan dalam cairan biologis

tubuh.

2. Konsentrasi zat tersebut lebih tinggi pada pasien dengan uremia.

3. Konsentrasi dari zat tersebut berkorelasi dengan gejala uremik yang

spesifik.

4. Gejala berkurang bila zat tersebut kadarnya menjadi normal.

5. Efek toksik zat tersebut muncul pada konsentrasi yang sama.

Bahan-bahan toksin uremik ini secara umum dapat dibagi menjadi 3

kelompok besar antara lain bahan molekul ringan yang larut air, molekul

berukuran sedang dan bahan yang terikat dengan protein. Yang termasuk dalam

bahan molekul ringan adalah urea, kreatinin, oksalat dan asam urat. Yang

termasuk dalam molekul berukuran sedang adalah leptin, beta 2 mikroglobulin

dan hormon paratiroid, sedangkan yang termasuk dalam bahan terikat dengan

protein adalah polyamines, indoxyl sulfate, homocystein dan hippuric acid

(31)

12

Ada beberapa teori mengenai efek toksik dari bahan-bahan toksin uremik.

Berdasarkan pengamatan pada beberapa pasien didapatkan teori bahwa molekul

berukuran sedang ini memberikan efek toksik, namun terdapat beberapa studi lain

yang tidak mendukung teori ini. Suatu postulat yang dikemukakan oleh Fraser dan

Arieff mengungkapkan bahwa neurotoksin berefek mengurangi suplai energi pada

akson dengan cara menghambat enzim serabut saraf yang diperlukan untuk

produksi energi tersebut. Dengan berkurangnya energi akan mempengaruhi nodus

ranvier dalam menyalurkan impuls konduksi dan akhirnya akan menyebabkan

kerusakan akson (Ramirez dan Gomez, 2012).

Bahan toksin juga menyebabkan disfungsi dari beberapa membran pada

perineurium, dimana berperan sebagai barier difusi antara cairan interstitial dan

saraf; dan pada endoneurium, dimana berperan sebagai barier antara darah dan

saraf. Sebagai konsekuensinya, toksin uremik dapat masuk ke ruang endoneural

dan menyebabkan kerusakan saraf secara langsung, dengan perubahan

hidroelektrolit yang dapat menyebabkan penciutan (shrinkage) (Pan, 2009).

Nielsen pada tahun 1973 mengajukan suatu hipotesis bahwa disfungsi saraf

yang terjadi berhubungan dengan faktor toksik serum uremik yang menghambat

fungsi membran akson dan aktivasi pompa Na/K ATPase. Hal ini dipikirkan

karena terjadi pengurangan kecepatan konduksi saraf akibat dari pompa Na/K

ATPase pada aksolema yang berhubungan dengan toksin uremik, membentuk

akumulasi natrium intrasel dan perubahan potensial membran istirahat. Kondisi

ini memicu degenerasi aksonal dan demielinisasi segmental sekunder (Nielsen,

(32)

13

Studi morfologi menunjukkan degenerasi aksonal dengan tipe dying-back dan

demielinisasi yang terjadi merupakan kondisi sekunder dari atropi akson yang

mendahului proses degenerasi aksonal. Gangguan metabolik bertanggung jawab

terhadap terjadinya neuropati tetapi juga berhubungan dengan monoclonal

cryoglobulinemia dari diskrasia sel plasma. Pada Gambar 2.1 tampak gambaran

potongan melintang serabut saraf menggunakan mikroskop elektron pada kondisi

neuropati. Beberapa spiral bagian dalam dari sel Schwann tampak tidak padat

untuk membentuk lamellar myelin. Lamellar yang tidak padat ini tampak pada

[image:32.595.234.405.354.483.2]

beberapa neuropati (Garcia, 2013).

Gambar 2.1 Kerusakan Serabut Saraf pada Neuropati (Garcia, 2013)

Hemodialisis juga dapat mengakibatkan terakumulasinya molekul berukuran

sedang. Hal ini sesuai dengan hipotesis yang mengatakan bahwa neuropati

disebabkan oleh akumulasi molekul berukuran sedang (300 hingga 12.000

Dalton), dimana dibersihkan lebih lambat daripada urea dan kreatinin (Vanholder

et al, 2008).

