• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN PADA PENDERIT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN PADA PENDERIT"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PENDERITA CHILD ABUSE

DI SUSUN OLEH:

1. DESI RATNASARI 2. SALAMA

3. TRI MENIK 4. HENDRI 5. TOZO 6. DEARNITA

DOSEN PEMBIMBING : NS. LENI WIJAYA, S.KEP, M.KES

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MITRA ADIGUNA PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

PALEMBANG 2017

(2)

Puji dan syukur terucap hanya pada Allah SWT yang Maha Esa atas Ridonya akhirnya kami dapat menyelesaikan makala ini yang membahas mengenai, “Asuhan Keperawatan Pada Penderita Child Abuse yang merupakan pengetahuan penting yang harus diketahui.

Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW, kepada keluarga dan sahabatnya, serta seluruh umat yang senantiasa taat dalam menjalankan syariatnya.

Kami ucapkan terima kasih yang tiada tara kepada seluruh pihak yang telah membantu mensukseskan makalah ini hingga selesai, baik secara langsung maupun tidak.

Bila dalam penyampaian makalah ini ditemukan hal-hal yang tidak berkenan bagi pembaca, dengan segala kerendahan hati kami mohon maaf yang setulusnya. Kritik dan saran dari pembaca sebagai koreksi sangat kami harapkan untuk perbaikan makala ini kedepan. Semoga taufik, hidayat dan rahmat senantiasa menyertai kita semua menuju terciptanya keridhoan Allah SWT.

Palembang, November 2017

Penulis

(3)

HALAMAN DEPAN ... i

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Balita ...

2.2.1 Definisi child abuse... ...9

2.2.2 Bentuk child abuse... ...10

(4)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Berdasarkan data United Nations Children’s Fund (UNICEF) pada

tahun 2012 terdapat kekerasan pada anak yang mengakibatkan kematian

sekitar 95.000 anak-anak dan remaja di bawah usia 20. Sekitar 6 dari 10

anak antara usia 2 - 14 tahun di seluruh dunia (hampir satu miliar)

mendapatkan hukuman fisik setiap hari dari pengasuhnya dan 3 dari 10

orang dewasa di seluruh dunia percaya bahwa hukuman fisik diperlukan

dan pantas dalam membangun atau mendidik anak (UNICEF, 2014)

Hasil pemantauan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)

dari 2011 sampai 2014 kekerasan pada anak selalu meningkat setiap

tahunnya. Tahun 2011 terjadi 2.178 kasus kekerasan, 2012 ada 3.512

kasus, 2013 ada 4.311 kasus dan 2014 ada 5.066 kasus. Hasil monitoring

dan evaluasi KPAI tahun 2012 di 9 provinsi menunjukkan bahwa 91

persen anak menjadi korban kekerasan di lingkungan keluarga, 87.6 persen

di lingkungan sekolah dan 17.9% di lingkungan masyarakat (Nurul, 2015).

Berdasarkan laporan yang telah ditangani oleh Pusat Pelayanan

Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi

Sumatera Selatan dari Januari hingga Desember, jumlah kasus kekerasan

anak pada tahun 2015 meningkat menjadi 25 kasus dari tahun sebelumnya

(5)

Ibu merupakan sekolah paling utama dalam pembentukan

kepribadian anak, serta saran untuk memenuhi kebutuhan mereka dengan

berbagai sifat mulia. Semenjak lahir dari rahim seorang Ibu, maka ibulah

yang banyak mewarnai dan mempengaruhi perkembangan pribadi,

perilaku dan akhlak anak. Sejak lahir, anak akan mengamati gerak-gerik

ibunya. Dari tingkah laku ibunya itulah maka anak akan senantiasa melihat

dan meniru apa yang dilakukan ibunya dan akan diterapkan dalam

kehidupannya (Mutiah, 2014).

Peranan Ibu menjadi pembimbing dan pendidik anak dari sejak

lahir sampai dewasa khususnya dalam hal beretika dan susila untuk

bertingkah laku yang baik, namun kenyataannya dalam melakukan peran

tersebut, baik secara sadar maupun tidak sadar, ibu selaku orang tua dapat

membangkitkan rasa ketidakpastian, kemandirian, dan rasa bersalah pada

anak. Anak yang mempunyai pengalaman kecil menyenangkan dan

tumbuh pada keluarga yang harmonis akan berbeda tumbuh kembangnya

dengan anak yang masa kecilnya penuh dengan penderitaan dan kekerasan

(Arwanti, 2009).

Berkembangnya budaya dalam masyarakat kita saat ini

menganggap bahwa proses pembelajaran kepada anak dilakukan dengan

kekerasan, agar anak patuh dan disiplin untuk mencapai skala keberhasilan

yang diinginkan orang tua (Soetjiningsih, 1995). Orang tua berlaku kasar

dan memberikan hukuman fisik dengan dalih untuk memberikan pelajaran

(6)

mendapatkan perlindungan dari kekerasan. Orang tua tidak banyak

mengetahui bahwa anak juga mempunyai hak dan kewajiban sesuai yang

tercantum dalam Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002

pasal 4 sampai dengan pasal 19 (Nasrun, 2015)

Kekerasan merupakan tindakan yang disengaja yang

mengakibatkan cidera fisik atau tekanan mental (Carpenito, 2009).

