• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prosiding Penelitian SPeSIA Unisba 2015 ISSN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Prosiding Penelitian SPeSIA Unisba 2015 ISSN"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Uji Aktivitas Antibakteri Daun Kenikir (Cosmos caudatus Kunth.) dan Daun Sintrong (Crassocephalum crepidioides (Benth.) S. Moore.) terhadap Bakteri

Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa

1

Gaty Safita, 2 Endah Rismawati Eka Sakti, 3 Livia Syafnir 1,2,3

Prodi Farmasi, Fakultas MIPA, Unisba, Jl. Tamansari No. 1 Bandung 40116 e-mail: 1 gaty.safita@yahoo.com, 2 endah.res@gmail.com, 3 livia.syafnir@gmail.com

Abstrak. Telah dilakukan pengujian aktivitas antibakteri daun kenikir (Cosmos caudatus Kunth.) dan daun sintrong (Crassocephalum crepidioides (Benth.) S.Moore.) terhadap bakteri yang diketahui dapat menyebabkan infeksi saluran pernapasan akut yaitu Staphylococcus aureus dan Pseudomonas

aeruginosa. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui potensi antibakteri kedua tumbuhan terhadap

bakteri tersebut, menentukan jenis kstrak dengan aktivitas antibakteri terkuat, serta mengidentifikasi golongan senyawa yang terkandung dalam ekstrak tersebut. Ekstrak uji diperoleh dengan cara maserasi secara bertingkat menggunakan 3 pelarut yang berbeda kepolaran (n-heksana, etil asetat, etanol 70%). Pengujian antibakteri dilakukan menggunakan metode sumur difusi agar, dengan oksitetrasiklin sebagai pembanding dan DMSO sebagai pelarut. Hasil penelitian menunjukkan adanya aktivitas antibakteri dari daun kenikir dan sintrong terhadap kedua bakteri uji. Aktivitas antibakteri terkuat dihasilkan oleh ekstrak etil asetat dari masing-masing tumbuhan. Nilai konsentrasi hambat minimum (KHM) ekstrak etil asetat daun kenikir terhadap Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa dicapai pada 7.000 ppm dan. Sedangkan nilai KHM ekstrak etil asetat daun sintrong dicapai pada 9.000 ppm terhadap Staphylococcus

aureus, serta nilai KHM pada 8.000 ppm terhadap Pseudomonas aeruginosa. Adapun senyawa yang

terkandung di dalam ekstrak etil asetat daun kenikir dan sintrong adalah alkaloid, flavonoid, tanin, polifenolat dan kuinon.

Kata kunci: kenikir, sintrong, antibakteri, KHM

A. Pendahuluan

ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) adalah suatu infeksi yang dapat berlangsung sampai 14 hari pada saluran napas (Dirjen PPM & PLP, 1984). ISPA dapat ditularkan melalui air liur, bersin, darah, bahkan melalui udara yang mengandung kuman dan terhirup oleh orang sehat saat bernapas (Depkes, 2012). Departemen Kesehatan Republik Indonesia menyatakan bahwa prevalensi ISPA berdasarkan keluhan penduduk adalah sebanyak 25%. Empat provinsi dengan kejadian ISPA tertinggi adalah Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Jawa Timur, dan Papua (Riset Kesehatan Dasar, 2007).

Penyakit ISPA yang banyak diderita masyarakat adalah pneumonia yang salah satunya disebabkan oleh bakteri, meliputi bakteri Gram positif seperti Staphylococus aureus dan bakteri Gram negatif seperti Pseudomonas aeruginosa. Pengobatan kimia yang biasa dilakukan adalah dengan pemberian antibiotik, analgetik golongan NSAID (Non-Steroid Antiinflamation Drug), dekongestan dan antihistamin untuk mengurangi gejala.

Antibiotik yang umum digunakan untuk mengobati ISPA merupakan antibiotik sintetik. Antibiotik sintetik dapat mengobati ISPA dengan cepat, tetapi juga dapat menyebabkan resistensi bakteri terhadap antibiotik (Aryulina, 2004). Untuk mencegah terjadinya hal tersebut, maka telah banyak senyawa antibakteri alami yang berasal dari tumbuhan di Indonesia, diantaranya tumbuhan kenikir dan sintrong.

