PROPOSAL PENELITIAN
STRATEGI GURU DALAM MENINGKATKAN MINAT BELAJAR SISWA KELAS IV SD NEGERI KLUMPIT MELALUI MODEL PEMBELAJARAN CONTEXTUAL
TEACHING AND LEARNING
Oleh
DESY ARIYANTI NIM 201833112
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MURIA KUDUS 2021
ABSRTRAK
Ariyanti, Desy. 2021. Strategi Guru Dalam Meningkatkan Minat Belajar Siswa Kelas IV SD Negeri Klumpit Melalui Model Pembelajaran Contextual Teaching Learning.
Pembimbing (I) Yuni Ratnasari, S.Si., M.Pd. (II) F.Shoufika Hilyana, S.Si., M.Pd.
Kata kunci: Strategi guru, Contextual Teaching Learning, Minat belajar
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan startegi guru dalam meningkatkan minat belajar siswa kelas IV SD Negeri Klumpit menggunakan model pembelajaran kontekstual, dan mendeskripsikan faktor-faktor yang menghambat dan mendukung guru dalam meningkatkan minat belajar siswa kelas IV SD Negeri Klumpit melalui model pembelajaran contextual teaching and learning.
Dalam pemberlakuan pembelajaran tatap muka (PTM) kembali, pembelajaran yang berlangsung belum sepenuhnya berjalan dengan efektif karena kurangnya partisipasi siswa yang disebabkan oleh rendahnya minat siswa dalam mengikuti proses pembelajaran. Di SD Negeri Klumpit, minat belajar siswa rata-rata tergolong rendah. Untuk itu perlunya peran guru dalam memilih strategi berupa model pembelajaran yang mampu meningkatkan semangat, keaktifan serta ketertarikan atau minat belajar siswa. Model pembelajaran kontekstual yakni model pembelajaran yang mengaitkan pengetahuan dengan pengalaman yang dimiliki siswa dirumah agar memudahkan siswa dalam memahami materi pelajaran agar membuat siswa semangat dan berantusias atau berminat dalam belajar karena materi pelajaran yang dipelajari ada disekitar mereka.
Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian kualitatif deskriptif sebagai tahapan dalam melakukan penelitian. Penelitian ini akan di laksanakan di SD Negeri Klumpit, Kecamatan Tlogowungu, Kabupaten Pati, dengan mengambil subjek guru dan siswa sebagai subjek penelitian. Dalam penelitian ini digunakan teknik pengumpulan data yang meliputi tahap observasi, wawancara, dokumentasi, dan pencatatan. Dan analisis data kualitatif deskriptif merupakan analisis data yang digunakan.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah
Wabah corona virus disease (covid-19) yang melanda berbagai Negara di Dunia, telah memberikan tantangan tersendiri salah satunya dibidang pendidikan. Dalam mengatasi lonjakan peningkatan penularan virus covid-19, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan seperti isolasi, social and physical distanncing, pembatasan sosisal bersakala besar (PSBB) hingga pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). Kondisi ini, mengharuskan berbagai sekolah dan masyarakat harus bekerja di rumah atau belajar dari rumah. Berdasarkan SE Nomor 36962/MPK.A/HK/2020 tentang pembelajaran secara daring dan bekerja dari rumah dalam rangka pencegahan penyebaran corona virus disease (covid-19), maka pembelajaran tatap muka siswa di sekolah untuk sementara dialihkan menjadi belajar di rumah.
Meskipun belajar di rumah, kegiatan belajar mengajar harus tetap dijalankan melalui pembelajaran online. Pembelajaran online adalah suatu proses kegiatan belajar mengajar secara virtual melalui aplikasi yang ada di handphone. Menurut Bilfaqih (2017:
1), pembelajaran yang dikemas dalam jaringan secara online menggunakan aplikasi pembelajaran atau jejaring social melalui perangkat elektronik. Pembelajaran online bukan sekedar materi yang dipindah melalui media internet bukan juga sekedar tugas dan soal-soal yang dikirimkan melalui aplikasi tertentu. Pembelajaran online harus direncanakan sesuai dengan minat dan efisisensi dari siswa di sekolah tersebut, dilaksanakan serta dievaluasi sama dengan pembelajaran yang terjadi di kelas.
Pembelajaran online yang diselenggarakan kurang lebih satu setengah tahun, pada akhirnya mulai digantikan lagi dengan pembelajaran tatap muka (PTM) secara terbatas. Berdasarkan SE Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Pati nomor 420/11782/2021 tentang panduan pembelajaran tatap muka (PTM) sekolah dasar dimasa pandemic covid-19 Kabupaten Pati tahun ajaran 2021/ 2022, maka pembelajaran tatap muka di sekolah mulai diaktifkan kembali dengan syarat dan ketentuan yang diberlakukan. Pembelajaran PTM yang diselenggarakan lagi belum sepenuhnya berjalan secara efektif. Siswa masih harus memerlukan penyesuaian lagi karena sudah terbiasa melakukan pembelajaran secara online.
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan peneliti di kelas IV SD Negeri Klumpit Kecamatan Tlogowungu Kabupaten Pati, pada proses kegiatan pembelajaran
berlangsung terdapat beberapa siswa yang melamun saat guru menerangkan di depan, terdapat siswa yang terlihat memperhatikan akan tetapi saat ditanya tidak bisa. Selain itu, masih ada siswa yang mengobrol dengan teman sebangkunya saat proses pembelajaran berlangsung, dan masih ada siswa yang gaduh dengan menjahili teman sebangkunya.
Selama berlangsungnya proses pembelajaran, keterlibatan siswa dalam mengikuti pembelajaran/tingkat partisipasi masih tergolong rendah. Hal itu terlihat, selama proses pembelajaran berlangsung tidak ada siswa yang mengemukakan pertanyaan untuk meminta klarifikasi atau penjelasan dari guru seputar materi yang dibahas. Penyataan tersebut merupakan bukti dalam proses pembelajaran tatap muka (PTM) secara terbatas masih belum berjalan dengan efektif, kurangnya partisipasi siswa yang disebabkan rendahnya minat siswa dalam mengikuti proses pembelajaran.
Melalui wawancara yang dilakukan peneliti terhadap guru kelas IV SD Negeri Klumpit tentang minat belajar siswa, peneliti mendapatkan hasil sebagai berikut: minat belajar anak berbeda-beda, ada yang tinggi, baik, sedang dan rendah, namun rata-rata minat belajar anak masih tergolong rendah dapat dilihat saat pembelajaran terkadang siswa malas mencatat, tidak mendengarkan penjelasan guru dan saat jam masuk kelas masih terdapat beberapa siswa yang masih makan jajan di luar, dan saat guru memberikan tugas mandiri terkadang ada siswa yang malas-malasan dalam mengerjakan tugas tersebut.
Minat, merupakan perwujudan dari sebuah rasa suka atau cenderung memiliki ketertarikan terhadap suatu hal bisa berupa aktivitas yang muncul dari keinginan diri sendiri tanpa diikuti adanya paksaan ataupun dorongan dari orang lain (Slameto, 2016).
Peran penting minat dalam kegiatan belajar sangatlah signifikan, seperti mendatangkan kegembiraan atau perasaan senang, mampu meningkatkan konsentrasi atau perhatian siswa, melahirkan sikap belajar siswa yang positif dan kontruktif, membantu siswa memperkuat kemampuan dalam mengingat, dan rendahnya kebosanaan siswa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran. Faktor pendukung keberhasilan suatu pembelajaran untuk mencapai sebuah tujuan belajar adalah salah satunya melalui peran minat siswa dalam kegiatan belajar (Sadirman, 2015: 25).
Mengingat pentinganya minat belajar siswa, maka perlunya tindakan lebih lanjut atau peran yang dilakukan guru dalam menyusun strategi belajar yang bertujuan meningkatkan minat belajar siswa dalam pembelajaran tatap muka (PTM) secara terbatas.
Gerlach dan Ely dalam Santinah (2016), mengemukakan pendapat bahwa strategi pembelajaran merupakan pemilihan cara-cara yang dilakukan guru dalam menentukan
model pembelajaran untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Sedangkan Gropper dalam Santinah (2016), menjelaskan bahwa strategi pembelajaran adalah suatu langkah awal dalam kegiatan pembelajaran yang bertujuan memilih berbagai jenis latihan tertentu yang sesuai dengan tujuan pembelajaran yang sudah direncanakan.
Guru bukan sekedar berperan sebagai pengajar akan tetapi seorang guru juga memiliki peran dalam membimbing, memimpin dan menjadi fasilitator dalam belajar.
