• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA SEBAGAI SUATU PERBUATAN HUKUM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA SEBAGAI SUATU PERBUATAN HUKUM"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

13 BAB II

PERJANJIAN PADA UMUMNYA SEBAGAI SUATU PERBUATAN HUKUM

2.1 Pengertian Perjanjian

Sebelum memberikan pengertian tentang perjanjian standar, sebelumnya perlu diketahui terlebih dahulu tentang pengertian perjanjian pada umumnya. Guna mengetahui tentang pengertian perjanjian, maka akan dikemukakan pengertian perjanjian menurut para sarjana dan menurut kitab Undang-Unadng Hukum Perdata ( B. W).

Dalam kehidupan sehari-hari sudah umum terjadi para pihak terlibat dalam suatu perjanjian. Menurut R. Setiawan perjanjian sama dengan persetujuan, yaitu suatu perbuatan berdasarkan kata sepakat antara dua atau lebih pihak untuk mengadakan akibat hukum yang diperkenankan.

16

Jadi persetujuan tidak lain adalah perjanjian yang mengakibatkan adanya hak dan kewajiban.

Menurut Wirjono Prodjodikoro perjanjian adalah : “suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antar dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menurut pelaksanaan janji itu”.

17

16

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2003, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, PT.

Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 7.

17

Wirjono Rodjodikoro, 2000, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Mazdar Madju, Bandung,

hal 4.

(2)

14 Sementara Soediman Kartohadi Arodjo, menyatakan bahwa perjanjian sudah semua berbeda hukum yang mengatur hak dan kewajiban seseorang yang bersumber pada tindakannya dalam lingkungan hukum kekayaan.

18

Berdasarkan rumusan pengertian perjanjian dari para sarjana tersebut diatas, maka dapat ditarik unsur-unsur perjanjian sebagai berikut :

1. Perbuatan hukum yang didasarkan kata sepakat 2. Melibatkan dua pihak atau lebih sebagai pelaku 3. Para pihak berjanji akan melakukan sesuatu hal 4. Perjanjian tersebut melahirkan hak dan kewajiban

Pengertian perjanjian secara otentik dirumuskan oleh ketentuan pasal 1313 KUH Perdata sebagai berikut : “perjanjian adalah suatu perbuata dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

Menurut Mariam Darus Badrul Zaman, bahwa rumusan pasal diatas disatu sisi tidak lengkap karena hanya menekankan pada perjanjian sepihak saja, dan pada sisi lain cakupannya terlalu luas karena dapat mengenai hal-hal yang menyangkut janji-janji kawin sebagaimana perbuatan yang terdapat dalam bidang hukum keluarga.

19

Akibat tidak lengkap dan terlalu luasnya rumusan perjanjian sebagaimana diatur dalam pasal 1313 KUH Perdata itulah memunculkan adanya pendapat dari para sarjana tentang perjanjian beserta ruang

18

CST. Kansil dan Christine Kansil, 2000, Modul Hukum Perdata termasuk Azas-Azas Hukum Perdata, Pradnya Paramitha, Jakarta, hal 203

19

Mariam Darus Badrulzaman, 1994, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, Hal 18.

(3)

15 lingkupnya. Para sarjana mencoba memberikan pengertian perjanjian sesuai dengan sudut pandang masing-masing.

Dari beberapa pendapat para sarjana yang mencoba memberikan pengertian dari perjanjian, maka dapat kiranya ditarik unsur-unsur perjanjian sebagai berikut :

1. Suatu perbuatan hukum yang melibatkan pihak-pihak

2. Ada janji-janji yang sebelumnya telah disepakati atau ada prestasi sebagai obyek perjanjian

3. Ada pihak-pihak sebagai subyek perjanjian, baik orang perorangan maupun badan hukum.

Menurut Johannes Ibrahim suatu perjanjian atau kontrak memiliki unsur-unsur sebagai berikut :

