• Tidak ada hasil yang ditemukan

Askep Steven Johnson Syndrome

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Askep Steven Johnson Syndrome"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

TINJAUAN TEORI A. Definisi

Sindrom Steven Johnson adalah syndrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel / bula, dapat disertai purpura yang dapat mengenai kulit, selaput lendir yang oritisium dan dengan keadaan omom bervariasi dan baik sampai buruk. ( Mansjoer, A, 2000 : 136 )

Jadi sindrom steven johnson adalah suatu syndrom berupa kelainan kulit pada selaput lendir oritisium mata genital.

B. Etiologi

Penyebab dari penyakit SJS ini belum diketahui dengan pasti, namun beberapa faktor yang dapat dianggap sebagai penyebab, adalah :

No Penyebab Keterangan

1. Infeksivirus jamur Bakteri

Parasit

Herpes simpleks, Mycoplasma

pneumoniae, vaksinia koksidioidomikosis, histoplasma. streptokokus, Staphylococcs haemolyticus, Mycobacterium tuberculosis, salmonella Malaria

2. Obat salisilat, sulfat, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif, klorpromazin, karbamazepin, kinin, analgetik/antipiretik

3. Makanan Cokelat

4. Fisik udara dingin, sinar matahari, sinar X 5. Lain – lain penyakit kolagen, keganasan, kehamilan C. Patofisiologi

Stevens-Johnson Syndrome merupakan penyakit hipersensitivitas yang diperantarai oleh kompleks imun yang mungkin disebabkan oleh beberapa jenis obat, infeksi virus, dan keganasan. Kokain saat ini ditambahkan dalam daftar obat yang mampu menyebabkan sindroma ini. Hingga sebagian kasus yang terdeteksi, tidak terdapat etiologi spesifik yang dapat diidentifikasi.

Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan IV.

Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibodi yang membentuk mikro-presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen.

(2)

Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ). Reaksi hipersentifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang (Djuanda, 2000: 147) .

1. Reaksi Hipersensitif tipe III.

Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi dalam darah mengendap didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah hilir. Antibodi tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam jaringan kapilernya. Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke jaringan menyebabkan terbentuknya kompleks antigen antibodi ditempat tersebut. Reaksi tipe III mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya rekasi tersebut. Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut (Corwin, 2000: 72).

2. Reaksi Hipersensitif Tipe IV

Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T penghasil Limfokin atau sitotoksik oleh suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat (delayed) memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk terbentuknya.

D. Manifestasi Klinik

Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun kebawah. Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai koma. Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan.

Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa: 1. Kelainan kulit

Kelainan kulit terdiri dari eritema, vesikel dan bula. Vesikel dan bula kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping itu dapat juga terjadi purpura. Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata.

(3)

Kelainan selaput lendir yang tersering ialah pada mukosa mulut (100%) kemudian disusul oleh kelainan dilubang alat genetal (50%) sedangkan dilubang hidung dan anus jarang (masing-masing 8% dan 4%)

3. Kelainan berupa vesikel dan bula yang cepat memecah sehingga menjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman. Juga dalam terbentuk pseudomembran. Dibibir kelainan yang sering tampak ialah krusta berwarna hitam yang tebal. 4. Kelainan dimukosa dapat juga terdapat difaring, traktus respiratorius bagian atas

dan esofagus. Stomatitis ini dapat menyebabkan penderita sukar tidak dapat menelan. Adanya pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar bernafas.

5. Kelainan mata

Konjungitivitis (radang selaput yang melapisi permukaan dalam kelopak mata dan bola mata), konjungtivitas kataralis , blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa okuler merupakan faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan inflamasi kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset sampai terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa bulan sampai 31 tahun.

6. Disamping trias kelainan tersebut dapat pula terdapat kelainan lain, misalnya: nefritis dan onikolisis.

7. Gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, malaise, batuk, korizal, sakit nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut.

E. Pemeriksaan Diagnostik 1. Pemeriksaan laboratorium:

Tidak ada pemeriksaan labor (selain biopsi) yang dapat membantu dokter dalam menegakkan diagnosa.

2. Pemeriksaan darah lengkap (CBC) dapat menunjukkan kadar sel darah putih yang normal atau leukositosis nonspesifik. Penurunan tajam kadar sel darah putih dapat mengindikasikan kemungkinan infeksi bakterial berat.

