• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertanggungjawaban Pidana Mengenai Tindak Pidana Pembakaran Lahan (Studi Putusan No : 118 PID.SUS 2014 PN.Plw)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pertanggungjawaban Pidana Mengenai Tindak Pidana Pembakaran Lahan (Studi Putusan No : 118 PID.SUS 2014 PN.Plw)"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bruce Mitchell dalam buku Supriadi menyatakan pembangunan

merupakan upaya sadar yang dilakukan oleh manusia untuk mencapai kehidupan

yang lebih baik. Hakikat pembangunan adalah bagaimana agar kehidupan hari

depan lebih baik dari hari ini. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa

pembangunan akan selalu bersentuhan dengan lingkungan.1 Bruce Mitchell mengatakan pengelolaan sumber daya lingkungan akan mengalami empat situasi

pokok, yaitu perubahan (change), kompleksitas (complexity), ketidakpastian

(uncertainly), konflik (conflict).2

Daud Silalahi mengatakan bahwa kerusakan lingkungan di negara maju

disebabkan oleh pencemaran sebagai akibat sampingan dari penggunaaan sumber

daya alam dan proses produksi yang menggunakan banyak energi, teknologi maju

yang boros energi pada industri, kegiatan transportasi dan komunikasi, serta

kegiatan-kegiatan ekonomi lainnya.3

Menurut Emil Salim masalah lingkungan hidup yang di hadapi oleh

negara berkembang banyak di timbulkan oleh kemiskinan yang memaksa rakyat

merusak lingkungan alam.4 Maka jelas bahwa rendahnya pendapatan penduduk,

Daud Silalahi, Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Edisi Revisi (Bandung: Alumni, 1996), h. 15.

4

(2)
(3)

rendah, semua ini telah turut mendorong penduduk negara berkembang menguras

sumber daya alam bagi keperluan hidupnya. Masalah lingkungan di negara

berkembang contohnya Indonesia, terutama berakar pada keterbelakangan

pembangunan.

Gunardi Endro menjelaskan dalam buku Alvi Syahrin, dalam interaksi di

masyarakat, eksistensi dan kualitas hidup manusia ditentukan berdasarkan pada

referensi nilai dan moral. Orang yang jahat akan dicela dan seringkali

disingkirkan dari masyarakat, sedangkan orang baik akan dipuji, dihormati,

dicintai dan kemana-mana akan didukung kehidupannya. Orang bisa menjadi

jahat karena di dalam kodratnya memiliki kehendak bebas, akan tetapi kehendak

bebas akan terbentuk dan berkembang dan menjadi kuat kalau orang semakin

bersedia untuk bertanggung jawab.5

Pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan terus meningkat sejalan

dengan meningkatnya kegiatan industri atau sejenisnya dalam menjalankan suatu

usaha ekonomi serta sikap penguasa maupun pengusaha yang tidak menjalankan

atau melalaikan kewajiban-kewajibannya dalam pengelolaan lingkungan hidup.6 Pencemaran dan kerusakan lingkungan yang ada di wilayah indonesia

yang paling mencuri perhatian dunia adalah dibidang pembakaran lahan, baik

lahan kehutanan, lahan perkebunan, dan lainnya. Lahan adalah suatu wilayah

bumi daratan yang ciri-cirinya merangkum semua tanda pengenal biosfer,

atmosfer, tanah, geologi, topografi, hidrologi, flora, fauna, dan hasil kegiatan

5

Alvi Syahrin, Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan (Jakarta: PT.Soft Media, 2009), h. 3.

6

(4)

manusia masa lalu dan masa kini.7

Menurut Herry Purnomo, seorang peneliti dari Center for International

Forestry Research (CIFOR), kerugian Indonesia pada tahun 1997-1998 akibat

pembakaran lahan berkisar US$ 9 Miliar. Kerugian tersebut belum tersebut belum

termasuk kerugian yang di derita oleh negara tetangga akibat pembakaran lahan

yang ada di wilayah indonesia, contohnya negara Malaysia dan Singapura yang

masing-masing mengalami kerugian sekitar US$ 2 Miliar setiap negaranya.8 Sedangkan pada tahun 2015 menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana

(BNPB) total kerugian negara akibat pembakaran lahan di Sumatera dan

Kalimantan saja mencapai lebih dari Rp 200 Trilliun.9

Data tersebut menunjukan bahwa pembakaran lahan bukan merupakan

tindak pidana biasa. Akibat dari pembakaran lahan tersebut negara mengalami

banyak kerugian dibeberapa sektor strategis. Selain itu bukan hanya negara yang

mengalami kerugian. Masyarakat juga mengalami kerugian baik di sektor agraris,

kesehatan, dan lainnya. Purwo Hadi Subroto, petani di Riau, mengaku produksi

tanaman pangan dan sayuran di ladangnya menurun sampai 40 % karena proses

produksi tanaman yang mengandalkan sinar matahari terhalang oleh kabut asap.10 Berdasarkan data dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)

pada periode Januari-September 2015 ada 16.334 titik api, dan pada 2014 ada

36.781 titik api di Indonesia. Titik api tersebut menyebabkan timbulnya asap yang

pada tanggal 31 Maret 2016 pukul 11:20 WIB.