Pemikiran kreatif dan inovatif mestinya dimiliki oleh seorang guru dimana hal ini sangatlah penting karena dengan begitu akan lebih mudah dalam menyusun strategi mengajar yang menarik dan menyenangkan bagi siswa. Adanya strategi mengajar yang dilakukan guru dengan begitu dapat meningkatkan semangat, aktif dalam belajar, antusiasme, serta memiliki rasa ketertarikan siswa untuk selalu belajar. Dari ketentuan tersebut terdapat beberapa model yang memiliki tujuan mengaitkan pengetahuan yang diberikan guru di sekolah dengan pengalaman yang dimiliki siswa di rumah agar memudahkan siswa dalam memahami materi pelajaran agar membuat siswa semangat dan antusias atau minat dalam belajar karena materi pelajaran yang dipelajari ada disekitar mereka. Model pembelajaran yang di maksud yakni model pembelajaran contextual teaching and learning (CTL).
Menurut Nurhadi dalam Sugianto (2017:146) menyampaikan bahwa pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning-CTL) adalah saling keterkaitan antara materi pelajaran dan situasi dunia nyata yang dialami oleh para siswa dan dikemas oleh guru dalam proses belajar mengajar. Kemudian, pembelajaran kontekstual mampu mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dan menerapkan dalam kehidupan mereka sendiri-sendiri. Pengetahuan dan keterampilan baru akan muncul dengan sendirinya, ketika siswa dalam belajar mampu mengkontekstualkan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh dalam proses belajar mengajar bersama guru. Sedangkan menurut Howey dalam Hasibun (2015), CTL adalah pembelajaran yang memungkinkan terjadinya proses belajar dimana siswa menggunakan pemahaman dan kemampuan akademiknya dalam berbagai konteks dalam dan luar sekolah untuk memecahkan masalah yang bersifat simulatif ataupun nyata, baik sendiri- sendiri maupun bersama-sama.
Menurut Hasibun (2015) terdapat tujuh komponen utama model pembelajaran contextual teaching and learning (CTL) yakni: 1.) Guru membimbing siswa agar mengkontruksi pengetahuan dan kemampuannya sendiri (kontruktivisme), 2.) Guru mendorong siswa agar mandiri dalam menemukan pengetahuan yang akan dipelajarai
(inquiry), 3.) Guru meminta siswa untuk bertanya tentang hal yang belum dimengerti (questionting), 4.) Guru mendorong siswa agar bekerja kelompok dalam menyelesaikan masalah (learning community), 5.) Guru memberikan contoh dengan menampilkan benda-benda kokret sebagai media pembelajaran (modeling), 6.) Guru mengajak siswa untuk merefleksi pembelajaran yang sudah dilakukan (reflekction), 7.) Guru melakukan penilaian terhadap penilaian siswa bertujuan mengetahui kemampuan siswa dalam belajar (authentic assessment).
Berdasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Hairun, Badu, dan Rahmat (2020) menyatakan bahwa model pembelajaran kontekstual dapat meningkatkan minat dan hasil belajar siswa karena pembelajaran inni didasarkan pada pengalaman siswa, maka model pembelajaran kontekstual dapat meningkatkan minat dan hasil belajar siswa. Siswa belajar secara langsung, tanpa mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa Strategi belajar lebih penting dari pada hasil kegiatannya, karena dalam model kontekstual tugas guru yakni membantu siswa dalam membimbing, memimpin dan menjadi fasilitator dalam belajar. Kemudian penelitian lainnya dilakukan oleh Novalis, (2019) yang menghasilkan penerapan strategi pembelajaran kontekstual dapat meningkatkan minat siswa dalam belajar yang dibuktikan dengan persentase minat belajar anak yang meningkat dari kondisi awal sebesar 0% meningkat menjadi 63%.
Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai strategi apa saja yang dilakukan oleh guru untuk meningkatkan minat belajar peserta didik di SD Negeri Klumpit. Untuk itu dalam penelitian ini peneliti mengambil judul “Strategi Guru dalam Meningkatkan Minat Belajar Siswa Kelas IV SD Negeri Klumpit Melalui Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut.
1. Bagaimana strategi guru dalam meningkatkan minat belajar siswa kelas IV SD Negeri Klumpit melalui model pembelajaran contextual teaching and learning?
2. Apa faktor-faktor yang menghambat dan mendukung guru kelas dalam meningkatkan minat belajar siswa kelas IV SD Negeri Klumpit melalui model pembelajaran contextual teaching and learning?
1.3 Tujuan Penelitian
Merujuk dari perumusan masalah di atas dapat diketahui bahwa penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut.
1. Mengetahui strategi guru dalam meningkatkan minat belajar siswa kelas IV SD Negeri Klumpit melalui model pembelajaran contextual teaching and learning.
2. Mengetahui faktor-faktor yang menghambat dan mendukung guru kelas dalam meningkatkan minat belajar siswa kelas IV SD Negeri Klumpit melalui model pembelajaran contextual teaching and learning.
1.4 Manfaat Penelitian
Dalam setiap usaha tentu ada beberapa kegunaan yang diinginkan. Begitupun dalam sebuah penelitian diharapkan dapat memberikan kegunaan kepada berbagai pihak. Di antara kegunaan dari penelitian ini adalah:
1.4.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat melengkapi referensi yang telah ada sehingga dapat memberikan manfaat bagi pengembangan keilmuan khususnya yang berkaitan dengan strategi guru dalam meningkatkan minat belajar siswa.
1.4.2 Manfaat Praktis
a. Bagi sekolah, dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sumber dan bahan tentang pentingnya minat belajar siswa kelas IV SD Negeri Klumpit.
b. Bagi guru, dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan dalam meningkatkan minat belajar siswa kelas IV di SD Negeri Klumpit sehingga tujuan pendidikan tercapai secara optimal.
c. Bagi peneliti, dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan yang sangat besar dalam mengembangkan keilmuan yang didapat di bangku kuliah.
1.5 Definisi Operasional
Untuk menghindari kesalahan penafsiran penelitian ini, maka diajukan definisi operasional sebagai berikut :
a. Strategi guru adalah suatu cara atau metode yang dimiliki oleh guru dalam bertindak untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan.
b. Minat adalah rasa ketertarikan, perhatian, keinginan lebih yang dimiliki seseorang terhadap suatu hal tanpa ada dorongan dari siapapun itu.
c. Model Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah proses pembelajaran yang holistic dan bertujuan untuk membantu siswa memahami makna materi ajar kemudian mengaitkanya dengan konteks kehidupan sehari-hari, sehingga siswa memiliki pengetahuan atau keterampilan yang dinamis dan fleksibel.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian pustaka
Dalam kajian teori ini, peneliti menguraikan topik penelitian secara sistematis mengenai (1) strategi guru, (2) model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL, (3) minat belajar
2.1.1 Strategi Guru 2.1.1.1 Pengertian Guru
Berdasarkan Undang-Undang Guru dan Dosen No. 14 Tahun 2005 pasal 2, guru dikatakan sebagai tenaga profesional yang mengandung arti bahwa pekerjaan guru hanya dapat dilakukan oleh seorang yang mempunyai kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikasi pendidik sesuai dengan persyaratan untuk setiap jenis dan jenjang pendidikan tertentu (Suprihatiningrum: 2017: 24)
Guru adalah pelaku pembelajaran, sehingga dalam hal ini guru merupakan faktor yang terpenting. Guru merupakan sosok dibalik keberhasilan suatu pembelajaran. Komponen guru mampu memanipulasi atau merekayasa komponen lain menjadi bervariasi dan sebaliknya komponen guru tidak dapat dimanipulasi atau direkayasa oleh komponen yang lainnya (Ngalimun, 2017: 17).
Guru orang kedua yang memberikan pembelajaran terhadap siswa setelah keluarga, guru ialah orang yang memberi bekal pengetahuan, pengalaman, dan menanamkan nilai-nilai, budaya, dan agama terhadap anak didik, dalam proses pendidikan guru memegang peran penting setelah orangtua dan keluarga di rumah. Dilembaga pendidikan guru menjadi orang terdepan dalam bertugas mengajar, membimbing, dan melatih anak didik mencapai kedewasaan. Setelah proses pendidikan sekolah selesai, diharapkan para siswa bisa menjalani kehidupannya ditengah masyarakat karena sudah dibekali pengetahuan dan pengalaman.
Guru merupakan seorang pendidik professional, karena secara implisit ia telah mendedikasikan dirinya untuk menerima dan mengemban tanggung jawab pendidikan yang terpikul dipundak para orang tua. Mereka ini tatkala
menyerahkan anaknya kesekolah, sekaligus berarti pelimpahan sebagian tanggung jawab pendidikan anaknya kepada guru. Hal itupun menunjukkan pula bahwa orang tua tidak mungkin menyerahkan anaknya kepada sembarang guru/sekolah karena tidak sembarang orang dapat menjabat guru. (Zakiah Daradjat, 2016: 39).