1. Pihak-pihak yang berkompoten 2. Pihak yang disetujui

3. Pertimbangan hukum 4. Perjanjian timbal balik

5. Hak dan kewajiban timbal balik

20

2.2 Azas-Azas Utama Perjanjian

Sebelum langsung ke azas-azas umum perjanjian, terlebih dahulu perlu dipahami tentang pengertian azas hukum. Paul Scholten memberikan pengertian azas hukum sebagai berikut :

20

Jojanes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, 2004, Hukum Bisnis dalam Perspektif Manusia

Modern, Refika Aditama, Bandung, hal 43

(4)

16 Pikiran-pikiran dasar, yang terdapat di dalam dan dibelakang sistem hukum, masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan perundang- undangan dan putusan-putusan hakim yang berkenaan dengan ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai penjabarannya.

21

Menurut Sajipto Rahmadjo, azas hukum dapat diartikan sebagai suatu hal yang dianggap oleh suatu masyarakat hukum yang bersangkutan sebagai basic truth atau kebebasan azasi, sebab melalui azas-azas hukum itulah pertimbangan etis dan sosial masyarakat masuk ke dalam hukum.

22

Dari hal tersebut diatas dapat dipahami bahwa azas hukum atau prinsip hukum bukanlah kaedah hukum yang kongkrit, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan lata belakang peraturan yang konkrit yang terdapat di dalam dan dibelakang sistem hukum.

23

Dalam hukum perjanjian ada beberapa azas-azas umum yang melandasi perjanjian. Dari sejumlah azas yang ada, perhatian akan difokuskan pada 3 (tiga) azas utama. Azas-azas dimaksud adalah ; 1) Azas konsensualisme, 2) Azas kekuatan mengikat (Pacta Sund Servanda), 3) Azas Kebebasan berkontrak. Ketiga azas inilah yang akan diuraikan dalam tulisan ini terkait dengan makna dan prinsipnya.

Keitga azas (azas konsensualism, Azas kekuatan mengikat, dan azas kebebasan berkontrak) adalah merupakan azas utama, sebagai soko guru hukum kontrak/perjanjian, memberikan sebuah gambaran mengenai latar

21

J J H. Bruggink (Alih bahasa : Arif Siharta), 1996, Refleksi Tentang Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 119 – 120.

22

Satjipto Rahardjo, Peranan dan Kedudukan Azas-Azas Hukum Dalam Kerangka Hukum Nasional, Makalah disampaikan dalam seminar dan Lokakarya Ketentuan Umum Peraturan Perundang-Undangan, Jakarta 19-20 Oktober 1988.

23

Johannes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, Op. Cit. hal 50.

(5)

17 belakang cara berpakaian yang menjadi dasar hukum kontrak / perjanjian.

24

Azas-azas utama ini disebut juga azas-azas dasar yang sifatnya fundamental dalam hukum kontrak / perjanjian.

Bagaimana mengenai makna dan prinsip dari ketiga azas dimaksud dapat diberikan uraian dan penjelasan sebagai berikut :

1. Azas Konsensualisme

Berdasarkan azas konsensualisme, dimana perjanjian terjadi karena adanya persesuain kehendak (konsensus) para pihak. Mengacu pada azas ini dimana suatu perjanjian itu lahir pada saat terjadinya kesepakatan.

25

Dengan demikian, apabila tercapai kesepakatan antara para pihak maka lahirlah perjanjian, walaupun perjanjian tersebut belum dilaksanakan pada saat itu.

Azas konsensualisme dapat disimpulkan dalam ketentuan pasal 1320 KUH Perdata. Dalam pasal ini ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian yaitu adanya “kesepakatan” kedua belah pihak.

Kesepakatan merupakan persesuain antara kehenda dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.

Dalam konteks azas ini, suatu perjanjian itu sudah sah dan mengikat apabila sudah sepakat dari pihak-pihak mengenai hal-hal yang pokok dan selanjutnya tidak diperlukan sesuatu formalitas.

26

2. Azas Kekuatan Mengikat

24

Johannes Ibrahim dan Lindawati Sewu, Op. Cit hal 51.

25

Achmadi Miru, Op. Cit. hal 3.