9

Ibid

10

(5)

merusak lingkungan mengakibatkan 20.471 orang di Jambi, 15.138 orang di

Kalimantan Tengah, 28.000 orang di Sumatera Selatan, dan 10.010 orang di

Kalimantan Barat terkena Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA).11 Hal tersebut membuktikan bahwa memang benar bukan hanya negara yang mengalami

kerugian, namun perbakaran lahan tersebut berdampak langsung terhadap

masyarakat.

Lahan Kehutanan, Perkebunan, dan lainnya yang seharusnya dijaga dan

dimanfaatkan secara optimal dengan memperhatikan aspek kelestarian kini telah

mengalami degradasi dan deforestasi yang cukup mencenangkan bagi dunia

internasional. Lahan pada umumnya menjadi sumber kehidupan ekosistem di

dunia. Sehingga dalam hal pemeliharaan lahan menjadi tanggung jawab seluruh

komponen yang ada, baik pemerintah, korporasi, maupun individu masyarakat.

Pada praktek hukum pidana yang terjadi pada saat ini, korporasi dan masyarakat

melakukan pengerusakan lahan. Salah satu caranya adalah dengan pembakaran

lahan.

Tidak adanya kesadaran bagi masyarakat dan korporasi akan pentingnya

memelihara lahan yang ada, menjadi salah satu faktor penyebab dari pembakaran

lahan. Selain itu untuk mengejar keuntungan yang besar bagi individu masyarakat

maupun korporasi, mereka tidak segan untuk melakukan pembakaran lahan secara

terang-terangan.

Hal tersebut menjadi perhatian serius bagi pemerintah khususnya, untuk

11 Indra Nugraha, Berita, “Walhi: Berikut Korporasi

-korporasi di Balik Kebakaran Hutan

(6)

mencegah perbuatan pembakaran lahan yang dilakukan oleh korporasi dan

masyarakat yang tidak bertanggungjawab. Pemerintah menerbitkan

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan dan Perlindungan

Lingkungan Hidup, Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan,

Undang-undang Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan perubahan atas

Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan, dan Undang-undang

lainnya berkaitan dengan perlindungan lingkungan hidup.

Peraturan perundang-undangan tersebut menjadi salah satu bentuk

keseriusan pemerintah untuk menanggulangi dan mencegah pembakaran lahan

yang dilakukan tanpa izin dan tidak bertanggungjawab. Peraturan

perundang-undangan tersebut mengatur sedemikian rupa bentuk-bentuk tindak

pidana pembakaran lahan, dan bentuk sanksi yang dijatuhkan kepada korporasi

dan masyarakat yang melakukan tindak pidana pembakaran lahan tanpa izin.

Pemerintah membentuk Peraturan Perundang-undangan mengenai pembakaran

lahan, bertujuan untuk menuntut pelaku tindak pidana pembakaran lahan

mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Terdapat 218 kasus pembakaran lahan yang ditangani oleh Kepolisian

Republik Indonesia sampai dengan bulan September 2015, dari 218 kasus ini

sudah di tetapkan 204 tersangka dengan rincian 195 perorangan dan 9 korporasi.12 Hal tersebut membuktikan bahwa tidak hanya korporasi yang mengejar

keuntungan dalam melakukan tindak pidana pembakran lahan. Fakta di lapangan

12

Fabian Januarius Kuwado, Berita, “Total Ada 218 Kasus Kebakaran Hutan dengan

(7)

adalah jumlah pelaku perseorangan tindak pidana pembakaran lahan menunjukan

angka yang lebih besar dibanding pelaku yang merupakan korporasi.

Namun, walaupun pemerintah telah membentuk aturan dan sanksi yang

tegas dalam masalah tindak pidana pembakaran lahan, masih banyak tindak

pidana pembakaran lahan di wilayah Indonesia khususnya di wilayah Provinsi

Riau. Hal tersebut dikarenakan sanksi yang diberikan oleh penegak hukum

terhadap pelaku tindak pidana pembakaran lahan dirasa terlalu ringan dan tidak

sesuai dengan akibat dari perbuatan tersebut.

Dalam permasalahan Tindak Pidana Pembakaran Lahan, maka penulis

akan menuangkannya secara lengkap dan cermat dalam sebuah skripsi yang

berjudul : PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA MENGENAI TINDAK

PIDANA PEMBAKARAN LAHAN ( Studi Putusan No. 118/ Pid.Sus/ 2014/

PN.Plw).