Dengan demikian tuntutan untuk meningkatkan kinerja guru dalam belajar hendaknya selalu diperhitungkan dan diperhatikan. Guru sebagai personel yang menduduki posisi strategi dalam rangka perkembangannya konsep-konsep baru dalam dunia pengajaran tersebut. Guru adalah salah satu faktor yang menentukan berbagai keberhasilan siswa dalam suatu proses pembelajaran dikelas, untuk itu profesionalitas guru dalam suatu pembelajaran sangatlah perlu dan dirasakan penting.
Berdasarkan uraian yang dipaparkan para ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa guru merupakan seseorang yang memberikan dorongan berupa motivasi dalam menggapai tujuan melalui proses pembelajaran yang didalamnya mengembangkan kepribadian berupa sikap, nilai-nilai dan penyesuaian diri. Proses pendidikan merupakan salah satu upaya untuk mengembangkan dan menumbuhkan seluruh aspek pribadi dalam mempersiapkan suatu kehidupan yang mulia dan berhasil dalam suatu masyarakat dengan sebentuk pemenuhan profesionalisme dari seorang guru.
2.1.1.2 Pengertian Strategi Guru
Bagi seorang guru memiliki strategi dalam meraih keberhasilan dalam proses belajar mengajar adalah suatu keharusan. Karena, dalam proses belajar mengajar seorang guru harus mimiliki ketrampilan yang mumpuni dalam memahami situasi dan mampu mengembangkan model pembelajaran berdasarkan situasi agar proses pembelajaran menjadi efektif, kreatif, dan menyenangkan.
Menurut Haidir & Salim (2014: 97), dalam kajian teknologi pendidikan, strategi pembelejaran termasuk ke dalam ranah perancangan pembelajaran.
Perkembangan strategi pembelajaran sebagai ilmu yang diawali dari dunia militer, dan selanjutnya dipergunakan dalam dunia pendidikan. Dalam suatu peperangan sangat diperlukan strategi untuk memperoleh kemenangan. Untuk itu perlunya
persiapan dalam menghadapi musuh dimulai dari mengidentifikasi siapa (musuh) yang akan dihadapi, kekuatan yang mereka miliki, senjata yang digunakan, dan lain-lain. Tanpa adanya identifikasi, mustahil kemenangan akan dicapai, yang ada akan datangnya kekalahan karena kelalaian seorang panglima perang dalam mempersiapkan strateginya.
Sama halnya di dalam proses pembelajaran, seorang guru harus melakukan identifikasi terhadap semua komponen yang berhubungan dengan proses pembelajaran yang akan dilaksanakan. Guru harus tahu siapa yang akan menjadi siswanya, bagamana variasi tingkat intelegensinya, latar belakang para siswa, bagaimana minat belajar siswanya, dan lain sebagainya. Tanpa melakukan proses identifikasi, niscaya seorang guru tidak akan memperoleh tujuan yang diharapkan dari proses pembelajaran yakni siswa mampu memahami seluruh materi yang telah disampaikan. Selain itu, proses pembelajaran akan mengalami banyak kendala, sehingga pembelajaran menjadi tidak kondusif, berjalan tanpa arah serta berlalu tanpa makna. Padahal pada dasarnya, keinginan seorang guru adalah agar semua siswa mampu memahami seluruh materi yang disampaikan dan memaknainya dengan baik. Oleh karena itu, perlunya seorang guru mempersiapkan dan berstrategi sebelum dan sesudah pembelajaran di mulai.
Sebagian orang masih menyamakan pemaknaan kata strategi dengan teknik, metode, dan cara. Kata strategi seringkali diartikan sebagai teknik dan metode. Pemaknaan terhadap strategi itu dapat dilakukan secara sempit maupun luas. Pengertian secara sempit, strategi identik dengan metode atau teknik, yaitu cara menyampaikan pesan (message) dalam hal ini materi pelajaran audience (siswa) yang bertujuan untuk mencapai tujuan-tujuan belajar yang telah ditetapkan. Dengan demikian, kata strategi adalah berkaitan dengan cara, teknik, atau metode untuk melakukan sesuatu.
Kemudian, dalam mencapai tujuan pendidikan yang dinginkan perlunya penyusunan strategi yang harus diperhatikan seorang guru. Pertama, rencana tindakan (serangkaian tindakan) baik pengguna metode maupun pemanfaatan sumber daya yang digunakan dalam proses pembelajaran. Pengertian secara implisit bahwa perencanaan suatu strategi baru berada pada tingkat rencana kerja
belum sampai pada tindakan. Kedua, penyusunan strategi dilakukan pencapaian tujuan pendidikan pada tingkat tertentu. Dengan demikian, seluruh aktivitas yang dilakukan guru, misalnya penetapan metode, pemanfaatan sumber dan media belajar, mengorganisasi materi, dan sampai kepada penilaian (evaluasi) adalah untuk pencapaian tujuan.
Sedangkan apabila diartikan secara luas, strategi dapat mencakup antara lain: 1) Metode, 2) Pendekatan, 3) Pemilihan sumber-sumber, 4) Pengelompokan audience atau siswa, dan 5) Pengukuran keberhasilan. Secara umum strategi mengandung pengertian sebagai garis-garis besar haluan untuk bertindak dalam usaha mencapai sasaran yang ditentukan. Bila dihubungkan dengan kegiatan belajar mengajar, maka strategi dapat diartikan sebagai pola-pola umum kegiatan guru-siswa dalam mewujudkan kegiatan pembelajaran sehingga mencapa tujuan yang telah diharapkan sebelumnya.
Haidir & Salim (2014: 100), menegaskan bahwa ada empat strategi dasar yang digunakan guru dalam kegiatan pembelajaran yang meliputi hal-hal berikut:
a. Mengidentifikasi serta menetapkan spesifikasi dan kualifikasi perubahan tingkah laku dan kepribadian siswa sebagaimana yang diharapkan.
b. Memilih system pendekatan belajar mengajar berdasarkan aspirasi dan pandangan hidup masyarakat.
c. Memilih dan menetapkan prosedur, metode, dan teknik pembelajaran yang dianggap paling tepat dan efektif sehingga dapat dijadikan pegangan oleh guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar.
d. Menetapkan norma-norma dan batasan minimal keberhasilan atau kriteria serta standar keberhasilan sehingga dapat dijadikan pedoman oleh guru dalam melakukan evaluasi hasil kegiatan belajar mengajar selanjutnya yang akan dijadikan umpan balik untuk penyempurnaan pembelajaran.
Dengan demikian, sebelum melaksanakan kegiatan pembelajaran di dalam kelas, alangkah baiknya untuk mengidentifikasi beberapa hal penting berdasarkan kepada kegiatan dan tujuan pembelajaran agar mencapai hasil yang sesuai dengan apa yang ditetapkan. Pengidentifikasian hal tersebut, dapat memunculkan beberapa pertanyaan serta menempatkan startegi dasar dalam suatu kegiatan
pembelajaran. Setidaknya, seorang guru harus memiliki gambaran-gambaran masalah pokok yang sangat penting sehingga dapat dijadikan pedoman dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran agar berhasil sesuai yang diharapkan. Strategi guru yang disebutkan diatas, dapat dijabarkan sebagai berikut:
Pertama, spesifikasi dan kualifikasi perubahan tingkah laku bagaimana yang diinginkan sebagai hasil dari kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan. Dengan menetapkan spesifikasi dan kualifikasi perubahan tingkah laku (changes of behavior) siswa setidaknya telah diketahui sasaran yang akan dicapai. Hal ini sangat penting dilakukan guru, karena dengan mengetahui hasil yang akan dicapai dapat membantu guru melakukan aktivitas pembelajarannya dengan efektif dan efisien. Oleh karena itu, sasaran yang dirumuskan harus jelas, terarah dan konkrit sehingga mudah dipahami oleh siswa. Bila tidak, maka kegiatan pembelajaran tidak memiliki arah serta tujuan yang pasti. Akibatnya adalah perubahan yang diharapkan terjadi pada siswapun sukar diketahui, karena penyimpangan- penyimpangan dari kegiatan pembelajaran. Biasanya rumusan tujuan pembelajaran dilakukan oleh guru sebelum kegiatan pembelajaran dimulai.
Kedua, memilih cara pendekatan proses pembelajaran yang dianggap paling tepat dan efektif untuk mencapai sasaran. Bagaimana cara guru memandang suatu persoalan, konsep, pengertian, dan teori apa yang akan digunakan dalam memecahkan suatu kasus, akan mempengaruhi hasilnya.
Ketiga, memilih dan menetapkan prosedur, metode, dan teknik pembelajaran yang dianggap paling tepat dan efektif. Metode pembelajaran yang disajikan bertujuan untuk meningkatkan minat belajar siswa agar mampu menerapkan pengetahuan dan pengalamannya untuk memecahkan masalah, serta siswa terdorong dan mampu berpikir bebas untuk mengemukakan pendapatnya sendiri.
Perlu dipahami bahwa suatu metode mungkin hanya cocok dipakai untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Jadi dengan sasaran yang berbeda, guru hendaknya jangan menggunakan metode atau teknik penyajian yang sama.
