• Tidak ada hasil yang ditemukan

DOCRPIJM 38aa3956a6 BAB VIIIBAB 8 ASPEK TEKNIS PER SEKTOR MADIUN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "DOCRPIJM 38aa3956a6 BAB VIIIBAB 8 ASPEK TEKNIS PER SEKTOR MADIUN"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 8

ASPEK TEKNIS

PER SEKTOR

Bagian ini menjabarkan rencana pembangunan infrastruktur bidang Cipta Karya yang

mencakup empat sektor yaitu pengembangan permukiman, penataan bangunan dan lingkungan,

pengembangan air minum, serta pengembangan penyehatan lingkungan permukiman yang terdiri

dari air limbah, persampahan, dan drainase. Penjabaran perencanaan teknis untuk tiap-tiap sektor

dimulai dari pemetaan isu-isu strategis yang mempengaruhi, penjabaran kondisi eksisting sebagai

baseline awal perencanaan, serta permasalahan dan tantangan yang harus diantisipasi. Tahapan

berikutnya adalah analisis kebutuhan dan pengkajian terhadap program-program sektoral, dengan

mempertimbangkan kriteria kesiapan pelaksanaan kegiatan. Kemudian dilanjutkan dengan

merumuskan usulan program dan kegiatan yang dibutuhkan.

8.1. Pengembangan Permukiman

Berdasarkan UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman,

permukiman didefinisikan sebagai bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu

satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang

kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau perdesaan.

Kegiatan pengembangan permukiman terdiri dari pengembangan permukiman kawasan

perkotaan dan kawasan perdesaan. Pengembangan permukiman kawasan perkotaan terdiri dari

pengembangan kawasan permukiman baru dan peningkatan kualitas permukiman kumuh,

sedangkan untuk pengembangan kawasan perdesaan terdiri dari pengembangan kawasan

permukiman perdesaan, kawasan pusat pertumbuhan, serta desa tertinggal.

8.1.1. Arahan Kebijakan dan Lingkup Kegiatan

Arahan kebijakan pengembangan permukiman mengacu pada amanat peraturan

perundangan, antara lain:

1. Undang-Undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional.

Arahan RPJMN Tahap 3 (2015-2019) menyatakan bahwa pemenuhan kebutuhan hunian yang

(2)

sehingga kondisi tersebut mendorong terwujudnya kota tanpa permukiman kumuh pada awal

tahapan RPJMN berikutnya.

2. Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.

Pasal 4 mengamanatkan bahwa ruang lingkup penyelenggaraan perumahan dan kawasan

permukiman juga mencakup penyelenggaraan perumahan (butir c), penyelenggaraan kawasan

permukiman (butir d), pemeliharaan dan perbaikan (butir e), serta pencegahan dan

peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh (butir f).

3. Undang-Undang No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun.

Pasal 15 mengamanatkan bahwa pembangunan rumah susun umum, rumah susun khusus, dan

rumah susun negara merupakan tanggung jawab pemerintah.

4. Peraturan Presiden No. 15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan.

Peraturan ini menetapkan salah satunya terkait dengan penanggulangan kemiskinan yang

diimplementasikan dengan penanggulangan kawasan kumuh.

5. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 14/PRT/M/2010 tentang Standar Pelayanan Minimal

Bidang Pekerjaan Umum dan Tata Ruang.

Peraturan ini menetapkan target berkurangnya luas permukiman kumuh di kawasan perkotaan

sebesar 10% pada tahun 2014.

Mengacu pada Permen PU No. 08/PRT/M/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja

Kementerian Pekerjaan Umum maka Direktorat Pengembangan Permukiman mempunyai tugas di

bidang perumusan dan pelaksanaan kebijakan, pembinaan teknik dan pengawasan teknik, serta

standardisasi teknis dibidang pengembangan permukiman. Adapun fungsi Direktorat

Pengembangan Permukiman adalah:

a. Penyusunan kebijakan teknis dan strategi pengembangan permukiman di perkotaan dan

perdesaan;

b. Pembinaan teknik, pengawasan teknik dan fasilitasi pengembangan kawasan permukiman

baru di perkotaan dan pengembangan kawasan perdesaan potensial;

c. Pembinaan teknik, pengawasan teknik dan fasilitasi peningkatan kualitas permukiman kumuh

termasuk peremajaan kawasan dan pembangunan rumah susun sederhana;

d. Pembinaan teknik, pengawasan teknik dan fasilitasi peningkatan kualitas permukiman di

kawasan tertinggal, terpencil, daerah perbatasan dan pulau-pulau kecil termasuk

penanggulangan bencana alam dan kerusuhan sosial;

e. Penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria, serta pembinaan kelembagaan dan peran

serta masyarakat di bidang pengembangan permukiman;

(3)

8.1.2. Isu Strategis, Kondisi Eksisting, Permasalahan, dan Tantangan A. Isu Strategis Pengembangan Permukiman

Berbagai isu strategis nasional yang berpengaruh terhadap pengembangan permukiman saat

ini adalah:

 Mengimplementasikan konsepsi pembangunan berkelanjutan serta mitigasi dan adaptasi

terhadap perubahan iklim.

 Percepatan pencapaian target MDGs 2020 yaitu penurunan proporsi rumahtangga kumuh

perkotaan.

 Perlunya dukungan terhadap pelaksanaan Program-Program Direktif Presiden yang

tertuang dalam MP3EI dan MP3KI.

 Percepatan pembangunan di wilayah timur Indonesia (Provinsi NTT, Provinsi Papua, dan

Provinsi Papua Barat) untuk mengatasi kesenjangan.

 Meminimalisir penyebab dan dampak bencana sekecil mungkin.

 Meningkatnya urbanisasi yang berimplikasi terhadap proporsi penduduk perkotaan yang

bertambah, tingginya kemiskinan penduduk perkotaan, dan bertambahnya kawasan

kumuh.

 Belum optimalnya pemanfaatan Infrastruktur Permukiman yang sudah dibangun.

 Perlunya kerjasama lintas sektor untuk mendukung sinergitas dalam pengembangan

kawasan permukiman.

 Belum optimalnya peran pemerintah daerah dalam mendukung pembangunan

permukiman. Ditopang oleh belum optimalnya kapasitas kelembagaan dan kualitas

sumber daya manusia serta perangkat organisasi penyelenggara dalam memenuhi

standar pelayanan minimal di bidang pembangunan perumahan dan permukiman.

Isu-isu strategis di atas merupakan isu terkait pengembangan permukiman yang terangkum

secara nasional. Namun, di masing-masing kabupaten/kota terdapat isu-isu yang bersifat lokal dan

spesifik yang belum tentu dijumpai di kabupaten/kota lain. Penjabaran isu-isu strategis

pengembangan permukiman yang bersifat lokal perlu dijabarkan sebagai informasi awal dalam

perencanaan.

Adapun isu-isu strategis yang ada di Kabupaten Madiun terkait dengan pengembangan

permukiman ssat ini adalah :

 Mengendalikan pemanfaatan ruang permukiman perdesaan terutama di area konservasi/

lindung;

 Mengembangkan permukiman perdesaan disesuaikan dengan karakter fisik, sosial-budaya dan

(4)

 Meningkatkan kualitas permukiman khususnya di kawasan perkotaan;

 Mengembangkan perumahan terjangkau khususnya di kawasan perkotaan;

 Menyediakan sarana dan prasarana permukiman perdesaan dan perkotaan;

 Mengembangkan kasiba/lisiba mandiri;

 Meningkatkan penyediaan hunian (sewa/milik) serta penyediaan sarana dan prasarana dasar

bagi rumah sederhana sehat;

 Mengembangkan dan menerapkan inovasi teknologi tepat guna bidang perumahan;

 Meningkatkan capaian pelayanan perumahan di perkotaan dan perdesaan serta implementasi

regulasi jasa konstruksi, pembangunan dan pengelolaan bangunan gedung dan rumah negara;

 Meningkatkan implementasi teknologi dan industri perumahan;

 Meningkatkan implementasi regulasi jasa konstruksi, pembangunan, dan pengelolaan

bangunan gedung dan rumah negara;

 Meningkatkan kualitas perumahan serta prasarana dan sarana dasar lingkungan permukiman

di daerah perdesaan, kawasan agropolitan, dan kawasan perbatasan;

 Meningkatkan peran pihak swasta dan masyarakat dalam penyediaan perumahan agar tercipta

pasar primer yang sehat;

 Mengembangkan kawasan perumahan skala besar yang ditunjang dengan peningkatan

penyediaan tanah untuk peningkatan pengembangan kawasan permukiman di perkotaan dan

perdesaan yang sesuai dengan rencana tata ruang;

 Mengembangkan pembangunan perumahan dan permukiman yang bertumpu pada

keswadayaan masyarakat; dan

 Meningkatkan kualitas perumahan serta prasarana dan sarana dasar lingkungan permukiman

di daerah perdesaan, kawasan agropolitan, dan kawasan perbatasan, serta penurunan luasan

kawasan kumuh.

B. Kondisi Eksisting Pengembangan Permukiman

Permukiman di Kabupaten Madiun tersebar secara merata di seluruh wilayah. Permukiman

tersebut dapat dibedakan menjadi permukiman pedesaan dan permukiman perkotaan. Untuk

permukiman perkotaan pada umumnya mengelompok pada suatu kawasan karena adanya faktor

daya tarik seperti fasilitas umum atau perdagangan dan jasa. Namun ada beberapa permukiman

perkotaan yang berkembang sesuai dengan jaringan jalan yang ada. Adapun ciri dari permukiman

perkotaan adalah jarak antar bangunan sempit, koefisien dasar bangunan berkisar antara 70-100.