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan diatas, maka

permasalahan yang akan penulis bahas dalam skripsi ini adalah :

1. Bagaimana pengaturan Tindak Pidana Pembakaran Lahan ?

2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana mengenai Tindak Pidana Pembakaran

Lahan ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan penulisan skripsi ini adalah :

a. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan tindak pidana pembakaran

(8)

b. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana mengenai tindak pidana

pembakaran lahan.

2. Manfaat penulisan skripsi ini adalah :

1)Manfaat Teoritis

Secara teoritis skripsi ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan kajian

lebih lanjut untuk berbagai konsep ilmiah yang pada waktunya nanti dapat

memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum

pidana dan hukum acara pidana. Khususnya dalam tindak pidana pembakaran

lahan.

2)Manfaat Praktis

Menjadi masukkan dan pengetahuan bagi masyarakat dan para penegak

hukum serta praktisi hukum, mengenai problematika yang terdapat dalam sistem

hukum dan sistem peradilan yang ada di Indonesia. Serta dapat menjadi bahan

perbandingan bagi penulis lain yang meneliti lebih lanjut dan lebih mendalam.

D. Keaslian Penulisan

Setelah dilakukan penelitian di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara, belum ada terdapat tulisan yang mengangkat tentang

“Pertanggungjawaban Pidana Mengenai Tindak Pidana Pembakaran Lahan (Studi

Putusan No.118/Pid. Sus/ 2014/ PN Plw)”. Oleh karena itu penulisan skripsi ini

dapat dikatakan masih original, sehingga keabsahannya dapat

(9)

E. Tinjauan Pustaka

1. Kerusakan Lingkungan Hidup

Pengurasan sumber daya alam (natural resource depletion) diartikan

sebagai pemanfaatan sumber daya alam secara tidak bijaksana sehingga sumber

daya alam itu baik kualitasnya maupun kuantitasnya menjadi berkurang atau

menurun dan pada akhirnya akan habis sama sekali. Ancaman akan habisnya

sumber daya alam, terutama dapat terjadi pada sumber daya alam yang tidak

terbaharui, misalnya minyak bumi, gas alam, batubara atau mineral pada

umumnya. Jenis sumber daya alam yang tak terbaharui akan cepat habis sebelum

waktunya jika pemanfaatannya tidak disertai dengan kebijakan konservasi.

Meskipun beberapa jenis sumber daya alam yang dapat diperbaharui atau tersedia

secara tetap, kegiatan-kegiatan manusia dapat diperbaharui atau tersedia secara

tetap, kegiatan-kegiatan manusia dapat menyebabkan sumber daya alam itu

menjadi kurang kualitasnya. Misalnya lahan adalah termasuk sumber daya alam

yang terbaharui, jika lapisan permukaan tanah terkikis habis, maka lahan menjadi

tidak atau berkurang nilainya untuk budidaya pertanian.

Kerusakan lingkungan hidup adalah deteriorasi lingkungan dengan

hilangnya sumber daya air, udara, dan tanah, kerusakan ekosistem dan punahnya

fauna liar.13 Penggundulan hutan, lahan kritis, menipisnya lapisan ozon, pemanasan global, tumpahan minyak di laut, ikan mati di anak sungai karena

zat-zat kimia, dan punahnya species tertentu adalah beberapa contoh dari

13

(10)

masalah-masalah lingkungan hidup.14

Richard Stewart dan James E. Krier, dalam buku Takdir Rahmadi

menjelaskan dalam literatur masalah-masalah lingkungan dapat dikelompokan

kedalam tiga bentuk, yaitu pencemaran lingkungan (pollution), pemanfaatan lahan

secara salah (land misuse), dan pengurasan atau habisnya sumber daya alam (land

resourrce depeletion).15

Akan tetapi, jika dilihat dari perspektif hukum yang berlaku di Indonesia,

masalah-masalah lingkungan hanya dikelompokkan ke dalam dua bentuk, yakni

pencemaran lingkungan (environmental pollution) dan perusakan lingkungan

hidup.16

Pengertian pencemaran lingkungan hidup adalah sebagaimana dirumuskan

dalam Pasal 1 butir 14 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009, yaitu: “masuk atau

dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam

lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu

lingkungan hidup yang telah ditetapkan”.

Pengertian perusakan lingkungan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1

butir 16, yaitu: “tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak

langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga

melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup”.

Pencemaran dan perusakan lingkungan hidup merupakan suatu perbuatan

melanggar hukum yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan

14

Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2012), h. 1.

15

Ibid.

16

(11)

hidup, yang berarti pelestarian fungsi lingkungan hidup tidak dapat terwujud

sehingga upaya untuk memelihara kelangsungan dan daya dukung dan daya

tampung lingkungan hidup akan terganggu.

Terdapat unsur-unsur yang mempersamakan materi yang terkandung dari

kedua pasal tersebut di atas, yaitu :

1.Baik pencemaran lingkungan maupun perusakan lingkungan hidup adalah

tindakan-tindakan yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau

lingkungan hidup.

