MAKALAH
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PENDERITA CHILD ABUSE
DI SUSUN OLEH:
1. DESI RATNASARI 2. SALAMA
3. TRI MENIK 4. HENDRI 5. TOZO 6. DEARNITA
DOSEN PEMBIMBING : NS. LENI WIJAYA, S.KEP, M.KES
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MITRA ADIGUNA PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
PALEMBANG 2017
Puji dan syukur terucap hanya pada Allah SWT yang Maha Esa atas Ridonya akhirnya kami dapat menyelesaikan makala ini yang membahas mengenai, “Asuhan Keperawatan Pada Penderita Child Abuse” yang merupakan pengetahuan penting yang harus diketahui.
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW, kepada keluarga dan sahabatnya, serta seluruh umat yang senantiasa taat dalam menjalankan syariatnya.
Kami ucapkan terima kasih yang tiada tara kepada seluruh pihak yang telah membantu mensukseskan makalah ini hingga selesai, baik secara langsung maupun tidak.
Bila dalam penyampaian makalah ini ditemukan hal-hal yang tidak berkenan bagi pembaca, dengan segala kerendahan hati kami mohon maaf yang setulusnya. Kritik dan saran dari pembaca sebagai koreksi sangat kami harapkan untuk perbaikan makala ini kedepan. Semoga taufik, hidayat dan rahmat senantiasa menyertai kita semua menuju terciptanya keridhoan Allah SWT.
Palembang, November 2017
Penulis
HALAMAN DEPAN ... i
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Balita ...
2.2.1 Definisi child abuse... ...9
2.2.2 Bentuk child abuse... ...10
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berdasarkan data United Nations Children’s Fund (UNICEF) pada
tahun 2012 terdapat kekerasan pada anak yang mengakibatkan kematian
sekitar 95.000 anak-anak dan remaja di bawah usia 20. Sekitar 6 dari 10
anak antara usia 2 - 14 tahun di seluruh dunia (hampir satu miliar)
mendapatkan hukuman fisik setiap hari dari pengasuhnya dan 3 dari 10
orang dewasa di seluruh dunia percaya bahwa hukuman fisik diperlukan
dan pantas dalam membangun atau mendidik anak (UNICEF, 2014)
Hasil pemantauan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
dari 2011 sampai 2014 kekerasan pada anak selalu meningkat setiap
tahunnya. Tahun 2011 terjadi 2.178 kasus kekerasan, 2012 ada 3.512
kasus, 2013 ada 4.311 kasus dan 2014 ada 5.066 kasus. Hasil monitoring
dan evaluasi KPAI tahun 2012 di 9 provinsi menunjukkan bahwa 91
persen anak menjadi korban kekerasan di lingkungan keluarga, 87.6 persen
di lingkungan sekolah dan 17.9% di lingkungan masyarakat (Nurul, 2015).
Berdasarkan laporan yang telah ditangani oleh Pusat Pelayanan
Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi
Sumatera Selatan dari Januari hingga Desember, jumlah kasus kekerasan
anak pada tahun 2015 meningkat menjadi 25 kasus dari tahun sebelumnya
Ibu merupakan sekolah paling utama dalam pembentukan
kepribadian anak, serta saran untuk memenuhi kebutuhan mereka dengan
berbagai sifat mulia. Semenjak lahir dari rahim seorang Ibu, maka ibulah
yang banyak mewarnai dan mempengaruhi perkembangan pribadi,
perilaku dan akhlak anak. Sejak lahir, anak akan mengamati gerak-gerik
ibunya. Dari tingkah laku ibunya itulah maka anak akan senantiasa melihat
dan meniru apa yang dilakukan ibunya dan akan diterapkan dalam
kehidupannya (Mutiah, 2014).
Peranan Ibu menjadi pembimbing dan pendidik anak dari sejak
lahir sampai dewasa khususnya dalam hal beretika dan susila untuk
bertingkah laku yang baik, namun kenyataannya dalam melakukan peran
tersebut, baik secara sadar maupun tidak sadar, ibu selaku orang tua dapat
membangkitkan rasa ketidakpastian, kemandirian, dan rasa bersalah pada
anak. Anak yang mempunyai pengalaman kecil menyenangkan dan
tumbuh pada keluarga yang harmonis akan berbeda tumbuh kembangnya
dengan anak yang masa kecilnya penuh dengan penderitaan dan kekerasan
(Arwanti, 2009).