3. Determine renal function and evaluate urine for blood. 4. Pemeriksaan elektrolit

(4)

6. Pemeriksaan bronchoscopy, esophagogastro duodenoscopy (EGD), dan kolonoskopi dapat dilakukan

7. Chest radiography untuk mengindikasikan adanya pneumonitis

8. Pemeriksaan histopatologi dan imonohistokimia dapat mendukung ditegakkannya diagnosa.

F. Komplikasi

Sindrom steven johnson sering menimbulkan komplikasi, antara lain sebagai berikut:

Oftalmologi – ulserasi kornea, uveitis anterior, panophthalmitis, kebutaan Gastroenterologi - Esophageal strictures

Genitourinaria – nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal, penile scarring, stenosis vagina

Pulmonari – pneumonia

Kutaneus – timbulnya jaringan parut dan kerusakan kulit permanen, infeksi kulit sekunder

Infeksi sitemik, sepsis

Kehilangan cairan tubuh, shock

G. Prognosis

SJS adalah reaksi yang gawat. Bila tidak diobati dengan baik, reaksi ini dapat menyebabkan kematian, umumnya sampai 35 persen orang yang mengalami walaupun angka ini dapat dikurangi dengan pengobatan yang baik sebelum gejala menjadi terlalu gawat. Reaksi ini juga dapat menyebabkan kebutaan total, kerusakan pada paru, dan beberapa masalah lain yang tidak dapat disembuhkan.

Pada kasus yang tidak berat, prognosisnya baik, dan penyembuhan terjadi dalam waktu 2-3 minggu. Kematian berkisar antara 5-15% pada kasus berat dengan berbagai komplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak memadai. Prognosis lebih berat bila terjadi purpura yang lebih luas. Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, bronkopneumonia, serta sepsis.

H. Penatalaksanaan 1. Kortikosteroid

Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan prednisone 30-40 mg sehari. Namun bila keadaan umumnya buruk dan lesi menyeluruh harus

(5)

diobati secara tepat dan cepat. Kortikosteroid merupakan tindakan file-saving dan digunakan deksametason intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari.Umumnya masa kritis diatasi dalam beberapa hari. Pasien steven Johnson berat harus segera dirawat dan diberikan deksametason 6×5 mg intravena. Setelah masa krisis teratasi, keadaan umum membaik, tidak timbul lesi baru, lesi lama mengalami involusi, dosis diturunkan secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari, deksametason intravena diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednisone yang diberikan keesokan harinya dengan dosis 20 mg sehari, sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat tersebut dihentikan. Lama pengobatan kira-kira 10 hari.Seminggu setelah pemberian kortikosteroid dilakukan pemeriksaan elektrolit (K, Na dan Cl). Bila ada gangguan harus diatasi, misalnya bila terjadi hipokalemia diberikan KCL 3 x 500 mg/hari dan diet rendah garam bila terjadi hipermatremia. Untuk mengatasi efek katabolik dari kortikosteroid diberikan diet tinggi protein/anabolik seperti nandrolok dekanoat dan nanadrolon. Fenilpropionat dosis 25-50 mg untuk dewasa (dosis untuk anak tergantung berat badan).

2. Antibiotik

Untuk mencegah terjadinya infeksi misalnya bronkopneumonia yang dapat menyebabkan kematian, dapat diberi antibiotic yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas dan bersifat bakteriosidal misalnya gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg.Infus dan tranfusi darah

3. Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi dimulut dan tenggorokan serta kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus misalnya glukosa 5 % dan larutan Darrow. Bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2-3 hari, maka dapat diberikan transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut, terutama pada kasus yang disertai purpura yang luas.

4. Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg intravena sehari dan hemostatik.

5. Topikal :

Terapi topical untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in orabase. Untuk lesi di kulit yang erosif dapat diberikan sufratulle atau krim sulfadiazine perak.

