• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengalaman marah orang Kristiani

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengalaman marah orang Kristiani"

Copied!
128
0
0

Teks penuh

(1)

PENGALAMAN MARAH ORANG KRISTIANI

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh :

Lita Devianti

NIM : 089114070

Program Studi Psikologi Jurusan Psikologi

Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta

(2)
(3)
(4)

“Desert Song”

This is my prayer in the desert

When all that's within me feels dry

This is my prayer in my hunger and need

My God is the God who provides

And this is my prayer in the fire

In weakness or trial or pain

There is a faith proved

Of more worth than gold

So refine me Lord through the flame

I will bring praise

I will bring praise

No weapon formed against me shall remain

I will rejoice

I will declare

God is my victory and He is here

And this is my prayer in the battle

When triumph is still on it's way

I am a conqueror and co-heir with Christ

So firm on His promise I'll stand

All of my life

In every season

You are still God

I have a reason to sing

I have a reason to worship

This is my prayer in the harvest

When favor and providence flow

I know I'm filled to be emptied again

The seed I've recieved I will sow

-Hillsong-

(5)

PERSEMBAHAN

“Rancangan-Nya adalah rancangan kebaikan yang sungguh terbukti melalui karya ini”

Segala pujian, hormat, serta syukur kepada Tuhan Yesus gembalaku yang ajaib

Yang memberikan kepadaku :

Orangtua yang luar biasa sehingga aku ada sebagaimana aku ada

Rapunzel yang tidak akan seperti Napoleon

Jose Sam Andaria adik kecilku, I love you

Teman-teman SMA Budi Mulia, terutama Maria, Fransiska, Claudia, Nathalia, dan Felicia yang selalu mendukung di kala suka terlebih di kala

duka

Teman-teman Psikologi USD angkatan ’08 terutama mereka yang sering menghabiskan waktunya bersamaku di kelas, di lab, di perpustakaan, di bioskop dan di tempat makan; untuk waktu, tawa, obrolan bahkan ejekan

kalian, love you all.

Teman-teman Gereja Keluarga Allah, terutama teman-teman pelayanan Body Voice dan Konselor yang membuatku belajar tentang manusia

(6)

Teman-teman kelompok sel Be Bless, Eagle’s Warrior Prayers, dan Lovable yang terus membuatku bertumbuh lewat sharing-sharing dan kehidupan

kalian

Teman-teman di Amour Event Organizer dan Dancer, pengalaman luar biasa bekerja bersama kalian

Teman-teman Kost Gracia untuk keberadaan kalian di kala hening maupun bising, untuk Pak.kost dan Bu.kost untuk semua izin pulang telat yang

kalian berikan, juga Billy buat gonggongannya di malam hari, dan

terutama Miss Gupil “gak ada lo gak rame”

Semua keluarga di Solo, Semarang, Belanda, MamaDian-Lidia, MamiConi sekeluarga, dan ii Wati yang walaupun jauh pasti kalian tetap

mendoakanku

Last but not least, Maria Fransisca Shinta untuk perkataannya “Ta,

kayaknya lu cocok deh masuk Psikologi”

(7)
(8)

PENGALAMAN MARAH ORANG KRISTIANI

Lita Devianti

ABSTRAK

Emosi marah adalah emosi yang universal dan dapat dirasakan oleh semua orang. Akan tetapi pengungkapannya dipengaruhi oleh aturan yang ada dalam lingkungan. Setiap orang bisa merasakan marah termasuk umat Kristiani, namun apa jadinya bila marah bertentangan dengan tanggung jawab moral umat Kristiani yaitu untuk mengasihi. Penelitian ini bermaksud ingin mengetahui apa yang dialami orang Kristiani saat mereka marah dan apa maknanya bagi mereka. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan analisis descriptive phenomenology. Data wawancara diambil dari empat orang subjek penelitian dengan wawancara semi terstruktur. Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa adanya rasa jengkel dan kesal yang menumpuk membuat seseorang kehilangan kontrol diri dan melampiaskan emosi. Hilangnya kontrol diri untuk mengikuti firman Tuhan dianggap sebagai adanya godaan iblis. Untuk mengatasi kemarahan, seseorang merasakan Tuhan sebagai sosok yang membawa kelegaan. Kata kunci : marah, Kristiani

(9)

EXPERIENCE OF ANGER ON CHRISTIAN

Lita Devianti

ABSTRACT

Anger is one of universal emotion and everyone is able to felt it. However, the expression of anger are being controlled by certain rules that exist in the life situation. Everyone can feel the anger, including Christians, but what happens when the urge to anger is against with the moral responsibility of the Christian which is to love others. This study aims to find out what happened to the Christians when they are angry and what it means for them. The method used in this research is qualitative study with descriptive phenomenology analysis. The data were taken from four interview subjects with semi-structured interviews. The results of this study illustrate that losing control and acting out the anger is due to the accumulation of irritated and annoyed. Inadequacy to follow the word of God is considered as the temptations of the devil. To cope with anger, one feels God as someone who brings relief.

Key words: anger, Christian

(10)
(11)

KATA PENGANTAR

Karya ini dibuat untuk memperoleh gelar sarjana psikologi pada Program Studi Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Penulis tertarik untuk menulis tentang Pengalaman Marah Orang Kristiani karena ingin mengetahui lebih dalam pengalaman kehidupan orang Kristiani terutama dalam menghadapi emosi marah. Terselesaikannya karya ini tidak terlepas dari tuntunan Tuhan yang luar biasa dari awal pemilihan judul. Terlebih untuk hikmat yang diberikan selama pengerjaan setiap babnya dan tersedianya setiap sumber yang dibutuhkan, sungguh Allah luar biasa.

Pada kesempatan ini saya juga ingin mengucapkan terima kasih secara khusus kepada orang-orang yang telah memberikan banyak bantuan, baik secara langsung ataupun tidak langsung pada pengerjaan tulisan ini.

1. Bapak V. Didik Suryo Hartoko sebagai dosen pembimbing skripsi. Saya mengucapkan banyak terima kasih untuk saran, kesabaran dan kepercayaannya.

2. Ibu Dra. Lusia Pratidarmanastiti, MS. dan Bapak Y. Heri Widodo, M.Psi. sebagai dosen penguji skripsi. Saya mengucapkan terima kasih atas setiap saran yang diberikan.

3. Ibu Dr. Christina Siwi Handayani dan Ibu Agnes Indar Etikawati, M.Si., Psi. selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah membimbing saya selama menjadi mahasiswa di fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

4. Seluruh Dosen Fakultas Psikologi yang telah membagikan ilmunya dan membimbing saya selama menjadi mahasiswa di fakulas ini.

5. Seluruh staff sekretariat dan Laboratorium fakultas Psikologi USD (Mbak Nanik, Mas Gandung, Pak Gie, Mas Doni, dan mas Muji) yang telah banyak membantu dalam pengurusan administrasi.

6. Terakhir, saya mengucapkan terima kasih kepada 4 orang teman yang sudah bersedia menjadi partisipan penelitian ini.

(12)

Penulis juga memohon maaf apabila ada pihak yang belum disebutkan namanya, namun demikian saya tetap mengucapkan terima kasih atas segala bantuan yang sudah diberikan. Akhir kata, semoga penelitian ini dapat bermanfaat, Tuhan memberkati.

Yogyakarta, 8 April 2013 Penulis,

Lita Devianti

(13)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN KEASLIANKARYA ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... x

KATA PENGANTAR ... xi

DAFTAR ISI ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian... 7

D. Manfaat Penelitian ... 8

BAB II DASAR TEORI ... 9

A. Pengertian Marah ... 9

B. Marah dalam Studi Behavioral ... 10

1. Ekspresi pengungkapan marah ... 11

(14)

b. Anger out, anger in, dan anger control ... 11

c. Anger in, control, ekspresi agresif dan perilaku positif saat mengungkapkan kemarahan ... 13

2. Ekspresi pengungkapan marah yang terkondisi ... 14

3. Efek dan konsekuensi pengungkapan kemarahan ... 17

C. Marah dalam Studi Sosial ... 18

D. Marah dalam Studi Fenomenologi ... 20

1. Marah yang dialami secara jasmani ... 20

2. Esensipengalaman marah ... 23

E. Marah dalam Kekristenan... 26

F. Pertanyaan Utama ... 28

BAB III METODE PENELITIAN ... 29

A. Strategi Penelitian ... 29

B. Fokus Penelitian ... 30

C. Latar Belakang Peneliti ... 31

D. Metode Pengumpulan Data ... 32

1. Partisipan ... 32

2. Pertanyaan penelitian ... 33

3. Setting penelitian ... 34

4. Jenis data ... 35

E. Prosedur Analisis Data ... 35

1. Membaca deskripsi ... 35

2. Konstitusi deskripsi ... 36

(15)