26

H. Salim HS, 2003, Perkembangan Hukum Kontrak Innominant di Indonesia, Sinar

Grafika, Jakarta, hal 10.

(6)

18 Azas kekuatan mengikat perjanjian (pacta sunt servanda) mengajarkan bahwa suatu perjanjian yang dibuat secara sah mempunyai kekuatan mengikat secara penuh. Seperti ditegaskan dalam pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata, yaitu ; “setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya”.

27

Pembuat Undang-Undang memberikan azas kebebasan bagi para pihak untuk membuat kontrak dan sekaligus memberikan kekuatan hukum yang mengikat terhadap apa yang telah mereka perjanjikan (pacta sunt servanda).

Perlu juga diingat dalam hal ini bahwa hanya perjanjian yang dibuat secara sah (berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata) saja yang mempunyai kekuatan mengikat. Perjanjian yang cacat karena tidak adanya sebab yang halal atau karena tidak ada kata sepakat, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

3. Azas Kebeasan Berkontrak

Azas kebebasan berkontrak adalah merupakan salah satu azas yang sangat penting dalam hukum perjanjian. Azas kebebasan berkontrak (freedom of contract) adalah azas dimana para pihak diperkenankan secara bebas untuk membuat suatu perjanjian sesuai dengan pilihannya.

Berdasarkan azas kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang untuk secara bebas terkait dengan perjanjian, diantaranya :

27

R. Subekti, 1979, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, hal 15.

(7)

19 1. Bebas apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak

2. Bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian 3. Bebas menentukan isi / klausul perjanjian

4. Bebas menentukan bentuk perjanjian

5. Kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

28

Azas kebebasan berkontrak ini merupakan refleksi dari sistem terbuka (open system) dari hukum perjanjian tersebut. Namun meskipun demikian, azas kebebasan berkontrak ini dibatasi, dimana perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang yang bersifat memaksa, ketertiban umum, dan kesusilaan.

29

2.3 Teori-Teori Terjadinya Perjanjian

Sejak awal penulis sudah mengemukakan pandangan bahwa perjanjian sama dengan kontrak, hanya saja kalau kontrak konotasinya dan memang umumnya merupakan perjanjian yang tertulis, terkait mengenai momentum terjadinya perjanjian memang nampaknya masih perlu untuk mendapatkan kejelasan dan kepastian.

Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH. Perdata) tidak disebutkan secara jelas tentang momentum terjadinya perjanjian. Dalam pasal 1320 KUH Perdata hanya disebutkan cukup dengan adanya sepakat (konsensus) dari para pihak. Tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai

28

Achmadi Miru, Op. Cit. hal 4

29

J. satrio, 1995, Hukum Perikatan, Perikatan yang lahir dari Perjanjian II, PT. Citra

Aditya Bakti, Bandung, hal 74.

(8)

20 kapan sepakat (konsensus) itu suadh dianggap ada (lahir), sehingga karenanya telah lahir / terjadinya perjanjian.

Dari fenomen tersebut diatas, kemudian dalam berbagai literatur yang merupakan doktrin dari para ahli, ada beberapa teori yang membahas tentang momentum terjadinya perjanjian, yaitu ; teori pernyataan, teori pengiriman, teori pengetahuan, and teori penerimaan.

30

Keempat teori tersebut dapat kiranya diuraikan sebagai berikut :

1. Teori Pernyataan (vitingstheoric)

Menurut teori pernyataan, kesepakatan (toestening) terjadi pada saat pihak yang menerima penawaran itu menyatakan bahwa ia menerima penawaran itu. Jadi dilihat dari para pihak yang menerima, yaitu pada saat baru menjatuhkan ballpoint untuk menyatakan menerima kesepakatan sudah terjadi. Kelemahan teori ini adalah sangat teoritis, karena dianggap terjadinya kesepakatan secara otomatis.

2. Teori Pengriman (Verzendtheorie)

Menurut teori pengiriman, kesepakatan terjadi apabila pihak yang menerima penawaran pengiriman telegram. Kritik terhadap teori ini, bagaimana hal itu bila diketahui. Bisa saja, walau sudah dikirim tetapi tidak diketahui oleh pihak yang menawarkan. Teori ini juga sangat teoritis, dianggap terjadi kesepakatan secara otomatis.