(2)

dijadikan makanan pembuka karena memiliki rasa dan aroma yang khas (Shui, 2005). Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan, tumbuhan kenikir memiliki aktivitas antibakteri terhadap Bacillus subtilis, Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa, dan Candida albicans (Rasdi, dkk., 2010).

Sintrong (Crassocephalum crepidioides) merupakan tumbuhan anggota suku Asteraceae berupa terna yang umumnya tumbuh liar sebagai gulma pada tanaman perkebunan, lahan terlantar atau di tepi jalan pada ketinggian 200 m dpl (Dalimartha, 2006). Di Afrika, sintrong tidak hanya dikonsumsi sebagai makanan tetapi juga dimanfaatkan sebagai obat tradisional untuk mengatasi gangguan perut, luka, sakit kepala, dan lain-lain (Grubben dan Denton, 2004).

Berdasarkan paparan di atas, maka pada penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui potensi tumbuhan-tumbuhan tersebut sebagai antibakteri terhadap Staphylococus aureus dan Pseudomonas aeruginosa yang merupakan salah satu penyebab ISPA.

B. Landasan Teori Tumbuhan Kenikir

Gambar 1. Tumbuhan Kenikir (Anonim, 2015)

Kenikir yang memiliki nama latin Cosmos caudatus Kunth biasa tumbuh di perkebunan atau di tepi sungai. Tumbuhan ini memiliki tinggi 0,6-2,5 meter. Ciri lainnya berupa batang yang licin atau berbulu tipis, bentuk daun yang menyirip 3-4 atau menyirip berbagi 3-4, serta memiliki bunga berwarna kemerahan atau ungu (Kasahara, 1986 : 222).

Kenikir merupakan herba yang tersebar di Pulau Jawa dan tumbuh pada ketinggian 10-1400 m dpl. Tumbuhan yang termasuk dalam suku Asteraceae ini berasal dari Amerika Tengah, dan tersebar luas di seluruh wilayah Malaysia (Shui, dkk., 2005).

Kenikir merupakan sayuran tradisional yang sering dikonsumsi mentah sebagai lalapan atau dimasak sebagai sayur. Tumbuhan ini memiliki karakter yang unik, dengan aroma yang menarik sehingga menambah cita rasa pada makanan. Kenikir juga digunakan sebagai penyedap makanan dan obat tradisional. Selain itu, beberapa penelitian gizi dan obat menunjukkan bahwa kenikir kaya akan senyawa bioaktif meliputi fenolat, flavonoid, karbohidrat, protein, mineral, dan vitamin yang dapat meningkatkan nilai gizi (Abas, dkk., 2003).

(3)

Tumbuhan Sintrong

Gambar 2. Tumbuhan Sintrong (Anonim, 2015)

Sintrong memiliki batang yang tegak, sedikit berair, dan merupakan tumbuhan herba tahunan dengan tinggi mencapai 100-180 cm. batangnya sedikit besar, halus, bergaris dan bercabang. Daunnya tersusun spiral dan menyirip, tidak memiliki stipula, daun yang lebih rendah memiliki tangkai daun yang lebih pendek, sedangkan daun bagian atas tidak memiliki tangkai. Helai daun berbentuk elips hingga lonjong dengan panjang 6-18 cm dan lebar 2-5,5 cm, serta berbulu halus. Bunganya berbentuk silinder dengan panjang 13-16 mm dan lebar 5-6 mm yang tersusun atas banyak bunga membentuk seperti cawan.

Sintrong terdapat di seluruh daerah tropis Afrika, dari Senegal Timur ke Etiopia dan Afrika Selatan, serta ditemukan di Madagaskar dan Mauritius. Tumbuhan ini menyebar ke daerah tropis dan sub tropis lainnya seperti Asia, Australia, Fuji, Tonga, Samoa dan Amerika (Grubben dan Denton, 2004 : 226-227).

Sintrong memiliki bau yang kurang sedap yang mungkin disebabkan oleh kandungan senyawa di dalamnya. Karena itu, tumbuhan ini dianggap sebagai gulma dan sering ditemukan di lahan pertanian yang terlantar, tempat pembuangan, perkebunan, dan di halaman belakang rumah yang kaya bahan organik (Zollo, dkk., 2002). Tetapi, sebagian warga lokal afrika memanfaatkan tumbuhan sintrong sebagai nutraseutikal dan dipercaya memiliki senyawa antibakteri (Adjatin, dkk., 2012 dalam Adjatin, dkk., 2013).