Keempat, menerapkan norma-norma atau kriteria keberhasilan sehingga guru memiliki dasar-dasar yang dapat dijadikan ukuran untuk menilai sampai sejauh mana keberhasilan tugas-tugas yang telah dilakukannya. Suatu proses
pembelajaran baru akan dapat diketahui keberhasilannya setelah dilakukan evaluasi. Sistem penilaian dalam belajar mengajar merupakan salah satu strategi yang bisa dipisahkan dengan strategi dasar lainnya.
Jadi dapat disimpulkan, strategi guru adalah upaya yang dilakukan seorang guru dalam melakukan suatu hal pembelajaran agar dapat menimbulkan ketertarikan, minat dan perhatian siswa demi tercapainya tujuan. Seorang guru bertanggung jawab dalam membimbing, mendidik, mengarahkan, mengajar dan melatih siswanya agar menjadi lebih baik daripada sebelumnya.
2.1.1.3 Prinsip Memilih Strategi Pembelajaran
Dalam memilih atau menentukan strategi pembelajaran terdapat prinsip yang patut diperhatikan seorang guru (Direktorat Tenaga Kependidikan, 2008:45) diantaranya sebagai berikut:
a. Tujuan pembelajaran
Adalah kemampuan yang diharapkan dapat tercapai setelah siswa menyelesaikan suatu aktivitas pembelajaran. Guru dapat menentukan atau memilih suatu strategi yang bakal digunakannya melalui tujuan pembelajaran.
b. Aktivitas dan pengetahuan awal siswa.
Aktivitas siswa tidak hanya dalam hal fisik saja tetapi juga melibatkan aktivitas atau aksi yang bersifat psikis ataupun moral. Guru bisa memahami pengetahuan awal siswanya melalui pretest tertulis ataupun tanya jawab pada waktu awal suatu kegiatan pembelajaran. Kemudian guru bisa melakukan penyusunan strategi dengan memaksimalkan metode yang tepat untuk siswa.
c. Integritas bidang study/pokok bahasan
Mengajar dapat menumbuhkan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik karena dalam membangkitkan dan mengembangkan aspek tersebut terdapat strategi yang dilakukan oleh pendidik.
Selanjutnya, Mager dalam Santinah (2016), memberikan beberapa kriteria yang dapat dijadikan acuan dalam pemilihan strategi pembelajaran, yaitu sebagai berikut:
a. Berorientasi pada tujuan pembelajaran
b. Pilih tekhnik pembelajaran yang sesuai dengan keterampilan yang diharapkan dan dimiliki saat bekerja nanti (dihubungkan dengan dunia kerja)
c. Gunakan media pembelajaran yang sebanyak mungkin memberikan rangsangan pada indra siswa.
Sedangkan Djamarah (2018: 256) memberikan beberapa kriteria dalam pemilihan srategi pembelajaran, yaitu:
a. Kesesuaian strategi pembelajaran dengan tujuan diranah afektif, kognitif, maupun psikomotorik;
b. Kesesuaian strategi pembelajaran dengan jenis pengetahuan; misalnya verbal, visual, konsep, prinsip, procedural, dan sikap;
c. Kesesuaian strategi pembelajaran dengan sasaran (siswa). Karakteristik siswa yang perlu diperhatikan, yaitu : 1) Kemampuan awal anak seperti kemampuan intelektual, kemampuan berfikir, dan kemampuan gerak; 2) Perbedaan kepribadian seperti sikap, perasaan, perhatian, minat, motivasi dan sebagainya; 3) Latar belakang dan status social kebudayaan
d. Kemampuan strategi pembelajaran untuk mengoptimalkan belajar siswa;
e. Karena strategi pembelajaran tertentu memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan, oleh sebab itu dalam pemilihan dan penggunaannya harus menyesesuaikan dengan pokok bahasan dalam mata pelajaran tertentu;
f. Biaya. Penggunaan strategi pembelajaran harus memperhitungkan aspek pembiayaan. Sia-sia bila penggunaan strategi menimbulkan pemborosan;
g. Waktu. Lama waktu yang diperlukan untuk melaksanakan strategi pembelajaran yang dipilih dan berapa lama waktu yang tersedia untuk menyajikan bahan pelajaran, dan sebagainya.
Dari uraian diatas, dapat diatrik benang merah dalam menentukan strategi pembelajaran harus memperhatikan kondisi dan situasi, tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, dan dilandasi prinsip efisiensi serta efektivitas dalam mencapai tujuan pembelajaran dan tingkat keterlibatan siswa
2.1.1.4 Pentingnya Strategi Guru
Djamrah (2018:45) mengemukakan pendapat bahwa apabila seorang guru mahir mengelola dengan bakat kreatif dan kemampuan mengajar murid-murid di semua jenjang, maka bisa jadi anda tidak mempunyai hambatan dalam melaksanakan seluruh kurikulum yang diisyaratkan bagi mata pelajaran atau kelas”. Ngalimun (2016:31) menyatakan bahwa efektifitas seorang pendidik (guru) dinilai dari sosok yang mampu menyelesaikan tugasnya dan kewajibannya secara profesional.
Guru bukan sekedar berperan sebagai pengajar akan tetapi seorang guru juga memiliki peran dalam membimbing, memimpin dan menjadi fasilitator dalam belajar. Pemikiran kreatif dan inovatif mestinya dimiliki oleh pendidik (guru) dimana hal ini sangatlah penting karena dengan begitu akan lebih mudah dalam menyusun strategi mengajar yang menarik dan menyenangkan bagi siswa, adanya strategi mengajar yang dilakukan pendidik dengan begitu dapat meningkatkan semangat, aktif dalam belajar, antusiasme, serta memiliki rasa ketertarikan siswa untuk selalu belajar.
2.1.2 Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) 2.1.2.1 Pengertian Model Pembelajaran
Model pembelajaran merupakan suatu pola atau suatu perencanaan yang dapat digunakan untuk pedoman dalam merencanakan pembelajaran di dalam kelas. Model pembelajaran mengrucut pada pendekatan pembelajaran yang akan digunakan termasuk didalam tujuan–tujuan pengajaran, tahap–tahap kegiatan pembelajaran, lingkungan pembelajaran dan pengelolaan kelas (Setianingsih, 2016:118).
Husdarta (2018:5), memberikan penjabaran bahwa model pembelajaran adalah suatu garis-garis suatu kegiatan yang digunakan sebagai penyusun rancangan. Model pembelajaran berisikan startegi belajar yang dipergunakan dalam jalannya proses pembelajaran untuk mencapai tujuan instruksional.
Definisi model pembelajaran menurut Mulyani Sumantri dalam Setianingsih (2016:118) yakni “model pembelajaran adalah kerangka konseptual
yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu, dan memiliki fungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan pengajar dalam merencakan dan melaksanakan aktivitas belajar mengajar”.
Berdasarkan beberapa pendapat ahli diatas, dapat ditarik benang merahnya bahwa model pembelajaran merupakan suatu gambaran yang disajikan oleh guru dalam memberikan pembelajaran ke siswa yang memiliki ciri khas tersendiri.
Selain itu model pembelajaran bisa diartikan kemasan dari suatu pendekatan, tenik pembelajaran dan metode pembelajaran. Didalam model pembelajaran berisikan strategi pembelajaran yang bertujuan menunjang jalannya proses pembelajaran agar tersusun sesuai perencaan yang sudah dirancang oleh guru.
2.1.2.2 Pengertian Contextual Teaching and Learning (CTL)
Pengajaran dan pembelajaran kontekstual ata yang biasa disebut dengan Contextual Teaching Learning (CTL), merupakan suatu konsepsi yang membantu guru dalam mengaitkan materi pembelajaran dengan pengalaman nyata siswa, dan membantu meningkatkan minat belajar siswa dalam membuat hubungan antara pengetahuan dan penerapannya dalam kehidupan mereka. Pembelajaran kontekstual bukan merupakan konsep baru. Menurut Al-Tabany (2017: 139), penerapan model pembelajaran kontekstual sudah diterapkan pada tahun 1916 di kelas-kelas Amerika oleh John Dewey. John Dewey dalam Al-Tabany (2017:
139), menyatakan bahwa pembelajaran kontekstual atau Contextual Teaching Learning (CTL), merupakan pembelajaran yang dikaitkan dengan minat dan pengalaman siswa.
Pembelajaran kontekstual terjadi apabila siswa menerapkan dan mengalami apa yang sedang diajarkan dengan mengacu pada masalah-masalah dunia nyata yang berhubungan dengan peran dan tanggung jawab mereka sebagai anggota keluarga, warga negara, dan siswa. Contextual Teaching Learning (CTL) menekankan pada berpikir tingkat lebih tinggi, transfer pengetahuan lintas disiplin, serta pengumpulan, penganalisisan dan penyintesisan informasi dan data
dari berbagai sumber dan pandangan. Selain itu, Al-Tabany (2017: 141), mengidentifikasi enam unsur kunci CTL sebagai berikut:
a. Pembelajaran bermakna: pemahaman, relevansi, dan penghargaan pribadi siswa bahwa ia berkepentingan terhadap konten yang harus dipelajari.