Campbell dan Humphrey mendefinisikan kekerasan anak sebagai berikut

“Setiap tindakan yang mencelakakan/dapat mencelakakan kesehatan dan

kesejahteraan anak yang dilakukan oleh orang yang seharusnya

bertanggung jawab terhadap kesehatan dan kesejahteraan anak tersebut”

(Yani, 2008).

Terry E. Lawson, psikiater anak membagi kekerasan anak menjadi

4 (empat) macam, yaitu emotional abuse, Child abuse , physical abuse dan

sexual abuse. Child abuse , terjadi ketika Ibu, mengetahui anaknya

meminta perhatian, menyuruh anak itu untuk “diam” atau “jangan

menangis”. Anak mulai berbicara dan ibu terus menggunakan kekerasan

verbal seperti, “kamu bodoh”, “kamu cerewet”, “kamu kurang ajar”, dan

seterusnya (Solihin, 2014).

Emotional abuse (kekerasan emosional) yang biasanya juga lebih

sering disebut dengan kekerasan verbal paling banyak di dapat oleh

anak-anak dari orang tua mereka. Bahkan tanpa disadari, orang tua setiap hari

melakukan Child abuse pada anaknya. Bentuk dari Child abuse itu

(7)

mengucilkan anak, memberi julukan negatif pada anak atau mengejek

(Videbeck, 2008).

Child abuse dapat terjadi setiap harinya di rumah. Rumah yang

seharusnya tempat paling aman dan tempat berlindung bagi anak tidak lagi

menjadi nyaman. Adanya pengertian yang salah dalam memandang anak,

dimana anak masih saja dipandang sebagai objek yang wajib menurut

kepada orang tua. Padahal belum tentu orang tua selamanya benar.

Kebanyakan orangtua terlalu berharap pada anaknya dan cenderung

memaksa agar anak mau menuruti sepenuhnya keinginan mereka, jika

tidak maka anak akan mendapat hukuman. Hal inilah yang menjadikan

alasan bagi orang tua sering melakukan kekerasan pada anak. Disamping

itu, bisa juga dikarenakan riwayat orang tua yang dulunya dibesarkan

dalam kekerasan sehingga cenderung meniru pola asuh yang telah mereka

dapatkan sebelumnya (Videbeck, 2008)..

Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk membahas lebih

jauh tentang Asuhan Keperawatan Pada Pasien Child Abuse.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan child abuse ? 2. Apa saja bentuk-bentuk child abuse ? 3. Apa akibat dari child abuse ?

4. Bagaimana konsep asuhan keperawatan pada pasien child abuse ?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pengertian child abuse

2. Untuk mengetahui bentuk-bentuk child abuse

(8)

4. Untuk mengetahui konsep asuhan keperawatan pada pasien child

abuse

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

(9)

Anak adalah individu yang masih bergantung pada orang dewasa

dan lingkungannya, dimana dapat memfasilitasi dalam memenuhi

kebutuhan dasarnya dan untuk belajar mandiri (Supartini, 2004). Anak

merupakan individu yang berada dalam satu rentang perubahan

perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja (Hidayat, 2005).

Masa prasekolah yaitu antara usia 3 - 6 tahun, dimana pertumbuhan fisik

khususnya berat badan mengalami kenaikan rata-rata 2 kg pertahunnya

dan tinggi badan bertambah sekitar 6,75 - 7,5 cm tiap tahunnya (Supartini,

2004).

Anak balita adalah anak yang telah menginjak usia di atas satu

tahun atau lebih popular dengan pengertian usia anak di bawah lima tahun

(Muaris.H, 2006). Menurut Sutomo. B. dan Anggraeni. DY (2010), Balita

adalah istilah umum bagi anak usia 1-3 tahun (batita) dan anak prasekolah

(3-5 tahun). Saat usia batita, anak masih tergantung penuh kepada orang

tua untuk melakukan kegiatan penting, seperti mandi, buang air dan

makan. Perkembangan berbicara dan berjalan sudah bertambah baik.

Namun kemampuan lain masih terbatas.

Anak prasekolah menyempurnakan penguasaan terhadap tubuh

mereka dan merasa cemas menunggu awal pendidikan formal. Banyak

orang menyadari hal ini merupakan masa yang paling menarik untuk orang

tua karena anak-anak menjadi kurang negatif, dapat lebih secara akurat

(10)

dan berkomunikasi. Perkembangan fisik terus berlangsung menjadi lambat

dimana perkembangan kognitif dan psikososial terjadi cepat (Perry &

Potter, 2005).