Antibakteri

Antibakteri merupakan suatu senyawa yang dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri tetapi relatif aman bagi manusia. Antibakteri terdiri dari antibakteri semisintetis dan antibakteri sintetis (Tjay dan Rahardja, 2007 : 65).

Antibakteri memiliki 2 sifat yaitu bakterisid dan bakteriostatik. Bakterisid merupakan suatu mekanisme yang dapat mematikan bakteri seperti rifampisin dan obat golongan kuinolon. Bakteriostatik merupakan suatu mekanisme yang dapat menghentikan pertumbuhan dan perkembang biakan bakteri seperti sulfonamida, kloramfenikol, dan tetrasiklin. (Tjay dan Rahardja, 2007 : 57).

Secara umum, antibakteri memiliki 3 mekanisme kerja. Mekanisme kerja yang pertama adalah dengan menghambat biosintesis dinding sel bakteri, seperti sefalosporin, penisilin, basitrasin dan sikloserin. Mekanisme kerja yang kedua adalah dengan meningkatkan permeabilitas membran sitoplasma bakteri, seperti basitrasin,

(4)

Selain antibakteri sintetik, terdapat antibakteri alami yang berasal dari tumbuhan. Salah satu tumbuhan yang digunakan untuk mengobati penyakit akibat infeksi bakteri adalah cengkeh (Syzygium aromaticum). Cengkeh mengandung minyak atsiri yang di dalamnya terkandung senyawa eugenol, dimana eugenol tersebut diketahui memiliki aktivitas antibakteri dan fungisida (Agusta, 2000 : 18).

Ekstraksi

Ekstraksi adalah proses pemisahan senyawa dari jaringan tanaman atau hewan menggunakan pelarut tertentu. Ekstraksi dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu ekstraksi cara dingin dan ekstraksi cara panas. Ekstraksi cara dingin tidak melibatkan pemanasan pada proses ekstraksinya meliputi maserasi dan perkolasi. Ekstraksi cara panas melibatkan pemanasan pada proses ekstraksinya meliputi soxhlet, refluks, digesti, infus dan dekok (Ditjen POM, 2000).

Maserasi merupakan proses ekstraksi simplisia menggunakan pelarut pada suhu ruangan yang diselingi dengan proses pengadukan. Metode ini adalah metode ekstraksi yang paling mudah yaitu dengan merendam simplisia di dalam pelarut yang sesuai dimana jumlah pelarut yang digunakan harus cukup untuk merendam seluruh bagian simplisia. Simplisia diekstraksi dalam wadah tertutup pada suhu ruangan selama beberapa hari hingga beberapa minggu tergantung sifat bahan dan pelarut yang digunakan (Wiley, dkk., 2011).

C. Metode Penelitian

Pada penelitian ini digunakan bahan segar untuk kemudian dilakukan penapisan fitokimia. Pembuatan ekstrak dilakukan dengan ekstraksi bertingkat cara maserasi menggunakan pelarut n-heksana, etil asetat, dan etanol 70% terhadap masing-masing simplisia. Ekstrak cair kemudian dipekatkan menggunakan rotary vacuum evaporator.

Selanjutnya dilakukan pengujian aktivitas antibakteri dari masing-masing ekstrak kental terhadap bakteri Staphylococcus aureus yang mewakili bakteri Gram positif dan bakteri Pseudomonas aeruginosa yang mewakili bakteri Gram negatif penyebab ISPA dengan metode difusi agar menggunakan antibakteri oxytetrasiklin sebagai pembanding. Setelah diperoleh hasil pengujian aktivitas antibakteri, dipilih ekstrak dengan antivitas antibakteri terbaik yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri uji, yaitu bakteri Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa. terhadap ekstrak terpilih dilakukan uji KHM untuk menentukan konsentrasi terkecil yang memiliki aktivitas antibakteri dari ekstrak terpilih masing-masing tumbuhan

D. Hasil Penelitian

Penapisan Fitokimia

Penapisan fitokimia dilakukan untuk mengidentifikasi keberadaan golongan senyawa yang terkandung dalam simplisia dan ekstrak. Hasil yang didapat menunjukkan simplisia segar sintrong dan kenikir memiliki kandungan golongan senyawa yang sama, yaitu alkaloid, flavonoid, tanin, kuinon, polifenolat dan monoterpen/seskuiterpen. Hasil penapisan fitokimia simplisia secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 1, dan hasil penapisan fitokimia ekstrak secara lengkap pada Tabel