Sedangkan Untuk permukiman pedesaan pada umumnya mengikuti jaringan jalan yang ada,

sedangkan tanah garapannya berada di luar kawasan permukiman. Adapun ciri dari permukiman

(5)

Bila ditinjau dari status yang membangun, maka permukiman di Kabupaten Madiun dapat

dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu :

1. Permukiman yang dibangun oleh masyarakat.

Permukiman ini tersebar secara merata di seluruh wilayah di Kabupaten Madiun baik dalam

bentuk permukiman perkotaan dan permukiman pedesaan dan dalam pelaksanaannya

dibangun sendiri oleh pemilik tanah.

2. Permukiman yang dibangun oleh pengembang :

Permukiman yang dibangun oleh pengembang saat ini mulai bermunculan di Kabupaten

Madiun, dimana areal pengembangannya tidak jauh dari Kota Madiun. Artinya bahwa

Kabupaten Madiun akan mendapat pengaruh perkembangan dari Kota Madiun khususnya

dalam penyediaan perumahan bagi masyarakat. Luas permukiman yang dibangun oleh

pengembang di Kabupaten Madiun masih dalam skala kecil bukan permukiman dalam skala

besar.

Beberapa permukiman yang dibangun oleh pengembang di Kabupaten Madiun antara lain :

 Perumnas Kaibon seluas 10 ha.

 Bumi Mojopurno Indah 2 di Desa Mojopurno Kecamatan Wungu.

 Bumi Mojopurno Indah di Desa Mojopurno Kecamatan Wungu.

 Griya Wilis Indah di Kelurahan Munggut Kecamatan Wungu.

 Munggut Indah di Desa Pilangrejo Kecamatan Wungu.

 Garden Family di Kelurahan Ngampel Kecamatan Mejayan.

 Pesona Anggrek Jingga.

 Griya Pendowo Kecamatan Dagangan.

Bila ditinjau dari kondisi bangunan yang ada, maka untuk permukiman pedesaan sebagian

besar merupakan permukiman non permanen dan tersebar hampir di seluruh wilayah perencanaan.

Jumlah permukiman non permanen di Kabupaten Madiun sebesar 48.038 unit rumah sedangkan

136.130 unit rumah merupakan rumah tembok. Rumah non permanen di Kabupaten Madiun

terbanyak berada di Kecamatan Saradan, Pilangkenceng, Kare, Gemarang, Balerejo.

C. Permasalahan dan Tantangan Pengembangan Permukiman

Permasalahan dan tantangan pengembangan permukiman di Kabupaten Madiun antara

lain :

 Permasalahan pengembangan permukiman diantaranya :

 Akibat tekanan pembangunan maka sering terjadi pemanfaatan kawasan permukiman

yang menggunakan kawasan dengan fungsi lindung terutama yang berada di bagian

(6)

 Rawan terjadi bencana banjir di kawasan permukiman yang berbatasan dengan Kali

Madiun yang diakibatkan kerusakan hutan lindung dan kegiatan budidaya yang tidak

dilakukan sesuai dengan kaidah-kaidah lingkungan baik di Kabupaten Madiun maupun

kabupaten-kabupaten sekitar;

 Banyak terdapat permukiman penduduk yang memanfaatkan sempadan sungai.

 Tantangan pengembangan permukiman diantaranya :

 Kawasan permukiman perkotaan dan perdesaan harus dapat menjadikan sebagai tempat

hunian yang aman, nyaman, dan produktif, serta didukung oleh sarana dan prasarana

permukiman.

 Setiap kawasan permukiman dilengkapi dengan sarana dan prasarana permukiman sesuai

hierarki dan tingkat pelayanan masing-masing.

 Setiap pengembangan kawasan permukiman harus memegang kaidah lingkungan hidup

dan bersesuaian dengan rencana tata ruang wilayah.

Kawasan Kumuh di Kabupaten Madiun

Kumuh merupakan lingkungan permukiman yang telah mengalami penurunan kualitas

secara fisik, ekonomi, dan budaya, dan lokasinya sesuai dengan rencana tata ruang wilayah

kabupaten/kota. Permukiman kumuh mengacu pada aspek lingkungan hunian atau komunitas.

Permukiman kumuh adalah permukiman yang tidak layak huni karena tidak memenuhi

persyaratan untuk hunian baik secara teknis maupun non teknis. Suatu permukiman kumuh dapat

dikatakan sebagai pengejawantahan dari kemiskinan, karena pada umumnya di pemukiman

kumuhlah masyarakat miskin tinggal dan banyak kita jumpai di kawasan perkotaan.

Dikaitkan dengan kemungkinan penanganan kepemilikan tanahnya dan konsekuensi legal

maupun biaya, maka penanganan Kawasan kumuh di atas tanah negara akan sangat berbeda

dengan Kawasan kumuh di atas tanah milik. Berdasarkan perbedaan karakteristik dan

permasalahannya, maka dibutuhkan pendekatan dan penanganan yang berbeda. Ketidaktepatan

dalam pemilihan pola penanganan yang mengacu pada tipologi permasalahan kumuh akan

mengakibatkan kegagalan dalam penanganannya.

Berdasarkan arahan dari berbagai pihak dan studi terkait yang pernah dilakukan, dapat

diketahui bahwa di wilayah Kabupaten Madiun yang dapat diklasifikasikan sebagai kawasan kumuh

perkotaan adalah 2 (dua) kawasan 2 (dua) wilayah kelurahan diantaranya : Kelurahan Krajan dan

Kelurahan Bangunsari.

Penyebab kekumuhan kawasan pada masing-masing kelurahan yang dimaksud

berbeda-beda antara satu dengan lainnya. Keseluruhan luas kawasan permukiman kumuh di Kabupaten

(7)

sejalan dengan program pemerintah menurunkan angka permukiman kumuh mencapai 0% sampai

(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)

8.1.3. Analisis Kebutuhan Pengembangan Permukiman

Analisis kebutuhan merupakan tahapan selanjutnya dari identifikasi kondisi eksisting.

Analisis kebutuhan mengaitkan kondisi eksisting dengan target kebutuhan yang harus dicapai.

Terdapat arahan kebijakan yang menjadi acuan penetapan target pembangunan bidang Cipta

Karya khususnya sektor pengembangan permukiman.

Tujuan pengembangan perumahan dan permukiman di Kabupaten Madiun, sebagai

berikut:

1. Mendistribusikan perkembangan fisik, kependudukan dan keramaian Kabupaten madiun ke

Arah Selatan, Barat dan Utara

2. Menyediakan lahan untuk memenuhi kebutuhan akan permukiman di Kabupaten Madiun

3. Menciptakan generator bagi Kabupaten Madiun, khususnya pada bagian selatan, barat dan

utara

Berdasarkan kondisi, permasalahan dan potensi permukiman di Kabupaten Madiun, maka

terdapat beberapa aspek yang menjadi pertimbangan, yaitu :

1. Aspek Keterkaitan dengan system kota (Urban Lingkage)

Permukiman sangat berkaitan erat dengan sistem pelayanan kota sesuai dengan hierarki dari

fungsi dan peran kawasan sehingga seharusnya tidak ada lagi perukiman yang tidak berakses

dan terlayani/terintegrasi dengan baik oleh sistem infrastruktur kota. Sedangkan pemenuhan

fasilitas pelayanan permukiman menjadi bagian (satu kesatuan) dari fasilitas kota dengan skala

besar

2. Sosial Budaya Setempat

Aspek sosial budaya menjadi faktor penting dalam pengembangan suatu permukiman karena

menyangkut pola kehidupan masyarakat sehari-hari yang menghuni kawasan, dan

terbentuknya sosial budaya masyarakat memberi karakter atau citra lingkugan tersendiri yang

berbeda dengan permukiman lainnya sehingga mempengaruhi pengaturan dan

pengembangan pola/komposisi perletakan perumahan dan aktivitas ekonomi yang ada.

Budaya masyarakat yang berkebun akan berbeda dengan dengan permukiman di tengah kota.

3. Perekonomian Wilayah

Permukiman yang ada umumya berkaitan erat dengan mata pencaharian penduduk, sehingga

lokasi, aksesibilitas serta pola kehidupan dari suatu permukiman menentukan ekonomi

masyarakat. Sehingga diharapkan dalam skenario pengembangan permukiman, dapat

menjadikan permukiman yang ada maupun yang akan dikembangkan dapat dioptimalkan

(14)

4. Bentukan alam

Kondisi pengembangan permukiman saat ini cenderung kurang menghargai/memperhatikan

kondisi bentukan alam sehingga potensi alam yang sangat penting/vital untuk dkala kawasan

maupun lingkungan, kurang/tidak termanfaatkan dengan baik atau saling menunjang, tetapi

cenderung merusak alam, sehingga menimbulkan bencana alam seperti banjir,longsor,

kekeringan dll). Sehingga penyusunan skenario awal pengembangan permukiman yang

dikaitkan konteksnya dengan bentukan alam, antara lain :

 Memanfaatkan dan menjaga kontur tanah yang ada dengan seminimal mungkin

melakukan cut & fil

 Memanfatkan dan menjaga vegetasi alam yang ada dengan menjadikannya sebagai hijau

kawasan permukiman

 Menjaga area tangkapan air dengan pengaturan densits/kepadatan bangunan, sehingga

pembangunan yang ada tidak terlalu mengganggu lahan resapan air

 Memanfaatkan dan memadukan perencanaan kawasan permukiman dengan kondisi

topografis kawasan dengan memanfaatkan bentuk tebing, lembah, bukit, sungai

 Memanfaatkan ketinggian lokasi untuk mendapatkan potensi view yang ada.