4. Kategorisasi ... 36

a. Kategorisasi per partisipan ... 36

b. Kategorisasi seluruh partisipan ... 37

5. Deskripsi tekstural... 37

6. Deskripsi struktural ... 37

7. Deskripsi tekstural-struktural... 38

F. Kredibilitas Penelitian... 38

G. Sistematika Pelaporan ... 39

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 41

A. Deskripsi Tekstural Pengalaman Marah Sarah ... 41

1. Latar belakang Sarah ... 41

2. Kategori Sarah ... 42

3. Deskripsi tekstural Sarah ... 43

B. Deskripsi Tekstural Pengalaman Marah Hanna ... 45

1. Latar belakang Hanna... 45

2. Kategori Hanna ... 46

3. Deskripsi tekstural Hanna... 47

C. Deskripsi Tekstural Pengalaman Marah Ruth ... 49

1. Latar belakang Ruth ... 49

2. Kategori Ruth... 49

3. Deskripsi tekstural Ruth ... 50

D. Deskripsi Tekstural Pengalaman Marah Debora ... 52

1. Latar belakang Debora ... 52

(16)

3. Deskripsi tekstural Debora ... 54

E. Deskripsi Tekstural Pengalaman Marah Semua Partisipan ... 55

1. Kategorisasi semua partisipan ... 55

2. Deskripsi tekstural semua partisipan ... 58

F.Deskripsi Struktural Pengalaman Marah Semua Partisipan ... 59

G.Deskripsi Tekstural-Struktural Pengalaman Marah Semua Partisipan ... 61

H. Pembahasan ... 62

1. Marah sebagai sarana untuk memperbaiki, mengoreksi, ataupun menolak suatu hal yang tidak sesuai ... 62

2. Marah adalah kehilangan kontrol untuk bersabar ... 62

3. Marah adalah godaan iblis, masalah yang memerlukan bantuan Tuhan ... 63

4. Cara mengatasi kemarahan ... 64

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 67

A. Kesimpulan ... 67

B. Saran... 68

DAFTAR PUSTAKA ... 69

LAMPIRAN ... 72

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Emosi marah sering dijumpai dalam kehidupan manusia. Setiap harinya mungkin saja seseorang berhadapan dengan situasi yang membuat marah. Seorang anak akan marah ketika mainannya direbut oleh temannya atau ketika orangtuanya melarang ia bermain. Seorang warga negara mungkin saja marah karena ia tidak terima dengan kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar. Tidak terkecuali seorang pemimpin, ia bisa saja marah karena anak buahnya tertidur ketika sedang rapat.

Emosi marah termasuk dalam emosi negatif yang mempengaruhi kesejahteraan seseorang dan dikaitkan dengan dorongan untuk melakukan sesuatu dengan cara tertentu. Dorongan perilaku ini tidak hanya timbul dalam pikiran tetapi berada dalam mekanisme fisiologis tubuh seseorang. Saat seseorang sedang dalam keadaan takut maka ia akan memiliki dorongan untuk lari sedangkan saat marah seseorang akan memiliki dorongan untuk menyerang. Kecenderungan perilaku ini muncul karena adanya evolusi adaptasi yang dilakukan oleh nenek moyang kita. Evolusi ini mempersempit pilihan perilaku yang ada dan hanya meninggalkan perilaku yang paling membantu nenek moyang kita untuk bertahan hidup dalam situasi yang mengancam. Dalam pandangan ini emosi marah merupakan solusi yang efektif

(18)

untuk mengatasi masalah yang berulang yang dihadapi oleh nenek moyang kita. (Fredrickson, 2003)

Di satu sisi marah merupakan cara yang efektif untuk mengatasi suatu masalah, namun di sisi lain marah juga diasosiasikan dengan berbagai macam penyakit baik secara fisik ataupun psikologis. Secara fisik frekuensi marah yang tinggi menyebabkan peningkatan resiko penyakit jantung koroner (Williams et al., 2000). Marah sebagai respon dari stress yang dialami juga meningkatkan resiko penyakit kardiovascular (Chang, Ford, Meoni, Wang, & Klag, 2002). Secara psikologis, kemarahan yang ditujukan kepada diri sendiri berkontribusi kepada penyelesaian masalah yang tidak efektif (Tangney et al., 1996), rasa percaya diri yang rendah (Stimmel, Smith, Regan, & Raffled, 1997), ketergantungan pada orang lain (Stimmel et al. 1997), gangguan psikopatologis (Stimmel et al., 1997; Stimmel, Rayburg, Waring, & Raffeld, 2005), dan peningkatan rasa malu. (Stimmel, Link, Daugherty, & Raffeld, 2009) Gangguan psikopatologis seperti Eating Dissorders ditemukan pada wanita yang mengalami perasaan marah yang tinggi dan menekan kemarahan tersebut (Waller et al., 2003). Kemarahan juga memiliki hubungan dengan gangguan depresi, ADHD dan meningkatnya resiko PTSD (Lara, Pinto, Akiskal & Akiskal, 2006; Meffert et al., 2008).

(19)

mengalami hal tersebut? Penelitian yang dilakukan oleh Ekman menjelaskan bahwa emosi marah ini bisa dialami oleh setiap orang dan adanya aturan tertentu dalam lingkungannya memungkinkan perbedaan tersebut.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Paul Ekman selama kurang lebih empat puluh tahun terakhir, ia menemukan bahwa marah adalah emosi yang universal dan ekspresi wajah dari kemarahan adalah bawaan dan bukan hasil pembelajaran sosial. Dengan kata lain semua orang bisa merasa marah dan ekspresi wajah yang menunjukkan kemarahan memiliki ciri-ciri yang sama yaitu menekan bibir, merendahkan alis mata dan mengangkat mata bagian atas. (Ekman, 2003)

Penelitian-penelitian ini dilakukan di tempat-tempat yang bervariasi seperti Amerika, Jepang, Brazil, Papua New Guinea, dan lain-lain. Beberapa penelitian awal dilakukan dengan menunjukkan foto-foto dan meminta partisipan menyebutkan ekspresi apa yang nampak dalam foto-foto tersebut. Hasilnya mayoritas partisipan berpendapat sama mengenai ekspresi tersebut. Hasil yang serupa juga ditemukan dalam masyarakat pedalaman yang terisolasi secara visual. Masyarakat pedalaman tersebut tidak pernah melihat televisi, majalah atau apapun yang memungkinkan mereka mempelajari ekspresi emosi, termasuk masyarakat yang tidak mempunyai kata-kata untuk merepresentasikan emosi. (Ekman, 2003)

(20)

Jepang dan Amerika. Mereka diminta untuk menonton sebuah film tentang adegan pembedahan atau kecelakaan, pada saat itu mereka menunjukkan ekspresi wajah yang sama dalam merespon film. Selanjutnya ketika seorang ilmuwan bergabung dengan mereka untuk menonton film tersebut, orang Jepang lebih menunjukkan emosi negatif yang disembunyikan di balik sebuah senyuman daripada orang Amerika. (Ekman, 2003)

Penemuan ini menjelaskan gagasan Ekman (2003) bahwa seseorang mungkin menampilkan aturan-aturan yang mereka pelajari sesuai budaya masing-masing. Aturan itu mungkin tentang bagaimana, kapan, dan kepada siapa seseorang bisa menampilkan emosi mereka yang sebenarnya. Sehingga seseorang harus mengendalikan ekspresi emosi mereka, entah itu mengecilkan, membesarkan, menyembunyikan ataupun menutupinya. Dapat dikatakan bahwa marah adalah emosi bawaan dengan ekspresi yang universal namun pengungkapannya dapat diatur sedemikian rupa.

Beberapa penelitian dilakukan untuk melihat bagaimana seseorang mengungkapkan kemarahannya. Funkenstein, King dan Drolette (1954) melakukan penelitian untuk melihat perbedaan reaksi fisiologis pada beberapa reaksi emosional tertentu. Hasilnya terklasifikasikan ke dalam kelompok anger

out, anger in, dan anxiety. Klasifikasi ini menjadi dasar bagi penelitian

berikutnya untuk memperjelas ungkapan emosi marah, seperti yang dilakukan oleh Spielberger dan Sydeman (1994). Lewat penelitian ini pengungkapan emosi marah dibagi menjadi anger in, anger out, dan anger control. Selain

(21)

pengungkapan emosi marah ini bisa dilakukan dengan cara yang positif dan berarah pada pemecahan masalah.

Selanjutnya Jack (2001) menemukan bahwa ungkapan kemarahan seseorang dipengaruhi oleh bagaimana ia mengantisipasi reaksi orang lain yang menerima ungkapan kemarahannya. Sehingga kemarahan dapat diungkapkan di dalam hubungan ataupun di luar hubungan dengan orang yang membuat marah. van Daalen-Smith (2008) melakukan penelitian dengan menggunakan metode grounded-theory dan menemukan bahwa ketika seseorang mengungkapkan kemarahannya maka orang lain tidak mendengarkan dan tidak mengganggap kemarahan mereka. Hal ini membawa seseorang belajar untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya, untuk tidak marah dan hidup seperti bunglon; beradaptasi, membiarkan, mengalihkan, dan menekan diri mereka yang sebenarnya, untuk berbaur agar kemarahan tidak mengarahkan mereka pada penolakan.

Dari penelitian yang dilakukan oleh Jack (2001) dan van Daalen-Smith (2008) dapat disimpulkan bahwa perilaku orang lain menentukan bagaimana seseorang mengelola emosi marah dan mengungkapkannya. Hal tersebut sesuai dengan gagasan Ekman bahwa emosi marah adalah universal tetapi bagaimana, kapan, dan kepada siapa emosi itu diungkapkan diatur oleh aturan tertentu dalam lingkungannya.