(5)

Tabel 1. Data Hasil Penapisan Fitokimia Simplisia

Tabel 2. Data Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak

Keterangan: (+) = Terdeteksi (−) = Tidak terdeteksi

Pengujian Aktivitas Antibakteri

Pengujian aktivitas antibakteri dilakukan terhadap ekstrak n-heksana, etil asetat, dan etanol dari sintrong maupun kenikir untuk bakteri Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa menunjukkan. Adapun antibakteri pembanding yang digunakan adalah oksitetrasiklin injeksi karena obat ini diindikasikan untuk penyakit infeksi pernapasan (Anonim, 2010). Hasil pengujian dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Data Hasil Pengujian Aktivitas Antibakteri

Sintrong Kenikir Alkaloid + + Flavonoid + + Tanin + + Kuinon + + Polifenolat + + Saponin − − Monoterpen/ Seskuiterpen + + Triterpen/ Steroid − − Simplisia Golongan Senyawa

n-Heksana Etil asetat Etanol n-Heksana Etil asetat Etanol

Alkaloid − + + − + + Flavonoid + + + + + + Tanin − + + − + + Kuinon − + + − + + Polifenolat + + + + + + Saponin − − − − − − Monoterpen/ Seskuiterpen − − − − − − Triterpen/ Steroid − − − − − −

Golongan senyawa Sintrong Kenikir

S. aureus P. aeruginosa

Ekstrak n-heksana sintrong 1,18 ± 0.00 1,88 ± 0,09

Ekstrak n-eksana kenikir 1,28 ± 0.12 1,29 ± 0,05

Ekstrak etil asetat sintrong 1,45 ± 0,07 1,44 ± 0,05

Ekstrak etil asetat kenikir 1,49 ± 0,05 1,42 ± 0,01

Ekstrak etanol sintrong 1,24 ± 0.15 1,11 ± 0,21

Ekstrak etanol kenikir 0.55 ± 0.78 1,27 ± 0,13

Oxytetrasiklin 15 ppm (pembanding) 1,81 ± 0,25 0,80 ± 0,71

DMSO (kontrol negatif) 0,52 ± 0,89 0,39 ± 0,34

(6)

Data tersebut menunjukkan bahwa tumbuhan sintrong dan kenikir memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri Staphylococus aureus dan Pseudomonas aeruginosa. hal ini terlihat dari terbentuknya zona hambat yang bening pada setiap ekstrak. Penelitian sebelumnya (Rasdi, dkk., 2010) menunjukkan adanya aktivitas antibakteri dari tumbuhan kenikir dengan ekstrak etanol sebagai ekstrak yang memiliki aktivitas antibakteri paling kuat. Pada penelitian ini, ekstrak etil asetat sinrong dan kenikir merupakan ekstrak dengan aktivitas antibakteri paling kuat terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa, dilihat dari diameter zona hambat yang dihasilkan pada ekstrak etil asetat sintrong (1,45 cm terhadap bakteri Staphylococcus aureus, serta 1,40 cm terhadap bakteri Pseudomonas aeruginosa) dan kenikir (1,49 cm terhadap bakteri Staphylococcus aureus, serta 1,42 cm terhadap bakteri Pseudomonas aeruginosa) lebih besar dibandingkan diameter zona hambat yang dihasilkan pada ekstrak n-heksana dan ekstrak etanol.

Hasil pengukuran diameter zona hambat yang dihasilkan pada ekstrak etil asetat sintrong dan kenikir menunjukkan ukuran yang tidak jauh berbeda. Hal ini karena ekstrak etil asetat sintrong dan kenikir memiliki kandungan golongan senyawa kimia yang sama, dilihat dari hasil penapisan fitokimia terhadap ekstrak pada Tabel 2. Berdasarkan penelitian sebelumnya, diketahui bahwa golongan senyawa kuinon (Adfa, 2007) dan golongan senyawa flavonoid (Sukadana, 2009) memiliki aktivitas antibakteri.