Secara patologi, kondisi neuropati perifer dibagi menjadi 3 pola dasar yaitu

(33)

14

yang ditandai dengan degenerasi Wallerian, meliputi neuropati akibat trauma,

infark dari saraf perifer (mononeuropati diabetik, vaskulitis) dan infiltrasi

neoplasma. Pada aksonopati distal, didapatkan neuropati akibat gangguan

metabolik, obat-obatan, dan toksin industri seperti pestisida, sedangkan

demielinisasi segmental terjadi pada neuropati demielinisasi akut dan kronik,

neuropati difteritik, metachromatic leukodystrophy dan penyakit

Charcot-Marie-Tooth (Agamanolis, 2015).

Neuropati perifer pada PGK terjadi proses aksonopati distal, diawali dengan

degenerasi akson dan myelin terutama pada bagian distal dari akson. Apabila

kerusakan ini terjadi menetap maka akan terjadi akson “dies back”. Hal ini yang

menyebabkan gejala dengan karakteristik kelemahan dan hilangnya sensoris area

distal “stocking-gloves”. Neurofilamen dan organela berakumulasi pada proses

degenerasi akson, hal ini terjadi kemungkinan oleh karena kondisi stagnan dari

aliran aksoplasmik. Kemudian akson menjadi atropi dan hancur. Aksonopati distal

yang berat hampir menyerupai degenerasi Wallerian. Pada tahap lanjut, akan

terjadi hilangnya mielin pada akson. Aksonopati distal disebabkan oleh patologi

atau kelainan dari badan neuron sebagai akibat dari ketidakmampuan untuk

memenuhi kebutuhan metabolik yang diperlukan akson. Hal ini menjelaskan

mengapa penyakit dimulai dari bagian distal saraf dan akson yang besar yang

memiliki kebutuhan metabolik dan nutrisi terbanyak biasanya sering mengalami

(34)

15

2.2.3 Pemeriksaan Penunjang Neuropati Perifer

Pemeriksaan penunjang yang digunakan untuk mendiagnosis suatu neuropati

perifer adalah elektroneuromiografi atau pemeriksaan nerve conduction study

(NCS). Pemeriksaan compound muscle action potential (CMAP) dilakukan pada

nervus medianus, nervus ulnaris, nervus radialis, nervus tibialis, nervus peroneus.

Pemeriksaan sensory nerve action potential (SNAP) pada nervus medianus,

nervus ulnaris, nervus radialis dan nervus suralis. Nilai normal dari pemeriksaan

NCS untuk pemeriksaan motorik dan sensorik nervus medianus, nervus ulnaris,

nervus radialis, nervus tibialis, nervus peroneus, dan nervus suralis tampak pada

[image:34.595.151.488.410.493.2]

Tabel 2.4 dan Tabel 2.5 (Preston, 2013).

Tabel 2.4 Hasil Pemeriksaan Motorik atau CMAP (Preston, 2013)

Variabel Latensi (mdet) Amplitudo(mV) KHS(m/det)

N. Medianus <4,4 >4,0 >49

N. Ulnaris <3,3 >6,0 >49

N. Radialis <2,9 >2,0 >49

N. Tibialis <5,8 >4,0 >41

[image:34.595.153.485.539.608.2]

N. Peroneus <6,5 >2,0 >44

Tabel 2.5 Hasil Pemeriksaan Sensoris atau SNAP (Preston, 2013)

Variabel Latensi(mdet) Amplitudo(mV) KHS(m/det)

N. Medianus <3,5 >20 >50

N. Ulnaris <3,1 >17 >50

N. Radialis <2,9 >15 >50

N. Suralis <4,4 >6 >40

Nerve Conduction Study merupakan standar baku emas dalam mendiagnosis

neuropati perifer pada penderita PGK (Krishnan dan Kiernan, 2009). Pemeriksaan

(35)

16

perifer menyeluruh, tipe aksonal, dengan penurunan amplitudo SNAP dan bila

meluas amplitudo CMAP pun menurun, sedangkan kecepatan hantar saraf (KHS)

relatif masih baik. Latensi F-wave dan H-reflex, amplitudo nervus suralis, dan

deteksi vibrasi pada ekstremitas bawah merupakan parameter elektrofisiologis

yang sensitif. Nervus suralis lebih sering terlibat dibandingkan nervus peroneus

dan tibialis. Amplitudo sensoris nervus suralis menurun pada 50% kasus. Latensi

F-wave pada nervus tibialis dan peroneus memanjang dan H-reflex pun abnormal.