Berdasarkan konsep tersebut, maka permukiman di Kabupaten Madiun dibagi menjadi 2

(dua) yaitu : 1) permukiman perkotaan dan 2) Permukiman Perdesaan dengan luas rencana

pengembangan kurang lebih 13.861 ha yang tersebar di seluruh kecamatan.

a. Kawasan Permukiman Perkotaan

Kawasan perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian

dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan

distribusi jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. Kawasan perkotaan

ditetapkan untuk mengoptimalkan pemanfaatan lahan yang umumnya terbatas. Permukiman

perkotaan meliputi :

 Permukiman perkotaan yang berada di Pusat Kegiatan Lokal (PKL) yaitu perkotaan

Mejayan

 Permukiman perkotaan yang berada di Pusat Kegiatan Lokal yang dipromosikan (PKLp)

yaitu perkotaan Jiwan, Perkotaan Dolopo dan Perkotaan Wungu (Dungus)

 Permukiman perkotaan yang berada di Pusat Pelayanan Kawasan (PPK) yaitu di

masing-masing ibukota kecamatan

Kriteria yang digunakan dalam penetapan kawasan permukiman perkotaan adalah :

 Memperhitungkan kecenderungan perkembangan pembangunan permukiman baru

(15)

Rencana Pemantapan kawasan permukiman perkotaan di Kabupaten Madiun adalah sebagai

berikut :

 Perubahan penggunaan tanah menjadi kawasan terbangun permukiman dilakukan secara

bertahap dengan sedapat mungkin mendahulukan tanah yang produktivitasnya paling

rendah.

 Permukiman perkotaan diarahkan pada penyediaan hunian yang layak dan dilayani oleh

sarana dan prasarana permukiman yang memadai;

 Membentuk kluster-kluster permukiman untuk menghindari penumpukan dan penyatuan

antar kawasan permukiman, dan diantara kluster permukiman disediakan ruang terbuka

hijau;

 Pengembangan permukiman perkotaan kecil dilakukan melalui pembentukan pusat

pelayanan kecamatan; dan

 Ketentuan teknis lingkungan bangunan disesuaikan dengan ketentuan oleh instansi

terkait.

b. Pengembangan permukiman kawasan khusus seperti penyediaan tempat peristirahatan pada

kawasan pariwisata, kawasan permukiman baru sebagai akibat perkembangan infrastruktur,

kegiatan sentra ekonomi, sekitar kawasan industri, dilakukan dengan tetap memegang kaidah

lingkungan hidup dan bersesuaian dengan rencana tata ruang.

c. Kawasan Permukiman Pedesaan

Kawasan perdesaan merupakan daerah tempat tinggal sebagian besar masyarakat Kabupaten

Madiun yang kehidupan pokoknya bersumber pada pola pertanian. Kawasan permukiman

perdesaan merupakan kawasan dengan ciri dan karakteristik, sebagai berikut :

 Sifat dan karakteristik lingkungan permukiman masih mencirikan tata dan lingkungan

kehidupan rural.

 luas penggunaan ruang untuk perumahan di lingkungan permukiman pedesaan ini 500 m².

 Lingkungan kegiatan usaha didominasi oleh sektor pertanian.

 Interaksi pergerakan masih rendah dan sangat dipengaruhi oleh interaksi hubungan

eksternal.

Arahan pengembangan untuk kawasan permukiman perdesaan adalah :

 Mengelompokkan lokasi permukiman perdesaan yang sudah ada.

 Menghindari sawah irigasi teknis.

 Memperhatikan kebutuhan perumahan penduduk pedesaan pada masa yang akan datang

dengan memperhitungkan daya tampung, yang terkait dengan lahan usahanya.

(16)

 Setiap kawasan permukiman dilengkapi dengan sarana dan prasarana permukiman sesuai

hirarki dan tingkat pelayanan masing-masing;

 Permukiman perdesaan sebagai hunian berbasis agraris, dikembangkan dengan

memanfaatkan lahan pertanian, halaman rumah, dan lahan kurang produktif sebagai

basis kegiatan usaha;

 Permukiman perdesaan yang berlokasi di pegunungan dikembangkan dengan berbasis

perkebunan dan agrowisata, disertai pengolahan hasil. Permukiman perdesaan yang

berlokasi di dataran rendah, basis pengembangannya adalah pertanian tanaman pangan

dan perikanan darat, serta pengolahan hasil pertanian;

Rencana pemantapan kawasan permukiman perdesaan, dengan memperhatikan beberapa hal

yaitu :

 Menyediakan sarana dan prasarana pendukung berdasarkan fungsi dan hirarkhi wilayah.

 Kawasan terbangun perdesaan dapat dikembangkan pada kawasan yang dapat dialih

fungsikan ke bukan pertanian.

8.1.4. Program-Program Sektor Pengembangan Permukiman

Kegiatan pengembangan permukiman terdiri dari pengembangan permukiman kawasan

perkotaan dan kawasan perdesaan. Pengembangan permukiman kawasan perkotaan terdiri dari:

1. pengembangan kawasan permukiman baru dalam bentuk pembangunan Rusunawa serta

2. peningkatan kualitas permukiman kumuh dan RSH.

Sedangkan untuk pengembangan kawasan perdesaan terdiri dari:

1. pengembangan kawasan permukiman perdesaan untuk kawasan potensial (Agropolitan dan

Minapolitan), rawan bencana, serta perbatasan dan pulau kecil,

2. pengembangan kawasan pusat pertumbuhan dengan program

PISEW (RISE),

3. desa tertinggal dengan program PPIP dan RIS PNPM.

Selain kegiatan fisik di atas program/kegiatan pengembangan permukiman dapat berupa

kegiatan non-fisik seperti penyusunan RP2KP dan RTBL KSK ataupun review bilamana diperlukan.

 Pengembangan Kawasan Permukiman Perkotaan

 Infrastruktur kawasan permukiman kumuh

 Infrastruktur permukiman RSH

 Rusunawa beserta infrastruktur pendukungnya

 Pengembangan Kawasan Permukiman Perdesaan

(17)

 Infrastruktur kawasan permukiman rawan bencana

 Infrastruktur kawasan permukiman perbatasan dan pulau kecil

 Infrastruktur pendukung kegiatan ekonomi dan sosial (PISEW)

 Infrastruktur perdesaan PPIP

 Infrastruktur perdesaan RIS PNPM

Adapun alur fungsi dan program pengembangan permukiman tergambar dalam gambar

8.1.

Sumber: Dit. Pengembangan Permukiman, 2012

Kriteria Kesiapan (Readiness Criteria)

Dalam pengembangan permukiman terdapat kriteria yang menentukan, yang terdiri dari

kriteria umum dan khusus, sebagai berikut.

1. Umum

(18)

 Indikator kinerja sesuai dengan yang ditetapkan dalam Renstra.

 Kesiapan lahan (sudah tersedia).

 Sudah tersedia DED.

 Tersedia Dokumen Perencanaan Berbasis Kawasan (RP2KP, RTBL KSK, Masterplan.

Agropolitan & Minapolitan, dan KSK)

 Tersedia Dana Daerah untuk Urusan Bersama (DDUB) dan dana daerah untuk pembiayaan

komponen kegiatan sehingga sistem bisa berfungsi.

 Ada unit pelaksana kegiatan.

 Ada lembaga pengelola pasca konstruksi.

2. Khusus

 Rusunawa

 Kesediaan Pemda utk penandatanganan MoA

 Dalam Rangka penanganan Kws. Kumuh

 Kesanggupan Pemda menyediakan Sambungan Listrik, Air Minum, dan PSD lainnya

 Ada calon penghuni RIS PNPM

 Sudah ada kesepakatan dengan Menkokesra.

 Desa di kecamatan yang tidak ditangani PNPM Inti lainnya.

 Tingkat kemiskinan desa >25%.

