• Tidak ada hasil yang ditemukan

AGRIPLUS, Volume 22 Nomor : 01Januari 2012, ISSN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "AGRIPLUS, Volume 22 Nomor : 01Januari 2012, ISSN"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

KEMAJUAN TAHAP AKLIMATISASI PLANTLET KEDELAI (Glycine max) HASIL KULTUR IN-VITRO IMMATURE EMBRIO

Oleh: Teguh Wijayanto1dan Dirvamena Boer1

ABSTRACT

Acclimatization proccess is one of most important steps in plant in-vitro culture. Plantlets resulted from in-vitro culture have to successfully pass acclimatization process to be able to grow and develop well in the field. This research was conducted to develop a procedure for acclimatization of in-vitro grown soybean plant (plantlet) to be able grow in the field. Several acclimatization media and conditions were tried, such as the use of burned rice hull, soil, animal feces, coconut fiber, etc. Research results showed that soybean plantlets developed well and had sufficient leaves and roots for acclimatization. The plantlets were grown on several acclimatization media and conditions, with considerations of temperature, humidity and light. However, the results and efficiency of the acclimatization process were still not optimal. After a few days on the acclimatization media, soybean plantlets were unable to survive (wilted and died). It is therefore, efforts and further research are still required to obtain more suitable acclimatization media and conditions for better growth of soybean plantletsdeveloped from immatureembryos.

Keywords: soybean, plantlets, acclimatization, media and acclimatization conditions

PENDAHULUAN

Salah satu penunjang utama untuk peningkatan produksi tanaman adalah melalui kegiatan pemuliaan tanaman dan kultur in-vitro tanaman. Merakit sejumlah sifat terpilih menjadi sebuah varitas unggul tanaman bukan pekerjaan mudah, menuntut waktu yang panjang dan dana yang tidak sedikit.

Penggunaan embrio immature merupakan satu teknik yang menjanjikan untuk meningkatkan efisiensi program-program pemuliaan kedelai. Untuk menggunakan metode ini, pemulia membutuhkan suatu teknik yang murah untuk memproduksi embrio dalam jumlah besar. Penyelamatan dan kultur embrio yang belum matang adalah satu teknik yang menarik dan menjanjikan untuk mendapatkan tanaman-tanaman hasil persilangan seksual (sexual crosses), dimana sering embrio tidak bisa selamat secara in-vivo, terutama untuk embrio hasil wide-crosses. Hibridisasi tanaman menjadi sulit karena aborsi embrio pada fase perkembangan awal karena degenerasi embrio biji hasil persilangan (Ladizinsky et al., 1979). Immature embryo rescue memberikan alternatif pendekatan/pemecahan masalah untuk

mendapatkan hasil persilangan triploid (triploid hybrids), yang biasanya gagal berkembang sempurna secara in-vivo (Shen et al. 2007). Disamping itu, teknik ini juga berpotensi digunakan untuk memperpendek siklus reproduktif tanaman secara signifikan.

Untuk berhasilnya keseluruhan tujuan diatas, selain kegiatan kultur in-vitro, tahapan aklimatisasi pasca kultur in-vitro juga harus dikembangkan dan dioptimalkan. Setelah immature embrio kedelai berhasil dikecambahkan dan ditumbuhkan secara in-vitro, maka plantlet kedelai tersebut akan coba dipindahkan ke berbagai jenis media tumbuh aklimatisasi (arang sekam, akar pakis, pasir/tanah atau jiffy strip) dan berbagai perlakuan kondisi lingkungan (sungkup, kelembaban dsb).

Aklimatisasi merupakan proses penting dalam aplikasi metode kultur jaringan/in-vitro untuk perkembangan pertanian. Masa aklimatisasi merupakan masa/tahapan yang sangat kritis, karena pucuk/plantlet in-vitro belum siap untuk beradaptasi langsung dengan lingkungan luar. Keadaan ini menyebabkan plantlet in-vitro sangat peka terhadap evapotranspirasi dan intensitas cahaya yang tinggi. Oleh sebab itu terhadap plantlet hasil

(2)

kultur in-vitro ini harus dilakukan aklimatisasi terlebih dahulu secara berangsur-angsur untuk penyesuaian dengan lingkungan luar (glasshouse atau lapangan) agar tidak mengalami tranplantation shock.

Tujuan penelitian ini adalah diperolehnya metode atau teknik aklimatisasi (kondisi dan medium tanam) yang tepat agar tanaman/plantlet kedelai hasil kultur in-vitro dapat dipindahkan dan tumbuh baik dilingkungan luar (glasshouse/lapangan). Plantlet kedelai yang digunakan merupakan plantlet hasil penyelamatan dan kultur benih/embrio kedelai yang belum matang. Diharapkan plantlet hasil kultur immature embrio ini dapat tumbuh baik dilapangan, sehingga tujuan kultur in-vitro ini secara keseluruhan dapat dicapai.