Polineuropati dapat terjadi pada stadium awal PGK dan kemungkinan berjenis

demielinisasi yang ditandai dengan perlambatan pada konduksi saraf dengan

amplitudo sensorik dan motorik yang masih baik. Elektroneuromiografi

khususnya NCS mampu mendeteksi adanya neuropati perifer subklinis 48%-70%

pasien dengan PGK (Oh, 2003; Krishnan dan Kiernan, 2009; Pan, 2009;

Herskovitz, 2010). Suatu penelitian dengan pemeriksaan elektrofisiologis pada

penderita PGK pre-dialisis yang dilakukan pada nervus medianus, nervus ulnaris,

nervus peroneus dan nervus tibialis, didapatkan hasil sebanyak 70% pasien

mengalami neuropati perifer, 6% neuropati asimptomatik, 51% neuropati

simptomatik (Aggarwal, 2013).

2.3 Asam Urat

2.3.1 Struktur Asam Urat

Asam urat adalah produk akhir metabolism purin. Purin (adenin dan guanin)

merupakan konstituen asam nukleat (Warner et al., 2004). Asam urat (

(36)

17

didistribusikan dalam cairan ekstraseluler sebagai natrium urat. Asam urat

cenderung berada di cairan plasma ekstraselular sehingga membentuk ion urat

[image:36.595.278.375.185.280.2]

pada pH 7.4. Ion urat mudah disaring dari plasma (McCrudden, 2000).

Gambar 2.2 Stuktur Kimia Asam Urat (McCrudden, 2000).

2.3.2 Sintesis dan Ekskresi Asam Urat

Asam urat disintesis terutama dalam hati, dalam suatu reaksi yang dikatalisis

oleh enzim xanthine oxidase (XO). Metabolisme adenosin triphosfate (ATP)

menyebabkan akumulasi hypoxanthine. Hypoxanthine dirubah oleh enzim XO

menjadi xantin. Pada jaringan yang non-iskemik, XO yang berada dalam bentuk

nicotinamide adenine dinucleotide (NAD) menurunkan hydrogenase. Selama

iskemia, Ca2+-stimulated protease yang menyebabkan pemecahan parsial

xanthine dehydrogenase menjadi XO yang irreversible. XO selanjutnya

mengoksidasi xanthine, menghasilkan asam urat, superoksida dan hidrogen

(37)
[image:37.595.172.469.106.303.2]

18

Gambar 2.3 Pembentukan Asam Urat dari Asam Nukleat (Sumarni, 2015)

Gambar 2.4 Metabolisme Purin (Adenosin) (Hare dan Johnson, 2003)

Kadar asam urat serum diatur oleh 4 komponen sistem transpor ginjal yang

meliputi proses filtrasi, reabsorbsi, sekresi dan reabsorbsi paska sekresi. Sejumlah

transporter ginjal turut terlibat dalam pengaturan kadar asam urat dalam plasma

seperti urat transporter 1 (URAT1) yang bertanggung jawab terhadap reabsorbsi

urat dan sejumlah sejumlah transporter ion organik (OAT) seperti OAT1 dan

[image:37.595.235.402.344.498.2]
(38)

19

sekresi urat. Karena keterlibatannya yang begitu penting dalam reabsorbsi urat,

URAT1 dipercaya memainkan peranan yang sangat kritis dalam pengaturan kadar

asam urat serum (Johnson et al., 2003; Hediger et al., 2005).