2.Baik pencemaran lingkungan maupun perusakan lingkungan hidup

tindakan-tindakan yang menyebabkan tidak terwujudnya pelestarian fungsi

lingkungan hidup

3.Tindakan-tindakan itu atau perbuatan yang dilakukan terjadinya

pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup dapat dikategorikan

sebagai perbuatan melanggar hukum, perbuatan melawan hukum, atau

perbuatan (onrechmatigedaad) yang menimbulkan kerugian bagi orang

lain atau lingkungan hidup.

4.Perbuatan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup

mengakibatkan timbulnya akibat hukum baik berupa pertanggungjawaban

(liability) perdata maupun pidana.17

Perbedaan pokok antara pencemaran lingkungan dengan terkurasnya

sumber daya alam adalah bahwa pencemaran dapat terjadi karena masuknya atau

hadirnya sesuatu zat, energi atau komponen ke dalam lingkungan hidup atau

17

(12)

ekosistem tertentu. Dengan demikian, zat, energi, atau komponen itu merupakan

sesuatu yang asing atau yang pada mulanya tidak ada di dalam suatu kawasan

lingkungan hidup kemudia hadir dalam kuantitas atau kualitas tertentu karena

dimasukkan oleh kegiatan manusia. Sebaliknya, pengurasan sumber daya alam

mengandung arti sumber daya alam yang terletak atau hidup di dalam konteks

asalnya atau kawasan asalnya, kemudian oleh manusia diambil secara

terus-menerus dan tidak terkendali dengan cara dan jumlah tertentu sehingga

menimbulkan perubahan dan penurunan kualitasnya lingkungan hidup.18

Dampak negatif dari menurunnya kualitasnya lingkungan hidup baik

karena terjadinya pencemaran atau terkurasnnya sumber daya alam adalah

timbulnya ancaman atau dampak negatif terhadap kesehatan, menurunnya nilai

estetika, kerugian ekonomi (economic cost), dan terganggunya sistem alami

(natural system).19

Kerusakan lingkungan yang terjadi di suatu negara atau kawasan tertentu

akan berpengaruh pula pada negara atau kawasan lain. Hal ini disebabkan

pencemaran lingkungan, misalnya (kebakaran lahan) dampaknya tidak hanya

dirasakan oleh negara yang tertimpa pencemaran tersebut, tetapi juga pada negara

tetangganya. Hal ini dapat dilihat di Indonesia yang setiap tahunnya terjadi

kebakaran lahan di Sumatera dan Kalimantan, dampak dari kebakaran lahan

tersebut dirasakan pula oleh masyarakat negara tetangga, yaitu Singapura dan

Malaysia.20

18

Takdir Rahmadi, Op.cit. h. 3.

19

ibid. h. 6-7.

20

(13)

2. Tindak Pidana Pembakaran Lahan

Kerusakan lingkungan hidup disebabkan oleh berbagai macam faktor,

seperti pembalakan liar, pembakaran lahan, dan lainnya. Perbuatan tersebut

merupakan ulah manusia, baik perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja,

ataupun terjadi karena kelalaian.

Dewasa ini, faktor yang paling berperan dalam pengerusakan lingkungan

adalah faktor pembakaran lahan. pembakaran lahan mengakibatkan timbulnya

gas-gas berbahaya dan juga menimbulkan kerugian lain bagi masyarakat, serta

dapat merusak lingkungan hidup. Upaya pembangunan yang dilakukan

pemerintah, seharusnya menjadi kesadaran kolektif masyarakat. Dengan

kesadaran masyarakat, pembangunan di bidang lingkungan hidup akan semakin

mudah dilaksanakan.

Pemerintah, membentuk suatu peraturan perundang-undangan untuk

mencegah dan memberantas pengerusakan lingkungan tersebut, seperti

pembakaran lahan, penebangan liar, dan lainnya. Berbagai peraturan

perundang-undangan mengklasifikasikan perbuatan pembakaran lahan sebagai

tindak pidana.

Tindak pidana, merupakan suatu perbuatan pidana yang dilakukan oleh

subjek hukum, dan terhadap perbuatan tersebut akan dijatuhkan sanksi. Pengertian

tentang tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

dikenal dengan istilah straftbaar feit dan dalam kepustakaan tentang hukum

pidana serimg mempergunakan istilah delik, sedangkan pembuat undang-undang

(14)

perbuatan pidana atau tidak pidana.

Tindak pidana merupakan salah satu unsur dari hukum pidana. Dalam

hukum pidana, terdapat unsur perbuatan pidana atau tindak pidana, dan adanya

sanksi yang merupakan bentuk pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana hanya

menunjukan bahwa perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang dilarang dan di

ancam dengan suatu pidana.

