AGRIPLUS, Volume 22 Nomor : 02 Mei 2012, ISSN 0854-0128
EVALUASI KONDISI VEGETASI HUTAN PADA LAHAN TAMBANG NIKEL (Studi Kasus PT. Starget Pasific Resources Kabupaten Konawe Utara
Provinsi Sulawesi Tenggara)
Oleh: Zulkarnain1)
ABSTRACT
This study aimed to evaluate the condition of the forest vegetation in the IUP PT. Starget Pacific Resources as a result of mining activities. This study lasted for one year from January to December 2011, in the Region IUP PT. Starget Pacific Resources Molore Village, District Langgikima, North Konawe. This study used survey methods, sampling location determination using purposive sampling and sample plot line shape puzzle. The research variables in this study are Number of species, density, frequency, dominance, importance value index and species diversity. The data were analyzed using quantitative descriptive analysis. The results showed that the mining activity carried out during the period in 2011 has resulted in decreasing the number of significant species are 26 types of vegetation. The largest decrease occurred primarily at the level of trees and poles that indicate the amount of pressure on both levels of vegetation. In the aspect of vegetation density, activity in the study area has led to a significant reduction in quantitative found mainly at the level of trees, poles and seedlings, while at stake though not significantly increased. While the diversity of vegetation in a qualitative level remained at the same grade criteria (fixed), but the quantitative continued to decline, which could potentially degrade the stability of the ecosystem as a whole. From these results it is advisable to undertake revegetation or replanting as soon as possible in open areas that have completed mining and manufacturing activities arboretum for the purpose of preservation of the vegetation types that exist in the location of the study, as a solution to prevent the loss of species due to mining activities.
Keywords: evaluation, nickel mine, forest vegetation
PENDAHULUAN
Pertambangan merupakan salah satu sektor yang menghasilkan devisa besar bagi negara. Namun selain devisa, industri pertambangan (terutama dengan metode pertambangan terbuka) telah menghasilkan
dampak ikutan berupa kerusakan
lingkungan yang sangat parah terutama pada vegetasi hutan yang merupakan dominasi lapisan penutup dari permukaan bentang lahan yang ditambang.
Proses land clearing pada saat
operasi pertambangan dimulai,
menghasilkan dampak lingkungan yang sangat signifikan yaitu hilangnya vegetasi alami. Hal ini akan memberi akses kerusakan kondisi ekologis yang lebih luas. Misalnya rusaknya kondisi hidrologi akibat hilangnya vegetasi yang merupakan salah
satu kunci dalam siklus hidrologi. Selain itu juga akan membuat tanah rentan terhadap erosi, ditambah lagi mobilitas operasi alat berat mengakibatkan terjadinya pemadatan tanah. Kondisi tanah yang sangat padat menyebabkan buruknya sistem tata air (water infiltration and percolation) dan peredaran udara (aerasi) tanah. Dampak lain yang juga sangat krusial adalah berkurangnya bahkan hilangnya habitat
satwa dan keanekaragaman hayati
(biodiversity) yang merupakan kekayaan alam yang tidak ternilai harganya.
Salah satu perusahaan tambang di Provinsi Sulawesi Tenggara yang cukup aktif melakukan kegiatan pertambangan sejak tahun 2007 adalah PT. Starget Pasific Resources. Ini jugalah yang menjadi alasan memilih perusahaan tersebut menjadi lokasi dalam penelitian ini. Perusahaan tersebut
1)
AGRIPLUS, Volume 22 Nomor : 03 September 2012, ISSN 0854-0128
beroperasi di wilayah Kabupaten Konawe Utara yang memperoleh Izin Eksplorasi melalui SK Bupati Kowe Utara, No : 223 dan 225 tahun 2007 tanggal serta Izin Eksploitasi melalui SK Bupati Konawe Utara, No : 418 & 421 th 2008. Hingga saat ini perusahaan tersebut telah melakukan kegiatan penambangan dengan metode penambangan terbuka dan telah melakukan penjualan hasil tambangnya.
Dengan metode penambangan
terbuka yang umum di gunakan pada pertambang nikel, maka hampir dapat dipastikan kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh PT. Starget Pasific resources berpotensi besar mengakibatkan rusaknya vegetasi hutan pada wilayah konsesinya yang dapat menyebabkan kerusakan ekologi
yang lebih luas seperti yang telah
dikemukakan di atas. Penelitian ini
dilakukan dalam kurun waktu 1 tahun yang di bagi dalam 4 periode pengamatan yang dilakukan setiap 3 bulan. Dengan demikian
penelitian ini di harapkan mampu
memberikan gambaran tentang perubahan kondisi vegetasi hutan pada wilayah Ijin Usaha Pertambangan (IUP) PT. Starget dalam kurun waktu 1 tahun, sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pihak-pihak terkait untuk melakukan upaya-upaya antisipatif terhadap kerusakan lingkungan dan menghindarkan bencana ekologi yang lebih luas.
METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan pada wilayah IUP PT. Starget Pasific Resources (KW 07 STP 013) di Desa Molore dan Desa
Lameruru Kecamatan Langgikima
Kabupaten Konawe Utara. , dengan luas 2.000 Hektar. Penelitian ini berlangsung selama satu tahun mulai bulan Januari hingga Desember 2011, untuk melihat perubahan kondisi vegetasi akibat aktifitas tambang selama kurun waktu 1 tahun di wilayah tersebut.
Bahan dan Alat
Bahan-bahan dan alat yang
digunakan dalam dalam penelitian ini terdiri dari : Tali rafia, Alat tulis menulis, Meteran,
Tallysheet, Kompas, Pita meter, Buku
petunjuk identifikasi pohon, Peralatan
pembuatan herbarium, GPS (Global
Positioning System) dan Peta RBI lembar
lokasi penelitian Skala 1 : 50.000.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode Survey, yaitu menyelidiki kondisi ekosistem hutan berdasarkan apek vegetasi yang dilakukan secara berkala pada periode tertentu dalam kurun waktu 1 tahun untuk mendapatkan gambaran tentang
perubahan kondisi vegetasi yang
diakibatkan oleh kegiatan pertambangan dalam kurun waktu 1 tahun. Pengambilan
sampel menggunakan metode garis
berpetak/tansek (transect line).
Populasi dalam penelitian ini adalah semua jenis vegetasi pada semua tingkatan vegetasi, yang terdapat di wilayah IUP PT. Starget. Adapun sampel dalam penelitian ini adalah jenis vegetasi yang diukur meliputi semua tingkatan vegetasi yang terdapat
dalam plot atau petak pengamatan.
Tingkatan vegetasi yang dimaksud
dikelompokkan sebagai berikut : Tingkat
pohon (trees) yaitu individu yang
mempunyai diameter batang lebih dari 20 cm, Tingkat tiang (poles) yaitu individu yang mempunyai diameter batang lebih dari 10 cm tetapi lebih kecil dan atau sama dengan 20 cm, Tingkat sapihan (saplings) yaitu individu yang mempunyai diameter batang lebih dari 1 cm tetapi lebih kecil dan atau sama dengan 10 cm, Tingkat semai (sedling) yaitu individu yang mempunyai diameter batang lebih kecil dari atau sama dengan 1 cm atau sejak perkecambahan
sampai tinggi 1,5 meter
(Hardjosuwarno,1994)
Data dalam penelitian ini bersumber dari data primer yaitu hasil inventarisasi jenis vegetasi pada setiap petak ukur yang diamati. Sedangkan data sekunder meliputi peta Rupa Bumi (1:50.000) Bakosurtanal 1992 dan data-data sekunder lainnya dari pihak perusahaan.
AGRIPLUS, Volume 22 Nomor : 02 Mei 2012, ISSN 0854-0128 Kerapatan spesies ke-i
KR-i = x 100% Kerapatan seluruh spesies
Jml petak cnth ditemukannya suatu spesies F =
Jumlah seluruh petak contoh Jumlah individu
K =
Luas seluruh petak contoh
Frekuensi spesies ke-i
FR-i = x 100% Frekuensi seluruh spesies
Penentuan transek dan titik awal pembuatan garis transek ditentukan secara
purposive berdasarkan keterwakilan vegetasi yaitu dari lahan bertopografi datar memanjang dan memotong bukit ke arah bukit. Titik koorodinat setiap transek adalah (1) -3.3143610, 122.2901940, (2) -3.315333, 122.2858610, (3) -3.2738060, 122.2867780, (4) 3.3351110, 122.2788890, (5) -3.3309720, 122.2802220, (6) -3.2950560, 122.2820830,
(7) -3.3072500, 122.2820280. Pada setiap transek dibuat sebanyak 3 buah petak ukur berukuran 20 m x 20 m, dengan jarak setiap petak ukur adalah 50m. Selanjutnya petak ukur dibagi dalam 4 bagian yaitu ukuran 20 m x 20 m (D) untuk vegetasi tingkat pohon, 10m x 10m untuk pengamatan vegetasi tingkat tiang, 5m x 5m untuk pengamatan vegetasi tingkat pancang dan 1m x 1m untuk semai.
.