(22)

dengan memberikan ketentuan mengenai emosi-emosi yang pantas dan tidak pantas serta intensitas ketika emosi tersebut dirasakan. Menurut Gross (1999) intensitas dan bagaimana emosi diekspresikan atau diungkapkan disebut regulasi emosi. Regulasi emosi bisa terjadi secara sadar atau tidak sadar, sengaja ataupun tidak disengaja. Secara sengaja seseorang dapat meregulasi emosi-emosi yang berpotensi menimbulkan masalah seperti marah, rasa bersalah, dan depresi melalui pengajaran dan buku-buku agama atau praktek spiritual tertentu. (Emmons, 2005)

(23)

seorang yang religius. Akan tetapi wanita yang religius mengalami distress yang lebih tinggi daripada pria yang religius. Selanjutnya wanita religius ini cenderung tidak merespon distress yang mereka alami dengan kemarahan.

Hasil penelitian tersebut bisa jadi menegaskan enggapan Emmons bahwa seseorang melakukan regulasi emosi yang berpotensial menimbulkan masalah seperti emosi marah. Sehingga pertanyaan yang muncul adalah apa yang sebenarnya mereka alami ketika mereka merasakan marah?

Penelitian ini bertujuan untuk mencari tahu apa yang dialami oleh orang Kristiani ketika mereka merasa marah namun dihadapkan dengan aturan tentang bagaimana seharusnya mereka mengendalikan emosi mereka. Metode kualitatif dianggap cocok untuk mengungkap pengalaman ini karena dari data wawancara akan didapatkan pemahaman partisipan mengenai pengalaman marah mereka (Smith, 2009). Selanjutnya analisis deskriptif fenomenologis memungkinkan peneliti mendeskripsikan dan mereduksi pengalaman partisipan sehingga dapat diketahui apa dan bagaimana seorang Kristiani mengalami perasaan marah mereka (Creswell, 2007; Moustakas, 1994).

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dialami seorang Kristiani ketika marah?

2. Apa makna pengalaman marah orang Kristiani?

C. Tujuan Penelitian

(24)

D. Manfaat Penelitian

Secara teoritis penelitian ini bermanfaat untuk menggambarkan bagaimana aturan tertentu mempengaruhi kehidupan emosional seseorang. Hal ini akan berguna bagi para praktisi psikologi dalam memahami dinamika pengalaman marah dalam kehidupan orang Kristiani. Diharapkan penilitian ini dapat membantu para pembaca, khususnya orang Kristiani untuk dapat mengenal lebih jauh tentang perasaan marah yang mereka alami.

(25)

BAB II

DASAR TEORI

A. Pengertian Marah

Dalam Craighead dan Weiner, 2010 marah didefinisikan sebagai berikut :

“a subjectively experienced emotion with high

sympathetic autonomic arousal. It is elicited by the

perception of a threat to one‟s physical well being,

property, present or future resources, self-image, social

status or image as projected to one‟s group, maintenance

of social rules that regulate daily life, or comfort. Anger is an enduring emotion, and it may persist well after a threat has passed. Anger is associated with attributions, evaluations, and the gathering of information that

emphasizes the externalization of blame.” (p.100)

Dengan kata lain marah merupakan pengalaman emosi subjektif dengan rangsangan saraf otonom simpatetik yang tinggi. Rangsangan ini muncul karena adanya persepsi ancaman terhadap keberadaan fisik seseorang, barang milik, masa sekarang dan sumber-sumber yang ada di masa depan, gambar diri, status sosial atau kesan yang diproyeksikan oleh kelompok, aturan sosial yang mengatur kehidupan sehari-hari, atau kenyamanan seseorang. Marah adalah emosi yang bertahan lama, bahkan tetap ada walau obyek yang menjadi ancaman sudah tidak ada. Kemarahan juga berhubungan dengan proses pengambilan keputusan mengapa seseorang berperilaku tertentu, mengevaluasi keputusan kita dan mengumpulkan informasi yang menekankan eksternalisasi kesalahan.

Chaplin (2009) memaparkan bahwa marah adalah reaksi emosional akut ditimbulkan oleh sejumlah situasi yang merangsang, termasuk

(26)

ancaman, agresi lahiriah, pengekangan diri, serangan lisan, kekecewaan, atau frustrasi dan dicirikan oleh reaksi kuat pada sistem saraf otonomik, khususnya oleh reaksi darurat pada bagian simpatetik; dan secara implisit disebabkan oleh reaksi serangan lahiriah, baik yang bersifat somatis atau jasmaniah maupun yang verbal atau lisan.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa marah merupakan pengalaman emosi subjektif dengan rangsangan saraf otonom simpatetik yang disebabkan oleh adanya persepsi ancaman terhadap keberadaan diri dan barang milik, baik yang bersifat jasmani ataupun verbal.

B. Marah dalam Studi Behavioral

(27)

1. Ekspresi pengungkapan marah

a. Anger out dan anger in

Funkenstein et al. (1954) melakukan sebuah penelitian untuk melihat perbedaan reaksi fisiologis yang terjadi saat seseorang mengalami reaksi emosional tertentu. Dalam penelitian ini subjek penelitian diklasifikasikan ke dalam kelompok tertentu setelah mendapatkan perilaku yang memicu stress. Kelompok anger out apabila mereka mengarahkan kemarahan keluar dirinya, anger in apabila mereka mengarahkan kemarahan ke dirinya sendiri dan anxiety apabila mereka merasakan kecemasan, kuatir atau takut.

Akan tetapi konsep anger out dan anger in sebagai suatu ekspresi marah masih belum jelas. Hal ini disebabkan oleh adanya kombinasi subjek yang merasa sedikit cemas pada kelompok anger. Juga belum adanya definisi yang jelas mengenai konsep ini, apakah kemarahan ini sekedar pengalaman marah atau sekaligus merupakan ekspresi kemarahan yang juga tidak dijelaskan perilakunya secara spesifik.

b. Anger out, anger in dan anger control

Spielberger dan beberapa peneliti lainnya mengembangkan

State-Trait Anxiety Inventory, State-State-Trait Anger Scale dan State-Trait Anger

Expression Inventory yang pada akhirnya dapat memperjelas ekspresi

marah. State-Trait Anger Scale membedakan kemarahan seseorang sebagai suatu pernyataan keadaan marah dan sebagai sifat pemarah.

(28)

terdiri dari perasaan subjektif mengenai kemarahan yang bervariasi intensitasnya, dari gangguan (irritate) ringan atau kejengkelan

(annoyance) sampai kemarahan yang kuat dan amukan, bersamaan

dengan aktivasi atau stimulasi sistem saraf otonom. Trait didefinisikan sebagai perbedaan individual dalam frekuensi saat state anger dialami dari waktu ke waktu.(Spielberger & Sydeman, 1994, pp. 302)

Spielberger dan Sydeman (1994) mengukur reliabilitas State-Trait

Anger Scale ini dengan melihat korelasi item dengan State-Trait Anxiety

Scale. Item yang berkorelasi tinggi dibuang sehingga didapatkan

item-item yang hanya mengukur “marah”. Untuk membedakan pengalaman marah dan ekspresi marah dapat dilakukan dengan mengukur state

anger dan mengukur perbedaan individual dalam mengekspresikan state

anger-nya. Ekspresi marah ini diukur dengan Anger Expression Scale

yang terbagi menjadi 3 jenis ekspresi yaitu anger in, anger out, dan

anger control.

Anger in adalah saat seseorang mengalami perasaan marah yang

kuat tetapi ia cenderung menekan perasaan marahnya daripada mengekspresikannya dengan perilaku verbal ataupun fisik. Anger out adalah saat seseorang mengalami perasaan marah yang diekspresikan lewat perilaku agresif, tindakan fisik seperti menyerang orang lain dan secara verbal seperti mengkritik atau menghina. Sedangkan anger

(29)

mengawasi dan mencegah ekspresi kemarahan. (Spielberger, 1985 dalam Spielberger & Sydeman, 1994)

c. Anger in, anger control, ekspresi agresif dan perilaku positif saat

mengungkapkan kemarahan

Walaupun Spielberger telah mengembangkan pemahaman tentang ekspresi marah, namun belum ada skala yang menguraikan ekspresi marah yang positif dan berarah pada pemecahan masalah. Oleh karena itu sebuah penelitian mencoba mengungkapkan hal ini dengan menambahkan beberapa item pada Anger Expression Inventory. Item-item yang ditambahkan berfungsi untuk mengukur perilaku-perilaku positif saat mengekspresikan marah dan membedakan ekspresi marah secara verbal atau fisik. Analisis Key Cluster Variable digunakan untuk menentukan item-item yang dapat dikelompokkan dalam satu cluster tertentu. (Deffenbacher et al., 1996, pp. 579)

(30)

secara tepat meninggalkan permasalahan). Bentuk ekspresi yang terakhir adalah mengekspresikan kemarahan secara langsung, tapi tidak menjelaskan tipe responnya (kemarahan mungkin diekspresikan secara langsung, tapi dengan cara agresif atau non-agresif).

2. Ekspresi pengungkapan marah yang terkondisi

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Jack (2001) seseorang mengungkapkan emosi marahnya dengan beberapa macam cara. Cara-cara tersebut dilakukan berdasarkan kesadaran subjek akan reaksi orang lain pada ekspresi kemarahannya.