Unsur-unsur tindak pidana dirumuskan sebagai berikut :21 a. Handeling (perbuatan manusia)

Perbuatan manusia sebagai bagian dari perbuatan pidana. Jika kita

berusaha untuk menjabarkan sesuatu rumusan delik ke dalam unsur-unsurnya,

maka yang mula-mula dapat kita jumpai adalah disebutkannya suatu tindakan

manusia.

Handeling yang dimaksudkan tidak saja een doen (melakukan sesuatu)

namun juga een nalaten atau niet doen (melalaikan atau tidak berbuat). Juga

dianggap sebagai perbuatan manusia adalah perbuatan badan hukum. Penjelasan

terkait melakukan sesuatu dan tidak berbuat atau tidak melakukan sesuatu dapat

dijelaskan dengan menggambarkan perbedaan antara kelakuan seorang pencuri

dan kewajiban seorang ibu. Seorang pencuri dapat dipidana dikarenakan ia

berbuat sesuatu.

Subjek hukum yang membakar lahan, tidak hanya merupakan subjek

hukum yang merupakan perseorangan (van person), melainkan juga merupakan

korporasi (recht person). Anton P Wijaya, Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan

barat mengatakan, perusahaan atau korporasi dengan sengaja melakukan

21 Artikel, “

(15)

pembakaran lahan, dan membakar lahan tersebut memiliki kaitan dengan

kepentingan asuransi perusahaan yang melakukan pembakaran lahan tersebut.

Pada saat kebun dibuka dan beroperasi dengan jangka waktu tertentu, namun

lahan perkebunan tersebut tidak memberikan keuntungan bagi perusahaan tersebut

atau dalam hitungan ekonomi perkebunan tersebut tidak produktif, maka lahan

tersebut dibakar untuk mengklaim asuransi. Uang hasil pengklaiman asuransi

tersebut digunakan untuk membuka kebun baru di wilayah lain, dengan harapan

lahan yang baru akan lebih produktif. Modus ini menurut Anton P. Wijaya

merupakan modus baru dalam tindak pidana pembakaran lahan.

b. Wederrechtjek (melanggar hukum)

Terkait dengan sifat melanggar hukum, ada empat makna yang

berbeda-beda yang masing-masing dinamakan sama, yaitu :

1) Sifat melawan hukum formal

Artinya bahwa semua bagian atau rumusan (tertulis) dalam undang-undang

telah terpenuhi.

2) Sifat melawan hukum umum

Sifat ini sama dengan sifat melawan hukum secara formal. Namun, ia lebih

menuju kepada aturan tak tertulis. Dalam artian ia bertentangan dengan hukum

yang berlaku umum pada masyarakat yaitu keadilan.

3) Sifat melawan hukum khusus

Dalam undang-undang dapat ditemukan pernyataan-pernyataan tertulis

terkait melawan hukum.

Tindak pidana adalah suatu perbutan yang dilakukan oleh seseorang

dimana perbuatan tersebut melanggar ketentuan perundang-undangan yang

diancam dengan sanksi terhadap pelanggaran tersebut, dimana perbuatan yang

melanggar ketentuan perundangan tersebut melahirkan sanksi yang bersifat pidana,

(16)

tindak pidana dapat dikategorikan kedalam 2 bagian, yaitu :

a. Tindak pidana umum

Dimana perundang-undangannya diatur dalam KUHP yang terdiri dari 3

buku, 49 bab, serta 569 pasal-pasal yang tercantum dalam KUHP. Dalam isi pasal

103 KUHP, peraturan penghabisan Buku 1 KUHP disebutkan bahwa ketentuan

dari delapan bab yang pertama dari buku ini berlaku juga terhadap perbuatan yang

dihukum menurut peraturan perundangan lain, kecuali kalau ada undang-undang

(wef) tindakan umum pemerintah Algemene maatregelen van bastur atau

ordonansi menurut peraturan lain.

b. Tindak Pidana diluar Hukum Pidana umum atau diluar KUHP

Sedangkan bentuk tindak pidana yang kedua adalah bentuk Tindak Pidana

diluar Hukum Pidana umum atau diluar KUHP, yaitu yang disebut juga dengan

Tindak Pidana Khusus, dimana undang-undangnya diluar KUHP. Tindak pidana

pembakaran lahan tergolong dalam salah satu tindak pidana khusus, dimana

pengaturannya diatur secara terpisah dalam sebuah undang-undang umum.

Selain unsur-unsur tindak pidana, juga terdapat jenis-jenis tindak pidana

diantaranya :

a. Kesengajaan dan Kelalaian

b. Kejahatan dan Pelanggaran

c. Perbuatan yang melanggar undang-undang (Delik commisionis)

d. Tindak pidana yang menitik beratkan pada perbuatannya (Delik

formil)

(17)

Pembakaran lahan dikatakan sebagai tindak pidana karena pembakaran

lahan memiliki semua unsur-unsur tindak pidana sebagaimana yang disebutkan di

atas. Pembakaran lahan merupakan hasil kegiatan manusia, dan juga memiliki

sifat melawan hukum.