 Bupati menyanggupi mengikuti pedoman dan menyediakan BOP minimal 5% dari

BLM. PPIP

 Hasil pembahasan dengan Komisi V - DPR RI

 Usulan bupati, terutama kabupaten tertinggal yang belum ditangani program Cipta

Karya lainnya

 Kabupaten reguler/sebelumnya dengan kinerja baik

 Tingkat kemiskinan desa >25%

 PISEW

 Berbasis pengembangan wilayah

 Pembangunan infrastruktur dasar perdesaan yang mendukung (i) transportasi, (ii)

produksi pertanian, (iii) pemasaran pertanian, (iv) air bersih dan sanitasi, (v)

pendidikan, serta (vi) kesehatan

 Mendukung komoditas unggulan kawasan

Selain kriteria kesiapan seperti di atas terdapat beberapa kriteria yang harus diperhatikan

dalam pengusulan kegiatan pengembangan permukiman seperti untuk penanganan kawasan

(19)

permukiman kumuh memiliki ciri (1) ketidakteraturan dan kepadatan bangunan yang tinggi, (2)

ketidaklengkapan prasarana, sarana, dan utilitas umum, (3) penurunan kualitas rumah, perumahan,

dan permukiman, serta prasarana, sarana dan utilitas umum, serta (4) pembangunan rumah,

perumahan, dan permukiman yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah. Lebih lanjut

kriteria tersebut diturunkan ke dalam kriteria yang selama ini diacu oleh Ditjen. Cipta Karya meliputi

sebagai berikut:

1. Vitalitas Non Ekonomi

a. Kesesuaian pemanfaatan ruang kawasan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota atau

RDTK, dipandang perlu sebagai legalitas kawasan dalam ruang kota.

b. Fisik bangunan perumahan permukiman dalam kawasan kumuh memiliki indikasi

terhadap penanganan kawasan permukiman kumuh dalam hal kelayakan suatu hunian

berdasarkan intensitas bangunan yang terdapat didalamnya.

c. Kondisi Kependudukan dalam kawasan permukiman kumuh yang dinilai, mempunyai

indikasi terhadap penanganan kawasan permukiman kumuh berdasarkan kerapatan dan

kepadatan penduduk.

2. Vitalitas Ekonomi Kawasan

a. Tingkat kepentingan kawasan dalam letak kedudukannya pada wilayah kota, apakah

apakah kawasan itu strategis atau kurang strategis.

b. Fungsi kawasan dalam peruntukan ruang kota, dimana keterkaitan dengan faktor

ekonomi memberikan ketertarikan pada investor untuk dapat menangani kawasan kumuh

yang ada. Kawasan yang termasuk dalam kelompok ini adalah pusat-pusat aktivitas bisnis

dan perdagangan seperti pasar, terminal/stasiun, pertokoan, atau fungsi lainnya.

c. Jarak jangkau kawasan terhadap tempat mata pencaharian penduduk kawasan

permukiman kumuh.

3. Status Kepemilikan Tanah

a. Status pemilikan lahan kawasan perumahan permukiman.

b. Status sertifikat tanah yang ada.

4. Keadaan Prasarana dan Sarana: Kondisi Jalan, Drainase, Air bersih, dan Air limbah.

5. Komitmen Pemerintah Kabupaten/Kota

a. Keinginan pemerintah untuk penyelenggaraan penanganan kawasan kumuh dengan

indikasi penyediaan dana dan mekanisme kelembagaan penanganannya.

b. Ketersediaan perangkat dalam penanganan, seperti halnya rencana penanganan (grand

(20)

8.1.5. Usulan Program dan Kegiatan

a. Usulan Program dan Kegiatan Pengembangan Permukiman

Setelah melalui tahapan analisis kebutuhan untuk mengisi kesenjangan antara kondisi

eksisting dengan kebutuhan maka perlu disusun usulan program dan kegiatan. Namun usulan

program dan kegiatan terbatasi oleh waktu dan kemampuan pendanaan pemerintah Kabupaten

Madiun. Sehingga untuk jangka waktu perencanaan lima tahun dalam RPI2JM dibutuhkan suatu

kriteria untuk menentukan prioritasi dari tahun pertama hingga kelima.

Tabel 8.1

Usulan dan Prioritas Program Infrastruktur Permukiman Kabupaten Madiun Tahun 2016

1 PEMBANGUNAN DAN PENGEMBANGAN KWS PERMUKIMAN PERDESAAN POTENSIAL

Penyediaan Infrastruktur Permukiman Kawasan Perdesaan potensial

13/Kawasan 8,155,000 Kabupaten Madiun

Dalam pengembangan permukiman, Pemerintah Daerah didorong untuk terus

meningkatkan alokasinya pada sektor tersebut serta mencari alternatif sumber pembiayaan dari

masyarakat dan swasta (KPS, CSR).

Tabel 8.2

(21)

No. Program/

Kegiatan APBN

APBD Prov

APBD Kab/kota

Masya

rakat Swasta CSR TOTAL

3 Penyediaan Infrastruktur Pengembangan Kawasan Agropolitan

5,973,000 - 590,000 - - - 6,563,000

4 Peningkatan Pasar Agropolitan

5,000,000 - - - 5,000,000

5 PSD Perdesaan Potensial

Agropolitan Kws. Madiun

2,000,000 - - - 2,000,000

Usulan prioritas kegiatan dan pembiayaan secara lebih rinci dapat dituangkan ke dalam

(22)

Tabel 8.3

Usulan Program dan Kegiatan Pengembangan Permukiman Kabupaten Madiun Tahun 2016 - 2020

No.

Uraian Kegiatan

Detail Lokasi

Volume

Satuan

Sumber Pembiayaan (Rp) x 1.000

APBN

DAK

APBD

Provinsi

APBD

Kab/Kota

Perusahaan

Daerah

Rupiah

Murni

PHLN

PENGEMBANGAN PERMUKIMAN

5.

Pembangunan dan Pengembangan Kawasan Permukiman Perdesaan

5.a. Pembangunan dan Pengembangan Kws Permukiman Perdesaan Potensial

Penyediaan Infrastruktur Permukiman

Kawasan Perdesaan potensial

Kab. Madiun

13

Kawasan

7,855,000

300,000

Pembangunan Pasar Agropolitan

Dolopo, Dagangan

2

Kawasan

1,978,000

280,000

Penyediaan Infrastruktur

Pengembangan Kawasan Agropolitan

Kab. Madiun

8

Kawasan

5,973,000

590,000

Peningkatan Pasar Agropolitan

Kec. Dolopo

1

Kawasan

5,000,000

PSD Perdesaan Potensial Agropolitan

Kws. Madiun

Kab. Madiun

1

Kawasan

2,000,000

(23)

8.2. Penataan Bangunan dan Lingkungan

8.2.1. Arahan Kebijakan dan Lingkup Kegiatan PBL

Penataan bangunan dan lingkungan adalah serangkaian kegiatan yang diperlukan sebagai

bagian dari upaya pengendalian pemanfaatan ruang, terutama untuk mewujudkan lingkungan

binaan, baik di perkotaan maupun di perdesaan, khususnya wujud fisik bangunan gedung dan

lingkungannya.

Kebijakan penataan bangunan dan lingkungan mengacu pada Undangundang dan

peraturan antara lain :

1. UU No.1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman

UU No. 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman memberikan amanat

bahwa penyelenggaraan penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman adalah

kegiatan perencanaan, pembangunan, pemanfaatan, dan pengendalian, termasuk di dalamnya

pengembangan kelembagaan, pendanaan dan sistem pembiayaan, serta peran masyarakat

yang terkoordinasi dan terpadu.

Pada UU No. 1 tahun 2011 juga diamanatkan pembangunan kaveling tanah yang telah

dipersiapkan harus sesuai dengan persyaratan dalam penggunaan, penguasaan, pemilikan

yang tercantum pada rencana rinci tata ruang dan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan

(RTBL).

2. UU No. 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung

UU No. 28 tahun 2002 memberikan amanat bangunan gedung harus diselenggarakan secara

tertib hukum dan diwujudkan sesuai dengan fungsinya, serta dipenuhinya persyaratan

administratif dan teknis bangunan gedung.

Persyaratan administratif yang harus dipenuhi adalah :

a. Status hak atas tanah, dan/atau izin pemanfaatan dari pemegang hak atas tanah;

b. Status kepemilikan bangunan gedung; dan

c. Izin mendirikan bangunan gedung.

Persyaratan teknis bangunan gedung melingkupi persyaratan tata bangunan dan persyaratan

keandalan bangunan. Persyaratan tata bangunan ditentukan pada RTBL yang ditetapkan oleh

Pemda, mencakup peruntukan dan intensitas bangunan gedung, arsitektur bangunan gedung,

dan pengendalian dampak lingkungan. Sedangkan, persyaratan keandalan bangunan gedung

mencakup keselamatan, kesehatan, keamanan, dan kemudahan. UU No. 28 tahun 2002 juga

mengamatkan bahwa dalam penyelenggaraan bangunan gedung yang meliputi kegiatan

pembangunan, pemanfaatan, pelestarian dan pembongkaran, juga diperlukan peran

(24)

3. PP 36/2005 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung

Secara lebih rinci UU No. 28 tahun 2002 dijelaskan dalam PP No. 36 Tahun 2005 tentang

peraturan pelaksana dari UU No. 28/2002. PP ini membahas ketentuan fungsi bangunan

gedung, persyaratan bangunan gedung, penyelenggaraan bangunan gedung, peran

masyarakat, dan pembinaan dalam penyelenggaraan bangunan gedung. Dalam peraturan ini

ditekankan pentingnya bagi pemerintah daerah untuk menyusun Rencana Tata Bangunan dan

Lingkungan (RTBL) sebagai acuan rancang bangun serta alat pengendalian pengembangan

bangunan gedung dan lingkungan.

4. Permen PU No. 06/PRT/M/2007 tentang Pedoman Umum Rencana Tata Bangunan dan

Lingkungan

Sebagai panduan bagi semua pihak dalam penyusunan dan pelaksanaan dokumen RTBL, maka

telah ditetapkan Permen PU No. 06/PRT/M/2007 tentang Pedoman Umum Rencana Tata

Bangunan dan Lingkungan. Dalam peraturan tersebut, dijelaskan bahwa RTBL disusun pada

skala kawasan baik di perkotaan maupun perdesaan yang meliputi kawasan baru berkembang

cepat, kawasan terbangun, kawasan dilestarikan, kawasan rawan bencana, serta kawasan

gabungan dari jenis-jenis kawasan tersebut. Dokumen RTBL yang disusun kemudian

ditetapkan melalui peraturan walikota/bupati.