(6)

BAB II

ASUHAN KEPERAWATAN A. Pengkajian

a. Anamnesa riwayat pengobatan pasien b. Gambaran klinik

c. Histopatologi

d. Riwayat kesehatan : riwayat alergi, reaksi alergi terhadap makanan, obat serta zat kimia, masalah kulit sebelumnya dan riwayat kanker kulit.

e. Pemeriksaan kulit infeksi dan

I : Warna, suhu, kelembapan, kekeringan, factor P : Turgor kulit, edema

- Data Fokus

DS : Gatal-gatal pada kulit, sulit menelan, pandanganya kabur, aktivitas menurun. DO : Kemerah-merahan, memegangi tenggorokan, gelisah untuk melihat, tampak

lemas dalam aktivitas - Data Penunjang

• Laboratorium : leukositosis atau esosinefilia

• Histopatologi : infiltrat sel mononuklear, oedema dan ekstravasasi sel darah merah, degenerasi lapisan basalis, nekrosis sel epidermal, spongiosis dan edema intrasel di epidermis.

• Imunologi : deposis IgM dan C3 serta terdapat komplek imun yang mengandung IgG, IgM, IgA.

B. Diagnosa Keperawatan

1. Gangguan rasa nyaman, nyeri b.d. inflamasi pada kulit. 2. Gangguan integritas kulit b.d. inflamasi dermal dan epidermal

2. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. kesulitan menelan 4. Gangguan intoleransi aktivitas b.d. kelemahan fisik

5. Gangguan persepsi sensori: kurang penglihatan b.d konjungtifitis C.Intervensi Keperawatan

Dx 1

Gangguan rasa nyaman, nyeri b.d. inflamasi pada kulit - Tujuan :

(7)

• Nyeri berkurang atau hilang - KH :

• Melaporkan nyeri berkurang

• Menunjukkan ekspresi wajah/postur tubuh rileks - Intervensi:

• Kaji keluhan nyeri, perhatikan lokasi dan intensitasnya Rasional: nyeri hampir selalu ada pada beberapa derajat beratnya keterlibatan jaringan

• Berikan tindakan kenyamanan dasar ex: pijatan pada area yang sakit Rasional: meningkatkan relaksasi, menurunkan tegangan otot dan kelelahan umum

• Pantau TTV

Rasional: metode IV sering digunakan pada awal untuk memaksimalkan efek obat

• Berikan analgetik sesuai indikasi Rasional: menghilangkan rasa nyeri Dx 2

Gangguan integritas kulit b.d. inflamasi dermal dan epidermal - Tujuan : Diharapkan inflamasi dermal dan epidermal berkurang -Kriteria hasil : menunjukkan kulit dan jaringan kulit yang utuh - Intervensi :

a. Observasi kulit setiap hari catat turgor sirkulasi dan sensori serta perubahan lainnya yang terjadi.

b. Gunakan pakaian tipis dan alat tenun yang lembut c. Kolaborasi dengan tim medis

- Rasional :

Menentukan garis dasar dimana perubahan pada status dapat dibandingkan dan melakukan intervensi yang tepat untuk mencegah infeksi lebih lanjut

Dx 3

Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. kesulitan menelan - Tujuan : Nafsu makan meningkat

- Kriteria hasil :

Menunjukkan berat badan stabil / peningkatan berat badan - Intervensi :

a. Berikan makanan sedikit tapi sering b. Kolaborasi dengan tim gizi

(8)

c. Hidangkan makanan dalam keadaan hangat - Rasional :

Membantu mencegah distensi gaster / ketidaknyamanan

Kalori protein dan vitamin untuk memenuhi peningkatan kebutuhan metabolik, mempertahankan berat badan dan mendorong regenerasi jaringan. Meningkatkan nafsu makan.

Dx 4

Gangguan intoleransi aktivitas b.d. kelemahan fisik - KH: klien melaporkan peningkatan toleransi aktivitas - Intervensi:

Kaji respon individu terhadap aktivitas

Rasional: mengetahui tingkat kemampuan individu dalam pemenuhan aktivitas sehari-hari.

• Bantu klien dalam memenuhi aktivitas sehari-hari dengan tingkat keterbatasan yang dimiliki klien

Rasional: energi yang dikeluarkan lebih optimal • Jelaskan pentingnya pembatasan energy

Rasional: energi penting untuk membantu proses metabolisme tubuh • Libatkan keluarga dalam pemenuhan aktivitas klien

Rasional: klien mendapat dukungan psikologi dari keluarga Dx 5

Gangguan persepsi sensori: kurang penglihatan b.d konjungtifitis -Tujuan : Kooperatif dalam tindakan

-KH :

• Menyadari hilangnya pengelihatan secara permanen - Intervensi:

Kaji dan catat ketajaman pengelihatan Rasional: Menetukan kemampuan visual

Kaji deskripsi fungsional apa yang dapat dilihat/tidak.