Penetapan Nilai KHM

Penetapan nilai KHM pada penelitian ini hanya dilakukan terhadap ekstrak etil asetat sintrong dan kenikir sebagai ekstrak dengan aktivitas antibakteri terbaik. Dalam pengujian ini, digunakan oxytetrasiklin 15 ppm sebagai antibakteri pembanding. Pelarut ekstrak yang digunakan adalah dimetilsulfoksida (DMSO) sebagai kontrol negatif, sedangkan sampel uji berupa ekstrak etil asetat sintrong dan kenikir dibuat dengan rangkaian seri konsentrasi 8.000 ppm, 9.000 ppm, 10.000 ppm, 11.000 ppm dan 12.000 ppm. Variasi konsentrasi ini dipilih berdasarkan hasil orientasi pada pegujian sebelumnya dengan konsentrasi 10.000 ppm yang menunjukkan adanya aktivitas antibakteri sampel uji.

Hasil pengujian menunjukkan bahwa ekstrak etil asetat sintrong memiliki nilai KHM pada 9.000 ppm terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan pada 8.000 ppm terhadap bakteri Pseudomonas aeruginosa. Sedangkan ekstrak etil asetat kenikir memiliki nilai KHM pada 7.000 ppm terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan bakteri Pseudomonas aeruginosa. Data hasil penetapan nilai KHM lengkap dapat dilihat pada Tabel 4.

(7)

Tabel 4. Data Hasil Penetapan Nilai KHM

E. Kesimpulan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tumbuhan sintrong (Crassocephalum crepidioides (Benth.) S. Moore.) dan kenikir (Cosmos caudatus Kunth.) yang diekstraksi dengan cara maserasi bertingkat memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa. Aktivitas ini ditunjukkan dengan adanya zona hambat yang dihasilkan oleh ekstrak n-heksana, ekstrak etil asetat dan ekstrak etanol sintrong dan kenikir terhadap bakteri uji pada konsentrasi 10.000 ppm. Dari ketiga jenis ekstrak (n-heksana, etil asetat dan etanol) masing-masing tumbuhan, ekstrak etil asetat tumbuhan sintrong dan kenikir merupakan ekstrak yang memiliki aktivitas antibakteri paling kuat terhadap bakteri uji. Hal ini ditunjukkan dengan zona hambat yang dihasilkan lebih besar dibandingkan ekstrak n-heksana dan ekstrak etanol. Adapun golongan senyawa kimia yang terkandung dalam ekstrak etil asetat sintrong dan kenikir adalah alkaloid, flavonoid, tanin, polifenolat dan kuinon.

Daftar Pustaka

Abas, F. dkk. (2003). Antioxidative and radical scavenging properties of the constituents isolated from Cosmos caudatus Kunth. Nat. Prod. Sci. 9. 245–248. Adfa, M. (2007). Senyawa Antibakteri Dari Daun Pacar Air (Impatiens balsamina

Linn.). Bengkulu.

Adjatin, A. dkk. (2013). Proximate, mineral and vitamin C composition of vegetable Gbolo [Crassocephalum rubens (Juss. ex Jacq.) S. Moore and C. crepidioides (Benth.) S. Moore]. Benin.

Agusta, A. (2000). Minyak Atsiri Tumbuhan Tropika Indonesia. ITB. Bandung.

Anonim.(2010).http://m.medicastore.com/idex.php?mod=obat&id=10611. Diakses pada 26 Juni 2015.

S. aureus P. aeruginosa

Ekstrak etil asetat sintrong

6.000 ppm 0 0 7.000 ppm 0 0 8.000 ppm 0 1,12 ± 0,23 9.000 ppm 1,13 ± 0,13 1,25 ± 0,17 10.000 ppm 1,05 ± 0,15 1,20 ± 0,11 11.000 ppm 1,34 ± 0,35 0,74 ± 1,04 12.000 ppm 0,64 ± 0,90 0,69 ± 0,98 Oxytetrasiklin 15 ppm (pembanding) 2,02 ± 0,07 1,43 ± 0,04 DMSO (kontrol negatif) 0 1,23 ± 0,05

Ekstrak etil asetat kenikir

6.000 ppm 0 0 7.000 ppm 1,16 ± 0,02 1,05 ± 0,07 8.000 ppm 1,17 ± 0,10 1,09 ± 0,11 9.000 ppm 1,15 ± 0,05 1,25 ± 0,28 10.000 ppm 1,15 ± 0,02 1,35 ± 0,41 11.000 ppm 1,29 ± 0,25 1,12 ± 0,28 12.000 ppm 1,16 ± 0,08 1,23 ± 0,38 Oxytetrasiklin 15 ppm (pembanding) 1,94 ± 0,12 1,40 ± 0,05 DMSO (kontrol negatif) 0 0,91 ± 0,19

(8)

Aryulina, D. dkk. (2004). Biologi 3: SMA dan MA Untuk Kelas XII Jilid 3. Erlangga. Jakarta. 211.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar. Kementerian Kesehatan RI. Jakarta.