5. Permen PU No.14 /PRT/M/2010 tentang Standar Pelayanan Minimal bidang Pekerjaan Umum

dan Penataan Ruang

Permen PU No: 14 /PRT/M/2010 tentang Standar Pelayanan Minimal bidang Pekerjaan Umum

dan Penataan Ruang mengamanatkan jenis dan mutu pelayanan dasar Bidang Pekerjaan

Umum dan Penataan Ruang yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh

setiap warga secara minimal. Pada Permen tersebut dilampirkan indikator pencapaian SPM

pada setiap Direktorat Jenderal di lingkungan Kementerian PU beserta sektor-sektornya.

Lingkup Tugas dan Fungsi Direktorat PBL

Sebagaimana dinyatakan pada Permen PU No.8 tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata

Kerja Kementerian PU, pada Pasal 608 dinyatakan bahwa Direktorat Penataan Bangunan dan

Lingkungan mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas pokok Direktorat Jenderal Cipta Karya

di bidang perumusan dan pelaksanakan kebijakan, penyusunan produk pengaturan, pembinaan dan

pengawasan serta fasilitasi di bidang penataan bangunan dan lingkungan termasuk pembinaan

pengelolaan gedung dan rumah negara.

Kemudian selanjutnya pada Pasal 609 disebutkan bahwa Direktorat Penataan Bangunan

(25)

a. Penyusunan kebijakan teknis dan strategi penyelenggaraan penataan bangunan dan

lingkungan termasuk gedung dan rumah negara;

b. Pembinaan teknik, pengawasan teknik, fasilitasi serta pembinaan pengelolaan bangunan

gedung dan rumah negara termasuk fasilitasi bangunan gedung istana kepresidenan;

c. Pembinaan teknik, pengawasan teknik dan fasilitasi penyelenggaraan penataan bangunan dan

lingkungan dan pengembangan keswadayaan masyarakat dalam penataan lingkungan;

d. Pembinaan teknik, pengawasan teknik dan fasilitasi revitalisasi kawasan dan bangunan

bersejarah/tradisional, ruang terbuka hijau, serta penanggulangan bencana alam dan

kerusuhan sosial;

e. Penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria, serta pembinaan kelembagaan

penyelenggaraan penataan bangunan dan lingkungan; dan

f. Pelaksanaan tata usaha Direktorat.

Lingkup tugas dan fungsi tersebut dilaksanakan sesuai dengan kegiatan pada sektor PBL,

yaitu kegiatan penataan lingkungan permukiman, kegiatan penyelenggaraan bangunan gedung

dan rumah negara dan kegiatan pemberdayaan komunitas dalam penanggulangan kemiskinan

seperti ditunjukkan pada Gambar 8.2.

Gambar 8.2 Lingkup Tugas PBL

Lingkup kegiatan untuk dapat mewujudkan lingkungan binaan yang baik sehingga terjadi

(26)

a. Kegiatan penataan lingkungan permukiman

 Penyusunan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL);

 Bantuan Teknis pengelolaan Ruang Terbuka Hijau (RTH);

 Pembangunan Prasarana dan Sarana peningkatan lingkungan pemukiman kumuh dan

nelayan;

 Pembangunan prasarana dan sarana penataan lingkungan pemukiman tradisional.

b. Kegiatan pembinaan teknis bangunan dan gedung

 Diseminasi peraturan dan perundangan tentang penataan bangunan dan lingkungan;

 Peningkatan dan pemantapan kelembagaan bangunan dan gedung;

 Pengembangan sistem informasi bangunan gedung dan arsitektur;

 Pelatihan teknis.

c. Kegiatan pemberdayaan masyarakat di perkotaan

 Bantuan teknis penanggulangan kemiskinan di perkotaan;

 Paket dan Replikasi.

8.2.2. Isu Strategis, Kondisi Eksisting, Permasalahan, dan Tantangan A. Isu Strategis

Untuk dapat merumuskan isu strategis Bidang PBL, maka dapat dilihat dari Agenda

Nasional dan Agenda Internasional yang mempengaruhi sektor PBL. Untuk Agenda Nasional, salah

satunya adalah Program PNPM Mandiri, yaitu Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat

Mandiri, sebagai wujud kerangka kebijakan yang menjadi dasar acuan pelaksanaan

program-program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat. Agenda nasional

lainnya adalah pemenuhan Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang Pekerjaan Umum dan

Penataan Ruang, khususnya untuk sektor PBL yang mengamanatkan terlayaninya masyarakat

dalam pengurusan IMB di kabupaten/kota dan tersedianya pedoman Harga Standar Bangunan

Gedung Negara (HSBGN) di kabupaten/kota.

Agenda internasional yang terkait diantaranya adalah pencapaian MDG’s 2015, khususnya

tujuan 7 yaitu memastikan kelestarian lingkungan hidup. Target MDGs yang terkait bidang Cipta

Karya adalah target 7C, yaitu menurunkan hingga separuhnya proporsi penduduk tanpa akses

terhadap air minum layak dan sanitasi layak pada 2015, serta target 7D, yaitu mencapai

peningkatan yang signifikan dalam kehidupan penduduk miskin di permukiman kumuh pada tahun

2020.

Agenda internasional lainnya adalah isu Pemanasan Global (Global Warming). Pemanasan

(27)

berlebihan mengakibatkan naiknya suhu permukaan global hingga 6.4 °C antara tahun 1990 dan

2100, serta meningkatnnya tinggi muka laut di seluruh dunia hingga mencapai 10-25 cm selama

abad ke-20. Kondisi ini memberikan dampak bagi kawasan-kawasan yang berada di pesisir pantai,

yaitu munculnya bencana alam seperti banjir, kebakaran serta dampak sosial lainnya.

Agenda Habitat juga merupakan salah satu Agenda Internasional yang juga mempengaruhi

isu strategis sektor PBL. Konferensi Habitat I yang telah diselenggarakan di Vancouver, Canada,

pada 31 Mei-11 Juni 1976, sebagai dasar terbentuknya UN Habitat pada tahun 1978, yaitu sebagai

lembaga PBB yang mengurusi permasalahan perumahan dan permukiman serta pembangunan

perkotaan. Konferensi Habitat II yang dilaksanakan di lstanbul, Turki, pada 3 - 14 Juni 1996 dengan

dua tema pokok, yaitu "Adequate Shelter for All" dan "Sustainable Human Settlements

Development in an Urbanizing World", sebagai kerangka dalam penyediaan perumahan dan

permukiman yang layak bagi masyarakat.

Dari agenda-agenda tersebut maka isu strategis untuk bidang PBL dapat dirumuskan

adalah sebagai berikut :

1. Penataan Lingkungan Permukiman

a. Pengendalian pemanfaatan ruang melalui RTBL;

b. PBL mengatasi tingginya frekuensi kejadian kebakaran di perkotaan;

c. Pemenuhan kebutuhan ruang terbuka publik dan ruang terbuka hijau (RTH) di perkotaan;

d. Revitalisasi dan pelestarian lingkungan permukiman tradisional dan bangunan bersejarah

berpotensi wisata untuk menunjang tumbuh kembangnya ekonomi lokal;

e. Peningkatan kualitas lingkungan dalam rangka pemenuhan Standar Pelayanan Minimal;

f. Pelibatan pemerintah daerah dan swasta serta masyarakat dalam penataan bangunan dan

lingkungan.

2. Penyelenggaraan Bangunan Gedung dan Rumah Negara

a. Tertib pembangunan dan keandalan bangunan gedung (keselamatan, kesehatan,

kenyamanan dan kemudahan);

b. Pengendalian penyelenggaraan bangunan gedung dengan perda bangunan gedung di

kab/kota;

c. Tantangan untuk mewujudkan bangunan gedung yang fungsional, tertib, andal dan

mengacu pada isu lingkungan/ berkelanjutan;

d. Tertib dalam penyelenggaraan dan pengelolaan aset gedung dan rumah negara;

e. Peningkatan kualitas pelayanan publik dalam pengelolaan gedung dan rumah Negara.

3. Pemberdayaan Komunitas dalam Penanggulangan Kemiskinan, keberlanjutan dan sinergi

(28)

B. Kondisi Eksisting, Permasalahan dan Tantangan

Kondisi bangunan permukiman di wilayah Kabupaten Madiun mayoritas memiliki kondisi

bangunan permanen.Bila ditinjau dari status yang membangun, maka permukiman di Kabupaten

Madiun dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu :

1. Permukiman yang dibangun oleh masyarakat :

Permukiman ini tersebar secara merata di seluruh wilayah Kabupaten Madiun baik dalam

bentuk permukiman perkotaan dan permukiman pedesaan dan dalam pelaksanaannya

dibangun sendiri oleh pemilik tanah.

2. Permukiman yang dibangun oleh pengembang :

Pemukiman yang dibangun oleh pengembang saat ini mulai bermunculan di Kabupaten

Madiun, dimana areal pengembangannya tidak jauh dari Kota Madiun. Artinya, bahwa

Kabupaten Madiun akan mendapat limpahan perkembangan dari Kota Madiun khususnya

dalam penyediaan perumahan bagi masyarakat. Luas permukiman yang dibangun oleh

pengembang di Kabupaten Madiun masih dalam skala kecil bukan permukiman dalam skala

besar.