Sumber asam urat pada manusia didapat melalui dua cara, yaitu secara

endogen dan eksogen. Sumber asam urat secara endogen yaitu melalui sintesis de

novo dan pemecahan asam nukleat kurang lebih sebanyak 600 mg/hari. Sumber

asam urat yang berasal dari eksogen yaitu melalui asupan makanan yang

mengandung purin kurang lebih 100 mg/hari (Pasalic, 2012).

Ekskresi asam urat total pada manusia normal rata-rata adalah 400-600 mg

per hari. Kebanyakan asam urat diekskresikan lewat urin melalui mekanisme yang

kompleks dengan melibatkan filtrasi glomerulus, reabsorbsi tubulus di bagian

awal tubulus konkortus proksimal, sekresi tubulus di bagian akhir reabsorbsi dan

mungkin mengalami reabsorbsi lagi di bagian akhir tubulus proksimal (Capasso et

al., 2005; Hediger et al.,2005).

Kadar darah asam urat normal pada laki-laki yaitu 3.4 - 7 mg/dl sedangkan

pada perempuan yaitu 2.4 - 6 mg/dl (Gray, 2015). Pada keadaan normal,

kebutuhan produksi dan eliminasi asam urat kurang lebih 700 mg. Kurang lebih

sebanyak 30% dari kebutuhan asam urat berkurang di usus karena bakteri

uricolysis pada sistem pencernaan, sedangkan 70% sisanya (atau kurang lebih 500

mg) disekresikan melalui ginjal. Pada manusia, plasma urat secara bebas

mengalami filtrasi di glomerulus, namun komponen yang dieksresikan hanya 10%

(39)

20

Beberapa faktor yang telah diteliti berpengaruh terhadap kadar asam urat

serum dalam darah adalah umur dan jenis kelamin. Kadar asam urat juga akan

meningkat dengan adanya gangguan fungsi ginjal (McCrudden, 2000; Liu et

al.,2011). Jumlah asam urat dalam plasma tergantung pada jumlah makanan atau

minuman yang mengandung purin, biosintesis asam urat dan laju ekskresi urat.

Namun di dalam tubuh, perputaran purin terjadi secara terus menerus seiring

dengan sintesis dan penguraian RNA dan DNA, sehingga walaupun tidak ada

asupan purin, tetap terbentuk asam urat dalam jumlah yang subtansial. Kadar

asam urat akan meningkat dengan bertambahnya usia dan gangguan fungsi ginjal

(McCrudden, 2000). Gagal ginjal menyebabkan asam urat, urea, dan kreatinin

terakumulasi. Diuretik tiazid menurunkan ekskresi urat. Alopurinol, probenesid,

kortikosteroid, dan aspirin dosis besar meningkatkan ekskresi urat (Liu et

al.,2011).

2.3.3 Peran Asam Urat pada Tubuh

Asam urat merupakan antioksidan cair terbanyak pada manusia, 2/3 dari total

antioksidan yang memiliki kemampuan menetralisir radikal bebas dalam plasma

terutama hidroksil, superoksida, peroksinitrit dan mungkin memiliki kemampuan

melindungi secara fisiologis dengan mencegah peroksidasi lipid. Namun apabila

jumlahnya berlebihan dalam tubuh juga dapat menimbulkan efek merugikan yaitu

suatu kondisi hiperurisemia dan juga dapat menginduksi stres oksidasi atau

(40)

21

Kadar asam urat dapat meningkat pada keadaan tertentu seperti diet tinggi

purin, konsumsi alkohol yang berlebihan, perubahan sel atau kematian sel pada

neoplasma atau obat sitotoksik, kelainan metabolisme purin karena faktor genetik,

kelainan fungsi ginjal yang menyebabkan penurunan klirens (clearance) asam

urat, gangguan ekskresi asam urat yang berhubungan dengan reabsorbsi natrium

yang berlebihan pada beberapa kondisi seperti obesitas, resistensi insulin atau

hiperinsulinemia, hipertensi, diet rendah natrium dan terapi diuretik.