Jack (2001) mengungkapkan bahwa ketika seseorang membanting pintu (seperti dalam penelitian Deffenbacher et al., 1996) saat ia sedang sendirian akan berbeda maknanya ketika ia membanting pintu di depan orang lain. Sehingga dalam penelitian deskriptif yang dilakukan oleh Jack (2001) ia mengungkapkan makna dan konsekuensi yang dialami wanita pada ekspresi kemarahannya.

(31)

disebabkan karena seseorang mengharapkan orang lain bereaksi secara berbeda atas ekspresi kemarahannya

Ekspresi kemarahan yang diungkapkan dalam hubungan adalah: pola ekspresi (1) positif dan langsung bertujuan untuk menghilangkan rintangan pada kedekatan atau membenarkan ketidakadilan atau kekerasan dalam suatu hubungan. Sebaliknya pola (2) agresif tidak mencari pemecahan masalah, namun tujuannya adalah untuk menyakiti seseorang atau balas dendam dengan penyerangan secara verbal ataupun fisik. Pola ekspresi (3) tidak langsung bertujuan untuk tetap membawa rasa marah ke dalam hubungan namun tetap tersamar dan tanpa adanya percakapan. Cara ini dilakukan agar seseorang dapat menyangkal kemarahannya ketika dikonfrontasi juga agar dapat menghindari konsekuensi negatif dari ekspresi marah secara langsung.

(32)

dilakukan dalam ekspresi kemarahan tidak langsung, yaitu dengan mengarahkan kemarahan kepada orang yang bukan menjadi sumber kemarahan atau mengarahkan kemarahan kepada dirinya sendiri. Ekspresi kemarahan tidak langsung lainnya adalah (d) hilang kontrol. Mengatakan pernyataan seperti “saya sedang PMS”, “saya tidak bermaksud” saat

mereka tidak mau mengakui kepemilikan dari ekspresi marah yang mereka ungkapkan. Biasanya ekspresi ini berupa membanting pintu, barang ataupun berteriak, tidak kepada orang lain, tapi di hadapan orang lain.

(33)

3. Efek dan konsekuensi pengungkapan kemarahan

Saat seseorang mengungkapkan kemarahannya dengan cara-cara tertentu, maka ia juga akan merasakan efek atas ungkapan marahnya. Sebuah penelitian menggunakan kuesioner untuk memahami perasaan marah menemukan 2 efek dari suatu episode kemarahan, yaitu efek perasaan positif dan efek perasaan negatif. Efek perasaan positif terdiri atas lega, puas, menang, dan bahagia. Efek perasaan negatif terdiri atas jengkel / kesal, bersalah / malu, khawatir, tertekan, sedih, cemas, jijik, bodoh, dan menyesal. (Kassinove et al., 1997)

Penelitian lain yang dilakukan oleh Deffenbacher et al. (1996) mengungkapkan konsekuensi dari ekspresi marah. Konsekuensi tersebut terdiri dari perkelahian fisik, perkelahian verbal, rusaknya persahabatan, kerusakan properti, menyakiti diri sendiri secara fisik, konsumsi minuman keras, emosi negatif, dan pelanggaran hukum.

(34)

Akan tetapi seseorang yang mengekspresikan kemarahannya ke dalam akan lebih mungkin menghadapi emosi negatif seperti depresi dan rasa malu sebagai konsekuensi kemarahannya. Emosi negatif ini juga menjadi konsekuensi bagi mereka yang mengekspresikan marahnya dengan meninggalkan permasalahan. Ekspresi kemarahan yang terkontrol dan berfokus pada penyelesaian masalah menunjukkan adanya penurunan terhadap semua konsekuensi tersebut.

C. Marah dalam Studi Sosial

Penelitian yang dilakukan oleh van Daalen-Smith (2008) mencoba memberikan pemahaman baru bahwa kemarahan harusnya dianggap sebagai sebuah emosi yang dapat membuat seseorang lebih memahami dirinya. Selama ini banyak pendapat yang mengatakan bahwa marah adalah dosa, tanda kegilaan, atau sesuatu yang patologis. Begitu juga dengan tanggapan negatif dari lingkungan terhadap kemarahan seseorang, yang akhirnya membuat seseorang menekan kemarahan mereka dan berujung pada pemberian obat antidepresan dan antikecemasan. Diharapkan lewat penelitian ini kemarahan bisa diterima dan disikapi dengan lebih baik.

(35)

mencari tahu apa yang dialami oleh wanita muda ini sampai-sampai mereka harus dibawa ke dokter dan berakhir dengan obat-obatan untuk mengekang emosi mereka dan apa yang sebenarnya mereka butuhkan saat mereka dalam keadaan emosional.

(36)

D. Marah dalam Studi Fenomenologi

1. Marah yang dialami secara jasmani

Eatough dan Smith (2006) melakukan penelitian tentang marah dan agresi lalu memutuskan untuk mengubah penelitian tersebut dan berfokus pada pengalaman marah seorang partisipan. Hal ini terjadi karena partisipan tersebut dapat menceritakan pengalaman marahnya secara lengkap dan mendalam. Penelitian ini mencoba mengungkap bagaimana partisipan mengalami dan merasakan kemarahannya, karakteristik apa yang terjadi saat kemarahan berlangsung dan bagaimana pola-pola tersebut berubah ketika terjadi perubahan hidup.

Partisipan penelitian ini adalah wanita berumur 30 tahun, ia tinggal di daerah dengan tingkat kebutuhan sosial dan kriminalitas yang tinggi. Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan wawancara semi terstruktur dalam jangka waktu 3 minggu dan menghasilkan 4 jam data wawancara. Metode analisis yang digunakan adalah Interpretative Phenomenological Analysis.

Dalam penelitian ini marah merupakan pengalaman “which is lived

through the body”. Partisipan menggambarkan perasaan marah yang kuat

sebagai panas mendidih, amukan, dan berwarna merah. Ia juga merasakan adanya perubahan dalam dirinya ketika ia marah, yaitu ia merasa berubah menjadi pribadi yang liar dan tidak bisa dikendalikan.

(37)

bahwa ia harus lebih dewasa dan bertanggung jawab sehingga ia mengendalikan ekspresi kemarahannya. Maka saat ia merasa marah ia mengekspresikannya dengan menangis dan menarik diri dari situasi yang menyebabkan marah. Akan tetapi perilaku menangis ini juga menandakan adanya rasa frustrasi karena tidak dapat mengekspresikan kemarahannya secara leluasa.

Penelitian Eatough, Smith, dan Shaw (2008) tentang marah secara khusus dan marah yang berkaitan dengan agresi tetap dilanjutkan walau mereka sempat mengubah fokus penelitian. Penelitian ini berfokus pada konteks kehidupan dan dimensi relasi dari perasaan marah dan perilaku agresif. Partisipan penelitian ini adalah 5 orang wanita berumur 28-32 tahun yang hidup di daerah dengan tingkat kebutuhan sosial dan kriminalitas yang tinggi. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara semi terstruktur dan dianalisis dengan metode interpretive phenomenology.

(38)

Emosi marah juga dimaknai sebagai penilaian bahwa mereka diperlakukan tidak adil, ada orang yang melanggar peraturan yang mereka miliki dan terancamnya integritas mereka. Penilaian ini memiliki tujuan tertentu dan sudah terbentuk secara kognitif karena sudah melekat lewat pengalaman-pengalaman sebelumnya. Oleh karena itu penilaian ini kadang terlihat dilakukan secara sadar dan reflektif walaupun tidak menutup kemungkinan penilaian ini terlihat spontan dan natural.

Wanita dalam penelitian ini mengekspresikan kemarahannya secara berbeda tergantung dari sumber kemarahannya. Pada orang yang tidak dikenal ekspresi kemarahan berupa agresi fisik secara langsung. Dalam hubungan yang akrab agresi verbal merupakan bentuk yang paling sering digunakan dalam mengekspresikan kemarahan. Agresi tidak langsung dilakukan ketika seseorang merasa lebih lemah daripada objek kemarahannya. Selain itu wanita dalam penelitian ini mengekspresikan kemarahannya dengan berfantasi secara agresif yaitu untuk membunuh objek kemarahan mereka.

(39)

integritas mereka. Kemarahan diekspresikan secara berbeda tergantung dari sumber kemarahannya seperti kedekatan hubungan atau kuat lemahnya sumber kemarahan.

2. Esensipengalaman marah

de Rivera (2006) membentuk esensi pengalaman marah dengan kasus kemarahan miliknya yang kemudian dipertemukan dengan kasus kemarahan partner penelitian sampai kasus tersebut membentuk sebuah esensi yang akurat dan tidak memerlukan revisi lebih lanjut.

Sehingga akhirnya ditemukan esensi marah sebagai berikut :

“anger is one way in which we humans attempt to cope with

the discrepancy between what is and what ought to be . . . . anger is an embodied organic whole that involves a perception of a challenge to what ought to exist and an

impulse to remove that challenge.” (p. 242)

Marah adalah cara manusia untuk mengatasi adanya jarak antara kenyataan yang ada dan apa yang ia anggap seharusnya terjadi. Marah adalah emosi alamiah yang melibatkan persepsi adanya ancaman terhadap apa yang seharusnya terjadi dan dorongan untuk menghilangkan ancaman tersebut.

de Rivera (2006) mengemukakan bahwa marah adalah cara yang dilakukan manusia untuk membuat suatu situasi terjadi sebagaimana yang seharusnya. Menurut Heider (1958) ketika situasi tersebut tidak terjadi sebagaimana yang seharusnya maka seseorang akan mengalami tekanan yang besar. Akan tetapi tekanan ini bukan berasal dari dirinya sendiri.