Beberapa permukiman yang dibangun oleh pengembang di Kabupaten Madiun antara lain:

 Bumi Mojopurno Indah di Kelurahan Mojopurno Kecamatan Wungu.

 Bumi Mojopurno Indah 2 di Kelurahan Mojopurno Kecamatan Wungu.

 Griya Wilis Indah di Kelurahan Munggut Kecamatan Wungu.

 Munggut Indah di Desa Pilangrejo Kecamatan Wungu.

 Garden Family di Kelurahan Ngampel Kecamatan Mejayan.

 Pesona Anggrek Jingga.

Intensitas bangunan yang diidentifikasi meliputi KDB, KLB dan Garis Sempadan Bangunan.

Koefisien Dasar Bangunan (KDB) adalah perbandingan luas tanah bangunan dengan luas tanah.

Koefisien Lantai Bangunan adalah perbandingan antara luas dasar bangunan dengan luas persil.

Garis Sempadan Bangunan adalah jarak antara batas persil (Pagar) dengan bangunan paling depan.

Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh bahwa koefisien dasar bangunan di Kabupaten

Madiun sangat beragam disesuaikan dengan jenis penggunaan. Lebih jelasnya adalah sebagai

berikut :

 Permukiman berkisar antara 60 – 80 %

(29)

 Fasilitas umum maksimal 80 %

 Industri/pergudangan berkisar antara 50 – 70 %

Koefisien lantai bangunan berkaitan erat dengan jumlah lantai bangunan. Di Kabupaten

Madiun jumlah lantai bangunan rata-rata 1 lantai, kecuali pada beberapa kawasan perdagangan dan

jasa di perkotaan di sepanjang jalan utama yang berlantai 2. Dengan demikian bangunan-bangunan

tersebut memiliki KLB 2 kali KDB.

Garis Sempadan Bangunan adalah garis yang berada di batas bangunan terhadap batas

bahu jalan atau jarak yang diukur dari pagar ke bangunan. Nilai GSB bermanfaat untuk

mengendalikan tata letak bangunan terhadap jalan, sehingga menciptakan keteraturan dan

memberikan pandangan yang sangat luas terhadap pemakai jalan. Dengan demikian GSB juga

terkait erat dengan dimensi jalan. Nilai GSB di Wilayah Kabupaten Madiun khususnya di jalan-jalan

utama berkisar antara 2–4 meter. Sedangkan pada permukiman padat terdapat banyak bangunan dengan sempadan hingga 0 m.

Dari kondisi yang ada, maka dapat diidentifikasi masalah penataan bangunan yang terjadi

di Kabupaten Madiun adalah sebagai berikut :

 Belum ada penataan dan pengembangan pembangunan sarana prasarana permukiman padat

kumuh.

 Perkembangan penataan bangunan yang masih belum harmonis dan terstruktur.

 Adanya pemukiman penduduk yang terbangun pada kawasan stren kali (sempadan sungai).

 Belum tertatanya Bangunan dan Lingkungan.

 Tidak adanya program penataan dan pelestarian bangunan tradisonal/bersejarah.

 Belum maksimalnya pengelolaan dan penataan ruang terbuka hijau.

 Tidak ada penataan dan pembangunan sarana prasarana permukiman kumuh.

 Belum adanya penataan yang terpadu terhadap penataan kawasan maupun koridor jalan yang

memanifestasikan identitas Kabupaten Madiun.

Dalam kegiatan penataan bangunan dan lingkungan di Kabupaten Madiun terdapat

beberapa tantangan yang dihadapi, antara lain:

a. Penataan Lingkungan Permukiman :

 Masih kurang diperhatikannya kebutuhan sarana sistem proteksi kebakaran;

 Belum siapnya landasan hukum dan landasan operasional berupa RTBL untuk lebih

melibatkan pemerintah daerah dan swasta dalam penyiapan infrastruktur guna

(30)

 Menurunnya fungsi kawasan dan terjadi degradasi kawasan kegiatan ekonomi utama

kota, kawasan tradisional bersejarah serta heritage;

 Masih rendahnya dukungan pemda dalam pembangunan lingkungan permukiman yang

diindikasikan dengan masih kecilnya alokasi anggaran daerah untuk peningkatan kualitas

lingkungan dalam rangka pemenuhan SPM.

b. Penyelenggaraan Bangunan Gedung dan Rumah Negara :

 Masih adanya kelembagaan bangunan gedung yang belum berfungsi efektif dan efisien

dalam pengelolaan Bangunan Gedung dan Rumah Negara;

 Masih kurangnya perda bangunan gedung

 Meningkatnya kebutuhan NSPM terutama yang berkaitan dengan pengelolaan dan

penyelenggaraan bangunan gedung (keselamatan, kesehatan, kenyamanan dan

kemudahan);

 Kurang ditegakkannya aturan keselamatan, keamanan dan kenyamanan Bangunan

Gedung termasuk pada daerah-daerah rawan bencana;

 Prasarana dan sarana hidran kebakaran kurang mendapat perhatian;

 Lemahnya pengaturan penyelenggaraan Bangunan Gedung di daerah serta rendahnya

kualitas pelayanan publik dan perijinan;

 Banyaknya Bangunan Gedung Negara yang belum memenuhi persyaratan keselamatan,

keamanan dan kenyamanan;

 Penyelenggaraan Bangunan Gedung dan Rumah Negara kurang tertib dan efisien;

 Masih banyaknya aset negara yang tidak teradministrasikan dengan

baik.

c. Penyelenggaraan Sistem Terpadu Ruang Terbuka Hijau:

 Masih kurang diperhatikannya kebutuhan sarana lingkungan hijau/terbuka, sarana olah

raga.

d. Kapasitas Kelembagaan Daerah:

 Masih terbatasnya kesadaran aparatur dan SDM pelaksana dalam pembinaan

penyelenggaraan bangunan gedung termasuk pengawasan;

 Masih adanya tuntutan reformasi peraturan perundang-undangan dan peningkatan

pelaksanaan otonomi dan desentralisasi;

 Masih perlunya peningkatan dan pemantapan kelembagaan bangunan gedung di daerah

(31)

8.2.3. Analisis Kebutuhan Penataan Bangunan dan Lingkungan

Analisis kebutuhan Program dan Kegiatan untuk sektor PBL oleh Kab/Kota, hendaknya

mengacu pada Lingkup Tugas DJCK untuk sektor PBL yang dinyatakan pada Permen PU No. 8

Tahun 2010, seperti yang telah dijelaskan pada Subbab 8.2.1.

Pada Permen PU No.8 tahun 2010, dijabarkan kegiatan dari Direktorat PBL meliputi:

A. Kegiatan Penataan Lingkungan Permukiman

Dengan kegiatan yang terkait adalah penyusunan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan

(RTBL), Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran (RISPK), pembangunan prasarana dan sarana

lingkungan permukiman tradisional dan bersejarah, pemenuhan Standar Pelayanan Minimal (SPM),

dan pemenuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di perkotaan.

RTBL (Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan)

RTBL berdasarkan Permen PU No. 6 Tahun 2007 tentang Pedoman Umum Rencana Tata

Bangunan dan Lingkungan didefinisikan sebagai panduan rancang bangun suatu

lingkungan/kawasan yang dimaksudkan untuk mengendalikan pemanfaatan ruang, penataan

bangunan dan lingkungan, serta memuat materi pokok ketentuan program bangunan dan

lingkungan, rencana umum dan panduan rancangan, rencana investasi, ketentuan pengendalian

rencana, dan pedoman pengendalian pelaksanaan pengembangan lingkungan/kawasan. Materi

pokok dalam Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan meliputi:

 Program Bangunan dan Lingkungan;

 Rencana Umum dan Panduan Rancangan;

 Rencana Investasi;

 Ketentuan Pengendalian Rencana;

 Pedoman Pengendalian Pelaksanaan.

RISPK atau Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran

RISPK atau Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran seperti yang dinyatakan dalam

Permen PU No. 26 tahun 2008 tentang Persyaratan Teknis Sistem Proteksi Kebakaran pada

Bangunan Gedung dan Lingkungan, bahwa Sistem Proteksi Kebakaran pada Bangunan Gedung dan

Lingkungan adalah sistem yang terdiri atas peralatan, kelengkapan dan sarana, baik yang terpasang

maupun terbangun pada bangunan yang digunakan baik untuk tujuan sistem proteksi aktif, sistem

proteksi pasif maupun cara-cara pengelolaan dalam rangka melindungi bangunan dan

lingkungannya terhadap bahaya kebakaran.

Penyelenggaraan sistem proteksi kebakaran pada bangunan gedung dan lingkungan

(32)

pelestarian dan pembongkaran sistem proteksi kebakaran pada bangunan gedung dan

lingkungannya.

RISPK terdiri dari Rencana Sistem Pencegahan Kebakaran dan Rencana Sistem

Penanggulangan Kebakaran di Kabupaten/Kota untuk kurun waktu 10 tahun. RISPK memuat

rencana kegiatan pencegahan kebakaran yang terdiri dari kegiatan inspeksi terhadap ancaman

bahaya kebakaran pada kota, lingkungan bangunan dan bangunan gedung, serta kegiatan edukasi

pencegahan kebakaran kepada masyarakat dan kegiatan penegakan Norma, Standar, Pedoman

dan Manual (NSPM). RISPK juga memuat rencana tentang penanggulangan kebakaran yang terdiri

dari rencana kegiatan pemadaman kebakaran serta penyelamatan jiwa dan harta benda.