30

Vollmar, HFA, 1984, Pengantar Studi Hukum Perdata Jilid II, (Terjemahan I. S

Adiwimarta), Rajawali Press, Jakarta, hal. 147.

(9)

21 3. Teori Pengetahuan (Vernemingstheorie)

Teori pengetahuan berpendapat bahwa kesepakatan terjadi apabila pihak yang menawarkan itu mengetahui adanya acceptatic (penerimaan), tetapi penerimaan itu belum diterimanya (tidak diketahui secara langsung). Kritik terhadap teori ini, bagaimana ia mengetahui isi penerimaan itu apabila ia belum menerimanya.

4. Teori Penerimaan (Ontvangstheoric)

Menurut teori penerimaan bahwa kesepakatan (toesteming) terjadi pada saat pihak yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan.

Disamping keempat teori tersebut, Pitlo mengemukakan teori yang kelima tentang momentum terjadinya perjanjian (kontrak), yaitu :

Geobjectiveerde vernemingstheorie, bahwa yang menentukan ialah saat si pengirim suart “redelijkcrwijs”, dapat menganggap bahwa si pemilik alamat telah mengetahui isi surat itu. Contohnya, saya telah memasukkan surat tawaran kedalam kotak pos pada jam 12.00 siang di Amsterdam. Surat itu sampaikan oleh Harleem oleh pengantar pos pada sore hari. Persoalannya sekarang, kapan terjadinya pengiriman.

Menurut Hoge Raad terjadinya perjanjian itu pada sore hari tersebut diatas.

31

Di dalam hukum positif Belanda, yang juga diikuti oleh yarisprudensi, maupun doktrin, teori yang dianut adalah teori pengetahuan dengan sedikit koreksi dari teori penerimaan. Maksudnya, penerapan teori pengetahuan tidak secara mutlak, sebab lalu lintas hukum menghendaki gerak cepat dan tidak

31

Sri Soedewi Masjhoen, 1980, Hukum Perjanjian, Yayasan Badan Penerbit Gajah Mada,

Yogyakarta, hal 20

(10)

22 menghendaki formalitas yang berlaku, sehingga teori pengetahuan yang dianut.

32

2.4 Syarat Sahnya Perjanjian

Agar suatu perjanjian oleh hukum dianggap sah sehingga mengikat kedua belah pihak, maka perjanjian tersebut haruslah memenuhi syarat-syarat tertentu. Menurut pasal 1320 KUH Perdata, ada empat syarat untuk sahnya suatu perjanjian yaitu : harus ada kesepakatan, kecapakan, hal tertentu dan sebab yang halal (diperbolehkan).

1. Kesepakatan

Adanya kata sepakat diantara para pihak maksudnya bahwa kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian setuju atau seia sekata mengenai hal-hal pokok dari perjanjian. Kesepakatan disini adalah adanya rasa ikhlas atau saling memberi dan menerima atau sukarela diantara pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut.

33

Kesepakatan yang dimaksud adalah merupakan persesuaian pernyataan kehendak, yaitu bisa terjadi dengan cara-cara sebagai berikut:

1. Bahasa yang sempurna dan tertulis 2. Bahasa yang sempurna secara lisan

3. Bahasa yang tidak sempurna asal bisa diterima pihak lawan 4. Bahasa isyarat asal bisa diterima oleh pihak lawannya

32

H. Salim HS. Dkk, 2008, Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding (MOU), Sinar Grafika, Jakarta, hal 26.

33

Richard Buston Simatupang, 1995, Aspek Hukum dalam Bisnis, PT. Rineka Cipta,

Jakarta, hal 35.

(11)

23 5. Diam atau membisu, tetapi asal dipahami atau diterima pihak

lawan.