“. . . it is not a particular somebody that is felt to want or

command people to do x, but some suprapersonal objective order. It may also be experienced as a supernatural being

(40)

Dengan kata lain, ada suatu aturan objektif yang melebihi pribadi orang tersebut atau suatu keberadaan gaib yang melambangkan peraturan objektif tertentu. Akan tetapi keinginan dari suprapersonal objective order ini juga dirasakan oleh orang tersebut, seperti yang dikatakan dalam Heider (1958).

“but the desire has its source, or is located, in only a part of

environment, that is, that part which consists of a person . .

.” (p. 219)

Heider (1958) mengatakan bila ought (harus) adalah sesuatu hal yang diinginkan oleh objective order, maka value (nilai) adalah sesuatu hal yang disukai oleh objective order. Suatu keharusan bisa mengacu pada nilai-nilai tertentu dan bisa juga mengacu pada ukuran pribadi. Oleh karena itu suatu keharusan bisa bersifat lebih pribadi dan situasional dibandingkan nilai-nilai yang mungkin berlaku dalam lingkungan sosial. Nilai akan membuat seseorang memiliki kekuatan untuk mengontrol perilakunya sesuai dengan keharusan, seperti juga yang dikemukakan oleh Lewin (1944) dalam Heider (1958) bahwa

“. . . the individual does not try to “reach” the values of fairness but fairness is “guiding” his behavior.” (p. 14)

Sebagai contoh, A memegang nilai Kristiani dalam kehidupannya bahwa ia tidak boleh membunuh. Maka A akan mengarahkan perilakunya kepada keharusan untuk tidak membunuh. Akan tetapi A dirampok dan untuk membela diri, A membunuh si perampok. Dalam hal ini keharusan bersifat situasional dan mengacu pada ukuran pribadi.

(41)

kemarahan terjadi bukan sekedar karena keinginannya tidak terpenuhi, tapi bahwa orang lain harus bertindak secara berbeda, bahwa ada yang salah tentang aturan dasar suatu keberadaan tertentu dan perlu dibenarkan.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keharusan ataupun nilai yang dimiliki seseorang akan mengarahkan perilakunya dan juga membuatnya mengarahkan perilaku orang lain sesuai keharusan ataupun nilai yang ia miliki. Menurut de Rivera (2006) cara yang digunakan seseorang agar orang lain bertindak sesuai apa yang ia inginkan adalah marah.

Akan tetapi menurut de Rivera (2006) konsep “harus” tidak bisa diterapkan kepada semua orang. Konsep ini hanya bisa diterapkan kepada orang-orang dalam satu unit tertentu. Unit bisa terdiri dari dua orang atau sekelompok orang seperti teman, pasangan, keluarga, sekumpulan orang di dalam bis, seluruh warga negara dan lain sebagainya. Unit ini bisa terbentuk apabila orang-orang di dalamnya memiliki satu set nilai yang sama. Oleh karena itu orang yang marah merasa ia memiliki pengaruh tertentu terhadap orang lain karena orang tersebut dialami sebagai satu unit dengannya dan berbagi nilai yang sama.

(42)

status orang tersebut tidak memenuhi syarat sebagai penantang (misalnya orang asing, wanita, berbeda kasta) dan karakter orang lain dianggap tidak kuat untuk menjadi anggota unit (misalnya tidak tulus, tidak menyenangkan, atau tidak mampu).

E. Marah dalam Kekristenan

Dalam hidup bermasyarakat ada aturan-aturan tertentu yang digunakan agar kehidupan bermasyarakat dapat berjalan dengan baik. Begitu juga kehidupan beragama, setiap agama memiliki aturan moral tertentu yang mengatur hal mana yang baik atau tidak baik untuk dilakukan. Aturan ini diperlukan agar setiap manusia tidak mengikuti kemauannya sendiri tanpa memperdulikan orang lain. (Geyer & Baumeister, 2005)

(43)

Proses tersebut meliputi semua aspek kehidupan seseorang termasuk kehidupan sosialnya. Setiap orang memiliki cara pandang masing-masing dan hal ini potensial menimbulkan konflik. Oleh karena itu ada aturan-aturan yang dibuat agar seseorang dapat mengontrol dirinya sedemikian rupa agar apa yang ia lakukan memenuhi aturan-aturan yang berlaku. Kemarahan juga merupakan tanda bahwa seseorang kehilangan kontrol diri. (Geyer & Baumeister, 2005)

Kemarahan merupakan tanda seseorang kehilangan kontrol diri terhadap aturan yang berlaku, hal ini didukung oleh apa yang diungkapkan Emmons (2005). Ia mengungkapkan bahwa kebanyakan gereja sekarang ini menekankan pengolahan emosi-emosi positif dan pengembangan ketenangan emosional. Kemarahan juga dianggap sebagai keinginan yang tidak tepat dan berhubungan dengan dosa (Geyer & Baumeister, 2005)

Dapat disimpulkan bahwa dalam hidup seorang Kristiani ia berproses untuk memiliki dan melakukan nilai-nilai yang tergambarkan dari Tuhannya. Akan tetapi dalam prosesnya ia harus berhubungan dengan orang lain dan berpotensial menimbulkan kemarahan. Di saat yang bersamaan kemarahan adalah sesuatu yang dianggap sebagai dosa dan berlawanan dengan gambaran Tuhan.

(44)

alami ataupun mekanisme yang berdampak langsung pada kesehatan seseorang. Mekanisme tersebut adalah anjuran untuk berperilaku sehat, meningkatkan keadaan psikologis yang positif, strategi coping permasalahan yang efektif dan adanya dukungan sosial. Mekanisme ini mungkin terjadi secara bersamaan dan sebagian terjadi secara tumpang tindih. (Oman & Thoresen, 2005)

Salah satu mekanisme yang berhubungan dengan emosi marah adalah ketika kegiatan religius atau spiritual mempengaruhi keadaan psikologis seseorang. Dalam hal ini kegiatan religius atau spiritual membantu seseorang mengurangi rasa marahnya sehingga ia mengurangi kemungkinan mengalami penyakit-penyakit cardiovascular. (Oman & Thoresen, 2005)

F. Pertanyaan Utama

(45)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Strategi Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Karakteristik utama dari metode ini adalah pengumpulan data yang diambil pada seting alamiah dan menghasilkan analisis data berupa pola-pola atau tema-tema yang menggambarkan kompleksnya interaksi faktor-faktor dalam sebuah situasi yang diteliti (Creswell, 2007). Dengan kata lain pengumpulan data berupa laporan verbal naturalistik seperti transkrip wawancara; dianalisis secara tekstual sehingga didapatkan persepsi, pemahaman, atau pemaknaan partisipan mengenai suatu fenomena yang diteliti (Smith, 2009).

Penelitian fenomenologi mencoba mengungkap apa yang dialami oleh seseorang secara sadar. Untuk melihat pengalamannya sebagai orang pertama dalam suatu permasalahan, mengenai keterkaitan permasalahan tersebut dengan hal-hal lain dalam hidupnya sehingga membentuk suatu makna dan pemahaman pada permasalahan tertentu yang sedang diteliti. Oleh karena itu diperlukan deskripsi pengalaman dari orang yang mengalami pengalaman tersebut. Deskripsi ini berupa data wawancara yang akan menghasilkan suatu makna dan pemahaman melalui proses analisis data. (Smith, 2009)

Analisis yang digunakan adalah deskriptif fenomenologis (Descriptive

Phenomenology). Tujuan dari analisis ini adalah mendeskripsikan pengalaman

yang dialami oleh kebanyakan orang, mereduksi pengalaman individual sehingga didapat esensi dari pengalaman tersebut (Creswell, 2007). Deskripsi

(46)

dari esensi pengalaman ini adalah mengenai apa yang dialami oleh seseorang dan bagaimana mereka mengalami suatu pengalaman tertentu (Moustakas, 1994).

B. Fokus Penelitian

Penelitian ini menggambarkan pengalaman marah orang Kristiani. Pengalaman ini merupakan peristiwa yang disadari: peristiwa yang dialami, dijalani, bisa juga bertentangan dengan apa yang dibayangkan atau dipikirkan oleh seseorang. Pengalaman juga bisa diartikan sebagai isi dari kesadaran saat ini. Kesadaran ini termasuk reportable ideas, inner speech, intentions to act,

recalled memories, emotional feelings dan lain sebagainya. Secara umum isi

dari kesadaran ini dapat dikaji melalui laporan suatu peristiwa secara akurat. (VandenBos, 2007)

Fokus penelitian ini adalah memberikan suatu gambaran mengenai apa yang dialami dan bagaimana seorang Kristiani mengalami perasaan marah. Gambaran ini akan didapat dengan melihat pertentangan yang dialami orang Kristiani mengenai apa yang mereka alami tentang kemarahan dan apa yang mereka pikirkan sebelumnya. Selain itu gambaran ini juga mungkin didapat dengan menaksir isi kesadaran mereka saat mengalami perasaan marah.