METODE PENELITIAN Plantlet Kedelai

Plantlet kedelai yang diaklimatisasi berasal dari kultur immature embrio kedelai. Tahapan dan metode peenelitian untuk menghasilkan plantlet secara in-vitro pada dasarnya mengikuti metode Croser et al., 2010; Wijayanto, 2010 dan Wijayanto dkk., 2012. Secara singkat tahapan metode tersebut adalah sebagai berikut:

a. Pengambilan (Isolasi) immature polong Embrio berasal dari polong kedelai yang belum matang (immature) yang diambil secara hati-hati pada umur sekitar 14, 21, dan 28 hari setelah pembungaan. Pra-perlakuan desikasi polong dilakukan (1-4 hari) sebelum embrio diisolasi/diambil dari polong tersebut.

b. Teknik Sterilisasi Polong

Sterilisasi dilakukan di dalam laminar air-flow cabinet. Prosedur sterilisasi standar yang dilakukan adalah: polong dicuci dengan etanol 70% selama 5 menit, kemudian dengan sodium hipoklorit 2.5% + 1 tetes Tween-20 selama 5 menit dengan pengocokan. Tahap akhir, polong dibilas 3 kali dengan air steril selama masing-masing 15 menit, kemudian dikeringanginkan.

c. Isolasi dan Penumbuhan immature embrio Isolasi biji kedelai muda dari dalam polong maupun isolasi immature embrio dari

dalam biji muda dilakukan secara aseptik di dalam laminar air flow cabinet, menggunakan peralatan dissecting yang steril. Immature embrio diletakkan secara aseptik diatas kertas saring didalam petridish, berisi 2 ml air steril (pH 5.75), dan dibungkus dengan parafilm. Perkecambahan (hipokotil > 10 mm) diamati setelah 4 hari dalam culture chamber (suhu sekitar 25oC, 16 jam photoperiod, lampu fluorescence putih).

Aklimatisasi Plantlet

Plantletsiap diaklimatisasi jika memiliki daun dan akar yang cukup. Proses aklimatisasi diawali dengan mengambil plantlet dari botol kultur secara hati-hati (dengan pinset) dan dibersihkan dari sisa sisa agar, dengan mencuci dengan air kran atau didalam gelas piala besar sambil dikocok-kocok. Agar yang tertinggal dapat menyebabkan sumber infeksi. Plantlet kemudian direndam dalam larutan dithane 2 g/l selama 10 menit. Plantlet kemudian ditanam dalam pot kecil berisi media tanam. Media tanam yang akan dicobakan antara lain: medium arang sekam, medium akar pakis, medium campuran kompos : tanah : pasir di dalam growth chamber (sekitar 26oC, kelembaban 70/100 %, 14 jam photoperiod, intensitas cahaya tinggi), dan diberi larutan hara lengkap (Matsumoto et al., 1975). Setelah ditanam, plantlet dalam pot ditutup/sungkup dengan botol atau kantong plastik. Sungkup ini secara bertahap dibuka selama kurun waktu 1-2 minggu sampai plantlet/tanaman kecil ini siap ditrannsplantasi ke glasshouse/lapangan.

Variabel Pengamatan

Variabel yang akan diamati antara lain: Persentase Plantlet Tumbuh (%), Panjang akar (mm), Jumlah akar, Tinggi plantlet/tanaman (mm), dan Jumlah daun dan tunas selama proses aklimatisasi (mm).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa kultur immature embrio telah berhasil menumbuhkan plantletkedelai pada media kultur yang digunakan. Plantlet-planlet ini tumbuh baik pada media kultur tersebut (Tabel 1). Setelah sekitar 2 minggu, akar dan daun plantlet

(3)

sudah mulai muncul dan pada umur sekitar 3 sampai 4 minggu, plantlet sudah memiliki akar cukup banyak dan siap diaklimatisasi (Gambar 1).

Tabel 1. Pengaruh perlakuan umur polong (embrio) setelah antesis terhadap pertumbuhan plantlet kedelai.

Perlakuan umur polong % tumbuh PA JA JD TP H1 (14 hari) 73.0 20.5 7.9 0.7 22.0 H2 (21 hari) 100.0 68.0 17.9 0.7 32.0 H3 (28 hari) 100.0 101.7 20.2 1.9 50.3 Keterangan: % tumbuh (%), PA: panjang akar (mm),

JA: jumlah akar (buah), JD: jumlah daun membuka sempurna (helai) dan TP: tinggi plantlet (mm), pada pengamatan 10 hari setelah kultur.