34

2. Kccakapan

Kecakapan disini artinya para pihak yang membuat perjanjian haruslah cakap menurut hukum, yang diinaksud dengan cakap menurut hukum pada asasnya adalah setiap orang yang sudah dewasa atau akil baliq dan sehat pikirannya. Menurut KUH Perdata, seseorang dikatakan sudah dewasa adalah saat berusia 21 tahun bagi laki-laki dan 19 tahun bagi wanita. Ada kelompok orang yang dinyatakan tidak cakap menurut hukum, yaitu :

1. Orang-orang yang belum dewasa

2. Orang-orang yang ditaruh dibawah pengampupan dan sakit jiwa.

3. Hal Tertentu

Hal tertentu maksudnya obyek yang diatur perjanjian tersebut haruslah jelas dan dapat ditentukan, atau tidak boleh samar-samar. Hal ini penting untuk memberikan jaminan atau kepastian kepada pihak- pihak dan mencegah timbulnya perjanjian fiktif. Misalnya : jual beli mobil, harus jelas mereknya, buatan tahun berapa, warna apa, nomor mesinnya berapa, dan sebagainya.

35

34

Sudiktno Mertokusumo, 1987. Mengenal Hukum (suatu pengantar), Liberty, Yogyakarta, hal 7.

35

Sanusi Bintang, 2000, Pokok-Pokok Hukum Ekonomi dan Bisnis, PT. Citra Aditya

Bakti, Bandung, hal. 18.

(12)

24 4. Sebab yang halal (Diperbolehkan)

Menurut pasal 1335 KUH Perdata, suatu perjanjian atau kontrak yang tidak memakai suatu sebab (causa) yang halal atau dibuat dengan suatu causa yang palsu atau teriarang, tidak mempunyai kekuatan hukum.

Adapun causa yang tidak diperbolehkan ialah causa yang bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Misalnya, kontrak (perjanjian) jual beli barang terlarang seperti narkoba, adalah tidak sah karena bertentangan dengan undang-undang.

Mengenai syarat (1) kesepakatan dan (2) kecakapan dinamakan

sebagai syarat subyektif, karena menyangkut subyeknya atau orang-

orangnya yang mengadakan perjanjian. Apbila syarat ini tidak dipenuhi,

maka perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalan. Sedangkan

mengenai syarat (3), hal tertentu dan (4) suatu sebab yang halal

dinamakan syarat obyektif, karena kedua syarat tersebut isinya mengenai

obyek perjanjian dari perbuatan hukum yang dilakukan. Apabila syarat

ini tidak dipenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum (dari

semula dianggap tidak ada).

Referensi

Dokumen terkait

Jika ketersedian unsur hara nitrogen telah berlimpah dalam tanah, Secara tidak langsung tanaman jagung dapat menyerap nitrogen yang telah diproses dengan bakteri

Nurrizka Ardiyansyah, skripsi mahasiswi UIN Raden Intan Lampung, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Prodi Bimbingan Konseling yang berjudul “Peran Komunikasi Orangtua

Rancangan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan tingkat kesepian lansia yang berada di Unit Rehabilitasi Sosial Panti Wening Wardoyo Ungaran dan lansia yang tinggal

Berdasarkan simpulan tersebut di atas, maka saran yang dapat disampaikan sebagai berikut. 1) Kepada praktisi pendidikan khususnya guru matematika di SDN 9 Sesetan

Dengan adanya Rencana Program Investasi Jangka Menengah (RPIJM) Bidang PU Cipta Karya diharapkan Kabupaten dapat menggerakkan semua sumber daya yang ada untuk

Dasar hukum pelaksanaan program penyediaan jasa akses telekomunikasi perdesaan KPU/USO Tahun 2009 umumnya juga mengacu kepada beberapa peraturan perundang-undangan yang

Hasil penelitian yang diperoleh berdasarkan indikator kemampuan berkomunikasi lisan yang meliputi mengemukakan informasi dan gagasan; memberikan perhatian saat orang

TABELA 2: Karakteristike podatkov v tabeli dejstev in dimenzijski tabeli Tabela dejstev Dimenzijska tabela Milijoni ali milijarde vrstic Deset do nekaj milijonov vrstic Več