Rasional: Memberikan keakuratan terhadap penglihatan dan perawatan. Sesuaikan lingkungan dengan kemampuan pengelihatan:

(9)

Rasional: Meningkatkan self care dan mengurangi ketergantungan. Orientasikan terhadap lingkungan.

Letakan alat-alat yang sering dipakai dalam jangkuan penglihatan klien. Berikan pencahayaan yang cukup.

Letakan alat-alat ditempat yang tetap.

Berikan bahan-bahan bacaan dengan tulisan yang besar. Hindari pencahayaan yang menyilaukan.

Gunakan jam yang ada bunyinya.

Kaji jumlah dan tipe rangsangan yang dapat diterima klien. Rasional: Meningkatkan rangsangan pada waktu kemampuan penglihatan menurun.

D.Evaluasi Keperawatan

1.inflamasi dermal dan epidermal berkurang 2. Nyeri berkurang / hilang

3. Kebutuhan nutrisi terpenuhi 4. Tidak terjadi komplikasi 5. peningkatan toleransi aktivitas

(10)

DAFTAR PUSTAKA

 Doengos, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Buku Kedokteran EGC : Jakarta.

 Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran edisi 3, jilid 2. Media Aesculapius : Jakarta

 Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth, edisi 8, volume 3. Buku Kedokteran EGC : Jakarta.

 Corwin, Elizabeth. J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.

 http://hidayat2.wordpress.com/2009/05/16/askep-sindrom-stevens-jhonsen/  http://beniners.blogspot.com/2009/08/askep-penyakit-sindrom-steven-johnson.html  http://syukronaffdoc.blogspot.com/2009/04/stevens-johnson-syndrome.html  http://putridaun.blogspot.com/2008/01/sindrom-steven-jonson.html  http://weisaku.wordpress.com/2010/01/14/asuhan-keperawatan-pada-klien-dengan-steven-johnson/

(11)

PATHWAY Alergi obat2an Makanan Infeksi mikroorganism

Neoplasma faktor fisik

Steven Johnson Syndrome

Reaksi Alergi Type III Reaksi Alergi Type IV

Kompleks antigen & antibodi Terperangkap dalam jar.

Kapiler Sel Mast ↑

Jaringan kapiler rusak Akumulasi neutrofil

Sel T ↑

Limfosit & sitotoksin terlepas

Reaksi Radang

Jaringan kulit dan mucosa eritema

Inflamasi dermal dan epidermal

Nyeri Kelainan selaput

lendir dan ofisium Kesulitan menelan

Intake tidak adekuat

G3 Integritas kulit Kelemahan Fisik

Nutrisi kurang dari

kebutuhan tubuh Supply Nutrisi ke jaringan otot ↓

Kelainan pada mata

Conjungtivitis

G3 Persepsi sensori Kelainan penglihatan

(12)

Referensi

Dokumen terkait

Steven-Johnson Syndrome (SJS) merupakan reaksi hipersensitivitas yang diperantarai kompleks imun yang merupakan bentuk yang berat dari eritema multiformis.. SJS dikenal

Stevens Johnson Syndrome (SJS) merupakan suatu sindroma atau kumpulan gejala yang  (SJS) merupakan suatu sindroma atau kumpulan gejala yang mengenai kulit, selaput lendir, dan

Steven-Johnson Syndrom (SJS) merupakan suatu penyakit akut yang dapat mengancam jiwa yang ditandai dengan nekrosis dan pelepasan epidermis, dikenal dengan trias kelainan pada

Sindrom Steen 'ohnson adalah sindrom kelainan kulit kelainan kulit 0erupa eritema, esikelH0ula, dapat disertai purpura yang 0erupa eritema, esikelH0ula, dapat disertai purpura

Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel/

fisik  Diawali dengan penyakit peradangan akut yang disertai dengan gejala prodromal berupa demam, malaise, batuk, sakit kepala.  Kelainan kulit: macula eritema, vesikel, dan

Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) merupakan sindrom yang mengenai kulit, selaput Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) merupakan sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir,

Manifestasi Klinis SJS Manifestasi: Krusta hemoragik pada vermilion dan ulserasi luas serta eritema pada permukaan mukosa mulut dan lainnya Lokasi: Mata, genital, mulut Gejala