Hasil penelitian ini membuktikan bahwa metode penyelamatan dan kultur embrio yang belum matang (immature embryo rescue and culture) dapat dan memiliki potensi yang menjanjikan untuk digunakan pada tanaman kedelai, dalam menunjang program pemuliaan tanaman, yang diantaranya untuk memperpendek siklus reproduktif tanaman kedelai dan penyelamatan embrio dalam persilangan inter dan intraspesies tanaman kedelai.

Tabel 2. Rata-rata pertumbuhan plantlet kedelai selama proses aklimatisasi.

Perlakuan umur

polong TP JD JT

H1 (14 hari) 3.55 2.0 1.5

H2 (21 hari) 3.83 2.5 1.7

H3 (28 hari) 4.10 3.0 1.75

Keterangan: TP: tinggi plantlet (cm), JD: jumlah daun (helai) dan JT: jumlah tunas, pada pengamatan sekitar 1 bulan setelah kultur.

Gambar 1. Plantlet kedelai (umur 30 hari) asal kultur immature embrio, yang siap diaklimatisasi. Cabang/tunas mulai muncul sekitar umur 4 minggu

Gambar 2. Plantlet kedelai hasil immature embrio kultur yang siap diaklimatisasi (kiri atas). Plantlet kedelai bertahan hidup sampai sekitar 2 minggu pada media aklimatisasi (kanan atas), namun setelah itu

(4)

Plantlet hasil kultur immature embrio telah diupayakan untuk ditumbuhkan pada berbagai media tumbuh dan kondisi aklimatisasi, dengan mempertimbangkan temperatur, kelembaban dan cahaya (Gambar 2). Tahapan aklimatisasi pada kondisi in vitro ke in vivo ini masih mengalami kendala penyesuaian plantlet pada medium aklimatisasi. Plantlet kedelai yang diaklimatisasi bertahan hingga 7 hari, namun sejauh ini, hasil penelitian menunjukkan bahwa efisiensi aklimatisasi belum optimal, plantlet mengalami stagnasi pertumbuhan dan selanjutnya terjadi kelayuan dan keguguran daun yang akhirnya mati, sehingga pertumbuhan bibit tidak dapat diteruskan pada kondisi in vivo. Penyebab kegagalan tumbuh plantlet kedelai pada medium aklimatisasi diantaranya diduga disebabkan oleh medium aklimatisasi dan kondisi kelembaban yang belum tepat, yang memicu terjadinya layu permanen pada plantlet. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Slamet (2011), yang menyatakan bahwa terhambatnya pertumbuhan plantlet pada medium aklimatisasi diantaranya disebabkan oleh kelembaban udara yang rendah yang mengakibatkan bibit kultur kedelai layu dan akhirnya mengalami kematian. Berbagai upaya telah dilakukan seperti: mencoba berbagai media (arang sekam, arang sekam + pupuk kandang+ tanah, pasir + pupuk kandang + tanah dan pupuk kandang + tanah), memberi sungkup plastik bening dan penyemprotan air setiap pagi dan sore hari, namun hasil aklimatisasi tetap belum optimal.

Berdasarkan hasil tahapan aklimatisasi tersebut, maka masih diperlukan upaya dan penelitian lanjutan untuk mendapatkan komposisi media dan kondisi aklimatisasi yang lebih sesuai dan baik untuk pertumbuhan plantlet kedelai hasil kultur immature embrio. Sampai tulisan ini dibuat, upaya tersebut masih terus dilakukan.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa: 1. Plantlet kedelai yang dihasilkan dari kultur

immature embrio tumbuh relatif baik, memiliki cukup akar dan siap diaklimatisasi 2. Proses aklimatisasi telah dilakukan, namun

hasilnya masih belum optimal dan masih membutuhkan upaya dan penelitian lanjutan.

3. Masih dibutuhkan upaya optimalisasi media dan kondisi aklimatisasi

Ucapan Terima Kasih

Terima kasih yang besar terutama diberikan kepada Lembaga Penelitian Universitas Haluoleo yang telah memberikan dana penelitian melalui dana BOPTN 2012 demi terlaksananya penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Adie, MM, dan A. Krisnawati, 2009. Peluang Perbaikan Kualitas Biji Kedelai, Balai Penelitian kacang-kacangan dan umbi-umbian (Balitkabi), Malang.

Al-Wareh H, NL. Trolinder, and JR. Goodin, 1989. In vitro flowering of potato. Hort Sci24:827–829.