Dalam berbagai organ dan pembuluh darah, konsentrasi lokal asam urat

meningkat selama stres oksidatif akut dan iskemia serta peningkatan

konsentrasinya mungkin merupakan mekanisme kompensasi untuk memberikan

efek perlindungan melawan peningkatan aktivitas radikal bebas. Berkaitan dengan

kondisi iskemik dalam hubungannya dengan kenaikan kadar asam urat perlu

dicatat bahwa xanthin oxidoreductase terdapat dalam dua bentuk yang berbeda

yaitu xanthine dehidrogenase dan xanthine oxidase. Xanthine dehidrogenase

adalah bentuk paling umum yang bekerja di bawah kondisi fisiologis dan

memiliki afinitas yang lebih besar untuk nicotinamide adenin dinukleotide

dioksida (NAD+) dibandingkan dengan oksigen sebagai akseptor elektron. Dalam

kondisi iskemik seiring degradasi ATP menjadi adenin dan xanthine, terjadi

perubahan besar xanthine dehidrogenase menjadi XO. Proses ini menggunakan

molekul oksigen pada tempat NAD+ sebagai akseptor elektron dan mengarah pada

pembentukan anion superoksida dan hidrogen peroksida secara paralel dengan

kadar asam urat serum seperti yang ditunjukkan oleh beberapa studi

(41)

22

Selama beberapa tahun, hiperurisemia telah diidentifikasi bersama-sama atau

dianggap sama dengan gout, namun saat ini asam urat telah diidentifikasi sebagai

penanda untuk sejumlah kelainan metabolik dan hemodinamik (Waring et al.,

2000; Qasi and Lohr, 2005). Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan antara

pembentukan dan degradasi nukleotida purin serta kemampuan ginjal dalam

mengekskresikan asam urat. Apabila terjadi kelebihan pembentukan asam urat,

hambatan pengeluaran asam urat atau keduanya maka akan terjadi peningkatan

konsentrasi asam urat darah yang disebut dengan hiperurisemia (Edward, 2009).

Asam urat serum merupakan salah satu antioksidan. Namun antioksidan dapat

menjadi prooksidan pada beberapa situasi. Diperkirakan terdapat suatu

mekanisme antioxidant–prooxidant redox shuttle pada pembuluh darah lapisan

intima yang mengalami aterosklerosis. Asam urat pada tahap awal proses

aterosklerosis telah diketahui berperan sebagai antioksidan dan mungkin

merupakan antioksidan terkuat yang terdapat di plasma. Kemudian proses

aterosklerosis dengan kadar asam urat serum meningkat lebih dari nilai normal >

6 mg/dl untuk perempuan dan 6,5-7 mg/dl untuk laki-laki, didapatkan bahwa asam

urat akan berperan sebagai prooksidan. Antioxidant-prooxidant urate redox shuttle

juga bergantung pada kondisi lingkungan sekitar seperti waktu (awal atau akhir

dari proses penyakit), lokasi jaringan dan substrat, tingkat keasaman (pH

asam-basa-netral), oksidan yang ada di lingkungan sekitar, kekurangan antioksidan pada

area tertentu, suplai dan durasi substrat antioksidan. Reaksi yang terjadi meliputi

(42)

23

Reaksi Fenton dan reaksi Haber-Weiss dapat meningkatkan oxidative-redox stress

(Hayden, 2004).

Reaksi Fenton:

Fe2+ + H2O2 → Fe3+ + OH• + OH Fe3+ + H2O2 → Fe2+ + OOH• + H+

Reaksi Haber-Weiss:

H2O2 + O2- → O2 + OH- + OH H2O2 + OH- → H2O + O2- + H+

Radikal hidroksil dapat memicu reaksi lanjutan dengan memproduksi ROS

melalui reaksi tambahan, abstraksi hidrogen, transfer elektron dan interaksi

radikal. Sebagai tambahan, ion copper (Cu3+ - Cu2+ - Cu1+) dapat mengalami

reaksi yang serupa dengan pembentukan peroksidase lipid dan ROS. Hal ni akan

menyebabkan kebocoran ion besi dan tembaga dari pecahnya vasa vasorum

(Hayden, 2004).