Pembakaran lahan, merupakan tindak pidana yang diketegorikan sebagai

kejahatan. Dalam KUHP, pembakaran lahan dikategorikan sebagai kejahatan

terhadap ketertiban umum. Selain itu, berdasarkan jenisnya, tindak pidana

pembakaran lahan dikategorikan sebagai tindak pidana materil atau delik materil,

yaitu tindak pidana yang menitik beratkan kepada akibat dari pembakaran lahan

tersebut. Tindak pidana pembakaran lahan diatur dalam berbagai bentuk peraturan

perundang-undangan.

Pada prinsipnya, pembakaran lahan dilarang, ada 4 (empat) bentuk

terjadinya pembakaran lahan yang diidentifikasi sebagai berikut :

1) Tindakan membakar lahan dengan sengaja dilakukan orang tertentu,

tanpa ada kewenangan atau izin untuk berada di dalam kawasan lahan

tersebut.

2) Tindakan membakar lahan dengan tidak sengaja dilakukan orang

akibat memasuki kawasan hutan atau perkebunan tanpa izin yang

berwenang.

3) Tindakan membakar lahan dengan sengaja dilakukan orang atau

badan hukum yang diizinkan pihak berwenang untuk bekerja atau

berada dalam kawasan hutan atau perkebunan.

(18)

badan hukum yang diizinkan melakukan kegiatan usaha di dalam

kawasan hutan oleh pihak yang berwenang. Sesuai prinsip dan aturan

hukum, bahwa setiap orang atau badan hukum tidak diperkenankan

melakukan tindakan membakar hutan kecuali dilakukan berdasarkan

kewenangan yang sah untuk tujuan-tujuan yang ditentukan,

misalnya :

a) Pembakaran lahan untuk kepentingan pembuatan padang

rumput makanan ternak.

b) Pembakaran lahan dilakukan untuk kepentingan persiapan

lokasi penanaman pohon dikawasan hutan. Pembakaran

lahan yang dilakukan dengan sengaja untuk kepentingan

yang dikehendaki dan telah memperoleh persetujuan

pemerintah yang dinyatakan sesuai peraturan

c) Perundang-undangan yang berlaku.

3. Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana adalah suatu perbuatan yang tercela oleh

masyarakat yang harus dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya atas

perbuatan yang dilakukan. Dengan mempertanggungjawabkan perbuatan yang

tercela itu pada si pembuatnya, apakah si pembuatnya juga dicela ataukah si

pembuatnya tidak dicela. Pada hal yang pertama maka si pembuatnya tentu

dipidana, sedangkan dalam hal yang kedua si pembuatnya tentu tidak dipidana.22 Pertanggungjawaban pidana adalah sebuah bentuk tanggungjawab yang

22

(19)

harus dilaksanakan oleh seseorang ataupun subyek hukum yang telah melakukan

tindak pidana. Dalam bahasa asing pertanggungjawaban pidana disebut sebagai

toerekenbaarheid, criminal responbility, criminal liability. Bahwa

pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang

tersangka/terdakwa dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana (crime) yang

terjadi atau tidak. Seorang melakukan kesalahan, menurut Prodjohamidjojo, jika

pada waktu melakukan delict, dilihat dari segi masyarakat patut di cela.23 Menurutnya seseorang mendapatkan pidana tergantung pada dua hal, yaitu :

a. Harus ada perbuatan yang bertentangan dengan hukum, atau dengan

kata lain harus ada unsur melawan hukum (harus ada unsur objektif)

b. Terhadap pelakunya, terdapat unsur kesalahan dalam bentuk

kesengajaan atau kealpaan. Sehingga perbuatan tersebut dapat

dipertanggungjawabakan (harus ada unsur subjektif).

Dengan perkataan lain apakah terdakwa akan dipidana atau dibebaskan.

Jika ia dipidana, tindakan yang dilakukan itu bersifat melawan hukum dan

terdakwa mampu bertanggungjawab. Kemampuan tersebut memperlihatkan

kesalahan dari petindak yang berbentuk kesengajaan atau kealpaan. Artinya

tindakan tersebut tercela tertuduh menyadari tindakan yang dilakukan tersebut.

Roeslan Saleh menyatakan bahwa dalam membicarakan tentang

pertanggungjawaban pidana, tidaklah dapat dilepaskan dari satu dua aspek yang

harus dilihat dengan pandangan-pandangan falsafah. Satu diantaranya adalah

keadilan, sehingga pembicaraan tentang pertanggungjawaban pidana akan

23

(20)

memberikan kontur yang lebih jelas. Pertanggungjawaban pidana sebagai soal

hukum pidana terjalin dengan keadilan sebagai soal filsafat.24

Kesalahan dalam arti seluas-luasnya, dapat disamakan dengan pengertian

pertangungjawaban dalam hukum pidana. Didalamnya terkandung makna dapat

dicelanya si pembuat atas perbuatannya. Jadi, apabila dikatakan bahwa orang itu

bersalah melakukan sesuatu tindak pidana, maka itu berarti bahwa ia dapat dicela

atas perbuatanya.