Berkembangnya budaya dalam masyarakat kita saat ini
menganggap bahwa proses pembelajaran kepada anak dilakukan dengan
kekerasan, agar anak patuh dan disiplin untuk mencapai skala keberhasilan
yang diinginkan orang tua (Soetjiningsih, 1995). Orang tua berlaku kasar
dan memberikan hukuman fisik dengan dalih untuk memberikan pelajaran
mendapatkan perlindungan dari kekerasan. Orang tua tidak banyak
mengetahui bahwa anak juga mempunyai hak dan kewajiban sesuai yang
tercantum dalam Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002
pasal 4 sampai dengan pasal 19 (Nasrun, 2015)
Kekerasan merupakan tindakan yang disengaja yang
mengakibatkan cidera fisik atau tekanan mental (Carpenito, 2009).
Campbell dan Humphrey mendefinisikan kekerasan anak sebagai berikut
“Setiap tindakan yang mencelakakan/dapat mencelakakan kesehatan dan
kesejahteraan anak yang dilakukan oleh orang yang seharusnya
bertanggung jawab terhadap kesehatan dan kesejahteraan anak tersebut”
(Yani, 2008).
Terry E. Lawson, psikiater anak membagi kekerasan anak menjadi
4 (empat) macam, yaitu emotional abuse, Child abuse , physical abuse dan
sexual abuse. Child abuse , terjadi ketika Ibu, mengetahui anaknya
meminta perhatian, menyuruh anak itu untuk “diam” atau “jangan
menangis”. Anak mulai berbicara dan ibu terus menggunakan kekerasan
verbal seperti, “kamu bodoh”, “kamu cerewet”, “kamu kurang ajar”, dan
seterusnya (Solihin, 2014).
Emotional abuse (kekerasan emosional) yang biasanya juga lebih
sering disebut dengan kekerasan verbal paling banyak di dapat oleh
anak-anak dari orang tua mereka. Bahkan tanpa disadari, orang tua setiap hari
melakukan Child abuse pada anaknya. Bentuk dari Child abuse itu
mengucilkan anak, memberi julukan negatif pada anak atau mengejek
(Videbeck, 2008).
Child abuse dapat terjadi setiap harinya di rumah. Rumah yang
seharusnya tempat paling aman dan tempat berlindung bagi anak tidak lagi
menjadi nyaman. Adanya pengertian yang salah dalam memandang anak,
dimana anak masih saja dipandang sebagai objek yang wajib menurut
kepada orang tua. Padahal belum tentu orang tua selamanya benar.
Kebanyakan orangtua terlalu berharap pada anaknya dan cenderung
memaksa agar anak mau menuruti sepenuhnya keinginan mereka, jika
tidak maka anak akan mendapat hukuman. Hal inilah yang menjadikan
alasan bagi orang tua sering melakukan kekerasan pada anak. Disamping
itu, bisa juga dikarenakan riwayat orang tua yang dulunya dibesarkan
dalam kekerasan sehingga cenderung meniru pola asuh yang telah mereka
dapatkan sebelumnya (Videbeck, 2008)..
Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk membahas lebih
jauh tentang Asuhan Keperawatan Pada Pasien Child Abuse.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan child abuse ? 2. Apa saja bentuk-bentuk child abuse ? 3. Apa akibat dari child abuse ?
4. Bagaimana konsep asuhan keperawatan pada pasien child abuse ?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pengertian child abuse
2. Untuk mengetahui bentuk-bentuk child abuse
4. Untuk mengetahui konsep asuhan keperawatan pada pasien child
abuse
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Anak adalah individu yang masih bergantung pada orang dewasa
dan lingkungannya, dimana dapat memfasilitasi dalam memenuhi
kebutuhan dasarnya dan untuk belajar mandiri (Supartini, 2004). Anak
merupakan individu yang berada dalam satu rentang perubahan
perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja (Hidayat, 2005).
Masa prasekolah yaitu antara usia 3 - 6 tahun, dimana pertumbuhan fisik
khususnya berat badan mengalami kenaikan rata-rata 2 kg pertahunnya
dan tinggi badan bertambah sekitar 6,75 - 7,5 cm tiap tahunnya (Supartini,
2004).
Anak balita adalah anak yang telah menginjak usia di atas satu
tahun atau lebih popular dengan pengertian usia anak di bawah lima tahun
(Muaris.H, 2006). Menurut Sutomo. B. dan Anggraeni. DY (2010), Balita
adalah istilah umum bagi anak usia 1-3 tahun (batita) dan anak prasekolah
(3-5 tahun). Saat usia batita, anak masih tergantung penuh kepada orang
tua untuk melakukan kegiatan penting, seperti mandi, buang air dan
makan. Perkembangan berbicara dan berjalan sudah bertambah baik.
Namun kemampuan lain masih terbatas.
Anak prasekolah menyempurnakan penguasaan terhadap tubuh
mereka dan merasa cemas menunggu awal pendidikan formal. Banyak
orang menyadari hal ini merupakan masa yang paling menarik untuk orang
tua karena anak-anak menjadi kurang negatif, dapat lebih secara akurat
dan berkomunikasi. Perkembangan fisik terus berlangsung menjadi lambat
dimana perkembangan kognitif dan psikososial terjadi cepat (Perry &
Potter, 2005).