2.4 Asam Urat dengan Neuropati Perifer

Asam urat merupakan toksin uremik yang jumlahnya semakin meningkat

terutama pada penderita PGK. Pada kondisi jumlah asam urat meningkat, asam

urat sebagai neurotoksin berefek mengurangi suplai energi pada akson dengan

cara menghambat enzim serabut saraf yang diperlukan untuk produksi energi

tersebut. Bahan toksin juga menyebabkan disfungsi dari beberapa membran pada

perineurium, dimana berperan sebagai barier difusi antara cairan interstitial dan

saraf; dan pada endoneurium, dimana berperan sebagai barier antara darah dan

(43)

24

sehingga menyebabkan kerusakan saraf secara langsung melalui perubahan

hidroelektrolit yang dapat menyebabkan penciutan (shrinkage) (Pan, 2009).

Asam urat meskipun sebagai antioksidan utama dalam sirkulasi (Ames,1981),

namun juga menginduksi stres oksidasi pada beberapa sel termasuk sel otot polos

(Corry et al.,2008) yang menyebabkan progresivitas penyakit termasuk

kardiovaskular. Mekanisme patogenesisnya diduga melalui penurunan

bioavaibilitas nitric oxide (NO) pada sel otot polos dan sel endotel serta

mengurangi langsung NO (Gersch et al.,2008). Pengamatan klinis dan

laboratorium memperlihatkan peningkatan konsentrasi asam urat dalam darah

lebih dari 5,5 mg/dL, dikaitkan dengan disfungsi endotel (Zharikov et al., 2007).

Peran asam urat pada sel endotel diperkirakan juga melalui aktivasi leukosit dan

terdapat korelasi yang konsisten antara peningkatan konsentrasi asam urat dengan

penanda inflamasi dalam sirkulasi (Culleton et al., 2006). Dengan adanya

kerusakan pada sel otot polos dan sel endotel, akan mempengaruhi vaskularisasi

perifer sehingga dapat mengganggu fungsi saraf perifer sehingga akhirnya

menimbulkan neuropati perifer. Terdapat suatu penelitian yang membuktikan

adanya hubungan antara peningkatan kadar asam urat serum dengan terjadinya

Gambar

Tabel 2.1 Kriteria Definisi Penyakit Ginjal Kronik
Tabel 2.2 Klasifikasi Stadium PGK (National Kidney Foundation, 2002)
Tabel 2.3 Komplikasi Neurologi Pada Pasien Hemodialisis (Rizzo dkk, 2012)
Gambar 2.1 Kerusakan Serabut Saraf pada Neuropati (Garcia, 2013)
+4

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian adalah untuk menentukan berapa kadar minimal fruktosa yang dapat menyebabkan peningkatan kadar asam urat serum pada mencit.. Penelitian menggunakan

KADAR ASAM URAT (AU) SERUM PADA PENDERITA TRAUMATIC BRAIN INJURY (TBI): SEBUAH STUDI POTONG-LINTANG ANALITIK1. Dwijo Anargha Sindhughosa, 2 Thomas Eko Purwata, 2 I Putu

penelitian yang berjudul FAKTOR RISIKO HIPERTENSI, DISLIPIDEMIA, MEROKOK, ASAM URAT, OBESITAS, DIABETES MELITUS, DAN RIWAYAT STROKE DALAM KELUARGA PADA PENDERITA STROKE. dan

9,10 Penelitian ini dilakukan untuk mencari hubungan antara peningkatan kadar asam urat serum dengan peningkatan kadar hs-CRP sebagai penanda inflamasi kronis yang merupakan

Tujuan : penelitian ini untuk mencari perbedaan kadar asam urat, laktat dehydrogenase (LDH) dan aspartat aminotransferase (AST) pada serum penderita preeklamsi berat

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kadar asam urat serum dengan tingkat keparahan penyakit jantung koroner di RSU PKU Muhammadiyah

Kadar asam urat serum tidak hemolisis masih dalam batas normal, untuk asam urat dengan sampel hemolisis terjadi penurunan karena ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya

Semakin lamanya seseorang menderita diabetes melitus maka sema- kin besar pula resiko terkena neuropati perifer, di mana lama menderita diabetes melitus dengan kadar glukosa darah yang