(47)

tersebut diantaranya adalah sebagai pemimpin pujian, pemain musik, pemuji, pembawa kantong persembahan, penari, pendoa, petugas untuk mengunjungi orang sakit, konselor, penyambut jemaat dan lain-lain.

C. Latar Belakang Peneliti

Peneliti adalah seorang Kristiani. Dalam kehidupan sehari-hari juga sering berhubungan dengan situasi yang membuat marah. Sebelum menekuni ajaran Kristiani peneliti sering harus berhadapan dengan emosi marah, baik dari intensitas dan frekuensi yang tinggi juga pengungkapan emosi marah yang cenderung verbal agresif. Setelah menekuni ajaran Kristiani peneliti mengalami perubahan dalam menghadapi situasi yang biasanya memicu kemarahan. Peneliti merasakan bagaimana kemarahan yang agresif adalah hal yang tidak berguna. Walaupun demikian, dalam beberapa kasus tertentu peneliti tetap ingin melampiaskan emosi namun kembali teringat untuk mengampuni dan mengasihi. Maka peneliti terus berusaha untuk menjalankan ajaran tersebut, walau pada beberapa hal masih perlu berlatih untuk mengungkapkan marah dengan cara yang positif dan membangun.

(48)

Selain itu juga mempermudah peneliti untuk mendapatkan partisipan yang sesuai dengan penelitian ini.

D. Metode Pengumpulan Data

1. Partisipan

Partisipan dalam penelitian ini adalah wanita Kristiani yang sudah dibabtis secara Kristiani dan melayani di gereja Tuhan. Partisipan merupakan teman dari peneliti. Empat orang partisipan ini dipilih karena partisipan sering terlibat dalam kegiatan gereja bersama peneliti dan cukup mengenal mereka secara pribadi lewat cerita ataupun kesaksian hidup mereka. Kegiatan gereja ini bisa berupa melayani bersama dalam ibadah hari minggu, persekutuan doa, dan rapat sesama pelayan Tuhan. Oleh karena itu peneliti sudah cukup mengenal mereka dan mengetahui bagaimana mereka mempraktekan nilai-nilai Kristiani dalam kehidupan mereka.

(49)

Selain itu, pemilihan wanita sebagai partisipan penelitian dalam penelitian ini didasari oleh kelebihan wanita dalam menjelaskan pengalaman mereka dibandingkan pria. Perbedaan ini diperoleh oleh peneliti lewat percobaan wawancara terhadap pria. Pemilihan wanita sebagai subjek penelitian dianggap tidak mempengaruhi kualitas pengalaman marah yang dialami. Hal ini didukung oleh penelitian Deffenbacher (1996) bahwa pria dan wanita marah kepada hal-hal yang mirip dengan tingkat kemarahan yang mirip, mengekspresikan kemarahan dengan cara yang hampir sama, dan menerima konsekuensi yang juga hampir sama.

2. Pertanyaan penelitian

a. Ceritakan pengalaman yang paling membuatmu marah.

b. Apa yang ingin kamu lakukan pada sumber kemarahanmu?

c. Sebenarnya apa yang kamu harapkan dari sumber kemarahanmu?

d. Kenapa saat itu kamu memutuskan untuk marah?

e. Apakah ada perasaan lain selain dari perasaan marah pada saat itu?

f. Apa yang kamu pikirkan saat itu?

g. Kira-kira apa pendapat orang lain di sekitarmu (jika ada)?

h. Kira-kira apa pendapat objek kemarahanmu?

(50)

3. Setting penelitian

Peneliti melakukan pengambilan data di tempat yang berbeda-beda sesuai kesepakatan dengan partisipan. Pengambilan data pada partisipan tertentu dilakukan lebih dari satu kali karena adanya kekurangan pada wawancara pertama. Perbedaan tempat pengambilan data dinilai tidak mempengaruhi data yang dihasilkan karena proses wawancara tidak diganggu oleh keberadaan orang lain, sehingga partisipan dan peneliti berkonsentrasi hanya kepada wawancara tersebut.

Pengambilan data dari partisipan pertama dilakukan di ruang tunggu gereja dan ruang make-up gereja. Pada awalnya partisipan pertama sedikit bingung untuk memulai bercerita karena menurutnya ia orang yang jarang marah sampai akhirnya ia ingat pengalaman marahnya kepada ayahnya. Saat bercerita ia terlihat sedih karena tidak bisa mengendalikan kemarahan kepada ayahnya, terlihat dari matanya yang berkaca-kaca.

Partisipan kedua menjalani satu kali pengambilan data yang dilakukan di rumah partisipan. Partisipan kedua bercerita dengan cukup lancar dan dapat dengan mudah menjawab serta menjelaskan pengalaman marahnya atas setiap pertanyaan peneliti.

(51)

ia berikan, ia tampak sedikit merenungkan jawabannya sebelum melanjutkan ceritanya.

Sedangkan partisipan keempat menjalani pengambilan data di ruang make-up gereja. Partisipan keempat sangat antusias dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Ia bercerita tentang pengalamannya secara tegas dan sama sekali tidak meragukan jawabannya. Saat ia bercerita tentang bagaimana ia mencubit anaknya karena marah, ia terlihat sedih dan sangat menyesal.

4. Jenis data

Data diambil dengan menggunakan proses wawancara semi terstuktur. Data awal wawancara berupa rekaman dalam bentuk mp3 yang kemudian diubah ke dalam bentuk verbatim.

E. Prosedur Analisis Data

Analisis data hasil wawancara dilakukan dengan menggunakan analisis tematik. Analisis tersebut meliputi proses berikut ini :

1. Membaca deskripsi

(52)

relevan ataupun tidak relevan dengan penelitian. Selain itu pemahaman ini diperlukan agar peneliti dapat mengelompokkan kalimat-kalimat wawancara dalam makna-makna yang berbeda

2. Konstitusi deskripsi

Setelah peneliti memahami data wawancara maka pada pembacaan berikutnya peneliti memberikan tanda berupa garis miring setiap kali menemukan perubahan makna. Setiap perubahan makna disebut unit makna. (Smith, 2009)

3. Transformasi

Transformasi dilakukan untuk mengeksplisitkan makna pengalaman dari setiap unit makna (Smith, 2009). Selanjutnya makna pengalaman ini disebut tema. Dalam melakukan transformasi peneliti membuat 3 kolom, kolom pertama di sebelah kiri berisi unit makna, di kolom kedua yang berada di tengah peneliti menuliskan parafrase cerita partisipan (unit makna), kolom ketiga yang berada di bagian paling kanan berisi eksplikasi pengalaman atau inti pengalaman dari unit makna.

4. Kategorisasi

Kategorisasi dilakukan dengan mengelompokkan tema-tema yang serupa sehingga menjadi satu kesatuan dengan makna yang sama. Kategori ini dibuat untuk mempermudah peneliti membuat deskripsi tekstural.

a. Kategorisasi per partisipan

(53)

b. Kategorisasi seluruh partisipan

Dalam proses ini peneliti menggabungkan kategori yang muncul dari setiap partisipan. Selain itu, penggabungan ini memunculkan insight baru pada setiap deskripsi sehingga perubahan unit makna ataupun tema mungkin terjadi.

5. Deskripsi tekstural

Berdasarkan kategori yang muncul dari data setiap partisipan, maka peneliti menyatukan unit makna dan tema-tema yang relevan serta memasukkan contoh-contoh verbatim. Kategori-kategori ini menggambarkan proses pengalaman yang diteliti sehingga dapat dibentuk menjadi deskripsi pengalaman partisipan yang pada penulisannya juga disertakan kalimat-kalimat partisipan sebagai pendukung deskripsi. Hal ini disebut a description of the textures of the experience. (Moustakas, 1994) 6. Deskripsi struktural

Deskripsi struktural berisi faktor-faktor pokok dan penyebab yang berhubungan dengan pengalaman yang dijelaskan. Deskripsi ini didapatkan dengan melakukan Imaginative Variation yaitu mencari makna-makna yang mungkin dengan memanfaatkan imajinasi, memvariasi kerangka acuan, menggunakan aspek-aspek yang bertentangan dan perubahan suatu aspek ke arah yang bertentangan, dan mendekati fenomena dari perspektif yang berbeda, posisi yang berbeda, peran, atau fungsi. (Moustakas, 1994)

(54)

tidak terlepas dari pemikiran mengenai apa yang mungkin akan dialami oleh partisipan apabila dihadapkan dengan pengalaman yang sama.

7. Deskripsi tekstural-struktural

Deskripsi tekstural-struktural berisi pernyataan menyeluruh mengenai makna pengalaman yang didapat dari integrasi intuitif deskripsi tekstural dan struktural. (Moustakas, 1994)

Dalam deskripsi ini peneliti mengajukan esensi pengalaman partisipan sebagai salah satu contoh pengalaman universal (marah) dalam kerangka Kristiani.