Pembelajaran dipersepsi sebagai relevan dengan hidup mereka.
b. Penerapan pengetahuan: kemampuan untuk melihat bagaimana apa yang dipelajari diterapkan dalam tatanan lain dan fungsi pada masa sekarang dan akan dating.
c. Berpikir tingkat lebih tinggi: siswa dilatih untuk menggunakan berpikir kritis dan kreatif dalam mengumpulkan data, memahami suatu isu, atau memecahkan suatu masalah.
d. Kurikulum yang dikembangkan berdasarkan standar: konten pengajaran berhubungan dengan suatu rentang dan beragam standar lokal, negara bagian, nasional, asosiasi, dan industri.
e. Responsif terhadap budaya: pendidik harus memahami dan menghormati nilai-nilai, keyakinan, dan kebiasaan siswa, sesama rekan pendidik dan masyarakat tempat mereka mendidik. Berbagai jenis budaya perorangan dan kelompok memengaruhi pembelajaran. Budaya ini, dan hubungan antar budaya ini, memengaruhi bagaimana pendidik mengajar. Paling tidak empat perspektif seharusnya dipertimbangkan: individu siswa, kelompok siswa (seperti tim atau keseluruhan kelas), tatanan sekolah, dan tatanan masyarakat yang lebih besar.
f. Penilaian autentik: penggunaan berbagai jenis strategi penilaian yang secara valid mencerminkan hasil belajar sesungguhnya yang diharapkan dari siswa.
Strategi ini dapat meliputi penilaian atas proyek dan kegiatan siswa, penggunaan portofolio, rubrik, ceklis dan panduan pengamatan disamping memberikan kesempatan kepada siswa ikut aktif berperan serta dalam menilai pembelajaran mereka sendiri dan penggunaan untuk memperbaiki keterampilan menulis mereka.
Pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan
situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran kontekstual, yakni: konstruktivisme (constructivism), bertanya (questioning), inkuiri (inquiry), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), dan penilaian autentik (authentic assessment).
Pendekatan ini mengasumsikan bahwa secara natural pikiran kita mencari makna konteks sesuai dengan situasi nyata lingkungan seseorang dan dapat terjadi melalui pencarian hubungan yang masuk akal atau bermanfaat. Pemaduan materi pelajaran dengan konteks keseharian siswa didalam pembelajaran kontekstual, akan menghasilkan dasar-dasar pengetahuan yang mendalam di mana siswa kaya akan pemahaman masalah dan cara untuk menyelesaikannya. Siswa mampu secara independent menggunakan pengetahuannya untuk menyelesaikan masalah- masalah baru atau bahkan belum pernah dihadapi, serta memiliki tanggung jawab yang lebih terhadap belajarnya seiring dengan peningkatan pangalaman dan pengetahuan mereka.
Pembelajaran kontekstual dapat dikatakan sebagai suatu pendekatan pembelajaran yang mengakui dan menunjukkan kondisi alamiah dari pengetahuan. Melalui hubungan di dalam dan di luar ruang kelas, suatu pendekatan pembelajaran kontekstual menjadikan pengalaman lebih relevan dan berarti bagi siswa dalam membangun pengetahuan yang akan mereka terapkan dalam pembelajaran seumur hidup. Pembelajaran kontekstual menyajikan suatu konsep yang mengaitkan materi pelajaran yang akan dipelajari siswa dengan konteks dimana materi itu digunakan, serta berhubungan dengan bagaimana seseorang belajar atau gaya/cara siswa belajar. Konteks memberikan arti relevansi dan manfaat penuh terhadap belajar.
Materi pelajaran akan tambah berarti jika siswa mempelajari materi pelajaran yang disajikan melalui konteks kehidupan mereka dan menemukan arti di dalam proses pembelajarannya, sehingga pembelajaran akan menjadi lebih berarti dan menyenangkan. Siswa akan bekerja keras untuk mencapai tujuan pembelajaran, mereka menggunakan pengalaman dan pengetahuan sebelumnya
untuk membangun pengetahuan baru. Dan selanjutnya siswa memanfaatkan kembali pemahaman pengetahuan dan kemampuannya itu dalam berbagai konteks di luar sekolah untuk menyelesaikan masalah dunia nyata yang kompleks, baik secara mandiri maupun dengan berbagai kombi nasi dan struktur kelompok.
Oleh karena itu, menggunakan pembelajaran kontekstual dapat menciptakan ruang kelas di mana siswa menjadi aktif bukan hanya pasif dan dapat bertanggung jawab untuk belajar. Penerapan pembelajaran kontekstual akan sangat membantu guru untuk menghubungkan materi pelajaran dengan situasi dunia nyata, dan memotivasi siswa untuk membentuk hubungan antara pengetahuan dan aplikasinya dengan kehidupan mereka sebagai anggota keluarga, warga negara, dan pekerja.
2.1.2.3 Strategi Pembelajaran Konstektual
Kurikulum dan instruksi yang berdasarkan strategi pembelajaran kontekstual haruslah dirancang untuk merangsang lima bentuk dasar dari pembalajaran. Menurut Al-Tabany (2017: 142-143), menjabarkan lima bentuk dasar dari pembalajaran yang dirancang berdasarkan pembelajaran kontekstual
a. Pertama, menghubungkan (relating). Relating adalah belajar dalam suatu konteks suatu pengalaman hidup yang nyata atau awal sebelum pengetahuan itu diperoleh siswa. Guru menggunakan relating ketika mereka mencoba menghubungkan konsep baru dengan sesuatu yang telah diketahui oleh siswa.
b. Kedua, mencoba (experiencing). Pada experiencing mungkin saja mereka tidak mempunyai pengalaman langsung berkenaan dengan konsep tersebut.
Akan tetapi pada bagian ini guru harus dapat memberikan kegiatan yang hands-on kepada siswa, sehingga dari kegiatan yang dilakukan siswa tersebut dapat membangun pengetahuannya.
c. Ketiga, mengaplikasi (applying). Strategi applying sebagai belajar dengan menerapkan konsep-konsep. Kenyataannya, siswa mengaplikasikan konsep- konsep ketika mereka berhubungan dengan aktivitas penyelesaian masalah yang hands-on dan proyek. Guru juga dapat memotivasi suatu kebutuhan
untuk memahami konsep dengan memberikan latihan yang realistik dan relevan.
d. Keempat, bekerja sama (cooperating). Bekerja sama belajar dalam konteks saling berbagi, merespons, dan berkomunikasi dengan pelajar lainnya adalah strategi instruksional yang utama dalam pengajaran kontekstual.
Pengalaman dalam bekerja sama tidak hanya menolong untuk mempelajari suatu bahan pelajaran, hal ini juga secara konsisten, berkaitan dengan penitikberatan pada kehidupan nyata dalam pengajaran kontekstual.
Pemberi kerja juga menyatakan bahwa pekerja yang dapat berkomunikasi secara efektif atau bebas berbagi komunikasi dan dapat bekerja dengan nyaman dalam satu tim, akan sangat dihargai di tempat kerja.
e. Kelima, proses transfer ilmu (transfering). Transfering adalah strategi mengajar yang kita definisikan seba gai menggunakan pengetahuan dalam suatu konteks baru atau situasi baru-suatu hal yang belum teratasi/diselesaikan dalam kelas.
Sementara National School-to-Work Opportunities Office dalam Al- Tabany (2017: 1423-144), merekomendasi implementasi CTL dengan mempertimbangkan be berapa hal, antara lain:
a. Kurikulum, proses pembelajaran, dan asesmen,
b. Hubungan dengan dunia kerja, komunitas organisasi, dan konteks terkait, c. Pengembangan bagi guru dan pengusaha,
d. Organisasi sekolah, e. Komunikasi,
f. Waktu untuk membuat rencana dan pengembangan.
Berdasarkan rekomendasi tersebut, maka pengembangan CTL harus berorientasi pada beberapa hal, yaitu: (1) berbasis program (2) menggunakan multipel konteks (3) menggambarkan keanekaragaman pelajar (4) mendukung pengaturan belajar mandiri (5) menggunakan grup belajar yang saling tergantung, dan (6) menggunakan asesmen yang autentik.
2.1.2.4 Elemen dan Karakter CTL
Setiap model pembelajaran pasti memiliki elemen dan karakter masing- masing dan tentunya berbeda dengan model pembelajaran lainnya. Sama halnya seperti model pembelajaran kontekstual atau Contextual Teaching Learning (CTL) yang memiliki elemen dan karakteristik tersendiri. Menurut Al-Tabany (2014: 145), CTL memiliki lima elemen belajar yang konstruktivistik, yaitu: (1) pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activating knowledge), (2)pemerolehan pengetahuan baru (acquiring knowledge), (3)pemahaman pengetahuan Gunderstanding knowledge), (4)mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman (applying knowledge) dan (5)melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan tersebut.