Tahap perkembangan anak usia prasekolah dapat dilihat dari
berbagai aspek teori. Wong (2013) dalam bukunya wong’s essential of
pediatric nursing memaparkan teori-teori perkembangan usia prasekolah
sebagai berikut :
1. Teori psikoseksual
Teori psikoseksual merupakan proses dalam perkembangan anak
dengan pertambahan pematangan fungsi struktur serta kejiwaan yang
dapat menimbulkan dorongan untuk mencari rangsangan dan
kesenangan secara umum untuk menjadikan diri anak menjadi orang
dewasa. Perkembangan psikoseksual yang terjadi pada usia
prasekolah adalah tahap oedipal atau phalik. Pada tahap ini kepuasan
pada anak terletak pada rangsangan autoerotic yaitu meraba-raba,
merasakan kenikmatan dari beberapa daerah erogennya, serta suka
pada lawan jenis. Anak laki-laki cenderung suka pada ibunya dari
pada ayahnya demikian juga sebaliknya, anak perempuan suka pada
ayahnya.
2. Teori psikososial
Merupakan perkembangan anak dalam perkembangannya selalu
dipengaruhi oleh lingkungan sosial. Pada usia prasekolah
Pada tahap ini anak akan memulai inisiatif dalam belajar mencari
pengalaman baru secara aktif dalam melakukan aktivitasnya, dan
apabila tahap ini anak dilarang atau dicegah maka akan tambah
perasaan bersalah pada diri anak.
3. Teori perkembangan kognitif
Perkembangan kognitif pada anak dibagi menjadi empat tahap,
diantaranya tahap sensori motor, tahap praoperasional, tahap konkret
dan tahap formal operasional. Anak usia prasekolah menurut teori ini
berada pada tahap praoperasional. Anak belum mampu
mengoperasionalisasikan apa yang dipikirkan melalui tindakan dalam
pikiran anak, perkembangan anak masih bersifat transduktif
menganggap semuanya sama, seperti seorang pria di keluarga adalah
ayah maka semua pria adalah ayah. Pikiran yang kedua adalah pikiran
animisme selalu mempertahankan adanya benda mati, seperti apabila
anak terbentur benda mati maka anak akan memukul kearah benda
tersebut.
4. Teori perkembangan psikomoral
Teori perkembangan psikomoral memandang tumbuh kembang
anak yang ditinjau dari segi moralitas anak dalam menghadapi
kehidupan. Pada usia prasekolah anak berada pada tahap premoral.
Tahap ini memiliki ciri-ciri terdapat sedikit kewaspadan mengenai apa
yang dimaksud dengan perilaku moral yang biasa diterima secara
kekuatan dan kepemilikan, hidup dinilai untuk jumlah dan kekuatan
dari kepemilikan.
2.2 Child Abuse
2.2.1 Definisi Child Abuse
Child abuse adalah tindakan lisan atau perilaku yang menimbulkan
konsekuensi emosional yang merugikan (Wong, 2013). Child abuse terjadi
ketika orang tua menyuruh anak untuk diam atau jangan menangis. Jika
anak mulai bicara, ibu terus menerus menggunakan kekerasan verbal
seperti “kamu bodoh”. “kamu cerewet”, “kamu kurang ajar”. Anak akan
mengingat itu semua kekerasan verbal jika semua kekerasan verbal itu
berlangsung dalam satu periode (Jallaludin, 2006).
Menurut Farida (2013), Kekerasan kata-kata (Child abuse ) adalah
semua bentuk tindakan ucapan yang mempunyai sifat menghina,
membentak, memaki, memarahi dan menakuti dengan mengeluarkan
kata-kata yang tidak pantas.
Sedangkan menurut Khaliq (2014), Child abuse adalah tindakan
secara lisan yang membawa efek kekerasan, baik dengan kata-kata yang
tersurat (surface structure) ataupun kata-kata yang tersirat (deep
structure), dan bisa berakibat sangat merugikan korban, baik fisik maupun
mental.
Banyak orangtua menganggap kekerasan (abuse) pada anak adalah
hal yang wajar. Mereka beranggapan bahwa kekerasan adalah bagian dari
dikontrol dan dihukum. Dan dari hukuman tersebut, banyak
tindakan-tindakan orangtua yang bisa dimasukkan dalam kategori kekerasan
(Jallaludin, 2006).
2.2.2 Bentuk Child abuse
Bentuk dari Child abuse adalah sebagai berikut (Martha, 2008):
1. Tidak sayang dan dingin
Tindakan tidak sayang dan dingin ini berupa misalnya:
menunjukan sedikit atau tidak sama sekali rasa sayang kepada anak
(seperti pelukan), kata-kata sayang.
2. Intimidasi
Tindakan intimidasi bisa berupa: berteriak, menjerit, mengancam
anak, dan mengertak anak.
3. Mengecilkan atau mempermalukan anak
Tindakan mengecilkan atau mempermalukan anak dapat berupa
seperti: merendahkan anak, mencela nama, membuat perbedaan negatif
antar anak, menyatakan bahwa anak tidak baik, tidak berharga, jelek
atau sesuatu yang didapat dari kesalahan.
4. Kebiasaan mencela anak
Tindakan mencela anak bisa dicontohkan seperti: mengatakan
bahwa semua yang terjadi adalah kesalahan anak.
5. Tidak mengindahkan atau menolak anak
Tindakan tidak mengindahkan atau menolak anak bisa berupa:
tidak memperhatikan anak, memberi respon dingin, tidak peduli
dengan anak.
Tindakan hukuman ekstrim bisa berupa: mengurung anak dalam
kamar mandi, mengurung dalam kamar gelap. Mengikat anak di kursi
untuk waktu lama dan meneror.
2.2.3 Akibat Child abuse
Kekerasan yang dialami oleh anak dapat berdampak pada fisik
maupun psikologis (Soetjiningsih, 2010). Namun, Child abuse biasanya
tidak berdampak secara fisik kepada anak, tetapi dapat merusak anak
beberapa tahun kedepan. Child abuse yang dilakukan orang tua
menimbulkan luka lebih dalam pada kehidupan dan perasaan anak
melebihi perkosaan.
Berikut dampak-dampak psikologis akibat kekerasan verbal pada
anak (Widyastuti, 2006):
1. Anak menjadi tidak peka dengan perasaan orang lain
Anak yang mendapatkan perlakuan kekerasan emosional secara
terus menerus akan tumbuh menjadi anak yang tidak peka terhadap
perasaan orang lain. Sehingga kata-katanya cenderung kasar
(walaupun maksudnya bercanda).
Anak yang mendapat perlakuan kekerasan verbal terus menerus
akan memiliki citra diri yang negatif. Hal ini yang mengakibatkan
anak tidak mampu tumbuh sebagai individu yang penuh percaya diri.
3. Anak menjadi agresif
Komunikasi yang negatif mempengaruhi perkembangan otak
anak. Anak akan selalu dalam keadaan terancam dan menjadi sulit
berpikir panjang. Anak menjadi kesulitan dalam memecahkan
permasalahan yang dihadapinya. Ini berkaitan dengan bagian otak
yang bernama koteks, pusat logika. Bagian ini hanya bisa dijalankan
kalau emosi anak dalam keadaan tenang. Bila anak tertekan, maka
input hanya sampai ke batang otak. Sehingga sikap yang timbul hanya
berdasarkan insting tanpa dipertimbangkan lebih dulu. Akibatnya anak
berperilaku agresif.
4. Gangguan emosi
Pada anak yang sering mendapatkan perlakuan yang negatif dari
orang tuanya akan berakibat gangguan emosi pada perkembangan
konsep diri yang positif, dalam mengatasi sifat agresif. Perkembangan
hubungan sosial dengan orang lain. Selain itu juga, beberapa anak
menjadi lebih agresif atau bermusuhan dengan orang dewasa.
5. Hubungan sosial terganggu
Pada anak-anak ini menjadi susah bergaul dengan
sedikit, dan suka mengganggu orang dewasa, misalnya dengan
melempari batu, atau perbuatan kriminal lainnya.
6. Kepribadian sociopath atau antisocial personality disosde
Penyebab terjadinya kepribadian ini adalah Child abuse . Kalau
ini dibiarkan anak akan menjadi orang yang eksentrik, sering
membolos, mencuri, bohong, bergaul dengan anak-anak nakal, kejam
pada binatang, dan prestasi yang buruk di sekolah.
7. Menciptakan lingkaran setan dalam keluarga
Anak akan mendidik anaknya lagi dengan satu-satunya cara yang
dia ketahui yaitu Child abuse . Karena anak merupakan peniru yang
ulung. Akibatnya lingkaran setan ini akan terus berlanjut dan
kekerasan ini menjadi budaya di masyarakat.
8. Bunuh diri
Anak yang mendapatkan perkataan yang bernada negatif secara
terus menerus maka akan mengakibatkan anak menjadi lemah
mentalnya, karena merasa tidak ada orang di dunia ini yang sanggup
mencintainya apa adanya. Dan hal ini berakibat fatal, anak
memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri.
2.2.4 Mekanisme koping
Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diarahkan pada
penatalaksanaan stress, termasuk upaya penyelesaian masalah langsung
dan mekanisme pertahanan yang digunakan untuk melindungi diri.
Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada klien untuk melindungi
1. Sublimasi : Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia artinya di
mata masyarakat untuk suatu dorongan yang mengalami hambatan
penyalurannya secara normal. Misalnya seseorang yang sedang marah
melampiaskan kemarahannya pada obyek lain seperti meremas adonan
kue, meninju tembok dan sebagainya, tujuannya adalah untuk
mengurangi ketegangan akibat rasa marah.
2. Proyeksi :Menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya atau
keinginannya yang tidak baik. Misalnya seseorang wanita muda yang
menyangkal bahwa ia mempunyai perasaan seksual terhadap rekan
sekerjanya, berbalik menuduh bahwa temannya tersebut mencoba
merayu, mencumbunya.
3. Represi : Mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan
masuk ke alam sadar. Misalnya seseorang anak yang sangat benci pada
orang tuanya yang tidak disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau
didikan yang diterimanya sejak kecil bahwa membenci orang tua
merupakan hal yang tidak baik dan dikutuk oleh Tuhan, sehingga
perasaan benci itu ditekannya dan akhirnya ia dapat melupakannya. 4. Reaksi formasi : Mencegah keinginan yang berbahaya bila
diekspresikan, dengan melebih-lebihkan sikap dan perilaku yang
berlawanan dan menggunakannya sebagai rintangan. Misalnya seorang
yang tertarik pada teman suaminya, akan memperlakukan orang
tersebut dengan kasar.
5. Displacement : Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya
bermusuhan, pada obyek yang tidak begitu berbahaya seperti yang
berusia 4 tahun marah karena ia baru saja mendapat hukuman dari
ibunya karena menggambar di dinding kamarnya. Dia mulai bermain
perang-perangan dengan temannya.
2.3 Konsep Asuhan Keperawatan A. Pengkajian
Perawat seringkali menjadi orang yang pertamakali menemui
adanya tanda adanya kekerasan pada anak (lihat indicator fisik dn
kebiasaan pada macam-macam child abuse di atas). Saat abuse
terjadi, penting bagi perawat untuk mendapatkan seluruh
gambarannya, bicaralah dahulu dengan orang tua tanpa disertai anak,
kemudian menginterview anak.
1. Identifikasi orang tua yang memiliki anak yang ditempatkan di
rumah orang lain atau saudaranya untuk beberapa waktu.
2. Identifikasi adanya riwayat abuse pada orang tua di masa lalu,
depresi, atau masalah psikiatrik.
3. Identifikasi situasi krisis yang dapat menimbulkan abuse
4. Identifikasi bayi atau anak yang memerlukan perawatan dengan
ketergantungan tinggi (seperti prematur, bayi berat lahir rendah,
intoleransi makanan, ketidakmampuan perkembangan, hiperaktif,
dan gangguan kurang perhatian)
5. Monitor reaksi orang tua observasi adanya rasa jijik, takut atau
kecewa dengan jenis kelamin anak yang dilahirkan.
6. Kaji pengetahuan orang tua tentang kebutuhan dasar anak dan
perawatan anak.
7. Kaji respon psikologis pada trauma
Fokus pengkajian secara keseluruhan untuk menegakkan
diagnosa keperawatan berkaitan dengan child abuse, antara lain:
1. Psikososial
a. Melalaikan diri (neglect), baju dan rambut kotor, bau b. Gagal tumbuh dengan baik
c. Keterlambatan perkembangan tingkat kognitif, psikomotor,
dan psikososial
d. With drawl (memisahkan diri) dari orang-orang dewasa 2. Muskuloskeletal
e. Laserasi pada organ genetalia eksternal, vagina, dan anus. 4. Integumen
a. Lesi sirkulasi (biasanya pada kasus luka bakar oleh karena
rokok)
b. Luka bakar pada kulit, memar dan abrasi
c. tanda2 gigitan manusia yang tidak dapat dijelaskan d. Bengkak.
Pemeriksaan Radiologi
Ada dua peranan radiologi dalam menegakkan diagnosis perlakuan
salah pada anak, yaitu untuk identifiaksi fokus dari jejas, dokumentasi,
Pemeriksaan radiologi pada anak di bawah usia 2 tahun sebaiknya
dilakukan untuk meneliti tulang, sedangkan pada anak diatas 4-5 tahun
hanya perlu dilakukan jika ada rasa nyeri tulang, keterbatasan dalam
pergerakan pada saat pemeriksaan fisik. Adanya fraktur multiple dengan
a. CT-scan lebih sensitif dan spesifik untuk lesi serebral akut dan kronik,
hanya diindikasikan pada pengniayaan anak atau seorang bayi yang
mengalami trauma kepala yang berat.
b. MRI (Magnetik Resonance Imaging) lebih sensitif pada lesi yang
subakut dan kronik seperti perdarahan subdural dan sub arakhnoid. c. Ultrasonografi digunakan untuk mendiagnosis adanya lesi visceral d. Pemeriksaan kolposkopi untuk mengevaluasi anak yang mengalami
4. Risiko mencederai diri sendiri, orang lain, lingkungan
C. Intervensi Keperawatan
Klien dapat membina hubungan saling percaya.
Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek yang positif yang
dimiliki.
Klien dapat menilai kemampuan yang digunakan.
Klien dapat menetapkan dan merencanakan kegiatan sesuai
kemampuan yang dimiliki.
Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi sakit dan
kemampuannya.
Intervensi :
1) Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip
komunikasi terapeutik.
Rasional : hubungan saling percaya memungkinkan klien terbuka pada
perawat dan sebagai dasar untuk intervensi selanjutnya. 2) Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien.
Rasional : mengidentifikasi hal-hal positif yang masih dimiliki klien. 3) Setiap bertemu klien dihindarkan dari memberi penilaian negatif.
Rasional : pemberian penilaian negatif dapat menurunkan semangat
klien dalam hidupnya.
4) Utamakan memberi pujian yang realistik pada kemampuan dan aspek
positif klien.
Rasional : meningkatkan harga diri klien.
5) Diskusikan dengan klien kemampuan yang masih dapat digunakan. Rasional : mengidentifikasi kemampuan yang masih dapat digunakan. 6) Diskusikan kemampuan yang dapat dilanjutkan penggunaannya di
rumah sakit.
Rasional : mengidentifikasi kemampuan yang masih dapat dilanjutkan. 7) Berikan pujian.
Rasional : meningkatkan harga diri dan merasa diperhatikan.
8) Minta klien untuk memilih satu kegiatan yang mau dilakukan di rumah
sakit.
Rasional : agar klien dapat melakukan kegiatan yang realistis sesuai
kemampuan yang dimiliki.
9) Bantu klien melakukannya jika perlu beri contoh. Rasional : menuntun klien dalam melakukan kegiatan. 10) Beri pujian atas keberhasilan klien.
Rasional : meningkatkan motivasi untuk berbuat lebih baik. 11) Diskusikan jadwal kegiatan harian atas kegiatan yang telah dilatih.
Rasional : mengidentifikasi klien agar berlatih secara teratur.
12) Beri kesempatan pada klien untuk mencoba kegiatan yang telah
direncanakan.
Rasional : tujuan utama dalam penghayatan pasien adalah membuatnya
13) Beri pujian atas keberhasilan klien. Rasional : meningkatkan harga diri klien. 14) Diskusikan kemungkinan pelaksanaan dirumah.
Rasional : mendorong pengulangan perilaku yang diharapkan. 2. Isolasi social
Tujuan
Klien dapat menerima interaksi social terhadap individu lainya.
Kriteria hasil
Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat. Klien dapat berkomunikasi dengan baik atau jelas dan terbuka. Klien dapat menggunakan koping yang konstruktif.
Kecemasan klien telah berkurang.
Intervensi
1) Psikoterapeutik
a. Bina hubungan saling percaya
Buat kontrak dengan klien : memperkenalkan nama perawat
dan waktu interaksi dan tujuan.
Ajak klien bercakap-cakap dengan memanggil nama klien,
untuk menunjukkan penghargaan yang tulus.
Jelaskan kepada klien bahwa informasi tentang pribadi klien
tidak akan diberitahukan kepada orang lain yang tidak
berkepentingan.
Selalu memperhatikan kebutuhan klien.
b. Berkomunikasi dengan klien secara jelas dan terbuka
Bicarakan dengan klien tentang sesuatu yang nyata dan pakai
istilah yang sederhana
Gunakan komunikasi verbal dan non verbal yang sesuai, jelas
dan teratur.
Bersama klien menilai manfaat dari pembicaraannya dengan
Tunjukkan sikap empati dan beri kesempatan kepada klien
untuk mengungkapkan perasaanya
c. Kenal dan dukung kelebihan klien
Tunjukkan cara penyelesaian masalah (koping) yang bisa
digunakan klien, cara menceritakan perasaanya kepada orang
lain yang terdekat/dipercaya.
Bahas bersama klien tentang koping yang konstruktif Dukung koping klien yang konstruktif
Anjurkan klien untuk menggunakan koping yang konstruktif. d. Bantu klien mengurangi cemasnya ketika hubungan interpersonal
Batasi jumlah orang yang berhubungan dengan klien pada awal
terapi.
Lakukan interaksi dengan klien sesering mungkin.
Temani klien beberapa saat dengan duduk disamping klien. Libatkan klien dalam berinteraksi dengan orang lain secara
bertahap, dimulai dari klien dengan perawat, kemudian dengan
dua perawat, kemudian ditambah dengan satu klien dan
seterusnya.
Libatkan klien dalam aktivitas kelompok. 3. Pendidikan kesehatan
a. Jelaskan kepada klien cara mengungkapkan perasaan selain dengan
kata-kata seperti dengan menulis, menangis, menggambar,
berolah-raga, bermain musik, cara berhubungan dengan orang lain :
keuntungan berhubungan dengan orang lain.
b. Bicarakan dengan klien peristiwa yang menyebabkan menarik diri. c. Jelaskan dan anjurkan kepada keluarga untuk tetap mengadakan
hubungan dengan klien.
d. Anjurkan pada keluarga agar mengikutsertakan klien dalam
a. Bantu klien dalam melaksanakan kebersihan diri sampai dapat
melaksanakannya sendiri.
b. Bimbing klien berpakaian yang rapi c. Batasi kesempatan untuk tidur
d. Sediakan sarana informasi dan hiburan seperti : majalah, surat
kabar, radio dan televisi.
e. Buat dan rencanakan jadwal kegiatan bersama-sama klien. 5. Lingkungan Terapeutik
a. Pindahkan barang-barang yang dapat membahayakan klien maupun
orang lain dari ruangan.
b. Cegah agar klien tidak berada didalam ruangan yang sendiri dalam
jangka waktu yang lama.
c. Beri rangsangan sensori seperti : suara musik, gambar hiasan di
ruangan.
6. Koping keluarga inefektif
Tujuan
Koping adatif dapat dilakukan dengan optimal.
Kriteria hasil
Keluarga dapat mengenal masalah dalam keluarga dan
menyelesaikannya dengan tindakan yang tepat.
Intervensi
1) Identifikasi dengan keluarga tentang prilaku maladaptif .
Rasional : Keluarga mengenal dan mengungkapkan serta menerima
perasaannya sehingga mempermudah pemberian asuhan kepada anak
dengan benar.
Rasional : Untuk memotivasi keluarga dalam mengasuh anak secara
baik dan benar tanpa menghakimi dan menyalahkan anak atas keadaan
yang buruk.
3) Diskusikan dengan keluarga tentang tindakan yang semestinya
terhadap anak.
Rasional : Memberikan gambaran tentang tindakan yang semestinya
dapat dilaksanakan keluarga terhadap anak.
4) Diskusikan dengan keluarga tentang pentingnya peran orang tua
sebagai status pendukung dalam proses tumbuh kembang anak.
Rasional : Memberikan kejelasan dan memotivasi keluarga untuk
meningkatkan peran sertanya dalam pengasuhan dan proses tumbuh
kembang anaknya.
5) Kolaborasi dalam pemberian pendidikan keluarga terhadap orang tua.
Rasional :Dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman keluarga
(orang tua), tentang pentingnya peran orang tua dalam tumbuh
kembang anak,memiliki pengetahuan tentang metode pengasuhan yang
baik,dan menanamkan kesadaran untuk menerima anaknya dalam
keadaan apapun.
7. Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan
Tujuan.
Kriteria hasil:
Klien dapat membina hubungan saling percaya.
Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan. Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.
Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekekerasan yang biasa
dilakukan.
Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.
Klien dapat melakukan cara berespons terhadap kemarahan secara
konstruktif.
Klien dapat mendemonstrasikan sikap perilaku kekerasan.
Klien dapat dukungan keluarga dalam mengontrol perilaku kekerasan. Klien dapat menggunakan obat yang benar.
Intervensi :
1) Bina hubungan saling percaya. Salam terapeutik, perkenalan diri,
beritahu tujuan interaksi, kontrak waktu yang tepat, ciptakan
lingkungan yang aman dan tenang, observasi respon verbal dan non
verbal, bersikap empati.
Rasional : Hubungan saling percaya memungkinkan terbuka pada
perawat dan sebagai dasar untuk intervensi selanjutnya.
2) Beri kesempatan pada klien untuk mengugkapkan perasaannya.
Rasional : Informasi dari klien penting bagi perawat untuk membantu
kien dalam menyelesaikan masalah yang konstruktif.
3) Bantu untuk mengungkapkan penyebab perasaan jengkel / kesal
Rasional : pengungkapan perasaan dalam suatu lingkungan yang tidak
mengancam akan menolong pasien untuk sampai kepada akhir
penyelesaian persoalan.
Rasional : Pengungkapan kekesalan secara konstruktif untuk mencari
penyelesaian masalah yang konstruktif pula. 5) Observasi tanda perilaku kekerasan pada klien.
Rasional : mengetaui perilaku yang dilakukan oleh klien sehingga
memudahkan untuk intervensi.
6) Simpulkan bersama tanda-tanda jengkel / kesan yang dialami klien. Rasional : memudahkan klien dalam mengontrol perilaku kekerasan. 7) Anjurkan klien untuk mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa
dilakukan.
Rasional : memudahkan dalam pemberian tindakan kepada klien. 8) Bantu klien bermain peran sesuai dengan perilaku kekerasan yang
biasa dilakukan.
Rasional : mengetahui bagaimana cara klien melakukannya.
9) Bicarakan dengan klien apakah dengan cara yang klien lakukan
masalahnya selesai.
Rasional : membantu dalam memberikan motivasi untuk
menyelesaikan masalahnya.
10) Bicarakan akibat / kerugian dan perilaku kekerasan yang dilakukan
klien.
Rasional : mencari metode koping yang tepat dan konstruktif.
11) Bersama klien menyimpulkan akibat dari perilaku kekerasan yang
13) Berikan pujian jika klien mengetahui cara yang sehat.
Rasional : mendorong pengulangan perilaku yang positif,
meningkatkan harga diri klien.
Secara fisik : tarik nafas dalam / memukul botol / kasur atau
olahraga atau pekerjaan yang memerlukan tenaga.
Secara verbal : katakan bahwa anda sering jengkel / kesal.
Secara sosial : lakukan dalam kelompok cara-cara marah yang
sehat, latihan asertif, latihan manajemen perilaku kekerasan.
Secara spiritual : anjurkan klien berdua, sembahyang, meminta
pada Tuhan agar diberi kesabaran.
Rasional : dengan cara sehat dapat dengan mudah mengontrol
kemarahan klien.
15) Bantu klien memilih cara yang paling tepat untuk klien.
Rasional : memotivasi klien dalam mendemonstrasikan cara
mengontrol perilaku kekerasan.
16) Bantu klien mengidentifikasi manfaat yang telah dipilih.
Rasional : mengetahui respon klien terhadap cara yang diberikan. 17) Bantu klien untuk menstimulasikan cara tersebut.
Rasional : mengetahui kemampuan klien melakukan cara yang sehat. 18) Beri reinforcement positif atas keberhasilan klien menstimulasi cara
tersebut.
Rasional : meningkatkan harga diri klien.
19) Anjurkan klien untuk menggunakan cara yang telah dipelajari saat
jengkel / marah.
Rasional : mengetahui kemajuan klien selama diintervensi.
20) Identifikasi kemampuan keluarga dalam merawat klien dari sikap apa
yang telah dilakukan keluarga terhadap klien selama ini.
Rasional : memotivasi keluarga dalam memberikan perawatan kepada
klien.
21) Jelaskan peran serta keluarga dalam merawat klien.
Rasional : menambah pengetahuan bahwa keluarga sangat berperan
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Emotional abuse (kekerasan emosional) yang biasanya juga lebih
sering disebut dengan kekerasan verbal paling banyak di dapat oleh
anak-anak dari orang tua mereka. Bahkan tanpa disadari, orang tua setiap hari
melakukan Child abuse pada anaknya. Bentuk dari Child abuse itu
umumnya dilakukan dalam bentuk mengancam, mengkritik, membentak,
mengucilkan anak, memberi julukan negatif pada anak atau mengejek.
Kekerasan yang dialami oleh anak dapat berdampak pada fisik
maupun psikologis. Namun, Child abuse biasanya tidak berdampak secara
3.2 Saran
Pentingnya peran orangtua khususnya peran ibu dalam
membimbing dan mendidik anak sejak lahir sampai dewasa khususnya
dalam hal beretika dan susila untuk bertingkah laku yang baik. Peran ibu
selaku orang tua bertanggungjawab menjaga dan memperhatikan
kebutuhan anak, mengelola kehidupan rumah tangga, memikirkan keadaan
ekonomi dan makanan anak-anaknya, memberi teladan akhlak, serta
mencurahkan kasih sayang bagi kebahagian dan tumbuh kembang anak
DAFTAR PUSTAKA
Hidayat. 2005. Psikologi perkembangan anak. Jakarta : EGC
Komnas Perlindungan Anak (2006). Kekerasan anak di Indonesia.
http://www.kompas.com, diakses 22 Januari 2016
Marta. 2008. Bentuk-bentuk Child abuse . http://www.marta.blogspot.com, diakses 23 Januari 2016
Muaris. 2006. Pengertian balita. http://www.muaris.blogspot.com, diakses 20 Januari 2016
Potter, Patricia A. 2005. Buku ajar fundamental keperawatan volume I. Jakarta : EGC
Soetjiningsih. 2010. Tumbuh kembang anak. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran : EGC
UNICEF. 2014. Data kekerasan pada anak. http://www.unicef.co.id, diakses 21 Januari 2016.
Wicaksana. 2008. Mereka bilang aku sakit jiwa refleksi kasus-kasus psikiatri dan problematika kesehatan jiwa di Indonesia.Yogyakarta : Kanisius.
Wong. Donna L. 2013. Buku Ajar Keperawatan Pediatri. Jakarta : EGC