Dalam Hukum Pidana konsep “pertanggungjawaban” itu merupakan

konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa latin ajaran

kesalahan dikenal dengan sebutan mens rea. Doktrin mens rea dilandaskan pada

suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran

orang itu jahat. Dalam bahasa Inggris doktrin tersebut dirumuskan dengan an act

does not make a person guilty, unless the mind is legally blameworthy.

Berdasarkan asas tersebut, ada dua syarat yang harus dipenuhi untuk dapat

memidana seseorang, yaitu ada perbuatan lahiriah yang terlarang/perbuatan

pidana (actus reus),dan ada sikap batin jahat/tersela (mens rea)25

Pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang

obyektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subjektif yang ada memenuhi

syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu, Dasar adanya perbuatan

pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah

asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat perbuatan pidana hanya akan dipidana

24

Roeslan Saleh, Pikiran-pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana (Jakarta: Ghia Indonesia, 1982), h. 10.

25

(21)

jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan perbuatan pidana tersebut. Kapan

seseorang dikatakan mempunyai kesalahan menyangkut masalah

pertanggungjawaban pidana. Oleh karena itu, pertanggungjawaban pidana adalah

pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya,

yang dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak pidana yang dilakukannya.

Terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang

dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya

merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi

terhadap pelanggaran atas “kesepakatan menolak” suatu perbuatan tertentu.26

Sudarto mengatakan bahwa dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila

orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau

bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan

delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan, namun hal tersebut belum

memenuhi syarat penjatuhan pidana, yaitu orang yang melakukan perbuatan itu

mempunyai kesalahan atau bersalah. Orang tersebut harus

dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau jika dilihat dari sudut

perbuatannya, perbuatannya baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang

tersebut.27

Dalam pertanggungjawaban pidana, tidak semua orang yang melakukan

tindak pidana dapat dihukum. Untuk memintakan pertanggungjawaban pidana

seseorang, harus memperhatikan berbagai aspek, dan berbagai unsur. Apakah

perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang didasari kehendak sendiri, atau

26

Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h.156.

27

(22)

perbuatan tersebut merupakan sebuah kelalaian.

Bentuk kesalahan yang diakibatkan karena kesengajaan dan kelalaian,

tentulah beda pertanggungjawaban pidananya. Hal tersebutlah yang harus

diperhatikan dalam penjatuhan pidana. Penjatuhan pidana sebenarnya merupakan

salah satu bentuk pertanggungjawaban pidana.

F. Metode Penelitian

Dalam sistematika penulisan yang baik dan benar, haruslah menggunakan

metode penelitian yang benar. Adapun penelitian yang digunakan oleh penulis

dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini disesuaikan

dengan permasalahan yang diangkat di dalamnya. Untuk mendapatkan data yang

diperlukan sesuai dengan masalah yang diteliti, maka dalam hal ini penulis

menggunakan metode penelitian yang bila dilihat dari jenisnya dapat digolongkan

kedalam penelitian hukum normatif (yuridis normative). Yaitu merupakan

penelitian yang dilakukan dengan cara menelaah berbagai peraturan

perundang-undangan tertulis dan berbagai literatur yang berkaitan dengan

permasalahan yang diangkat dalam skripsi. Penelitian yuridis normative ini juga

disebut dengan penelitian hukum doctrinal. Wigjosoebroto membagi penelitian

hukum sebagai berikut :28

1) Penelitian yang berupa usaha penemuan asas-asas dan dasar-dasaar

falsafah hukum positif

28

(23)

2) Penelitian yang berupa usaha inventarisasi hukum positif

3) Penelitian yang berupa usaha penemuan hukum in concreto yang layak

diterapkan untuk menyelesaikan suatu perkara tertentu.

2. Sifat Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penelitian yang digunakan adalah penelitian

yang bersifat deskriptif. Penilitan deskriptif adalah penelitian yang bertujuan

untuk melukiskan tentang sesuatu hal didaerah tertentu dan pada saat tertentu.29 Skripsi ini mengupayakan untuk menggambarkan pertanggungjawaban pidana

terhadap pelaku perorangan yang melakukan pembakaran lahan di daerah

Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau.