Tahap perkembangan anak usia prasekolah dapat dilihat dari

berbagai aspek teori. Wong (2013) dalam bukunya wong’s essential of

pediatric nursing memaparkan teori-teori perkembangan usia prasekolah

sebagai berikut :

1. Teori psikoseksual

Teori psikoseksual merupakan proses dalam perkembangan anak

dengan pertambahan pematangan fungsi struktur serta kejiwaan yang

dapat menimbulkan dorongan untuk mencari rangsangan dan

kesenangan secara umum untuk menjadikan diri anak menjadi orang

dewasa. Perkembangan psikoseksual yang terjadi pada usia

prasekolah adalah tahap oedipal atau phalik. Pada tahap ini kepuasan

pada anak terletak pada rangsangan autoerotic yaitu meraba-raba,

merasakan kenikmatan dari beberapa daerah erogennya, serta suka

pada lawan jenis. Anak laki-laki cenderung suka pada ibunya dari

pada ayahnya demikian juga sebaliknya, anak perempuan suka pada

ayahnya.

2. Teori psikososial

Merupakan perkembangan anak dalam perkembangannya selalu

dipengaruhi oleh lingkungan sosial. Pada usia prasekolah

(11)

Pada tahap ini anak akan memulai inisiatif dalam belajar mencari

pengalaman baru secara aktif dalam melakukan aktivitasnya, dan

apabila tahap ini anak dilarang atau dicegah maka akan tambah

perasaan bersalah pada diri anak.

3. Teori perkembangan kognitif

Perkembangan kognitif pada anak dibagi menjadi empat tahap,

diantaranya tahap sensori motor, tahap praoperasional, tahap konkret

dan tahap formal operasional. Anak usia prasekolah menurut teori ini

berada pada tahap praoperasional. Anak belum mampu

mengoperasionalisasikan apa yang dipikirkan melalui tindakan dalam

pikiran anak, perkembangan anak masih bersifat transduktif

menganggap semuanya sama, seperti seorang pria di keluarga adalah

ayah maka semua pria adalah ayah. Pikiran yang kedua adalah pikiran

animisme selalu mempertahankan adanya benda mati, seperti apabila

anak terbentur benda mati maka anak akan memukul kearah benda

tersebut.

4. Teori perkembangan psikomoral

Teori perkembangan psikomoral memandang tumbuh kembang

anak yang ditinjau dari segi moralitas anak dalam menghadapi

kehidupan. Pada usia prasekolah anak berada pada tahap premoral.

Tahap ini memiliki ciri-ciri terdapat sedikit kewaspadan mengenai apa

yang dimaksud dengan perilaku moral yang biasa diterima secara

(12)

kekuatan dan kepemilikan, hidup dinilai untuk jumlah dan kekuatan

dari kepemilikan.

2.2 Child Abuse

2.2.1 Definisi Child Abuse

Child abuse adalah tindakan lisan atau perilaku yang menimbulkan

konsekuensi emosional yang merugikan (Wong, 2013). Child abuse terjadi

ketika orang tua menyuruh anak untuk diam atau jangan menangis. Jika

anak mulai bicara, ibu terus menerus menggunakan kekerasan verbal

seperti “kamu bodoh”. “kamu cerewet”, “kamu kurang ajar”. Anak akan

mengingat itu semua kekerasan verbal jika semua kekerasan verbal itu

berlangsung dalam satu periode (Jallaludin, 2006).

Menurut Farida (2013), Kekerasan kata-kata (Child abuse ) adalah

semua bentuk tindakan ucapan yang mempunyai sifat menghina,

membentak, memaki, memarahi dan menakuti dengan mengeluarkan

kata-kata yang tidak pantas.

Sedangkan menurut Khaliq (2014), Child abuse adalah tindakan

secara lisan yang membawa efek kekerasan, baik dengan kata-kata yang

tersurat (surface structure) ataupun kata-kata yang tersirat (deep

structure), dan bisa berakibat sangat merugikan korban, baik fisik maupun

mental.

Banyak orangtua menganggap kekerasan (abuse) pada anak adalah

hal yang wajar. Mereka beranggapan bahwa kekerasan adalah bagian dari

(13)

dikontrol dan dihukum. Dan dari hukuman tersebut, banyak

tindakan-tindakan orangtua yang bisa dimasukkan dalam kategori kekerasan

(Jallaludin, 2006).

2.2.2 Bentuk Child abuse

Bentuk dari Child abuse adalah sebagai berikut (Martha, 2008):

1. Tidak sayang dan dingin

Tindakan tidak sayang dan dingin ini berupa misalnya:

menunjukan sedikit atau tidak sama sekali rasa sayang kepada anak

(seperti pelukan), kata-kata sayang.

2. Intimidasi

Tindakan intimidasi bisa berupa: berteriak, menjerit, mengancam

anak, dan mengertak anak.

3. Mengecilkan atau mempermalukan anak

Tindakan mengecilkan atau mempermalukan anak dapat berupa

seperti: merendahkan anak, mencela nama, membuat perbedaan negatif

antar anak, menyatakan bahwa anak tidak baik, tidak berharga, jelek

atau sesuatu yang didapat dari kesalahan.

4. Kebiasaan mencela anak

Tindakan mencela anak bisa dicontohkan seperti: mengatakan

bahwa semua yang terjadi adalah kesalahan anak.

5. Tidak mengindahkan atau menolak anak

Tindakan tidak mengindahkan atau menolak anak bisa berupa:

tidak memperhatikan anak, memberi respon dingin, tidak peduli

dengan anak.

(14)

Tindakan hukuman ekstrim bisa berupa: mengurung anak dalam

kamar mandi, mengurung dalam kamar gelap. Mengikat anak di kursi

untuk waktu lama dan meneror.

2.2.3 Akibat Child abuse

Kekerasan yang dialami oleh anak dapat berdampak pada fisik

maupun psikologis (Soetjiningsih, 2010). Namun, Child abuse biasanya

tidak berdampak secara fisik kepada anak, tetapi dapat merusak anak

beberapa tahun kedepan. Child abuse yang dilakukan orang tua

menimbulkan luka lebih dalam pada kehidupan dan perasaan anak

melebihi perkosaan.

Berikut dampak-dampak psikologis akibat kekerasan verbal pada

anak (Widyastuti, 2006):

1. Anak menjadi tidak peka dengan perasaan orang lain

Anak yang mendapatkan perlakuan kekerasan emosional secara

terus menerus akan tumbuh menjadi anak yang tidak peka terhadap

perasaan orang lain. Sehingga kata-katanya cenderung kasar

(walaupun maksudnya bercanda).

(15)

Anak yang mendapat perlakuan kekerasan verbal terus menerus

akan memiliki citra diri yang negatif. Hal ini yang mengakibatkan

anak tidak mampu tumbuh sebagai individu yang penuh percaya diri.

3. Anak menjadi agresif

Komunikasi yang negatif mempengaruhi perkembangan otak

anak. Anak akan selalu dalam keadaan terancam dan menjadi sulit

berpikir panjang. Anak menjadi kesulitan dalam memecahkan

permasalahan yang dihadapinya. Ini berkaitan dengan bagian otak

yang bernama koteks, pusat logika. Bagian ini hanya bisa dijalankan

kalau emosi anak dalam keadaan tenang. Bila anak tertekan, maka

input hanya sampai ke batang otak. Sehingga sikap yang timbul hanya

berdasarkan insting tanpa dipertimbangkan lebih dulu. Akibatnya anak

berperilaku agresif.

4. Gangguan emosi

Pada anak yang sering mendapatkan perlakuan yang negatif dari

orang tuanya akan berakibat gangguan emosi pada perkembangan

konsep diri yang positif, dalam mengatasi sifat agresif. Perkembangan

hubungan sosial dengan orang lain. Selain itu juga, beberapa anak

menjadi lebih agresif atau bermusuhan dengan orang dewasa.

5. Hubungan sosial terganggu

Pada anak-anak ini menjadi susah bergaul dengan

(16)

sedikit, dan suka mengganggu orang dewasa, misalnya dengan

melempari batu, atau perbuatan kriminal lainnya.

6. Kepribadian sociopath atau antisocial personality disosde

Penyebab terjadinya kepribadian ini adalah Child abuse . Kalau

ini dibiarkan anak akan menjadi orang yang eksentrik, sering

membolos, mencuri, bohong, bergaul dengan anak-anak nakal, kejam

pada binatang, dan prestasi yang buruk di sekolah.

7. Menciptakan lingkaran setan dalam keluarga

Anak akan mendidik anaknya lagi dengan satu-satunya cara yang

dia ketahui yaitu Child abuse . Karena anak merupakan peniru yang

ulung. Akibatnya lingkaran setan ini akan terus berlanjut dan

kekerasan ini menjadi budaya di masyarakat.

8. Bunuh diri

Anak yang mendapatkan perkataan yang bernada negatif secara

terus menerus maka akan mengakibatkan anak menjadi lemah

mentalnya, karena merasa tidak ada orang di dunia ini yang sanggup

mencintainya apa adanya. Dan hal ini berakibat fatal, anak

memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri.

2.2.4 Mekanisme koping

Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diarahkan pada

penatalaksanaan stress, termasuk upaya penyelesaian masalah langsung

dan mekanisme pertahanan yang digunakan untuk melindungi diri.

Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada klien untuk melindungi

(17)

1. Sublimasi : Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia artinya di

mata masyarakat untuk suatu dorongan yang mengalami hambatan

penyalurannya secara normal. Misalnya seseorang yang sedang marah

melampiaskan kemarahannya pada obyek lain seperti meremas adonan

kue, meninju tembok dan sebagainya, tujuannya adalah untuk

mengurangi ketegangan akibat rasa marah.

2. Proyeksi :Menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya atau

keinginannya yang tidak baik. Misalnya seseorang wanita muda yang

menyangkal bahwa ia mempunyai perasaan seksual terhadap rekan

sekerjanya, berbalik menuduh bahwa temannya tersebut mencoba

merayu, mencumbunya.