F. Kredibilitas Penelitian

(55)

Dependabilitas memperhitungkan perubahan-perubahan yang mungkin terjadi dalam suatu masalah yang diteliti, termasuk hasil pemahaman yang sudah diteliti. Dependabilitas dalam penelitian ini dilihat melalui 2 hal yaitu koherensi dan diskursus. Koherensi terlihat dari metode kualitatif dengan analisis deskriptif fenomenologi yang dapat menjelaskan pengalaman marah orang Kristiani. Koherensi ditunjukkan dari kecocokan antara deskripsi hasil dan kategorisasi pada bab selanjutnya. Sedangkan diskursus ditetapkan dari diskusi hasil dan proses penelitian yang dilakukan dengan dosen pembimbing penelitian.

Konfirmabilitas yang dimaksudkan adalah transparansi dari penelitian untuk memastikan objektivitas. Oleh karena itu peneliti menyajikan seluruh proses dan elemen-elemen yang terkait. Hal ini dilakukan agar pihak lain dapat melakukan penilaian terhadap penelitian ini.

G. Sistematika Pelaporan

(56)

dari semua partisipan untuk mempermudah pemahaman tentang keseluruhan pengalaman dari setiap partisipan.

(57)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Tekstural Pengalaman Marah Sarah

1. Latar belakang Sarah

Sarah berusia 35 tahun dan berstatus belum menikah. Saat ini ia tinggal berdua bersama ayahnya, ibunya sudah meninggal dan adiknya sudah menikah. Sarah memiliki usaha warung di rumahnya yang dijaga oleh ayahnya. Sedangkan ia bekerja di toko adiknya. Sarah sudah menjadi seorang Kristiani sejak ia berumur 28 tahun dan sudah melayani di gereja selama 4 tahun terakhir, saat ini Sarah menjabat sebagai ketua salah satu tim pelayanan di gereja. Sarah aktif dalam melayani pada ibadah hari minggu, sebagai ketua salah satu tim pelayanan Sarah selalu memimpin rapat yang diadakan sekitar 1 minggu sekali. Dalam rapat tersebut Sarah sering membagikan visi untuk memajukan tim pelayanan tersebut, Sarah juga sering membagikan refleksi firman Tuhan yang ia dapat dalam kehidupannya sehari-hari.

Kemarahan yang Sarah sering alami adalah ketika ia menghadapi ayahnya yang sulit berhenti merokok. Menurut Sarah ayahnya tidak boleh merokok karena ayahnya adalah seorang Kristiani dan juga karena kesehatan ayahnya yang memburuk akibat rokok. Selain kepada ayahnya Sarah sulit untuk mengungkapkan kemarahannya.

(58)

2. Kategorisasi Sarah

Berikut ini adalah kategorisasi yang didapat melalui proses pembacaan data wawancara, konstitusi, dan transformasi. Tema-tema serupa pada kolom sebelah kanan membentuk kategori pada kolom di sebelah kiri.

Kondisi yang menyebabkan marah

Marah kepada orang yang melanggar peraturan, Lelah dan buru-buru, Tidak mau berhenti merokok sama sekali, Marah karena ayah merokok, Ayah merokok, Rokok membahayakan, Merokok tidak baik, Perbuatan terus menerus, Kesalahan terus menerus Pencegahan pengulangan

kejadian yang tidak disukai

Berjuang agar ayah tidak merokok, Menasehati ayah, Mau menggantikan ayah merokok, Mendoakan ayahnya, Usaha memberikan alternatif pengganti rokok, Ayah menuruti nasehat P1, Usaha kurang berhasil, Usaha belum berhasil, Usaha sia-sia, Menyemangati ayah untuk tidak merokok, Menasehati ayah, Menasehati dengan santai

Perasaan ketika pencegahan tidak berhasil

Bingung dan kesal karena usaha tidak berhasil, Jengkel karena nasehat diabaikan, Geregetan ketika ayah merokok dan tidak bisa benar-benar lepas dari rokok

Perasaan saat marah Sebal, lelah, sedih, menangis, Marah saat tidak sabar

Mengungkapkan kemarahan dengan komunikasi non-verbal

Memberikan peringatan, Menanggapi dengan keras, Menaikkan nada bicara, Menyatakan rasa tidak percaya, Mencereweti ayahnya

Setelah marah Introspeksi diri, Menangis, Merasa tidak bisa melayani dengan baik, Berusaha melayani dengan baik, Menyesal karena marah, Menyesal karena tidak bisa mengendalikan diri dan akhirnya marah, Tidak betah di rumah

Pikiran yang mengacu pada permasalahan

(59)

tanggapan, Ujian hati, Rasa tidak percaya kepada ayah

Cara untuk mengendalikan marah, Menyetop kemarahan, Tidak marah ketika masalah masih bisa diselesaikan dan tidak merugikan ayahnya, Takut akan akibat dari kemarahan yang berlebih, Ingin tahu cara mengendalikan marah, Agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan Pikiran yang mengacu pada nilai

Kristiani

Godaan iblis, Ingin ayah hidup sesuai ajaran Kristen, Marah itu boleh, Ingin hidup sesuai firman

Pengungkapan kemarahan kepada orang terdekat

Tidak mengungkapkan marah kepada orang yang ia anggap belum dewasa, Marah kepada orang yang dekat secara emosional, Tanggung jawab untuk merawat ayah, Marah karena sayang, Tidak ingin ada hal buruk terjadi, Sayang dan peduli, Bos yang berhak untuk marah, Sayang dan ingin yang terbaik untuk ayah

Dukungan sosial Dukungan untuk menasehati ayah, Menceritakan kesedihan, Larangan dokter untuk berhenti merokok, Larangan dokter

Perasaan sebelum marah Sedih

3. Deskripsi tekstural Sarah

Sarah mengalami perasaan marah ketika ada orang lain yang melanggar peraturan. Saat pelanggaran terjadi satu kali, Sarah mungkin tidak langsung mengungkapkan marahnya, ia memendamnya dan memberikan peringatan atau melakukan usaha tertentu agar pelanggaran tidak terjadi lagi. “. . . uda tak uda di apa kayak di nasehatin gitu . . . . aku

cuman bilang besok lain kali jangan kayak gini ya . . . . kasih berbagai macam buah, jadi kalo meh ngerokok wis makan itu. . .” “. . . sekali ya

(60)

terus. . .” Kesalahan yang berulang membuat Sarah mulai menyatakan rasa

tidak percaya dan menaikkan nada bicara; perasaan sedih, bingung dan jengkel ketika usaha yang dilakukan gagal; ditambah aktivitas Sarah yang padat dan melelahkan membuat ia mengungkapkan kemarahannya. “. . . aku tu kalo marah tu cerewet, cerewetnya lama banget tu lo. . .”

Sarah hanya bisa mengungkapkan kemarahan kepada orang yang ia sayang. “. . . kalo kayak sama papahku kenapa aku bisa marah karena aku

sayang dan aku tau itu gak bagus, tapi kalo sama orang lain mungkin aku ndak sayang, itu pa ya jawabannya mungkin, jadi aku gak marah. . .” Selain

itu anggapan bahwa orang lain belum dewasa, pandangan bahwa ada orang yang lebih berhak untuk marah dan situasi saat Sarah sedang pelayanan membuat Sarah tidak mengungkapkan kemarahannya.

Sarah menangis karena ia sedih dan lelah akibat beban permasalahan yang membuatnya marah. Ia juga menangis mengintrospeksi diri tentang kejadian yang membuat marah dan menyesal karena mengungkapkan kemarahannya. “. . . iblis ki kok ya ngerti lo kelemahanku tu dimana gitu lo, mesti wis aku tu gak bisa e, apa mengendalikan tu lo. . .” Sarah menyesal

(61)

B. Deskripsi Tekstural Pengalaman Marah Hanna

1. Latar belakang Hanna

Data wawancara diambil saat Hanna belum menikah. Hanna berumur 24 tahun. Ia dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga Kristen. Sekarang ia sudah melayani selama 3 tahun sebagai pemuji dan penyambut jemaat di salah satu gereja di Yogyakarta. Selain itu pekerjaan sehari-hari subjek adalah ibu rumah tangga. Selain melayani di gereja Hanna juga terlibat dalam kegiatan gereja sebagai pemimpin sebuah persekutuan doa. Seorang pemimpin dalam persekutuan doa ini diwajibkan untuk memuridkan anggotanya untuk semakin memahami ajaran Kristiani, pemimpin juga bertugas untuk memimpin doa dan pujian serta membagikan refleksi firman yang didapat hari minggu dan refleksi firman yang didapat setiap hari.

(62)

2. Kategori Hanna

Berikut ini adalah kategorisasi yang didapat melalui proses pembacaan data wawancara, konstitusi, dan transformasi. Tema-tema serupa pada kolom sebelah kanan membentuk kategori pada kolom di sebelah kiri.