Asadi, DM. Arsyad, H. Zahara, dan Darmijati, 2008. Pemuliaan Kedelai untuk Toleran Naungan dan Tumpangsari. BULETIN AgroBio, Volume 1 Nomor 2.

Balai Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pertanian, 2010. Jakarta.

BATAN, 2010. Kedelai Varietas Unggul Baru Hasil Pemuliaan Mutasi Radiasi. http://www.warintek.ristek.go.id/nuklir/k edelai.pdf.

Croser, J., Castello, MC., and Edwards, K., 2010. Lupin immature seed culture for generation acceleration. CLIMA report. Gunawan, L.W., 1992. Teknik Kultur Jaringan

Tanaman. Pusat Antar Universitas Bioteknologi, IPB, Bogor.

Ladizinsky G, CA. Newell and T. Hymowitz, 1979. Wide crosses in soybeans: prospects and limitations. Euphytica28:421-423 Matsumoto, T., Y. Yamamoto and M. Yatazawa,

1975. Role of root nodules in the nitrogen nutrition of soybean. J. Sci. Soil Manure 46: 471-477.

Newell CA, and T. Hymowitz, 1982. Successful wide hybridizations between the soybean

(5)

and a wild perennial relative, Crop. Sci. 22:1062-1065.

Ochatt, SJ., R. S. Sangwan, P. Marget , Y. Assoumou Ndong, M. Rancillac and P. Perney, 2002. New approaches towards the shortening of generation cycles for faster breeding of protein legumes. Plant Breeding 121, 436-440.

Ochatt, SJ. and RS. Sangwan, 2008. In-vitro shortening of generationtime in Arabidopsi thaliana. Plant Cell Tiss Organ Cult (2008) 93:133–137.

Purnawati, E., dan JR. Hidajat, 1994. Karakterisasi Plasmanutfah Kedelai. Dalam Koleksi dan Karakterisasi Plasmanutfah Pertanian. Balitbangtan. Roumet, P. and F. Morin, 1997. Germination of

immature soybean seeds to shorten

reproductive cycle duration. Crop Sci. 37, 521-525.

Shen, X., FG. Gmitter Jr., and JW. Grosser, 2007. Immature Embryo Rescue and Culture. Research report.

Suyamto, 2010. Penyediaan benih bermutu mendukung swasembada kedelai. Tabloid Sinar Tani, (17-23 Februari 2010, No. 3342 Tahun XL).

Wijayanto, T., 2010. Laporan pelaksanaan kegiatan Program Academic Recharging di CLIMA, University of Western Australia.

Wijayanto, T., G.R. Sadimantara, D. Erawan, 2012. Percepatan Fase Generatif Menggunakan ImmatureEmbryo Culture untuk Membantu Memperpendek Siklus Breeding Kedelai (Penelitian Riset Unggulan Unhalu, 2012).

Gambar

Gambar  1.    Plantlet kedelai  (umur  30  hari)  asal  kultur  immature  embrio,  yang  siap  diaklimatisasi

Referensi

Dokumen terkait

Bagi pemerintah pusat, alokasi DAU dimaksudkan sebagi alat untuk pemerataan atau mengisi keuangan di dalam strurktur keuangan daerah, sementara bagi daerah, alokasi DAU

tersendat-sendat, tetapi ada beberapa spesies yang tidak bisa berenang dan bergerak dengan merayap karena telah beradaptasi untuk hidup di lumut dan sampah daun-daun yang

Qui audet adipiscitur. “Siapa berani, menang.” Tampaknya, sebagai seorang yang ahli bahasa Latin, Mark Zuckerberg hidup dengan motto ini setiap hari. Visi Mark Zuckenberg yang

Rata-rata temperatur permukaan jengger, bulu dan shank yang lebih tinggi pada lokasi penelitian dengan THI = 89 dibandingkan dengan suhu permukaan jengger, bulu dan shank

Penghargaan Adiwiyata Tingkat Provinsi, Yang dilaksanakan di Auditorium Gubernuran pada hari Rabu, 30 Oktober 2019. Belanja Modal tersebut merupakan Belanja Modal Peralatan

Direktorat Usaha memiliki fungsi penyelenggaraan usaha jasa angkutan laut yang meliputi kegiatan pemasaran, pengembangan usaha, penyiapan dan pelaksanaan kegiatan pelayanan

a. Komunikator : meliputi jaringan, stasiun lokal, direktur, staf teknis yang berkaitan dengan sebuah acara televisi. Jadi komunikator adalah gabungan dari berbagai individu

Segala kemulian dan hormat bagi Tuhan atas anugerahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “ Strategi Bauran Pemasaran Jasa Pada Sekolah : Studi Kasus