Gambar 1. Desain jalur pengamatan vegetasi Keterangan gambar :
A ; Plot pengamatan untuk tingkatan pohon (berukuran 20 x 20 meter) B ; Plot pengamatan untuk tingkatan tiang (berukuran 10 x 10 meter) C ; Plot pengamatan untuk tingkatan pancang (berukuran 5 x 5 meter) D ; Plot pengamatan untuk tingkatan semai (berukuran 2 x 2 meter)
Cara pengukuran.
Pengumpulan data vegetasi
dilakukan dengan mencatat jumlah spesies, jumlah individu pada setiap spesies, dan mengukur lingkar batang setinggi dada
untuk menentukan diameternya yang
berfungsi untuk menentukan Luas Bidang Basal (LBD) pada setiap individu. LBD dihitung dengan rumus: ¼ Π d2
, dan d = diameter batang (d = keliling / Π). Nama tumbuhan terlebih dahulu dicatat dalam
bahasa daerah setempat, kemudian
disesuaikan dengan daftar nama pohon
dalam bahasa daerah dan bahasa Latin Selebes dan Jajahannya “Reeds verschenen
boomnamenlijsten / Lists of tree names already issued” (Direktur Balai Penyelidikan Hutan Bogor, 1942). Pada tumbuhan yang tidak tercantum dalam buku tersebut penamaannya digunakan bahasa daerah.
Variabel Pengamatan.
Variabel yang diukur dalam penelitian ini meliputi :
Jumlah jenis, data jumlah jenis diperoleh dengan melakukan pencacahan terhadap anggota populasi yang ditemukan pada plot pengamatan kemudian ditabulasi.
Kerapatan dan kerapatan relatif dihitung dengan persamaan sebagai berikut :
Frekuensi dan frekuensi relatif dihitung dengan persamaan sebagai berikut :
50m 50m 20m 2m 5m 10m A C D B
AGRIPLUS, Volume 22 Nomor : 03 September 2012, ISSN 0854-0128
Dominansi dan Dominansi Relatif dihitung dengan persamaan sebagai berikut :
Indeks Nilai Penting ; dihitung dengan persamaan sebagai berikut :
INP-i = KR-i + FR-i + CR-i
Keanekaragaman spesies, dihitung dengan persamaan Indeks Keanekaragaman Shanon
Wiener, sebagai berikut : H‟ = -∑{ (ni/N) ln (ni/N)} Dimana ;
H‟ = Indeks Shanon-Whiener n1 = Nilai penting dari tiap spesies
N = Total nilai penting
Jika ;
H‟ > 3 ; tingkat keanekaragaman melimpah tinggi
H‟ 1 - 3 ; tingkat keanekaragaman melimpah sedang
H‟ < 1 ; tingkat keanekaragaman sedikit atau rendah
(Melati, 2007)
Analisis Data
Data kuantitatif yang diperoleh di lapangan ditabulasi dan diolah untuk menghitung besaran dari veriabel komposisi vegetasi yakni jumlah jenis, kerapatan, kerapatan relatif, frekuensi, frekuensi relatif, dominansi, dominansi relatif dan indeks
nilai penting serta variabel tingkat
keanekaragaman vegetasi. Selanjutnya di
analisis dengan Analisis deskriptif
kuantitatif yang memaparkan dan
mendeskripsikan data penelitian kemudian disajikan dalam bentuk tabel dan diagram. Adapun data-data kualitatif yang diperoleh dari hasil pengamatan di lapangan dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif.
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Wilayah
PT. Stargate Pasific Resources telah memiliki izin eksplorasi melalui Surat Keputusan Bupati Kabupaten Konawe Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 223 Tahun 2007 tanggal 29 September 2007 seluas 2.000 Hektar (KW 07 STP 012) di Desa Tobimeita Kecamatan Langgikima Kabupaten Konawe Utara dan Nomor 225 Tahun 2007 tanggal 29 September 2007 seluas 2.000 Hektar (KW 07 STP 013) di
Desa Molore dan Desa Lameruru
Kecamatan Langgikima Kabupaten Konawe Utara.
Tabel 1. Titik Koordinat Kuasa Pertambangan Eksplorasi Nikel PT. Stargate Pasific Resources, KW 07 STP 012 dan Nomor KW 07 STP 013 tahun 2007, Kecamatan Langgikima Kabupaten Konawe Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara
No KW 07 STP 012 KW 07 STP 013 x Y X y 1 122.24200278 -3.33143056 122.27894444 -3.28944444 2 122.26472222 -3.33143056 122.29513333 -3.28944444 3 122.26472222 -3.34416667 122.29513333 -3.37083333 4 122.27055556 -3.34416667 122.28500000 -3.37083333 5 122.27055556 -3.36500000 122.28500000 -3.36500000 6 122.28500000 -3.36500000 122.27055556 -3.36500000 7 122.28500000 -3.37083333 122.27055556 -3.34416667 8 122.27121111 -3.37083333 122.26472222 -3.34416667 9 122.27121111 -3.38250000 122.26472222 -3.33143056
Luas basal area C =
Luas seluruh petak contoh
Penutupan spesies ke-i
CR-i = x 100% Penutupan seluruh spesies
AGRIPLUS, Volume 22 Nomor : 02 Mei 2012, ISSN 0854-0128 No KW 07 STP 012 KW 07 STP 013 x Y X y 10 122.26611111 -3.38250000 122.27895000 -3.33143056 11 122.26611111 -3.39166667 12 122.25531111 -3.39166667 13 122.25531111 -3.38846944 14 122.24200278 -3.38846944
Sumber : Data sekunder , Eenviro Corp, 2010.
Kawasan Hutan
Berdasarkan hasil interpretasi peta, maka cakupan wilayah IUP Nikel PT. Starget meliputi Desa Molore dan Desa
Lameruru Kecamatan Langgikima
Kabupaten Konawe Utara. Dengan total luas ± 2000 Ha.. Berdasarkan peta kawasan hutan dan dihubungkan dengan patok dan titik koordinat Izin Pertambangan, wilayah IUP Nikel PT. Starget ini seluas 252.96 ha
yang berada dalam kawasan APL,
1064.05ha masuk ke dalam Hutan Produksi dan 683.01 ha Berada di dalam kawasan
Hutan Lindung (Analisi SIG, 2011).
Geomorfologi
Bentang alam daerah eksplorasi secara umum dapat dibagi menjadi 3 satuan geomorfologi, yaitu perbukitan landai, terjal dan pedataran. Perbukitan terjal menempati sebagian daerah dicirikan oleh lereng yang
terjal dan berpuncak tajam dengan
ketinggian 100 – 500 meter dpl dengan titik tertinggi 544 meter dengan tutupan hutan (Enviro cor., 2010). Perbukitan landai terdapat di bagian tengah hingga utara molore, dicirikan oleh puncak-puncak landai dengan lebar, memiliki ketinggian
100 – 300 meter dpl dengan kemiringan 100
– 300
. Sebagian besar merupakan hutan yang tidak begitu lebat. Daerah pedataran pada bagian barat dan selatan Molore dengan ketinggian 0 – 100 meter dpl, dengan kemiringan 00 – 100. Setempat-setempat terdapat bukit sisa dari hasil denudasi. Daerah ini ditempati oleh laterit hasil erosi Dan sebagian berupa endapan rawa-rawa. (Enviro Corp., 2010)
Tipe Iklim
Seperti daerah-daerah lain di
Indonesia, di kabupaten Konawe Utara dikenal dua musim yaitu musim kemarau dan musim hujan. Berdasarkan klasifikasi Schimedt dan Ferguson, lokasi tambang termasuk daerah basah dimana rata-rata curah hujan > 100mm/bulan., dengan nilaiQ = 23.1 – 24.4%. Menurut klasifikasi oldeman, daerah ini termasuk tipe iklim E1 tau termasuk lembab (curah hujan = 100 –
200mm/bulan). Menurut data yang
diperoleh dari pangkalan udara Wolter Monginsidi Kendari, selama tahun 2007
suhu udara maksimum 320C dan minimum
210C atau rata-rata 270C. Tekanan udara 1010.6 milibar dengan kelembaban udara 78.0%. Kecepatan angin pada umumnya berjalan normal yaitu di sekitar 3.75 m/sec (Enviro Corp., 2010).
Keadaan Vegetasi Penyusun Hutan
Variabel Jumlah Jenis vegetasi
Jumlah jenis merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan untuk menilai kualitas lingkungan hutan. Banyak atau sedikitnya jumlah jenis yang ditemukan
akan memberikan gambaran tingkat
kompleksitas interaksi yang terjadi dalam ekosistem hutan.
Rekapitulasi hasil pemantauan
kondisi vegetasi hingga akhir tahun 2011 berdasarkan hasil analisis vegetasi yang telah dilakukan pada parameter Jumlah total jenis, disajikan pada Tabel 2.
AGRIPLUS, Volume 22 Nomor : 03 September 2012, ISSN 0854-0128 44 42 36 28 20 23 26 29 32 35 38 41 44 47 50
Maret Juni Sept Des
JUMLAH TOTAL JENIS
Maret Juni Sept Des
Tabel 2. Rekapitulasi Jumlah total Jenis Vegetasi Hutan yang ditemukan di lokasi studi.
Waktu Pengamatan Jumlah Total Jenis Skala Kualitas Lingkungan *) Kriteria
Maret 2011 44 5 Sangat Baik
Juni 2011 42 5 Sangat Baik
September 2011 36 5 Sangat Baik
Desember 2011 28 4 Baik
*) Kepmen KLH No.2 tahun 1988 tentang standar baku kualitas lingkungan Sumber : Data Primer setelah diolah, 2011 - 2012.
Berdasarkan hasil rekapitulasi yang
disajikan pada Tabel 2 maka diperoleh gambaran bahwa untuk kriteria jumlah total jenis, secara kuantitatif dan kualitatif terus mengalami penurunan pada setiap periode pengamatan. Penurunan jumlah spesies pada periode I – II disebabkan telah terbukanya 1 stasiun pengamatan yaitu stasiun 3. Dari total 7 stasiun pengamatan yang diinventarisasi pada bulan Maret, pada
pengamatan bulan Juni 1 stasiun
pengamatan yang sebelumnya bervegetasi telah mengalami pembukaan untuk tujuan perluasan stock pile, perubahan tersebut menyebabkan terjadinya penurunan jumlah spesies sebanyak 2 jenis. Pada periode Juni - September juga terjadi penurunan bahkan jumlah kehilangan spesiesnya lebih besar dari periode sebelumnya yakni 6 speses dari sebelumnya 42 spesies menjadi 36 spesies. Hal ini jelas terlihat oleh adanya gangguan vegetasi di sekitar stasiun 7 untuk tujuan pembuatan jalan, hal ini juga didukung oleh penyebab lain yaitu adanya kegiatan penebangan di lokasi studi yang dilakukan oleh oknum tertentu, hal ini diperkuat dengan ditemukannya bekas kayu gergajian dan tunggak-tunggak pohon di lokasi studi. Pada saat pengamatan Desember 2011, aktifitas pembuatan jalan dan pembukaan lahan pada stasiun 4 yang diduga untuk keperluan tempat penimbunan top soil, telah mengakibatkan hilangnya vegetasi. Kondisi ini menyebabkan penurunan jumlah jenis yang sangat signifikan pada lokasi studi, yakni sebanyak 8 spesies. Selanjutnya, secara grafis gambaran jumlah spesies
setiap peride pengamatan disajikan di bawah ini :
Gambar 1. Grafik Jumlah Total Jenis Vegetasi yang ditemukan di Lokasi Studi
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikatakan untuk variabel jumlah total spesies yang ditemukan dilokasi penelitian selama periode tahun 2011 baik secara
kualitatif maupun kuantitatif telah
mengalami penurunan oleh adanya aktifitas pertambangan di wilayah studi. Hal ini sangat perlu mendapat perhatian serius, karena berkurangnya jenis vegetasi yang ada merupakan salah satu indikator kuat bahwa lingkungan sudah mulai mengalami
kerusakan yang berakibat pada
ketidaksatbilan ekosistem hutan pada lokasi tersebut.
Selanjutnya rekapitulasi Jumlah
Jenis yang ditemukan berdasarkan tingkat pertumbuhan vegetasi di sajikan pada Tabel 3.
AGRIPLUS, Volume 22 Nomor : 02 Mei 2012, ISSN 0854-0128 10 25 30 14 8 20 29 13 5 13 29 14 4 10 24 12 0 5 10 15 20 25 30 35
Pohon Tiang Pancang Semai
JUMLAH JENISTIAP FASE PERTUMBUHAN
Maret Juni Sept Des
Tabel 3. Rekapitulasi Jumlah Jenis Vegetasi Hutan Pada Tiap Fase Pertumbuhan Yang Ditemukan Di Lokasi Studi.
JUMLAH JENIS TIAP TINGKAT VEGETASI TAHUN 2011
Waktu Pengamatan
Pohon Tiang Pancang Semai
Jml
jenis Skala kriteria Jml
jenis Skala kriteria Jml
jenis Skala kriteria Jml
jenis Skala kriteria
Maret 2011 10 2 Buruk 25 4 Baik 30 4 Baik 14 3 Sedang Juni 2011 8 2 Buruk 20 3 Sedang 29 4 Baik 13 3 Sedang September
2011 5 2 Buruk 13 3 Sedang 29 4 Baik 14 3 Sedang Desember
2011 4 1
Sangat
Buruk 10 2 Buruk 24 4 Baik 12 3 Sedang Sumber : Data Primer setelah diolah, 2011-1012.
Gambar 2. Grafik Jumlah Jenis pada Tiap Fase Pertumbuhan
Untuk variabel pengamatan Jumlah jenis
yang ditemukan pada tiap tingkatan
vegetasi, memeprlihatkan pola penurunan yang sangat signifikan terutama ditemukan pada tingkatan pohon dan tiang, sedangkan pada tingkat pancang dan semai dapat dikatakan tidak terjadi perubahan yang signifikan. Kondisi ini sangat relefan dengan adanya fenomena bukaan lahan dan penebangan, yang target utamanya adalah vegetasi pada tingkatan pohon dan tiang. Selain itu secara ekologi fase pertumbuhan vegetasi untuk mencapai tingkatan semai dan pancang butuh waktu yang lebih singkat dibandingkakan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tingkat tiang dan pohon. Sehingga terlihat bahwa jumlah jenis pada kedua tingkatan ini relatif tidak terjadi perubahan yang signifikan pada setiap
periode pengamatan.
Dari uraian di atas maka dapat dikemukakan bahwa untuk variabel jumlah spesies pada setiap tingkat vegetasi yang
ditemukan dilokasi pengamatan selama periode tahun 2011 pada vegetasi tingkat pohon dan tiang telah mengalami penurunan jumlah jenis oleh adanya aktifitas di wilayah studi, sedangkan untuk tingkat pancang dan semai relatif tidak terjadi perubahan atau relatif stabil.
Variabel Kerapatan vegetasi
Nilai kerapatan dapat memberikan informasi mengenai banyaknya jumlah individu setiap jenis, dan juga memberikan
informasi penciri komunitas hutan.
Bertambah dan berkurangnya jumlah
individu dapat memberikan gambaran
besarnya tekanan aktifitas di lokasi studi terhadap vegetasi yang ada. Oleh karena itu tingkat kerapatan dapat digunakan sebagai salah satu indikator dalam menilai kualitas lingkungan. Berikut disajikan data tingkat kerapatan di lokasi studi.
AGRIPLUS, Volume 22 Nomor : 03 September 2012, ISSN 0854-0128 67.86 182.14 439.29 46.43 150 53.57 610.71 28.57 425 32.14 42.86 546.43 0 100 200 300 400 500 600 700
Pohon Tiang Pancang TINGKAT KERAPATAN VEGETASI TAHUN 2011
Maret Juni Sept Des 33571.43 31071.43 29285.71 26428.57 0.00 5000.00 10000.00 15000.00 20000.00 25000.00 30000.00 35000.00 40000.00 Semai Maret Juni Sept Des
Tabel 4. Kualitas Lingkungan Vegetasi Hutan Berdasarkan Tingkat Kerapatan KERAPATAN TIAP TINGKAT VEGETASI PADA LOKASI STUDI
Fase
Pertumbuhan Pohon Tiang Pancang Semai
Tahun K
(ind/ha) Skala kriteria K
(ind/ha) Skala kriteria K
(ind/ha) Skala kriteria K
(ind/ha) Skala kriteria
Maret 2011 67.86 3 Sedang 182.14 4 Cukup 439.29 5 Baik 33571.43 5 Baik Juni 2011 46.43 2 Kurang 150 4 Cukup 425 5 Baik 31071.43 5 Baik September
2011 32.14 2 Kurang 53.57 3 Sedang 610.71 5 Baik 29285.71 5 Baik Desember
2011 28.57 2 Kurang 42.86 2 Kurang 546.43 5 Baik 26428.57 5 Baik
Sumber : Data Primer setelah diolah, 2011-2012.
Untuk kriteria kerapatan vegetasi,
penurunan jumlah individu per hektarnya ditunjukkan oleh vegetasi tingkat pohon dan tiang pada setiap periode pengamatan. Pada tingkat pancang terlihat adanya peningkatan yang cukup signifikan terutama pada pengamatan 3 di bulan September, hal ini karena perbedaan tingkat semai dan pancang lebih pada aspek tinggi ketimbang aspek diameter sehingga waktu yang dibutuhkan tingkat semai untuk menjadi pancang relatif lebih singkat. Pertumbuhan ini berimplikasi pada naiknya jumlah individu tingkat pancang yang dulunya berada di tingkatan semai, sehingga meningkatkan jumlah individu tingkat pancang per hektarnya, yang berimplikasi pada peningkatan kerapatan vegetasi tingkat pancang terutama pada periode ke 3 pengamatan.
Fenomena seperti diatas sangat sulit ditemukan pada tingkat pohon dan tiang
dikarenakan rentang besaran diameter yang di butuhkan dari tingkat pancang menjadi tingkat tiang ataupun dari tingkat tiang menjadi pohon cukup besar. Apalagi umumnya vegetasi hutan rata-rata memiliki riap pertumbuhan yang relatif kecil, yang umumnya nyata terlihat pada periode 1 tahunan.
Pada tingkat semai secara kualitatif
dapat dikatakan relatif tidak terjadi
perubahan pada veriabel kerapatan pada setiap periode pengamatan. Namun jika dianalisis lebih jauh, pada aspek kuantitatif sesungguhnya juga terjadi penurunan yang cukup besar disebabkan oleh aktifitas land clearing, dan pembukaan lahan untuk kegiatan pertambangan lainnya. Hal ini mengindikasikan perlunya perhatian yang serius karena tingkat semai sangat berperan dalam proses regenerasi
Gambar 3. Grafik tingkat Kerapatan Vegetasi (Indv/ha) pada Tiap Tingkat Pertumbuhan Vegetasi
AGRIPLUS, Volume 22 Nomor : 02 Mei 2012, ISSN 0854-0128 2.06 2.88 2.89 2.24 1.89 2.67 2.85 2.13 1.52 2.52 2.77 2.17 1.32 2.25 2.62 2.03 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5
Pohon Tiang Pancang Semai
KEANEKARAGAMAN
Maret Juni Sept Des Berdasarkan uraian yang dikemukakan di
atas, maka untuk variabel tingkat kerapatan pada setiap tingkat vegetasi telah terjadi penurunan kualitas lingkungan khususnya untuk vegetasi pada tingkat pohon dan tiang oleh adanya aktifitas di wilayah studi. Sedangkan untuk tingkatan vegetasi lainnya secara kualitatif dapat dikatakan tidak terjadi penurunan ataupun peningkatan kualiatas lingkungan (tetap). Namun meskipun demikian, secara kuantitatif seluruh tingkatan vegetasi kecuali tingkat
pancang menunjukkan penurunan
kerpatanan yang cukup signifikan.
Sehingga dapat dikatakan secara umum pada aspek kerapatan setiap tingkat vegetasi hingga pemantauan Desember 2011 telah mengalami Penurunan Kualitas Lingkungan.
Variabel Keanekaragaman vegetasi
Keanekaragaman merupakan
karakteristik tingkatan komunitas
berdasarkan organisasi biologisnya, dan dapat digunakan untuk menyatakan struktur komunitas. Menurut Soegianto (1994)
dalam Indriyanto (2006) bahwa keanekaragaman dapat digunakan untuk mengukur kemampuan suatu komunitas pada suatu habitat dalam menyeimbangkan komponennya dari berbagai gangguan yang
timbul. Stabilitas komunitas adalah
kemampuan komunitas untuk menjaga dirinya tetap stabil meskipun ada gangguan
terhadap komponen-komponennya.
Semakin tinggi indeks keanekaragaman suatu ekosistem berarti semakin stabil ekosistem tersebut begitu pula sebaliknya.
Tabel 5. Kondisi Vegetasi Hutan berdasarkan berdasarkan Indeks keanekaragaman
Shannon-Wiener.
KEANEKARAGAMAN TIAP TINGKAT VEGETASI PADA LOKASI STUDI Fase
Pertumbuhan Pohon Tiang Pancang Semai
Tahun H' Skala kriteria H' Skala kriteria H' Skala kriteria H' Skala kriteria
2011 (I) 2.06 4 Baik 2.88 4 Baik 2.89 4 Baik 2.24 4 Baik 2011 (II) 1.89 3 Sedang 2.67 4 Baik 2.85 4 Baik 2.13 4 Baik 2011 (III) 1.52 3 Sedang 2.52 4 Baik 2.77 4 Baik 2.17 4 Baik 2012 (I) 1.32 3 Sedang 2.25 4 Baik 2.62 4 Baik 2.03 4 Baik Sumber : Data Primer setelah diolah, 2011-2012.
AGRIPLUS, Volume 22 Nomor : 03 September 2012, ISSN 0854-0128
Keanekaragaman vegetasi pada semua tingkatan umumnya tergolong kategori
melimpah sedang yang menggambarkan
kemampuan pulih (daya lenting) ekosistem tergolong sedang pula. Berdasarkan data kuantitatif di atas, keanekarangan pada
semua tingkat pertumbuhan vegetasi
mengalami penurunan. Penurunan yang
terbesar terlihat pada tingkatan pohon, hal ini disebabkan besarnya tekanan terhadap tingkatan tersebut, yang ditandai oleh menurunnya jumlah jenis dan jumlah individu per hektarnya. Nilai Indeks
keanekaragaman tingkat pohon juga
menunjukkan bahwa tingkat pohon disusun oleh jumlah spesies (jenis) yang relatif paling sedikit diantara tingkatan yang lain, meskipun masih masuk dalam klasifikasi yang sama dengan tingkatan yang lain yakni
melimpah sedang. Pada tingkatan vegetasi
yang lain indeks vegetasi menunjukkan angka diatas 2. Dari gambar grafik di atas
menunjukkan bahwa diantara semua
tingkatan, tingkat vegetasi pancang
merupakan tingkatan yang paling stabil.
Kondisi ini mengindikasikan
adanya aktifitas pertambangan di lokasi studi telah menyebabkan gangguan terhadap semua vegetasi yang ada yang berimplikasi pada penurunan tingkat keanekaragaman, yang pada akhirnya akan menurunkan kestabilan ekosistem secara keseluruhan, karena kondisi ini terjadi pada semua tingkat vegetasi. Hal ini perlu mendapat perhatian dan penanganan yang serius. Karena jika ini terus berlanjut tentu akan menyebabkan kerusakan ekosistem hutan yang lebih serius. Selain itu kerusakan tersebut akan berpengaruh pula terhadap habitat atau “home range” bagi fauna daratan (satwa liar) serta siklus hidroologis terutama cadangan iar tanah ada.
KESIMPULAN
Kesimpulan penelitian ini adalah : (1) Aktifitas pertambangan yang dilakukan di lokasi studi selama kurun waktu tahun
2011 telah mengakibatkan penurunan
jumlah Spesies yang cukup signifikan yaitu 26 jenis vegetasi. Penurunan terbesar
terutama terjadi pada tingkat pohon dan
tiang yang mengindikasikan besarnya
tekanan terhadap kedua tingkat vegetasi tersebut. (2) Pada variabel kerapatan vegetasi, aktifitas di wilayah studi telah menyebabkan penurunan kuantitatif yang sangat signifikan terutama ditemukan pada tingkat pohon, tiang dan semai, sedangkan pada tingkat pancang terjadi peningkatan meskipun tidak signifikan. (3) Tingkat keanekaragaman vegetasi secara kualitatif masih berada pada kelas kriteria yang sama (tetap), namun secara kuantitatif nilai Indeks keanekaragaman mengalami penurunan,
yang mengindikasikan aktifitas
pertambangan di lokasi studi telah
menyebabkan gangguan terhadap semua vegetasi yang ada yang berimplikasi pada penurunan tingkat keanekaragaman, yang pada akhirnya akan menurunkan kestabilan ekosistem secara keseluruhan.
Melakukan reboisasi atau
penanaman kembali sesegera mungkin pada daerah terbuka yang telah selesai kegiatan penambangannya dan pembuatan arboretum untuk tujuan pengawetan terhadap jenis-jenis vegetasi yang ada dilokasi studi, dapat dijadikan salah satu solusi untuk mencegah hilangnya spesies tertentu akbiat kegiatan pertambangan. Selain bermanfaat dari aspek konservasi, pada tahapan yang lebih jauh juga akan memberikan manfaat edukasi dan ekowisata.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kehutanan RI, 1999.
Undang-Undang Republik Indonesia No 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Jakarta
Enviro Corp. Environmental Research, 2010. Kerangka Acuan (KA
ANDAL) Penambangan Bijih
Nikel PT. Starget Pasific
Resources. Kendari.
Fandeli, C. 2000. Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan. Prinsip
Dasar dan Pemaparannya dalam Pembangunan. Edisi Ke dua. Liberti offset. Yogyakarta
AGRIPLUS, Volume 22 Nomor : 02 Mei 2012, ISSN 0854-0128
Ferianita Fachrul M., 2007. Metode
Sampling Bioekologi. Bumi
Aksara, Jakarta.
Forum Tata Ruang Wilayah Sulawesi Tenggara, 2010. Kertas Posisi (Positioning Paper). Kendari. Hardjosuwamo, S. 1994. Ekologi Tumbuhan
Jilid I. Fakultas Biologi.
Universitas Gajah Mada.
Yogyakarta.
Herianto, NM. 2004. Suksesi hutan bekas Tebangan di Kelompok Hutan
Sungai Lekawai_Sungai
Jengonoi, Kabupaten Sintang
Kalimantan Barat Jurnal
Penelitian Kehutanan dan
Konservasi Alam. . Vol 1 No.2.
ISSn : 0216-0439. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor indonesia
Indriyanto, 2006. Ekologi Hutan. Bumi Aksara, Jakarta.
Otto Soemarwoto, 2001 . Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Soegianto A., 1994. Ekologi Kuantitatif, Metode Analisis Populasi dan
Komunitas. Usaha Nasional,
Surabaya.
Smith, RL. 1977. Element of Ecology. Harper and Row Publisher, New York.