Selain elemen pokok, CTL juga memiliki karakteristik yang membedakan dengan model pembelajaran lainnya, antara lain (1)kerja sama, (2)saling menunjang (3)menyenangkan, tidak membosankan Joyfull, comfortable), (4) belajar dengan bergairah (5)pembelajaran terintegrasl, (6)memakai berbagai sumber dan (7) siswa aktif.
Selain itu pendapat lain dari Johnson dalam Nurhadi (2017 : 13), merumuskan 8 indikator karakteristik karakteristik dalam pembelajaran kontekstual, yaitu sebagai berikut :
a. Melakukan hubungan yang bermakna (making meaningfull connection).
Siswa dapat mengatur diri sendiri sebagai orang yang belajar secara aktif dalam mengembangkan minatnya secara individual, orang yang dapat bekerja sendiri atau bekerja dalam kelompok dan orang yang dapat belajar sambil berbuat (learning by doing).
b. Melakukan kegiatan-kegiatan yang signifikan (doing significant work). Siswa membuat hubungan-hubungan antara sekolah dan berbagai konteks yang ada dalam kehidupan nyata sebagai pelaku bisnis dan sebagai anggota masayarakat.
c. Belajar yang diatur sendiri (self-regulated learning). Siswa melakukan kegiatan yang signifikan: ada tujuannya, ada urusannya dengan orang lain,
ada hubungannya dengan penentuan pilihan, dan ada produknya atau hasilnya yang sifatnya nyata.
d. Bekerja sama (collaborating). Siswa dapat bekerja sama. Guru dan siswa bekerja secara efektif dalam kelompok, guru membantu siswa memahami bagaimana mereka saling mempengaruhi dan salingberkomunikasi.
e. Berpikir kritis dan kreatif (critical and creative thinking). Siswa dapat menggunakan tingkat berpikir yang lebih tinggi secara kritis dan kreatif:
dapat menganalisis, membuat sintesis, memecahkan masalah, membuat keputusan, dan menggunakan logika dan bukti-bukti.
f. Mengasuh atau memelihara pribadi siswa (nurturing the individual). Siswa memelihara pribadinya: mengetahui, memberi perhatian, memberi harapan- harapan yang tinggi, memotivasi dan memperkuat diri sendiri. Siswa tidak dapat berhasil tanpa dukungan orang dewasa.
g. Mencapai standar yang tinggi (reaching high standard). Siswa mengenal dan mencapai standar yang tinggi: mengidentifikasi tujuan dan memotivasi siswa untuk mencapainya. Guru memperlihatkan kepada siswa cara mencapai apa yang disebut “excellence”.
h. Menggunakan penilaian autentik (using authentic assessment). Siswa menggunakan pengetahuan akademis dalam konteks dunia nyata untuk suatu tujuan yang bermakna. Misalnya, siswa boleh menggambarkan informasi akademis yang telah mereka pelajari untuk dipublikasikan dalam kehidupan nyata.
2.1.2.4 Penerapan Model Pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL) di Kelas
Didalam jalannya proses pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran dalam mencapai tujuan pembelajaran, tentunya mempunyai komponen-komponen dalam pelaksaan jalannya penerapan model pembelajaran tersebut. Menurut Al-Tabany (2014: 145), pendekatan CTL memiliki tujuh komponen utama, yaitu konstrukivisme (constructivism), inkuiri (inquiry), bertanya (questioning), masyarakat belajar (learning community), pemodelan
(modeling), refleksi (reflection), penilaian sebenarnya (authentic assesment).
Depdiknas dalam Al-Tabany (2014: 145), menyatakan bahwa suatu kelas bisa dikatakan menggunakan pendekatan CTL jika menerapkan ketujuh prinsip tersebut dalam pembelajarannya. CTL dapat diterapkan dalam kurikulum apa saja, bidang studi apa saja, dan kelas yang bagaimanapun keadaannya.
Al-Tabany (2014: 145) menyatakan bahwa secara garis besar langkah- langkah penerapan CTL dalam kelas sebagai berikut:
a. Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya,
b. Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik, c. Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya,
d. Ciptakan masyarakat belajar (belajar dalam kelompok), e. Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran,
f. Lakukan refleksi di akhir pertemuan, dan
g. Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara.
Dari ketujuh langkah-langkah penerapan model kotekstual tersebut, Al- Tabany (2014: 146) juga menjabarkan tujuh komponen utama dalam model pembelajaran konekstual antara lain:
1) Konstruktivisme (Constructivism)
Salah satu landasan teoretik pendidikan modern termasuk CTL adalah teori pembelajaran konstruktivis. Pendekatan ini pada dasarnya.
menekankan pentingnya siswa membangun sendiri pengetahuan mereka lewat keterlibatan aktif proses belajar mengajar. Proses belajar mengajar lebih diwarnai student-centered dari pada teacher-centered. Sebagian besar waktu proses belajar mengajar berlangsung dengan berbasis pada aktivitas siswa. Inquiry-based learning dan problem based learning yang disebut sebagai strategi CTL yang diwarnai student-centered dan aktivitas siswa.
Problem-based learning tersebut juga sejalan dengan pengajaran top-down yang lebih ditekankan pada pendekatan konstruktivis. Di dalam pengajaran top-down, siswa mulai dengan suatu tugas yang kompleks dan autentik yang
diharapkan dapat dilakukan siswa. Akan tetapi tersebut merupakan tugas kompleks yang sebenarnya.
Ide-ide konstruktivis modern banyak berlandaskan pada teori Vygotsky yang telah digunakan untuk menunjang metode pengajaran yang menekankan pada pembelajaran kooperatif, pembelajaran berbasis kegiatan, dan penemuan. Salah satu prinsip kunci yang diturunkan dari teorinya yaitu penekanan pada hakikat sosial dari pembelajaran. la mengemukakan bahwa siswa belajar melalui interaksi dengan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu. Berdasarkan teori ini dikembangkanlah pembelajaran kooperatif, yaitu siswa lebih mudah menemukan dan memahami konsep yang sulit jika me reka saling mendiskusikan masalah tersebut dengan temannya. Hal ini sejalan dengan ide Blanchard dalam Al-Tabany (2014:
147) bahwa strategi CTL mendorong siswa belajar dari sesama teman dan belajar bersama.
Teori Vygotsky yang lain mengatakan, bahwa siswa belajar konsep paling baik apabila konsep itu berada dalam daerah perkembangan terdekat atau zone of proximal development siswa. Daerah perkembangan terdekat adalah tingkat perkembangan sedikit di atas tingkat perkembangan seseorang saat ini. Tingkat perkembangan seseorang saat ini tidak lain adalah tingkat pengetahuan awal atau pengetahuan prasyarat itu telah dikuasai, maka kemungkinan sekali akan terjadi pembelajaran bermakna.
Tetapi apabila pengetahuan pembelajaran hafalan yang membosankan dan tidak menumbuhkan motivasi siswa. apabila proses belajar mengajar ini terus-menerus berlangsung dari tahun ke tahun, maka kemungkinan besar banyak siswa yang tidak menyukai mata pelajaran fisika. Pembelajaran bermakna ini sama dengan salah satu indikator kualitas CTL University of Washington.
Constructivism (konstruktivisme) merupakan landasan berpikir (filosofi) pendekatan konstekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta, konsep, atau kaidah yang
siap untuk di ambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.
Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide. Guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan kepada siswa. Siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan dibenak mereka sendiri. Esensi dari teori konstruktivis adalah ide bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan apabila dikehendaki, informasi itu menjadi milik mereka sendiri. Dengan dasar itu, pembelajaran harus dikemas menjadi proses mengkonstruksi bukan menerima pengetahuan. Dalam proses pembelajaran, siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam sat kegiatan, bukan proses belajar dan mengajar. Siswa menjadi pusat kegiatan, bukan guru.
Landasan berpikir konstruktivisme agak berbeda dengan pandangan kaum objektivis, yang lebih menekankan pada hasil pembelajaran. Dalam pandangan konstruktivis, strategi memperoleh lebih diutamakan dibandingkan seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan. Untuk itu, tugas guru yaitu memfasilitasi proses tersebut dengan:
a. Menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa;
b. Memberi kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri, dan
c. Menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar.
Pengetahuan tumbuh berkembang melalui pengalaman. Pemahaman berkembang semakin dalam dan semakin kuat apabila selalu diuji dengan pengalaman baru. Menurut Piaget, manusia memiliki struktur pengetahuan dalam otaknya, seperti kotak-kotak yang masing-masing berisi informasi bermakna yang berbeda-beda. Pengalaman sama bagi beberapa orang akan dimaknai berbeda-beda oleh masing-masing in dividu dan disimpan dalam
kotak yang berbeda. Setiap pengalaman baru dihubungkan dengan kotak- kotak (struktur pengetahuan) dalam otak manusia tersebut. Struktur pengetahuan dikembangkan dalam otak manusia melalui dua cara, yaitu asimilasi atau akomodasi. Asimilasi maksudnya struktur pengetahuan baru dibuat atau dibangun atas dasar struktur pengetahuan yang sudah ada.