3. Represi : Mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan

masuk ke alam sadar. Misalnya seseorang anak yang sangat benci pada

orang tuanya yang tidak disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau

didikan yang diterimanya sejak kecil bahwa membenci orang tua

merupakan hal yang tidak baik dan dikutuk oleh Tuhan, sehingga

perasaan benci itu ditekannya dan akhirnya ia dapat melupakannya. 4. Reaksi formasi : Mencegah keinginan yang berbahaya bila

diekspresikan, dengan melebih-lebihkan sikap dan perilaku yang

berlawanan dan menggunakannya sebagai rintangan. Misalnya seorang

yang tertarik pada teman suaminya, akan memperlakukan orang

tersebut dengan kasar.

5. Displacement : Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya

bermusuhan, pada obyek yang tidak begitu berbahaya seperti yang

(18)

berusia 4 tahun marah karena ia baru saja mendapat hukuman dari

ibunya karena menggambar di dinding kamarnya. Dia mulai bermain

perang-perangan dengan temannya.

2.3 Konsep Asuhan Keperawatan A. Pengkajian

Perawat seringkali menjadi orang yang pertamakali menemui

adanya tanda adanya kekerasan pada anak (lihat indicator fisik dn

kebiasaan pada macam-macam child abuse di atas). Saat abuse

terjadi, penting bagi perawat untuk mendapatkan seluruh

gambarannya, bicaralah dahulu dengan orang tua tanpa disertai anak,

kemudian menginterview anak.

1. Identifikasi orang tua yang memiliki anak yang ditempatkan di

rumah orang lain atau saudaranya untuk beberapa waktu.

2. Identifikasi adanya riwayat abuse pada orang tua di masa lalu,

depresi, atau masalah psikiatrik.

3. Identifikasi situasi krisis yang dapat menimbulkan abuse

4. Identifikasi bayi atau anak yang memerlukan perawatan dengan

ketergantungan tinggi (seperti prematur, bayi berat lahir rendah,

intoleransi makanan, ketidakmampuan perkembangan, hiperaktif,

dan gangguan kurang perhatian)

5. Monitor reaksi orang tua observasi adanya rasa jijik, takut atau

kecewa dengan jenis kelamin anak yang dilahirkan.

6. Kaji pengetahuan orang tua tentang kebutuhan dasar anak dan

perawatan anak.

7. Kaji respon psikologis pada trauma

(19)

Fokus pengkajian secara keseluruhan untuk menegakkan

diagnosa keperawatan berkaitan dengan child abuse, antara lain:

1. Psikososial

a. Melalaikan diri (neglect), baju dan rambut kotor, bau b. Gagal tumbuh dengan baik

c. Keterlambatan perkembangan tingkat kognitif, psikomotor,

dan psikososial

d. With drawl (memisahkan diri) dari orang-orang dewasa 2. Muskuloskeletal

e. Laserasi pada organ genetalia eksternal, vagina, dan anus. 4. Integumen

a. Lesi sirkulasi (biasanya pada kasus luka bakar oleh karena

rokok)

b. Luka bakar pada kulit, memar dan abrasi

c. tanda2 gigitan manusia yang tidak dapat dijelaskan d. Bengkak.

Pemeriksaan Radiologi

Ada dua peranan radiologi dalam menegakkan diagnosis perlakuan

salah pada anak, yaitu untuk identifiaksi fokus dari jejas, dokumentasi,

Pemeriksaan radiologi pada anak di bawah usia 2 tahun sebaiknya

dilakukan untuk meneliti tulang, sedangkan pada anak diatas 4-5 tahun

hanya perlu dilakukan jika ada rasa nyeri tulang, keterbatasan dalam

pergerakan pada saat pemeriksaan fisik. Adanya fraktur multiple dengan

(20)

a. CT-scan lebih sensitif dan spesifik untuk lesi serebral akut dan kronik,

hanya diindikasikan pada pengniayaan anak atau seorang bayi yang

mengalami trauma kepala yang berat.

b. MRI (Magnetik Resonance Imaging) lebih sensitif pada lesi yang

subakut dan kronik seperti perdarahan subdural dan sub arakhnoid. c. Ultrasonografi digunakan untuk mendiagnosis adanya lesi visceral d. Pemeriksaan kolposkopi untuk mengevaluasi anak yang mengalami

4. Risiko mencederai diri sendiri, orang lain, lingkungan

C. Intervensi Keperawatan

 Klien dapat membina hubungan saling percaya.

 Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek yang positif yang

dimiliki.

 Klien dapat menilai kemampuan yang digunakan.

 Klien dapat menetapkan dan merencanakan kegiatan sesuai

kemampuan yang dimiliki.

 Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi sakit dan

kemampuannya.

(21)

Intervensi :

1) Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip

komunikasi terapeutik.

Rasional : hubungan saling percaya memungkinkan klien terbuka pada

perawat dan sebagai dasar untuk intervensi selanjutnya. 2) Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien.

Rasional : mengidentifikasi hal-hal positif yang masih dimiliki klien. 3) Setiap bertemu klien dihindarkan dari memberi penilaian negatif.

Rasional : pemberian penilaian negatif dapat menurunkan semangat

klien dalam hidupnya.

4) Utamakan memberi pujian yang realistik pada kemampuan dan aspek

positif klien.

Rasional : meningkatkan harga diri klien.

5) Diskusikan dengan klien kemampuan yang masih dapat digunakan. Rasional : mengidentifikasi kemampuan yang masih dapat digunakan. 6) Diskusikan kemampuan yang dapat dilanjutkan penggunaannya di

rumah sakit.

Rasional : mengidentifikasi kemampuan yang masih dapat dilanjutkan. 7) Berikan pujian.

Rasional : meningkatkan harga diri dan merasa diperhatikan.

8) Minta klien untuk memilih satu kegiatan yang mau dilakukan di rumah

sakit.

Rasional : agar klien dapat melakukan kegiatan yang realistis sesuai

kemampuan yang dimiliki.

9) Bantu klien melakukannya jika perlu beri contoh. Rasional : menuntun klien dalam melakukan kegiatan. 10) Beri pujian atas keberhasilan klien.

Rasional : meningkatkan motivasi untuk berbuat lebih baik. 11) Diskusikan jadwal kegiatan harian atas kegiatan yang telah dilatih.

Rasional : mengidentifikasi klien agar berlatih secara teratur.

12) Beri kesempatan pada klien untuk mencoba kegiatan yang telah

direncanakan.

Rasional : tujuan utama dalam penghayatan pasien adalah membuatnya

(22)

13) Beri pujian atas keberhasilan klien. Rasional : meningkatkan harga diri klien. 14) Diskusikan kemungkinan pelaksanaan dirumah.

Rasional : mendorong pengulangan perilaku yang diharapkan. 2. Isolasi social

Tujuan

 Klien dapat menerima interaksi social terhadap individu lainya.

Kriteria hasil

 Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat.  Klien dapat berkomunikasi dengan baik atau jelas dan terbuka.  Klien dapat menggunakan koping yang konstruktif.

 Kecemasan klien telah berkurang.

Intervensi

1) Psikoterapeutik

a. Bina hubungan saling percaya

 Buat kontrak dengan klien : memperkenalkan nama perawat

dan waktu interaksi dan tujuan.

 Ajak klien bercakap-cakap dengan memanggil nama klien,

untuk menunjukkan penghargaan yang tulus.

 Jelaskan kepada klien bahwa informasi tentang pribadi klien

tidak akan diberitahukan kepada orang lain yang tidak

berkepentingan.

 Selalu memperhatikan kebutuhan klien.

b. Berkomunikasi dengan klien secara jelas dan terbuka

 Bicarakan dengan klien tentang sesuatu yang nyata dan pakai

istilah yang sederhana

 Gunakan komunikasi verbal dan non verbal yang sesuai, jelas

dan teratur.

 Bersama klien menilai manfaat dari pembicaraannya dengan

(23)

 Tunjukkan sikap empati dan beri kesempatan kepada klien

untuk mengungkapkan perasaanya

c. Kenal dan dukung kelebihan klien

 Tunjukkan cara penyelesaian masalah (koping) yang bisa

digunakan klien, cara menceritakan perasaanya kepada orang

lain yang terdekat/dipercaya.

 Bahas bersama klien tentang koping yang konstruktif  Dukung koping klien yang konstruktif

 Anjurkan klien untuk menggunakan koping yang konstruktif. d. Bantu klien mengurangi cemasnya ketika hubungan interpersonal

 Batasi jumlah orang yang berhubungan dengan klien pada awal

terapi.

 Lakukan interaksi dengan klien sesering mungkin.

 Temani klien beberapa saat dengan duduk disamping klien.  Libatkan klien dalam berinteraksi dengan orang lain secara

bertahap, dimulai dari klien dengan perawat, kemudian dengan

dua perawat, kemudian ditambah dengan satu klien dan

seterusnya.

 Libatkan klien dalam aktivitas kelompok. 3. Pendidikan kesehatan

a. Jelaskan kepada klien cara mengungkapkan perasaan selain dengan

kata-kata seperti dengan menulis, menangis, menggambar,

berolah-raga, bermain musik, cara berhubungan dengan orang lain :

keuntungan berhubungan dengan orang lain.

b. Bicarakan dengan klien peristiwa yang menyebabkan menarik diri. c. Jelaskan dan anjurkan kepada keluarga untuk tetap mengadakan

hubungan dengan klien.

d. Anjurkan pada keluarga agar mengikutsertakan klien dalam

(24)

a. Bantu klien dalam melaksanakan kebersihan diri sampai dapat

melaksanakannya sendiri.

b. Bimbing klien berpakaian yang rapi c. Batasi kesempatan untuk tidur

d. Sediakan sarana informasi dan hiburan seperti : majalah, surat

kabar, radio dan televisi.

e. Buat dan rencanakan jadwal kegiatan bersama-sama klien. 5. Lingkungan Terapeutik

a. Pindahkan barang-barang yang dapat membahayakan klien maupun

orang lain dari ruangan.

b. Cegah agar klien tidak berada didalam ruangan yang sendiri dalam

jangka waktu yang lama.

c. Beri rangsangan sensori seperti : suara musik, gambar hiasan di

ruangan.

6. Koping keluarga inefektif

Tujuan

 Koping adatif dapat dilakukan dengan optimal.

Kriteria hasil

 Keluarga dapat mengenal masalah dalam keluarga dan

menyelesaikannya dengan tindakan yang tepat.

Intervensi

1) Identifikasi dengan keluarga tentang prilaku maladaptif .

Rasional : Keluarga mengenal dan mengungkapkan serta menerima

perasaannya sehingga mempermudah pemberian asuhan kepada anak

dengan benar.

(25)

Rasional : Untuk memotivasi keluarga dalam mengasuh anak secara

baik dan benar tanpa menghakimi dan menyalahkan anak atas keadaan

yang buruk.

3) Diskusikan dengan keluarga tentang tindakan yang semestinya

terhadap anak.

Rasional : Memberikan gambaran tentang tindakan yang semestinya

dapat dilaksanakan keluarga terhadap anak.

4) Diskusikan dengan keluarga tentang pentingnya peran orang tua

sebagai status pendukung dalam proses tumbuh kembang anak.

Rasional : Memberikan kejelasan dan memotivasi keluarga untuk

meningkatkan peran sertanya dalam pengasuhan dan proses tumbuh

kembang anaknya.

5) Kolaborasi dalam pemberian pendidikan keluarga terhadap orang tua.

Rasional :Dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman keluarga

(orang tua), tentang pentingnya peran orang tua dalam tumbuh

kembang anak,memiliki pengetahuan tentang metode pengasuhan yang

baik,dan menanamkan kesadaran untuk menerima anaknya dalam

keadaan apapun.

7. Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan

Tujuan.

(26)

Kriteria hasil:

 Klien dapat membina hubungan saling percaya.

 Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.  Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.

 Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekekerasan yang biasa

dilakukan.

 Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.

 Klien dapat melakukan cara berespons terhadap kemarahan secara

konstruktif.

 Klien dapat mendemonstrasikan sikap perilaku kekerasan.

 Klien dapat dukungan keluarga dalam mengontrol perilaku kekerasan.  Klien dapat menggunakan obat yang benar.

Intervensi :

1) Bina hubungan saling percaya. Salam terapeutik, perkenalan diri,

beritahu tujuan interaksi, kontrak waktu yang tepat, ciptakan

lingkungan yang aman dan tenang, observasi respon verbal dan non

verbal, bersikap empati.

Rasional : Hubungan saling percaya memungkinkan terbuka pada

perawat dan sebagai dasar untuk intervensi selanjutnya.

2) Beri kesempatan pada klien untuk mengugkapkan perasaannya.

Rasional : Informasi dari klien penting bagi perawat untuk membantu

kien dalam menyelesaikan masalah yang konstruktif.

3) Bantu untuk mengungkapkan penyebab perasaan jengkel / kesal

Rasional : pengungkapan perasaan dalam suatu lingkungan yang tidak

mengancam akan menolong pasien untuk sampai kepada akhir

penyelesaian persoalan.

(27)

Rasional : Pengungkapan kekesalan secara konstruktif untuk mencari

penyelesaian masalah yang konstruktif pula. 5) Observasi tanda perilaku kekerasan pada klien.

Rasional : mengetaui perilaku yang dilakukan oleh klien sehingga

memudahkan untuk intervensi.

6) Simpulkan bersama tanda-tanda jengkel / kesan yang dialami klien. Rasional : memudahkan klien dalam mengontrol perilaku kekerasan. 7) Anjurkan klien untuk mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa

dilakukan.

Rasional : memudahkan dalam pemberian tindakan kepada klien. 8) Bantu klien bermain peran sesuai dengan perilaku kekerasan yang

biasa dilakukan.

Rasional : mengetahui bagaimana cara klien melakukannya.

9) Bicarakan dengan klien apakah dengan cara yang klien lakukan

masalahnya selesai.

Rasional : membantu dalam memberikan motivasi untuk

menyelesaikan masalahnya.

10) Bicarakan akibat / kerugian dan perilaku kekerasan yang dilakukan

klien.

Rasional : mencari metode koping yang tepat dan konstruktif.

11) Bersama klien menyimpulkan akibat dari perilaku kekerasan yang

13) Berikan pujian jika klien mengetahui cara yang sehat.

Rasional : mendorong pengulangan perilaku yang positif,

meningkatkan harga diri klien.

(28)

 Secara fisik : tarik nafas dalam / memukul botol / kasur atau

olahraga atau pekerjaan yang memerlukan tenaga.

 Secara verbal : katakan bahwa anda sering jengkel / kesal.

 Secara sosial : lakukan dalam kelompok cara-cara marah yang

sehat, latihan asertif, latihan manajemen perilaku kekerasan.

 Secara spiritual : anjurkan klien berdua, sembahyang, meminta

pada Tuhan agar diberi kesabaran.

Rasional : dengan cara sehat dapat dengan mudah mengontrol

kemarahan klien.

15) Bantu klien memilih cara yang paling tepat untuk klien.

Rasional : memotivasi klien dalam mendemonstrasikan cara

mengontrol perilaku kekerasan.

16) Bantu klien mengidentifikasi manfaat yang telah dipilih.

Rasional : mengetahui respon klien terhadap cara yang diberikan. 17) Bantu klien untuk menstimulasikan cara tersebut.

Rasional : mengetahui kemampuan klien melakukan cara yang sehat. 18) Beri reinforcement positif atas keberhasilan klien menstimulasi cara

tersebut.

Rasional : meningkatkan harga diri klien.

19) Anjurkan klien untuk menggunakan cara yang telah dipelajari saat

jengkel / marah.

Rasional : mengetahui kemajuan klien selama diintervensi.

20) Identifikasi kemampuan keluarga dalam merawat klien dari sikap apa

yang telah dilakukan keluarga terhadap klien selama ini.

Rasional : memotivasi keluarga dalam memberikan perawatan kepada

klien.

21) Jelaskan peran serta keluarga dalam merawat klien.

Rasional : menambah pengetahuan bahwa keluarga sangat berperan

(29)

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Emotional abuse (kekerasan emosional) yang biasanya juga lebih

sering disebut dengan kekerasan verbal paling banyak di dapat oleh

anak-anak dari orang tua mereka. Bahkan tanpa disadari, orang tua setiap hari

melakukan Child abuse pada anaknya. Bentuk dari Child abuse itu

umumnya dilakukan dalam bentuk mengancam, mengkritik, membentak,

mengucilkan anak, memberi julukan negatif pada anak atau mengejek.

Kekerasan yang dialami oleh anak dapat berdampak pada fisik

maupun psikologis. Namun, Child abuse biasanya tidak berdampak secara

(30)

3.2 Saran

Pentingnya peran orangtua khususnya peran ibu dalam

membimbing dan mendidik anak sejak lahir sampai dewasa khususnya

dalam hal beretika dan susila untuk bertingkah laku yang baik. Peran ibu

selaku orang tua bertanggungjawab menjaga dan memperhatikan

kebutuhan anak, mengelola kehidupan rumah tangga, memikirkan keadaan

ekonomi dan makanan anak-anaknya, memberi teladan akhlak, serta

mencurahkan kasih sayang bagi kebahagian dan tumbuh kembang anak

DAFTAR PUSTAKA

Hidayat. 2005. Psikologi perkembangan anak. Jakarta : EGC

Komnas Perlindungan Anak (2006). Kekerasan anak di Indonesia.

http://www.kompas.com, diakses 22 Januari 2016

Marta. 2008. Bentuk-bentuk Child abuse . http://www.marta.blogspot.com, diakses 23 Januari 2016

Muaris. 2006. Pengertian balita. http://www.muaris.blogspot.com, diakses 20 Januari 2016

Potter, Patricia A. 2005. Buku ajar fundamental keperawatan volume I. Jakarta : EGC

Soetjiningsih. 2010. Tumbuh kembang anak. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran : EGC

UNICEF. 2014. Data kekerasan pada anak. http://www.unicef.co.id, diakses 21 Januari 2016.

(31)

Wicaksana. 2008. Mereka bilang aku sakit jiwa refleksi kasus-kasus psikiatri dan problematika kesehatan jiwa di Indonesia.Yogyakarta : Kanisius.

Wong. Donna L. 2013. Buku Ajar Keperawatan Pediatri. Jakarta : EGC

Referensi

Dokumen terkait

Metode UTA adalah suatu metode yang menilai fungsi utilitas aditif pada sekumpulan kriteria, menggunakan informasi berdasarkan peringkat subjektif pada seperangkat

[r]

Syarat Normal 1NF adalah suatu relasi dikatakan dalam bentuk normal pertama jika dan hanya jika setiap. atribut bernilai tunggal dalam

Apabila pada masa mendatang akan terjadi pembayaran pajak yang lebih besar maka berdasarkan standar akuntansi yang berlaku umum harus diakui sebagai suatu kewajiban. Kewajiban

Sanggahan paling lambat tanggal 26 Februari 2018 jam 13:00 WIB telah diterima oleh Kelompok Kerja 03.18 ULP paket pekerjaan tersebut diatas pada Unit Layanan

Cara menghitung tingkat kontribusi pajak hotel terhadap Pendapatan Asli Daerah adalah membandingkan tingkat realisasi pajak hotel dengan realisasi Pendapatan Asli Daerah, berikut

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 9 Bab IV menguraikan upaya peningkatan pelaksanaan Pendidikan Agama Katolik PAK di sekolah