Dalimartha, Setiawan (2006). Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Jilid 4. Puspa Swara. Jakarta. 73, 82, 83.

Ditjen POM. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Departemen Kesehatan RI. Jakarta. 10-11, 31.

Dirjen PPM & PLP. (1984). Menanggulangi Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada anak-anak. Departemen Kesehatan RI.

Grubben, G. J. H. dan Denton, O. A. (Editor). (2004). Plant Resources of Tropical Africa (PROTA). Backhuys Publishers. Wageningen. Netherland. 226-227. Kasahara, Y. S. (1986). Medical Herb Index in Indonesia (MHII). PT. Eisai

Indonesia. Jakarta : 222.

Mutschler, E. (1986). Dinamika Obat Farmakologi dan Toksikologi Edisi Kelima. ITB. Bandung.

Rasdi, N. H. M., dkk. (2010). Antimicrobial Studies of Cosmos caudatus Kunth. (Compositae). Vol 4(8)

Shui, G., Leong, L.P., Shih, P.W. (2005). Rapid screening and characterization of antioxidants of Cosmos Caudatus using liquid chromatography coupled with mass spectrometry. J. Chromatogr. B Anal.Tech. Biomed. Life Sci. 827, 127-138.

Sukadana, I. M. (2009). Senyawa Antibakteri Golongan Flavonoid dari buah Belimbing Manis (Averrhoa carambola Linn.L). Bukit Jimbaran. Bali.

Tjay, T.H. dan Rahardja, K. (2007). Obat obat penting: khasiat, penggunaan, dan efek-efek sampingny. Gramedia. Jakarta. 57, 65.

Wiley, J. dkk. (2011). Traditional Herbal Medicine Research Methods. Hoboken. New Jersey.

Zollo, P.H.A. dkk. (2002). Aromatic Plants of Tropical Central Africa: Chemical Composition of essential Oils from seven Cameroonian Crassocephallum species. Journal of Essential Oil Research. 12(5):533 536.

Gambar

Gambar 1. Tumbuhan Kenikir (Anonim, 2015)
Gambar 2. Tumbuhan Sintrong (Anonim, 2015)
Tabel 1. Data Hasil Penapisan Fitokimia Simplisia
Tabel 4. Data Hasil Penetapan Nilai KHM

Referensi

Dokumen terkait

Hasbullah (2006:27) mengemukakan bahwa “pengertian hadiah dalam pendidikan adalah merupakan alat pendidikan yang berupa tindakan pendidik yang berpengaruh

Dari hasil kajian tingkat pelayanan rest area diperoleh hasil bahwa rest area tipe A pada pembangunan kedepannya, diharapkan pembangunan rest area lebih kepada pembangunan rest

Skripsi dengan judul: “ Hubungan antara Adversity Quotient dengan Prokrastinasi Akademik pada Siswa Kelas VIII di SMP Negeri 1 Lawang Tahun Ajaran 2013-2014 ” yang merupakan

Dapat kita lihat tingkat rasio profitabilitas dari tahun ketahun naik dan turun pada tahun 2009 tingkat rasio adalah sebesar 14,3% lalu pada tahun

(3) Hasil analisis perilaku pasar bawang merah Kacamatan Wanasaba yaitu: keterpaduan pasar secara vertikal, terdapat hubungan harga yang berarti antara kedua desa

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian bahan organik yang berupa kombinasi kompos kotoran sapi 75% + paitan 25%, dan perlakuan pupuk

Produktivitas menulis bangsa Indonesia bisa dilihat dari hasil penelitian Alwasilah (Anshori, 2009, hlm. Ini di bawah rata-rata negara berkembang lainnya yang mampu

SOAL 5-21 ( STANDAR BERNILAI- TAMBAH DAN STANDAR KAIZEN, BIAYA TAK BERNILAI – TAMBAH, VARIENSI VOLUM, KAPASITAS YANG TIDAK DIGUNAKAN ).