Penataan Lingkungan Permukiman Tradisional/Bersejarah

Pendekatan yang dilakukan dalam melaksanakan Penataan Lingkungan Permukiman

Tradisional adalah:

 Koordinasi dan sinkronisasi dengan Pemerintah Daerah;

 Pendekatan Tridaya sebagai upaya pemberdayaan terhadap aspek manusia, lingkungan dan

kegiatan ekonomi masyarakat setempat;

 Azas "berkelanjutan" sebagai salah satu pertimbangan penting untuk menjamin kelangsungan

kegiatan;

 Rembug warga dalam upaya menggali sebanyak mungkin aspirasi masyarakat, selain itu juga

melakukan pelatihan keterampilan teknis dalam upaya pemberdayaan masyarakat.

Standar Pelayanan Minimal (SPM)

Analisa kebutuhan Program dan Kegiatan juga mengacu pada Permen PU No.14 tahun 2010

tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang. Khusus untuk

sektor PBL, SPM juga terkait dengan SPM Penataan Ruang dikarenakan kegiatan penataan

lingkungan permukiman yang salah satunya melakukan pengelolaan kebutuhan Ruang Terbuka

Hijau (RTH) di perkotaan. Standar SPM terkait dengan sektor PBL sebagaimana terlihat pada tabel

8.4, yang dapat dijadikan acuan bagi Kabupaten/Kota untuk menyusun kebutuhan akan sektor

(33)

Tabel 8.4 SPM Sektor Penataan Bangunan dan Lingkungan

B. Kegiatan Penyelenggaraan Bangunan Gedung dan Rumah Negara

Kegiatan penyelenggaraan Bangunan Gedung dan Rumah Negara meliputi:

1. Menguraikan kondisi bangunan gedung negara yang belum memenuhi persyaratan keandalan

yang mencakup (keselamatan, keamanan, kenyamanan dan kemudahan);

2. Menguraikan kondisi Penyelenggaraan Bangunan Gedung dan Rumah Negara;

3. Menguraikan aset negara dari segi administrasi pemeliharaan.

Untuk dapat melakukan pendataan terhadap kondisi bangunan gedung dan rumah negara

perlu dilakukan pelatihan teknis terhadap tenaga pendata HSBGN, sehingga perlu dilakukan

pendataan kegiatan pembinaan teknis penataan bangunan gedung.

C. Kegiatan Pemberdayaan Komunitas dalam Penanggulangan Kemiskinan

Program yang mencakup pemberdayaan komunitas dalam penanggulangan kemiskinan

adalah PNPM Mandiri, yang dilaksanakan dalam bentuk kegiatan P2KP (Program Penanggulangan

Kemiskinan di Perkotaan). P2KP merupakan program pemerintah yang secara substansi berupaya

menanggulangi kemiskinan melalui pemberdayaaan masyarakat dan pelaku pembangunan lokal

lainnya, termasuk Pemerintah Daerah dan kelompok peduli setempat.

8.2.4. Program-Program dan Kriteria Kesiapan Sektor Penataan Bangunan dan Lingkungan

Program-Program Penataan Bangunan dan Lingkungan, terdiri dari:

a. Kegiatan Penataan Lingkungan Permukiman;

b. Kegiatan Penyelenggaraan Bangunan Gedung dan Rumah Negara;

(34)

Untuk penyelenggaraan program-program pada sektor Penataan Bangunan dan

Lingkungan (PBL) maka dibutuhkan Kriteria Kesiapan (Readiness Criteria) yang mencakup antara

lain rencana kegiatan rinci, indikator kinerja, komitmen Pemda dalam mendukung pelaksanaan

kegiatan melalui penyiapan dana pendamping, pengadaan lahan jika diperlukan, serta

pembentukan kelembagaan yang akan menangani pelaksanaan proyek serta mengelola aset

proyek setelah infrastruktur dibangun.

Kriteria Kesiapan untuk sektor Penataan Bangunan dan Lingkungan adalah:

1. Fasilitasi RanPerda Bangunan Gedung

Kriteria Khusus:

 Kabupaten/kota yang belum difasilitasi penyusunan ranperda Bangunan Gedung;

 Komitmen Pemda untuk menindaklanjuti hasil fasilitasi Ranperda BG

2. Penyusunan Rencana Penataan Lingkungan Permukiman Berbasis Komunitas

Kriteria Khusus Fasilitasi Penyusunan Rencana Penataan Lingkungan Permukiman Berbasis

Komunitas:

 Kawasan di perkotaan yang memiliki lokasi PNPM-Mandiri Perkotaan;

 Pembulatan penanganan infrastruktur di lokasi-lokasi yang sudah ada PJM

Pronangkis-nya;

 Bagian dari rencana pembangunan wilayah/kota;

 Ada rencana pengembangan dan investasi Pemda, swasta, dan masyarakat;

 Kesiapan pengelolaan oleh stakeholder setempat.

3. Penyusunan Rencana Tata Bangunan Dan Lingkungan (RTBL)

Kriteria Lokasi :

 Sesuai dengan kriteria dalam Permen PU No.6 Tahun 2006;

 Kawasan terbangun yang memerlukan penataan;

 Kawasan yang dilestarikan/heritage;

 Kawasan rawan bencana;

 Kawasan gabungan atau campuran (fungsi hunian, fungsi usaha, fungsi sosial/ budaya

dan/atau keagamaan serta fungsi khusus, kawasan sentra niaga (central business district);

 Kawasan strategis menurut RTRW Kab/Kota;

 Komitmen Pemda dalam rencana pengembangan dan investasi Pemerintah daerah,

swasta, masyarakat yang terintegrasi dengan rencana tata ruang dan/atau

pengembangan wilayahnya;

 Kesiapan pengelolaan oleh stakeholder setempat;

(35)

4. Penyusunan Rencana Tindak Revitalisasi Kawasan, Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan

Permukiman Tradisional/Bersejarah

Rencana Tindak berisikan program bangunan dan lingkungan termasuk elemen kawasan,

program/rencana investasi, arahan pengendalian rencana dan pelaksanaan serta DAED/DED.

Kriteria Umum:

 Sudah memiliki RTBL atau merupakan turunan dari lokasi perencanaan RTBL (jika luas

kws perencanaan > 5 Ha) atau;

 Turunan dari Tata Ruang atau masuk dlm skenario pengembangan wilayah (jika luas

perencanaan < 5 Ha);

 Komitmen pemda dalam rencana pengembangan dan investasi Pemerintah daerah,

swasta, masyarakat yang terintegrasi dengan Rencana Tata Ruang dan/atau

pengembangan wilayahnya;

 Kesiapan pengelolaan oleh stakeholder setempat. Kriteria Khusus Fasilitasi Penyusunan

Rencana Tindak Penataan dan Revitalisasi Kawasan:

 Kawasan diperkotaan yang memiliki potensi dan nilai strategis;

 Terjadi penurunan fungsi, ekonomi dan/atau penurunan kualitas;

 Bagian dari rencana pengembangan wilayah/kota;

 Ada rencana pengembangan dan investasi pemda, swasta, dan masyarakat;

 Kesiapan pengelolaan oleh stakeholder setempat.

Kriteria Khusus Fasilitasi Penyusunan Rencana Tindak Ruang Terbuka Hijau:

 Ruang publik tempat terjadi interaksi langsung antara manusia dengan taman (RTH

Publik);

 Area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya bersifat terbuka,

tempat tumbuh tanaman baik alamiah maupun ditanam (UU No. 26/2007 tentang Tata

ruang);

 Dalam rangka membantu Pemda mewujudkan RTH publik minimal 20% dari luas wilayah

kota;

 Ada rencana pengembangan dan investasi Pemda, swasta, masyarakat;

 Kesiapan pengelolaan oleh stakeholder setempat.

Kriteria Khusus Fasilitasi Penyusunan Rencana Tindak Permukiman Tradisional Bersejarah:

 Lokasi terjangkau dan dikenal oleh masyarakat setempat (kota/kabupaten);

 Memiliki nilai ketradisionalan dengan ciri arsitektur bangunan yang khas dan estetis;

 Kondisi sarana dan prasarana dasar yang tidak memadai;

(36)

 Kesiapan pengelolaan oleh stakeholder setempat.

5. Kriteria Fasilitasi Penyusunan Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran (RISPK):

 Ada Perda Bangunan Gedung;

 Kota/Kabupaten dengan jumlah penduduk > 500.000 orang;

 Tingginya intensitas kebakaran per tahun dengan potensi resiko tinggi

 Kawasan perkotaan nasional PKN, PKW, PKSN, sesuai PP No.26/2008 ttg Tata Ruang;

 Ada rencana pengembangan dan investasi Pemda, swasta, dan masyarakat;

 Kesiapan pengelolaan oleh stakeholder setempat.

6. Kriteria dukungan PSD Untuk Revitalisasi Kawasan, RTH Dan Permukiman Tradisional/Ged

Bersejarah:

 Mempunyai dokumen Rencana Tindak PRK/RTH/Permukiman Tradisional-Bersejarah;

 Prioritas pembangunan berdasarkan program investasinya;

 Ada DDUB;

 Dukungan Pemerintah Pusat maksimum selama 3 tahun anggaran;

 Khusus dukungan Sarana dan Prasarana untuk permukiman tradisional, diutamakan pada

fasilitas umum/sosial, ruang-ruang publik yang menjadi prioritas masyarakat yang

menyentuh unsur tradisionalnya;

 Ada rencana pengembangan dan investasi Pemda, swasta, dan masyarakat;

 Kesiapan pengelolaan oleh stakeholder setempat.

7. Kriteria dukungan Prasarana dan Sarana Sistem Proteksi Kebakaran:

 Memiliki dokumen RISPK yang telah disahkan oleh Kepala Daerah (minimal SK/peraturan

bupati/walikota);

 Memiliki Perda BG (minimal Raperda BG dalam tahap pembahasan dengan DPRD);

 Memiliki DED untuk komponen fisik yang akan dibangun;

 Ada lahan yg disediakan Pemda;

 Ada rencana pengembangan dan investasi Pemda, swasta, dan masyarakat;

 Kesiapan pengelolaan oleh stakeholder setempat.

8. Kriteria Dukungan Aksesibilitas Pada Bangunan Gedung Dan Lingkungan:

 Bangunan gedung negara/kantor pemerintahan;

 Bangunan gedung pelayanan umum (puskesmas, hotel, tempat peribadatan, terminal,

stasiun, bandara);

 Ruang publik atau ruang terbuka tempat bertemunya aktifitas sosial masyarakat (taman,

alun-alun);

(37)

8.2.5.

Usulan Program dan Kegiatan PBL

Tabel 8.5

Usulan Program dan Kegiatan Pengembangan

Penataan Bangunan dan Lingkungan Kabupaten Madiun Tahun 2016 - 2020

No.

Uraian Kegiatan

Detail Lokasi

Volume

Satuan

Sumber Pembiayaan (Rp) x 1.000

1.a. Penyusunan Rancangan UU dan RPP Bidang Penataan Bangunan dan Lingkungan

Penyusunan Ranperda BG

Kabupaten Madiun

1

Laporan

600,000

1.b.

Penyusunan Standar/Pedoman/Kriteria (SPK)

Pendampingan penyusunan

NSPK PBL

Kabupaten Madiun

1

Laporan

500,000

2.

PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN BANGUNAN GEDUNG

2.a. Pembinaan Pengelolaan Bangunan Gedung

Penyusunan RISPK

Caruban perkotaan

1

Kawasan

571,000

35,000

2.d. Pembinaan Penataan Kawasan

Rencana Tindak Penataan dan

Revitalisasi Kawasan

Kec.Mejayan

1

Kawasan

500,000

50,000

(38)

8.3. Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) 8.3.1. Arahan Kebijakan dan Lingkup Kegiatan

Penyelenggaraan pengembangan SPAM adalah kegiatan merencanakan, melaksanakan

konstruksi, mengelola, memelihara, merehabilitasi, memantau, dan/atau mengevaluasi sistem fisik

(teknik) dan non fisik penyediaan air minum. Penyelenggara pengembangan SPAM adalah badan

usaha milik negara (BUMN)/ badan usaha milik daerah (BUMD), koperasi, badan usaha swasta,

dan/atau kelompok masyarakat yang melakukan penyelenggaraan pengembangan sistem

penyediaan air minum. Penyelenggaraan SPAM dapat melibatkan peran serta masyarakat dalam

pengelolaan SPAM berupa pemeliharaan, perlindungan sumber air baku, penertiban sambungan

liar, dan sosialisasi dalam penyelenggaraan SPAM.

Beberapa peraturan perundangan yang menjadi dasar dalam pengembangan sistem

penyediaan air minum (SPAM) antara lain:

1. Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air

Pada pasal 40 mengamanatan bahwa pemenuhan kebutuhan air baku untuk air minum rumah

tangga dilakukan dengan pengembangan sistem penyediaan air minum (SPAM). Untuk

pengembangan sistem penyediaan air minum menjadi tanggung jawab Pemerintah dan

Pemerintah Daerah.

2. Undang-Undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Program Jangka Panjang (RPJP) Tahun

2005-2025

Perundangan ini mengamanatkan bahwa kondisi sarana dan prasarana masih rendah

aksesibilitas, kualitas, maupun cakupan pelayanan.

3. Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air

Minum

Bahwa Pengembangan SPAM adalah kegiatan yang bertujuan membangun, memperluas

dan/atau meningkatkan sistem fisik (teknik) dan non fisik (kelembagaan, manajemen,

keuangan, peran masyarakat, dan hukum) dalam kesatuan yang utuh untuk melaksanakan

penyediaan air minum kepada masyarakat menuju keadaan yang lebih baik. Peraturan

tersebut juga menyebutkan asas penyelenggaraan pengembangan SPAM, yaitu asas

kelestarian, keseimbangan, kemanfaatan umum, keterpaduan dan keserasian, keberlanjutan,

keadilan, kemandirian, serta transparansi dan akuntabilitas.

4. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 20/PRT/M/2006 tentang Kebijakan dan Strategi

Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum

Peraturan ini mengamanatkan bahwa dalam rangka peningkatan pelayanan/ penyediaan air

(39)

memperluas, dan/atau meningkatkan sistem fisik dan non fisik daam kesatuan yang utuh

untuk melaksanakan penyediaan air minum kepada masyarakat menuju keadaan yang lebih

baik dan sejahtera.

5. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 14/PRT/M/2010 tentang Standar Pelayanan Minimal

Bidang Pekerjaan Umum dan Tata Ruang

Peraturan ini menjelaskan bahwa tersedianya akses air minum yang aman melalui Sistem

Penyediaan Air Minum dengan jaringan perpipaan dan bukan jaringan perpipaan terlindungi

dengan kebutuhan pokok minimal 60 liter/orang/hari.

SPAM dapat dilakukan melalui sistem jaringan perpipaan dan/atau bukan jaringan

perpipaan. SPAM dengan jaringan perpipaan dapat meliputi unit air baku, unit produksi, unit

distribusi, unit pelayanan, dan unit pengelolaan. Sedangkan SPAM bukan jaringan perpipaan dapat

meliputi sumur dangkal, sumur pompa tangan, bak penampungan air hujan, terminal air, mobil

tangki air, instalasi air kemasan, atau bangunan perlindungan mata air. Pengembangan SPAM

menjadi kewenangan/ tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk menjamin hak

setiap orang dalam mendapatkan air minum bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna

memenuhi kehidupan yang sehat, bersih, dan produktif sesuai dengan peraturan

perundangundangan, seperti yang diamanatkan dalam PP No. 16 Tahun 2005.

Pemerintah dalam hal ini adalah Direktorat Pengembangan Air Minum, Ditjen Cipta Karya,

Kementerian Pekerjaan Umum yang mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas pokok

Direktorat Jenderal Cipta Karya di bidang perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan

produk pengaturan, pembinaan dan pengawasan serta fasilitasi di bidang pengembangan sistem

penyediaan air minum. Adapun fungsinya antara lain mencakup:

 Menyusun kebijakan teknis dan strategi pengembangan sistem penyediaan air minum;

 Pembinaan teknik, pengawasan teknik dan fasilitasi pengembangan sistem penyediaan air

minum termasuk penanggulangan bencana alam dan kerusuhan sosial;

 Pengembangan investasi untuk sistem penyediaan air minum;

 Penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria serta pembinaan kelembagaan dan peran

serta masyarakat di bidang air minum.

8.3.2. Isu Strategis, Kondisi Eksisting, Permasalahan dan Tantangan A. Isu Strategis

Terdapat isu-isu strategis yang diperkirakan akan mempengaruhi upaya Kabupaten Madiun

Gambar

Tabel 8.1 Usulan dan Prioritas Program Infrastruktur Permukiman
tabel berikut.
Tabel 8.3 Usulan Program dan Kegiatan Pengembangan Permukiman Kabupaten Madiun Tahun 2016 - 2020
Gambar 8.2 Lingkup Tugas PBL
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis menunjukkan nilai p sebesar 0,001 (p &lt; 0,05) yang berarti ada hubungan yang signifikan antara stres akademik dan Adversity Quotient pada mahasiswa tahun

Puji syukur peneliti panjatkan kepada Tuhan Yesus atas segala penyertaan, pengalaman, kesempatan, serta pilihan yang diberikan sehingga penelitian yang berjudul “Dukungan

Dengan mengacu pada kebutuhan nurturance khususnya menyayangi anak-anak, diharapkan penelitian ini dapat memberikan gambaran bagi para pengasuh mengenai pengaruh

Qur’an. Niat adalah syarat yang paling penting dan paling utama dalam masalah hafalan Al- Qur’an. Sebab, apabila seseorang melaukan sebuah perbuatan tanpa dasar

Schubungan dengan hal tersebut saya mohon sudi kiranya Bapak/lbu bcrkenan memberi ijin bagi mahasiswa yang bersangkutan untuk mcngambil data di tempat yang Bapa,k!Ibu

Motor bakar adalah salah satu pesawat kalor yang mengubah energi panas hasil pembakaran bahan bakar dalam selinder menjadi energi mekanik yang keluar pada poros

Tim Pusat Layanan Psikologi Universitas Katolik Widya Mandala atas segala perhatian, dukungan dan semangat yang telah diberikan kepada penulis selama penggarapan

Tujuan penulisan laporan ini adalah untuk membuat aplikasi pengolahan data keberatan pada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Sumatera Selatan dan