Akomodasi maksudnya struktur pengetahuan yang sudah ada dimodifikasi untuk menampung dan menyesuaikan dengan hadirnya pengalaman baru.
2) Inkuiri (Inquiry)
Inkuiri merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis kontekstual. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta, melainkan hasil dari menemukan sendiri. Guru harus selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan, apa pun materi yang diajarkannya. Siklus inkuiri terdiri dari:
a. Observasi (observation) b. Bertanya (questioning)
c. Mengajukan dugaan (hyphotesis) d. Pengumpulan data (data gathering) e. Penyimpulan (conclusion)
Langkah-langkah kegiatan inkuiri sebagai berikut:
a. Merumuskan masalah,
b. Mengamati atau melakukan observasi,
c. Menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel, dan karya lainnya,
d. Mengomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca.
teman sekelas, guru, atau audiens yang lain.
3) Bertanya (Questioning)
Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu bermula dari bertanya' Questioning (bertanya) merupakan strategi utama yang berbasis kontekstual.
Bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Bagi
siswa, kegiatan bertanya merupakan bagian penting dalam melaksanakan pembelajaran yang berbasis inquiry, yaitu menggali informasi, mengonfirmasikan apa yang sudah diketahui, dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya.
Dalam suatu pembelajaran yang produktif, kegiatan bertanya berguna untuk:
a. Menggali informasi, baik administrasi maupun akademis, b. Mengecek pemahaman siswa,
c. Membangkitkan respons kepada siswa, d. Mengetahui sejauhmana keingintahuan siswa, e. Mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa,
f. Memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru, g. Membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa,
h. Menyegarkan kembali pengetahuan siswa.
Hampir pada semua aktivitas belajar dapat menerapkan questioning (bertanya): antara siswa dan siswa, antara guru dan siswa, antara siswa dan orang lain yang didatangkan ke kelas, dan sebagainya. Aktivitas bertanya juga ditemukan ketika siswa berdiskusi, bekerja dalam kelompok, ketika menemui kesulitan, ketika mengamati, dan sebagainya. Kegiatan itu akan menumbuhkan dorongan untuk 'bertanya".
4) Masyarakat Belajar (Learning Community)
Konsep learning community menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerja sama dengan orang lain. Ketika seorang anak. baru belajar menimbang massa benda dengan menggunakan neraca Ohaus, ia bertanya kepada temannya. Kemudian temannya yang sudah bisa menunjukkan cara menggunakan alat itu. Maka dua orang anak itu sudah membentuk masyarakat belajar (learning community).
Hasil belajar yang diperoleh dari sharing antarteman, antarkelompok, dan antara yang tahu ke yang belum tahu. Di ruang ini, di kelas. ini, disekitar sini, juga orang-orang yang ada di luar sana, semua adalah anggota masyarakat belajar.
Dalam kelas CTL, guru disarankan selalu melaksanakan pembelajaran dalam kelompok belajar Siswa dibagi dalam kelompok yang anggotanya heterogen, yang pandai mengajari yang lemah, yang tahu memberitahu yang belum tahu, yang cepat menangkap mendorong temannya yang lambat, yang mempunyai gagasan segera memberi usul, dan seterusnya. Kelompok siswa bisa sangat bervariasi bentuknya, baik keanggotaan, jumlah, bahkan bisa melibatkan siswa di kelas atasnya, atau guru melakukan kolaborasi dengan mendatangkan seorang ahli ke kelas.
Masyarakat belajar bisa terjadi apabila ada proses komunikasi dua arah.
Seorang guru yang mengajari siswanya bukan contoh masyarakat belajar, karena komunikasi hanya terjadi satu arah, yaitu informasi hanya datang dari guru ke arah siswa, tidak ada arus informasi yang perlu dipelajari guru yang datang dari arah siswa. Dalam contoh ini yang belajar hanya siswa, bukan guru. Dalam masyarakat belajar, dua kelompok (atau lebih) yang terlibat dalam komunikasi pembelajaran saling belajar satu sama lain.
Seseorang yang terlibat dalam kegiatan masyarakat belajar memberi informasi yang diperlukan oleh teman bicaranya dan sekaligus juga meminta informasi yang diperlukan dari teman belajarnya.
Kegiatan saling belajar ini bisa terjadi apabila tidak ada pihak yang dominan dalam komunikasi, tidak ada pihak yang merasa segan untuk bertanya, tidak ada pihak yang menganggap paling tahu, semua pihak mau saling mendengarkan. Setiap pihak harus merasa bahwa setiap orang lain memiliki pengetahuan, pengalaman, atau keterampilan yang berbeda yang perlu dipelajari. Kalau setiap orang mau belajar dari orang lain, maka setiap orang lain bisa menjadi sumber belajar, dan ini berarti setiap orang akan sangat kaya dengan pengetahuan dan pengalaman. Metode pembelajaran dengan teknik learning community ini sangat membantu proses pembelajaran di kelas.
5) Pemodelan (Modeling)
Dalam suatu pembelajaran keterampilan atau pengetahuan tertentu, ada model yang bisa ditiru oleh siswanya, misalnya guru memodelkan langkah-
langkah cara menggunakan neraca Ohaus dengan demonstrasi sebelum siswanya melakukan suatu tugas tertentu.
Dalam pembelajaran kontekstual, guru bukan satu-satunya model.
Pemodelan dapat dirancang dengan melibatkan siswa. Seseorang bisi ditunjuk untuk memodelkan sesuatu berdasarkan pengalaman yang diketahuinya. Model dapat juga didatangkan dari luar yang ahli di bidangnya, misalnya mendatangkan seorang perawat untuk memodelkan cara menggunakan termometer untuk mengukur suhu tubuh pasiennya.
6) Refleksi (Reflection)
Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah kita lakukan di masa yang lalu. Siswa mengendapkan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru, yang merupakan pengayaan atau re visi dari pengetahuan sebelumnya. Refleksi merupakan respons terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru diterima.
Pengetahuan yang bermakna diperoleh dari proses. Pengetahuan dimiliki siswa diperluas melalui konteks pembelajaran, yang kemudian diperluas sedikit demi sedikit. Guru membantu siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dan pengetahuan pengetahuan yang baru. Dengan begitu, siswa merasa memperoleh sesuatu yang berguna bagi dirinya tentang apa yang baru di pelajarinya.
Kunci dari semua itu yakni bagaimana pengetahuan itu mengendap di benak siswa. Siswa mencatat apa yang sudah dipelajari dan bagaimana merasakan ide-ide baru. Pada akhir pembelajaran, guru menyisakan waktu sejenak agar siswa melakukan refleksi. Realisasinya berupa:
a. Pernyataan langsung tentang apa-apa yang diperolehnya hari itu, b. Catatan atau jurnal di buku siswa,
c. Kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran hari itu, d. Diskusi,
e. Hasil karya.
7) Penilaian Autentik (Authentic Assesment)
Assessment adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui oleh guru agar dapat memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran dengan benar.
Apabila data yang dikumpulkan guru mengidentifikasikan bahwa siswa mengalami kemacetan dalam belajar, maka guru segera bisa mengambil tindakan yang tepat agar siswa terbebas dari kemacetan belajar. Karena gambaran tentang kemajuan belajar itu diperlukan di sepanjang proses pembelajaran, maka asesmen tidak dilakukan di akhir periode pembelajaran seperti pada kegiatan evaluasi hasil bela jar, tetapi dilakukan bersama-sama secara terintegrasi (tidak terpisah kan) dari kegiatan pembelajaran.
Data yang dikumpulkan melalui kegiatan penilaian (assesment) bukanlah untuk mencari informasi tentang belajar siswa. Pembelajaran yang benar memang seharusnya ditekankan pada upaya mem bantu siswa agar mampu mempelajari (learning how to learn), bukan ditekankan pada diperolehnya sebanyak mungkin informasi di akhir periode pembelajaran.
Karena asesment menekankan proses pembelajaran, maka data yang dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata yang diker jakan siswa pada saat melakukan proses pembelajaran. Guru yang ingin mengetahui perkembangan belajar fisika bagi para siswanya ha rus mengumpulkan data dari kegiatan nyata di kehidupan sehari-hari nya yang berkaitan dengan fisika, tidak hanya saat siswa mengerjakan tes fisika. Pengumpulan data yang demikian merupakan data autentik. Penilaian autentik menilai pengetahuan dan keterampilan (perfor mance) yang diperoleh siswa. Penilai tidak hanya guru, tetapi bisa juga teman lain atau orang lain. Karakteristik penilaian autentik:
a. Dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung, b. Bisa digunakan untuk formatif maupun sumatif,
c. Yang diukur keterampilan dan performansi, bukan mengingat fakta, d. Berkesinambungan,
e. Terintegrasi,
f. Dapat digunakan sebagal feedback.
Dalam CTI hal-hal yang bisa digunakan sebagai dasar menilai prestasi siswa, antara lain (1) proyek/kegiatan dan laporannya (2) pekerjaan rumah (3) kuis (4) karya siswa (5) presentasi atau pe nampilan siswa (6) demonstrasi (7) laporan (8) jurnal (9) hasil tes tulis dan (10) karya tulis.
2.1.2.5 Dasar Teori Model Pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL)
Prinsip saling ketergantungan, deferensiasi, dan pangaturan diri mejadi sebuah tumpuan dari pandangan ilmu pengetahuan bahwa alam semesta itu hidup, tidak diam yang telah disetujui oleh para pendidik dalam menerapkan pandangan dan cara berpikir baru mengenai pembelajaran dan pengajaran.
Menurut Jhonson dalam Sukarto (2019: 53) tiga pilar dalam sistem Contextual Teaching Learning (CTL), yaitu:
a. Contextual Teaching Learning (CTL) mencerminkan prinsip saling kebergantungan. Kesaling bergantungan mewujudkan diri, misalnya ketika para siswa bergabung untuk memecahkan masalah dan ketika para guru mengadakan pertemuan dengan rekannya. Hal ini tampak jelas ketika subjek yang saling bersebrangan dihubungkan, maka akan teripta sebuah keselarasan dalam mencapai suatu tujuan.
b. Contextual Teaching Learning (CTL) mencerminkan prinsip diferensiasi.
Diferensiasi menjadi nyata ketika CTL menantang para siswa untuk saling menghormati keunikan masing-masing, untuk menghormati perbedaan- perbedaan, untuk menjadi kreatif, untuk bekerja sama, untuk menghasilkan gagasan dan hasil baru yang berbeda, dan untuk menyadari bahwa keragaman adalah tanda kemantapan dan kekuatan.
c. Contextual Teaching Learning (CTL) mencerminkan prinsip pengorganisasian diri. Pengorganisasian diri terlihat ketika para siswa mencari dan menemukan kemampuan dan inat mereka sendiri yang berbeda, mendapat manfaat dari umpan balik yang diberikan oleh penilaian autentik, mengulas usaha-usaha mereka dalam tuntunan tujuan yang jelas dan standar
yang tinggi, dan berperan serta dalam kegiatankegiatan yang berpusat pada siswa yang membuat hati mereka bernyanyi.
Landasan..filosofi Contextual..Teaching Learning (CTL) ..adalah konstruktivisme, yaitu..filosofi belajar yang..menekankan bahwa..belajar tidak hanya..sekedar..menghafal. Siswa harus..mengkonstruksi..pengetahuan..di..benak mereka..sendiri. Pengetahuan..tidak..dapat dipisah-pisahkan menjadi..fakta-fakta atau proposisi..yang terpisah, tetapi mencerminkan..keterampilan..yang dapat diterapkan. ”Konstruktivisme..berakar pada filsafat..pragmatisme yang..digagas oleh Jhon..Dewey pada awal..abad ke 20, yaitu sebuah..filosofi belajar..yang menekankan..pada..pengembangan..minat dan pengalaman..siswa” (Ngalimun, 2018:160).
Jean Piaget..dalam Anonim (2010:2) berpendapat bahwa..sejak kecil..setiap anak sudah..memiliki..struktur kognitif yang kemudian dinamakan “skema”.
Skema terbentuk karena pengalaman, dan..proses penyempurnaan..skema itu dinamakan..asimilasi dan..semakin besar..pertumbuhan anak..maka skema..akan semakin..sempurna yang..kemudian disebut..dengan proses..akomodasi. Pendapat Piaget..tentang bagaimana..sebenarnya..pengetahuan itu terbentuk..dalam..struktur kognitif..anak, sangat..berpengaruh..terhadap beberapa..model..pembelajaran, diantaranya model..pembelajaran kontekstual. Menurut..pembelajaran kontekstual, pengetahuan itu akan bermakna manakala..ditemukan dan..dibangun sendiri..oleh siswa.
Pendapat Piaget..tentang bagaimana sebenarnya..pengetahuan itu..terbentuk dalam..struktur..kognitif anak, sangat..berpengaruh..terhadap..beberapa..model pembelajaran, ..diantaranya..model pembelajaran..kontekstual. ..Menurut pembelajaran..kontekstual, pengetahuan itu..akan bermakna..manakala..ditemukan dan..dibangun sendiri..oleh siswa.
Dengan Contextual Teaching Learning (CTL)..proses pembelajaran diharapkan..berlangsung alamiah..dalam bentuk..kegiatan..siswa..untuk..bekerja dan mengalami, bukan..transfer pengetahuan..dari guru..ke..siswa. Strategi pembelajaran..lebih dipentingkan..dari pada..hasil. Dalam..konteks itu..siswa perlu mengerti..apa makna..belajar, apa..manfaatnya, mereka..dalam status..apa dan
bagaimana..cara..mencapainya. Mereka..akan menyadari..bahwa yang..mereka pelajari..berguna..bagi hidupnya. Dengan demikian..mereka mempelajari sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya dan berupaya menggapainya. Dalam upaya itu, mereka memerlukan guru sebagai pengarah dan pembimbing. Untuk menciptakan kondisi tersebut strategi belajar yang tidak mengharuskan siswa menghafal fakta- fakta, tetapi sebuah strategi yang mendorong siswa mengkontruksi pengetahuan dibenak mereka sendiri. Melalui strategi Contextual Teaching Learning (CTL) siswa diharapkan meningkatkan minat belajar.
2.1.2.6 Perbedaan Pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL) dengan Pembelajaran Konvesional
Berikut ini perbedaan pembelajaran kontekstual dengan pembelajaran konvensional yang dikemukakan oleh Hasibuan (2015: 20) :
Tabel 2.1 Perbedaan Model pembelajaran CTL dengan Model Pembelajaran Konvesional
No. Pembelajaran Kontekstual Pembelajaran Konvesional 1. Pembelajaran lebih condong ke
pemahaman makna
Pembelajaran lebih condong pada hafalan
2. Memilih materi pembelajaran berdasarkan kebutuhan siswa
Memilih materi pembelajaran berdasarkan keinginan guru 3. Dalam jalannya proses pembelajaran
siswa ikut berkontribusi secara aktif
Dalam jalannya proses pembelajaran siswaterlihat pasif menerima materi
4. Adanya keterkaitan materi pembelajaran yang diberikan dengan kehidupan nyata siswa
Materi yang diberikan saaat proses pembelajaran bersifat teoritis
5. Dalam pembelajaran selalu mengaitkan materi dengan pengetahuan siswa
Dalam pembelajaran memberikan banyak materi terhadap siswa
6. Cenderung mengintegrasikan beberapa bidang
Terfokus hanya satu bidang
No. Pembelajaran Kontekstual Pembelajaran Konvesional 7 Waktu belajar siswa dihabiskan
dengan belajar (menemukan- menggali-berdiskusi-dan berfikir kritis)
Waktu belajar siswadihabiskan mengerjakan tugas di buku
8 Perilaku dibangun atas kesadaran dan ketrampilan dikembangkan atas dasar pemahaman
Ketrampilan dikembangkan atas dasar pelatihan
Akhmad Sudrajad (2008:5) mengemukakan empat belas perbedaan antara model pembelajaran CTL dengan model pembelajaran konvensional, yaitu:
Tabel 2.2 Perbedaan Model Pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL) dengan Model Pembelajaran Konvensional
No. Model Pembelajaran CTL Model Pembelajaran Konvesional 1. Menyandarkan pada pemahaman
makna
Menyandarkan pada hafalan
2. Pemilihan informasi berdasarkan kebutuhan siswa
Pemilihan informasi lebih banyak ditentukan oleh guru
3. Siswa terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran
Siswa secara pasif menerima informasi, khususnya dari guru 4. Pembelajaran dikaitkan dengan
kehidupan nyata/masalah yang disimulasikan
Pembelajaran sangat abstrak dan teoritis, tidak bersandar pada realitas kehidupan
5. Selalu mengkaitkan informasi dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa
Memberikan tumpukan informasi kepada siswa sampai saatnya diperlukan
6. Cenderung mengintegrasikan beberapa bidang
Cenderung terfokus pada satu bidang (disiplin) tertentu 7. Siswa menggunakan waktu
belajarnya untuk menemukan, menggali, berdiskusi, berpikir kritis, atau mengerjakan proyek
Waktu belajar siswa sebagian besar dipergunakan untuk mengerjakan buku tugas, mendengar ceramah, dan mengisi latihan (kerja