3. Sumber Bahan Hukum

Data dan sumber data yang digunakan dalam menyusun skripsi ini adalah

data sekunder. Adapun data sekunder tersebut diperoleh dari :

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang terdiri dari semua

dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak

berwenang, yaitu peraturan perundang-undangan. Baik di bidang

hukum pidana dan hukum acara pidana, antara lain Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana, (KUHAP), Undang-undang Nomor 32 Tahun

2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,

Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004 jo. 39 Tahun 2014 Tentang

Perkebunan, Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang

29

(24)

Kehutanan, Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004 jo 18 Tahun 2013

Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan Dan

Peraturan Perundang-Undangan Lain Yang Berkaitan Dengan Tindak

Pidana Pembakaran Lahan.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan

penjelasan terhadap bahan hukum pimer, yakni hasil karya para ahli

hukum berupa buku-buku dan pendapat-pendapat para sarjana. Dan

juga termasuk dokumen yang merupakan informasi atau bahan kajian

kejahatan yang berkaitan dengan kebakaran lahan, seperti modul,

majalah hukum, dan karya tulis ilmiah.

c. Bahan hukum tersier atau bahan penunjang yaitu bahan hukum yang

memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan

hukum primer dan/atau bahan hukum sekunder, yaitu kamus hukum,

ensiklopedia dan lain sebagainya.

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam skripsi ini digunakan metode studi pustaka (Library research).

Yaitu metode pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh data

sekunder dengan cara menggali sumber-sumber tertulis, baik dari instansi yang

terkait, maupun buku literatur yang ada relevansinya dengan masalah penelitian

yang digunakan sebagai kelengkapan penelitian.

5. Analisis Data

Analisis data dilakukan secara kualitatif yang digambarkan secara

(25)

sekunder, kemudian disusun menjadi sebuah pola dan dikelompokan secara

sistematis. Analisis data lalu dilanjutkan dengan membandingkan data sekunder

terhadap data primer untuk mendapat penyelesaian permasalahan yang diangkat.

G. Sistematika Penulisan

Dalam menghasilkan karya ilmiah yang baik, maka pembahasannya

harus diuraikan secara sistematis. Sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa

tahapan yang disebut dengan bab. Dimana masing-masing bab dibagi dalam

beberapa sub bab yang masing-masing bab diuraikan masalahnya secara tersendiri,

namun masih dalam konteks yang saling berkaitan antara satu dengan yang

lainnya. Secara sistematis penulis menempatkan materi pembahasan keseluruhan

kedalam 4 (empat) bab terperinci. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah

sebagai berikut:

BAB I : Merupakan bab pendahuluan yang menguraikan tentang

segala hal yang bersifat umum dalam latar belakang,

kemudian dilanjutkan dengan perumusan masalah, tujuan dan

manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan,

metode penelitian, dan ditutup dengan memberikan

sistematika dari penulisan.

BAB II : Membahas mengenai Pengaturan Tindak Pidana dan Sanksi

Pidana Terhadap Tindak Pidana Pembakaran Lahan, pada

Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Undang-undang

Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Undang-undang

(26)

Perlindungan Lingkungan Hidup, Undang-undang Nomor 18

Tahun 2004 Tentang Perkebunan.

BAB III : Membahas mengenai Pertanggungjawaban Tindak Pidana

Pembakaran Lahan, Unsur Pertanggungjawaban Pidana,

Analisis Putusan Pengadilan Negeri Pelalawan Dengan

Nomor Perkara 118/ Pid. Sus/ 2014/ PN Plw atas nama

Terdakwa Suhadi.

BAB IV : Merupakan bab terakhir yang membahas mengenai

kesimpulan dan saran. Dalam bab ini akan diuraikan tentang

kesimpulan dari seluruh penulisan yang telah diuraikan dalam

bab-bab yang sebelumnya sekaligus memberikan saran-saran

Referensi

Dokumen terkait

Potensi wisata adalah sumberdaya alam yang beraneka ragam, dari aspek fisik dan hayati, serta kekayaan budaya manusia yang dapat dikembangkan untuk pariwisata. Banyu

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan penyertaan-Nya penyusunan skripsi yang berjudul “ Penyebab Kegagalan Dalam Pemberian ASI

Volume kerucut  Siswa membahas menentukan rumus volume kerucut dengan melakukan kegiatan siswa seperti pada halaman 83, dengan bimbingan guru..  Siswa membahas soal

Tema merupakan dasar cerita atau gagasan umum dari sebuah novel. Stanton menjelaskan bahwa tema dapat juga disebut ide utama atau tujuan utama. Berdasarkan dasar cerita

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Pemberian Susu Formula Pada Bayi Usia 0-6 Bulan Di Kelurahan Helvetia Timur, Tesis, FKM USU, Jakarta.. Hubungan antara pengetahuan

Mekanisme seleksi lomba inovasi pembelajaran guru SMP diatur sebagai berikut. 1) Secara garis besar seleksi lomba inovasi pembelajaran pada tingkat satuan pendidikan

PENENTUAN HARGA POKOK PRODUK YANG MEMPERHITUNGKAN PRODUK DALAM PROSES (PDP) AWAL DI DEPARTEMEN PERTAMA DAN DEPARTEMEN

bahwa dalam rangka pengamanan barang Daerah dan penyusunan Neraca Daerah sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban