• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFEKTIVITAS PROGRAM PELATIHAN KETERAMPILAN DALAM UPAYA MENCAPAI KEMANDIRIAN ANAK TUNAGRAHITA DI SLB-C AL-AZHAR MEDAN SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "EFEKTIVITAS PROGRAM PELATIHAN KETERAMPILAN DALAM UPAYA MENCAPAI KEMANDIRIAN ANAK TUNAGRAHITA DI SLB-C AL-AZHAR MEDAN SKRIPSI"

Copied!
123
0
0

Teks penuh

(1)

AL-AZHAR MEDAN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sosial

Universitas Sumatera Utara

Oleh:

Tiara Ayudana Olivia 150902058

DEPARTEMEN KESEJAHTERAAN SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(2)

AL-AZHAR MEDAN Tiara Ayudana Olivia

150902058

ABSTRAK

Anak Tunagrahita adalah anak yang memiliki tingkat kecerdasan yang sedemikian rendahnya (di bawah normal) sehingga untuk meniti tugas perkembangannya memerlukan bantuan atau layanan secara spesifik, termasuk dalam program pendidikannya. Program pelatihan keterampilan dalam upaya mencapai kemandirian anak tunagrahita di SLB-C Al-Azhar Medan adalah suatu usaha yang dilakukan secara terencana dan sistematis untuk menjadikan siswa tunagrahita terampil, memiliki keahlian sesuai bakat dan potensi yang dimilikinya sehingga mampu percaya diri dan menyuarakan pendapatnya serta bertanggung jawab, mandiri, dan tidak bergantung dengan orang lain. Program keterampilan yang diberikan oleh sekolah luar biasa berupa keterampilan tata boga, tata rias, dan merangkai bunga. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas program pelatihan keterampilan yang sudah dijalankan tepat sasaran, tepat waktu dan adanya perubahan nyata yang dilakukan dalam upaya mencapai kemandirian anak tunagrahita di SLB-C Al-Azhar Medan. Metode yang dilakukan dalam penelitan ini adalah metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif.

Informan dalam penelitian ini berjumlah 6 orang. Informan terdiri dari empat orang informan utama, satu informan kunci, dan satu informan tambahan. Teknik pengumpulan data menggunakan studi pustaka, wawancara, dan observasi. Data yang didapat di lapangan kemudian dianalisis oleh peneliti dan dijelaskan secara kualitatif. Hingga akhirnya dapat ditarik kesimpulan dari hasil penelitian tersebut.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa program pelatihan keterampilan yang ada di SLB-C Al-Azhar Medan hasilnya efektif dan siswa tunagrahita sudah mempunyai keterampilan dan mengalami perubahan dalam hal kemandirian yaitu sudah mampu percaya diri, bertanggung jawab, mengendalikan emosi dan menentukan pilihannya sendiri.

Kata Kunci : Efektivitas, Anak Tunagrahita, Program Pelatihan Keterampilan, Kemandirian

(3)

SLB-C AL-AZHAR MEDAN

Tiara Ayudana Olivia 150902058

ABSTRACT

Children with mental retardation are children who have such a low level of intelligence (below normal) that to pursue their developmental tasks requires specific assistance or services, including in their educational programs. Skills training program in an effort to achieve the independence of mentally retarded children at SLB-C Al-Azhar Medan is a planned and systematic effort to make skilled mentally retarded students have the skills according to their talents and potential so they are able to be confident and voice their opinions and be responsible , independent, and not dependent on others. The skills program provided by the special school is in the form of cooking, makeup and flower arrangement skills. This study aims to determine the effectiveness of skills training programs that have been carried out on target, on time and the real changes made in an effort to achieve the independence of mentally retarded children in Al-Azhar SLB-C Medan. The method used in this research is descriptive research method with a qualitative approach. The informants in this study were 6 people. The informant consisted of four main informants, one key informant, and one additional informant. The technique of collecting data uses literature studies, interviews, and observations. Data obtained in the field were then analyzed by the researcher and explained qualitatively. Until finally conclusions can be drawn from the results of these studies. The results of this study indicate that the skills training program at SLB-C Al-Azhar Medan is effective and mentally retarded students already have the skills and experience changes in terms of independence, they are able to believe in themselves, be responsible, control their emotions and make their own choices.

Keywords: Effectiveness, Mentally Retarded Children, Skills Training Program, Independence

(4)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahhi rabbil „alamin, puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Penulisan skripsi ini dilaksanakan guna memenuhi tugas akhir dan mendapatkan gelar sarjana sosial. Skripsi berjudul “Efektivitas Program Pelatihan Keterampilan Dalam Upaya Mencapai Kemandirian Anak Tunagrahita di SLB-C Al-Azhar Medan”. Selama proses penulisan, penulis banyak mendapatkan bantuan dan dukungan baik moril dan materil dari berbagai pihak. Untuk iu penulis ingin mengucapkan terimkasih atas segala bimbingan, masukan dan motivasi yang diberikan untuk memacu penyelesaian skripsi ini, kepada:

1. Kepada Allah SWT yang telah memberikan kesehatan dan Qalbu yang baik sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan baik.

2. Teristimewa kepada kedua orangtuaku. Terima kasih banyak untuk semua dukungan, didikan, cinta, materiil, moral serta doa yang tulus yang tidak pernah berhenti. Sehat selalu ya ayah mamak dan selalu dibawah lindungan Allah Subhana Wata‟ala.

3. Kepada adikku tersayang Citra yang selalu memberikan dukungan dan semangat kepada penulis, jangan bandel-bandel ya, jadi anak dan adik yang baik, semoga cita-citamu terwujud dan selalu dibawah lindungan Allah SWT.

4. Kepada Bapak Prof DR Runtung Sitepu, SH.Mhum selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

(5)

dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

6. Kepada Agus Suriadi, S.Sos, M.Si, selaku ketua Departemen Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

7. Kepada kakak Mia Aulina Lubis, S.Sos, M.Kesos selaku Dosen Pembimbing saya yang selalu sabar memberikan bimbingan kepada saya, dan selalu memberikan waktunya, yang sangat teliti dan memberikan masukan dengan baik sehingga skripsi saya menjadi suatu penelitian yang baik.

8. Kepada kakak Malida Putri, S.Sos, M.Kesos selaku Dosen Penguji saya yang selalu teliti memberikan masukan pada skripsi saya sehingga menjadi suatu penelitian yang baik.

9. Kepada seluruh Dosen dan Pegawai Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu selama perkuliahan dan membantu adminitrasi penulis.

10. Kepada Bapak Drs. Mustain Tanjung selaku Kepala Sekolah SLB Al- Azhar Medan yang sudah bersedia memberikan waktu dan informasinya.

11. Kepada orangtua dari siswa tunagrahita di SLB Al-Azhar Medan dan guru pembimbing. Terima kasih atas kesediaannya meluangkan waktu untuk membantu memberikan informasi dan menjadi subjek penelitian.

12. Kepada Teman-teman Kesejahteraan Sosial stambuk 2015 VIVA KESSOS....! VIVA....!

(6)

yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu terima kasih atas dukungan, kasih sayang kalian, motivasi, kalian teman-teman yang penuh dengan berbagai karakter yang selalu membuat tersenyum, semoga kita sukses, selalu jadi teman yang baik dan selalu ada, dan semoga kita selalu dibawah lindungan Allah SWT, Aamiin. Sayang kalian.

14. Kepada keluarga besar saya yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu yang selalu memberikan kasih sayang, masukan, semangat, dukungan.

Terima kasih banyak untuk kalian.

15. Seluruh pihak yang berkontribusi membantu penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

Peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Saran dan kritik yang bersifat konstruktif sangat diharapkan peneliti untuk perbaikan skripsi ini. Akhir kata peneliti ucapkan semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat.

Peneliti

Tiara Ayudana Olivia

(150902058)

(7)

JUDUL PENELITIAN /SAMPUL LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI

ABSTRAK ... i

ABSTRACK... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 7

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

1.3.1 Tujuan Penelitian ... 7

1.3.2 Manfaat Penelitian ... 8

1.4 Sistematika Penulisan ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1 LandasanTeoritis ... 11

2.1.1 Efektivitas ... 11

2.1.1.1 Pengertian Efektivitas ... 11

2.1.1.2 Indikator Efektivitas ... 12

2.1.2 Program ... 17

2.1.2.1 Pengertian Program... 17

2.1.3 Pelatihan Keterampilan ... 18

2.1.4 Program Keterampilan SLB-C Al-Azhar Medan ... 19

2.1.5 Kemandirian ... 20

2.1.5.1 Pengertian Kemandirian ... 20

2.1.5.2 Ciri-Ciri Kemandirian ... 22

2.1.5.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kemandirian ... 23

2.1.5.4 Upaya Mencapai Kemandirian Anak Tunagrahita ... 26

2.1.6 Anak Tunagrahita ... 28

2.1.6.1 Pengertian Anak ... 28

2.1.6.2 Pengertian Tunagrahita ... 30

2.1.6.3 Faktor Penyebab Tunagrahita ... 34

2.1.7 SLB-C ... 36

2.1.7.1 Pengertian SLB ... 36

2.1.7.2 Tujuan Dan Fungsi SLB ... 37

2.1.7.3 Pengertian SLB-C ... 38

2.2 Penelitian Yang Relevan ... 38

2.3 Kerangka Pemikiran ... 40

2.3.1 Bagan Alur Pikir ... 43

2.4 Defenisi Konsep ... 44

BAB III METODE PENELITIAN ... 46

3.1 Jenis Penelitian ... 46

3.2 Lokasi Penelitian ... 46

3.3 Informan Penelitian ... 47

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 48

3.5 Teknik Analisis Data ... 49

(8)

A. Temuan Umum ... 51

4.1 Letak Geografis Lokasi Penelitian ... 51

4.2 Sejarah Perkembangan Lokasi Penelitian ... 51

4.3 Profil Lokasi Penelitian ... 54

4.4 Visi Misi dan Tujuan Lokasi Penelitian ... 56

4.5 Struktur Organisasi / Lembaga Lokasi Penelitian ... 57

4.6 Kondisi Umum Tentang Klien... 57

4.7 Kondisi Umum Tentang Petugas ... 58

4.8 Keadaan Sarana dan Prasarana Lokasi Penelitian ... 58

BAB V HASIL PENELITIAN ... 61

5.1 Deskripsi Data Hasil Penelitian ... 62

5.2 Observasi ... 92

5.3 Pembahasan Hasil Penelitian ... 95

5.3.1 Kemandirian Anak Tunagrahita ... 95

5.3.2 Efektivitas Program ... 99

5.4 Keterbatasan Penelitian ... 104

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 106

6.1 Kesimpulan ... 106

6.2 Saran... 109

DAFTAR PUSTAKA ... 111

LAMPIRAN ... 113

DAFTAR TABEL Tabel 3.1 Profil Lokasi Penelitian ... 54

Tabel 3.2 Data Jenis Ketunaan Berdasarkan Jumlah Siswa ... 55

Tabel 3.3 Data Siswa Berdasarkan Ketunaan ... 55

Tabel 3.4 Kondisi Umum Tentang Petugas ... 58

Tabel 3.5 Sarana dan Prasarana ... 59

Tabel 4.1 Hasil Rekapitulasi Kemandirian Anak Tunagrahita ... 99

Tabel 4.1 Hasil Rekapitulasi Efektivitas Program Keterampilan ... 104

DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran ... 43

Gambar 4.1 Struktur Organisasi/Lembaga Lokasi Penelitian ... 60

(9)

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Manusia diciptakan Tuhan pada dasarnya sama, yang membedakan hanyalah amal perbuatan dan kesehariannya. Walaupun sebenarnya banyak manusia yang tidak terlahir secara sempurna, baik itu fisik maupun non fisik. Beberapa manusia yang terlahir tidak sempurna tersebut adalah orang-orang yang mempunyai kemampuan yang berbeda daripada manusia pada umumnya. Mereka biasanya disebut dengan diefabel atau disabilitas. Mereka mempunyai kemampuan tersendiri yang berbeda pada manusia yang terlahir sempurna secara fisik.

Menurut data dari Kementerian Sosial RI, pada tahun 2011, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 3,11%, atau sebesar 6,7 juta jiwa.

Sedangkan menurut Kementerian Kesehatan RI, jumlah penyandang disabilitas lebih besar, yaitu 6% dari total populasi penduduk Indonesia. Akan tetapi, bila mengacu pada standar Organisasi Kesehatan Dunia PBB (WHO) yang lebih ketat, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 10 juta jiwa, sementara rata-rata jumlah penyandang disabilitas di Negara berkembang sebesar 10% dari total populasi penduduk. Menurut data terbaru (Juli 2012), jumlah penyandang disabilitas di Indonesia tercatat sebanyak 1.749.981 jiwa tunanetra, 602.784 jiwa tunarungu, 1.652.741 jiwa tunadaksa, 777.761 jiwa tunagrahita (Direktorat jenderal Rehabilitasi sosial, 2016).

Anak disabilitas adalah mereka yang memiliki hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangannya sehingga, kebutuhan anak-anak disabilitas masih banyak yang

(10)

terabaikan selama bertahun-tahun hingga saat ini. Tanggapan dari sebagian besar masyarakat terhadap anak disabilitas juga semakin membuat persoalan yang dihadapi oleh mereka menjadi semakin bertumpuk-tumpuk. Sering kita temui, justru anak- anak dengan disabilitas itu malah „terbuang‟, dicampakkan dari lingkungan dan dianggap sebagai suatu hal yang merepotkan. Yang lebih menyedihkan lagi, keluarga dalam hal ini, yang seharusnya menjadi pelindung justru kerap menimpakan beban berlipat pada anak-anak penyandang disabilitas.

Seperti yang terjadi pada Priskilla Smith Jully (37) atau yang akrab disapa Priska. Ia adalah contoh anak penyandang disabilitas yang tidak di inginkan oleh keluarganya. Keluarganya adalah orang berada dan mereka merasa malu memiliki seorang putri yang tidak bisa melihat atau tunanetra. Merasa tertekan dengan kehidupan di rumahnya, Priska memutuskan hidup sendiri di Medan sejak kelas 3 SD. Ia hidup dengan bekerja di ladang orang sepulang sekolah. Kemudian Ia pun putus sekolah saat kelas 5 SD (Detik News, 2015). Di satu sisi, anak-anak penyandang disabilitas berupaya memenuhi kebutuhannya, sedangkan lingkungan sering tidak dapat memberikan peluang bagi mereka untuk dapat tumbuh serta berkembang sesuai dengan kondisinya itu, maka tidak banyak dari mereka yang mencapai perkembangannya dengan optimal.

Salah satu jenis penyandang disabilitas adalah tunagrahita. Anak tunagrahita memiliki kapasitas belajar yang sangat terbatas, terlebih kapasitasnya mengenai hal abstrak, penanganan yang perlu diberikan kepada anak tuna grahita ini adalah lebih fokus kepada life skill dan kemampuan merawat diri. Maka sebagian besar, muatan pendidikan kepada anak tuna grahita difokuskan pada kedua hal tersebut. Karena

(11)

anak tuna grahita adalah mereka yang memiliki tingkat kecerdasan yang sedemikian rendahnya (di bawah normal) sehingga untuk meniti tugas perkembangannya memerlukan bantuan atau layanan secara spesifik, termasuk dalam program pendidikannya (Atmaja, 2018:98).

Banyak contoh-contoh keberhasilan seorang tuna grahita. Salah satu diantaranya, Arman (20) yang telah sukses menorehkan prestasi di kancah nasional dengan mendapatkan dua buah medali pada ajang kejuaraan renang. Dikutip dari laman kompasiana.com, proses yang dilalui Arman merupakan proses yang luar biasa dan bukanlah sebuah proses „instant‟. Untuk membuktikan bahwa kemampuan mental yang dimilikinya bukanlah penghalang bagi dirinya untuk berprestasi di bidang olahraga renang. Ia perlu berlatih setiap hari di sebuah klub renang di Kota Solo. Sepulang sekolah ia selalu menyempatkan waktu untuk berlatih walau memang ada rasa lelah yang dirasakannya karena setiap hari ia harus mengasah skill berenangnya agar mampu memenangkan kejuaraan lomba renang dan membuktikan kepada dunia bahwa kondisi diri bukanlah penghambat bagi dirinya untuk terus mengukir prestasi. Selain itu, seperti pada tahun 2015 lalu, ia juga terpilih menjadi salah satu atlet Indonesia untuk kejuaraan di Asean Para Games Singapura.

Sayangnya, pada saat itu usai sampai di Singapura, Arman dinyatakan tidak dapat mengikuti lomba lantaran terganjal persyaratan kesehatan (Kompasiana, 2016).

Penyandang disabilitas perlu mendapatkan perhatian yang memadai dari pemerintah dan masyarakat agar mereka tidak selamanya terbelenggu dengan kecacatannya, dan tetap mandiri dengan segala keterbatasannya. Langkah yang paling dianggap efektif ialah dengan memberikan pendidikan dan pelatihan keterampilan

(12)

yang memadai bagi mereka sehingga mereka dapat dan melayani dirinya sendiri dan tidak tergantung pada orang lain, baik secara ekonomi maupun sosial. Mereka juga perlu mendapatkan pembinaan yang lebih, baik dari pemerintah, masyarakat, maupun keluarga untuk meningkatkan kepercayaan diri.

Semua warga masyarakat memiliki hak yang sama dalam memperoleh dan mendapatkan pendidikan serta pengajaran yang layak untuk meningkatkan taraf hidupnya, baik yang mempunyai kesempurnaan tubuh dan intelektual maupun yang mempunyai keterbatasan. Bagi warga masyarakat yang memiliki keterbatasan dan keterbelakangan tertentu memerlukan suatu penanganan khusus dengan menyediakan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus seperti tunanetra, tunarungu, tunadaksa, dan tunagrahita. Undang-undang Nomor 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas menegaskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kelangsungan hidup setiap warga negara, termasuk para penyandang disabilitas yang mempunyai kedudukan hukum dan memiliki hak asasi manusia yang sama sebagai Warga Negara.

Dalam hal ini khususnya anak tuna grahita bisa memperoleh pendidikan dan pengajaran yang layak dan sesuai dengan kondisi mereka. Tujuan pendidikan yang hendak dicapai oleh anak tuna grahita tidak berbeda dengan tujuan pendidikan pada umumnya sebab anak tuna grahita itu sendiri lahir di tengah-tengah masyarakat.

Namun tujuan itu bukanlah tujuan yang eksklusif karena diperlukan penyesuaian tertentu dengan tingkatan kemampuan mereka. Tujuan yang terletak di luar jangkauan kemampuan anak tuna grahita, sebaliknya, adalah tujuan yang bagi anak normal merupakan hal yang biasa yang tidak perlu mendapat perhatian khusus, dalam

(13)

pendidikan anak tuna grahita mungkin perlu mendapat penekanan khusus, misalnya dirumuskan lebih terperinci.

Menumbuhkan kemandirian seorang anak sejak usia dini sangatlah penting, karena dengan memiliki kemandirian sejak dini, anak akan terbiasa mengerjakan kebutuhan sendiri. Kemandirian dapat diartikan dengan sikap yang ditandai dengan kepercayaan diri dan terlepas dari ketergantungan orang lain. Salah satu tujuan layanan pendidikan anak keterbelakangan mental adalah berkaitan dengan kemandirian khususnya diajarkan keterampilan agar anak tuna grahita dapat mandiri dan mempunyai suatu keahlian. Sebagaimana diketahui bahwa anak tuna grahita mengalami hambatan dalam kecerdasan, maka target kemandiriannya tentu harus dirumuskan sesuai dengan potensi yang mereka miliki, sehingga dapat dikatakan bahwa mandiri bagi anak tuna grahita adanya kesesuaian antara kemampuan yang aktual dengan potensi yang mereka miliki. Jadi pencapaian kemandirian anak tuna grahita tdak dapat diartikan sama dengan pencapaian kemandirian anak normal pada umumnya.

Sekolah Luar Biasa (SLB) merupakan sekolah khusus bagi anak usia sekolah yang memiliki “kebutuhan khusus”. Lembaga pendidikan SLB adalah lembaga pendidikan yang bertujuan membantu peserta didik yang menyandang kelainan fisik dan mental, perilaku dan sosial agar mampu mengembangkan sikap, pengetahuan dan keterampilan. Menurut Kementerian Pendidikan dan Budaya (Kemdikbud) pada tahun 2017 jumlah Sekolah Luar Biasa di Indonesia mencapai 1.525 ribu unit, diantaranya yaitu DKI Jakarta sebanyak 79 unit, Jawa Barat 329, Banten 80, Jawa Tengah 133, D.I Yogyakarta 67, Jawa Timur 369, Aceh 37, Sumatera Barat 206, Riau

(14)

27, Kepulauan Riau 8, Jambi 3, Sumatera Selatan 17, Bangka Belitung 2, Bengkulu 3, Lampung 13, Kalimantan Barat 6, Kalimantan Tengah 3, Kalimantan Selatan 22, Kalimantan Timur 20, Sulawesi Utara 17, Sulawesi Tengah 6, Sulawesi Selatan 56, Sulawesi Barat 12, Sulawesi Tenggara 41, Maluku 5, Maluku Utara 4, Bali 3, NTB 23, NTT 7, Papua 4, Papua Barat 1, dan Sumatera Utara 23 (Kemdikbud, 2017).

Sedangkan menurut data dari Pemerintah Provinsi Sumatera Utara tahun 2014 jumlah Sekolah Luar Biasa khusus tunagrahita itu sendiri terdiri sebanyak 6 unit di daerah Sumatera Utara (Sumutprov, 2014).

SLB-C Al-Azhar Medan merupakan salah satu sekolah luar biasa bagi ketunaan. SLB-C Al-Azhar Medan ini memiliki jenjang pendidikan beragam yaitu mulai dari SDLB, SMPLB, dan SMALB. Pendidikan dasar dan pelatihan keterampilan yang terdapat di SLB-C Al-Azhar Medan berupa pendidikan secara formal dan informal. Secara formal yaitu dengan mengadakan proses belajar mengajar didalam kelas dan dibimbing oleh tenaga guru yang ahli dibidang anak luar biasa khususnya anak tunagrahita. Secara informal berupa pelatihan-pelatihan ekstrakulikuler yang terdapat di SLB-C Al-Azhar Medan tersebut dengan memberikan latihan kreativitas dengan menulis, mewarnai, merangkai bunga, tata rias, dan tata boga.

Peneliti memfokuskan penelitian pada jenjang SMPLB. Subyek dalam penelitian ini adalah penyandang tuna grahita kategori ringan jenjang SMPLB yang sudah mengikuti program pelatihan selama minimal satu tahun yang masih agak sulit dalam berkomunikasi, namun masih dapat dipahami. Seorang pengajar atau pembimbing hendaknya mampu memberikan motivasi, membantu mengembangkan

(15)

keterampilan, dan membantu memecahkan masalah dengan cara-cara yang kreatif terhadap anak tunagrahita di SMPLB.

Adanya program kegiatan keterampilan serta adanya ketertarikan peneliti untuk mengetahui bagaimana perkembangan diri anak tunagrahita dan bagaimana mereka mampu mencapai kemandiriannya sendiri seperti mampu menentukan pilihannya, mampu bertanggung jawab, serta mampu mengendalikan emosi. Peneliti tertarik untuk mengkaji lebih dalam penelitian dengan judul “Efektivitas Program Pelatihan Keterampilan Dalam Upaya Mencapai Kemandirian Anak Tunagrahita di SLB-C Al-Azhar Medan”.

1.1.1 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah penelitian yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat ditarik sebuah rumusan dalam penelitian ini yakni

“Bagaimana efektivitas program keterampilan dalam upaya mencapai kemandirian anak tunagrahita di SLB-C Al-Azhar Medan?”

1.1.2 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah, adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas program pelatihan keterampilan dalam upaya mencapai kemandirian anak tuna grahita di SLB-C Al-Azhar Medan.

(16)

1.3.2 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai referensi dalam pengembangan:

1. Secara akademis, dapat memberikan sumbangan positif terhadap keilmuan di Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial mengenai usaha meningkatkan kemandirian anak tuna grahita.

2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran bagi pihak-pihak yang terlibat dalam usaha meningkatkan kemandirian anak tuna grahita.

1.4 Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah 2. Rumusan Masalah

3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 4. Sistematikan Penulisan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Landasan Teoritis

2. Penelitian Yang Relevan 3. Kerangka Pemikiran 4. Definisi Konsep

(17)

BAB III METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian

2. Lokasi Penelitian 3. Informan Penelitian 4. Teknik Pengumpulan Data 5. Teknik Analisa Data

BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN A. Temuan Umum

1. Letak Geografis Lokasi Penelitian 2. Sejarah Perkembangan Lokasi Penelitian 3. Profil Lokasi Penelitian

4. Visi, Misi, dan Tujuan Lokasi Penelitian

5. Struktur Organisasi / Lembaga Lokasi Penelitian 6. Kondisi Umum Tentang Klien

7. Kondisi Umum Tentang Petugas

8. Keadaan Sarana dan Prasarana Lokasi Penelitian BAB V HASIL PENELITIAN

1. Deskripsi Data Hasil Penelitian 2. Pembahasan Hasil Penelitian 3. Keterbatasan Penelitian

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan

2. Saran

(18)

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN

(19)

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teoritis

2.1.1 Efektivitas

2.1.1.1 Pengertian Efektivitas

Efektivitas berasal dari kata efektif yang berarti mempunyai efek, pengaruh atau akibat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002) efektif berarti dapat membawa hasil, berhasil guna, manjur atau mujarab, ada efeknya (akibat, pengaruhnya, kesannya). Kata efektif berasal dari kata bahasa Inggris yaitu effective yang berarti berhasil atau sesuatu yang dilakukan berhasil dengan baik. Efektivitas selalu terkait dengan hubungan antara hasil yang diharapkan dengan hasil yang sesungguhnya dicapai.

Menurut Agung Kurniawan dalam bukunya “Transformasi Pelayanan Publik”

mendefinisikan bahwa efektifitas adalah kemampuan melaksanakan tugas, fungsi (operasi kegiatan program atau misi) daripada suatu organisasi atau sejenisnya yang tidak adanya tekanan atau ketegangan diantara pelaksananya (Kurniawan, 2005:109).

Pengertian tersebut mengartikan bahwa efektivitas merupakan tahap dicapainya keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Efektivitas selalu terkait dengan hubungan antara hasil yang diharapkan dengan hasil yang sesungguhnya dicapai.

Efektivitas berarti berusaha untuk dapat mencapai sasaran yang telah ditetapkan sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan, sesuai pula dengan rencana, baik dalam penggunaan data, sarana, maupun waktunya atau berusaha melalui

(20)

aktivitas tertentu baik secara fisik maupun non-fisik untuk memperoleh hasil yang maksimal baik secara kuantitatif maupun kualitatif (Supardi, 2013:163).

Efektivitas umumnya dipandang sebagai tingkat pencapaian operatif dan operasional. Dengan demikian, pada dasarnya efektivitas adalah tingkat pencapaian tujuan atau sasaran organisasional sesuai dengan yang ditetapkan. Efektivitas adalah seberapa baik pekerjaan yang dilakukan, sejauh mana seseorang melakukan keluaran sesuai dengan yang diharapkan ini. Ini dapat diartikan apabila sesuatu pekerjaan dapat dilakukan dengan baik sesuai dengan yang direncanakan, dapat dikatakan efektif tanpa memperhatiakn waktu, tenaga dan yang lainnya.

Berdasarkan pernyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa efektivitas selalu berorientasi pada pencapaian tujuan suatu program atau kebijakan dari organisasi.

Organisasi disini dimaksudkan sebagai alat untuk mencapai tujuan bersama, yang tujuan itu tidak mungkin dapat dicapai sendiri-sendiri. Dengan demikian, efektivitas merupakan keberhasilan organisasi dalam menjalankan program atau kebijakannya melalui berbagai sarana dan cara serta supaya memanfaatkan segala sumber daya dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

2.1.1.2 Indikator Efektivitas

Tingkat efektivitas dapat dilihat dari hasil yang telah dicapai. Apabila hasil yang dicapai telah memenuhi target sesuai rencana maka dapat dikatakan efektif.

Begitu pula sebaliknya, apabila hasil yang dicapai tidak sesuai dengan target rencana awal, atau ada kekeliruan ataupun ketidaksesuaian dengan rencana awal yang telah

(21)

ditetapkan, maka dapat dikatakan bahwa tidak efektif. Indikator efektivitas dapat dilihat dari beberapa segi kriteria efektivitas, sebagai berikut:

1. Ketepatan waktu

Waktu adalah sesuatu yang dapat menentukan keberhasilan sesuatu kegiatan yang dilakukan dalam sebuah organisasi tapi juga dapat berakibat terhadap kegagalan suatu aktivitas organisasi. Penggunaan waktu yang tepat akan menciptakan efektivitas pencapaian tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.

2. Ketepatan perhitungan biaya

Berkaitan dengan ketepatan dalam pemanfaatan biaya, dalam arti tidak mengalami kekurangan juga sebaliknya tidak mengalami kelebihan pembiayaan sampai suatu kegiatan dapat dilaksanakan dan diselesaikan dengan baik. Ketepatan dalam menetapkan satuan-satuan biaya merupakan bagian dari efektivitas.

3. Ketepatan dalam pengukuran

Dengan ketepatan ukuran sebagaimana yang telah ditetapkan sebelumnya, sebenarnya merupakan gambaran daripada efektivitas kegiatan yang menjadi tanggung jawab sebuah organisasi.

4. Ketepatan dalam menentukan pilihan

Menentukan pilihan bukanlah suatu persoalan yang mudah, dan juga bukan hanya tebakan melalui suatu proses, sehingga dapat menemukan yang terbaik diantara yang baik atau yang terjujur diantara yang jujur atau kedua-duanya yang terbaik dan terjujur diantara yang baik dan jujur.

(22)

5. Ketepatan berpikir

Ketepatan berpikir akan melahirkan keefektifan sehingga kesuksesan yang senantiasa diharapkan itu dalam melakukan suatu bentuk kerjasama dapat memberikan hasil yang maksimal.

6. Ketepatan dalam melakukan perintah

Keberhasilan aktivitas suatu organisasi sangat banyak dipengaruhi oleh kemampuan seorang pemimpin, salah satunya kemampuan memberikan perintah yang jelas dan mudah dipahami oleh bawahan. Jika perintah yang diberikan tidak dapat dimengerti dan dipahami maka akan mengalami kegagalan dalam suatu organisasi.

7. Ketepatan dalam menentukan tujuan

Ketepatan dalam menentukan tujuan merupakan aktivitas organisasi untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Tujuan yang ditetapkan secara tepat akan menunjang efektivitas pelaksanaan kegiatan terutama yang berorientasi jangka panjang.

8. Ketepatan ketepatan saran

Penentuan sasaran yang tepat baik yang ditetapkan secara individu maupun secara organisasi sangat menentukan keberhasilan aktivitas organisasi.

Demikian pula sebaliknya, jika sasaran yang ditetapkan itu kurang tepat, maka akan menghambat pelaksanaan berbagai kegiatan itu sendiri (Makmur, 2011) Efektivitas dapat diukur dengan membandingkan antara rencana awal dan hasil yang didapat pada kenyataannya. Apabila dalam pelaksanaan ada kekeliruan atau ketidaktepatan yang menghasilkan target dan tujuan tidak tercapai atau tidak

(23)

sesuai dengan rencana awal, maka hal itu dikatakan tidak efektif. Sementara menurut Gibson (dalam Tangkilisan, 2005:141) mengungkapkan ada delapan indikator dalam efektivitas yaitu:

1. Kejelasan tujuan yang hendak dicapai 2. Kejelasan strategi pencapaian tujuan

3. Proses analisis dan perumusan kebijaksanaan yang mantap 4. Perencanaan yang matang

5. Penyusunan program yang tepat 6. Tersedianya sarana dan prasarana

7. System pengawasan dan pengendalian yang bersifat mendidik 8. Ketepatan ketepatan saran

Menurut Sutrisno (2010:125-126) bahwa terdapat lima kriteria yang dapat digunakan dalam pengukuran efektivitas yaitu:

1. Pemahaman Program

Pemahaman program adalah sejauh mana kelompok sasaran dapat memahami program atau kegiatan yang telah direncanakan. Program atau kegiatan dapat dikatakan efektif, jika kelompok sasaran dapat memahami program tersebut.

Pemahaman ini dapat dilihat dari pengetahuan kelompok sasaran terhadap tujuan program.

2. Ketepatan Sasaran

Penentuan sasaran yang tepat baik yang ditetapkan secara individu maupun secara organisasi sangat menentukan keberhasilan aktivitas organisasi.

(24)

Demikian pula sebaliknya, jika sasaran yang ditetapkan itu kurang tepat, maka akan menghambat pelaksanaan berbagai kegiatan itu sendiri.

3. Ketepatan Waktu

Ketepatan waktu ialah mengetahui penggunaan waktu dalam pelaksanaan program, apakah sesuai dengan jadwal yang sudah dirancang atau tidak.

Dengan waktu yang tepat maka program tersebut akan lebih efektif.

4. Pencapaian Tujuan

Pencapaian tujuan ialah mengetahui apakah tujuan dari dibentuknya program sudah tercapai atau belum. Pencapaian tujuan juga dapat dilihat dari beberapa faktor yaitu kurun waktu dan kelompok sasaran yang konkrit. Sehingga suatu program dapat dikatakan efektif apabila dapat mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.

5. Perubahan Nyata

Perubahan nyata adalah sejauh mana suatu program atau kegiatan memberikan efek atau dampak serta perubahan yang terjadi pada kelompok sasaran tersebut dapat berjalan dengan baik. Serta dapat memberikan hasil yang nyata kepada kelompok sasaran.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa efektivitas adalah tepat waktu, tepat sasaran, dan adanya perubahan. Khusus untuk penelitian ini indikator efektivitas yang dibuat adalah pemahaman program, ketepatan sasaran, tepat waktu, tepat tujuan, dan perubahan nyata.

(25)

2.1.2 Program

2.1.2.1 Pengertian Program

Secara umum pengertian program adalah penjabaran dari suatu rencana dalam hal ini program merupakan bagian dari perencanaan sering pula diartikan bahwa program adalah kerangka dasar dari pelaksanaan suatu kegiatan.

Program adalah suatu unit atau kesatuan kegiatan. Program merupakan sebuah sitem, yaitu rangkaian kegiatan yang dilakukan bukan hanya satu kali tetapi berkesinambungan. Program adalah cara tersendiri dan khusus yang dirancang demi pencapaian suatu tujuan tertentu. Dengan adanya suatu program, maka segala rancangan akan lebih teratur dan lebih mudah untuk dilaksanakan.

Program adalah unsur pertama yang harus ada demi berlangsungnya aktivitas yang teratur, karena dalam program telah dirangkum berbagai aspek seperti:

1. Adanya tujuan yang mau dicapai

2. Adanya berbagai kebijakan yang diambil dalam upaya pencapaian tujuan tersebut

3. Adanya prinsip-prinsip dan metode-metode yang harus dijadikan acuan dengan prosedur yang harus dilewati

4. Adanya pemikiran atau rancangan tentang anggaran yang diperlukan

5. Adanya strategi yang harus diterapkan dalam pelaksanaan aktivitas (Sutrisno, 2010:17).

Unsur kedua yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan program ialah adanya kelompok orang yang menguji sasaran program sehingga kelompok orang tersebut merasa ikut melibatkan dan membawa hasil dari program yang dijalankan dan adanya

(26)

perubahan serta peningkatan dalam kehidupannya. Tanpa memberikan manfaat pada kelompok orang, boleh dikatakan program tersebut telah gagal dilaksanakan. Berhasil atau tidaknya suatu program dilaksanakan tergantung dari unsur pelaksanaannya.

Unsur pelaksanaan itu merupakan unsur ketiga. Pelaksana adalah hal penting dalam mempertanggungjawabkan pengolahan maupun pengawasan dalam pelaksanaan, baik itu organisasi atau perorangan.

2.1.3 Pelatihan Keterampilan

Pelatihan adalah setiap usaha untuk memperbaiki performansi pekerja pada suatu pekerjaan tertentu yang sedang menjadi tanggungjawabnya, atau suatu pekerjaan yang ada kaitannya dengan pekerjaannya. Supaya efektif, pelatihan biasanya harus mencakup pengalaman belajar (learning experience), aktivitas yang terencana (be a planned organizational activity), dan didesain sebagai jawaban atas kebutuhan-kebutuhan yang berhasil diidentifikasikan. Secara ideal, pelatihan harus didesain untuk mewujudkan tujuan-tujuan organisasi, yang pada waktu bersamaan juga mewujudkan tujuan-tujuan dari para pekerja secara perseorangan.

Syah (dalam Denta, 2014:19) menyebutkan pelatihan dianggap sebagai aktivitas yang paling dapat dilihat dan paling umum dari semua aktivitas, karena melalui pelatihan para peserta, dalam hal ini anak tuna grahita akan menjadi terampil dan lebih produktif. Belajar keterampilan adalah belajar menggunakan gerakan- gerakan motorik yakni yang berhubungan dengan urat syaraf dan otot-otot.

Tujuannya adalah memperoleh dan menguasai keterampilan jasmani tertentu. Dalam jenis ini latihan-latihan intensif dan teratur amat diperlukan. Supaya efektif, pelatihan

(27)

harus merupakan solusi yang tepat bagi permasalahan tersebut, yakni bahwa pelatihan tersebut harus dimaksudkan untuk memperbaiki kekurangan keterampilan.

Keterampilan (skill) adalah suatu kemampuan untuk mengoperasikan suatu pekerjaan secara mudah dan cermat yang membutuhkan kemampuan dasar (basic ability). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia keterampilan adalah kecakapan untuk menyelesaikan tugas. Jadi, dapat disimpulkan bahwa keterampilan adalah kemampuan anak dalam melakukan berbagai aktivitas terencana dalam usahanya untuk menyelesaikan tugas. Keterampilan perlu dilatihkan kepada anak sejak dini supaya di masa yang akan dating anak akan tumbuh menjadi orang yang terampil dan cekatan dalam melakukan segala aktivitas, dan mampu menghadapi permasalahan hidup. Selain itu mereka akan memiliki keahlian yang akan bermanfaat bagi masyarakat.

2.1.4 Program Keterampilan SLB-C Al-Azhar Medan

Program ini merupakan salah satu usaha sekolah untuk memberikan keterampilan bagi anak tunagrahita agar mereka mampu mandiri dan mempunyai suatu keahlian yang baru. Ketercapaian program ini dilihat dari kemandirian anak tunagrahita itu sendiri yang di dalamnya termasuk menumbuhkan rasa percaya diri agar siswa mampu menyuarakan pendapatnya dan berani berkomunikasi dengan orang lain serta mampu menumbuhkan rasa tanggung jawab agar siswa mampu mandiri dan tidak bergantung dengan orang lain. Program ini sudah berjalan sekitar tiga tahun dan dilakukan setiap hari Selasa dan Sabtu. Program keterampilan ini

(28)

hanya dilakukan dua hari dalam seminggu karena kurangnya tenaga pengajar di SLB- C Al-Azhar Medan.

Dibawah ini merupakan jenis keterampilan yang dilakukan dalam kegiatan keterampilan di SLB-C Al-Azhar Medan:

1. Keterampilan Tata Boga

Adalah seni mengolah masakan yang meliputi seluruh ruang lingkup makanan, mulai dari tahap persiapan, pengolahan sampai dengan tahapan menghidangkan makanan, baik itu yang bersifat makanan tradisional maupun internasional.

2. Keterampilan Tata Rias

Adalah kegiatan mengubah penampilan dari bentuk asli sebenarnya dengan bantuan bahan dan alat kosmetik. Istilah make up lebih sering ditujukan kepada pengubahan bentuk wajah, meskipun sebenarnya seluruh tubuh bisa dihias (make up).

3. Keterampilan Membuat Florist

Suatu rangkaian bunga yang dihias untuk memperindah suatu ruangan. Florist digunakan untuk keperluan hotel seperti membuat rangkaian bunga untuk di kamar tamu, restaurant, meeting room, dan lobby.

2.1.5 Kemandirian

2.1.5.1 Pengertian Kemandirian

Istilah “kemandirian” berasal dari kata “diri” yang mendapat awalan “ke” dan akhiran “an”, kemudian membentuk satu kata keadaan atau kata benda. Karena

(29)

kemandirian berasal dari kata dasar “diri” maka pembahasan mengenai kemandirian tidak bisa lepas dari pembahasan tentang perkembangan diri itu sendiri.

Ada beberapa pendapat ahli tentang pengertian kemandirian, seperti menurut Erikson (dalam Monks, dkk, 2000), menyatakan kemandirian adalah usaha untuk melepaskan diri dari orangtua dengan maksud untuk menemukan dirinya melalui proses mencari identitas ego yaitu merupakan perkembangan ke arah individualitas yang mantap dan berdiri sendiri. Kemandirian biasanya ditandai dengan kemampuan menentukan nasib sendiri, kreatif, dan inisiatif, mengatur tingkah laku, bertanggung jawab, mampu menahan diri, dan lain-lain. Kemandirian merupakan suatu sikap otonomi dimana peserta didik secara relatif bebas dari pengaruh penilaian, pendapat, dan keyakinan orang lain. Dengan otonomi tersebut, peserta didik diharapkan akan lebih bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa kemandirian mengandung pengertian:

1. Suatu kondisi dimana seseorang memiliki hasrat bersaing untuk maju demi kebaikan dirinya sendiri

2. Mampu mengambil keputusan dan inisiatif untuk mengatasi masalah yang dihadapi

3. Memiliki kepercayaan diri dan melaksanakan tugas-tugasnya

4. Bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya (Desmita, 2010:110)

Benson & Groove (2000:14) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kemandirian adalah kemampuan individu untuk memutuskan sendiri dan tidak terus menerus berada dibawah control orang lain. Sedangkan menurut Chaplin (2002:91),

(30)

otonomi atau kemandirian adalah kebebasan individu manusia untuk memilih menjadi kesatuan yang bisa memerintah, menguasai, dan menentukan dirinya sendiri.

Menumbuhkan kemandirian pada individu sejak usia dini sangatlah penting karena dengan memiliki kemandirian sejak dini, anak terbiasa mengerjakan kebutuhan sendiri. Menurut Yusuf (2002:124), secara naluriah, (ketergantungan) ke posisi independent (bersikap mandiri). Anak yang mandiri akan bertindak dengan penuh rasa percaya diri dan tidak selalu mengandalkan bantuan orang dewasa dalam bertindak.

2.1.5.2 Ciri-Ciri Kemandirian

Kemandirian mempunyai ciri-ciri tertentu yang telah digambarkan oleh pakar- pakar berikut ini:

Menurut Parker ciri-ciri kemandirian yaitu:

1. Tanggung Jawab, yakni memiliki tugas untuk menyelesaikan sesuatu dan diminta pertanggung jawaban atas hasil kerjanya. Individu tumbuh dengan pengalaman tanggung jawab yang sesuai dan terus meningkat. Sekali seorang dapat meyaknkan dirinya sendiri maka orang tersebut akan bisa meyakinkan orang lain dan orang lain akan bersandar kepadanya. Oleh karena itu, individu harus diberi tanggung jawab dan berawal dari tanggung jawab untuk mengurus dirinya sendiri.

2. Independensi, yakni merupakan kondisi dimana seseorang tidak tergantung pada otoritas dan tidak membutuhkan arahan dari orang lain, indpendensi juga mencakup ide adanya kemampuan mengurus diri sendiri dan menyelesaikan masalah sendiri.

(31)

3. Otonomi dan Kebebasan Untuk Menentukan Keputusan Sendiri, yakni kemampuan menentukan arah sendiri (self determination) berarti mempu mengendalikan atau mempengaruhi apa yang akan terjadi pada dirinya sendiri.

Dalam pertumbuhannya, individu seharusnya menggunakan pengalaman dalam menentukan pilihan, tentunya dengan pilihan yang terbatas dan terjangkau yang bsa mereka selesaikan dan tidak membawa mereka menghadapi masalah besar.

Dari beberapa ciri-ciri tersebut dapat disimpulkan bahwa secara garis besar, kemandirian itu ditandai dengan adanya tanggung jawab, bisa menyelesaikan masalah sendiri, serta adanya otonomi dan kebebasan untuk menentukan keputusan (Parker, 2005:233).

Menurut Desmita, menyebutkan ciri-ciri kemandirian ditandai dengan kemampuan dalam menentukan nasib sendiri, kreatif dan inisiatif, mampu mengatur tingkah laku, bertanggung jawab, mampu menahan diri, membuat keputusan- keputusan sendiri, mampu mengatasi masalah tanpa ada pengaruh dari orang lain (Desmita, 2011:185).

2.1.5.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kemandirian

Menurut Masrun (dalam Yessica, 2008:26) faktor yang mempengaruhi kemandirian adalah:

a. Pola Asuh Orangtua

Remaja yang mempunyai kemandirian tinggi adalah remaja yang orangtuanya dapat menerima secara positif.

(32)

b. Usia

Remaja akan berusaha melepaskan diri dari orangtuanya, dalam hal ini berarti individu cenderung tidak akan meminta bantuan kepada orang lain dalam memecahkan masalah yang sedang dihadapinya.

c. Pendidikan

Pendidikan yang dialami oleh seseorang tidak harus berasal dari sekolah atau pendidikan formal, akan tetapi bisa juga berasal dari luar sekolah atau non formal, pendidikan ini secara tidak langsung telah membawa individu kepada suatu bentuk usaha dari lingkungan keluarganya ke dalam kelompok teman sebayanya sehingga terlihat adanya kecenderungan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan ternyata semakin tinggi kemandirian seseorang.

d. Urutan Kelahiran

Urutan kelahiran dalam suatu keluarga tentunya memiliki ciri tersendiri bagi setiap anak yang disebabkan karena adanya perlakuan dan perhatian yang berbeda.

e. Jenis Kelamin

Wanita mudah dipengaruhi, sangat pasif, merasa kesulitan dalam memutuskan sesuatu dan kurang percaya diri.

f. Intelegensi

Remaja yang cerdas akan memiliki metode yang praktis dan tepat dalam memecahkan sesuatu yang sedang dihadapinya, sehingga akan dengan cepat mengambil keputusan untuk bertindak. Kondisi ini menunjukkan adanya kemandirian setiap menghadapi masalah yang sedang dihadapinya.

(33)

g. Interaksi Sosial

Remaja yang memiliki kemampuan dalam berinteraksi dengan lingkungan sosial, serta mampu menyesuaikan diri dengan baik akan mendukung perilaku yang bertanggung jawab dan mampu menyelesaikan segala permasalahan yang dihadapinya.

Sedangkan menurut Ali ada sejumlah faktor yang mempengaruhi kemandirian remaja yaitu sebagai berikut:

a. Gen atau Keturunan Orangtua

Orangtua yang memiliki sifat kemandirian tinggi seringkali menurunkan anak yang memiliki kemandirian.

b. Pola Asuh Orangtua

Cara orangtua mendidik anak akan mempengaruhi perkembangan kemandirian pada masa remajanya. Orangtua yang terlalu banyak melarang atau mengeluarkan kata “jangan” tanpa disertai dengan penjelasan yang rasional akan menghambat perkembangan kemandirian remaja. Kondisi tersebut berbeda dengan orangtua yang menciptakan suasana aman dalam berinteraksi dengan keluarganya. Orangtu yang cenderung sering membanding-bandingkan anak yang satu dengan yang lainnya juga akan berpengaruh kurang baik terhadap perkembangan kemandirian anak.

c. Sistem Pendidikan di Sekolah

Proses pendidikan di sekolah yang tidak mengembangkan demokratisasi pendidikan dan cenderung menekankan indoktrinisasi tanpa argumentasi akan menghambat perkembangan remaja. Proses pendidikan yang banyak

(34)

menekankan pentingnya pemberian sanksi atau hukuman (punishment) juga dapat menghambat perkembangan kemandirian remaja. Namun, proses pendidikan yang lebih menekankan pentingnya penghargaan terhadap potensi remaja, pemberian reward dan menciptakan kompetisi positif maka akan memperlancar perkembangan kemandirian remaja.

d. Sistem Kehidupan di Masyarakat

Sistem kehidupan masyarakat yang terlalu menekankan pentingnya hierarki struktur sosial, merasa kurang aman atau mencekam serta kurang menghargai manifestasi potensi remaja dalam kegiatan produktif dapat menghambat kelancaran perkembangan kemandirian remaja. Lingkungan masyarakat yang aman, menghargai ekspresi potensi remaja dalam bentuk kegiatan dan terlalu hierarkis akan merangsang dan mendorong perkembangan kemandirian remaja (Ali, 2010:118).

2.1.5.4 Upaya Mencapai Kemandirian Anak Tunagrahita 1. Kemandirian Anak Tunagrahita

Perubahan paradigma mengenai Pendidikan Luar Biasa termasuk pendidikan anak tunagrahita dari penyelenggaraan yang berupa khusus (segregasi) ke penyelenggaraan saat ini menghendaki bahwa anak tunagrahita diberi kesempatan seluas-luasnya untuk belajar, bermain, bekerja, dan bergaul di masyarakat yang pada umumnya sesuai dengan keadaannya. Hal ini tentu menuntut kemampuan anak tunagrahita agar dapat menyatakan dan menyesuaikan diri sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Sebagaimana diketahui bahwa anak tunagrahita mengalami hambatan

(35)

dalam kecerdasan dan mentalnya, maka target kemandiriannya tentu harus dirumuskan sesuai dengan potensi yang mereka miliki, sehingga dapat dikatakan bahwa mandiri bagi anak tunagrahita adalah dapat melakukan aktivitasnya sendiri tanpa perlu bergantung pada bantuan orang lain dan memiliki suatu keahlian atau keterampilan untuk dapat mencapai kemandirian itu sendiri.

2. Upaya Mencapai Kemandirian Bagi Anak Tunagrahita

Beberapa upaya untuk mencapai ciri kemandirian yang sesuai dengan potensi yang dimiliki anak tunagrahita, diantaranya:

1. Menumbuhkan rasa percaya diri, yaitu dapat dilakukan dengan memberikan sikap positif pada anak tunagrahita melalui kedalaman dan keluasan atau tingkat kesulitan dalam memberikan tugas sesuai dengan kemampuannya.

2. Menumbuhkan rasa tanggung jawab, yaitu dapat dilakukan dengan memberi kesempatan kepada anak tunagrahita untuk berbuat, misalnya diberikan tugas- tugas sederhana di rumah, di sekolah, dan di masyarakat.

3. Menumbuhkan kemampuan mengendalikan emosi, untuk menumbuhkan kemampuan tersebut dapat dilakukan dengan memberikan kesempatan seluas- luasnya kepada anak tunagrahita untuk melakukan sesuatu sesuai dengan kemampuannya dan berusaha untuk dapat melakukan kegiatan yang dapat dilakukan orang lain walaupun hanya merupakan bagian-bagian terkecil dari kegiatan tersebut.

4. Menumbuhkan kemampuan menentukan pilihan dan mengambil keputusannya sendiri, untuk menumbuhkan hal teersebut diperlukan adanya peluang dan kepercayaan yang diberikan kepadanya agar terbiasa untuk

(36)

mengambil keputusan. Tentu saja peluang itu harus berdasarkan kemampuan yang dimiliki oleh anak tunagrahita. Astati (dalam Anathia, 2018:31).

2.1.6 Anak Tunagrahita 2.1.6.1 Pengertian Anak

Merujuk dari Kamus Umum bahasa Indonesia mengenai pengertian anak secara etimologis dapat diartikan dengan manusia yang masih kecil ataupun manusia yang belum dewasa. Menurut R.A. Kosnan “anak-anak yaitu manusia muda dalam umur muda dalam jiwa dan perjalanan hidupnya karena mudah terpengaruh untuk keadaan sekitarnya”. Oleh karena itu anak-anak perlu diperhatikan secara sungguh- sungguh. Akan tetapi, sebagai makhluk sosial yang paling rentan dan lemah, ironisnya anak-anak justru seringkali ditempatkan dalam posisi yang paling dirugikan, tidak memiliki hak untuk bersuara, dan bahkan mereka sering menjadi korban tindak kekerasan dan pelanggaran terhadap hak-haknya (Koesnan, 2005:113).

Di Indonesia sendiri terdapat beberapa pengertian tentang anak menurut peraturan perundang-undangan, begitu juga menurut para ahli. Namun, diantara beberapa pengertian tidak ada kesamaan mengenai pengertian anak tersebut, karena di latar belakangi dari maksud dan tujuan masing-masing undang-undang maupun para ahli. Pengertian anak menurut pengaturan perundang-undangan dapat dilihat sebagai berikut:

(37)

a) Anak menurut UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Pengertian anak berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

b) Anak menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Dijelaskan dalam Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, mengatakan orang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Jadi anak adalah setiap orang yang belum berusia 21 tahun dan belum menikah. Seandainya seorang anak telah menikah sebelum umur 21 tahun kemudia bercerai atau ditinggal mati oleh suaminya sebelum genap umur 21 tahun, maka ia tetap dianggap orang yang telah dewasa bukan anak-anak.

c) Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Anak dalam Pasal 45 KUHP pidana adalah anak yang umurnya belum mencapai 16 (enam belas) tahun d) Menurut Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak

yang disebut anak adalah seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin (pasal 1 butir 2).

e) Menurut Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dijelaskan dalam (Pasal 1 Ayat (3)) anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) taun yang diduga melakukan tindak pidana

f) Menurut Pasal 1 butir 5 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia adalah sebagai berikut: “anak adalah setiap manusia yang

(38)

berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut demi kepentingannya”.

Batasan umur anak tergolong sangat penting dalam perkara pidana anak, karena dipergunakan untuk mengetahui seseorang yang diduga melakukan kejahatan termasuk kategori anak atau bukan. Mengetahui batasan umur anak-anak, juga terjadi keberagaman di berbagai negara yang mengatur tentang usia anak yang dapat dihukum. Beberapa negara juga memberikan definisi seseorang dikatakan anak atau dewasa dilihat dari umur dan aktifitas atau kemampuan berfikirnya.

2.1.6.2 Pengertian Tunagrahita

Tunagrahita adalah istilah yang digunakan untuk menyebut anak yang mempunyai kemampuan intelektual dibawah rata-rata. Dalam kepustakaan bahasa asing digunakan istilah-istilah mental retardation, mentally retarded, mental deficiency, mental defective, dan lain-lain. Istilah tersebut sesungguhnya memiliki arti yang sama yang menjelaskan kondisi anak yang kecerdasannya jauh di bawah rata- rata dan ditandai oleh keterbatasan inteligensi dan ketidakcakapan dalam interaksi sosial. Anak tunagrahita atau dikenal juga dengan istilah terbelakang mental karena keterbatasan kecerdasannya mengakibatkan dirinya sukar untuk mengikuti program pendidikan di sekolah biasa secara klasikal, oleh karena itu anak terbelakang mental membutuhkan layanan pendidikan secara khusus yakni disesuaikan dengan kemampuan anak tersebut (Somantri, 2007:103).

Kata tunagrahita menunjukkan kesulitan dalam interaksi sosial dan keterlambatan belajar dari yang ringan sampai yang berat. Yang tergolong pada

(39)

tunagrahita ringan yaitu seseorang yang memiliki IQ antara 68-52 dan sering disebut juga dengan moron atau debil, sedangkan tunagrahita sedang yaitu seseorang yang memiliki IQ 51-36 dan sering disebut juga imbesil, dan tunagrahita berat memiliki IQ antara 32-20 dan sering disebut juga dengan idiot.

Anak tunagrahita adalah anak yang mengalami keterbelakangan mental atau kecerdasannya jauh dibawah rata-rata sehingga mereka sukar untuk mengikuti pendidikan di sekolah biasa. Menurut Branata (dalam Efendi, 2006:88) seseorang dikategorikan berkelainan mental subnormal atau tunagrahita, jika ia memiliki tingkat kecerdasan yang sedemikian rendahnya (di bawah normal), sehingga untuk meniti tugas perkembangannya memerlukan bantuan atau layanan secara spesifik, termasuk dalam program pendidikannya.

Adapun ciri-ciri khas anak tunagrahita 1) Fisik

Secara fisik anak tunagrahita dapat ditandai dengan sebagai berikut:

a) Penampilan fisiknya tidak seimbang, misalnya kepala lebih besar atau terlalu kecil bila dibandingkan dengan proporsi tubuh keseluruhan

b) Pada ras mongoloid terlihat pada badan yang bungkuk, muka datar, telinga kecil, mulut seperti melongo, dan mata yang sipit

c) Tidak menunjukkan perkembangan yang berarti sesuai dengan tahapan usianya, bertingkah laku dan menunjukkan interaksi yang tidak lazim bagi anak usianya

d) Tidak dapat mengurus diri sendiri sesuai perkembangan yang seharusnya dan kurang mampu menolong dirinya sendiri

(40)

e) Kurang dapat mengkoordinasi gerakan, sehingga gerakan sering tidak terkendali, mengalami gangguan dalam perkembangan gerak

f) Bersikap apatis dan acuh tak acuh

g) Kemampuan bicaranya kurang, sehingga sulit untuk dimengerti

h) Memiliki emosi yang sangat labil, sehingga bertingkah laku kurang wajar secara terus menerus berbeda dengan perkembangan sosial emosional anak usia dini pada umumnya

2) Bahasa

Ciri anak tunagrahita dalam hal bahasa ialah sebagai berikut:

a) Miskin dalam pembendaharaan kata

b) Sulit mengartikan ungkapan bahasa yang mengandung arti kiasan c) Sulit mengartikan kata-kata abstrak

d) Kurang menguasai irama dan gaya bahasa Klasifikasi Tunagrahita

a. Klasifikasi Secara Etiologis

Yaitu pembagian berdasarkan sebab-sebab, dalam hal ini penyebab ketunagrahitaan ada beberapa faktor yaitu:

1) Pada Saat Sebelum Dilahirkan

a) Adanya gen yang terpendam yang diwariskan oleh orangtua yang membawa gen ini

b) Pada saat mengandung, sang ibu terserang penyakit dalam janin seperti rubella dan infeksi sifilis

(41)

c) Karena keracunan obat-obatan ilegal atau racun dari alkohol pada saat kehamilan yang menyebabkan kerusakan pada otak

2) Pada Saat Kelahiran

a) Sewaktu melahirkan Ibu mengalami kesulitan sehingga persalinan dibantu dengan alat-alat kedokteran yang berisiko menimbulkan trauma pada kepala

b) Prematuritas, yakni bayi yang lahir sebelum waktunya 3) Pada Saat Setelah Kelahiran

a) Terkena penyakit radang selaput otak (meningitis) dan radang otak (encephalitis) yang tidak tertangani dengan baik

b) Pengaruh lingkungan dan kebudayaan, misalnya pada anak-anak yang dibesarkan pada lingkungan yang buruk. Kasus-kasus abusif, penolakan, atau kurang stimulasi yang ekstrem.

b. Klasifikasi Menurut Tarafnya 1. Tunagrahita Ringan

Tunagrahita ringan disebut juga moron atau debil. Menurut skala Binet, kelompok ini memiliki IQ antara 68-52, sedangkan menurut skala Weschler memiliki IQ antara 69-55. Anak tunagrahita masih dapat belajar membaca, menulis, dan berhitung sederhana.

2. Tunagrahita Sedang

Tunagrahita sedang disebut juga imbesil. Kelompok ini memiliki IQ 51-36 pada skala Binet dan 54-40 menurut skala Weschler. Anak tunagrahita sedang sangat sulit untuk belajar secara akademik, seperti belajar menulis,

(42)

membaca, dan berhitung walaupun mereka bisa belajar menulis secara sosial. Dalam kehidupan sehari-hari anak tunagrahita sedang sangat membutuhkan pengawasan yang terus menerus agar mampu terus berkesinambungan akan kebiasaan-kebiasaan yang akan terus teringat dan mampu mengerjakan suatu hal yang sering dilakukannya.

3. Tunagrahita Berat

Tunagrahita berat severe ini sering disebut idiot. Karena IQ pada anak tunagrahita berat ini adalah 32-20 menurut skala Binet dan menurut skala Weschler antara 39-52. Tunagrahita sangat berat profound memiliki IQ di bawah 19-24. Anak tunagrahita berat memerlukan bantuan perawatan secara total, baik itu dalam hal berkaitan, mandi ataupun makan. Bahkan mereka memerlukan perlindungan dari bahaya sepanjang hidupnya (Atmaja, 2018:101-102).

2.1.6.3 Faktor Penyebab Tunagrahita

Faktor-faktor penyebab tunagrahita dapat digambarkan sebagai berikut:

1. Sebab-Sebab yang Bersumber dari Luar

1. Maternal malnutrition, atau malnutrisi pada ibu yang tidak menjaga pola makan yang sehat.

2. Keracunan atau efek substansi waktu ibu hamil yang bisa menimbulkan kerusakan pada plasma inti, misalnya penyakit sifilis, racun dari kokain, heroin, tembakau, dan alcohol

3. Radiasi, misalnya sinar X-rays atau nuklir.

(43)

4. Kerusakan pada otak waktu kelahiran, misalnya pernah sakit keras, lahir karena alat bantu/pertolongan, lahir prematur atau LBW (Low Birth Weight).

5. Panas yang terlalu tinggi, misalnya pernah sakit keras, tifus, cacar, dan sebagainya.

6. Infeksi pada ibu, misalnya rubella (campak jerman) yang merupakan penyebab potensial dari keterbelakangan mental. Rubella paling berbahaya pada tiga bulan pertama usia kehamilan.

7. Gangguan pada otak, misalnya tumor otak, anoxia (deprivasi oksigen), infeksi pada otak, hydrocephalus atau microcephalus.

8. Gangguan fisiologis, seperti Down Syndrome, cretinism.

9. Pengaruh lingkungan dan kebudayaan, misalnya pada anak-anak yang dibesarkan pada lingkungan yang buruk. Kasus-kasus abusif, penolakan, atau kurang stimulasi yang ekstrem (Atmaja,2018:106).

2. Sebab-Sebab yang Bersumber dari Dalam a) Infeksi dan atau intoksikasi.

b) Ruda paksa dan atau sebab fisik lain.

c) Gangguan metabolism, pertumbuhan atau gizi atau nutrisi.

d) Penyakit otak yang nyata.

e) Kondisi setelah lahir (postnatal).

f) Akibat penyakit atau pengaruh sebelum lahir (prenatal) yang tidak diketahui.

g) Akibat kelainan kromosom.

(44)

h) Gangguan waktu kehamilan (gestational disorders).

i) Gangguan pascapsikiatrik gangguan jiwa berat (postpsychiatry disorders).

j) Pengaruh lingkungan.

k) Kondisi-kondisi lain yang tak tergolongkan (Atmaja, 2018:107)

2.1.7 SLB-C

2.1.7.1 Pengertian SLB

Sekolah Luar Biasa (SLB) adalah sekolah khusus bagi anak usia sekolah yang memiliki kebutuhan khusus. Lembaga pendidikan SLB adalah lembaga pendidikan yang bertujuan membantu peserta didik yang menyandang kelainan fisik atau mental, perilaku dan sosial agar mampu mengembangkan sikap, pengetahuan dan keterampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan.

Satuan SLB disebut juga sistem segregasi yaitu sekolah yang dikelola berdasarkan jenis ketunaan namun terdiri dari beberapa jenjang (SISDIKNAS, 2003:pasal 32,ayat 1).

Adapun satuan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus terdiri dari jenjang TKLB, SDLB, SMPLB, SMALB, SMLB. Jenis pendidikan luar biasa tersebut meliputi: SLB-A bagi peserta didik tunanetra, SLB-B bagi peserta didik tunarungu, SLB-C bagi peserta didik tunagrahita, SLB-D bagi peserta didik tunadaksa, SLB-E bagi peserta didik tunalaras, dan SLB-G bagi peserta didik tunaganda. Disamping itu pada saat ini telah berkembang pula untuk anak autis.

(45)

2.1.7.2 Tujuan dan Fungsi SLB

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 23 Tahun 2006 tentang standar kompetensi lulusan menjelaskan tujuan dari Sekolah Luar Biasa adalah sebagai berikut:

1. SDLB dan SMPLB bertujuan untuk meletakkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.

2. SMALB bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.

Fungsi Sekolah Luar Biasa sebagai lembaga pendidikan formal adalah sebagai berikut:

1. Tempat pembelajaran bagi anak-anak berkebutuhan khusus yang memberikan dasar-dasar pengetahuan, sikap dan keterampilan.

2. Memberikan rehabilitasi bagi anak-anak yang memiliki hambatan baik fisik, mental, emosi dan sosial.

3. Mengembangkan life skill bagi anak-anak berkebutuhan khusus sebagai bekal untuk dapat mandiri dalam kehidupan bermasyarakatnya.

4. Membentuk anak-anak yang berbudaya dan menjadi warga negara yang sadar akan hak dan kewajibannya.

Pentingnya fungsi sekolah bagi kelangsungan kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara yang pada akhirnya tertuju pada kesejahteraan manusia.

Pengembangan Sekolah Luar Biasa semestinya mendapat suatu perhatian yang

(46)

semakin bermutu dengan terobosan-terobosan upaya yang tidak pernah berhenti dilakukan oleh semua pihak.

2.1.7.3 Pengertian SLB-C

Sekolah Luar Biasa (SLB) bagian C adalah sekolah yang dikhususkan untuk anak yang mengalami keterbelakangan mental (tunagrahita). Hal tersebut diupayakan untuk memudahkan bagi siswa yang mengalami keterbelakangan mental dalam menerima materi pembelajaran, apabila siswa yang mengalami keterbelakangan mental bergabung dengan siswa normal pada saat pembelajaran maka dapat mempersulit siswa yang mengalami keterbelakangan mental dalam menerima materi yang diberikan.

Tujuan dari SLB-C adalah:

1. Mengembangkan kemampuan akademik anak tunagrahita secara optimal agar dapat mandiri dalam kehidupan

2. Menyiapkan anak tunagrahita agar memiliki dasar-dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, serta akhlak yang mulia

3. Membantu pemerintah dalam usaha-usaha tercapainya kesejahteraan masyarakat dan anak-anak berkebutuhan khusus terutama penyandang tunagrahita

4. Menyiapkan peserta didik agar dapat bersosialisasi di masyarakat

2.2 Penelitian Yang Relevan

Penelitian yang relevan perlu diacu dengan tujuan agar peneliti mampu melihat letak penelitiannya dibandingkan dengan penelitian lainnya. Kemudian

(47)

melihat hubungannya dengan penelitian yang akan dilakukan. Beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah:

Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Ni Luh Putri (2014), Universitas Negeri Manado yang berjudul Model Pembelajaran Keterampilan Bina Diri Bagi Anak Usia Dini Tunagrahita di SLB Sulawesi Utara. Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menggunakan prosedur penelitian dan pengembangan (reseacrh and development) dengan langkah-langkah: tahap studi pendahuluan, tahap studi pengembangan, dan tahap penerapan model. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

a. Guru belum memperhatikan kemampuan, kesulitan, dan kebutuhan siswa tunagrahita, karena berdasarkan pengalaman peneliti, anak tunagrahita tidak memiliki motivasi belajar, cepat bosan dalam belajar, saat latihan menangis tanpa sebab, tidak mau belajar. Guru belum melakukan prinsip-prinsip membantu siswa, Guru belum melatih siswa tahap demi tahap, dan setiap tahap belum dilakukan secara berulang-ulang sampai siswa benar-benar dapat melakukannya sendiri tanpa bantuan.

b. Guru belum melakukan kegiatan pembelajaran secara individu, sehingga sulit bagi guru untuk mengawasi siswa, karena siswa memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Latihan pembelajaran keterampilan melepas dan mengenakan pakaian, seharusnya diberikan secara individu sesuai dengan kondisi siswa.

Tujuan pembelajaran tidak terkait langsung dengan prosedur evaluasi.

Kondisi pembelajaran masih perlu perbaikan mulai dari penguasaan materi pelajaran, pendekatan dan strategi pembelajaran, diperlukan adanya penggunaan alat evaluasi. Oleh karena itu penelitian ini dapat ditindaklanjuti

(48)

dengan analisis kompetensi yang dibutuhkan untuk menggambarkan kemampuan yang perlu diwujudkan sebagai hasil belajar mata pelajaran keterampilan bina diri.

Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Puji Astuti (2018) yang berjudul Dukungan Orangtua dalam Meningkatkan Kemandirian Anak Tunagrahita Sedang di Sekolah Dasar SLB C Ruhui Rahayu Samarinda. Metode yang dilakukan adalah Kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara dan obervasi. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa orangtua dari anak tunagrahita memberikan dukungan terhadap anaknya dengan cara yang beragam yaitu dengan cara menyediakan pakaian anaknya saat sedang mandi, membantu anaknya memakai sepatu, membantu anaknya menyisirkan rambut dan membantu meminumkan obat disaat anaknya sedang sakit.

2.3 Kerangka Pemikiran

Anak tunagrahita adalah anak yang mengalami keterbelakangan mental yang mengakibatkan mereka sukar untuk mengikuti pendidikan di sekolah biasa sehingga anak tunagrahita memerlukan bimbingan dan pendidikan khusus agar dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya seoptimal mungkin. Anak tunagrahita dalam bahasa lain adalah anak yang mengalami hambatan perkembangan dalam kecerdasannya yang diakibatkan oleh berbagai macam faktor.

Anak tunagrahita memerlukan pendidikan secara khusus untuk mencapai kehidupan lahir batin yang layak. Sekolah Luar Biasa (SLB) merupakan salah satu sekolah yang menampung anak tunagrahita dan sekaligus suatu lembaga yang melatih

Referensi

Dokumen terkait

4.14 Mengungkapkan kembali hal-hal yang dapat diteladani dari tokoh yang terdapat dalam teks biografi yang dibaca secara tertulis. 3.15 Menganalisis aspek makna dan kebahasaan

Murid menuturkan ayat-ayat permintaan berdasarkan gambar situasi yang

[r]

Pada hari ini Rabu tanggal Empat bulan Juli tahun Dua Ribu Dua Belas, Panitia Pengadaan Jasa Konsultansi Kegiatan Bidang Cipta Karya Tahun Anggaran 2012, telah melakukan

[r]

Sarwono (2010:187) menyebutkan faktor- faktor yang mempengaruhi perilaku seksual remaja yang menyimpang adalah perubahan hormonal yang meningkatkan seksual remaja,

Keputusan untuk tidak ada pelanjutan masuk setiap hari diambil penulis karena ada tuntutan lain yang harus diselesaikan oleh penulis salah satunya adalah adanya

Companies in the value chain, such as geotechnology providers like CubeWerx, ESRI, Intelliwhere, Ionic, MapInfo, Navigation Technologies, Oracle, and Webraska understand how to hook