Kondisi yang menyebabkan marah

Orang yang melanggar komitmen, Iman yang sedang lemah, Marah pada masalah yang berulang kali terjadi, Perkataan yang menyakitkan

Pencegahan pengulangan kejadian yang tidak disukai

Usaha untuk menasehati

Perasaan saat Marah Tidak sukacita dan damai sejahtera, Heran karena teman dekatnya tega menyakiti hatinya, Heran dan marah karena yang melanggar komitmen adalah anak Tuhan, Kecewa

Pikiran yang mengacu pada permasalahan

Merusak hubungan pertemanan, Ekspresi kemarahan hanya akan

memperburuk keadaan,

Mengendalikan kemarahannya, Kesadaran untuk kontrol diri dalam berinteraksi

Pikiran yang mengacu pada nilai Kristiani

Merasa tidak berhak, Mengutamakan untuk sabar, Menjaga hati, Tidak ingin perbuatannya merugikan orang lain, Intimidasi iblis, Intimidasi menyadarkan untuk mengendalikan kemarahan, Menolak intimidasi dengan berdoa, Kewajiban untuk mengikuti firman Tuhan, Prinsip firman Tuhan

Pengungkapan kemarahan pada orang terdekat

Saling terbuka, Orang yang paling dekat dan mengerti, Agar pasangan lebih mengerti tentang dirinya, Mengoreksi hubungan

Mengungkapkan kemarahan dengan komunikasi non-verbal

Mengkomunikasikan hal yang membuat marah, Mengeluarkan kata-kata kutuk saat marah

(63)

berada dekat orang yang membuatnya marah, Tidak ingin disakiti lagi, Butuh waktu sendiri untuk berdoa dan berpikir, Minta maaf kepada pasangan, Berdoa mengampuni diri, orang lain dan mencabut kuasa kutuk, Menyelesaikan permasalahan sesegera mungkin, Komunikasi berjalan lancar dan mengampuni kesalahan pasangannya, Bertemu membicarakan permasalahan setelah tidak ada rasa marah, Menyelesaikan permasalahan yang membuat marah, Berdoa mencari jalan keluar masalah, Berserah kepada Tuhan

Cara mengatasi marah Bercerita dan menangis, Bercerita kepada teman, Berdoa menenangkan hati dan pikiran, Bercerita untuk menurunkan emosi marah

3. Deskripsi tekstural Hanna

Perasaan marah dialami ketika ada orang yang melanggar komitmen, mengatakan perkataan yang menyakitkan dan saat ada masalah yang berulang kali terjadi. Menurut Hanna kejadian-kejadian tersebut harusnya bisa langsung diatasi agar tidak menimbulkan perasaan marah namun hal sebaliknya terjadi, “. . . sampe yang emosi meningkat itu buat aku pribadi

berarti aku sedang imannya lemah.” Saat emosi meningkat Hanna merasakan adanya provokasi “ . . . kayak ada yang bayangan-bayangan

yang, intimidasi lah, dah itu ada, mumpung ada ini ada itu dah sekalian aja lah diapain tu orang . . .” namun Hanna sadar bahwa itu adalah intimidasi

(64)

Hanna tidak mengungkapkan kemarahan kepada teman karena ia merasa tidak berhak untuk marah dan Hanna berpikir bahwa ungkapan kemarahannya hanya akan memperburuk keadaan sehingga ia mengutamakan untuk bersabar dan mengontrol diri. Sedangkan saat marah kepada pasangan ia akan mengungkapkannya “Soalnya yang paling deket

kali ya, yang paling deket sama bener-bener rasanya kenal gitu maksudnya kenal oo kalo aku ungkapin ke dia, dia itu bakal apa sih namanya ngerti kalo aku marah dia tu bisa ngerti . . . . gak pingin si ada yang ditutup-tutupi jadi lebih ke terbuka . . . . lebih ke koreksi hubungan juga kayak gitu . . .”

Kepada pasangannya Hanna menyatakan kemarahannya dengan “. . . langsung ngungkapin kok kamu kayak gini to ma aku . . . . keluar kata-kata ya itu aku juga langsung namanya kata-kata yang kutuk-kutuk gitu . . .” Hal ini membuat Hanna sedih dan menyesal sehingga ia mengoreksi diri. Untuk mengatasi hal itu Hanna berdoa minta ampun dan mencabut kuasa kutuk. Saat marah Hanna juga merasa tidak sukacita, tidak damai sejahtera, heran kepada orang yang menyakiti hatinya dan tidak ingin berada dekat orang yang membuatnya marah.

(65)

C. Deskripsi Tekstural Pengalaman Marah Ruth

1. Latar belakang Ruth

Ruth berusia 25 tahun, ia belum menikah. Ruth dilahirkan di keluarga dengan latar belakang agama yang berbeda, namun ia sudah beragama Kristen sejak kecil. Sehari-hari ia membantu usaha orang tuanya sambil menyelesaikan kuliahnya. Selain itu ia sudah melayani selama 3 tahun sebagai seorang penyambut jemaat. Selain melayani di gereja Ruth juga terlibat dalam kegiatan gereja sebagai pemimpin sebuah persekutuan doa. Seorang pemimpin dalam persekutuan doa ini diwajibkan untuk memuridkan anggotanya untuk semakin memahami ajaran Kristiani, pemimpin juga bertugas untuk memimpin doa dan pujian serta membagikan refleksi firman yang didapat hari minggu dan refleksi firman yang didapat setiap hari.

Ruth mengalami perasaan marah ketika ada orang yang memaksanya melakukan sesuatu yang tidak ia suka. Ketika marah biasanya Ruth memilih untuk diam atau berkomunikasi dengan nada tinggi. Selain itu Ruth tidak marah kepada orang yang tidak terlalu dekat dengannya.

2. Kategorisasi Ruth

(66)

Kondisi yang menyebabkan marah

Tidak berdaya ketika dipaksa melakukan hal yang tidak ia suka, Lelah, Marah karena lelah, terburu-buru, dan perbuatan keterlaluan Perasaan saat marah Gemes, sebel, dan geregetan Pikiran yang mengacu pada

permasalahan

Kesal tidak menerima perlakuan orang lain, Mengalah agar masalah cepat selesai, Mendebat tidak ada gunanya, Diam agar tidak memperburuk keadaan, Masalah tidak terlalu besar

Pikiran yang mengacu pada nilai Kristiani

Mengutamakan mengasihi dan mengampuni

Pengungkapan kemarahan pada orang terdekat

Hubungan belum terlalu akrab Mengungkapkan kemarahan

dengan komunikasi non verbal

Meminimalkan komunikasi, Nada sinis, Menuruti kemauan orang lain dengan nada menantang, Kemungkinan membalas marah

Setelah marah Menyesal Kemarahan berkurang

sehingga bisa introspeksi diri, Mengoreksi diri untuk mengetahui kesalahan, Lebih mudah untuk mengampuni ketika tahu kesalahan, Tidak mau bertemu orang yang membuat marah, Takut kejadian yang membuat marah terulang, Kapok dan tidak ingin berhubungan, Minta ampun kepada Tuhan, Minta maaf kepada orang yang terlibat dalam masalah

Cara mengatasi marah Berdoa dan menangis, Mendapat kesabaran untuk bisa mengampuni, Berdoa membuat kemarahan berkurang,

3. Deskripsi tekstural Ruth

(67)

biasanya tu aku marah . . .” Saat marah Ruth memilih untuk diam walau ia

merasa gemes, sebel dan geregetan. Hal ini dilakukan agar masalah tidak menjadi semakin besar. “. . . orang marah itu kan lepas kontrol ya kadang

kayak suka omongannya yang macem-macem jadi daripada aku omongannya macem-macem nanti nyakitin orang nanti malah jadi gak karu-karuan nanti malah memperburuk keadaan jadi aku lebih baik diem, tak diemin malahan marah yang diem, balesnya dengan diemin. . .” Ia pun akan

menuruti kemauan orang yang memaksanya walaupun dengan meminimalkan komunikasi juga dengan nada sinis dan menantang. “. . . ya

tak jawab apa yang menurut dia harusnya kan kamu kayak gini ya udah tak turutin kayak gitu, ya udah aku kayak gini, kayak gitu.”

Ruth menyesal atas ungkapan kemarahannya karena ia terbawa emosi dan tidak bisa mengendalikan diri. Ruth tidak mau mengungkap

Gambar

gambar diri, status sosial atau kesan yang diproyeksikan oleh kelompok,

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini tidak ditemukan dalam kasus karena pasien hanya mengalami fraktur tibia fibula sinistra dan sebagian anggota gerak yang lain dapat digerakkan dengan normal kecuali

dengan kata lain luas laut Maluku Utara lebih besar dibanding daratannya. Tak heran apabila Maluku Utara diproyeksikan oleh Pemerintah Pusat untuk menjadi salah satu

Ia mengatakan bahwa “sembilan kelompok bisnis mengendalikan separuh media cetak di Indonesia” dan bahwa para pemilik media “melihat media sebagai pasar belaka.” Yanuar Nugroho

mengelola kompensasi International Compensation  Pendahuluan  Minimal 80% dari pertanyaan yang diterapkan adalah ceramah Metode pengajaran yang 150 menit   Handout

Akan tetapi penambahan sari buah tomat melebihi 20% dalam pengencer natrium sitrat kuning telur pada penelitian ini, justru menurunkan persentase spermatozoa hidup

Mikrobia yang berada pada zona rizosfer mempunyai kemampuan untuk membentuk mantel di daerah perakaran, berperanan juga sebagai hara tanaman misalnya penyedia N,

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan metode studi kasus. Subjek penelitian adalah kepala sekolah, guru dan siswa. Penentuan subjek penelitian atau

Teknologi tersebut per definisi adalah TTG yang dapat bersumber dari GRI, namun teknologi dimaksud harus pula memenuhi beberapa pra-syarat, yakni: [1] relevan atau